Anda di halaman 1dari 309

REPRODUKSI SOSIAL TRADISI YE LIM DAN NIT NI WANG PADA

MASYARAKAT KEI KOTA TUAL

Abubakar Kabakoran

LP2M IAIN Ambon


REPRODUKSI SOSIAL TRADISI YE LIM DAN NIT NI WANG PADA
MASYARAKAT KEI KOTA TUAL

Penulis : Abubakar Kabakoran


ISBN: 978-602-61524-8-0
Editor: Syah Awaludin
Penyunting: Fachrul Pattilouw
Desain Sampul dan Tata Letak: Awal

Diterbitkan oleh:
LP2M IAIN Ambon
Jl. H. Tarmidzi Taher Kebun Cengkeh Batumerah Atas Ambon 97128
Telp. (0911) 344816
Handpone 0853 2252 6106
Faks. (0911) 344315
e-mail: Lp2miainambon16@gmail.com
www.lp2m_iainambon.id

Cetakan Pertama, September 2017


Hak cipta yang dilindungi undang-undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan
dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit
KATA PENGANTAR

Membicarakan Islam, lebih khusus lagi tentang warna, corak, dan karaktek Islam
di dalam dinamika ruang dan waktu tertentu pada hakekatnya adalah berbicara tentang
bagaimana Islam direproduksi oleh lingkungan sosialnya. Kenyataan membuktikan
bahwa dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan banyak pakar, ditemukan berbagai
corak dan karakter Islam pada berbagai tempat dengan berbagai macam coraknya.
Masyarakat Islam Kei yang dijadikan sebagai subyek di dalam penelitian buku ini
lebih disebabkan oleh karena alasan bahwa di dalam lingkungan mereka masih
ditemukan beragam praktik keberagamaan Islam yang di dalamnya menyimpan
semangat dan nilai-nilai yang menjadi spirit bagi perkembangan Islam. Untuk
menampilkan kembali semangat Islam dengan berbagai warna dan corak yang ada di
dalamnya tentu tidak lepas dari sejarah penyebaran Islam awal yang dimainkan para
penyiar, dimana mereka telah menyebarluaskan Islam di Kepulauan Kei. Hal itu
menjadi argumentasi pentingnya pembahasan tentang bagaimana reproduksi dalam
tradisi keberagamaan yang terjadi di lingkungan masyarakat IslamKei.
Fokus Penelitian antropologi yang dibukukan ini adalah pertama, reprodukdi
tradisi Ye Lim dan Nit Ni Wang yang dilihat sebagai sebuah gejala sisiologis yang
berlangsung dalam knteks struktur tertentu, yakni struktur sosial masyarakat Kei Kota
Tual. Struktur sosial yang di maksud di sini adalah mengacu kepada hubungan-
hubungan sosial antara individu-individu, individu-kelompok, kelompok dengan
kelompok pada saat tertentu dan menunjuk pada perilaku(tindakan) yang diulang-ulang
dengan bentuk dan cara yang sama.jadi dia merupakan hubungan timbal balik antara
posisi-posisi sosial tertentu dan antara peranan-peranan sosial tertentu. Menurut
peneliti di sini pasar dilihat sebagai sebuah institusi sosial yang didalamnya sekaligus
sebagai sebuah organisasi sosial. Kedua ; Reproduksi tradisi Ye Lim dan Nit Ni Wang
di sini dimaksudkansebagai lingkup sosial (social sphere) yang memiliki dua dimensi
yakni dimensi vertical dan horizontal. Tindakan ekonomi yang dilakukan di level makro
akan mempengaruhi dinamika ekonomi di tingkat local (pasar nagari), begitu juga
sebaliknya. Sedangkan pasar dalam dimensi horizontal akan melihat actor ekonomi
yang bermain pada level mikro; dalam artian bentuk perjuangan antar actor ekonomi
yang terjadi di tinkat mikro yang akan mempengaruhi proses pembentukan harga di
pasar. Dengan demikian penjelasan mengenai pasar nagari di minangkabau, tidak
hanya cukup di jelaskan dengan analisis mikro (lokal) tetapi juga harus dilakukan pada
analisis level meso dan makro, dengan bentuk keterkaitannya pada perekonomian di
masing-masing level tersebut. Dan Ketiga; teori konstrusi sosial dan resiprositas
menjadi acuan kerja dalam penelitian ini. Teori ini merupakan teori antropologi yang
muncul sebagai bentuk keinginan untuk saling menyapa dan saling meneguhkan
dengan sosiologi Weber dan sebagai pelengkap dalam aliran kelembagaan yang
diharapkan akan memberikan rambu-rambu dalam upaya memperoleh pemahaman
mengenai ketahanan tradsis Ye Lim dan Nit Ni Wang bagi masyarakat Islam Kei Kota
Tual.
Walhasil, puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunianya
sehingga Buku “REPRODUKSI SOSIAL TRADISI YE LIM DAN NIT NI WANG PADA
MASYARAKAT KEI KOTA TUAL ini telah dapat diselesaikan. Terima kasih kami
ucapkan kepada semua pihak yang telah ikut membantu dan memberikan konstribusi
dari awal penulisan sampai dengan diterbitkannya buku ini. Kami menyadari masih
terdapat kekurangan dalam buku ini untuk itu kritik dan saran terhadap
penyempurnaan buku ini sangat diharapkan. Semoga buku ini dapat memberi
maanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Penulis.
DAFTAR ISI

Halama Sampul ................................................................... i


Kata Pengantar ................................................................... ii
Daftar Isi .............................................................................. iii

BAB I Pendahuluan ...................................................... 1


BAB II Produksi dan Reproduksi Sosial atas Tradisi ...... 15
A. Asal Mula Pelembagaan ................................. 15
B. Pengendapan dan Tradisi ............................... 20
C. Reproduksi Tadisi dalam Ruang Sosial ......... 21
1. Budaya dan Pembentukan Identitas ........ 23
2. Pembentukan Ruang Simbolik Baru ........ 27
3. Produktif dan reproduktif dari kebudayaan 32
BAB III Tipologi Masyarakat Kei......................................... 39
A. Tipologi Masyarakat Kei Menurut pembagian
Leluhur .......................................................... 43
1. Pemerintahan dan Pemerintahan Desa ... 43
2. Pembinaan dan Pengembangan Adat dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa .... 45
3. Pemerintahan Adat (Adaat) ...................... 47
4. Pemerintah (Kuvni) .................................. 57
5. Agama (Agam) ........................................ 58
B. Latar Historis Masyarakat Kei .......................... 59
1. Sebelum Masuknya Islam ........................ 59
2. Setelah Masuknya Islam .......................... 60

BAB IV Memahami Masyarakat Islam Key,Tradisi Sosial Ye Lim dan Nit Ni


Wang ................................................................... 61

A. Diskripsi singkat sejarahKei Kota Tual ............ 61


B. Sejarah Masuknya Islam di Kei Kota Tual ....... 72
C. Masyarakat Kei Kota Tual dan tradisinya ....... 88
D. Larwul Ngabal Sebagai landasan filosofi
Masyarakat Kei .............................................. 98
E. Pemerintahan Adat Kei Kota Tual Dalam
Konteks Otonomi Daerah ............................... 154
F. Struktur pemerintahan adat di Kepulauan Kei . 162
G. Sistem perkawinan Kepulauan Kei ................. 168
H. Sistem Adat Kematian di Kepulauan Kei ........ 186
I. Maren atau Masohi (Gotong Royong) ............ 191
J. Agama dan Kepercayaan di Kepulauan Kei ... 193
K. Struktur sosial Masyarakat Kei (Mel RenIri) .... 200
L. Bentuk BentukTradisi Ye Lim dan
Nit Ni Wang .................................................... 204
M. Tradisi Nit Ni Wang ........................................ 229
N. Konstruksi Sosial Ye Lim dan Nit Ni Wang ..... 238
O. Memahami Konstruksi Sosial Tradisi
Islam Lokal di Kei Kota Tual ........................... 250

1. Tradisi Islam Lokal : Tradisi Ye Lim dan


Nit Ni Wang ............................................. 250
2. Konstruksi Sosial Tradisi Ye Lim dan Nit
Ni Wang Eksternalisasi: momen
adaptasi diri ............................................. 252
3. Objektivasi: Momen Interaksi Diri Dengan
Dunia Sosio-Kultural ................................ 254
4. Internalisasi: Momen Indentifikasi Diri
dalam Dunia Sosio Kultural ..................... 258
P. Mitologi Dalam Tindakan Ye Lim dan
Nit Ni Wang .................................................... 261
Q. Perubahan Budaya: Dari Tradisi Lokal ke
Tradisi Islam Lokal ......................................... 265
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................... 272
B. Refleksi Teoritik .............................................. 274

DAFTAR PUSTAKA
1

BAB I
PENDAHULUAN

Penelitian tentang Islam dan dinamika


masyarakat di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa
peneliti dalam berbagai topik dan lokus penelitian.
Geertz (1982 ) meneliti Islam di Jawa dan menunjukkan
bahwa terdapat kategorisasi masyarakat berdasarkan
tipologi keberagamaanya atas Islam santri, priyayi, dan
abangan. Beberapa peneliti lainnya meneliti Islam dalam
perspektif organisasi dan kelembagaan, misalnya Azra
(1996) tentang pengaruh pesantren terhadap
perkembangan masyarakat, Nakamura dan Ida tentang
Muhammadiah dan NU sebagai organisasi sosial
kemasyarakatan berbasis Islam yang cukup
berpengaruh dalam sejarah perkembangan bangsa
Indonesia. Sementara itu, Gibson (2009) dan Gibson
(2011) dengan perspektif pos-struktural meneliti
persebaran narasi Islam dan hubungannya dengan
konstruksi kekuasaan dalam masyarakat Bugis dan
Makassar.Nur Syam (2003) menulis tentang Tradisi
Islam Lokal Pesisiran studi konstruksi sosial upacara
pada masyarakat pesisir Palang Tuban Jawa Timur.
Dari seluruh penelitian yang telah dilakukan
tersebut umumnya terfokus pada unit makro masyarakat
dalam menempatkan Islam sebagai bagian dari
dinamika di dalamnya. Penelitian yang melihat tradisi
lokal berdasarkan Islam dalam masyarakat dan
reproduksinya dari waktu ke waktu belum ada yang
secara khusus melakukannya. Sementara itu, realitas
masyarakat Indonesia sebenarnya ditandai oleh tradisi-
2

tradisi lokal yang terbentuk sebagai hasil persentuhan


antara nilai dan norma lokal dengan ajaran Islam.
Penelitian ini berfokus pada sebuah tradisi pada
komunitas Islam Kei di Kota Tual bernama tradisi Yelim
dan Nit Nitwang, sebuah tradisi yang telah mengalami
reproduksi sosial dari waktu ke waktu dalam merspons
perubahan zaman. Topik ini merupakan ontologi yang
relatif baru dalam kajian antropologi agama di Indonesia
umumnya dan Maluku khususnya.
Islam secara teoritis adalah sebuah sistem nilai
dan ajaran Ilahiyah yang bersifat transenden.Nilai dan
ajaran yang bersifat transenden tersebut sepanjang
perjalanan sejarahnya telah membantu para
penganutnya memahami realitas dalam rangka
mewujudkan pola-pola pandangan hidup. Pengertian
Islam seperti itu lebih bermakna sebagai agama yang
diturunkan Allah SWT., yang mengajarkan dan mengatur
pola hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia
dengan manusia, dan manusia dengan alam sekitarnya,
yang meliputi pokok-pokok kepercayaan dan aturan-
aturan hukum yang dibawa melalui utusan yang terakhir,
Nabi Muhammad saw, dan berlaku untuk seluruh umat
manusia. (Abuddin Nata. 2001). Oleh karena sifatnya
yang ideal, maka kapan pun dan dalam situasi apa pun,
Islam yang berisi sistem nilai dan ajaran yang berlaku
secara universal ini tidak akan pernah mengalami
perubahan-perubahan.
Namun, secara sosiologis, Islam adalah sebuah
fenomena sosio-kultural.Di dalam dinamika ruang dan
waktu, Islam yang semula berfungsi sebagai subyek
pada tingkat kehidupan nyata berlaku sebagai obyek
3

dan sekaligus berlaku baginya berbagai hukum sosial.


Eksistensi Islam antara lain sangat dipengaruhi oleh
lingkungan sosial dimana ia tumbuh dan
1
berkembang. Di berbagai belahan dunia, Islam pernah
mengalami puncak kejayaan peradaban, tetapi tidak
dapat dipungkiri bahwa di beberapa tempat lain, Islam
justeru mengalami kemunduran dan bahkan tenggelam
ditelan oleh perubahan zaman. Dinamika Islam dalam
sejarah peradaban umat manusia dengan demikian
sangat ditentukan oleh pergumulan sosial yang pada
akhirnya akan sangat berpengaruh dalam memberi
warna, corak, dan karakter Islam. (Abdurrahman, 2003)
Membicarakan Islam, lebih khusus lagi tentang
warna, corak, dan karaktek Islam di dalam dinamika
ruang dan waktu tertentu pada hakekatnya adalah
berbicara tentang bagaimana Islam direproduksi oleh
lingkungan sosialnya. Kenyataan membuktikan bahwa
dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan banyak
pakar, ditemukan berbagai corak dan karakter Islam
pada berbagai tempat dengan berbagai macam
coraknya.Clifford Geertz di dalam karya bertema Islam
Observed.2menemukan perbedaan corak Islam Maroko

1Clifford Geertz menjelaskan masalah ini melalui

konsep modes for reality dan modes of reality. Agama pada


satu sisi dapat membentuk masyarakat ke dalam cosmic
order, tetapi pada sisi lain agama dapat dipengaruhi oleh
lingkungan sosialnya. Lihat dalam Brian Morris, Antropologi
Agama: Kritik Teori-Teori Agama Komtemporer, ter. Imam
Khoiri (Yogyakarta: AK Group, 2003), h. 393.
2Geertzdalam studi komparatifnya menjelaskan
adanya pengaruh budaya dalam Islam. Lihat Clifford Geertz,
4

yang puritanis dan Islam Indonesia yang sinkretis.


Bahkan, di dalam karya penelitiannya tentang Agama
Jawa, Geertz secara lebih khusus lagi membagi dalam
beberapa varian: Abangan, Santri, dan Priyayi. (Geertz,
1989).Tentang gerakan Islam di Indonesia, Deliar Noer
juga membagi Islam dalam kategori Islam tradisional dan
Islam modernis.(Noer, 1980).Demikian pula Azyumardi
Azra, (1982) ketika memetakan gerakan Islam, ia
mengenalkan konsep Islam fundamentalisme,
modernisme, dan post-tradisionalisme.Berbagai kategori
dan variasi Islam yang telah dikenalkan oleh para pakar
tersebut membenarkan proposisi bahwa fenomena
sosio-kultural yang bernama Islam adalah fenomena
yang eksistensinya sangat dipengaruhi lingkungan
sosial.
Berpijak dari cara pandang seperti itu, maka
penelitian ini mencoba memahami tentang bagaimana
Islam diproduksi di lingkungan masyarakat IslamKei
melalui tradisi keberagamaan. Reproduksi Islam dalam
penelitian ini dipahami sebagai terbentuknya corak Islam
melalui proses interaksi antara Islam dengan tradisi
masyarakat lokal.
Masyarakat Islam Kei dijadikan sebagai subyek
pembahasan di dalam penelitian ini lebih disebabkan
oleh karena alasan bahwa di dalam lingkungan mereka
masih ditemukan beragam praktik keberagamaan Islam
yang di dalamnya menyimpan semangat dan nilai-nilai
yang menjadi spirit bagi perkembangan Islam. Untuk

Islam Yang Saya Amati: Perkembangan di Maroko dan


Indonesia, ter. Hasan Basari (Jakarta: YIIS, 1982).
5

menampilkan kembali semangat Islam dengan berbagai


warna dan corak yang ada di dalamnya tentu tidak lepas
dari sejarah penyebaran Islam awal yang dimainkan
para penyiar, dimana mereka telah menyebarluaskan
Islam di Kepulauan Kei. Hal itu menjadi argumentasi
pentingnya pembahasan tentang bagaimana reproduksi
dalam tradisi keberagamaan yang terjadi di lingkungan
masyarakat IslamKei.
Setelah saya melakukan pembacaan terhadap
teks- teks lokal maupun hasil penuturan dari beberapa
sejarawan lokal mereka menjelaskan bahwa sebelumn
kehadiran Islam di Kepulauan kei yang dibawah oleh
penyiar dari Arab, Gujarat, penyiar dari Banten, Bugis
masuk ke Maluku melalui Kesultanan Ternate dan
Tidore, Jazirah Leihitu, Pulau Banda, dan selanjutnya
masuk di Kepulauan Kei melalui Pulau Kur dan Pulau
Toyando, orang Kei masih animisme mereka masih
menyembah dan menghormati Matahari-bulan atau
dalam bahasa Kei disebut “duang Lerwuan, yang
berdiam diri di langit atau cakrawala. Mereka telah
melakukan prosesi dan ritual ye lim dan nit wang, ini
terbukti pada saat pesta-pesta negeri dibawah
persembahan kepada Duad Lerwulan. Persembahan
yang disebut orang “ sob-sob duadler-wuan “ dan untuk
membangun rumah juga dibawah persembahan kepada
roh tanah –nit tanat—atau juga kepada naga (naang)
yang memikul bumi. Roh-roh Pelindung,die genii loci –
yang ditempatkan di depan pintu-masuk kampung atau
ditempatkan didalam negeri yang memikul atau
membawa nama umum dari sedeu atau Duad –sedeu,
adalah nit daripada nenek moyang, yang pertama-tama
6

mendiami tempat itu. Di tiap-tiap negeri terdapat sebuah


rumah berhala atau –rahan metuu, tempat dimana oleh
metu-duan selaku keturunan langsung dari pendiri-
pendiri dari negeri mempersembahkan sedikit,
sesembahan di baki. Tidak ada seorangpun dari orang-
orang kampung diperkenankan membawa persembahan
kepada sedeu tanpa dengan perantaraan Metuduan.
Beberapa patung sedeu yang di ukir dalam sikap berdiri.
Jika ada orang yang perlu sesuatu, misalnya
pergi berperang, atau pergi melaut, atau berkebun atau
ada seorang dari keluarga yang sakit, maka orang
berdoa dan membawa persembahan - valoer nit - untuk
nenek moyang (haut teteen) yang sudah meninggal.
Untuk upacara perkawinan, orang pada
membawa persembahan berupa sepotong sagu, seekor
ikan bakar, empat biji isi-kanari, sedikit tembakau,
sehelai daun sirih dan sebuah pinang, lalu diletakkan di
piring, kemudian ditempatkannya di tempat
persembahan di atas rumah –niwang niwaai-;
dipersembahkan untuk “nit atau nitu” roh-roh dari yang
telah meninggal dunia.
Selanjutnya ritual nit ni wang dilakukan juga
pada waktu datangnya wabah penyakit “ maa nuwang
miir intuub he : wuut, manga, maneran, atbak, isu, …. im
talik iwun atwaan sasuhut “ artinya saya letakkan
bahagianmu disini : ikan, sagu, sirih, tembakau, pinang,
antar dan jagalah saya di perjalanan di laut dari segala
kemalangan, agar dikemudian hari saya akan kembali
lagi ke Kei, supaya namamu selalu dihormati dan
dimuliakan.” setelah sudah kembali di Kei dari
7

perjalanan lalu diadakan persembahan dari apa yang


telah dikhususkan menjadi persembahan.
Dengan begitu ye lim dan nit ni wang pada
posisi ini lebih pada kehadiran untuk mengantarkan
sesembahan, sebagaimana pengertian leterlek dari ye
yang berarti kaki dan lim berarti tangan, sedangkan nit ni
wang adalah sesembahan yang diberikan kepada
leluhur yang telah meninggal, dan sedeu yang dipercaya
Duad Tuhan.
Setelah Islam mulai tersebar pada sebahagian
besar negeri- negeri di Kepulauan Kei, oleh penyiar yang
memiliki kemampuan baik di bidang agama, ekonomi
dan pemerintahan yang dalam istilah Gibson disebut
dengan “otoritas kharismatik”dengan begitu mereka
diposiskan sebagai Iman (tokoh agama), diangkat
sebagai Raja, sehingga dengan mudah melakukan
interfensi dalam proses adaptasi produksi tradisi ye lim
dan nit ni wang dengan nilai- nilai ajaran islam yang
telah mereka anut.
Hal ini dibuktikan ketika pada kampung-
kampung Islam ada yang mendirikan Masjid dan
langgar, atau rumah baru, maka pertama-tama orang
gali satu lubang didalam tanah dalamnya kira-kira satu
setengah meter untuk tiang-kepala atau tiang-tengah;
didalam lubang itu dibuang masuk seberapa banyak
makanan, akar-akar kayu, sirih-pinang, dan lain- lain
sebagai korban persembahan kepada Nit tanat, roh-roh
tanah, sesudah itu dimasukan tiang kedalam tanah.
Rumah baru itu diselesaikan dengan bantuan tenaga
(maren), dan makanan dari sahabat dan kaum keluarga
sanak saudara.Pada titik inilah saya menemukan
8

terjadinya proses reproduksi sosial tradisi ye lim dan nit


ni wang pada masyarakat Islam Kei Kota Tual.
Dalam konstruksi social pada masyarakat Kei,
terdapat tiga tatanan atau pengelompokan masyarakat
berdasarkan kompetensi yakni :Adaat (masyarakat
pemangku adat), Kuvni ( pemangku kebijakan dibidang
pemerintahan), serta Agam (yang memiliki keahlian
dibidang Agama). Realitas ini memiliki korelasi,
sebagaimana yang digambarkan oleh Geertz, misalnya
dalam The Religion of Java membagi masyarakat Jawa
dalam tipologi Abangan, Santri, dan Priyayi.Dalam
uraian khusus tentang varian santri, Geertz telah
terjebak oleh sumber-sumber yang berkembang dari
kalangan modernis, (Geertz, 1989), terbukti ia kurang
memberikan apresiasi terhadap karakteristik Islam lokal.
Di dalam mensikapi masalah tersebut, Marshall
Hodgson (1974) pernah menyindir Geertz yang selalu
menggemakan pemakaian istilah puritanis untuk merujuk
kepada mazhhab pemikiran Islam modern tertentu. Hal
ini sudah tampak jelas ketika Geertz menjelaskan
mengenai ciri-ciri umum Islam dengan cara selalu
menelusuri sejarah syari’ah dan kurang sekali
memperhatikan pentingnya peran sufisme dalam proses
penyebaran Islam di Jawa.(Geertz, 1989).Padahal,
dalam kurun waktu cukup lama, di Jawa sudah
berkembang tradisi besar Islam. Tradisi ini lahir sebagai
hasil strategi para penyebar Islam awal dalam mensikapi
proses akulturasi dengan budaya masyarakat lokal.
Tradisi besar yang kemudian dikenal dengan istilah
―tradisi pesantren itu menjadi babak baru dalam
sejarah Jawa karena berhasil menjadi budaya tandingan
9

bagi masyarakat pedalaman, Hindu-Jawa yang


digawangi kalangan istana dan keraton Jawa.Dengan
lahirnya budaya tandingan yang berkembang di
pedesaan, maka Islam Jawa bukan lagi tampil sebagai
subkultur, tetapi telah berkembang sedemikian rupa
menjadi sebuah tradisi besar yang menurut Joko Suryo
(2002) (great tradisition).
Dengan posisi demikian itu, maka pluralisme
pemahaman Islam dapat dipertahankan, dan relasi Islam
dengan berbagai komunitas lain (seperti komunitas adat
dan agama lain) dapat berlangsung di bawah prinsip
toleransi yang dikembangkan kalangan Islam tradisional.
Sikap toleransi itu melahirkan tradisi yang berisi unsur
Islam. Strategi ini dalam perkembangannya dianggap
sangat akomodatif, merupakan kearifan para penyebar
Islam dalam mensikapi proses akulturasi. Dalam
komunitas Islam Maluku inilah yang disebut di dalam
penelitian ini sebagai masyarakat IslamKei.
Peran yang dimainkan IslamKei cukup
signifikan sejak tumbuh dan berkembangnya Islam di
kepulauan Kei.Mereka mempunyai karakteristik khusus
di dalam memandang tradisi.IslamKei mempunyai ciri
akomodatif terhadap praktik-praktik tradisi masyarakat
lokal karena pola inilah yang memberi sumbangan
berarti bagi proses awal pengislaman yang berjalan
relatif tanpa jalan kekerasan. Pola ini sejak semula
mendapat inspirasi dari penganjur Islam awal (salam har
u) oleh karena adanya kesesuaian dengan masyarakat
yang sebagian besar berbasis massa sebagai petani
dan nelayan yang hidup di wilayah pesisir di pedesaan,
kemudian melahirkan tuduhan sebagai corak Islam yang
10

telah mengalami stagnasi. Selain itu, orientasi


keberagamaan IslamKei sangat menghargai warisan
klasik yang terkristalisasi di dalam ajaran-ajaran
agama.Di dalam mensikapi soal pembaharuan Islam,
IslamKei dengan karakternya, tetap berupaya
menyelaraskannya dengan warisan tradisi yang
berkembang pada masyarakat lokal. Setelah diketahui
tentang apa yang disebut IslamKei di dalam penelitian
ini, maka sampailah pada pembahasan tentang:
Bagaimanakah perspektif teori konstruksi sosial
memahami tentang reproduksi Islam melalui tradisi
keberagamaan pada mayarakat Kei.Greag Fealy (1996)
dalam artikelnya mencatat bahwa variasi tradisi yang
terus dikokohkan di kalangan mereka adalah praktik-
praktik lokal, seperti ritual, hawear (lingkungan hidup),
doa slamat (doa selamat), it ba liik kubuur (ziarah kubur),
maulud (maulid Nabi), nit ni wang (tahlilan) ye lim
(partisipasi sosial), dan lain sebagainya. Dalam
penelitian ini, tidak mungkin semua tradisi populer yang
berkembang di lingkungan IslamKei dianalisis satu
persatu melalui perspektif konstruksi sosial. Penelitian ini
memilih dua tradisi yang dianggap signifikan yaitunit ni
wang (tahlilan), dan ye lim (partisipasi sosial).
Di lingkungan masyarakat IslamKei, nit ni wang
(tahlilan) dan ye lim (partisipasi sosial) tidak semata-
mata merupakan peneguhan identitas kultural, tetapi
secara normatif diajarkan dalam Islam, untuk saling
mendoakan. Di kalangan IslamKei, nit ni wang dan ye
lim disamping dipercaya faedahnya untuk mengingat
para leluhur bagi yang masih hidup, juga mempunyai
tempat tersendiri di dalam kultur masyarakat Kei, yaitu
11

kebiasaan orang Kei yang selalu menaruh hormat


kepada leluhur-leluhurnya. Bahkan, pada waktu-waktu
tertentu, seperti menjelang datangnya bulan Ramadhan,
melaksanakan nit ni wang, dan ye lim atau partisipasi
sosial menjadi bagian integral tradisi orang Kei, yaitu
ritual khusus untuk mempersiapkan diri dalam rangka
memasuki bulan Suci Ramadhan. Bulan Ramadhan
yang penuh rahmat dan ampunan dalam ajaran Islam
tidak akan bisa diraih jika tidak dengan jiwa-raga yang
bersih, salah satunya dilakukan dengan cara memohon
ma’af kepada para leluhur melalui nit ni wang.
Interaksi Islam dengan nilai-nilai luhur yang
terus dijaga dalam budaya masyarakat lokal tersebut
pada akhirnya menghasilkan sebuah tradisi
keberagamaan populer di lingkungan masyarakat
IslamKei. Fenomena sosio-kultural itu diproduksi melalui
kesadaran penuh oleh setiap individu di dalam
masyarakat, terutama melalui peran yang dimainkan
oleh para elit lokal, seperti tokoh adat-ulama yang
mempunyai posisi penting dalam transformasi ajaran
Islam pada masyarakat Kei.Sebagaimana disebut di
dalam buku Horikoshi, tokoh adat adalah sosok yang
berfungsi atau sangat berperan sebagai penjaga tradisi. 3
Dalam masyarakat IslamKei pada penelitian ini
dilakukan dengan cara subordinasi budaya tersebut
terhadap nilai-nilai yang berlaku di dalam ajaran

3Bandingkan fungsi ulama sebagai agen perubahan

sosial dalam Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial,


ter. Umar Basalim dan Andi Muarly Sunrawa (Jakarta: P3M,
1987), h. 3.
12

Islam.Penyesuaian secara terus-menerus setiap individu


terhadap dunia sosio-kultural yang mereka ciptakan
dengan penuh kesadaran itulah yang disebut dengan
momen eksternalisasi. Dengan terciptanya tradisi ini,
maka mereka secara terus menerus berada pada proses
menemukan diri di dalam dunianya. Mereka
menghasilkan dirinya dalam lingkungannya.
Berikutnya, tradisi partisipasi dalam membantu
sesama ( ye lim) dan nit ni wang yang fungsi dan
maknanya telah mereka tetapkan bersama, dalam waktu
yang relatif lama akan selalu diulang-diulang. Tradisi
tersebut memberikan satu pedoman dan tata cara hidup
bersama. Tradisi dengan nilai-nilai luhur di dalamnya
menjadi sebuah memori kolektif bagi setiap individu
sekaligus dijadikan sebagai bahan pertimbangan ketika
mereka melakukan tindakan-tindakan. Tradisi yang
disakralkan tersebut akhirnya menjadi bagian integral,
yang tidak terpisahkan di dalam kehidupan masyarakat
Islam Kei, sehingga terjadi apa yang disebut dengan
proses pelembagaan. Pelembagaan tersebut
menggambarkan terciptanya realitas sosial obyektif yang
dibentuk melalui produk kultural. Di dalamnya, IslamKei
melakukan interaksi satu sama lain. Produk kultural
berupa tradisi nit ni wang, dan ye lim telah mendominasi
pola pikir dan perilaku mereka. Setiap individu akan
merasa bersalah jika mereka melanggarnya. Inilah yang
disebut momen obyektivasi dalam teori konstruksi sosial.
Setelah terjadi proses pelembagaan tradisi nit ni
wang dan ye lim (partisipasi sosial), di dalam dunia
sosio-kultural IslamKei, maka proses berikutnya adalah
terjadinya proses penyerapan kembali realitas obyektif
13

itu ke dalam kesadaran subyektif. IslamKei menangkap


kembali realitas obyektif tersebut sebagai fenomena
yang berada di dalam kesadaran sekaligus di luar
kesadarannya. Proses penting bagi berlangsungnya
aktivitas penyerapan realitas obyektif ini terletak pada
sosialisasi, yaitu proses yang dipakai untuk proses
pengalihan makna tradisi nit ni wang dan it baa liik kubur
(ziarah kubur) yang sudah terobyektivasi, dari satu
generasi kepada generasi berikutnya melalui program-
program yang berlaku di tengah kehidupan
bermasyarakat. Individu dengan demikian merupakan
produk dari masyarakat. Keberhasilan sosialisasi ini
ditandai dengan pengabdian yang dilakukan oleh
IslamKei kepada sistem hidup yang ada di dalam tradisi
nit ni wang dan ye lim. Sistem ini berfungsi sebagai
pengendali atau memformat kesadaran setiap individu di
dalam masyarakat. Pada tataran inilah, terjadi apa yang
disebut dengan kesesuaian antara dunia obyektif
dengan kesadaran subyektif. Nilai yang sudah
terobyektivasii tersebut telah menemukan analoginya di
dalam kesadaran setiap diri masyarakat IslamKei.
Dalam bab-bab selanjutnya akan diuraikan
Bagaimana posisi Ye Lim dan Nit Ni Wang dalam
struktur sosial dan relasi sosial vertikal maupun
horizontal dalam masyarakat Islam Kei, Bagaimana
konstruksi dan rekonstruksi sosial dalam proses
produksi dan reproduksitradisi Ye Lim dan Nit Ni
Wangpada sepanjang perjalanan masyarakat Islam Kei,
serta Bagaimana arah produksi dan reproduksi tradis Ye
Lim dan Nit Ni Wangmasih melembaga ditengah
14

masyarakat Islam Kei yang sedang mengalami


perubahan sosial.
15

BAB II
PRODUKSI DAN REPRODUKSI SOSIAL
ATAS TRADISI

A. Asal Mula Pelembagaan


Ketika berbicara tentang produksi dan reproduksi
sosial atas tradisi, tidak lepas dari proses pelembagaan, untuk
itu pada bagian ini akan mengulas tentang asal mula
pelembagaan. Disadari sepenuhnya bahwa hamper semua
kegiatan manusia bisa mengalami proses pembiasaan
(habitualisasi). Tetapi tindakan yang sering diulangi pada
akhirnya akan menjadi suatu pola yang kemudian bisa
direproduksi dengan upaya sekecil mungkin dan yang, karena
itu, dipahami oleh pelakunya sebagai pola yang dimaksudkan
itu. Pembiasaan selanjutnya berarti bahwa tindakan yang
bersangkutan bisa dilakukan kembali di masa mendatang
dengan cara yang sama dan dengan upaya yang sama
ekonomisnya. Ini berarti bagi aktivitas sosial maupun yang non
sosial. Individu yang menyendiri sekalipun, yang
diumpamakan hidup di sebuah pulau yang tak berpenduduk,
akan membiasakan kegiatan- kegiatannya.Sudah barang tentu
tindakan- tindakan yang sudah dijadikan kebiasaan itu, tetap
mempertahankan sifatnya yang bermakna bagi individu,
meskipun makna- makna yang terlibat di dalamnya sudah
tertanam sebagai hal- hal yang rutin dalam persediaan
pengetahuannya yang umum, yang olehnya diterima begitu
saja dan yang tersedia bagi proyek- proyek ke masa depan,
Abdullah (2001).
Pembiasaan membawa keuntungan psikologis yang
penting bahwa pilihan menjadi dipersempit. Sementara dalam
teori mngkin ada banyak cara. Pembiasaan mempersempit
pilihan akan membebaskan individu dari beban, dan
16

memberikan suatu kelegaan psikologis yang dasarnya


terdapat dalam struktur naluri manusia yang tidak terarah.
Pembiasaaan memberikan arah dan spesialisasi kepada
kegiatan yang tidak terdapat dalam perlengkapan biologis
manusia, dan dengan demikian membebaskan akumulasi
ketegangan- ketegangan yang dilakukan oleh dorongan-
dorongan yang tidak terarah. Dan dengan memberikan suatu
latar belakang yang stabil dimana kegiatan manusia bisa
berlangsung hampir sepanjang waktu dengan keharusan
smengambil keputusan yang minimal, dan ini menghemat
energi bagi keputusan- keputusan seperti itu yang mungkin
diperlukan pada kesempatan- kesempatan tertentu. Dengan
kata lain, latar belakang kegiatan yang sudah dibiasakan
membuka suatu latar depan bagi perencanaan dan inovasi.
Dari segi makna- makna yang diberikan oleh manusia
kepada kegiatannya, pembiasaan menyebabkan tidak
perlunya lagi tiap situasi didefenisikan kembali, langkah demi
langkah.Sejumlah besar ragam situasi dapat dimasukkan ke
dalam defenisi- defenisi yang sudah ditetapkan lebih dulu.
Kegiatan yang harus dilakukan dalam situasi- situasi itu lalu
bisa diantisipasi: bahkan alternatif- alternatif perilaku bisa
diberi bobot- bobot yang baku.
Proses- proses pembiasaan ini mendahului setiap
pelembagaan, malahan dapat dibuat sedemikian rupa
sehingga bisa berlaku bagi seorang individu, hipotetis yang
hidup menyendiri, terkucil dari interaksi sosial yang
bagaimanapun. Fakta bahwa individu yang menyendiri seperti
itu sekalipun, asalkan ia telah terbentuk sebagai diri, akan
membiasakan kegiatannya sesuai dengan pengalaman
biografisnya mengenai suatu dunia lembaga- lembaga sosial
yang mendahului keadaannya yang menyendiri itu, diluar
perhatian kita saat ini. Secara empiris, bagian yang lebih
17

penting dari pembiasaan kegiatan manusia adalah koekstensif


(sama lingkup dan lamanya) dengan pelembagaan kegiatan
itu. Pertanyaannya lalu menjadi : Bagaimana timbulnya
lembaga- lembaga.
Pelembagaan terjadi apabila ada suatu tipivikasi yang
timbal balik dari tindakan- tindakan yang sudah terbiasa bagi
berbagai tipe pelaku. Dengan kata lain, tiap tipivikasi seperti
itu merupakan satu lembaga. Hal yang harus ditekankan
adalah sifat timbal balik (resiprositas) dari tipivikasi- tipivikasi
kelembaan dan tipikalitas tidak hanya tindakan- tindakan,
melainkan juga dari pelaku- pelakuknya dalam lembaga-
lembaga. Tipivikasi tindakan- tindakan yang sudah dijadikan
kebiasaan, yang membentuk lembaga- lembaga selalu
merupakan milik bersama.Tipivikasi- tipikasi itu tersedia bagi
semua anggota kelompok sosial tertentu yang bersangkutan,
dan lembaga- lembaga itu sendiri mentipivikasi pelaku- pelaku
invidual maupun tindakan- tindakaknnya.
Lembaga-lembaga selanjutnya mengimplikasikan
historisitas dan pengendalian.Tipivikasi- tipivikasi timbal balik
dari tindakan- tindakan tumbuh dalam perjalanan sejarah yang
di alami bersama.Tipe- tipe itu tidak bisa diciptakan dengan
seketika.Lembaga- lembaga selalu punya sejarah yang
menghasilkan mereka. Tidaklah mungkin untuk
memahamisuatu lembaga secara memadai, tanpa terlebih
dahulu memahami proses historis dimana lembaga itu
ditimbulkan. Lembaga- lembaga juga, karena fakta
eksistensinya sendiri; mengendalikan perilakyu manusia
dengan jalan membuat pola- pola perilaku yang telah
didevinisikan lebih dulu, yang menyalurkannya kesatu arah di
antara sekian banyak arah lain yang secara teoritis
mungkin.Penting ditandaskan bahwa sifat pengontrol ini
melekat pada pelembagaan itu sendiri, sebelum atau terlepas
18

dari tiap mekanisme sanksi yang secara khusus dibentuk


untuk menopang suatu lembaga. Mekanisme-mekanisme itu
(yang keseluruhanya merupakan apa yang pada umumnya
dinamakan sebuah sistem kendali sosial) sudah tentu terdapat
dalam banyak lembaga dan dalam semua aglomerasi
(kumpulan) lembaga-lembaga yang kita namakan masyarakat,
Abdullah (2001).
Tetapi keefektifan pengendaliannya merupakan hal
sekunder atau sebagai pelengkap saja. Seperti akan kita lihat
nanti, pengendali sosial yang primer sudah ada dengan
adanya lembaga itu sendiri. Mengatakan bahwa suatu segmen
kegiatan manusia sudah dilembagakan, adalah sama artinya
dengan mengatakan bahwa segmen kegiatan manusia itu
sudah ditempatkan dibawah kendali sosial. Mekanisme-
mekanisme pengendali tambahan hanya diperlakukan sejauh
proses-proses pelembagaan tidak berhasil sepenuhnya.
Demikianla maka, sebagai contoh, undang-undang dapat
menentukan bahwa setiap orang yang melanggar tabu
perbuatan sumbang (incest)akan dipenggal kepalanya.
Ketentuan ini mungkin perlu karenah telah terjadi peristiwa-
peristiwa dimana individu-individu melanggar tabu itu.
Abdullah (2001).Kiranya masyarakat tidak perlu terus menerus
diingatkan kembali akan sanksi itu (kecuali jika lembaga yang
dibentuk berdasarkan tabu perbuatan sumbang itu sendiri
sedang dalam proses disintegrasi; suatu kasus khusus yang
tidak perlu dibahas lebih lanjut disini.) Karena itu, tidak masuk
akal untuk mengatakan bahwa seksualitas manusia
dikendalikan secara sosial melalui pelembagaannya dalam
perjalanan sejarah yang bersankutan. Sudah tentu bisa
dikatakan bahwa tabu perbuatan sumbang itu sendiri hanya
merupakan sisi negatif dari suatu himpuan tipe- tipe yang
pertama- tama mendefinisikan prilaku sekssual yang
19

bagaimana yang tergolong perbuatan sumbang dan mana


yang tidak.
Dalam pengalaman yang sesungguhnya, lembaga-
lembaga pada umumnya mewujudkan diri sebagai kolektivitas-
kolektivitas yang mencakup manusia dalam jumlah yang besar
sekali. Namun demikian, secara teoritis penting untuk
ditekankan bahwa proses pelembegaan tipivikasi timbal balik
akan terjadi juga apabila dua individu mulai berinteraksi untuk
pertama kalinya. Pelembagaan sudah ada pada bentuk awal
dalam setiap situasi sosial yang terus berlangsung dalam
perjalanan waktu.
Pada waktu yang bersamaan, dunia kelembagaan itu
memerlukan legitimasi ; artinya, cara- cara dengan mana ia
dapat “dijelaskan” dan dibenarkan. Ini bukan karena ia tampak
kurang nyata. Seperti telah kita lihat, kenyataan dunia sosial
semakin meyakinkan selama prose pengalihannya kepada
generasi baru.Tetapi kenyataan ini merupakan kenyataan
historis, yang sampai kepada generasi baru sebagai tradsi dan
bukan sebagai ingatan biografis.Dengan demikian, tatanan
sosial yang terus meluas mengembangkan suatu naungan
yang terdiri dari berbagai legitimasi yang sesuai, yang
membentangkan di atas tatanan itu suatu lapisan pelindung
berupa penafsiran kognitif dan normatif.
Legitimasi- legitimasi itu dipelajari oleh generasi baru
selama berlangsungnya proses yang sama yang
mensosialisasikan merrka kedalam tatanan kelembagaan.
Perkembangan mekanisme- mekanisme yang spesifik dalam
kendali- kendali sosial juga menjadi perlu bersamaan dengan
proses sejarah dan obyektivasi lembaga- lembaga.
Penyimpangan dari rangkaian tindakan yang sudah
“diprogramkan secara kelembagaan menjadi mngkin apabila
lembaga- lembaga itu sudah menjadi kenyataan yang terputus
20

hubungannya dari relevansi semua dalam proses- proses


sosial kongkrit, dari mana mereka ketika itu timbul. Dengan
kata- kata yang lebih sederhana, orang akan lebih mudah
menyimpang dari program- program yang telah ditetapkan
baginya oleh orang lain dari pada dari program- program yamg
ia sendiri telah ikut membuatnya.

B. Pengendapan dan Tradisi


Untuk menjelaskan bagian ini saya menggunakan
istilah Irwan Abdullah (2001) tentang pengendapan tradisi,
poin ini menjadi penting untuk membantu memberi arah dalam
memahami berbagai pengalaman dan tradisi yang sedang dan
akan dialami oleh masyarakat Islam Kei dengan berbagai
pranata adat yang direpruksi secara terus menerus. Lebih jauh
dijelaskan bahwa “ hanya sebagian kecil saja dari keseluruhan
pengalaman manusia tersimpan terus dalam
kesadaran.Pengalaman- pengalaman yang tersimpan terus itu
lalu mengendap; artinya, menggumpal dalam ingatan sebagai
entitas yang bisa dikenal dan diingat kembali.Tanpa terjadinya
pengendapan itu, indvidu tidak dapat memahami biografisnya.
Pengendapan intersubyektif juga terjadi apabila beberapa
individu mengalami suatu biografi bersama, dimana
pengalaman- pengalamannya lalu menjadi bagian dari suatu
cadangan pengetahuan bersama. Pengendapan intersubyektif
itu hanya benar- benar dinamakan sosial apabila ia sudah
diobyektivasi dalam suatu sistem tanda’artinya, apabila ada
kemungkinan bagi berulangnya obyektivikasi pengalaman-
pengalaman bersama itu. Baru sesudah itu ada kemungkinan
bagi pengalaman- pengalaman itu untuk dialihkan dari satu
generasi ke generasi berikutnya, dan dari satu kolektivitas ke
kolektivitas lain.
21

Secara teoritis, kegiatan bersama, tanpa suatu sistem


tanda dapat merupakan dasar bagi pengalihan itu.Akan tetapi
secara empiris hal itu tidak mungkin terjadi. Suatu sistem
tanda yang tersedia secara obyektif memberikan status
anonim pada tingkat permulaan kepada pengalaman-
pengalaman yang sudah diendapkan dengan jalan
melepaskannya dari konteks biografi individual kongkritnya
yang semula, dan menjadikannya tersedia secara umum bagi
semua orang yang sama- sama menganut, atau mungkin akan
menganut sistem tanda yang bersangkutan. Dengan demikian,
pengalaman- pengalaman menjadi mudah dialihkan.

C. Reproduksi Tadisi dalam Ruang Sosial

Pada bagin ini, ingin memperlihatkan bagaimana


tradisi ye lim dan nit ni wang yang diproduksi oleh masyarakat
Kei sebelum masuknya Islam di Kei, lalu kemudian pasca
masuknya Islam, lalu berkolaborasi, atau tradisi setempat dan
bagaimana dapat bersentuhan dengan nilai- nilai ajaran Islam
dan mengalami proses reproduksi sosial. Maka dapat
dijelaskan dengan mengandaikan sekolompok orang pindah
dari satu lingkungan budaya ke lingkungan budaya lain,
mengalami proses sosial budaya yang dapat mempengaruhi
model adaptasi dan pembentukan identitasnya (Appadauri,
1994; Ingold, 1995), dalam Abdullah, (2001) Pengelompokan
baru, defenisi sejarah kehidupan yang baru, dan pemberian
makna identitas merupakan kekuatan di dalam mengubah
berbagai ekspresi kultural dan tindakan-tindakan sosial para
pendatang.kebudayaan daerah tujuan telah memberi
kerangka cultural baru yang karenanya turut pulah
memberikan defenisi-defenisi dan ukuran-ukuran nilai bagi
kehidupan sekelompok orang (Featherstone, 1990), dalam
22

Abdullah, (2001) Proses reproduksi kebudayaan merupakan


proses aktif yang menegaskan keberadaannya dalam
kehidupan sosial sehingga mengharuskan adanya adaptasi
bagi kelompok yang memiliki latar belakang kebudayaan yang
berbedah.
Proses semacam ini merupakan proses sosial budaya
yang penting karena menyangkut dua hal. Pertama, pada
tataran sosial akan terlihat dominasi dan subordinasi budaya
terjadi secara dinamis yang memungkinkan kita menjelaskan
dinamika kebudayaan secara mendalam. Kedua, pada tataran
individual akan dapat di amati proses resistensi di dalam
reproduksi identitas kultural sekelompok orang di dalam
konteks sosial budaya tertentu. Proses adaptasi ini berkaitan
dengan dua aspek : Ekpresi kebudayaan dan pemberian
makna tindakan-tindakan individual. Dengan kata lain, hal ini
menyangkut dengan cara apa sekelompok orang dapat
mempertahankan identitasnya sebagai suatu etnis di dalam
lingkungan social budaya yang berbeda.
Pemahaman tentang proses reproduksi kultural yang
menyangkut bagaimana “Kebudyaan Asal” direpresentasikan
dalam lingkungan baru, masih sangat terbatas. penelitian
kesukubangsaan umunya menitikberatkan kebudayaan
sebagai “Pedoman” dalam adaptasi dan kelangsungan hidup
(Berth, 1988) sehingga lebih melihat aspek produktif dari
sebuah kebudayaan. Sementara itu, aspek reproduktif yang
menjadi kecenderungan baru di dalam menjelaskan
perubahan-perubahan kotemporer (Apandurai, 1994; Hannerz,
1996; Olwig & Hanstrup, 1997; Strathern, 1995), masih kurang
di perhatikan.
Pada bahagian ini menjelaskan bagaimana perubahan
ruang telah menyebabkan perubahan dalam politik
kebudayaan.Mobilitas telah mempengaruhi identitas kelompok
23

melalui penggunaan simbil-simbol baru. Kecenderungan ini


didorong oleh media massa yang tumbuh kemudiaan yang
menyebabkan kebudayaan bersifat reproduktif.
1. Budaya dan Pembentukan Identitas
Mobilitas telah menjadi faktor penting dalam
pembentukan dan perubahan peradaban umat
manusia karena peradaban tempat dalam kehidupan
manusia telah menciptakan defenisi-defenisi baru,
tidak hanya tentang lingkungan kebudayaa di mana
seseorang tinggal tetapi juga tentang dirinya sendiri
(Appadauri, 1994; Hannerz, 1996). Appadauri dan
Hennerz telah menegaskan bahwa keberadaan
seseorang dalam lingkungan tentu di satu pihak
mengharuskan penyesuaian diri terus menerus untuk
dapat menjadi bagaian dari system yang lebih
luas.Dilain pihak, identitas asal yang telah menjadi
bagian sejarah kehidupan seseorang tidak dapat
ditinggalakan bagitu saja, bahkan kebudayaan asal
cenderung menjadi pedoman dalam kehidupan di
tempat baru.Prosese dinamis kemudiaan dapat terjadi,
seperti ditunjukan oleh Georg Simmel (1991), Pada
saat berlangsungnya interaksi yang terus menerus
antara sifat-sifat general (sosial) yang harus di
pertahankan.
Dalam banyak studi telah diperlihatkan bahwa
perubahan wilayah tempat tinggal, latar belakang
sosial, dan latar belakang kebudayaan merupakan
konteks yang memberikan warna bagi identitas
kelompok dan identitas kesukubangsaan (Abdullah,
2001; Anderson, 1991; Berth, 1998). Sejalan dengan
mobilitas manusia yang demikian padat, yang dinilai
Appadurai sebagai fenomena mencolok sejak abad ke
24

– 20, batas-batas wilaya (kebudayaan) tidak lagi


menjadi penting karena suatu kelompok tidak selalu
terikat pada batas wilayah kebudayaanya sendiri, ia
telah menjadi bagian dari batas wiayah kebudayaan
yang berbeda yang bahkan cenderung berubah-ubah
pada orang berpinda dari suatu tempat ke tempat yang
lain.
Secara umum mobilitas berbagai kelompok
masyarakat telah menjadi fenomena yang sangat
umum.Hal ini mengandung pengertian bahwa
lingkungan sosial budaya setiap orang berubah-ubah
yang sangat tergantung pada perilaku mobilitas
seseorang atau sekelompok orang.Hal ini juga berarti
bahwa setiap kelompok orang berhadapan dengan
nilai-nilai baru yang mengharuskannya menyesuaikan
diri secara terus menerus.Dalam situasi semacam ini
studi Aantropologi relevan unutk memperankan
bagaimana seseorang atau kelompok orang dapat
mempertahankan nilai-nilai kebudayaan asalnya. Hal
ini mengingat bahwa wilayah kebudayaan tidak lagi
penting dalam proses pemberian makna kehidupan
individual karena wilaya kebudayaan seseorang
berubah-ubah saat ia pindah dari satu tempat ke
tempat yang lain (Anderson, 1991: Hannerz, 1996).
Mobilitas dengan demikian telah mendorong
proses rekonstruksi identitas sekelompok orang.
Sejalan dengan hal ini, ada dua proses yang dapat
terjadi, seperti tampak dalam pandanga parah ahli.
Pertama, terjadi adaptasi kultural para pendatang
dengan kebudayaan tempat ia bermukim, yang yang
menyangkut adaptasi nilai dan praktik kehidupan
secara umum. Kebudayaan lokal dalam hal ini telah
25

menjadi kekuatan baru yang memperkenalkan nilai-


nilainya kepada pendatang, meskipun ia tidak
sepenuhnya memiliki daya paksa. Namun demikian,
proses reproduksi kebudayaan lokkal, tempat setiap
kebudayaan melakukan penegasan-penegasan
keberadaanya sebagai pusat orientasi nilai suatu
masyarakat, tentu saja mempengaruhi metode
eksprasi diri setiap setiap orang (Appadaurai, 1994; Hil
dan Trupin, 1995). Kedua, terjadi proses pembentukan
identitas individual yang dapat saja mengacu kepada
nilai-nilai kebudayaan asalnya. Bahkan dalam konteks
ini seseorang dapat saja ikut mereproduksi
kebudayaan asalnya di tempat yang baru (Foster,
1973; Kemp, 1988; Abdullah, 1996; Strathern, 1995).
Kebudayaan dalam hal ini kemudian berfungsi sebagai
apa yang dikatakan Ben Anderson sebagai Imagined
Values (Anderson, 1991), yang berfungsi dalam fikiran
setiap orang yang menjadi pendukung dan
mempertahankan kebudayaan itu meskipun seseorang
berada di luar lingkungan kebudayaannya.
Teori konfigurasi budaya merupakan landasan
yang cukup penting dalam menjelaskan perubahan-
perubahan adaptasi suatu etnis (Appadurai, 1994;
Strathern, 1995). Dalam hubungannya dengan proses
migrasi; teori ini melihat bahwa ada tiga proses sosial
yang dapat terjadi. Pertama, terjadi pengelompokan
baru dengan orang-orang yang berbeda.
Pengelompokan ini merupakan proses penting dalam
hubungannya dengan proses adaptasi pendatang,
yang ini berarti pembentukan hubungan social-sosial
baru. Kedua, terjadi redefenisi sejarah kehidupan
seseorang karena seting social yang berbedah di
26

mana mereka menjadi bagian sebelumnya. Ketiga,


terjadi proses pemberian makna baru bagi diri
seseorang, yang menyebabkan ia mendefinisikan
kembali identitas kultural dirinya dan asal usulnya.
Didalam konteks sosial yang berubah, makna
sosial dan individual satu kebudayaan juga mengalami
perubahan, karena konteks sosial memberikan makan
pada tindakan-tindakan individual (Berger, 1990;
Simmel, 1991; Strathern, 1995).perubahan konteks
juga kemudian memberikan kesadaran baru bagi
individu dalam mendefinisikan kembali kebudayaan
dan identitas yang dianutnya (Appadurai, 1994; 193;
Olwig, & Hanstrup, 1997: 6).Hal ini sejalan dengan
pemikiran bahwa konteks sosial budaya menjadi faktor
di dalam pemberian makan kehidupan secara umum
(Featherstone, 1990; Berger, 1990).
Reproduksi kebudayaan merupakan proses
penegasan identitas budaya yang dilakukan oleh
pendatang, yang dalam hal ini menegaskan
keberadaan kebudayaan asalnya. Persudi Superlan,
misalnya, telah memperlihatkan adanya berbagai
bentuk ekspresi kebudayaan yang mengalami proses
intensifikasi oleh orang-orang jawa yang ada di
Suriname (Suparlan, 1995). Demikian pulah orang-
orang Jawa yang ada di berbagai lokasi transmigrasi
atau Malaysia, di lingkungan-lingkungan sossial
budaya yang berbedah dengan kebudayaan Jawa,
kebudayaan dalam konteks semaxam ini dihadirkan
melalui simbol-simbol yang menegaskan kehadiran
kehadiran identitas kelompok.
27

2. Pembentukan Ruang Simbolik Baru


Integrasi ekonomi ke tatanan ekonomi global
telah terbukti juga merupakn integrasi sosial budaya ke
dalam suatu tatanan juga merupakan itegrasi sosial
budaya kedalam suatu tatanan dunia, yang
kehadirannya dapat dilihat di kalangan penduduk kota.
Revolusi teknologi electronic dan teknologi komunikasi,
transportasi telah merupakan jembatan yang
menghubungkan berbagai tempat dan berbagai
belahan dunia lain. Hal yang mencolok terjadi dalam
kecenderungan ini adalah tubuhnya consumer culture
di kota-kota (Featherstone, 1991) yang merupakan
bagian dari ekspansi pasar (Evers, 1991). Dalam
proses ini konsumsi merupakan faktor penting dalam
mengubah tatanan nilai dan tatana simbolis. Dalam
kecenderungan ini identitas dan subyektivitas
mengalami transformasi, baik menyangkut masalah
integrasi maupun masalah nasionalisme
(Featherstone, 1990).
Basis material yang tampak dalam konsumsi
penduduk kota menunjukan satu usaha aktif penduduk
dalam membangun identitas pribadi. Berbagai
penelitian mengenai perkembangan dan pertumbuhan
kota menunjukan bahwa perubahan-perubahan yang
terjadi di kota disebabkan oleh ledakan pertambahan
penduduk. Laju pertumbuhan penduduk di kota berasal
dari peningkatan jumlah pendatang dari daerah
pedesaan dan dari kota-kota lain yang lebih kecil.
Pemusatan kegiatan ekonomi di kota-kota besar telah
menyebabkan konfigurasi penduduk semakin terpusat
di wilayah perkotaan.,
28

Ada beberapa implikasi dari tekanan penduduk


di perkotaan. Pertama, tinggkat kepadatan penduduk
yang tinggi akan membawa implikasi pada fasilitas
publik perkotaan. Berbagai sarana dan prasarana
menjadi kurang memadai. Lalulintas merupakan
masalah yang sangat rumit untuk ditangani pada saat
kota sudah begitu padat. Kedua, tinggkat kepadatan
penduduk yang tinggi mempengaruhi pengelolaan
ruang yang lebih rumit yang secara lansung
mempengaruhi harga tanah.Dengan naiknya harga
tanah, biaya hidup di perkotaan menjadi semakin
tinggi.
Ketiga, Kenyamanan untuk tinggal di kota
mejadi persoalan penting akibat tekanan penduduk.
Polusi suara udara, rawan kebakaran, kecelakaan, dan
tingkat kriminalitas merupakan faktor yang
mempengaruhi kenyamanan. Menurut Koswara, paling
sedikit terdapat empat persoalan pokok yang muncul di
perkotaan : (1) Fasilitas-fasilitas lingkungan dan
infrastruktur yang kurang memadai; (2) Kondisi
perumahan yang kurang sehat; (3) Tingginya tingkat
kepadatan penduduk dan pola penggunaan tanah yang
tidak teratur: dan (4) Tatanan kehidupan social yang
kurang teratur.
Konteks ruang tersebut telah mengubah kota
menjadi suatu ruang konsumsi yang membentuk suatu
gaya hidup kota. Dua proses merupakan tanda dari
transformasi social perkotaan semacam ini, yaitu
proses konsumsi simbolis dan transformasi estetis.
Proses konsumsi simbolis merupakan tanda penting
dari pembentukan gaya hidup dimana nilai-nilai
simbolis dari suatu produk dan praktik telah mendapat
29

penekanan yang besar dibandingkan dengan nilai-nilai


kegunaan dan fungsional. Hal ini paling tidak dapat
dijelaskan denga tiga cara ; Kelas social telah
membedakan proses identifikasi yang berbeda. Secara
umum memang tampak bahwa pilihan-pilihan
dilakukan sesuai dengan kelas di mana integrasi ke
dalam suatu tatanan umum seperti kebudayaan Jawa
tidak terbentuk sepenuhnya.Nilai simbolis dalam
konsumsi tampak diinterpretasikan secara berbeda
oleh kelompok yang berbeda.Pasar dalam masyarakat
semacam ini lebih berfungsi sebagai pembatas dan
penegas batas-batas kelompok. Pasar justru
menegaskan kolektifitas, awalaupun dalam bentuk
identitas komunal dengan gaya hidup yang berbeda.
Orientasi nilai kelompok yang sudah sejak semulah
terbentuk telah berperan dalam mengendalikan
ekspresi dan praktik setiap kelompok etnis.
Kedua, barang yang di konsumsi kemudian
menjadi wakil dari kehadiran. Hal ini berhubungan
dengan aspek-aspek psikologis di mana konsumsi
suatu produk berkaitan dengan perasaan atau rasa
percaya diri yang menunjukan bahwa itu bukan hanya
sekedar assesoris, tetapi barang-barang merupakan isi
dari kehadiran seseorang karena dengan cara itu ia
berkomunikasi (Goffman, 1951). Demikian pula bagi
kelompok yang memiliki wilayah pertukaran social
terbatas, maka ia tidak merasa membutuhkan suatu
benda atau praktik. Perbedaan kelompok di sini
memperlihatkan perbedaan wilayah dimana wilayah
tersebut telah menjadi wilayah kebudayaan yang
memiliki orientasi dan bentuk-bentuk pertukaran social
yang berbeda. Hal ini menunjukan bahwa proses
30

konsumsi itu juga bersifat fungsional karena melayani


atau disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing
kelompok yang memiliki orientasi nilai yang kurang
lebih sama dan pasar di satu pihak, menegaskan
kepatuhan-kepatuhan social individu terhadap tata
masyarakat yang berorientasi pada gaya hidup
tertentu.
Ketiga, berdasarkan proses konsumsi dapat di
lihat bahwa konsumsi citra (image) di satu pihak telah
menjadi proses konsumsi yang penting di mana citra
yang dipancarkan oleh suatu produk dn praktik (seperti
pakian atau makanan), merupakan alat ekspresi diri
bagi kelompok. Bagi kelas menegah citra yang melekat
pada suatu produk (global) merupakan istrumen
modernitas yang mampu menegaskan keberadaannya
dan identitasnya. Proses indetifikasi yang terwujud
melalui proses konsumsi karena Style, dengan sifat
yang modern atau karena keunikannya yang
menegaskan perbedaannya dengan orang lain.
Dalam proses konsumsi dan pergeseran
orientasi kehidupan kota, referensional tampak
melemah. Hal ini terutama disebabkan oleh
kebudayaan lebih terikat pada lokalitas yang spesifik
dan kendali kelas yang tegas. Dalam setting social
baru seperti kota-kota baru, simbol-simbol lebih
merupakan suatu yang dikonstruksikan untuk
kepentingan-kepentingan yang lain, yang kemudian
menciptakan kultur tersendiri yang tidak terintegrasi ke
dalam system kebudayaan di luarnya.
Perubahan konteks sosial semacam ini di
Indoneisa ridak terlepas dari sejumlah kebijakan
dengan deregulasi ekonomi yang di keluarkan oleh
31

pemerintah sejak 1980-an. Telah di jelakan bahwa


Indonesia tidak dapat mengisolasikan dirinya dengan
kecenderungan arus global yang semakin kuat dewasa
ini. Dalam proses ini, intergrasi ekonomi Indonesia ke
dalam pasar internasioanal tidak dapat ditolak.
Indonesia dianggap sebagai salah satu pasar yang
potensial bagi produk global.Perbaikan telekomonikasi
dan transportasi, sebagai salah satu factor terpenting,
telah memungkinkan mengalirnya barang-barang
global yang dengan mudah diperoleh di berbagai
tempat yang pada gilirannya mengubah mode
komonikasi berbagai suku bangsa.Namun demikian,
globalisasi harus juga dilihat sebgai tekakan terhadap
kehidupan social secara umum karena hal itu
merupakan factor mendasar dalam transformasi
masyarakat.
Dengan begitu, dapat menjelaskan bahwa globalisasi
bukan merupakan proses satu arah karena ada
kecenderungan untuk terjadi dialog dengan sifat-sifat lokal
yang menentukan penerimaan atau penolakan unsur-unsur
dan barang baru dalam berbagai bentuk diskursus. Penduduk
kota mulai membutuhkan produk global sebagai instrument
untuk mengartikulasikan kelas dan identitas kelompok untuk
membedakan dirinya dengan orang lain. Hal ini terutama
sejalan dengan tubuhnya kelas menengah yang begitu pesat
sejak tahun 1980-an di Indonesia (Kuntowijoyo, 1991), yang
merupakan kelompok yang paling berpengaruh dalam
reproduksi gaya hidup. Label “produk luar negeri” merupakan
semacam fasilitas bagai ekspresi diri kelas menengah kota.
32

3. Produktif dan reproduktif dari kebudayaan

Media merupakan saluran yang berpengaruh


dalam distribusi kebudayaan glonal yang secara
lansung mempengaruhi gaya hidup. Ikalan cenderung
untuk membentuk pasar baru dan memdidik kaum
mudah untuk menjadi konsumen. Hampir tidak ada
agen yang cukup berkuasa untuk mengendalikan
iklan. Lembaga nonpemerintah, termasuk lembaga
agama, tidak terlibat dalam proses social ini meskipun
sangat berpengaruh dalam proses peradaban.
pemerintah kehilangan pengaruh atas massa dan
kehilangan minat di dalam produksi pengetahuan
massa. Dalam musik kita juga dapat melihat
kecenderungan yang sama. Meskipun cirri-ciri lokal
masih memeliki pengaruh dalam music pop, nilai-nilai
barat semakin kental pengaruhnya. Pertujukan
kelompok music barat dalam sepuluh tahun terakhir,
seperti pada bulan Mei 1994 di Yogyakarta dan
sejumalah kota lain atau pentasan Jezz di Jakarta dan
Surabaya sejak awal tahun 1994, menjelaskan bahwa
sosialisai suatu tipe baru musik sedang berlangsung
secara intensif. Selain musik semacam ini diudarakan
oleh beberapa stasiun radio, musik seperti jazz juga
didiskusikan dalam pembicaraan publik.
Secara umu dapat diamamti bahwa agen
pemerintah, kebudayaan dan lembaga agama tidak
terlibat dalam proses produksi dan reproduksi Image
simbolik dan mental. Hal ini sesungguhnya dapat
menjadi proses untuk pengembangan semacam
imajinasi kelompok dan identitas. Kehidupan sehari-
hari yang menjadi basisi pembentukan image telah
33

didekte oleh pasar dan institusi terkait (seperti


iklan).Kraton dalam banyak kasus tampaknya telah
kehilangan pengaruh dalam masyarakat karena tidak
berfungsi sekuat dulu dalam konstruksi praktik
kehidupan. Masyarakat kota lebih kurang merupakan
“orang luar” dalam luar. sifat-sifat lokal mulai mengabur
dan digantikan dengan warna-warni pemandangan
pusat-pusat perbelanjaan dan merah putih Kentucky
fried Chicken atau suasana malam yang gemerlap oleh
pub, café, dan restoran. Ruang-ruang konsumsi ini
merupakan lingkungan dimana setiap etnis
dienkulturasikan yang kemudian mempengaruhi
identitas kelompok.
Kebudayaan bagi suatu masyarakat bukan
sekedar frame of reference yang menjadi pedoan
tinggakah laku dalam berbagai praktik social, tettapi
lebih sebagai “barang” atau materi yang berguna
dalam proses identifikasi diri dan kelompok. sebagai
kerangka acuan kebudayaan telah merupakan
serangkaian nilai yang disepakati dan yang mengatur
bagaimana sesuatu yang bersifat ideal diwujudkan.
Kebudayaan atau symbol (materi) menunjuk pada
bagaimana suatu budaya “dimanfaatkan” untuk
menegaskan batas-batas kelompok.Bahasa yang
merupakan materi budaya yeng telah digunakan oleh
suatu etnis untuk membangun wilayah-wilayah
simbolik dimana penggunaan bahasa telah
menyebabkan telah terjadinya identifikasi diri.
Kebudayaan bagi suatu kelompok telah
menjadi standar ukuran dalam menilai dan
mewujudkan tinggkah laku.Nilai baik dan buruk
kemudian diukur berdsarkan ukuran yang berlaku
34

karena disepakati dan dijaga.proses semacam ini telah


melahirkan proses eksklusi social di mana suatu
kelompok cenderung membangun wilayah simboliknya
sendiri membedakan diri mereka dengan orang lain.
Komonikasi kebudayaan dalam hal ini tidak dapat
berlansung dengan baik untuk melahirkan bentuk-
bentuk ekspresi kebudayaan yang komunikasitf dalam
setting social yang berbeda. Kelompok mudah atau
pasangan-pasangan campuran di lain pihak memiliki
keterbukaan, namun kebudayaan dihadrikan dalam
bentuk-bentuk pakian atau upacara-upacara yang jauh
lebih memiliki fungsi social ketimbang spiritual.
Dalam proses pembentukan identitas kelompok
migrant di berbagai tempat cenderung terperangkap ke
dalam kerinduan masa lalu. Meskipun ekspresi mereka
berbeda, dasar repsoduksi kebudayaan lebih
disebabkan oleh usaha mengahdirkan masa lalu
kedalam kehidupan masa kini. Hal ini tidak terlepas
dari beban sejarah yang dipikul oleh setiap kelompok
yang meninggalkan wilayah kebudayaannya, yakni
untuk mewujudkan cita-cita dan menegakan identitas,
misalnya sebagai orang islam yang taat, atau sebagai
etnis yang taat memegang adat. Meskipun tidak
semuah orang berhasil dalam mewujudkan cita-cita
menjadi beban sejarah ini, paling tidak “pesan kultural”
semacam itu telah memberikan kekuatan pada banyak
orang dalam kehidupan sehari-hari.Berbagai mode
ekspresi kelompok budaya yang menunjukan bentuk-
bentuk transkrip tersembunyi, meminjam istilah James
Scott yang di gunakan sebagai teknik reproduksi
kebudayaan asal bentuk-bentuk reproduksi justru telah
melahitkan wilayah-wilayah simbolik baru yang
35

memiliki kekuatan isolasi sangat kuat terhadap


lingkungan sekitar.
Tiga hal menjadi penting dalam konteks ini.
Pertama, pemahaman strategi adaptasisekelompok
etnis di dalam proses integrasi social di mana ia
menjadi nagian sebuah sisitim general. Kedua,
persoalan dominasi dan kendali kebudayaan lokal di
dalam memberikan corak dan warna kehidupan
individual. Ketiga, rumusan mode-mede representasi
kebudayaan asal di dalam kehidupan masakini
sekelompok orang dan sekaligus merupakan usaha
menjelaskan proses pemaknaan terhadapa suatu
kebudayaan yang tidak memiliki batas wilayah
kebudayaan.

Ye Lim dan Nit Ni Wang sebagai sebuah tradisi bagi


masyarakat IslamKei di Kota Tual, tidak luput dari proses
produksi maupun reproduksi Pengertian kesadaran Islam Kei
yang dibentuk oleh sistem formatif masyarakat di sini bukan
berarti sama seperti keberadaan benda yang dibentuk
kemudian berlaku pasif dan diam. Sebaliknya, realitas sosial
obyektif tidak secara pasif diserap oleh masyarakat Islam Kei,
tetapi mereka mengambilnya secara aktif. Setiap individu di
dalam masyarakat Islam Kei di samping menemukan nilai nit
ni wang dan ye lim yang secara obyektif berada di luar dirinya,
juga menjadi data subyektif di dalam kesadaran. Identifikasi
diri secara aktif, ini mengisyaratkan terbentuknya individu di
dalam masyarakat, yang selain ikut memproduk dunia sosial
juga memproduk dirinya sendiri. Artinya, identifikasi diri ini
merupakan sebuah momen dalam proses yang bersifat
dialektis, di mana Islam Kei adalah individu yang diproduk
masyarakat, melalui proses pentradisian. Di samping itu,
36

masyarakat Islam Kei bukan sosok pasif dan diam, tetapi


selalu terlibat dalam proses pengambilalihan kenyataan
obyektif kemudian dimodifikasi secara kreatif sesuai
perkembangan zamannya.
Mengacu pada konsepBerger dan Luckmann
menyebut momen ini dengan istilah internalisasi. Keseluruhan
proses dialektik itu menjelaskan bahwa kesadaran manusia
dan struktur bukanlah dua hal yang eksklusif. Artinya, realitas
tidak dapat semata-mata cukup didekati secara
struktural.Dengan menunjukkan momen hubungan dialektik
ketiga momen, yaitu eksternalisasi, obyektivikasi dan
internalisasi dalam pola keberagamaan Islam Kei, penelitian
ini ingin mengedepankan mekanisme pemberdayaan diri
mereka sebagai subyek.Subyek dapat mengolah secara
seimbang kebudayaan (balanced absortion of culture) dan
menginternalisasikan ke dalam dirinya. Penyerapan budaya
obyektif yang seimbang dapat berfungsi sebagai seperangkat
subyek untuk menciptakan substansi kepribadiannya yang
terolah atau termekarkan (cultivated individu). Konsep ini
menunjuk kepada kapasitas manusia dalam menyempurnakan
kepribadian dengan mengasimilasikan dan menginternalisasi
pengaruh-pengaruh eksternal ketika berhadapan dengan
wilayah-wilayah personal. Konsep ini sebanding dengan
proses aktif deobyektivikasi, yakni sebuah proses rekonsiliasi
bagi kontradiksi internal kebudayaan; rekonsiliasi antara
budaya obyektif dengan subyektif.
Temuan data tentang bagaimana Islam Kei
mengkonstruksi pola-pola keberagamaan mereka, dengan
pendekatan teori konstruktivis pada penelitian ini, membuka
ruang kritik bagi teori-teori sosial yang menggunakan
pendekatan struktural-obyektivistik untuk melihat pola-pola
keberagamaan yang berkembang di lingkungan
37

masyarakat.Sebab, teori-teori tersebut pada hakekatnya lebih


cenderung memiskinkan kenyataan sosial pada dunia sosio-
kultural mereka, termasuk meremehkan kemampuan Islam Kei
sebagai subyek yang aktif di dalam membangun realitas
keberagamaan sesuai dengan zamannya.1
Sehubungan dengan persoalan di atas, untuk lebih jelasnya
bagaimana konsep yang dimaksud mampu mengarahkan
peneliti di lapangan ada baiknya di lihat skema konsep
kerangka pikir penelitian di bawah ini.

1Bandingkan dengan pendekatan yang pernah dipopulerkan

Anthony Giddens yang mengatakan bahwa pemikiran fungsionalis dan


strukturalis adalah ―imperialisme obyek sosial atas subyek, atau tradisi
yang memberi prioritas pada struktur (structure) dengan merelativir
pelaku(actor).Proyek Giddens ini selanjutnya dikenal dengan teori
strukturasi. Lihat B. Herry-Priyono, Anthony Giddens: Suatu Pengantar
(Jakarta:Gramedia, 2002), h. x.
38

SKEMA KONSEP KARANGKA PIKIR

ISLAM KEI

INTERNAL PRODUKSI
OBJEKTI
TRADISI YELIM
ISASI DAN FASI
NITNIWANG

EKSTERNALI
SASI

INTERNAL REPRODUKSI OBJEKTI


TRADISI YELIM
ISASI DAN FASI
NITNIWANG

EKSTERNALI
SASI

TRADISI YELIM
DAN NIT
NIWANG
39

BAB III
TIPOLOGI MASYARAKAT KEI

BUKU hasil Penelitian ini dilaksanakan di Kota Tual


meliputi empat kecamatan yaitu : Kecamatan Dula Selatan,
kecamatan Dula Utara, Kecamatan Tayando Tam dan
Kecamatan Pulau Kur. Empat kecamatan ini dipilih secara
sengaja (purposive sampling) dengan alasan : daerah atau
Kecamatan- kecamatan tersebut adalah mayoritas penduduk
yang adalah komunitas adat yang masih tetap membudayakan
tradisi ye lim dan nit ni wang.
Kepulauan Kei sebelum dimekarkan menjadi
beberapa Kabupaten dan Kota, berada dalam satu Kabupaten
yakni Kabupaten Maluku Tenggara, di bagi dalam dua
pengelompokan besar yang popular dengan sebutan Kei Kecil
dan Kei Besar. Disebut Kei Kecil oleh karena komunitas
masyarakat Kei yang mendiami pulau- pulau kecil, sementara
yang mendiami pulau besar disebut Kei besar. Lalu kemudian
setelah adanya pemekaran wilayah, sebahagian wilyah Kei
Kecil secara teritori masuk dalam wilayah Kota Tual,
sementara wilayah Kei Kecil lainnya bergabung dengan Kei
Besar menjadi Kabupaten Maluku Tenggara yang ibu Kota
Kabupaten berada di Langgur.
Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual,
sebagaimana Kabupaten lainnya di provinsi Maluku,
merupakan daerah kepulauan, berada dalam dua iklim yakni
musim panas dan musim hujan.

Perkembangan Penduduk Karena merupakan daerah


pemekaran dari Kabupaten Maluku Tenggara, maka
penyebaran penduduk diKota Tual sejak Tahun 2000
berkembang dengan pesat. Dengan luas wilayah daratan yang
40

tergolong kecil, jumlah penduduk Kota Tual berdasarkan


hasilSensus Penduduk 2000 adalah sebanyak38.194 jiwa,
dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 108 orang per
Km². Dengan Laju PertumbuhanPenduduk sebesar 2,03
persen, jumlah penduduk Kota Tual pada Tahun 2010
mencapai 85.259 jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduk
sebesar 154 orangper Km².

Jumlah Penduduk Kota Tual Menurut Jenis Kelamin dan


Kecamatan Thn. 2011

30,000

25,000

20,000

15,000 laki-laki

10,000 perempuan

5,000

0
P.P. Kur Tayando Dullah Dullah
Tam Utara Selatan
41

Banyaknya Pencari Kerja Yang Mendaftarkan Diri pada


DinasSosial, Tenaga Kerja Kependudukan dan Catatan
Sipil Kota Tual
Menurut Tingkat Pendidikan 2011

SISA TAHUN PEN- PER-


TINGKAT PENDIDIKAN
LALU DAFTARAN MINTAAN
1 2 3 4
Sekolah Dasar 3 - -
SLTP 61 1 -
SMU 2 237 26 50
Akademi/DiplomaII & III 242 2 70
Universitas/Diploma IV 666 5 98
Total 3 209 34 218

Berangkat dari kondisi geografis dan lingkungan


alamnya, untuk mempertahankan hidup, rata- rata masyarakat
Kei hidup dengan pola bertani dan nelayan, disamping
berprofesi sebagai pegawai negeri sipil, TNI dan polri, serta
berwirausaha dan lain sebagainya. Masyarakat atau
komunitas Kei merupakan salah satu etnis terbesar di Provinsi
Maluku, mereka tersebar hampir pada semua Kabupaten Kota
di Provinsi Maluku bahkan diluar Maluku.Dengan kondisi alam
yang tropis dan kurang menjanjikan generasi- generasi
selanjutnya terdorong untuk berkiprah pada rana pendidikan.
Hal ini dibuktikan dengan keberadaan dan animo mereka
untuk mengikuti kuliah pada beberapa perguruan Tinggi di
Maluku bahkan di luar Maluku berdasarkan Jenjang
Pendidikan
Dari aspek agama, masyarakat Kei adalah masyarakat
yang sangat plural.Agama dan kepercayaan yang dianut
42

masyarakat Kei adalah selain Islam, Kristen Katolik, Kristen


protestan serta Hindu
Untuk menunjang oreintasi peningkatan pendidikan,
sebagaimana gambaran kondisi sosial di atas, berbagai
sarana pendidikan telah tersidia mulai dari tingkat dasar
hingga perguruan tinggi. Dalam aspek spiritual, berbagai
sarana- sana ibadah telah tersedia, baik Masjid, gereja dan
rumah ibadah bagi penganut hindu.
Tabel tentang lembaga- Lembaga Pendidikan
Gedung Ruangan
Tingkat Murid Guru
Sekolah Kelas
1 2 3 4 5
1. TK 9 18 370 33
2. SD 53 318 10.313 609
3. MIN 10 66 1.725 190
4. SMP 19 115 4.218 396
5. MT.s 5 18 515 57
6. SMU 12 91 3.016 300
7. MA 1 3 140 14
Jumlah 109 626 20.297 2741
43

Perguruan Tinggi

Jumlah
Mahasiswa
Nama Status Jurusan
Laki- Perem
laki puan
1 2 3 4 5
1. Politeknik THP, TBP,
Negeri 275 250
Perikanan TPQ dan AGP
Studi
pembangunan
2. STIE
Swasta dan 276 203
Umel
Manajemen
keuanagn dan
3. STIA Adm Negara
Darul Swasta dan Adm 210 260
Rachman Niaga
4. STIT As-
Swasta Tarbiyah 140 384
Salama
Jumlah 761 1.079

A. Tipologi Masyarakat Kei Menurut pembagian Leluhur


1. Pemerintahan dan Pemerintahan Desa
Pada dasarnya Negara Indonesia merupakan
Negara yang merdeka, di mana telah mengalami proses
perjuangan yang sangat panjang dalam mempertahankan
kepribadian dan identitas bangsa ini. Tentu di dalam
sebuah Negara yang telah merdeka pasti mempunyai
susunan dan komposisi pemerintahan yang berfungsi
sebagai media dan sarana dalam mengatur kedaulatan
Negara, keutuhan Negara, kebudayaan etnis dalam
44

Negara, hingga pada pendidikan dan ekonomi.


Pemerintah sebagai mediator dan fasilitator, mempunyai
susunan komposisi dalam mengatur sub-sub
pemrintahan, yang di mulai dari Presiden sebagai kepalah
Negara, kepalah pemerintahan wilayah (Gubernur),
Walikota, Bupati, Camat dan kepalah Desa.
Dalam satu etnis bangsa, Indonesai merupakan
salah satu dari sekian banyak Negara-negara di dunia ini
yang memiliki tradisi dan budaya-budayanya
tersendiri.Seperti halnya Indonesia, kultural (adat istiadat),
sudah menjadi satu komponen sebagai identitas objektif
sehingga telah menjadi ciri khas dari bangsa ini.Selain
dari pada pemerintah sebagai tapal kepemimpinan
struktural yang bergerak pada urusan-urusan
kenegaraan.Di Indonesia sendiri dalam satu sisi,
mempunyai tradisi adat istidat yang tentunya mempunyai
tapal kepemimpinan dalam ranah adat istiadat.berbicara
tentang kepemimpinan di Indonesia. Clifford Geertz di
dalam karya bertema Islam Observed.menemukan
perbedaan corak Islam Maroko yang puritanis dan Islam
Indonesia yang sinkretis. Bahkan, di dalam karya
penelitiannya tentang Agama Jawa, Geertz secara lebih
khusus lagi membagi dalam beberapa varian: Abangan,
Santri, dan Priyayi.
Pemerintahan kuvni desa menurut UU. No. 5 tahun
1979 adalah : suatu wilayah yang ditempatu oleh
sejumlah penduduk sebagai salah satu kesatuan
masyarakat, termaksud kesatuan masyarakat hukum
mempunyai oraganisasi pemerintahan terendah langsung
dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah
tangganya sendiri dalam lingkungan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Apabila dibuat suatu perbandingan
45

antara lembaga pemerintah adat (lembaga adat) yang


ditetapkan oleh para datuk dengan lembaga pemerintah
desa menurut UU.No. 5 Tahun 1979 bersama mekanisme
tugas dan tanggung jawabnya maka dapatlah dikatan
bahwa rumusan uaraian tugas ini dari kepala desa
menurut UU. No 5 tahun 1979 dengan berbagai tantangan
dan ketertinggalan kelembagaan adat yang kelihatannya
di dalam uraian tugas ini lebih banyak mengarah kepada
peranan lembaga dalam hal menstabilisir kehidupan
masyarakat dari perbuatan sewenag – wenag sedang
pembangunan di sektor kehidupan masyarakat yang lebih
luas belum terlihat. Denagan demikian kami mencoba
merumuskan struktur kelembagaan adat sebagai berikut :
2. Pembinaan dan Pengembangan Adat dalam
Penyelenggaraan Pemerintaha Desa
Peranan Lembaga adat dalam menunjang
pelaksanaan atau penyelenggaraan pememrintahan desa.
Manusia dimana saja dan kapan saja ternyata
melakuakan hal yang sama yaitu manusia itu hidup di
dalam kelompok dan cenderung hidup berkelompok. Oleh
kecenderungan itu yang adalah kecenderungan
manusiawi, manusia yang hidup di dalam kelompok itu
mengorganisir diri dan kelompok. Mereka membentuk
masyarakat, membuat aturan-aturan bersama,
membentuk ikatan-ikatan idiologis, yang penampakannya
antara lain dalam wujud kebudayaan tradisi dan nilai-nilai
buadaya masyarakat dan kemudian kita kenal itu semua
tercakup di dalam wadah kebudayaan dan tradisi. Tidak
diketahui secara pasti sejak kapan manusia membiasakan
hidup secara berkelompok tetapi sejarah telah
membuktikan bahwa masyarakat yang paling kecil
berpindah – pindah menjalankan pola kehidupan yang
46

demiakian maka itu, orang lantas mengatakan bahwa


itulah hakekat manusia sebagai makhluk sosial.
Pengertian lebih lanjut ialah masyarakat atau sekelompok
manusia yang hidup di dalam suatu ikatan satu sama lain
tinggal menetap dan memiliki aturan main bersama yang
mempola dan diajarkan daru generasi ke generasi
masyarakat yang hidup di kaeasan 432 pulau inipun
mengalami hal yang demikian. Khususnya mengenai
pengorganisasian masyarakat dan lebih khusus lagi soal
kekuasaan.
Di kepulauan Kei atau tanat evav, Kepulauan Kei
sebelum dimekarkan menjadi beberapa Kabupaten dan
Kota, berada dalam satu Kabupaten yakni Kabupaten
Maluku Tenggara, di bagi dalam dua pengelompokan
besar yang popular dengan sebutan Kei Kecil dan Kei
Besar. Disebut Kei Kecil oleh karena komunitas
masyarakat Kei yang mendiami pulau- pulau kecil,
sementara yang mendiami pulau besar disebut Kei besar.
Lalu kemudian setelah adanya pemekaran wilayah,
sebahagian wilyah Kei Kecil secara teritori masuk dalam
wilayah Kota Tual, sementara wilayah Kei Kecil lainnya
bergabung dengan Kei Besar menjadi Kabupaten Maluku
Tenggara yang ibu Kota Kabupaten berada di Langgur.
Selain dari pada pemerintah struktural kota tual
dan kabupaten Maluku tenggara, dan sebagaimana di
daerah-daerah di provinsi Maluku, wilayah kepalauan Kei
juga memiliki pemerintahan adat, yang disebut dengan
Raja, Kepala Soa, dan orang kay.
Dalam konstruksi social pada masyarakat Kei,
terdapat tiga tatanan atau pengelompokan masyarakat
berdasarkan kompetensi yakni :Adaat (masyarakat
pemangku adat), Kuvni ( pemangku kebijakan dibidang
47

pemerintahan), serta Agam (yang memiliki keahlian


dibidang Agama). Realitas ini memiliki korelasi,
sebagaimana yang digambarkan oleh Geertz, misalnya
dalam The Religion of Java membagi masyarakat Jawa
dalam tipologi Abangan, Santri, dan Priyayi.

3. Pemerintah Adat (Adaat)


Di kepulauan Kei terdapat kelompok-kelompok
atau marga-marga yang di percayakan menjalankan adat
Kei. Dari segi historis sejarah, masyarakat Kei memeliki 3
(tiga) lapisan masyarakat yang terdiri dari adaat, kuvni,
dan agam, hal ini telah di atur oleh nenek moyang telah
meletakan marga-marga dalam 3 bagian yang mengatur
tentang tugas dan tanggung jawab mereka dalam
menjalankan peranan dari ke tiga unsur instrumen
masyarakat Kei yang terbagi dalam tipologi-tipologi yaitu
Adaat, Kuvni, dan Agam.

a. Penjelasan Struktur Kelembagaan Adat , Raja,


Orongkai, Kapitan (Viska) Pati Hakim Pulau (
dalam status sebagai kepala desa)
1) Melaksanakan Tugas Sebagai Kepala Adat
Didesanya
- Menylesaikan setiap permasalahan yang
ditimbulakan oleh masyarakat desanya
yang apabila menurut sifatnya kepala desa
sebagai pemangku adat di desa harus
menyelesaikan
- Melaporkan kepada raja, perkara – perkara
adat yang menurut sifatnya harus
diselesaikan di tingkat raja Ratshap/hakim
Pulau pada saat raja membuka siding adat.
48

2) Memimpin asyarakat di dalan melaksanakan


keamanan dan ketertibabn dalam desa.
- Bersama perangkat lainnya memimpin
masyarakat dalam pelaksanaan kerja negeri
/dsaBersama masyarakat bertanggung jawab
mempertahan kan hak milik desa terhadap
perlakuan sewenag – wenang dari pihak luar.
- Bertanggung jawab atas kehidupan
masyarakat, keluar apabila diminta dari raja
ratshap kalau menyangkut desa tetangga
/pemerintah kepada pemerintah setelah
masuknya pemerintah belanda sampai
sekarang.
3) Kepala Soa membantu Orongkai melaksanakan
tugas sehari – hari di bidang kemasyarakatan
dan pembangunan.
4) Memimpin beberapa mata rumah dalam desa
dalam hal menyelesaiakan permasalahan dalam
keluarga mata rumah apabila menurut sifatnya
dapat diselesaikan saja dalam mata rumah : dan
apabila para pihak tidak mendapat titik temu
penyelesaian maka dilaporkan kepala Orongkai
(kepala desa) untuk menyelesaiakan.
a) Santri bertugas membantu kepala desa dan
kepala Soa mengkoordinir masyarakat mata
rumahnya dalam melaksanakan tugas
pekerjaan negeri / desa dan tugas – tugas
lainnya langsung melaporkan serta memberi
visi adat kepada Orongkai (kepala desa).
b) Menyelesaiakan setiap permasalahan yang
timbul dalam masyarakat mata rumahnya
apabila tidak ditemukan titik penyelesaian
49

maka dilaporkan kepada kepala Soa untuk di


lanjutka kepada Orongkai guna mendapat
penyelesaian.
5) Marin bertugas menyampaikan perintah Orongkai
kepada kepala desa) kepala masyarakat tentang
tugas –tugas negeri (desa).
6) Bertugas menyampaikan surat / berita dari kepala
desa kepada raja ratshap atau pemerintah serta
tugas – tugas lain apabila diperlukan oleh
Orongkai (Kepala Desa) .
b. Penjelasan Struktur Pembagian Adat Tertinggi
Dalam Fungsi Sebagai Peradilan Adat Tertinggi
1) Tugas dan Fungsi
Struktur kelembagaan adat tertinggi ini dibentuk
oleh pemerintah belanda yang lazim disebut RAAD
VAN HOVDEN. Karena di kepulauan Kei telah
lengkap struktur lemabaga peradilan adat diatas
maka pada beberapa pulau seperti di barbar,
Luang Sermatang, Leti Moa Lakor, Romang damer
oleh pemerintah belanda ditunjuk sebagai hakim
pulau kecuali Kissar. Untuk itu segala perkara adat
yang timbul di dalam masyarakat dan tidak dapat
diselesaikan oleh :

Orongkai (sebagai pemangku adat setempat /raja


sebagai pemangku adat dalam Ratshap (pulau),
maka oleh pemrintah menunjuk sekian raja/hakim
pulau dengan diketahui oleh seorang raja tertua
dalam kedudukan sejarah guna mengetahui siding
tersebut, sampai ditingkat peradilan tingkat ini
keputusan benar salahnya sesorang (terdakwa)
tidak akan dibantah oleh para pihak yang
berperkara.tingkat peradilan tinggi ini dihadiri oleh
50

hanya para raja bersama kapitan. Untuk


menyamai susunan kelembagaan adat di
kepulauan Kei maka oleh pemerintah belanda
menetapkan para hakim pulau dari Pp. Barbar,
luang, sermatang , Leti Moa, lakor, damer dan
Romang tentang struktur kelembagaan adat
terlampir. sedangkan menyangkut susunan
pemerintahan adat gambarannya adalah :

2) UUN RAT (Raja)


- Raja dalam kedudukan sebagai
kepala/pemimpin adat atas sekian banyak
masyarakat desa – desa dalam wilayah
kekuasaan.
- Raja di dalam desanya berkedudukan sebagai
kepala desa di dalam desa kediamannya(Pusat
Rat Shap) .
- Raja bertugas memimpin siding/ musyawarah
adat di wilayahnya setelah menerima laporan
dari kutipan (Viska) dan Orangkai (Hilaay) di
pusat Ratshap/desa – kediaman raja atau di
desa mana yang dikehendaki oleh raja.
3) Viska (Kapitan)
Sebgai panglima perang (Tugas pertahanan
dan keamanan) mewakili raja apabila raja
berhalangan hadir dalam suatu musyawarah
adat.
- Melakukan tugas kepala desa di desanya
sebagai koordinator.
4) Hilay (Orongkay)
Melaksanakan tugas sebagai kepala adat yang
sekaligus kepala desa di desanya.Melaporkan
kepada raja perkara adat yang tidak dapat
51

diselesaikannya agar diselesaikan oleh


raja.Menyelsaikan hal – hal kemasyarakatan
lainnya.
5) Teen Yaan ( Soa / Orongtu)
- Memimpin sejumlah masyarakat beberapa
mata rumah di dalam desa kediaman orongkai
atau dusun.
- Membantu Orongkai dalam melaksanakan
sebahagiaan tugasnya (Tugas Kades)
- Mewakili dalam memimpin musyawarah desa
Orangkai berhalangan hadir dalam
penyelesaian sesuatu masalah dan hasilnya
dilaporkan ke para Orangkai.
- Berhak menyelesaikan berbagai masalah
yang timbul di dalam kehidupan masyarakat
yang dipimpinnya apabila menurut sifatnya
masalah itu cukup diselesaikan sendiri dan
dalam penyelesaiannya harus melibatkan
Saniri mata rumah di dalam pengambilan
keputusan tusannya.
Jabatan Teen-Yaan (Soa) ada yang self
standing di dalam arti menjadi kepala/pemimpin di
desanya mempunyai petuanan sendiri tetapi
umumnya Soa ini berkedudukan di desa
raja/Orongkai.

6) Saniri (Viska)
- Berfungsi sebagai perwakilan masyarakat dari
mata rumahnya/marganya dan menyampaikan
aspirasinya pada setiap kali ada musyawarah
desa.
- Mengatasi setiap permasalahan yang timbul di
dalam mata rumahnya.
52

- Member visi pertimbangan kepada kepala desa


menyangkut kehidupan masyarakat desa itu.
7) Tul Snoo (Marin)
Bertugas menyampaikan perintah
raja/Orongkai/Soa self atanding kepada
masyarakat di desanya.Selain itu pula terdapat
jembatan Rohaniwan yang disebut Metuduan
yang dijabat oleh Tuan Tan atau salah seorang
yang dituahkan dalam desa itu, bertugas
sebagai imam yang memimpin masyarakat
dalam penyembahan9membaca mantera
kepada yang gaib). Tugas ini dilakukan pada
saat orang mati, orang kawin, tutup rumah baru,
membuka kebun baru, menuai hasil perdana ,
oaring berlayar menolak bala (penyakit) bahkan
semua yang menyangkut hal hidup sebelum
masuknya agama dan kepercayaan kepad
tuhan Yang maha Esa. Dalam hal ini
menyelesaikan suatu perkara adat maka
proses penyelesaiannya adalah berjenjang
yaitu dari jenjang terendah yakni Saniri sampai
jenjang tertinggi yakni raja (Raat Van Holdes).
53

Struktur Kelembagaan Adat, Bagan Peradilan Adat


Ratshap/Pulau Dan bagan Lembaga Pemerintahan
Pemerintahan

Raja /Ok/kapitan /pati


Dalam Status Kepla

Soa Soa desa Soa Soa

Saniri Saniri Saniri Saniri Saniri Saniri Saniri


Saniri

Marin

Bagan Peradilan Adat Ratshap/Pulau

Raja/Hakim Pulau

Orongkai Kapitan Orongkai

Viska
Soa Soa Oro Soa Soa Soa

Jenjang Raat Van Holdesngt ini dibuka, apabila ada timbul


perkara perdata antar ratshap/antar desa yang tidak/belum
u
dapat diselesaikan di tingkat tersebut (Tingkat Raat Van
Hovden) yang menghadirkan raja dan Kapiran dari semua
Rashap.Lembaga ini ternyata cukup berhasil dalam
menjalankan tugasnya, dan ternyata sampai saat ini oleh
54

Pemerintah daerah Tingkat II Maluku Tenggara pernah


mempercayakan lembaga ini dalam menyelsaikan perkara
adat antar desa dan ternyata sukses.

Apabila susunan pemerintah desa secara adat


dialihkan dari uraian diatas ke system bagan (struktur) maka
akan terlihat bentuknya sebagimana terlampir. Pmerintah adat
di kepulauan lainnya pada umumnya sama dengan
pemerintah adat di kepulauan Kei ; kalaupun ada perbedaan
maka lebih banyak menyangkut soal peristilahan sebagai
akibat dari perbedaan tutur bahas yang digunakan. Hal yang
paling mendasar dalam pemerintahan adat 9 desa adalah
personil yang akan memangku jabatan adat, sebab jabatan
pemerintahan secara adat di daerah ini cara penempatannya
berdasarkan keturunan dalam arti siapa sebagai apa sudah
diatur /ditentukan dan hal ini masih berlaku hingga kini. hal
mana dapat terlihat setelah berlakunya UU.No.5 tahun 1979
tentang Pemerintah Desa, maka jabatan kepala desa masih
tetap dijabat oleh raja, Orongkai, pati, Kapitan, soa Self
Standing, atau keturunannya yang tentunya disesuakan
dengan persyaratan yang diatur dalam Undang – Undang
tersebut. Ini merupakan gambaran kepada kita, betapa masih
kuatnya pengaruh adat dalam proses penentuan kepala desa,
hal mana sepanjang menunjang pembangungan Nasional
maka tetap sinkron dengan Undang – Undang No. 5 Tahun
1979. Hal ini mengingatkan kita agar terhindarnya dualism
kepemimpinan di desa maka kepala adat adalah kepala desa
dengan syarat factor keturunan dan tuntutan Undang –
undang No. 5 tahun 1979 harus diperhatikan sungguh, begitu
pula LMD dan perangkat desa.
Pemanfaatan petuanan dalam rangka menunjang
penyelenggaraan pemerintahan desa. Harta desa di daerah ini
dibagi dalam 2 macam :
55

a. Yang diperoleh karena proses perkawinan (Yan Ur


Mangohoi) seperti emas, lola, gong, Gading gajah
dan lain – lain.
b. Yang diperbolehkan karena peperangan atau
penyerahan semanjak leluhur seperti daratan dan
“Meti” yaitu bagian pantai yang masih terang warna
dasarnya waktu air pasang dan waktu air surut jadi
kering yang untuk selanjutnya daratan dan meti
keduanya disebut petuanan.
Yang bertugas mengurus harta desa adalah :
a. Barang – barang yang berhubungan dengan upacara
adat atau kerihanian diurus oleh Metuduan.
b. Tanah dan meti diurus oleh kapitan (ditingkat raja
Ratshap).
c. Barang – barang lainnya oleh kuasa – kuasa yang
disebut Kwaas semuanya bertanggung jawab kepad
kepala adat secara berjenjang.
Didaerah ini dikenal juga persekutuan yang
berdasarkan kesamaan keturunan bapak (Patrilinieal) yang
disebut “ Rahanyam” atau Rahanwirin dan mempunyai harta
kekayaan tersendiri. Harta tersebut diurus oleh kepala
Rahanyam yang disebut Teenyaan. Untuk mengisi kas desa
maka salah satu sumber yang perlu diperhatikan ialah
petuanan (tanah dan Meti) sebagai usaha penanaman jambu
mente kelapa hibrida, budidaya rumput laut, teripang, lola dan
sebaginya.
Sedangkan untuk melindungi tanaman dan hasil laut
dari pengambilan yang semena – mena dapat diterapkan
system sasi yang dikenal dengan nama Hawearsehingga
kelestarian tanamana dan hasil laut dapat terpelihara. Sebab
dari pemasangan sasi negeri/Hawear maka masyarakat
merasa berkewajiban untuk menjaga dan melaporkan bila
56

ditemui ada yang mau mencuri. Upya – upaya pembinaan


adat istiadat lewat kerja sama dengan berbagai pihak seperti
Depdilbud KNPI dan pemuka – pemuka masyarakat dari
Kecamatan telah dibentuk sanggar – sanggar seni dari tiap –
tiap kecamatan yang diharapkan bisa menampilkan seni tari
dan seni suara tradisonal dari wilayahnya serta adanya
kegiatan lomba belang (belan) serta kegiatan lainnya seperti
kelompok pengrajin/penenun tradisional dan lain – lain.
Dengan demikian setelah menjadi penjelasan secara
terperinci semua tugas dan tanggung jawab perangkat
kelembagaan adat sesuai ulasan diatas maka apabila
disesuaikan denga U.U No. 5 tahun 1979 maka tidaklah
berbeda jauh bahkan di dalam undang – undang No.5 tahun
1979 tersebut secara pragmatis / praktis telah menjawab
berbagai hal mengenai tugas kepala desa yang dalam
kedudukan adatdisebut Orongkai. Khusu bagi Daerah Tingkat
II Maluku Tenggara justru kondisi adat dan kebiasaan masih
kuat sehingga kedudukan kepala desa masih tetap berada
pada mereka yang punya hak sebagai Orongkai sepenjang
pribadi yang bersangkutan memiliki tingkat pendidikan sesuai
yang dikendaki oleh U.U No. 5 tahun 1979. Pertimbangan lain
yang dilihat ialah apabila kepal desa beralih tangan kepada
pihak yang bukan punya kedudukan dalam kursi adat maka
jelas akan terjadi dualism kepemimpinan yang akhirnya
melahirkan kehancuran di dalam kehidupan bermasyarakat
adat di daerah ini, dengan sendirinya pembangunan desa
tidak akan berkembang maju sesuai apa yang diharapkan.

Tinggalah permasalahan ialah motifasi apa yang


nantinya digunakan oleh pihak pemerintah sebagai upaya
guna mendinamisir fungsi, tugas dan tanggung jawab lembaga
ini secara berdayaguna dan berhasil guna didalam pembinaan
57

dan pengambangan adat istiadat di tingkat desa sesuai


peraturan menteri dalam negeri Nomor 11 tahun 1984.

4. Pemerintah (Kuvni)
Dalam satu daerah sudah barang tentu memiliki satu
kepemimpinan dalam meagatur, membina dan menjalankan
kehidupan sosial mereka, Nuhu Evav atau lebih di kenal
dengan kepulauan Kei, memiliki 3 (tiga) tingkatan masyarakat
yaitu Adaat, Kuvni, dan Agam, tetapi yang lebih disorot pada
bagian ini adalah PEMERINTAH atau Kuvni. Hal ini telah
terjadi dan telah di ataur oleh para leluhur sejak dahulu dalam
membijaki masyarakat Kei dalam tipologi-tipologi.Dalam
pengelompokan ini telah diatur dimana sebagian dari
kelompok atau marga-marga pada masyarakat Kei
dipercayakan untuk memangku pemerintahan atau kuvni
dalam masyarakat Kei.Tetapi seiring dengan perkembangan
dunia politik hal itu kemudian berubah sesuai dengan
kemajuan dunia politik, pemahaman politik Demokrasi
kemudian masuk dan menjadi dasar pijakan masyarakat Kei
pada saat ini untuk membijaki pemerintahan di Tanat evav
atau tanah Kei. Ciri-ciri dari dari aturan Kuvni (pemerintah)
yang telah diatur sejak dahulu oleh leluhur yang telah
dipercayakan pada marga-marga tertentu di elemen
masyarakat Kei, telah berubah dan tidak terjadi pada
pemerintahan Struktural atau pemerintahan Negara, namun
pemerintahan yang dititipkan oleh para leluhur masih terdapat
pada pemerintaha ADAT dan sampai pada saat ini, atau kata
lain pengalihan ke pemerintahan Adat, atas dasar telah di
berikan kepercayaan oleh leluhur dalam mengatur pemerintah
sejak dulu.
Seiring dengan berkembangnya zaman ke zaman alih-
alih kepercayaan pemerintahan atau Kuvni, telah menagalami
58

exchange (perpindahan) dari yang sebelumnya mengammbil


alih kepemimpinan dalam masyarakat Kei secara menyeluh,
kini telah berpidah pada pemerintahan dalam bidang
keadatan.Hal ini disebabkan disentegrasi perkembangan
politik pasca kemerdekaan Indonesia, di mana pemerintahan
struktural atau pemerintahan Negara terbentuk.
Kepulauan Kei sebelum dimekarkan menjadi
beberapa Kabupaten dan Kota, berada dalam satu Kabupaten
yakni Kabupaten Maluku Tenggara, di bagi dalam dua
pengelompokan besar yang popular dengan sebutan Kei kecil
dan Kei Besar. Disebut Kei Kecil oleh karena komunitas
masyarakat Kei yang mendiami pulau-pulau kecil, sementara
yang mendiami pulau besar disebut Kei besar. Lalu kemudian
setelah adanya pemekai an wilayah, sebahagian wilyah Kei
Kecil secara teritori masuk dalam wilayah Kota Tual,
sementara wilayah Kei Kecil lainnya bergabung dengan Kei
Besar menjadi Kabupaten Maluku Tenggara yang ibu Kota
Kabupaten berada di Langgur.

5. Agam (Agama)
Secara umum masyarakat di kepulauan Kei (Nuhu
Evav), memiliki pluralitas agama yaitu Islam, Kristen
Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha.Dengan kepluralitasnya
Agama pada masyarakat Kei, turut mengundang lehuluhur
untuk membagi kelompok atau marga-marga yang dinilai
memiliki kemampuan dalam bidang agama atau kelompok
yang bertugas dalam memangku urusan
keagamaan.Fenomologi ini bukan hanya berlaku pada satu
keagamaan tetapi berlaku pada semua agama-agama yang
ada pada masyarakat Kei.
Seperti yang sudah di jelaskan pada Adaat, Kuvni, dan
Agam bahwa, di masarakat Kei sudah memiliki sub-sub
59

embagian dalam mengatur kehidupannya yang dimana


terdapat, adaat, kuvni, dan agam, adat permerinta dan agama.
Dalam pembegian tipologi masyarakat Kei oleh parah leluhur
di lakukan agar terhindar dari ketercampuran pemngambilan
keputusan dan konflik vertikal dalam masyarakat Kei, masing-
masing dari adaat, kuvni, dan agama mempunyai sub
pekerjaan dan urusan-urusan tertentu dalam mengambil
keputusan dan kebijakan dalam masyarakat Kei.

B. Latar Historis Masyarakat Kei


1. Sebelum Masuknya Islam
Masyarakat Kei awal, dapat di jelaskan bahwa,
secara umum masyarakatKei masih mengenal
kepercayaan anisme. Juga terdapat sekelompok
masyarkat Kei yang sudah mengenal agama.di sini dapat
dilihat beberapa nama wilayah di kepulaun Kei yang
masih berpegang kepada kepercayaan animisme antara
lain :
Di wilayah Nuhu Yuut (sekarang Kei besar),
terdapat daerah-daerah yang masi menyembah sedeu
meliputi,Naejaan, Ohilub, Aad, Muun, Uwat, Maar,
Weer, Baharin, Lerohihin, Werkaa, Watuar, Kilwaat,
Satheer, Tutreaan, Waeduar, Ohirenaan, Ohiwaet,
Ohieli, Waortahid, Jamtiil, Wakoo, Riru, Kilwaer,
Watuahaan, Host, Watlaar, Ohivruaan, Renvaan,
Hangiar, Hoor dan Ohiraat, terdiri dari masyarakat
penyembah Sedeu atau menyembah kepada roh
neneng moyang.Negari-negari lainnya yang adalah
Depur, Tamadaan, Lebtaab, Lahangerit, Dumaar,
Namseer, Vidwetaan, Amar, Daniil, Taar, Vanit,
Vatraan, Ohiwatiar, Ohiteel dan Ohitait, separuhnya
diduduki masyarakat penyembah sedeu. pada negari-
60

negari sisanya seperti Ngurvuan, Ohirenaan, Numar,


Saosiulaer, Dabuut, Diaan, Ohibadar, Waab, Sumlaen,
Matuaer, Ohidiirwarat, Uuv, Abeaan, Raat, Rumuat,
Riwaw, Ohisoo, lbraan, Sathean, Vaar, Ohidjang,
Kulseer, Kalanit, Letmaan, Ngilngood, Ohiseb,
Ohitarnat, Lumaevar, Ngursuin, Ngurwul, Wuar,
Marvuun, Ohinuul, dan Ohidiir-timur hanya ditinggali
oleh penduduk penganut kepercayaan nenek moyang.
2. Setelah masuknya islam
Setelah syiar Islam yang meneyebar begitu
cepat di wilayah nusantara, kepulauan dan Maluku
dengan perlahan-lahan telah menegenal islam,
meskipun kepulaun Kei dan Maluku sudah lebih dahulu
menegenal agama lain dan kepercayaan yang di
tinggalkan oleh nenek moyang, lebih kehusus pada
kepulauan Kei, penyebagaran agama islam masuk dan
sepat pada beberapa daerah di nuhu evav atau tanah
Kei amtara lain, Negari Islam di Nuhu Tawun adalah
Dula, Ngadi dan Tual,Di Nuhu Tutut, di negari-negari
Tetoat, Ngurit, Ohiraa, Danar, Lumugorong dan Lakiil
ditemukan masyarakat Muslim.
Sedangkan di nuhu yuut atau Kei besar
terdapat masyarakat muslim pada kampung-kampung,
adalahElat, Mataholat, Tamangil, Hoat, Sungai, Ngavan,
Langgiar dan Eli; sebahagian kampung-kampung Islam
ialah Elraan, Nirung, Larat, dan Veer.
Di Tayando dan Wadir, Kuur, Kaimeer dan
Taam, ada tinggal masyarakat Islam berdampingan
dengan masyarakat penganut kepercayaan kepada nenek
moyang.
61

BAB IV
MEMAHAMI MASYARAKAT ISLAM KEY,
TRADISI SOSIALYE LIM DAN NIT NI WANG

A. Diskripsi singkat sejarahKei Kota Tual


Sebelum masuknya pengaruh agama Islam dan
bangsa Barat (Eropa) di Tual, telah ada kesatuan-kesatuan
sosial masyarakat yang teratur dan kemudian berkembang
menjadi kesatuan-kesatuan politik yang disebut negeri atau
dalam bahasa daerahnya ohoiratun, yang dikepalai oleh
seorang Raja atau Rat. Di Maluku Utara kesatuan-kesatuan
politik itu dikenal dengan boldan-boldan,yang dikepalai
dengan seorang pemimpin tertinggi yang disebut Kalano atau
juga di gelar dengan Maloko. Sedangkan di Maluku Tengah,
kesatuan-kesatuan politik itu dikenal dengan nama Negeri
atau Kampung, yang dipimpin oleh seorang Raja dengan gelar
Upu Latu, Upu Pati atau Orang Kaya. Dalam abad XV,
dikepulauan Kei muncul sebuah Kerajaan yang mencoba
mempersatukan negeri-negeri disana, yaitu Kerajaan Ohoiwur
di pulau Kei Kecil. Kemudian, pada perkembangan
selanjutnya, kesatuan-kesatuan masyarakat mulai terintegrasi
kedalam dua perserikatan adat yang besar yaitu Ur lim dan Ur
Siu. ( Pattikaihatu: 1993).
Awal terbentuknya persekutuan adat terkait erat
dengan latar sejarah lahirnya hukum Larwul Ngabal yang
menjadi pilar sosial budaya orang Kei. Dalam cerita
masyarakat lokal, dikisahkan bahwa pada zaman dahulu
dikenal seorang putri bangsawan (Raja asal Bali) benama
Ditsakmas, yang bemukim di wilayah pantai barat pulau Kei
Kecil, tepatnya Letvuan. Selama perjalanan mengelilingi pulau
itu, untuk mencari calon suami yang sepadan dengannya, dia
diganggu oleh para pembual. Gangguan itu berhasil
62

diatasinya. Pada momen lain, kakaknya yang bernama Tebut,


mengumpukan delapan Raja (Hii la’ai) untuk membicarakan
mengenai perdamaian dan keamanan di Papua ini. Dari
pertemuan itu dihasilkan atauran-aturan tentang cara
berkehidupan. Dilanjutkan dengan menyembelihan seekor
kerbau sebagai korban, namanya Hungar nar, menandai
peristiwa sejarahnya. Dagingnya dibagikan kepada Sembilan
raja, yang telah bersepakan membentuk suatu persekutuan Ur
Siu (Sembilan kepala/raja). Sisa dagingnya dibagikan kepada
raja lain yang tidak hadir pada pertemuan itu. Aturan yang
disepakati itu berlaku pada masyarakat dipulau Kei Kecil,
Pulau Dula dan Pulau Kei Besar.
Pada waktu yang bersamaan persekutuan lainnya
dibentuk dibagian selatan Pulau Kei Besar, tepatnya di
Lerohoilim, oleh Lima raja (Hii la’ai) sehingga disebut dengan
pulau Lor Lim (Lima Kepala/Raja). Seperti halnya peristiwa
sejarah pembentukan Ur Siu, lima raja ini berhasil membunuh
seekor Naga (adapula yang menyebutkan ikan paus atau ular
raksasa) dengan sebatang tombak dari Bali (Ngabal).
Dagingnya kemudian dibagikan kepada lima kelompok
masyarakat masing-masing. Kelompok persekutuan inilah
menurut ceritra masyarakatnya yang merumuskan tiga pasal
terakhir yang disebut Hukum Ngabal atau Hukum Tombak dari
Bali, sementaraempat pasal pertama yang disebut Hukum
Larwul atau Hukum Darah Merah, dari hukum adat Larwul
Ngabal (Laksono dan Topatimasang, 2004: 186-187). Itulah
sebabnya, hukum ini menjadi dasar dalam hubungan sosial
budaya dan politik yang dianut dan dilestarikan oleh
masyarakat Kei sampai sat ini.
Berdasarkan pada uraian tersebut, dapat diajukan
kesimpulan: pertama, persekutuan yang terbentuk merupakan
jawaban atas kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat
63

yang tidak teratur (chaos);kedua, ‘’darah’’ dalam kaitan itu


selalu menjadi simbol, bahwa betapa tata kehidupan
dibangun diatas pengorbanan demi tercapainya harmoni
sosial dalam bermasyarakat; dan ketiga, adanya pengaruh
Bali dan kedua persekutuan yang dibentuk. Namun demikian,
terkait kesimpulan ketiga ini, tampaknya pengaruh itu tidak
berkembang atau mempengaruhi ruang sosial budaya
masyarakatnya. Bali yang kerap identik dengan budaya dan
agama Hindu, secara faktual memberikan pengaruh sangat
sedikit dalam masyarakat Kei Kota Tual. Meski demikian,
minimal fakta itu mengukuhkan adanya jalinan budaya antara
masyarakat Kei dengan Bali di masa lampau.
Struktur pemerintahan adat Kei, yang terdiri dari Lor
lim dan Ur Siu, menempatkan tual dalamLor lim (terdiri atas
enam negeri: Tual, Tetowat, Nerong, Fer, Rumat dan Ibra)
dengangelar rajanya adalah Tuble, dengan jumlah anggota
persekutuan sebanyak. Sementara pengendali kelompok Ur
Siu (terdiri dari delapan negeri: Danar, Wain, Dula
Ohoitahit,Jamtel, Watlar dan Ohoilimwaf) adalah Ar Nuhu
yakni gelar Raja negeri (ratschap) Danar. (Pattikaihatu: 1993).
Pada masa Kolonial kedua persekutuan
tersebutberlanjut, dengan sedikit mengalami penyesuaian
istilah pemerintahan yakni ratschap. Kusus kelompok Lor Lim
terdiri dari: Ratschap Tubab Yamlim dengan gelar Rat Bomav,
Ratschap Lor Ohoitel bergelar Rat Ihibes, Ratschap Rumat
dengan gelar Rat Songli, Ratschap Ibra dengan gelar Rat
Kirkes, Ratschap Tual dengan gelar Rat Tuvle, Ratschap
Tetowat dengan gelar Rat Yarbadan, Ratschap Ohoilim Tahit
dengan gelar Rat Yab, Ratschap Ohoilim Nangan dengan
gelar Rat Manyeu, Ratschap Kilsoin dengan gelar Rat Kilsoin,
Ratschap Ub Ohoi Fak dengan gelar Ub Ohoi Fak, dan
RatLorlobai.
64

Kesatuan-kesatuan masyarakat adat lainnya yang


termasuk kelompok ursiu adalah Ratschap Danar dengan
gelar Rat Famur, Ratschap Wain dengan gelar Nen Dit
Sakmas, Ratschap Dula dengan gelar Rat Baldu, Ratschap
Meel ohoinean dengan gelar Rat Kel el, Ratschap Maur
dengan Gelar Rat Barvav,Ratschap Ohoitahit dengan gelar So
Mas, ratschap Mel Um Fit dengan Rat Me Um Fit, Ratschap
Somlain dengan gelar Rat Mantilur, Ratschap Kilmas dengan
gelar Rat Sunglait, Ratschap Madwairdengan gelar Rat
Magrib, dan Ratschap Banda Eli dengan gelar Rat Wear.
Berdasarkan penuturan dari Atabad Tamher
menceriterakan bahwa:“orang pertama yang mendiami
Ohoi Letman adalah Kud Ohoimas sekeluarga. Orang
tuanya mangkat dan Kud ohoi mas serta kaka
perempuannya Masneu Ohoi mas yang mendiami Ohoi
Letman.
Pada tahun kurang lebih 1330 Kurbib Tamher beserta
6 saudaranya tibah di pulau Muar (nama Tual
sekarang) persisnya di pantai sebelah selatan warah,
maka kata singgahan Tua asal mula Ohoi Tua menjadi
Tual tempat persinggahan tadi ditandai dengan pasir
yang di bawa dari Luang dan di sebut Ngur
Ketsoblak.Saudara tertua bernama Sawe Maswatu ke
Kur Utara menjadi raja disana dengan gelar Rat
Kilmas. Kurbib Tamher tetap di Tual dan pemilik tanah
Taloi Renfan memberikan tanah kepada Kurbib
Tamher dari Krid Rayar (ho ket) ke howar kamisalit dan
dari yarler ke namngil vavo. Tanah diberikan kepada
Kurbib khair. Korbibi khoir mtam he (her) Kurbib khoir
Tamher--- Kurbib Tamher. Kurbib menjadi Raja Tual
tahun 1330.Kanal babel ke Danar dan menjadi raja di
sana dengan gelar Rat Famur Danar. Muhammad
65

mengantar kakaknya ke Danar, terus dari Danar


Muhammad ke Langgiar di sana dia di panggil Oebtim
matdoan. Nama Oebtim karena tempat air minumnya
dari perak. Orang Kei belum kenal logam perak yang
mereka kenal adalah logam emas dan timah.
Romteur ke Langgiar Har menjadi Raja disana
menggantikan mertuanya Rat Rakes Rahalus. Pada
generasi ke 14 Vavot Rahalus pindah ke Ohoi
Vaitmengawini Bainvok anak dari Rat Kat El Ohoi
Nangan dan Kubang Renwarin dan mendapat anak
Kud, Notan, Ingrat, Yahau, boo, Tubik, Airoan.
Selanjutnya Tawadan kepulau Ujir dan menjadi Raja
Ujir dengan marga(fam)Baubesi.
Skar (sukar) ke Pulau Amar dan menjadi Raja di sana
dengan gelar Rat Amar. Saudara perempuan mereka
yang pertama bernama Binuas ke Bone lalu menikah
dengan sultan Bone dan keturunannya sampai ke
kesultanan Solo.
Taloi Renfan bersama masyarakat tinggal di Ohoi
VihanKilnam dekat Dumar, Kurbib di Ohoi Kafir.
Masyarakatnya terdiri dari marga (fam) Rumluan,
Kavanubun serta ren-ren Rahangil Ubun, Rahalus
Ubun dan Narubun.Terbentuk Ohoi Tua (Tual) pada
tahun 1330 Korbib mengawini kakak Kud bersama
Masneu mendapat seorang putra yang bernama Koit.
Kud mengawini adik Taloy Renfan bernama Kilin
mendapat seorang putra bernama Lesnau Ohoimas.
Kurbib beserta Masneu dan Kud pergi tinggal
sementara dipulau sebelah utara diberi nama pulau
Ohoi Mas karena korbib membawa emas yang banyak
dari Luang Sarmata..
66

Lebih lanjut, Atabad menuturkan bahwa asal mula


orang Tual, berdasarkan sejarah lisan beliau
menjelaskan bahwa“ dari delapan bersaudara
bernama Najamudin, beliau salah satu sultan di Basrah
dengan nama sultan Isa. Sultan Isa bersama Istri dan
adik laki-lakinya bernama Nabata ke Padang tahun
1295 dan sultan Isa bersama istrinya pergi ke Bima
tetapi mereka dengan kapal mereka tidak singgah di
Bima melainkan turun di Luang dengan membawa
harta yang banyak.
Kedelapan anak lahir di Luang. Kurun waktu 34 tahun
(1296-1330) mereka berdiam di Luang. Orang tua
mereka kembali ke Basrah-Irak.
Rat Koit (generasi ke 2) menikah dengan Rat Matwair
mendapat anak 3 orang. Seorang putera bernama
Yamlim, 2 orang putri bernama Dit Luan dan Masneu.
Koit menjadi Raja menggantikan ayahnya pada tahun
kurang lebih 1360.
Kurbib menciptakan hukum Reet Tabal pada tahun
1331 dan Kud Ohoi Mas bergabung, maka ada kalimat
Lodar-Nara(Lodar tua – Nara Letman) setelah Kud
Kawin Kilin Renfan dan Kurbib kawin dengan Masneu
Ohoi mas maka ada Let (hubungan). Istilah Kei, let an
tubtub ne dud an loloi. Hubungan ke ohoi yang sepih.
Letman (hubungan sepih – hubungan bisuh) karena
penghuninya sedikit.
Dit Luan menikah dengan Taloi Renfan mendapat anak
Tim Rungur. Mas kawin Dit Luan (Ditvilin) adalah tanah
dari Vat Madir, Ken Kavurtaiviak, Temat Vovra, Vat
Ving, Kan Laloy Waer Dab, Vavu Hablang (nuhu
kanutun), Detsin, Faut, Laer Lor, Hoar Sbad, Vat Bau,
Namngil Vavo ke Vat Madir.Lesmau Ohoimas menikah
67

dengan Masneu Tamher dapat anak Koor Ohoi Mas.


Maskawin Masneu (Masneu Vilin) adalah: Mete Fair
dari Utara ke selatan bagian Timur.Keluarga ohoi mas
dan keluarga Tamher menikmati hasil laut, darat
Letman karena leluhur mereka adalah adik kakak Kud,
Masneu.
Pada pemerintahan adat Rat Koit generasi ke 13 dari
Kurbib 1630, Rat Li Balbal mangkat di Faan, lalu kedua
putranya Nger Rian dan Fakloi Ngain pindah ke Tual.
Rat Koi menyuruh Nger Rian ke Letman
menggunakanmarga (fam )Renfan dan Fakloi Ngain
tetap menggunakan marga ( fam )Renwarin. Fakloi
Ngainmenikah dengan Masneu anak Rat Koit dan Ni
Loy fen tanah ohoiutun Tual. Ngein menikah dengan
adik Nurvahan ohoimas bernama Boi dan berdiam di
Letman membantu Nurvahan mengatur Ohoi Kecil ini.
Pada tahun 1660 Taouv generasi ke 14 menjadi Raja
menggantikan ayahnya Rat Koit. Pada tahun 1685
Tuvle generasi ke 15 menjadi Raja menggantikan
ayahnya Rat Taouv. Raja Tuvle bersama adiknya
Jamlim generasi ke 15 membuat peraturan lalulintas
laut yakni siapa saja yang lewat laut Namngil Vavo
harus dayung dengan sisi dayung, tokong dengan laet
tutu dan timbah ruang dengan yer tetan.Elvuar
melanggar peraturan ini maka dia dipasung dan
ditebus oleh kakaknya orang kay Badmas dengan
tanah Meun El Daftel maka timbul kata Lodar el.
Tanah Tual sudah bertambah dengan tanah Met fair
dengan Meun El Daftel di Keibesar.Jamlim adik Rat
Tuvle pergi keKeibesar dan berdomisili disana. Ketika
kakaknya sakit maka dia kembali ke Tual dan
68

membawa siput yang banyak dan dipelihara di Met


Fair.
Secara kebetulan Lahol Ohoi Ren bertamu ke Nur
Vahan Ohoi mas di Letman, sialnya ujung tokong anak
buah Lahol bersangkut sebuah siput dan penjaga mete
melapor ke Rat Tuvle dan Jamlim, ketika Lahol ingin
kembali, beliau ditangkap dan dipasang loran.Nur
Vahan merasa malu karena tamunya dan ditebuslah
dengan pulau Fair yang asal mulanya nama pulau fair
yaitu (nan fair il Lahol). Jamlim mengatakan belum
cukup maka Nur vahan tambah pulau Ubur, asal mula
nama pulau ini yang artinya Nur Vahan dan Lahol Ur
an bur. Jamlim bilang belum cukup maka ditambah
satu pulau lagi namanya akran berarti nanfara dan
pulau kecil di depan Ohoi Letman untuk cabut loran,
namanya loran en reet. Lohon en reet asal mula pulau
ini.
Nur Vahan generasi ke 12 ohoi mas di Letman istrinya
adik perempuan akbitan badlaut Tamnge bernama
Bain Vul.Pada masa pemrintahan Rat Tuvle ini
timbulvuun Samil Vamas antara Ursiu lawan Lor
Lim.Lorlim berkumpul dirumah (Ngurdu Wom a Mae’i)
dari Lor Ohoitel Temar Ngil Roroa, dari Tubab Jamlim
panglima perang Tuvean Rahayaandan panglima
perang Balbol Rahakbau Fer serta panglima perang
Watub Taran Rahantoknamdari Tutrean.Dari Mel
Yamvak: panglima perang Larat Matdoan, Batut
Elvutun Teen Rahanyaan, Narahasil Fakoubun, Bunvot
mamar Difinubun Langgiar Fer, dari Rumat Ler Nafru,
Armair sititit dari Ibra Rat Kirkes Kamar Famas Renuat,
dari Tetoat Rat Ohoivur Kud Renhoran. Bolbol
Rahakbau bermimpinfitik saribriban naa madmaaar
69

raan, ne nafhumang naa taranan raan. Lalu Temar


Ngil Roroa antabir mif bahwa nfitiksaribriban adalah
Baldu Wahadat dan nafhumang adalah Vamur
sakmas.
Lalu usul Rat Lernavru supaya bersaudara Tuvle –
Jamlim, Badlaut diajak masuk Lor Lim. Lalu ada
pertanyaan mengapa anda mengusulkan ini. Lalu Rat
Lernavrumengatakan Kurbib Warin Vamur Danar,
Kurbib warin Obtim Matdoan, Kurbib ni besan Rat
Ohoivur,Kurbib ni tuu tafol badu Wahadat, Raharusun,
Sather Du, waktu itu belum ada ekspansi hukum Larvul
ke Meun Fit dan Maur Ohoivut.Jadi selain Tuvle –
Jamlim – Badlaut sebagai Katbuar ma sundok ret
barngaan dan juga 2 peristiwa loran tadi menunjukan
kekuatan Tuvle. Karena Rat Lernavru ini pikir lebih dari
empat Rat yang lain maka dirubah namanya menjadi
Songli (Rat Songli).
Mereka turun ke Tual membawa meriam (kusber). La
El dari marin wab-wab (mastur elar) man miir fau
ohoivut (faan, werlilir, ohoijang, kolser, kalanit, ohoider,
ohoililir, ngilngof, namar, rumdian) dan diserahkan
kepada Rat Tuvle bersaudara untuk masuk Lorlim. Rat
Songli menyanyi: “man sihon loi kotvuan o ler bam dat
ohee, bom urun yaf kot lodsr El bam su hehee.”Rat
Ohoivur menyanyi “sa sayng vot ba tale war war om
ahai yok vur tahasir dabro. om ngulit vur tahasir dabro.
Am Luduk reu Namngil Vavo. La vasa saying Vot Ba
Talee war war”.
Jamlim menyanyi nan ahek baldu wahadat Ru ru
manis Avlad Baldu Wahadat omkai Ngabal sun dir El
Masrum fa naslanak yanan koko fau ohoivut, omkai
70

Tuvle ni bud rehen bud ruru manis avlad baldu


wahadat.
Jamlil nyanyi untuk anak-anak Fau ohoivut: lanter
Kaba su Nloi ketsoblak Damar su nyeb yanan ko fau
ohoivut, damar su nyeboo.Lorlim serahkan Fau
Ohoivut perincian nyanyian:M Vaor ro sum nadiun o
hee Tuvle ni yoo. Tuvle ni yo, sil an nyeo koko ngaan
ohoider tuvle ni yoo.
Memerintah delapanOhoiserta duaOhoi dan orangnya
termasuk pulau ngaf dan pulau Ut.Pada masa
pemerintahan Rat Taov generasi ke 16 pernah muncul
Fuun Rui Araat antara Raharusun sather dengan
Renwarin Tamnge. Rat Taov mendamaikan dan
memberikan tanah kepada Raharusun Sather dari
Kavuur Tai Viak ke Vat Madir terus ke Wakat ko dan
kembali ke Kavur Tai Viak
Pada masa pemerintahan Rat Sam generasi ke 17 ,
Loan Ifak (Utan Tel Timur) serahkan kembali tanah
Rumlus Rennyaan kepada Rat Sam akibat Vuun Batar
antara Loan Ifak Lawan Rahan Ifak Taar. Rahan Ifak
Taar kalah. Sebagai tanda diberikan kembali sebidang
tanah dari Vaan Tareu ke nuhu kanutun terus ke ainau
Ngarsuhun dan kembali ke Vaan Taren. Kepada loan
Ifak (Abur, Renwarin, Revo, yamtel). Fuun Karit Yar:
Rat Tuvle (Sam) mendapat Mas sbar Levtaka, pulau
Er, Ngodan.
Fuun Batal Ail: Rat Sam menebus Faliu Elwalan dari
Baldu dengan masle levtaka dan kami dapat pulau
tam.Fuun dareu kuman: kami dapat tanah Fid Nas
KolserFuun Bib Avlud tel: kami dapat tanah suswok
dan wer Idar . yang menghidupkan rakyat Ohoi
Letman.
71

Pada masa pemerintahan Rat Bib generasi ke 18


hanya snuar dengan keluarga Rennyaan Kalinit. Aftetal
jau Ohoingur datang usir Ohoi tel, Vatraan dan Rat
Sawe Vul (Rat Kilmas) membunuh separuh, sementara
tubuh Jamlim dan melyamfaak di bawah pimpinan Bol-
Bol Rahakbau datang tidak ada keributan lagi, lalu dia
marah dan tendang pohon Ainau batas tanah tadi,
kemudian pohon itu tidak tumbuh bagus dan juga tidak
mati dan disebut ainau ngarsuhun.
Pada masa Rat Kabres (Taherudin) generasi ke 19,
tidak ada perang (Fuun) lagi akan tetapi belan Tair
Umehe dibawah pimpinan Banul Renngur kakak dari
Renngur istri Rat Kabres Datang ganggu dan mereka
semua tembak Rat Kabres tidak mampan lalu meminta
mas kemudian Rat Kabres suruh kakaknya Alus
berikan mas sisa Rahan Kurbib kepada mereka dan
mereka pergi ke pulau Ubur di tempat yang bernama
labod (Fabod Tua), kemudian belan tair umehe menuju
Ohoi Letman dan mengangkat perempuan dan anak-
anak Letman kurang lebih 20 orang lalu berteriak
panggil laki-laki Letman yang sementara di kebun dan
di hutan lalu Letman jatuh ke tangan Baldu, maka
berakhirlahLodar Nara. Baldu menyerahkan mulai dari
Lair kepada Letman. Lair Renfan meninggal dunia lalu
Bun Tarnif menyuruh cucunya Kud Rengur datang
tinggal bersama Lorsim.(Wawancara, 2014)
Demikian sejarah tutur yang dikemukakan oleh
Badaul Tamher, tentang sejarah Keikota Tual disertai
urutan raja yang berkuasa di Kota Tual khususnya
yang dikenal dengan rahan Kurbib.
72

B. Sejarah Masuknya Islam di Kei Kota Tual


Sejarah perkembangan Islam di Kei Kota Tual dan
Maluku pada umumnya adalah bagian yang tak terpisahkan
dari sejarah syiar agama ini di Kepulauan Nusantara. Agama
ini, dikenal dan kemudian dianut oleh masyarakat di
Nusantara, berasal dari Arab. Namun, sampai pada upaya
penyebarannya dikawasan timur nusantara, terdapat banyak
pendapat (versi), antara lain dibawa oleh pedagang dan
mubaliq dari Arab, Melayu, India dan dari Jawa. Dalam
perkembangannya, syiar agama ini di Maluku, setelah diterima
secara kelembagaan oleh kerajaan-kerajaan lokal, kemudian
digiatkan oleh penganjur dan penguasa lokal. Upaya
penguasa dalam kaitan ini, dilakukan tidak semata karena
tuntutan agama bahwa Islam harus disebarluaskan kepada
sesama, tetapi juga kerap bersentuhan dengan kepentingan
politik penguasa dan kerajaan atau kesultanan tersebut
terhadap daerah-daerah dan masyarakat yang menjadi
sasaran pengislaman. Karena itulah, kerap sulit diterangkan
suatu pengislaman adalah murni upaya agama, tanpa
mengaitkannya dengan kepentingan politik penguasa atau
penganjurnya.
Perkembangan agama Islam di Maluku, khususnya di
gugusan kepulauan Kei Kota Tual, terkait erat dengan
perkembangan agama itu di Maluku Utara, terutama adalah
hubungan spiritual dan politik kerjaan ternate dan tidore yang
suda menerima agama Islam secara kelembagaan, ditandai
dengan pergantian nama institusi politiknya yakni kerajaan
menjadi kesultanan serta gelar raja menjadi sultan. Itu adalah
salah satu ciri utama dan paling mudah dipahami ketika suatu
kerajaan dengan rajanya telah menerima Islam secara
kelembagaan, meskipun upaya itu sering kali didahului
dengan pengenalan dengan penguatan agama tersebut oleh
73

penduduk lokal secara personal yang dilakukan oleh para


penganut agama Islam.
Jika memperhatikan pada peta sejarah Indonesia.
(Surapti dkk: 1992) rute utama yang dimanfaatkan oleh
penganjur dan saudagar Muslim ke nusantara adalah selat
Malaka, terutama sebelum kawasan itu dikuasai oleh Portugis
tahun 1511. Setelah pendudukan Portugis, ruteh pelayaran
mereka beralih memalui pantai barat Sumatra, terus
memasuki selat sundah untuk kemudian menujuh daerah-
daerah di Nusantara yang menjadi fokus kunjungannya,
anatara lain kepulauan Maluku. Di kepulauan ini, minimal ada
tiga kerjaan atau kesultanan yang menjadi fokus dan pusat
pengembangan agama Islam yaitu: kerjaan Hitu, kesultanan
Tidore, dan kesultanan Ternate. Dalam peta ini ditunjukan,
bahwa pusat penganjur agama di Maluku adalah dari Jawa,
tepatnya di Gresik Jawa Timur, menuju pulau Hitu dan pulau
Banda. Dari tempat terakhir ini, boleh jadi diteruskan ke
gugusan kepulauan Kei Kota Tual dan Maluku Tenggara.
Islam pertamakali masuk ke Maluku direkam dalam
hikayat ternate yang ditulis oleh Naidah. Dalam hikayat ini
disebutkan bahwa telah datang Jafar nuh (salah seorang
turunan Nabi Muhamad SAW) pada tahun 643 hijriah atau
1245 Masehi. Jafar Nuh digambarkan sebagai seorang
pangerang dari Arab yang bertualang ke Nusantara karena
pergolakan politik dalam dinasti abbasiyah yang bersebelahan
dengan syaikh. Akan halnya empat orang syaikh dari Irak itu
adalah Mubaligh. Baik pelarian politik maupun mubaligh
datang ke Nusantara pada abad ke XIII itu dengan
menumpang pada perahu niaga milik pedagang. Jika demikian
sebelum kedatangan para mubalig dari Arab itu, pedagang
Arab secara teratur telah mengunjungi Maluku, negeri
penghasil rempah-rempah di Nusantara.
74

Jafar Nuh menikah dengan penduduk pribumi, Nursifah


di Ternate. Dari pernikahan itulah lahir empat orang putra dan
empat orang putri. Masing-masing putranya membentuk dan
menjadi raja di empat kolano di Maluku Utara. Dimana anak
pertama menjadi raja pada kolano Makean, putra keduanya
Darajati menjadi raja pada kolano Moti, putra ketiga Sahajati
Menjadi raja kolano di Tidore, sedangkan Mansur Malamo
yang bungsu menjadi raja di kolano Ternate. Raja dari
keempat kolano tersebut telah memeluk agama Islam,
meskipun pada abad ke XV barulah empat kolano itu menjadi
kesultanan. (Putuhena:2006).
Informasi tersebut seirama dengan memori ingatan
masyarakat lokal, bahwa Islam masuk ke kepulauan gugusan
Maluku Tenggara berasal dari Seram timur yang mengakui
Kesultanan Tidore. Demikian penyebaran Islam di pulau Aru
juga dari Papua yang berasal dari kuasa politik kesultanan
Tidore. Dalam kaitan yang terakhir ini ada pendapat yang
mengatakan bahwa agama Islam di Kei Kota Tual dan Maluku
Tenggara pada umunya disebarkan oleh para penganjur dari
Papua. Meskipun kedua versi tersebut berbeda asal
kedatangan para mubalig Islam, namun kedua daerah yang
disebutkan itu sama-sama dalam wilayah kekuasaan
kesultana Tidore. Dengan demikian, perkembangan agama
Islam di Tual adalah bagian dari upaya Islamisasi yang
digiatkan oleh kesultana Tidore. Komunitas Muslim di Maluku
Tenggara mendiami daerah Lor Lim seperti pulau Kei Besar
Barat dan pulau Dula. Sedangkan Kei Besar Timur dan Kei
Kecil masuk dalam wilayah Ur Siu dihuni oleh komunitas
Kristen. Sementara, tanimbar dan pulau lainnya di Maluku
Tenggara Terdapat mayoritas pengganut agama Katolik dan
Protestan.
75

Sejarah perkembangan agama Islam di Tual terkait


dengan upaya yang dilakukan oleh kesultana Tidore. Secara
kelembagaan, Islam diterima di Tidore (yang berdiri pada abad
ke XII) pada abad ke XV, dengan sultan pertamanya adalah
Sultan Ciliriati (naik tahta 1512). Kemudian digantikan dengan
Sultan Mansur (naik tahta 1512) pada masa ini kesultanan
Tidore berkembang sangat pesat, dengan pusat
pemerintahannya di Rum Tidore Utara. Maka, diperkirakan
pada abad inilah Islam disebarluaskan di Tual, dan kawasan
Timur Nusantara pada umumnya. Penyebaran itu terutama
dalam wilayah kekuasaannya, yang mencakup papua,
gugusan pulau-pulau raja ampat dan pulau seram. Di
Kepulauan Pasifik, kekuasaan Kesultanan tidore mencakup
Mikronesia, kepulauan Marianas, Marshal, Ngulu, kepulauan
Kapitan Gamrange, Melanesia dan kepulauan Solomon.
Tentang masuknya Islam di Tual, selain dari (oleh)
kesultanan Tidore, ada juga yang berpendapat bahwa agama
Islam disyiarkan oleh Kesultanan Ternate. Alasan sejarah
pendapat ini dapat ditelusuri pada peran dan keberadaan
Ternate sebagai salah satu kekuasaan politik di Maluku, dan
memiliki akses luas terhadap penyediaan dan perdagangan
rempah-rempah di Maluku, khusunya komoditi cengkeh.
Hubungan dengan dunia luar suda lamah. Orang-orang Jawa,
Arab dan Melayu, telah berkunjung ke sanana sejak abad VII.
(M.S Putuhena: 2006). Catatan dinasti Tang menyebutkan
bahwa orang Cina telah mengenal cengkeh sejak abad ke VII,
yang dibeli dari pedagang-pedagang Jawa dan Melayu yang
membelinya dari Maluku. Hubungan perdagangan langsung
antara Cina dan Maluku telah berlangsung pada tahun 1349,
1425-1432 dan 1436. Menurut Valentinjin, pada dekade
pertama abad ke XIV telah terdapat orang-orang jawa dan
Melayu, sedangkan orang-orang Arab dan Cina telah ditemui
76

pada dekade ke empat abad itu juga. Sangat boleh jadi orang-
orang jawa, Melayu dan Cina tersebut telah memeluk agama
Islam. (Azumardi Azra: 2002)
Berkaitan dengan informasi tersebut, Islam tersebar di
Maluku terkait dengan usaha syiar oleh empat orang ulama
dari Irak yaitu: (1) syeh Mansur yang menyiarkan Islam di
Ternate dan Halmehera Utara(pesisir barat Halmahera yang
berhadapan dengan Ternate), (2), syaikh ya’kub yang
berdakwa di Tidore dan Makean,(3) syaikh Amin bersama (4)
syaikh Umar menyiarkan Islam di Halmahera belakang di
pesisr timur Halmahera. Dalam memori masyarakat Maluku,
keempat syaikh itulah merupakan orang Arab Islam yang
menyiarkan Islam di Maluku. (putuhena:2006)
Menurut Shaleh Putuhena dan J.A Pattikaihatu dkk,
meskipun waktu-waktu penerimaan agama Islam oleh pribumi
dan struktur Islam tidak diketahui dengan pasti, tetapi kuat
dugaan semuanya terjadi pada paruh kedua abad ke XV.
Setelah pulau Hitu, Huamual, dan Banda komunitas Muslim
terbentuk dibeberapa pulau lainnya di Maluku Tengah dan
kepulauan Kei di Kota Tual.
Setelah agama Islam di terima oleh masyarakat, maka
tahap selanjutnya adalah terstrukturnya agama Islam dalam
masyarakat pribumi. Tahap ini diawali dengan perubahan
bentuk kerajaan tradisonal menjadi kesultanan pada akhir
abad ke XV. Kolano Ternate menjadi kesultanan dengan
dilantiknya Zainal Abidin (1486-1500) sebagai sultan pertama
sekembalinya dari pondok pesantren Giri di Jawa Timur.
Perubahan selanjutnya disusul oleh kesultanan Tidore,
kesultanan Jailolo, dan kesultanan Bacan. Dengan
terbentuknya kesultanan di Maluku, maka agama Islam
sebagai suatu budaya dalam politik dan memasuki struktur
masyarakat, sementara budaya Islam yang mengatur pola
77

kehidupan ekonomi dan sosial kemasyarakatan yang


diterapkan secara bertahap. Demikianlah perjalanan sejarah
pada abad XV di seluruh wilayah kesultana di Maluku yang
membentuk komunitas Muslim, meskipun masi bercorak
formalitas. Warna Keislaman seperti itu dapat terjadi karena
adanya pertemuan dalam bentuk konfrensi Islam dengan cara
top down. Ketika menerima Islam sebagai agama mereka
belum memahami ajaran-ajaran Islam tersebut sehingga
belum menghayati dan mengamalkan dengan baik.
Komunitas Muslim di kota Tual terbentuk melalui sebua
proses yang berasal dari luar kemudian dilanjutkan dengam
penduduk pribumi, dan agama Islam diterima secara luas oleh
masyarakat setempat dengan melembaga kedalam kerajaan
lokal. Kondisi ini berbeda dengan apa yang terjadi di daerah
Ternate, Tidore dalam proses penerimaan Agama Islam.
Daerah Maluku kedudukannya sebagai daerah
penghasil rempah-rempah, mulai dikunjungi saudagar Muslim.
Dalam konteks hubungan itu dimana Ternate dan Tidore
tampak lebih mengemukan di pentas sejarah daerah Maluku.
Dimana hubungan Ternate dengan dunia luar suda
lama terjadi melalui proses perdagangan cengkeh. Karena
tidak mempunyai armada dimana Ternate merupakan Bandar
niaga yang didatangi para pedagang dari luar. Mungkin sejak
abad ke VII pedagang Jawa dan Melayu telah berkunjung ke
Ternate (Putuhena, 2006: 345; Azra, 2002).
Menurut catatan sejarah Dinasti Tang, orang Cina
telah mengenal cengkeh sejak abad VII itu yang sudah barang
tentu dibeli dari pedagang-pedagang Jawa dan Melayu yang
membelinya dari Maluku, satu-satunya penghasil cengkeh di
dunia waktu itu. Mungkin cengkeh padamulanya dikenal di
Cina sebagai hadiah dari utusan kerajaan-kerajaan hindu atau
budha di nusantara sejak abad ke V telah mengunjungi Cina.
78

Meskipun demikian pedagang Cina belum ditemukan di


Ternate sebelum abad XIV. Menurut Baros, hubungan
perdagangan-perdagangan langsung antara Cina dengan
Maluku telah disebutkan dalam catatan Cina pada 1349, 1425-
1432 dan1436.
Memperhatikan posisi Ternate sebagai pelabuhan
dagang utama di Nusantara dan peranan orang Arab dalam
perdagangan dan pelayaran di kawasan ini patut di duga
bahwa orang-orang Muslim Arab yang pertama ada di
Ternate. Dari sumber sejarah lisan dituturkan tentang
kedatangan empat orang ulama dari Irak masing-masing
syaikh Mansur yang menyiarkan Islam di Ternate dan
Halmahera Utara, syaikh Ya’kub berdakwa di Tidore dan
Makean, syaikh Amin bersama Syaikh Umar menyiarkan Islam
di Halmahera belakang (pesisir timur Halmahera). Dalam
memori kolektif masyarakat Ternate keempat syaikh itu adalah
orang Arab Islam yang pertama kali berada di Ternate.
Sebagaimana sejarah lisan pada umumnya tidak diketahui
kedatangan empat mubaligh tersebut.
Tentang kedatangan orang Islam pertama di Ternate
tercantum hikayat Ternate yang di Tulis oleh Naidah. Sumber
itu menceritakan tentang kedatangan Jafar Nuh salah seorang
turunan Nabi Muhammad SAW. Naidah mencatat bahwa Jafar
Nuh seringdisebut Jafar Sadik itu ‘’ sampai di Ternate bilangan
Tahun Islam Enam Ratus empat puluh tiga enam hari bulan
muharam, harinya senin’’. Setelah dicocokan dengan kalender
yang mencantumkan persamaan antara penanggalan Hijria
dengan Miladiyah atau Masehi, ternyata enam muharam 643
H itu jatuh pada hari sabtu 5 juni 1245. Jika catatan Nadia itu
benar, maka pertengahan XIII itu telah terdapat orang Islam di
Maluku. Jafar Nuh di gambarkan oleh Naidah yang penulis
istanah itu sebagai seorang pangerang dari Arab yang
79

bertualangan ke Nusantara karena pergolatan politik dalam


Dinasti Abbasiyah yang bersebarangan dengan saikh dari Irak
itu adalah mubaligh. Baik pelarian politik maupun mubaligh
yang datang ke Nusantara pada abad ke XIII itu dengan
menumpang perahu milik pedagang . jika demikian, sebelum
kedatangan mubaligh dari Arab , pedagang Arab secara
teratur telah mengunjungi Ternate, pusat perdagangan
cengkeh tersebut.
Naidah selanjutnya menceritakan perkawinan antara
Jafar Nuh dengan Nursifah, seorang putri pribumi di Ternate.
Dengan begitu, Nursifah adalah pribumi pertama yang
konverensi Islam melalui perkawinan. Darin perkawinan itulah
lahan lahir empat orang putra dan empat orang putri. Masing-
masing putranya membentuk dan menjadi raja di empat
kolano di Maluku. Buka, anak pertamanya menjadi raja pada
kolano Makeang, putra kedua Darajat menjadi raja pada
kolano Moti, putra ketiga sahajati menjadi raja pada kolano
Tidore, sedangkan Mansur Malamo yang menjadi putra
bungsu menjadi raja pada kolano Ternate.
Sesudah perjanjian, moto pada abad XIV kolano
makean pindah ke Bacan dan kolano Moti pindah ke Jailolo.
Raja dari keempat kolano itu telah memluk agama Islam,
meskipun pada akhirnya abad XV barulah empat kolano itu
menjadi kesultanan demikianlah sejak pertengahan abad ke
XIII itu Islam telah di terimah oleh masyarakat pribumi.
Menurut Valentinjin pada dekade pertengahan abad XIV telah
terdapat orang Jawa dan Melayu sementara orang Arab dan
Jawa telah ditemui pada dekade keempat abad itu juga.
Sangat boleh jadi orang-orang Jawa dan Melayu serta Cina
yang telah berada di ternate pada abad XVI itu telah memeluk
Islam.
80

Tahap ke tiga dari terbentuknya masyarakt Islam


melembaga atau terstruktur Islam dalam masyarakt pribumi.
Tahap ini diawali dengan perubahan bentuk kerjaan tradisonal
kolono menjadi kesultanan pada akhir abad XV kolono ternate
menjadi kesultanan dengan dilantiknya Zainal Abidin (1486-
1500) sebagai sultan pertama sekembalinya dari pesantren
giri dai jawa timur. Perubahan disusul oleh kesultanan tidore,
kesultanan Jailolo, dan kesultanan Bacan.
Dengan terbentuknya kesultanan berarti Islam sebagai
budaya politik telah memasuki struktur politik masyarakat
Maluku, sementara kebudayaan Islam yang mengatur
kehiduupan ekonomi sosial kemasyarakatan lainnya di
terapkan secara bertahap. Demikianlah sejak akhir abad XV
pada wilayah empat kesultanan di Maluku Utara itu telah
membentuk komunitas Muslim meskipun masi bercorak
formalistis. Corak Keislaman itu bisa terjadi konfensi
Keislaman itu prosesnya melalui top down, dimana titah
sulatan kepada rakyatnya. Ketika menerima Islam sebagai
agama mereka belum memahami ajaran-ajaran Islam tersebut
sehingga belum dihayati dan diamalkan.
Di Maluku Tengah Islam mulai di terima di Hitu dan
Banda. Pada abad ke XIV seiring dengan mulai berdatangan
pedagang Jawa dan Melayu serta Arab dan Cina, daerah Hitu
kedatangan agama Islam Hitu terletak di kawasan leihitu,
pulau Amban itu. Terkenal sebagai pelabuhan perdagangan
rempah-rempah terutama cengkeh dari huamual dan pala dari
Banda dan tempat ;penyaluran ke Ternate. Huamual adalah
daerah yang terletak di seram bagian barat yang mengakui
Ternate sebagai daerah penghasil cengkeh utama setelah
Maluku Utara perluasan penanaman cengkeh di Huwamual
atas permintaan raja Ternate. Di Lesi Ela suatu negeri di
Huamual dan Manipa suatu pulau yang masuk kawasan
81

Huwamual, raja Ternate menetapkan masing-masing seorang


kimelaha, wakil raja di daerah yang mengakui hegemoni
Ternate. Diperkirakan orang-orang luar yang datang ke Hitu
telah mengakui Agama Islam atas perintah sultan, oranmg-
orang Hitu dan Huamual serta orang-orang pinggiran ternate
itupun memeluk agama Islam. Dengan begitu pada paru
kedua abad XV telah ditemukan komunitas Muslim di Hitu dan
Huamual.
Meskipun waktu-waktu penerimaan Islam oleh pribumi
dan struktur Islam dalam masyarakat tidak diketahui dengan
pasti, tetapi dapat diduga bahwa semuanya dapat terjadi pada
paru kedua abad XV. Setelah Hitu, Huamual dan Banda,
komunitas Muslim terbentuk di beberapa daerah di Maluku,
Kota Tual dan Maluku Tenggara.
Masuk dan terbentuknya masyarakat Islam di Maluku
Tengah memperlihatkan akan suatu keunikan sebagai pola
integrasi antara Islam dan budaya lokal. Pola integrasi
tersebut merupakan kearifan lokal dalam menyelesaikan
persoalan yang timbul. Pandangan masyarakat pribumi
bahwa, wilayah pemukiman terbagi dua, yaitu ulilima/patalima
dan ulisiwa/patasiwa dengan fariasi budaya yang berbeda
tetapi dengan inti atau dasar yang sama. Untuk
mempertahankan nilai persatuan dalam dua variasi budaya
yang berbeda atau budaya yang bersifat monodualistik, terjadi
konsesi dalam penerimaan Islam. Islam hanya masuk dan di
terima oleh masyarakat ulilima/patalima, sedangkan
masyarakat ulisiwa/patasiwa tetap dalam kepercayaan
primitifnya. (Putuhena: 2006).
Satu abad kemudian mereka menganut katolik yang
untuk pertama kalinya disebarkan oleh Frasis Xavier (1506-
1552) seorang misionaris dari ordo Jesuit spanyol. Atas
permintaan raja John III dari Portuigis ia berangkat ke India
82

dengan Nusantara untuk menyebarkan agamanya ke


penduduk setempat. Ia menyebarkan agama katolik di Maluku
dari 1945-1949. Tetapi penyebaran itu telah melanggar
consensus budaya dengan mengatolikan orang-orang Islam,
sehingga pada wilaya ulilima di saparua, yaitu hatawano telah
terdapat komunitas katolik, demikianm pula dengan hatuhaha,
pulau haruku dan laihiut pulau Ambon. Mungkin kartena
pernah dikuasai oleh Islam, selama tuju abad lamanya,
portugis lebih anti Islam dan mementingkan penyiaran agama
melebihi perdagangan. Berbeda dengan VOC Belanda lebih
mementingkan perdagangan dibandingkan pengabaran injil
kepada umat Islam. Setelah katolik di lebur kedalam Protestan
Maluku pada 1605, orang-orang Portugis di lebur kedalam
protestan sebagai agama resmi VOC sehingga penganut
protestan di Maluku Tengah lebih berkembang.
Di Kei Kota Tual terjadi pula polarisasi seperti itu, tetapi
lebih menekankan pada adat. Menurut memori kolektif
masyarakat Islam masuk pada daerah ini melalui pulau seram
timur yang mengakui hegimoni kesultanan Tidore. Walaupun
di kepulauanAru terdapat minoritas Muslim. Ada kemungkinan
bahwa Islam datang dari dan berada dalam kontrol Sultan
Tidore. Sebagaimana Maluku Tengah, di Maluku Tenggara
komunitas Muslim itu mendiami daerah Ur Lim seperti
Keibesar Barat dan PulauDula, sedangkan Keibesar timur dan
KeiKeicil adalah daerah ur siu yang dihuni oleh komunitas
Krtisten serta Tanimbar serta pulau lainnya di Maluku
Tenggara sehingga masyarakat Muslim di Maluku Tenggara
termasuk kelompok minoritas dibandingkan masyarakat katolik
dan masyarakat Protestan. Seperti halnya Maluku Utara,
dimana komunitas Muslim merupakan warga kesultanan,
sehingga prinsip monodualistik terlihat pada penyelenggaraan
pemerintah, kelompok soasiu mempunyai fungsi tertentu
83

dalam pemerintahan, seperti halnya kelompok Soa


Ngivangare. Tetapi setiap kesultanan memiliki sejumlah warga
yang tidak beragama Islam. Mereka berfungsi untuk
melaksanakan kepentingan kesultanan berupa pekerjaanyang
tidak dilaksanakan oleh warga Islam. Dalam ketatanegaraan
Islam mereka di sebut kafir zimmi, non Muslim yang dilindungi
oleh kerajaan Islam, dengan demikian, masyarakat Muslim di
Maluku Utara merupakan kelompok mayoritas, sementara
Kristen termasuk kelompok minoritas.
Sehubungan dengan masuknya agama di kepulauan
Kei, patutlah diakui bahwa masuknya agama Protestan dan
Katolik tercatat dengan baik dalam catatan resmi sedangkan
Agama Islam masuk di kepulauan Kei tidak ada bahan dan
informasi yang jelas dan tertulis secara autentik. Yang ada
hanya informasi-informasi berupa penuturan lisan dari suatu
generasi ke generasi berikutnya yang nilai kebenaranya
sangat diragukan dan menimbulkan berbagai persepsi yang
tidak saja berbeda akan tetapi sulit untuk dipertemukan.
Padahal nilai sejarah menuntut adanya penemuan tempat,
waktu masuk dan pembawanya yang disertai dengan data-
data yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan.
Pertanyaan kapan masuknya agama Islam di
Kepulauan Kei dan siapa pembawanya sulit dipastikan, untuk
itu perlu diteliti sejarah masuknya penduduk dan kedatangan
para Muballig di Kepulauan Kei di beberapa Ohoi yang untuk
sementara dinyatakan sebagai tempat masuknya Agama
Islam.
Tentang masuknya Agama Islam di Kepulauan Kei
sangat erat kaitannya dengan datangnya gelombang
perpindahan penduduk kedaerah tersebut. Pada awalnya
perpindahan penduduk yang datang dari luang Maubes,
Ternate, Tidore, Seram dan Banda seluruhnya telah masuk
84

Islam namun kurang adanya pembinaan keagamaan sehingga


beberapa daerah kehilangan syariat Islam bahkan ada yang
kembali dengan keadaan lingkungan dimana ia berada dan
ada pula yang tetap mengembangkan ajaran Islam.
1. Banda Ely dan Elat
Masyarakat Banda Ely dan elat adalah penduduk Kei
yang berasal dari Banda Neira, mereka meninggalkan
Banda Naira karena pertikaian antara masyarakat Banda
Naira dengan VOC di bawah pimpinan Yan Piters Coen
pada tahun 1621. Saat ini pun masyarakat tersebut masih
tetap mempertahankan Agama Islam, Budaya (adat
istiadat) dan bahasa Banda Neira. Dengan begitu, maka
ketika berbicara tentang masuknya Islam di Kei Kota Tual,
hamper di pastikan kedatangan mereka di kepulauan Kei,
penduduknya sudah lebih dulu memeluk Islam.
2. Kur
Pulau Kur dengan 11 Ohoinya mulai dari masuknya
penduduk yang beragama Islam sampai sekarang masih
tetap mempertahankan agama Islam, Adat Istiadat dan
Bahasa. Raja pertama Kur adalah seorang keturunan
Arab yang bernama Muhammad dan nama Kerajaannya
adalah Makara.
3. Ohoi Ohoitom (Tayando)
Masuknya Agama Islam di Tayando (Tahayad),
tepatnya Tahayad Yamru sekarang untuk pertama kali
dibawa oleh tiga orang bersaudara masing- masing
Fatiman, Fatimin dan Fatiminnubuah dari Arab dengan
Kapal Abduh mendirikan kerajaan Islam pertama
namanya Kerajaan Mael (Rat Mael), buktinya berupa Yar
ohoi vihan, yang menjadi lokasi persinggahan pertama di
Tahayad Yamru, makam(mual)dan masjid tua di Ohoi
Tom Tahayad Yamru,dari sinilah kemudian disebarkan
85

sampai ke seluruh pelosok Kei termasuk Kota Tual,


marga yang memiliki hubungan langsung dengan Rat
Mael adalah marga Kabalmay dan Kabakoran, dari titik
singgung inilah kemudian sebagai bukti kuat adalah posisi
Imam Masjid Raya Tual hingga saat ini tetap menjadi milik
marga Kabalmay, Pada saat kekuasaan Rat Mael di
Tahayad Yamru yang belakangan kemudian terbagi
menjadi beberapa ohoi yaitu Tahayad Yamru, el, Meu,
dan Yamtel, dengan memberlakukan hukum lokal yang
pernah popular adalah hukum “if tel” yang artinya hukum
tiga puluh juz, yang tidak lain adalah Al- Qur’an sebagai
dasar dan pedoman bagi umat Islam kalah itu, kendatipun
demikian ada fersi berbeda misalnya ada penyiar lain
seperti Bol- Bol. Rahakbau dan Aminat Banyal yang
berasal dari Tahayad Yamru dan merekalah yang
kemudian menyiarkan Islam sampai ke seluruh
Kepulauan Kei, termasuk Kota Tual, Penuturan lain
menyebutkan bahwa untuk pertama kali dibawa oleh
Marugun Banyal pada tahun 1550 dari Langgiar Fer
setelah itu disusul tiga orang mubalig yaitu Tawakaluddin,
Tafakadin dan Safakadin dari Banda Neira melalui Kur ke
Ohoi Langgiar Fer baru kemudian kembali ke Tayando.
4. Ohoi Dula
Agama Islam untuk pertama kali dibawah oleh
Tahiruddin dari Kesultanan Jailolo Maluku Utara pada
tahun 1591 ke OhoiDula.
Namun pusatnya hubungan dakwah telah menimbulkan
hilangnya syariat agama islam disana dan akhirnya
mereka kembali menyatu dengan kepercayaan
leluhurnya.
Kemudian pada masa pimpinan Raja Daung Van
mengadakan hubungan dengan Raja Langgiar Fer lalu
86

beliu menyatakan masuk Islam dan kemudian kembali ke


OhoiDulah untuk kemudian dimandikan bersama
Masyarakatnya secara Islami.
5. Ohoi Langgiar Fer
Samapi saat ini masuknya islam di Ohoi langgiar Fer
masih tetap merupakan sejarah lisan yang dituturkan dari
mulut ke mulut, dari satu generasi ke generasi berikutnya
tanpa didukung dengan bukti-bukti sejarah sehingga sulit
dibuktikan kebenaran dari cerita tertsebut. Untuk itu perlu
diadakan penelitian lapangan serta mempelajari literatur
sejarah terdahulu.
Jalur masuknya islam di Ohoi langgiar fer melalui aceh,
Banda, Kur dan Tayando namun Kur dan Tayando
hanyalah tempat persinggahan saja. Pembawanya adalah
datuk Abulah bin Abdul Muthholib bin Abu Bakar bin
Hasyim dari magribi (Maroko).
Menurut bapak Ahmad Fakaubun bahwa ayah datuk
Abdulah bernama Abdul Mutholib adalah kelahiran Banda
Neira sedangkan neneknya adalah tawanan portugis
dalam peperangan dengan Sultan Johar pada tahun 1511
yang pada waktu dibuang ke Banda Neira.
Kedua pendapat tersebut setelah diteliti ada suatu
kejenggalan yang mencolok yaitu: menurut cerita
perjalanan mereka ditemukan bahwa datuk Abdulah lahir
di Banda Neira dan cucunya yang bernama Sarkol kawin
dengan anak perempuan dari raja sawe di Kilmas Kur.
Dari hasil perkawinan tersebut lahir putra yang bernama
farne wul, setelah dewasa ia pindah keOhoiDula lalu
kawin dan memperoleh dua putra yaitu Arba Huren
pindah keOhoi larat kemudian kawin dengan Sikre min
dan mel ren pindah ke Ohoi taar.
87

Dari hasil penemuan di atas maka dapatlah dipastikan


bahwa yang datang keOhoi langgiar fer adalah keturunan
datu Abdulah yang bernama arba dan diperkirakan tiba di
Tenan Sanan Savav pada tahun 1661.
Hubungan antara kepulauan Kei dengan pulau-pulau
Banda Neira sudah berlangsung sebelum datangnya VOC
di Banda Neira. Terjadinya pertikaian antara VOC dengan
rakyat banda neira. Terjadinya pertikaian antara VOC
dengan rakyan banda naira pada tahun 1602
menyebabkan sebahagian dari pemuka-pemuka agama
berangkat meninggalkan banda naira menuju kepulauan
kai, untuk pertama kalinya mereka tiba di Ohoi ngilngof.
Beberapa waktu kemudian keluarga seknun, rumkel dan
rumaf dibawa pimpinan datu abDulah seknun pada tahun
1605 yang merukpakan turunan datuk maulana pindah
menetap di Ohoi fer bersama anaknya, yang tertua
bernama muhammad ali fatha yang kemudian diangkat
menjadi imam pertam di Ohoi fer, beliau meninggal pada
tahun 1617 M/1028 H.
Keluarga rumaf menjadi imam di Ohoi mastur dan
keluarga rumkel besarta sebagian keluarga berangkat
ketayando, setelah mereka tiba di tayando diangkat
menjadi imam. Keluarga rumkel diangkat menjadi imam di
Ohoi meo langgiar, pengangkatan imam tersebut ditandai
dengan satu kete emas sehingga marga rumkel dirubah
menjadi katmas.
Masuknya islam di Ohoi langgiar Fer untuk pertama
kali dibawah oleh muqis anak dari sulatan isa penguasa
dikota basra yang dikenal di daerah luang Maubessy
dengan sebutan raja melayu karena beliau datang ke
pualau luang melalui kerajaan melayu. Tamaslu seknun
anak dari datuk abDulah diangkat menjadi imam di
88

ohoikurun (Ohoi langgiar fer sekara) dan dari sinilah


agama islam mulai berkembang dan melembaga di Ohoi
Langgiar Fer yang kemudian berkembang menjadi pusat
pengembangan agama islam di Kepulauan Kei pada akhir
abad ke XVIII dimasa pemerintahan bal tub vuar. Beliau
mengajarkan ilmu aqidah dan tasawuf kepada raja
baluddin (bal tub Vuar) sehingga raja bal tib vuar terkenal
alim di Kepulauan Kei.
6. Ohoi Matwear
Menurut sejarah yang diakui masyarakat bahwa raja
kerajaan matwear yang pertama bernama hasan maqbir
bidian berasal dari kesultanan adonara dan pusat
kerajaannya adalah Ohoi matwear sekarang.
Raja hasan maqbir tidak mempunyai anak laki-laki
untuk menggantikan tahta kerajaan dijabat kembali oleh
un el renfan. Dilihat dari sisi perkawinan raja hasan maqdi
dengan did nangan anak dari tebtut ohoi vuur diperkiraan
beliau datang ke Ohoi matwear Pada akhir abad ke 17 M.
Kehidupan beragama masyarakat sepeninggalan raja
hasan maqbir adalah bahwa sebagian rakyat matwear
masih menganut agama islam, dan sebagian lagi beralih
memeluk ajaran kristen protestan.

C. Masyarakat Kei Kota Tual dan tradisinya


Untuk mengetahui secara jelas tradisi masyarakat Kei
Kota Tual, bisa dapat dilacak melalui interaksi dan bagaimana
membangun hubungan perdagangan dan pelayaran antara
masyarakat Kepulauan Kei dengan dunia luar, sehingga
menjadi daya tarik yang menyebabkan kebanyakan orang
datang di Kepulauan Kei untuk berdagang dan banyak pula
yang tinggal serta menetap di sana. Mereka mengadakan
hubungan dengan penduduk setempat lewat perkawinan dan
89

pergaulan yang kemudian menimbulkan rasa saling


menghormati dan rasa toleransi dan proses transformasi
budaya berlangsung dengan baik.Menurut catatan sejarah
bahwa masyarakat Kei telah menjalin hubungan perdagangan
dan pelayaran antara beberapa suku bangsa lainnya
diantaranya :
1. Campa (cina)
Lambang persatuan bagi organisasi raja –raja lor lim di
kepulauan Kei adalah naga atas keberhasilan suatu
usaha atau suatupekerjaan masih kuat. Lambang ini
khususnya dipakai oleh raja-raja asal luang yang
menempati daerah-daerah:
a. Daerah Amarwati (Gorom)
b. Daerah Kepulauan Kei
c. Daerah Kepulauan Yaru (Aru)
Budaya tersebut lebih nampak pada saat perlombaan
perahu belan, dimana lukisan naga menghias belan yang
berasal dari raja-raja lor lim. Hal ini sangat mirip dengan
perlombaan perahu naga yang sering dilakukan di cina.
Hubungan antara kerajaan Campa dengan kepulauan
di nusantara telah berlangsung lama sehingga ketika
kerajaan itu diserang oleh bangsa vietnam pada tahun
1471 maka raja Vijaya (PI Kei) bersama para pengikutnya
meninggalkan Campa menuju ke selatan, banyak orang-
orang Campa singga dan menetap di berbagai tempat di
nusantara. Kepulauan Kei juga tidak luput dari kehadiran
dari pelaut Campa sehingga ia dikenal batas tertimur
diwilayah budaya Campa.
Ketika itu pengaruh arab/islam sudah mulaiterlihat
dengan datangnya para pedangang dari bangsa arab.
Banyak yang menyinggahi kerajaan di perairan maluku
90

antara lain kerajaan jailolo, tidore, ternate, banda naira,


pulau-pulau Kei luang dan timur.
Bangsa Arab sangat terkenal dengan menggemari
wangi-wangian, hal itu yang menyebabkan mereka
berlayar menuju ke Campa mencari kayu gaharu, kepulau
timor untuk mencari kayu cendana yang terkenal
wanginya. Poada saat itu pulau timor berada dibawah raja
luang yang dikenal dengan Luang Sarmata.
Suatu temuan yang cukup menarik yang di temukan
adalah bahwa wilayah kerajaan Campa terdiri dari wilayah
amarvati, pi Kei dan yaru, sedangkan wilayah amarvatu,
pulau Kei dan pulau-pulau Aru (Yaru) adalah adalah batas
tertimur dari pengaruhh Campa.
Menurut sebuah catatan tertulis dalam bahasa Arab
Melayu bahwa ketuju para raja bersaudara adalah anak
dari sultan Isa yang berasal dari Basra berlayar melalui
Aceh dan Malaka (Kesultanan Malaka). Beliau kemudian
kawin dengan anak dari raja luang binuas dan dari
perkawinan tersebut lahir tuju orang putra yang kemudian
menjadi 7 orang raja yang berkuasa di daerah Amarvatu,
Kei dan yaru (aru). Ketuju saudara itu datang ke
kepulauan Kei dengan sebuah kapal layar bernama sin
maslu.
Para pedagang dan pelaut dari negeri Campa juga
dikenal sebagai penyiar agama islam di nusantara.
Benda-benda dan nekara buatan Campa banyak
ditemukan di kepulauan Kei yang merupakan bukti
adanya hubungan budaya dan perdagangan antara
Campa dengan kepulauan Kei telah berlangsung ribuan
tahun yang silam.
91

2. Majapahit dan Bali


Pengaruh kerajaan majapahit dan bali juga didapati di
kepulauan Kei, hal tersebut dapat dilihat dengan masih
adanya suatu kepercayaan dikalangan masyarakat yaitu
suatu anggapan bahwa raja adalah titisan dewa juga
merupakan titisan dari ajaran hindu, tentang tahun berapa
masuknya ajaran agama hindu di kepulauan Kei tidak
diketahui dengan pasti.
Raja Hayam Wuruk adalah seorang raja dari kerajaan
Hindu yang terkenal dengan sebutan ayam jantan putih,
beliau mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam
kehidupan masyarakat Kei. Hal itu dapat dilihat dengan
adanya suatu anggapan didalam masyarakat Kei bahwa
jika seseorang tidak mempunyai anak maka ia selalu
gagal dalam usaha, sering kali sakit dan lain-lain yang
disebabkan karena garis-garis tangan atau tanda-tanda
khusus. Oleh karena hal itu perlu dibuat upacara
penolakan sial yang diisyaratkan dengan pemotongan
seekor ayam jantan putih, sedangkan orang yang perkasa
dan tinggi ilmunya disebut atau dijuluki ayam jantan.
Di Kepulauan Kei juga terdapat budaya pembuatan
pundak berundak, mahir, ukiran patung, dolmen dan lain-
lain yang juga merupakan ciri khas dari kebudayaan
kerajaan Majapahit dan tradisi masyarakat bali yang
umumnya menganut ajaran agama hindu.
3. Jailolo dan Ternate
Pengaruhh Jailolo dan ternate sangat jelas terlihat
pada sistem organisasi pemerintahan adat lim dan siwa
yang memiliki kesamaan dengan persekutuan raja-raja uli
lima dan uli siwa di maluku utara yang menunjukan
adanya pengaruh dari Maluku utara di kepulauan Kei.
92

4. Seram dan Banda Naira


a. Seram
Kebudayaan Kei yang mendapat pengaruh Seram
(Maluku Utara) antara lain:
 Budaya Pela (tea Bel)
 Budaya Sasi (huwear)
 Budaya Tarian Sawat
 Sebagian besar bahasa Kei sangat mirip dengan
bahasa-bahasa Maluku Tengah
b. Banda Neira
Salah satu contoh pengaruh banda naira di
kepulauan Kei adalah teknik pembuatan gerabah dan
jenis tarian penghormatan.
Untuk menghitung populasi penduduk sampai 800
orang pria yang sangat tampak berlebihan. Di depan
kampung Munu terdapat sebuah tempat berlabuh tetapi yang
sulit didekati, karena banyaknya ancaman yang terdapat di
persiran itu dan perairan itu dan kekeran laut yang
menghantam celah dan karang itu. Penduduk kepulauan Kei
seperti yang dikatakan di sini, sebagian besar masi kafir;
sementara hanya menemukan beberapa orang Islam di
sejumlah daerah. Pada mulanya mereka mengakui berasal
dari Banda; dan mendapatkan jalan masuk apabilah
dibandingkan dengan peduduk pantai Seram Timur, yang juga
mengaku berasal dari sana, dan memiliki banyak kesamaan
dalam hal adat, bahasa, kebiasaan dan penampilan.
Sebagian besar penduduk kelompok kafir membentuk
suatu ras manusia yang kuat, tegap dan menarik. Tetapi sulit
menentukan dalam kelompok apa orang-orang Kei ini
termasuk. Tampak bagi saya bahwa pembagaian yang sampai
diterima oleh ilmu pengetahuan masih terlalu umum, karena
93

saya berhasil memasukan kategori penduduk yang saya


kunjungi secara khusus. Wajahnya diuraikan secara tegas,
dahinya tinggi dan menonjol, matanya gelap dengan bentuk
yang baik, kebanyakan dihiasi dengan alis lebat dan terletak
sangat dalam pada ceruknya, memberikan tekanan serius dan
keras pada wajah.
Hidung besar tetapi bentuknya indah; mulutnya lebar
dan sering terkatuk. Rahangnya lebar dan sering ditumbuhi
jangkut keriting. Rambut kepalahnya hitam dan keriting, tanpa
disisir. Warna kulitnyua coklat tua tetapi suram. Kita telah
menggambarkan perawakan mereka tampak tegak dan kuat.
Kaum wanita juga menarik dan pada gadisnya tampak cantik.
Tetapi kecantikan mereka segerah punah, mungkin diduga
berasal dari kesuburan luar biasa dan kerja keras yang sering
harus mereka lakukan ketika kaum prianya tidak ada ditempat
atau sibuk dengan pembuatan perahu.
Adat dan kebiasaan mereka sangat mirip dengan
orang-orang seram pulau ina dan penduduk kepulauan Aru.
Kebiasaan untuk membeli wanita dari kerabatnya juga ada
disini dan masi jauh lebih kuat berlaku; karena pria yang telah
membayar maskawin tampaknya menjadi tuan dan pemilik
istrinya dan menentukan kehidupannya kadang-kadang.
Setelah kematian pria itu, sang istri akan beralih pada kakak
tertuanya atau kerabat dekatnya yang akan memeliharanya
atau menikahinya dengan pria lain. Kita jangan melihat seorng
pria dengan lebih dari sati istri, kecualai hanya dalam kasus
yang dimaksudkan diatas bahwa dia yang telah menikah juaga
masi menikahi janda kerabat dekatnya.
Orang Kei umumnya rajin dan penuh semangat. Ketika
pulaunya tidak memberikan cukup penghasilan, atau ketika
tidak ada barang-barang yang diproduksi olehnya, yang di
perlukan atau dikehendakinya, dia melakukan perjalanan
94

dengan tujan untuk mendapatkan semua itu melalaui bekerja.


Setiap tahun sebagaian penduduk Kei berkunjung ke
kepulauan Aru untuk melakukan perdagangan seperti menjual
minyak, tembikar, jongko. Dan diantara penduduknya ada
menekukni pekerjaan sebagai pembuatan perahu baik berupa
perahu kecil maupun berupah kapal kayu yang digunakan
sebagai sarana transportasi untuk melakukan aktifitas. Dari
jasa pembuatan perahu seperti ini. Yang dipesan oleh
pedagang antar pulau biasanya mereka dibayar dalam bentuk
kain, barang-barang besih dan senjatah, yang sesuai dengan
kebutuhan mereka.
Hampir setiap tahun mereka mengunjungi kepulauan
Banda, dengan sarana transportasi berupa perahu kecil dan
peahu mereka sangat disukai oleh masyarakat. Bilah kaum
pria mengadakan perjalanan ke pulau-pulau maka kaum
wanitanya ada yang menggarap tanah, membuat tembikar,
atau melakukan pekerjaan lain seperti menjaga dan merawat
keluarganaya. Bilah kaum pria kembali kerumanya, biasanya
kaum pria membantu kaum wanitanya. Mereka jarang sekalih
menghabiskan waktunya dengan berpangku tangan.
Pandangan orang anemisme terhadap kehidupan
masih mempercai roh baik dan roh jahat pandangan ini sama
dengan penduduk kepulauan Barat Daya yang masih
mengenal adanaya dewa-dewa pelindung dalam
melaksanakan aktifitasnya. Pandangan ini dapat ditemukan
sepertiadanya patung-patung berhala yang disetiap negeri
dijumpai mereka menyebutnya Ornusah. Ada juga yang
menyebutnya Padeo. Mereka juga percaya pada dewa
tertinggi atau roh besar dan memeliki gamabaran tentang
kehidupan setelah mati. Setiap negeri memiliki tanah komunal
dan selain itu memiliki banyak penduduk makmur atau
keluarga disamping juga dusun tanaman dan pusakah
95

mereka. Tanah-tanah liar yang tidak berpenghuni dan hutan


disebuah distrik dimiliki oleh seluruh distrik dan setiap
penduduk meiliki ha katas apa yang disetorkan oleh tanahnya,
memetik keuntungan itu dan menebang banyak banyak kayu
dari hutan apabilah dia memerlukannya. Hasil-hasil terdiri atas
kelapa dalam jumlah besar, kacang-kacangan dan ketelah
seperti ubi petatas, kumbili, kacang hijau dan kacang coklat,
jagung dari hasil perkebunan, dan tanaman tebuh, pohon sagu
dan sebagainya. Berbagai spesia tanaman dan pohon yang
menghasilakan berbagai jenis kayu yang berkualitas yang
terdapat di Kepulauan Kei, diantaranya jenis kayu yang
dikenal masyarakat dengan nama Loria, yang cocok bagi
perahu, labaran, medo, ee, terutama kayu besih yang
digunakan untuk membangun rumah, mihin, mufaa, utan fraa,
juga untuk membetuk rumah dan perahu, kabala tau sejenis
kayu kemuning nyaban’ t fuij, feet, ai manut, kaselat, semuah
jenis kayu keras yang mudah menyalah dan berbunga, yang
khusnya cocok untuk membuat perabotan, karkuar terutamah
yang digunakan untuk tiang layar, ra’s dan kayu bulat untuk
perahu atau kereta kecil.
Untuk jenis kayu lenggua dihutan luar dan kayu
tembaka atau lenggua kasturi. Dan jenis kayu lain yang nama
dan manfaatnya tetapi tidak dikenal, Karen di Kepulauan ini
hutannya kaya banyak menyimpan banyaak menyimpan
spesias pohon dana tanaman keras sebagai penghasil kayu
seperti Keibesar dan Kei kecil. Hasil kayu ini banayak diolah
masyaraakt dan diperdagangkan dan dibuat bahan baku
pembuatan perahu dan kerajian seperti alat mobile untuk
keperluan rumahtangga harus mendapt perhatian dan
perlindungan. Bahan baku kayu ini membuat penduduk di Kei
disebut sebagai sangat rajin. Perahu-perahu mereka dalam
berbagai ukuran dan bentuk di pantai, dibuat dalam barak-
96

barak besar yang sangat dikenal dengan kekuatan dan


kekuatan bahan bangunannya.
Orang-orang Banda, Seram dan Aru memasok perahu
dari luar banyak orang Bugis Makasar yang datang kepulauan
Kei untuk memperbaiki perahu tradisonal sepeerti perahu
padewakang kedatangan orang Bugis-Makasar ini mengajari
cara memperbaiki dan merawat perahu masyarakat mereka.
Pembuatan tembikar juga dijalankan disetiap negeri, tetapi
terutama penduduk Elie dan Hahr yang sangat terkenal
dengan seni ini. Jumlah minyak dan kelapa yang setiap tahun
dikirim kekepulauanAru, Banda, Seram dan pulau-pulau
sekitarnya, juga oleh orang-orang Makasar dan Bugis diekspor
ketempat-tempat lain, bisa disebut sangat banyak.
Selahkarang yang mengelilingi pulau-pulau yang termasuk di
kepulauan Kei kecil sangat kaya akan teripang dan karet. Bisa
ditaksir ekspor tahunan teripang sebanayak 600 pikul
sementara ekspor karet rata-rata enam samapai delapan pikul
jumlahnya. Pada berbagai pemukiman, perdagangan dalam
kedua komoditi ini masih bisa ditambah.
Di luar perdangan aktif yang di kelolah oleh orang Kei
dengan Banda dan Aru, pulau-pulau mereka setiap tahun
dikunjungi oleh enam pendewakanm dari makasar, sertah oleh
sejumlah perahu seram dan Gorom. Perahu-perahu ini
membawa beras, sagu, tembakau, kain, barang-barang besi
dan tembaga, gong, gading gaja, gulah, gambir, manik-manik,
mesiu, senapan, lilah dan sejumlah barang lain yang ditukar
dengan perahu, barang-barang kayu, taripang, karet, kelapa,
minmyak dan sebagainya. Kota-kota dagang terpenting adalah
Elat, Hart dan Fer di Kei Besar disamping Dula dan Tual di Kei
Kecil.
Elat dan Harh di pantai timur pulau itu hanya bisa
disinggahi pada musim hujan dan masih bisa ada kapal yang
97

merapat sebentar, karena tempat berlabuhnya sangat dekat


dengan aliran celah karang ini dan membentang sangat
curang, sehingga mereka kembali hanya bisa menawarkan
tempat berlabuh yang aman di dekat laut. Dari kedua
pelabuhan ini terdapat sebuah peta menarik, yang dibuat oleh
nahkoda kapal layar hindia Belanda di Ederika, y.kindom yang
layak dipercaya.
Di depan kampong verh kapal bisa ditambatkan dan
berlabuh selama musim kermarau tetapi tidak aman karena
angin berhembus sedikit diselatan. Sebuah ombak dan
gelombang tinggi hampir selalu menghantam pantai. Di
Nerong sebuah tempat berlabu bagi perahu tersedia, tetapi di
depan kampong Elat tidak ada kapal besar yang mampu
menemukan tempat berlabu yang aman di belakang pulau
Jan. pelabuhan Dula dan Tual dalam segala musim cukup
aman bagi kapal-kapal besar, karena melalui pulau-pulau
sekitarnya, mereka terlindung terhadap semua angin dan
ombak laut. Juga di Dulah laut pada musim kemarau
ditemukan tempat pelabuhan yang aman.
Perairan antara Kei Besar dan Kei Kecil pada tahun
1851 tampaknya aman bagi perahu dan kapal untuk berlabu
dengan kapal layar pengangkut Egmon, mungkin saat itu kita
singgah lebih banyak di daratan Kei Besar. Pada perjalanan
terakhir dengan kapal layar Pylades, kami sebaiknya
menemukan dua celah karang. Pada salah satunya yang saya
percayai tercatat di petah tuan Gregori, menurut kata orang
memiliki kedalam lima vadeni air. Yang lain, kira-kira tiga mil di
sebelah selatan, terletak di tengah perairan itu, pada bagaian
tengahnya tidak lebih dari vaden, sementara orang bisa
membongkar pada kedalaman 7 atau 6 vaden. Jadi ini
menjadi ancaman besar bagi kapal-kapal yang terpaksa
98

berkarya diperairan ini dan diharapkan agar ini ditetapkan


secara cermat.
Pada tahun 1645 kontrak pertama antara kepala adat
Kei dan VOC dibuat; 20 tahun kemudian kontrak ini diperbahui
dimana pada kesempatan itu penduduknya secara resmi
diakui kaulah komponi. Namun demikian pengetahuan kita
tentang kelompok penduduk yang menarik ini, dengan
jumlahnya yang banyak, rajin dan siap menerima peradaban
masing sangat terbatas. Karena alasan ini saya berani
berharap agar apa yang telah saya sampaikan disini
hendaknya diperhatikan.

D. Larwul Ngabal Sebagai landasan filosofi Masyarakat


Kei
Pada zaman penjajahan Belanda, dalam struktur
pemerintahan di daerah Maluku terbagai menjadi dua bentuk
wilayah administrasi. Kedua struktur pemerintahan itu dikenal
dengan nama Recht Steek Bestuurde gebieden dan Zelf
Bestuurde Gebieden. kelompok Recht Steek Bestuurde
gebieden yang terdiri atas daerah Maluku Tengah, Maluku
Tenggara dan kota Ambon yang dibawa pemerintahan
residential denzuit moluken,sedangkan zelf bestuurde
gebieden terdiri atas daerah Maluku Utara dan Halmahera
tengah dibawa pemerintahan reisidenti denort Moluken.
Sebelum kemerdekaan repoblik Indonesia yakni pada
pemerintahan hindia Belanda, kota Tual dijadikan sebagai
ibukota onder afdeling Kei-erlanden yang dikepalai seorang
asisten residen, yang membawahi kota Tual, Dobo, Somlake,
dan Wanreli yang masing-masing dikepalai oleh seorang
kepala pemerintahan setempat atau KPS. Tetapi sesudah
kemerdekaan Repoblik Indonesia pada Tahun 1945, Maluku
Tenggara yang menjadi bagian dari Maluku selatan karena
99

dengan pertimbangan letak geografi yang cukup berjauhan


dari Ambon yang dijadikan sebagai ibukota Maluku Selatan.
Melihat kondisi yang demikian maka took-toko
masyarakat Maluku tenggara antara lain. A. Koedoeboen, S.
Poroe, M. Henso Borot, H.A. Gani Renuat dan B. Setitit, dalam
kapasitasnya sebagai anggota dewan Maluku Selatan (DPRD)
mengusulakan agar Maluku Tenggara memisahkan diri
dengan Maluku Selatan dan membentuk Kabupaten sendiri
usul itu akhirnya disetujui oleh gubernur MR. J Latu harhari,
maka antara tahun 1950 dan 1951 maluku dipecah menjadi
dua wilayah daerah tingkat dua Maluku Tengah dan daerah ti
gkat dua Maluku Tenggara. Bedasarkan persetuajn gubernur
tersebut maka sesuai dengan peraturan pemerintah nomor 35
tahun 1952 bertepatan dengan tanggal 22 desember 1952,
Maluku Tenggara secara resmi berderi sebagai kabupaten
yang terpisah dari Maluku Selatan. Bersamaan dengan itun
pula disepakatin kota Tual sebagai ibukota kabupaten Maluku
Tenggara walaupun diawali dengan perjuangan dan
perdebatan yang panjang antara took-toko yang mewakili
pulau-pulau larat, somlaki dan tepa yang menghendaki
somlaki sebagai ibukta Maluku Tenggara, dengan took-toko
yang mewakili kepulauan Kei, Aru dan kisar yang
menghendaki kota Tual jadi kabupaten Maluku Tenggara.
Pemberlakuan undang-undang nomor 22 tahun 1999,
tentang Otonomi Daerah, yang memberikan ruang kepada
daerah untuk memekarkan dirinya dengan membentuk daerah
sendiri, maka semenjadak tahun 2000/2001 Maluku Tenggara
telah di mekarkan menjadi kabupaten Maluku Tenggara
dengan ibukota Kota Tual dan kabupaten Maluku tenggara
Bararat (MTB) dengan ibukota Soumlaki. Dan pada tahun
2002/2003 kepulauanAru dimekarkan lagi menjadi kabupaten
dengan ibukota Dobo. Dan pada tahun 2007 Kabupaten
100

Maluku Tenggara dimekarkan lagi menjadi Kabupaten Maluku


Tenggara dengan ibukota Langgur, dan kota Tual berdasrkan
SK Presiden nomor 31/8/07, tanggal 17 september 2007
menjadi kabupaten Kota Tual yang meliputi Dulah selatan,
Dulah Utara, Tayando-Tam dan Pulau Kur.
Terlepas dari berbagai pikiran yang melatar belakangi
dari proses pemakaran tersebut tetapi perdebatan itujuga
berakhir ketika Mahkamah Konstitusi Repoblik Indonesia
dengan memperhatikan berbagai macam aspek dari proses
pemakaran tersebut maka secara hukum mengetuk palu
bahwa pemakaran Kota Tual itu sah secara hukum
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
terkait dengan pemakaran daerah, maka hal itu harus
dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan untuk
memberikan kontribusi terhadap perkembangan daerah.
Bagiaan ini menjadi penting dalam kajian ini karena
keberadaan hukum Larwul Ngabal itu berad di Kepulauan Kei
yang didalamnya termasuk kabupaten Maluku Tenggara dan
Kota Tual. Penegasan ini penting agar agar tidak keliru dalam
memahami hasil kajian ini walaupun objek penelitian berada di
Kota Tual, tetapi dalam kajian hukm adat Larwul Ngabal lebih
menekankan pada kepulauan Kei. Karena pemberlakuan
hukum adalt Larwu Ngabal itu mencakup seluruh wilayah yang
ada di kepulauan Kei Maluku tenggara.
Bangsa Indonesia termasuk bangsa yang
masyarakatnya majemuk. Kemajemukan itu ditandai dengan
keragamana Agama, budaya, dan suku. Secara historis,
kemajemukan tersebut telah ada berabad-abad lampau dan
menjadi khasana budaya yang sangat dibanggakan. Dengan
keragaman tersebut tentu dapat memberikan harapan kepada
masyarakat agar tumbuh dan berkembang dalam ikatan-ikatan
yang bersandarkan pada tradisi dan buya yang ditetapkan
101

dalam hukum adat yang sekali gus menjadi norma-norma


yang perlu di taati dan perlu dihindari dalam mengatur
kehidupan masyarakat baik itu secra indifidu maupun
berkelompok.
Kepulauan KeiKota Tual, seperti daerah-daerah lain di
Indonesia dapat memiliki tatanan adat dan keragaman
budaya. Serangkayan adat dan buya masyarakat masi
berfungsi sebagai pengikat masyarakat antara satu dengan
yang lainnya dalam berbagaio dimensi kehidupan. Salah satu
bagian dari keragaman adat dan budaya yang masi dapat
dipertahankan dan dilestarikan dan membingkai masyarakt
kepulauan KeiKota Tual dalam pola-pola hubungan
persaudaraan ikatan yang terdapat dalam hukum adat Larwul
Ngabal. Adat tersebut dipandang sebagai nilai-nilai kearifian
l.okal yang mampu mempererat hubungan satu dengan yang
lain dalam ikatan kekeluargaan sekaligus sebagai aturan atau
norma dalam menyelesaikan berbagai konflik yang berkaitan
dengan kehidupan masyarakat.(Bahar, S: 1995).
Nilai-nilai kearifan lokal yang ada dalam budaya
masyarakat Kei seperti Larwul Ngabal merupakan modal
sosial kultural yang sangat penting peranannya dalam
integrasi sosial masyarakat Kei Maluku Tenggara, karena
ssuda menjadi budaya yang suda turun temurun sejak
berates-ratus tahun. Kearifan-kearifan lokal tersebut
mengajarkan budaya tersebut mengajrkan budaya damai,
rukun, gotng royong, kasihyang, seteraan dan penghargaan
sesuai dengan fungsi dan peranannya. Selain itu juga secara
historis menunjukan bahwa kearifan-kearifan lokal yang ada
dalam budaya masyarakat kepulauan Kei Maluku tenggara
mampu membangun solidaritas sosial Yang melampawi sekat-
sekat perbedaan baik dlam agama, etnis, idiologi, bahasa
maupun golongan.
102

Keragaman adalah sunnatullah, maka mengabaikan


keragaman berarti mengingkari sunatullah sepeerti yang
difirmanakan Allah SWT dalam QS. Surat Al-hujurat (49 ayat
13: “ Hai manusia, sengguhnya Aku menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan
kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya akmu
saling kenal mengenal) (QS. Al-Hujurat ayat 13).
Keragaman menjadi keniscayaan dan kenyataan
penting, karena kesadaran atas keragaman bangsa dan
budaya itu menjadi bahan pemikiran yang mendalam oleh
para pendiri negeri ini dalam mengembangkan gagsan dan
konsep kehidupan berbangsan dan bernegara.
Untuk mewujudkan harapan tersebut, maka salah satu
perubahan mendasar dalam amendemen undang-undang
dasar Negara Repoblik Indonesia tahun 1945 yang di singkat
(UUD NRI), yang menekankan tentang pemberlakuan
Otonomi Dareah. Pemberlakuan Otonomi Daerah setidaknya
memberikan harapan untuk mengakomodir berbagai tuntunan
yang menghendaki adanya pengakuan dan perlindungan
masyaraakat hukum adat. Ohoikan tersebut bukan tanpa
alasan karena konsekwensi dan perubahan itu menghendaki
arah kebijakan pembangunan dari sentralisasi menuju pada
desentralisasi dan pembangunan berbasis pada kearifan lokal
dengan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat.
Pengakuan Bangsa Indomesia terhadap “ keberadaan
suatu masyarakat hukum adat” secara tegas ditetapkan di
dalam UUD NRI tahun 1945 pengakuan ini didasari kenyataan
bahwa sebelum kemerdekaan Indonesia, “ kesatuan
masyaraakt hukum adat” telah ada dan mampu mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakt secara otonom dan itu diteri
baik oleh masyarakat, olehnya utu merupakan pilihan yang
harus diakui dan dihormati sebagai bagain dari pengelolaan
103

pemerintahan yang dialandasi dengan semangat Otonomi


daerah.
Pengakuan dan penghormatan terhadap satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa
adalah meliputi pengakuwan terhadap berlakunya Hukum Tata
Negara Adat sesuai dengan struktur masyarakat setempat.
Hala itu meliputi baik aspek struktur pemerintah daerah
maupun pembentukannya. Hal itu juga bisa memungkinkan
pada daerah-daerah tertentu tidak bisa dipaksakan untuk
menjalankan ketentuan yang kurang sesuai dengan struktur
yang khusu dan Keistimewaan dalam daerah tersebut.
Pengakuan terhadap masyarakat hukm adat menjadi
paradigm penyeragaman dalam sturktur masyarakt lokal di
Indonesia menyebabkan penting bagi hukum ada Negara
untuk mengakomodasi hukum lokal yang suda ada, dan itu
menjadi pegangan yang kuat bagi masyarakat yang suda
menjadi turun temurun.
Sejak amendemen kedua Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (UUD Tahun 1945)
tgl 18 agustus pada tahun 2000 diaturlah dasar hukum
masyarakat lokal dalam Negara Indonesia yang atur dalam
pasal 18B yang berbunyi. (1) Negara mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus dan bersifat istimewa yang diatur dengan
undang-undang. (2) Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisonalnya sepanjang masi hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara kesatuan
Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang.
Amandemen Konstitusi negara merupakan landasan
bagi pemerintah dan mengatur “ keberadaan kesatuan
masyarakat hukum adat” didalam suatu undang-undang.
104

Namun UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa kesatuan


masyarakat hukum adat yang diakui dan dihormati oleh
Negara, dan perlu diatur dalam undang-undang setidknya
menurut hemat saya ahrus memenuhi. (3) persyaratan yuridis
yang harus dipenuhi sebagai masyarakat hukuim adat yaitu :
Pertama: “ sepanjang masi hidup”, artinya: bila
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisonalnya
ternyata masi hidup, yakni memiliki sistem adat nilai adat,
memiliki lembaga adat, memiliki pemangku adat, memiliki
anggota komunitas, dan memiliki kejelasan teritori
pemberlakuannya, dan nilai adat tersebut digunakan sebagai
pengatur sikap dan perilaku masyarakat, maka” kesatuan
masyarakat hukum adat tersebut harus dihormati dan diakui
oleh Negara”.
Kedua:” sesuai dengan perkembangan masyarakat”,
artinya bila sistem adat yang berlaku di sebuah komunitas
adat bernyata masi dihormati dan diakui oleh segenap warga
komunitasnya (secara internal), serta tidak bertentangan
dengan nilai-nilai sosial yang dianut oleh masyarakat luas
(secara eksternal), maka nilai tersebut harus dijaga dan
dilestarikan, serta wajib dihormati dan diakui oleh komunitas
lainnya tatkala berada dalam komunitas adat tersebut.
Ketiga: “ sesuai dengan prinsip kesatuan Bangsa
Indonesia”, yakni bilah sitim adat pada suatu komunitas adat
tertentu ternyata dapat diterima dan dihormati oleh
masyarakat Indonesia pada umumnya, serta tidak
bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Repoblik
Indonesia, dimana sistem nilai adanya tidak memecah belah
persatuan dan kesatuan nasional, maka sistem nilai adat
istiadat tersebut wajib dihormati dan dilestarikan oleh negara
dan perlu diatur dalam undang-undang.
105

Atas dasar UUD NRI Tahun 1945 tersebut dengan tiga


persyaratan tersebut diatas maka sejak pemberlakuan hukum
adat Larwul Ngabal di kepulauan Kei Maluku Tenggara
sampai sekarang dan pada masa-masa yang akan datang
tetap menjiwai nilai-nilai dasar dari UUD NRI Tahun 1945
tersebut dalam pemberlakuan hukum adat Larwul Ngabal
tersebut. Hal ini terjadi karena landasan filosofis yang dianut
oleh masyarakat Kei adalah manut ainmehe tilur vuut
ainmehe ningivun (semuo orang Kei berasal dari satu
keturunan).
Selanjutnya dalam perkembangan ketatanegaraan
Indonesia, kesatuan masarakat hokum adat yang telah dijamin
dalam pasal 18B UUD NRI Tahun 1945 kemudian dijabarkan
dalam UU No. 6 Tahun 1945 Tentang Desa yang telah
mengalami sistim pemerintahan desa adat, yang mengsahkan
berbagai masyarkat hokum adat dalam pemerintahan desa
atau negeri dimaluku hususnya di tual Maluku Tenggara.
Namunpun demikian keberadaan masarakat hokum
adat dikepulawan kei Maluku tenggara berdasarkan UU Desa
harus ditetapkan dalam suatu peraturan daerah yang
memberikan pengakuan dan jaminan terhadap masarakat
hokum adat kei sebagai suatu kesatuan masarakat hokum
adat yang masi hidup dan sesuai dengan perkembangan
masarakat dan perkembangan dan masarakat dan prinsip
Negara kesatuan repoblik Indonesia sebagaimana diatur
dalam UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana telah di jabarkan
sebelumnya.
Menelah lebih jau tentang eksistensi hukum adat larwul
ngabal, tidak terlepas dari perbincangan hukm adat, olehnya
itu memberika arti terhadap kata ”adat” pemaknaan terhadap
kata tersebut karena kelahiran hukum tersebut merupakan
warisan dari adat yang harus dijaga dan dipelihara.
106

Merupakan barang berharga yang sangat bernilai. Adat


menjadi dasar setiap rumahtangga dan masyarakt Kei. Sikap
curiga dan prasangka terhadap adat Kei. Kata “adat” bagi
orang Kei dimaknai dalam bebrapa arti: (A. Cielen dan I
Renwarin: 1979).
a. Adat berarti sopan santun (bahasa Inggris: politeness,
bahasa belanda: beleefdeheit: geode manieren)
lawannya, ialah kebiadaban (impolitenees, ondebeleef
deheit), jadi adat berarti tau hormat dan budi pekerti.
b. Adat berti tata tertib, peraturan, syarat yang semuanya
bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia menuju
kedamaian dan kebahagiaan bersama. Dalam arti
inilah kata adat sering dipadukan dengan kata “istiadat”
dengan arti berbagai tata tertib yang mengatur
kehidupan manusia.
c. Adat juga di pakai dalam arti “sifat bawaan” yang
terdapat dalam setiap pribadi indifidu, sehingga
terdapat citra khusu dalam tutr kata dan tindak
tanduknya. Dalam kata inilah kata adat sering
disamakan dengan “kebiasaan” yang kurang lebih
menata kepada diri orangperorangan.
Penggunaan kata “adat” dalam kajian ini sering
dikaitkan dengan pendekatan “hukum”. Namun apabilah
penggunaan kata “adat” dimaknai secara sendirian maka yang
kami masudkan adalah adat menurut pengertian yang
terdapat dalam poin kedua tersebut diatas. Pemahaman
tentang arti adat seperti itu agar sejalan dengan hukum adat
yang dipahami secara umum bahwa adat dapat memiliki
konsekwensi-konsekwensi legal. ( Ter Haar: 1962)
Ohoiwut. Seperti halnya rastchap tersebut juga
memiliki ohoi-ohoi yang secara teritori juga saling
menggabungkan diri. Sedangkan untuk lorlobai atau penegak
107

terhadap 2 (dua) ratschap yaitu ratschap tam di Kepulauan


Kei kecil dan raschap werka di Kei kebesar.
Pengelompokan ini terjadi sejak masyarakat yang
datang mendiami wilaya kepulauan Kei berdasar keterikatan
atas hukum adat yang dipegangnya seprti ursiu dengan
hukum adat Larwul dan lorlim dengan humkum adat Ngabal.
Dalam memperluas pengaruh terjadi peperangan diantara
mereka yang terus berlangsung untuk saling menguasai atau
memperoleh wilayah kekuasaan yang pada akhirnya muncul
kelompok penengah atau kelompok netral (lorlobai) yang
mampu mendamaikan dan mempersatukan mereka yang mau
menjadikan hukum yang dipegang masing-masing sebagai
satu kesatuan untuk menyatuka meraka yang disebut larwul
ngabal. Sebelum lahirnya hukum adat larwul ngabal, memang
kondis Tual dan kepulauan Kei padaumumnya belum teratur
dengan baik karena yang diberlakukan dibebrapa temapat
adalah hukum lokal yang banyak diwarnai dengan terjadinya
pembunuhan, pemerkosaan dan lain-lain bahkan pada
perebutan kekuasaan juga, khusnya diTual hukum yang
pertama itu dinamakan Re’etaba. Melihat kondisi tersebut di
Kepulauan Kei pada saat itu, maka kehadiran hukum adat
larwul ngabal yang akan berlaku di seluruh kepulauan Kei
dapat diharapkan dapat memberikan perubahan dan dapat
mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat Kei baik yang
bersifat pidana, perdata, maupun ketata negaraan, dan
dilengkapi dengan sanksi-sanksi bagi yang melanggarnya.
Pada umunya sebagaina besar penduduk di kepulauan
Kei menyebutkan bahwa lari = darah, ada juga yang
menyebutkan dengan lar, Vul= merah, yang berarti darah
mera sedangkan nga = tombak, dan bal = bali, berarti tombak
dari bali, larwul ngaba berate tombak berdara mera berasal
dari bali. Hukum adat ini seperti hukum adat pada umunya,
108

mengandung unsur-unsur aturan dan larangan sebagai penata


kehidupan sosial, ekonomi, dan moral-moral orang bagi orang-
orang Kei.
Terhadap menggolongkan hukum adat larwul ngabal
dibawa satu klasifikasi yang mencakup seluru hukum adat di
Ambon dan Maluku selatan (seram, Banda, Aru, dan tanimbar)
meskipun diakuinya hukum adat Kei berad dipengaruh irian
dan kepulauan timur. Pada hal seperti yang kitaliat, hukum
larwul ngabal dihubungkan dengan seorang toko sejarah Kei
yang konon berasal dari Bali.
Dalam menelusuri hukum adat lawul ngabal sedikit
menglalami kesulitan hal ini terjadi karena tikdak diwariskan
oleh leluhur Kei dlam bentuk prasasti atau litaratur lainnya,
hanaya diwariskan secara lisan dan hanya dikuwatkan oleh
“sisah” ketaatan dan pelaksanaan hukum adat tersebut oleh
dalam masyarakat Kei dari masa kemasa. Kesulitan tersebut
tidak mengurangi semangat untuk melakukan kajian atau
penelitian lebih mendalam terhadap hukum adat tersebut. Ada
bebrapa penulis seperti H. Georjen, Ph. Rennyaan, P.B.
Resubun, dan A Geilen, Boetjoi Ubro, JP Rahail, yong Ohoi
timur, paschalis Maria Laksono, J.A. Patikaihattu dkk dan
Abdul Rauf, telah menyebut dan menguraikan tentang hukum
adat larwul ngabal, dengan berbagai pendekatan berdasarkan
hasil penelitian yang mereka lakukan masing-masing.
Kendati tiada ada kepastian tentang dictum
pembentukanya, semua tradisi secara serempak
menghubungkan pembentukan hukum adat larwul ngabal
dengan Ditsakmas, seorang toko sejarah Kei asalusulnya dari
pulau bali (kerjaan majapahit). Dalam abad VIX kerjaan
majapahit meluaskan pimpinannya dibawa kekuasaan
Gajahmada. Sehingga Maluku terrmasuk Kei terhitung pula
sebagai wilayah kerajaan majapahit, akan tetapi pada tahun
109

1978 kerjaan termashur itu runtuh sama sekali ketika raja


Kediri geridradahana merebut kekuasaannya. Pada waktu
itulah kerajaan majapahit menjadi kacau balau dan rakyatnya
menjadi tercerai berai. Dlam konteks inilah P.H. Rennyaan
menulis bahwa kepindahan pendudk dari Bali ke Kei itu terjadi
pada abad XV dan XV.
Dalam arus transmigrasi tersebut terdapat kelurga hi
laai (petua, pemimpin, kepala) yang bernama kasdeu dengan
istrinya Ditranggel. Mereka memasuki teluk sorbai dipantai Kei
kecil, dan akhirnya singgah dikampung letvuaan skarang .
atas persetujuan penduduk asli mereka mendirikan kampong
di bukit yang agak tinggi Ohoi Vuryang artinya kampung diatas
bukit. Terdapat penduduk asli mereka yang mengatakan diri
sebagai wakil dewa yang datang dari pulau dewata. Oleh
karena itu semua persembahan kepada dewa harus melalui hi
laai kasdeu, yang mempunyaitiga orang anak yakni tabtut,
fadersamai dan atman.
Sesudah beberapa waktu, kasdeo kembali lagi ke Bali
dan pulang ke Kei bersama robongan lain dibawah pimpinan
hi laaijangra dan anaknya ditsomar. Karena diserang angina
topan, perahu jangga yang berlayar di selatan pulau Kei,
terpaksa memasuki selat Nerong dan mendarat di LerOhoilim
(KeiBesar). Dalam perahunya, Jangra antara lain memuat tiga
puluh tombak dari Bali. Sementara itu perahu kasdeu bisa
kembali dengan selamat ke OhoiVuuar.
Hi laai kasdeo diganti oleh putranya tevtut. Tevtut inilah
yang menganggap dirinya sebagai Raja pertama di Kei
dengan kedudukannya di OhoiVuar. Pada waktu itu sudah
adajuga beberapa hi laaiyang berkuasa di Kepulauan Kei,
yakni mantilur di Ohoililir, Wear di Diyan, Arnuhu di Danar,
kaneu di Yatvav, dan jangra di Lerohoilim. Tetapi hi laai-hi
laaitersebut rupanya disebut sebagai Raja dan hanya
110

berkuasa dalam daerahnya masing-masing. Baru pada Tabtut


hendak meluakan kekuasaannya, para hi laai tersebut mulai
digerakan menuju satu persatuan dalam struktur
kepemimpinan. Gerakan ini di stimulir oleh tabtut yang
mengirim putrinya, ditsakmas untuk kawain dengan arnuhu di
Danar. Perjalanan ditsakmas pergipulang danar ohoiVur
merupakan babakan pertama yang ditandai dalam sejarah di
Kepulauan Kei sebagai pembentukan hukum adat Larwul
ngabal.
Perjalanan historis pembentukan hukum adat ini
menunjukan bahwa bahwa para pendatang di Kepulauan Kei
memeliki andil yang cukup besar dalam melahirkan hukum
adat larwul ngabal karena ketika mereka diterima oleh
penduduk asli dan menjadi penguasa setempat segera
melakukan pembaharuan-pembaharuan dan meletakan suatu
hukum yang diterima oleh semua masyarakat yang itulah
disebut hukum larwul ngabal, walaupun sebelumnya ada
hukum yang suda diberlakukan diseluruh kepulauan Kei yaitu
hukum “rimbah” atau doloh tetapi hukum tersebut lebih
menjurus kepada tindakan-tindakan yang tidak
berprikemanusiaan sehingga menimbulkan keresahan di
masyarakat Kei dengan melihat pada hukum larwul dan
hukum ngabal.
Latar belakang terjadinya hukum larwul ngabal
berdasarkan penuturan-penuturan masyarakat Kei (para tua
adat), tidak terlepas dari pengambokan masyarakat yang
berada diKepulauan Kei menjadi 3 (tiga) kelompok yakni. (a)
persatuan masyarakat yang tergabung dalam kelompok ursiu
dengan hukum larwul, (b) persekutuan masyarakat yang
tergabung dalam kelompok lorlim dengan hukum ngabal, (c)
kelompok persekutuan baru yaitu lorlobay penengah atau
111

netral. Untuk lebihjelasnya dapat dilihat dari pendekatan


hukum larvul maupun ngabal. Sebagai berikut:
a. Sejarah hukum Larvul.
Ada sebuah adegium, kebiasaan yang dimiliki oleh
para hilaai (pemangku adat), yaitu kebiasaan untuk saling
berkunjung antara sesama hilaai, kebiasaan yang suda
membudaya ini dikandung maksud untuk saling bertukar
pikiran, saling berbagi pengalaman antara sesama hilaai
tentang cara apa yang harus mereka lakukan sebagai upaya
menciptakan kedamaiyan, ketentraman, dan kerukunan
diantara sesame agar umat manusia boleh mengenal hak dan
kewajiban, tugas dan perannya dalam berperilaku dengan
sesame umat manusia, sesame masyarakat dand alam
konteks yang luas. Dan untuk menciptakan kondisi kehidupan
yang demikian maka sangat diperlukan suatu aturan, hukum
adat, sebagai pedoma nyang ditaati.
Kebiasaan yang saling berkunjung antara satu
hilaan/ini terjadi hamper setiap saat dan dimana-mana di
seluruh kepulauan Kei. Seperti halnya dengan HiLaai Elar:
futrub renuat dengan hilaai arnuhu danar, suatu ketika
bertempat diujung Ohoi danar-sare, kedua hilaai tersebut
bertemu dan sambil minum tuat arak, tiba-tiba ada inisyatif
dari arnuhuDanar untuk menawarkan suatu kegiatan kepada
rekannya Futrub Renuat.
- Fuut rub’e? apakah yang bisa kita buat suatu kegiatan
yang mengakibatkan banyak orang? Maksudnya,
Tanya futrubRenoat, jawab arnuhu maksudnya untuk
kita membahas tentang kehidupan umat manusi ini
dengan memiliki suatu hukum adat sebagai aturan
yang mengatur tentang tata kehidupan umat manusia
secara baik dan menyeluruh, Tanya fuut rub, acaranya
dibuat secara apa, kapan, dimana, siapa-siapa yang
112

diundang dan apa uang menjadi tanda? Jawab arnuhu,


ya, kalau demikian yakni kita siapkan kegiatan dengan
baik.
- Hilaai futrub’e, apa yang kita bicarakan waktu lalu di
ulersim sare itu, sekarang suda ada seekor Kerbau
yang dibawa oleh Ditsakmas keturunan tabtut dari
LetVuan, jadi rencana kita selanjutnya bagiman hilaai
fuutrub, kemudian menyusun rencana kegiatan
sebagai berikut: undang kawan hilaai yang ada di
sekitar ini terutama para hilaai dari utan lorlim sampai
ke seram-gorom, dobyar (dobo). Dan diantaranya
seekor kerbau kepertengahan danar-elar. Setelah
pada hari yang ditentukan, makla berkumpullah para
hilaai, antrara lain:
. fuutrub Renoot, hilaai dari wlaar
. lalai wohor, hilaai dari ngursoen
. sobnaik remlau siran, hilaai dari mastur
. Arnuhu, hilaai dari danr
. Barandik ngabalin, hilaai dari ohoiseb
. Lasar teniut, hilaai dari ohoidertutu
. ditamba dengan para hilaai utan lorlim.
Mereka hadir dan berkumpul disuatu tempat yang
disebut amalir lorsiryen, letakannya antara Ohoi Elar
Lamagorang dan Elar Ngursoen. Setelah para hilaai
berkumpul ternyata futrub belum hadir dan masi tidur, para
hillai beristirahat sejenak sambil menungui futrub, kemuidan
muncul sebua belan yang membawa fuutrub renooat hilaai
elar datang dari kot-el melewati tuun ket terus melintas
melewati tempat pertemuan, (siran-siryen) ke-el bublen pulang
pergi, para hilaai yang suda hadir dan menujungi
fuutrubRenooat kemudian mengundang fuutrub Renuat
kedatangannya ditempat tersebut kemudian mereka
113

melantunkan berbagai nyanyian dan sair-sair adat. Melihat


dan mendengarkan nyanyian yang dilantunkan fuutrub
Renooat membalas dengan nyayian dengan nyanyian pula
yang sairnya sebagai berikut:
he-he, yo, luuf mol-mol ohoilim lalai namlur edo,
yoodoko, kabilang sau na’a nung masrat nikot umfeheli
ngon vetmet siran kei, mo wadoko kabilang sau nanun
masrart nikot loda lelvel vib siran keli, ho, ho, ho, ho ye,
ambilang-ambilang bauna’a nung masrat nikot la-loi
amfol dong her na’a rat nungkot, i ho, ho.
Setelah futruub hilaai elar turun dari belan dan
kemudian bergabung dengan para hilaai yang hadir, maka
siding pun segera dibuka dan digelar, sebgai tanda (tom) dari
siding adat tersebut. Kerbau disembelihnya yang dilakukan
oleh laho ohoiren (lalaiwor) dari ohoi ren ngursoin dengan
menggunakan sirukfooarte atau sirukkifara. Dari peristiwa
inilah dimana kerbau ini disebut sebagai kerbai siuitu setelah
disembelih dan dipotong kemudian dibagi-bagikan kepada
para hilaai yang hadi maupun yang tidak hadir disertai dengan
nyanyian/sair sebagai berikut:
Sa Mam Famur Mu’uno Na Rat
Natub Le War-war LAfoso (danar)
Ru Matan Boor Leler Ko Ngur So
Ohoi Ru Laforu (Ngursoen)
Tol Nifan Rok Sunatub Falfing
Letaw koko lear itel (Elar)
Faat Hunga Naar lobaha
Tamngil Lafo fair (Mastur)
Lien Nendit sakmas Omvel suvak
Luv Na’ar Mar’I Lair Lafo lim (wain)
Nean Tinean Lek-lek Natub
Nill fel but tenan El Simrow
114

Lafo nean (ohoinoi)


Fit Tungun Kus Natub
Sik Sangol Lavo Wau
Sik Sangol Lavo Flt (yatvav)
Wau Neran Bad Natub
Dalo Seudar Lavo Wau (Uf)
Siw Fofoot bes Natub Silken
Hermas Lafo Siw (ohoder tutu)
Vut Dingdingil Rit Farne
Namtaar Lafo Vut (Madwair)
Bauk bal Donloy nam bai, jingra I ni yoo
Nganga Rat Siw Sundir Nam Ngur Tahir vur, omdo Fo
amsab o, fulfuliko.

Artinya:
Kapal perahu telah terbuka
Dipelabuhan bali (pelabuhan lerohoilim sebelumya)
Dan itu adalah milik jingrat.
Ngabal/tobak telah ditancap
Diantara pasir dan air laut
Sebagai tanda.
Marilah,
Kami senatiasa menghormatinya,
Engkau (jingra) adalah panutan kami.

Ungkapan ini disampaikan oleh tuan tanah Ler Ohoi


lim (Rengur) dalam menyambut/menerima kehadiran jinggra
dan keluarga sekaligus penyerahan diri dan kekuasaannya
kepada jingra untuk mengaturnya dan sebagai cikal bakal
terbentuknya lorlim dan hukum ngabal di Kepulauan. Sejara
terbentuknya Lorlim mulai terukir dengan berawalnya
kehadiran jinggra diKepulauan Kei.
115

Bahwa setelah tersiarnya berita tentang kedatangan


jnggrat dan putrinya ditsomar dari bali dan menetap
dilerohoilim dibebrapa kampong diKeibesar termasuk
dikampung ver (tenan savav-kampung pertama), maka oleh
wadufin taileleo atas izin hilaai tarat(bomav) segera berangkat
menuju lerohoilim bertemu jinggrat dengan memakai leleo
(rakit gaba-gaba) dengan maksud meminang “ditsomar” putri
satu-satunya menjadi istri. Niat baik ini diterima oleh jinggra
dan terjadilah ikatan suci yakni perkawinan antara keddua
insan dalam mempersatukan kembali ikatan persaudaraan
yang sama asal usulnya. Setelah perkawinan, wadufin taileleo
bersama istrinya ditsomar kembali ke ver dengan mebawa
nganga/ngabal (tombak dari Bali) yang diberi oleh jinggra
sebagai alat untuk melindungi dir mereka dalam perjalanan.
Setibanya di ver (tenan safav-kampung pertama) wadufin tai
leleo dan istrinya ditsomar menyerahkan “Ngabal” kepada
hilaai telarat ver dan kemudian “ngabal” ditancapkan di tempat
persinggahan (yarnain tivun waul) sebagai bukti perkawinan
wadufin taileleo dan ditsomar. Inilah awal perjalanan ngabal
yang dimulai dengan perkawinan wadufin taileleo dengan
ditsomar mengungkap sejarah terbentuknya utanlorlim,
diproklamirkan hukum adat Ngabal dan penyebarluasan
kekuasaan lorlim melalui pengangkatan/pengukuhan hilaai
menjadi raja dalam kawasan lorlim hingga saat ini.
Mawar Atau Nyayian
Yaan Tom Lalain
Sa o Sa, Ngabal Enba Ental Sal Sobnait
Namtuk Sundir Tivun Wane, Wadufin taileleo
(Isro) yawn Ning O.
Aritnya:
Awal sejarah pertama: perjalanan ngabal mulai dari
bal sobnaik ditancapkan
116

Ditempat persinggahan (tivun wane) adalah milik


wadufin taileleo (isro)
Kemudian untuk memfungsikan “ngabal” maka atas
prakarsa wadufin taileleo (Difinubun) dengan kesepakatan mel
rahan tel ver (sades, bomav, var-var), ver ubtel (vadir, vako,
wadufin) chlan para hilaai timur barat bertanya memohon restu
dari jinggra maka dikukuhkan dan dilantiklah hilaai talarat
bomav menjadi rat tubav yamlim untuk pertama kalinya
dengan menggunakan ngabal oleh wadufin taileleo (difnubun)
di Ver womav el kalbuit.
Dalam pelantikan dan pengukuhan itu dilantunkan
syair dalam bahasa setempat disebut wawar atau nyanyian:
Ru o Ru-ngabal Namluk Sundir
Wamav El Kelbui,
Isro Yaan Nung O.
Artinya:
Kedua, Ngabal ditancapkan
Dipusat kampong (womar elkelbui)
Adalah milik saya raja tubavyamlim (isra)
Sejak saat itulah kekdudukan hilaai talarat Ver berubah
menjadi tubav yamlim dan memiliki keuatan hukum untuk
mengatur memprakarsai terbentuknya kesatuan dalam utan
lorlim, sekaligus raja ver tubav yamlim diakui sebagai uun rat
utan lorlim. Suatu ketika setelah kedatangan jinggra dan
keluarga di Kepulauan kie tepatnya di Ohoi lerohoilim oleh
jinggra telah memprakkarsai t5erjadinya suatu pertemuan
yang dihadiri oleh 5 (lima) hilaai yang ada di Kei besar untuk
membentuk suatu kesatuan dalam membangun dan
mempertahankan kehidupan bersama yang adil dan
manusiawi.
Prakarsa ini berawal dari berita/pesan dari kasdeo di
ohivur bahwa di Kei kecil suda mulai berusaha untuk
117

memproklamirkan hukum universal yang baru yakni hukum


dasar nev-nev menjadi hukum Larvul yang fungsinya
mengatur tentang kehidupan manusia. Pertemuan para hilaai
ini membentuk suatu kesatuan yang disebut “utan lor” yang
artinya kesatuan yang terjadi dari banyak komunitas yang
memiliki kekuatan yang koko. Dari sebutan “lor” (masyarakat
banyak). Identic dengan sebutan unnang (kepala naga) nifan
wod (gigi ikan buas), ivun lor (perut ikan paus), halan lor mel
balit (sayap ikan paus kanan dan kiri) dan silin yoe (ekor ikan
hiu) kesemuanya merupakan lam,bang keperkasaan lorlim.
Hal ini sebagaimana pembagian peran/tugas para hilaai
dengan menggunakan “lor” yang berarti ikan paus sebagai
lambing yang dinbagi saat pertemuan di Ohoi Lerohoilim
antara lain:
1. Ohoi Ver mendapat bagian “kepala” sebagai lambing,
pemimpin, pemikir, penentu dan pengambilan keputusan
tentang segala hal dalam kesatuan lorlim. Wawar atau
nyanyian:
“ur un nang tub intur-turun na’a woma el kelbuil”.
2. Ohoi langgiar mendapat bagian “gigi” yang melambang
senjata tajam yang siap menghadap lawan.
Wawar atau nyanyian:
“nifan, nifan wod tub in ham-hamin wale wama sirken
rat”Ohoin nerong mendapat bagian “perut” yang
didalamnya terdapat hati yang melambangkan perasaan,
kasihsayang, persatuan dan kedamayan.
Wawar atau nyanyian:
“ivun, ivun tub in lolowang na’a nav woma sirken su”
3. Ohoi tutrean dan weduar mendapat bagian “sayap”
kanan dan kiri melambangkan belang utama yang siap
menghadang dan mengejar musu dari arah depan.
Wawar atau nyanyian:
118

“halan, halaan mel-balit tub in yau yau na’a lon lair”


4. Ohoi uvat mendapat bagian “ekor” yang melambangkan
pembantu yang tugasnya menangkis serangan dari arah
belakang.
Wawar atau nyanyian:
“silin, silin yeu tub in bangbangil na’a ub ohoifak”

Berdasarkan historis dari prosesi dan tempat


terbentuknya maka hukum larwul dan hukum ngabal maka
peristiwa yang terjadi diamalor lop. Siran siryen adalah
peristiwa maklumat (pembentukan/pengesahan) terhadap
hukum adat larvul dan hukum adat ngabal untuk dijadikan
menjadi satu hukum adat yang lengkap, utuh dan dapat
diberlakukan pada masyarakat ursiu maupun lorlim, yang
selanjutnya disebut hukum Adat Larvul ngabal.
Perjalanan panjang para pelaku sejarah (para leluhur)
hukum adat larvul ngabal dari kedua komunitas masing-
masing persekutuan masyarakat “larvul” yang tergabung
dalam kelompok “ursiu” dengan sebutan “siu ifaat” dan
persekutuan masyarakat “ngabal” yang tergabung dalam
kelompok “lorlim” dengan sebutan “linitel” telah terukir dalam
sejarah peradaban masyarakat Kei hingga saat ini.
Perjuangan ini pun berkahir dengan kesepakatan untuk
berlakukan hukum adat masing-masing dengan cara
menggabungkan kedua hukum adat tersebut masing-masing
ursiu dengan hukum larvu dan lorlim dengan hukum ngabal
menjadi suatu kesatuan hukm adat yang mengatur semua tata
laku kehidupan masyarakat Kei yang kemudian disebut
“hukum adat larvul ngabal” yang merupan perpaduan antara
patasiwa dan patalima.
Sebagai suatu ketentuan hukum yang akan
diberlakukan di kepulauan Kei, maka hukum adat larvul ngabal
119

terdiri atas tujuh (7) pasal yang bersumber dari hukum adat
lokal dengan rincian sebagai berikut:
a. Hukum nevnev yakni mengatur tentang kehidupan
manusia dan terdiri atas 4 pasal (pasal satu, dua, tiga,
empat).
b. Hukum hanilit yakni mengatur tentang
kesusilaam/moral dan terdiri atas 2 pasal (pasal lima,
enam)
c. Hukum haukarbaiwirin yakni mengatur tentang hak dan
keadilan sosial yang terdiri atas 1 pasal (pasal 17)
Selain pasal-pasal hukum adat larvul ngabal yang
mengandung perintah/anjuran/ajakan kepada masyarakat Kei
untuk mentaati, menjunjung tinggi dan menjaga nilai-nilai
kesakralannya dalam mengatur kehidupan, menata moral hak
dan keadilan baik tersirat maupun tersurat, maka terdapat juga
larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan serta sesuai
tingkat, pelanggarannya yang disebut dengan “sasa sorvit”
(tujuh lais/tingkat) kesalahan/larangan baik pada hukum
nevnev, hanilit, hawear balwirin”.
Berikut ini adalah urayan tentang pasal-pasal hukum
adat larvul ngabal serta larangan-larangan (sasah sorfit)
sesuai hukum dasar nevnev, hanilit, dan hawear balwirin
sebagai berikut:
1. Ketentuan-ketentuan dalam Hukum Adat Larvul ngabal
Padal 1. Uud Entauk Etvunad
Artinya: kepala kita bertumpu pada pundak kita.
Secara harfiah pasal ini berarti, kepla kita
bertumpu atau bersatu pada tengkuk/pundak klita. Bagi
orang Kei memandang bahwa “kepala” sebagai bagian
tubuh yang terpenting. Kepala adalah organtubu yang
paling terpenting. Kepala adalah organ tubuh yang
terletak paling tinggi, olehnya itu harus memperhatikan,
120

memikirkan, melihat, menjaga dan melindungi


kesalamatan anggota lain ditubuh manusia. Pada
kepala terdapat mata dan telinga, otak, hidung, mulut
dan lidah, yang semuanya berfungsi untuk
menghidupkan seluruh tubu manusia. Dalam pandang
ini maka kepala seakan-akan harus diakui
kekuasaanya untuk melindungi seluruh tubuh manusia.
Olehnya itu kepala dapat dimaknai dengan memiliki
makna seperti:
a. Uud (kepala) melambangkan pimpinan atau
penguasa dalam hal ini pencipta (Tuhan), pengatur
(manusia) dalam tataran pengusaannya.
b. Uud (kepala) pada manusia adalah bagian tubuh
yang letaknya tertinggi diantara organ tbuh
manusia, dan pada kepala terdapat sebagian organ
tubuh penting seperti mata, telingan, otak, hidung,
mulut dan lida yang kesemuanya mempunyai
fungsi penting layaknya fungsi dan peran seorang
pimpinan yang memiliki kesempurnaan untuk
memimpin.
c. Uud (kepala) terletak dipundak artinya
1. Terhadap sang Pencipta (Tuhan-Duad Karatat)
maka manusia wajib menyembah,
melaksanakan segalah perinta-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya.
2. Terhadap penguasa/kepala/pimpinan (Laai
Kwas Adat/Kubni/Agam) maka sebagai
masyarakat harus mengikuti perintah.
3. Terhadap orang tua (Duad kabav) maka anak-
anak wajib menghormati dsn mematuhi segala
perintah/anjurannya.
121

d. Uud (kepala) dipukul oleh pundak artinya sebagai


pimpinan harus mampu melindungi/mengayomi
anggota tubuh yang memikulnya (pundak-
masyarakat).
e. Uud (kepala) bersatu dengan pundak artinya
sebagai pimpinan harus senantiasa menyatu
dengan masyarakat, merasakan suka duka
masyarakat dan berpadu dalam segala gerak dan
dinamika kehidupan masyarakat.
f. Etvunad (pundak) terletak dibawa kepala dan
memikul kepala artinya sebagai masyarakat/ anak
senantiasa menyadari diri sebagai bagian yang tak
terpisahkan dengan pimpinan yakni dapat memberi
dukungan dan siap menerima perintah yang
sehubungan dengan kemajuan dan kemaslahatan
bersama.
Berdasarkan makna dari kepala tersebut diatas maka
pasal ini diberikan 3 pengertian:
a. Pertama-tama pada pasal ini menuntut suatu
pengakuan yang sah dan resmi bagi kekuasaan
pemimpin-pemimpin rakyat (raja, kepala kampong,
kepala fam, dan kepala adat). Pemimpin rakyata (rat
worma, riin-rahan) harus dihormati karena dia adalah
“kepal” yang bersatu dengan masyarakat sebagai
tubuh, ia berfungsi sebagai elindungi dan mengawasi
masyarakat dan meperhatikan nasib bawahannya. Dia
bekerja sama dengan masyarakat demi kesejahteraan.
Fungsi pemimpin seperti itu masi diungkapkan dalam
beberapa pepata bahasa Kei seperti uud matan yang
dimakani dengan kepala dan mata adalah toko-toko
dalam masyarakat adalah pembawa suara rakayat dan
bawaannya, mereka kepala dan mata masyarakat, Uud
122

enlai welan nanorang, kepala merayap, ekor


mengikutinya yang dimaknai bahwa tingkalaku atasan
selalu diikuti bawahannya. Uud enlek-kepala jantu
karena insaf akan kesalahanya dan merasakan malu,
orang tunduk kepala, kepala seakan-akan harus
menanggung kesalahan (malu) demi seluruh anggota
tubuh.
b. Pasal ini juga menuntut suatu penghargaan tertentu
terhadap hak dan martabat orang tua dalam keluarga
karena orang tua adalah “kepala” yang mengatur,
melindungi, dan memlihara seluru anggota keluarga.
Hak istimewa orang itu terutama dalam hal pengaturan
perkawinan anak-anak. Karena itu orang itu disebut
Duaad kabav-yang harus dihormati dan ditaati.
Martabat orang tua tidak boleh direndahkan, karena
memandang orang tua adalah wakil dari Ilahi yang
hadir di bumi secara nyata. Karena itu orang tua
menjadi suatu kewajiban bagi anak untuk harus
menunjukan ketaatan dan rasa hormat. Martabat dan
hak orang tua selalu harus dipertahankan, sesuai
dengan pepata teen foo taan, yanyanat fo yanat, orang
tua tetap mempunyai kedudkan sebagai orang tua dan
anak tetap sebagai anak-anak.
c. Pasal ini juga menekankan pada hubungan manusia
dengan Ilahi. Bahkan ada tradisi lisan yang
mengatakan pasal pertama ini mewajibkan orang Kei
untuk bertakwa kepada Tuhan Yang maha Esa, dan
selalju melaksanakan sel.uruh perintahnya dan
meninggalkan seluruh larangannya maka manusia
harus tunduk kepada Duad sebagai penguasa yang
tertinggi, pemberi segala anugra dan hakim yang maha
kuasa dan Duad, Tuhan, adalah “kepala” kehidupan
123

manusia dan alam semesta dan roh-roh serta manusia.


Kewajiban untuk bertakwa dan kewajiban untuk tunduk
kepada pencipta alam semesta Tuhan, yang inti dari
ajaran Islam yakni tauhid merupakan sendi-sendi
pokok keberagamaan seseorang dalam Islam. Dalam
artian bahwa tidak ada iman pada diri seseorang jika
ketakwaan dan ketundukan kepada sang pencipta itu
dingkari. Oleh sebab itu kegtakwaan dan kepatuhan
diletakan pada pasal pertama agar dapat menjiwai
seluru pasal berikutnya, karena pertama ini sangat
berkolerasi dengan asas yang pertama dalam hukum
adat larvul ngabal yaitu tavloor nit itsob Duad yang
berarti setiap akan memulai suatu pekerjaan,
masyarakat kepulauan Kei harus menduakan agar
orang-orang yang telah meninggal mendapat tempat
yang layak di sisi Tuhan, dan juga memohonkan agar
pekerjaan yang dilakukan mendapat restu dari Tuhan
dan memperoleh hasil yang baik.
Pasal 2, Lelad Ain Fo Mahiling.
Pengertian dari pasal ini yaitu mengatur tentang
kehidupan sebagai sesuatu yang mulia/luhur/agung sehingga
harus dilinfungi/dijaga.
Lelad (leher) adalah bagian anggota tubuh yang
penting dan strategi sehingga jika diganggu/dilukai pada
manusia merasa tidak aman dalam hidupnya, dan jika leher
iotu putus maka manusia akan mati. Menurut orang Kei, lelad
(leher) itu muliah dan harus dijaga/dilundingi, untuk itu orang
Kei biasanya mengorbankan harta demi kehidupan atau
kesalamatan (Leiwai) singkatnya bahwa jangan saling
melukai/memotong apalagi membunuh karena kehidupan itu
sangat mulia.
124

Pasal ini mengisaratkan tentang arti kebenaran di


pertahankan, dihormati dan dilindungi. Kebenaran yang
dimaksudkan adalah hukum itu sendiri. Hukum berarti semua
peraturan dan larangan dalam hukum adat Larvul Ngabal itu,
karena tujuan hukum adat itu termasuk dalam hukum adat
Larvul Ngabal adalah menegakan kebenaran dan menjalin
harmonisasi dalam kehidupan. Pasal ini biasanya dipahami
dalam dua arti. (a) hidup dan kehidupan bersifat luhur serta
suci, karena itu harus dihormati. Pasal ini sangat jelas
menghargai perikemanusiaan. (b) leher juga dipakai sebagai
sumber kebenaran yang harus ditegakan. Dan kebenaran itu
taklain dari hukum adat itu sendiri.
Hidup dan kehidupan itu bersifat luhur, suci
adanya,karena itu hidup dan kehidupan seorang manusia
tidak boleh diganggu gugat, bahkan sebaliknya harus
dihormati secara eksplisit pasal ini menugaskan tentang
perikemanusiaan. Hak hidup orang lain harus diakui dan
dihormati. Selain itu juga mengingatkan manusia tentang
kebenaran. Sikap yang tetap terhadap kebanaran adalah
meluhurkannya hal itu berarti kebenaran itu harus
dipertahankan, dihormati dan lindungi. Bagi orang Kei
kebenaran itu adalah hukum itu sendiri maka dalam arti yang
luas, setiap peraturan dan larangan dalam adat yang
bertujuan untuk menegakan kebenaran tidak boleh dilanggar
karena itu berarti bertindak melawan kebenaran, justeru
karena peraturan dan larangan itu mengatur seluruh
kehidupan manusia. Dengan kata lain, tata tertib dianggap
sebagai sumber hidup manusia secara layak.
Pasal 3. Ul Nit Envil Etumud
Artinya kulit adalah pelindung badan/tubuh/daging agar
terpelihara dan tidak tercemar oleh penyakit atau gangguan
lainnya.
125

Maksudnya Ul Nit Envil Etumud (kulit) dengan makna


adalah bagian pelindung daging atau tubuh manusia.
Sedangkan falsafa orang Kei tentang Ul Nit Envil Etumud
(kulit) adalah:
1) Sebagai selimut menutup/membungkus aib
seseorang dari kesalahan yang diperbuat agar
tidak tercemar nama baik, karena nama baik orang
harus dijaga/dipelihara dan tidak bole dinodai
dengan fitnah.
2) Menebus kesalahan orang berupa harta benda
atau barang berharga lainnya agar bebas dari
gangguan/fitnah.
Dalam pandangan orang Kei kulit adalah pembungkus
badan seutuhnya. Keutuhan tubu manusia sangat tergantung
pada keutuhan permukaan kulit. Baik daging maupu ntulang
belulang manusia tersimpan secara tersembunyi di bawa kulit.
Kulit juga mampu menyembunyikan berbagai penyakit yang
ada dalam tubuh manusia. Pasal ini diberika 2 arti. (a) Nama
baik orang lain harus dipelihara. Kesalahan-kesalahan
sesame tidak boleh di ceritakan atau digembar-gemborkan.
Menceritrakan kekurangan orang lain sama halnya dengan
merusak atau melukai kulitnya sehingga penyakit semakin
parah. Pasal ini juga melarang tindakan memvitnah. (b)
Kesalahan terhadap orang lain harus dipulihkan atau ditutup
kembali. Pemulihan ini biasanya dilakukan dengan membayar
denda adat. Pelunasan denda bagaikan pengutuhan kembali
permukaan kulit yang terlah rusak oleh fitnahnya.
Penegasan tersebut diatas mengisyaratkan tentang
perlunya memelihara nama baik seseorang, kesalahan-
keslahan sesame manusia tidak boleh diungkapkan. Kebaikan
dan keburukan seseorang itu bagaikan daging dan tulang
harus dibungkus dengan kulit. Menceritrakan keburukan
126

seseorang mengandung arti bahwa telah menghancurkan


keutuhan hidupnya diantara sesame manusia. Pemaknaan
tersebut dimaknai sebagai larangan untuk memfitnah orang
lain yang juga m erupakan hukum melindungi rakyat dan
mengakui hak hidup masyarakat. Nkehidupan Rasull SAW
banyak mencontohkan perilaku untuk tidak saling membuka
rahasia, bahkan memberikan janji kepada orang yang
menyembunyikan rahasia seseorang.
Pasal 4. Lar Nakmot Ivud
Artinya darah membekuh/berkumpul dalam perut.
Secara harfiah berarti darah, ivud berarti perut. Kata
nakmut secara harfiah berarti terkurung sehingga tinggal
tenang, tetapai pada umumnya diterjemahkan dengan
terkumpul. Olehnya itu tubu manusia tidak boleh dilukai
sampai mengalirkan darah. Penumpahan dara berarti
pembunuhan terhadap manusia. Untuk itu jangan bertindak
sewenang-wenang terhadap orang lain sehingga
menimbulkan luka atau penumpahan dara apalagi sampai
terjadi pembunuhan.
Kata “nekmot” sebenarnya berarti terkurung sehingga
tinggal dengan tenang. Menurut pandangan orang Kei, perut
adalah penyimpan darah manusia. Menurut Yong Ohoitimur
bahwa pandangan ini harus dihubungkan dengan perut
sebagai sumber kehidupan baru karena perut (kandungan)
adalah penyimpan manusia sebelum di lahirkan. Seorang
wanita yang sedang hamil biasnya dikatakan “ivun” (perutnya).
Pasal ini juga di artikan (a) tubuh manusia tidak boleh dilukai
sampai mengalirkan darah. Itu berarti, dilarang penganiyayaan
dan kekejaman yang menumpahkan dara manusia. (b)
penumpahan darah bisa berarti pembunuhan terhadap
manusia. Karena itu, arti paling tegas dari pasal ini adalah
“jangan membunuh”.
127

Pasal tersebut dimakan bahwa tidak boleh di rusak


atau dilukai, apalagi sampai pada pertumpahan darah, karena
dalam pandangan orang Kei bahwa pertumpahan dara berarti
adanya pembunuhan terhadap manusia baik dilakukan secara
sengaja maupun tidak sengaja, karena itu termasuk
penghinaan terhadap hidup manusia, baik pada pasal dua,
tiga dan empat dari hukum nevnev ini sangat berkolerasi
dengan asas kedua dari hukum Larwul Ngabal yang berbunyi:
At Foing Fo Kut at Fau Fo Banglu, yang berarti dalam hidup
dan kehidupan masyarakat kepulauan Kei bersatu dalam
ikatan suatu persatuan dan kesatuan yang koko. Dalam artian
bahwa menghormati hidup dan kehidupan karena semua
orang merasa bersaudara maka dilarang membunuh dan
memfitnah, membuka aib orang lain.
Keempat pasal yang tergabung dalam hukum nevnev
yang bercoral simbolik. Organ tubuh manusia yang dipakai
secara terpadu dalam hukum nevnev untuk melambangkan
aspek kehidupan sosial manusia. Hal itu cukup menarik
karena bagi bagian tubuh tersebut dipilih menururt fungsi
biologisnya untuk di ungkapkan menjadi satu kesatuan kolektif
yang tidak yang bukan istrinya. (b) Moryain. Melambangkan
perkawinan. Dalam arti itu, setiap perkawinan harus
diluhurkan dan tidak boleh di nodai. (c) Moryain juga
melambangkan kaum perempuan, mala seperti yang
disunggukan pada pasal 5 diatas, martabat dan keluhuran
perempuan dijunjung tinggi.
Seorang perempuan, baik yang sudah kawin maupun
yang belum kawin, tak boleh diperlakukan secara tak sopan,
melainkan mereka dilindungi secara terhormat. Melihat
berbagai penekanan baik pada pasal lima maupun pasal
enam dalam hukum hanlilit maka secara tegas terlihat bahwa
pentingnnya menjaga dan menghormati kesusilaan baik itu
128

dalam pergaulan sosial maupun dalam lembaga perkawinan.


Hal itu berarti masala kesusilaan perkawinan ditetapkan dalam
pemeliharaan kehidupan yang kolektif.
Dalam hukum adat larvul ngabal, tertinasas keempat
yang hendak dicapai adalah kehidupan yang tertib dan teratur
secara kolektif. Untuk mencapai cita-cita hukum telah
menggariskan cara-cara yang harus diikuti dalam bidang
kesusilaan. Hal itu berarti kewajiban-kewajiban terhadap kaum
wanita dan lembaga perkawinan merupakan sarana menuju
ketertiban yang bersifat kolektif. Kedua pasal tersebut
dikaitkan dengan korelasi dengan asa keempat dalam hukum
larvul ngabal yang berbunyi: let antub ne dud an dir, yang
berarti perkawinan adalah suatu hal yang mulia dan sacral
olehb karena itu pemilihan jodoh harus dilute sesuai dengan
aturan dan adat yang telah ditetapkan oleh agama. Hal
tersebut sekaligus menegaskan bahwa ajaran inti perkawinan
yang luhur dan sacral dalam Islam baik pada pasal lima dan
pasal enam yang tergabung dalam hukum hanilit, lebih
menekankan pada pentingnya kedudukan kesusilaan, baik
dalam pergaulan sosial maupun dalam pergaulan lembaga
perkawinan hal terjadi karena prinsip pokok kesusilaan itu
ditetapkan dalam kerangka pemeliharaan kehidupan kolektif
secara umum. Dalam huluim hanilit telah menentukan lorong-
lorong kesusilaan yang harus dilewati dalam satu taman
kehidupan bersama.
Hal lain juga dilihat dalam hukum hanilit ini yaitu
hubungan kausal yang ada dalam kedua pasal tersebut. Pada
pasal lima boleh dipandang sebagai langkah preventif
terhadap pasal enam, yang menekankan pada seorang lelaki
melewati batas (rek) yang ada, bisa mengakibatkan pedoman
terhadap tempat tidur wanita yang ada didalamnya keterkaitan
dari kedua pasal tersebut bisa berimplekasi terhadap ruwetnya
129

perkawinan yang diatur adat Kei yang banyak menekankan


pada latar belakang pada pandangan tentang kesusilaan.
Dalam proses perkawinan. Olehnya itu seorang wanita yang
dikeluarkan dari tempat yang luhur memang harus mengikuti
jalan yang muliah dan dibayar pula dengan penghormatan
yang tinggi.
Berdasarkan pandangan ini, maka suatu proses dalam
perkawinan tetap melihat sebagai suatu cita-cita kolektifitas
yang ada dibalik rasa hormat kepada kaum wanita sepeti
diuraikan dalam pasal lima dan pasal enam dalam hukum
larvul ngabal. Oleh karena itu kecendrungan untuk
mengatakan bahwa penilayan tinggi terhadap kaum wanita
dan martabat perkawinan, bukanlah didasrkan pada martabat
wanita dan perkawinan itu sendiri, melainkan terutama
merupakan sarana perwujudan persatuaan kekeluargaan
antara manusia sebagai suatu keluarga besar.
Pasal 7. Hira ni fo ini, itdid fo itdid
Artinya milik orang tetap miliknya, milik kita tetap milik
kita. Maksudnya hak milik seseorang tidak boleh diganggu dan
di khiyanati. Jangan rakus terhadap sesuatu yang bukan hak
milik sehingga menimbulkan kecurangan, ketidak adilan
terhadap orang lain.
Ditinjau dari segi maka yang terkandung seperti diatas,
bilah dibandingkan dengan pasal-pasal yang lain dalam
hukum adat larvul ngabal, yang mengandung arti sibolik, maka
dalam pasal (7) tuju ini satu-satunya yang tidak mengandung
arti yang simbolik. Dengan demikian, terjemahan secara literal
dalam pasal ini menunjukan arti dan maksud dari pasal itu
sendiri. Pasal tersebut diatas secara tegas menuntut adanya
pengakuan terhadap hakmilik, baik hak milik pribadi maupun
hak milik orang lain, disamping tiu juga menyatakan hak setiap
130

orang untuk memilik harta. Dan kepemilikan yang menjadi hak


itulah yang akan dilindungi oleh hukum hawear belwirin.
Pembagian harta benda secara tidak adil atau tidak
merata diumpamakan seperti hamsar lakes. Hak milik yang
dimaksud dalam pasal tersebut bukan hanya kekayaan diruma
yang dimiliki keluarga, melainkan termasuk juga sesuluruh
hakmilik bersama baik di laut maupun di darat. Pengakuan
terhadap hakmilik ini penting sebagai langkah pencegahan
untuk dilindungi hubungan antara sesam anggota masyarakat
agar tetap terjaga dengan harmonis. Dengan demikian maka
sebenarnya pada pasal ketuju hukum larvul ngabal ini, secara
jelas menggariskan dengan tipe hubungan sosial yang harus
disefakatkan oleh pengakuan terhadap hak orang lain untuk
memiliki hak suatu barang dalam bahasa pancasila yang
diterjemakana dengan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat”.
Pengakuan penting bagi sebagai langkah preventif untuk
melindungi hubungan yang tetap harmonis antara anggota
masyarakat.
Demikanlah urayan tentang setiap pasal dalam hukum
adat larvul ngabal. Melhat dari penjelasan yang ada memang
sangat pendek karena hanya menyangkut tujuh pasal saja,
anamun secarab substansui dari ketuju pasal tersebut sangat
padat karena suda menjangkau seluruh kehidupa orang Kei.
Penguwatan terhadap hukum adat larvul ngabal tidak hanya
pada ketuju pasal tersebut tetapi untuk mendapatkan bentuk
yang terperinci dalam apa yang disebut dengan sas sorvit atau
kesalahan yang terdiri dari tuju bagian. Perpaduan pengkajian
dan pemahaman terhadap tuju pasal baik dalam hukum adat
larvul ngabal maupun sasa sorvit tersebut semakin
menunjukan keberadaan hukm adat tersebut untuk dikaji
secara cermat dan mendalam untuk menjelaskan arti dan
maksud dari hukum adat larvul ngabal.
131

2. Sasa sorvit.
Sasa singkat sa berarti kesalahan-kesalahan atau
pelanggaran-pelanggaran terhadap sesuatu perbuatan yang
menyebabkan orang lain rugu atau menderita, sedangkan
“sor” artinya lapisan atau tingkatan dan vit artinya tujuh. Jadi
sasa sorvit atau sasar sorvit adalah tujuh lapisan atau tingkat
kesalahan atau pelanggaran. Sasa sorvit di susun menurut
hukum dasar yakni hukum nevnev, hukm hanilit dan hukum
haweiar balwirin dengan jenis pelanggaran terhadap hukum
larvul ngabal sebagai berikut:
a. Sa sor vit hukum nevnev (pasal 1, 2, 3, 4 hukum adat
larvul ngabal)
1. Muur na, subanvakla = mengumpat me nyumpah.
2. Haum hebang= berniat/bencana jahat.
3. Rasung smu, rudang dad= mencelekai, mengguna-
gunai
4. Kev bangil= memukul
5. Tev ahai, sung tavat= melempar, menikam, menusuk.
6. Vedan na, avat fo nga= membunuh, memotong-
motong.
7. Tivak, luduk fo vavain= menguburkan,
menenggelamkan hidup-hidup
Jika memperhatikan, tingkat kesalahan dari ketuju
pasal tersebut diatas maka dapat meberikan intrerpretasi
dengan pendekatan pada empat pasal, baik dari pasal 1,
2, 3 dan 4 dalam hukum nevnev dalam hukum larvul
ngabal maka dapat dikatakan sebagai berikut:
1. Pasal satu dari sasavit hukm nevnev merupakan
bentuk kongkrit dari pasal 3 hukm larvul ngabal.
(jangan memfitnah). Pasal ini melarang hal-hal seperti
berbicara buruk tentang orang lain dan melarang
penyumpahan terhadap orang lain.
132

2. Pasal dari sasa sir fit hukum nevnev termasuk juga


bentuk kongkrit dari pasal 3 hukum larvul ngabal. Pasal
ini melarang suatu perebutan batinia (actusinternus)
berupa tindakan jahat terhadap orang lain.
3. Pasal tiga merupakan kongkrit dari pasal dua hukum
larvul ngabal. Pasal ini tidak mengizinkan tindakan
manapun yang menyusahkan oranglain, tetapi jauh
dari pada itu, pasal ini menyebut cara yang dilarang
untuk mencelakai orang lain itu, dengan cara blck
majik.
4. Pasal empat merupakan bentuk kongkrit dari pasal dua
hukum larvul ngabal. Memukulnya merupakan tindakan
yang menyusahkan sesama manusia. Perbedaannya
dalam pasal 3 diatas ialah bahwa pasal empat ini lebih
menekankan tindakan nyata (memukul) sedangkan
pasal 3 lebih menekankan tindakan terselubung
dimana suatu aztus astenus tidak kelihatan orang yang
diusahakan itu.
5. Pasal lima dari sasa sor vit hukum nevnev merupakan
bentuk kongkrit dari pasal empat hukum Larvul Ngabal.
Perbuatan-perbuatan seperti melempar, menikam dan
menusuk (dengan benda tajam) terhadap sesama
manusia, merupakan tindakan-tindakan penganiayaan
yang bisa menumpahkan darah. Perbuatan-perbuatan
seperti itu tidak dibenarkan oleh manusia.
6. Pasal dari enam asas sorvit hukum nevnev merupakan
bentuk kongkrit dari pasal satu dan empat hukum adat
larvul ngabal. Membunuh (pecan na) berhubungan
dengan pasal empat hukum Larvul Ngabal. Tetapi soal
memancung (tetap vanga) lebih berkaitan dengan
pasal satu hukm larvul ngabal yang berbicara tentang
“kepal” membunuh berarti menumpahkan darah, tetapi
133

cara lain untuk membunuh adalah memotong dan


memancung kepala, yang terakhir ini berarti ini berarti
memisahkan kepala dari tengkuk.
7. Pasal tujuh sasa sor vit hukum nevnev, merupakan
bentuk kongkrit dari pasal dua hukum larvul ngabal.
Rupanya bagian kesalahan terakhir inilah yang paling
berat. Yakni menguburkan dan menggelangkan orang
hidup-hidup.
Sasa sorvit hukum nevnev tampaknya disusun
menurut langkah-langkah atau proses kepada
pembunuhan terhadap seorang manusia. Semakin dekat
langkah itu kepada pembunuhan (pasal tuju) semakin
berat kesalahan proses itu dimulai dengan tingkat paling
ringan, yakni mengatai-ngatai orang tanpa rencana jahat
atau rasa dendam yang mendalam. Langka orang
berikutnya, perasaan benci suda diikut sertakan dan
menyusul tindakan-tindakan nyata, mulai dari tindakan
nyata yang paling kejam.
Khusus pasal enam dan pasal tujuhsasa sorvit hukum
nevnev ini, menyebutkan pula bebrapa cara membunuh
manusia. Hal ini ditambahakan uraian diatas tentang
“proses pembunuhan”, mendorong kami untuk
menyimpulkan bahwa agaknya pada waktu itu dalam
kehidupan orang-orang Kei terdapat beberapa cara
pembunuhan terhadap manusia yang sudah dikenal dan
dipraktekan juga. Justru karena pengenalan ini, hukum
hendaknya melarangnya.
b. Sa Sor Fit Hukum Hanilit (pasal 5, 6 hukum adat larvul
ngabal);
1) Sis Af, Kafik Mitko= mendesis dan memanggil,
bermain mata.
134

2) Kis Kafir, Temar Umur= Mencubit, menyenggol dari


depan maupun belakang.
3) In A Lebak= merangkaul memeluk,
4) Val ngutung tenan, siran baraan= menelanjangkan
menyetubuhi
5) Marvuan vo ivun= menghamilkan diluar nikah
6) Manu’u marai= membawa lari wanita
mengganggu/merampas istri orang.
7) Nadit natal telvunan, nakbub in oho vehe wain=
menghamili saudara kandung/anak kandung sendiri
Pasal 1, 2, 3 dan 4 sasa sorvit hukum hanilit
merupakan bentuk kongkrit dari pasal lima hukum adat
larvul ngabal: rak vomahiling. Semua pasal itu berbicara
tentang nilai-nilai sopan santun dalam pergaulan antara
pria dan wanita. Menurut pandangan orang Kei, isyarat-
isyarat panggilan yang menggunakan lembaian tangan
(pasal satu diatas) atau dengan mendesis adalah isyarat
untuk melakukan perbuatan tak baik. Isyarat itu biasanya
dilakuan dengan “diam-diam” agar orang lain tidak
mengetahui tanda panggilan itu. Dan karena itu dinilai
tidak sopan dalam kehidupan bersama, tidak terbuka,
sehingga dilarang. Bahkan pada “main matah” pun dilihat
sebagai isyarata dari lelaki terhadap wanita, atau
sebaliknya; suatu isyarat sebagai ungkapan ajakan untuk
bersatu atau bergaul sebagai suami istri. Karena
kemungkinan tujuan inilah, maka main mata dilarang.
Kis kafir, temar umur juga mendapat tafsiran yang
sama dengan pasal satu dan pasal dua diatas. Dalam
kehidupan orang Kei dahulu, tindakan kis kafir yang
biasanya dilakukan dengan tangan, sering diganti dengan
sentuhan busur (alat pemanah) yang umunya dibawa oleh
para petani ke kebun. Misalnya seorang pria yang sedang
135

membawa busur ditangannya, bertemu dengan seorang


wanita; sang pria langsung menyentuh sang wanita
dengan busurnya ketika siwanita berada di depannya (u);
dapat juga sentuhan itu dilakukan ketika wanita suda
berada dibelakannya (mur). Nah, perbuatan seperti itu
dianggap sama dengan memberikan tanda tentang tanda
adanya Keinginan untuk bergaul secara intim. Karena itu,
pasal tiga ini melarangnya.
Sedangkan pada in alebak merupakan kongkritisasi
tindakan dari isyarat pada pasal satu, dua dan tiga
tersebut. Keistimewaan dari pasal ini adalah dengan
tegas menunjukan bahwa satu batas sopan santun suda
dilangkahi. Dua orang pria dan wanita hanya bisa saling
merai dan memeluk, jika antara merai tidak adalah lagi
batas pemisah. Tetajpi oleh karena memeluk bukan
berarti bersetubuh, sajah seperti melangkahi rek belum
berarti menodai tempat tidur wanita yang ada didalamnya,
maka cenderung menyebut pasal empat ini sebagai
kongkritisasi dari pasal lima hukum adat larvul ngabal
yakni rek vo mahiling.
Pasal lima enam dan tuju dari sasa sorvit hukum hanilit
merupakan kongkritisasi dari pasal enam hukum larvul
ngabal, yakni moryayin fo kelmutun. “val ngutun tenan, ne
siran baraun” adalah ungkapan kiasan untuk istilah
persetubuhan. Isyarat-isyarat yang disebut dalam pasal
satu sampai empat, dianggap sebagai “undangan” untuk
bersetubuh. Dan karena itu semuanya di berikan
penilayan negatif. Marvuan vo ivun merupakan istilah
untuk menyebut kehamilan di luar nikah (adat). Kehamilan
seperti itu selalu dikualifikasikan secara negativ. Orang
Kei memang mengenal jenis jalan menuju satu
perkawinan yaitu:
136

1. Lenan leet vid, habsol vel taan= meminang wanita


dengan membawa harta kawin yang diperlukan (jalan
yang dihormati)
2. Manu’u= kawin istri, pemuda melarikan pemudi
3. Marvuaan vo ivun= menghamili wanita
Orang Kei berpendapat bahwa melalui ketiga jalan ini
satu perkawinan bisa terjadi. Tetapi perkawinan sedapat
mungkin hanya dicapai melalui jalan yang utamah. Oleh
karena itu marvuaan vo ivun dilarang dan dinilai tidak
baik. Penggunaan itu juga tersirat pada makna manu,
marai merupakan istilah yang secara khusu dipakai untuk
menunjukan kasus dimana seorang laki-laki melarikan istri
orang lain. Inilah kesalahan yang paling berat dalam sasa
sorvit hukum hanilit. Agaknya pasal hukum adat larvul
ngabal secara khusus melarang kasus perkawinan serupa
ini.
c. Sasor vit hukum hawear balwirin(pasal tuju hukum adat
larvul ngabal)
1. Varyatad sa= menginginkan barang orang lain (rakus)
2. Itkulik afa borbor= menyimpan barang curiaan
3. Itbor= mencuri
4. Taan rereang, daad afa weed= makan upah tapi tidak
kerja
5. It liik ken umat rirafa, tana it weed= menemukan
barang milik orang tapi tidak mau mengembalikan
6. Itlavur umat rir afa= merusak, menghancurkan barang
orang lain
7. It taha kuuk welmat= menahan, utang orang/tidak
melunasi
Kata, varyatad agak sulit diterjemahkan dengan satu
kata saja. Menurut H. Geurtjene, kata itu berarti
menghasratkan (begeren) atau menginginkan. Akan tetapi
137

bobot kata yang diberikan oleh Geurtjene itu terlalu netral.


Padahal dalam kata varyatad sudah terkandung secara
khas nada negativ dari suatu penilaian etis: menginginkan
barang orang lain secara tidak sah. Inilah satu aksi
batinia, kehendak yang belum diwujudkan, tetapi
dianggap sebagai dasar yang bisa muncul dalam bentuk
kongkrit seperti akan disebut oleh pasal-pasal yang
menyusul.
Putusan kehendak dalam pasal satu diatas, baru
mendapat bentuk kongkrit dalam pelaksanaan pasal-pasal
yang menyusulnya. Karena orang menginginkan barang
orang lain, maka ia ‘mencuri” tetapi kalau pasal 2,
“menyimpan barang curuian” pasal 3, “makan upah tanpa
kerja”, pasal 4, “memungut barang milik orang lain tetapi
tidak mau mengembalikannya”, pasal 5, “merusak barang
milik orang lain”.
Khusus mengenai pasal 3, nampaknya tidak dibedakan
antara “hasil curian yang dilakukan oleh si penyimpan
sendiri”, dan “hasil curian yang dilakukan oleh orang lain”.
Dengan demikian, jika si A menyimpan barang curian
yang di curi oleh si B, maka perbuatan si A tetap
dipersalahkan oleh hukum adat. Hal istimewa yang patut
di catat oleh pasal empat, adalah bahwa pasal ini
menyebut satu ,mental manusia: malas, cari gampang.
Dan pandangan bahwa kemalasan bisa mengakibatkan
orang lain bisa mencari untung sendiri secara tidak halal.
Karena itu, kemalasan harus didobrak: orang harus
bekerja baru bisa makan. Hal ini kiranya harus dilihat
dalam kaitannya dengan salah satu sikap dasar orang
Kei, yakni dalam menuntutnya agar selalu kerja keras dan
tidak mengizinkan sikap cari apatis.
138

Pasal lima menekankan soal kejujuran. Hukum adat


menghendaki satu sikap yang jujur terhadap barang milik
orang lain. Barang orang lain yang tercecer dan
ditemukan, harus dikembalikan dengan cara apapun juga
kepada pemiliknya. Bahwa soal “tidak tau si pemilik” tidak
dipersoalkan dalam pasal ini, harus bicara dalam konteks
kehidupan bersama dan relasi Veis tu veis yang terdapat
dalam kehidupan dikampung. Orang begitu saling
mengenal dan saling mengetahui secara dekat, sehingga
tidak terjadi soal atau kesulitan untuk berusaha mencari
pemilik barang yang dipungut itu. Merusakan/
membinasakan barang milik orang lain pada pasal enam,
berarti juga merugikan sesama orang lain. Pasal ini
menganjurkan satu sikap positif terhadap barang milik
orang lain: mengakui hak milik orang lain atas benda-
benda tersebut. Akhirnya, pada pasal tujuh memberikan
satu tekanan pada soal keadilan sosial. Yang harus
bersikap adil terhadap hak orang lain. Apa yang menjadi
hak si A, harus tetap dihormati sebagai haknya: upa si A
tetap dibayar sewajarnya.
Ketika mencermati semua isi dari sasa sirvit hukum
hawear balwirin maka pada pasal empat dan pasal tujuh,
berbicara tentang “upah”. Hal ini bisa saja menunjukan bahwa
seakan-akan orang Kei abad ke V dan abad XVI, pada saat
dirumuskan hukum adat larvul ngabal, suda mengenal sistem
kerja dalam bidang ekonomi dengan upah atau gaji menggaji.
Sementara menurut pandangan saya, bahwa dalam
masyarakat tradisonal Kei hanya terdapat sistem kerja gotong
royong (maren) dimana orang-orang yang datang bekerja
tidak diberi upah menurut pengertian sekarang, melainkan
hanya dijamin makanan dan minuman selama hari kerja.
Dalam kehidupan orang Kei tradisional dikenal pula “sistem
139

penghambaan”. Orang-orang yang kalah perang atau


kesalahan besar dan kemudian ditebus dengan orang yang
berharta, bisa dijadikan hamba. Namun sistem ini berlangsung
tanpa pengupahan, yang pasti baru dikenal dalam
perkembangan ekonomi modern.
3. Sanksi adat.
Sebagaimana suatu Negara mempunyai hukum, yang
didalamnya terdapat badan-badan yang berfungsi menegakan
hukum tersebut, maka hukum adat larvul ngabal juga
demikian. Apabilah seseorang melanggar hukum-hukum yang
terdapat dalam larvul ngabal, maka orang tersebut akan diadili
oleh raja atau pemerintahan adat. Apabilah ternyata bahwa
perbuatan itu salah/melanggar hukum ia akan diberikan
sanksi-sanksi yang sesuai dengan pelanggaran yang
dilakukannya.
Hukum adat larvul ngabal secara detail tidak mengatur
sanksi adat terhadap pelanggarannya akan tetapi sanksi adat
lebih banyak diatur pada hukum adat nevnev,hanilit dan
hawear balwirin. Secara umum mengenal falsafa adat bahwa:
larvul inturak ngabal inadung, artinya: “hukm larvul
menetapkan secara umum dasar-dasar hukum adat, dan
hukum ngabal lebih mempertegas hukum larvul.” Itulah yang
dipahami sebagai pemberian sejumlah harta (uang, benda-
benda berharga) untuk tua-tua adat sesuai keputusan sidang
adat. Berdasarkan sanksi-sanksi pelanggaran berdasarkan
hukum adat larvul ngabal diatur secara terperinci berdasarkan
pasal-pasal dari sasa sorvit. Secara terperinci keseluruhan
hukum adat larvul ngabal dan sanksi-sanksinya dapat
dilukiskan sebagai berikut:
1. Sanksi pelanggaran hukum nevnev (pembunuhan)
140

Bentuk pelaggaran: vedan nga/ tetat vanga, maka


bentuk sanksinya yaitu 40 80 depa (RTUV) dimana 40 depah
terdiri dari:
a. Satu buah gong sebagai pengganti kepala
b. Satu buah lela sebagai pengganti tetan lurin (tulang
belakang)
c. Satu buah mas reu rad sebagai pengganti tali perut
d. Tiga buah mastahil tulen sebagai pengganti vuan
yatan
e. Sejumlah uang untuk bagian tubuh yang lain dan
untuk memulihkan manusia
Sanksi terhadap pelanggaran hukum adat
nevnevdapat dibedakan atas dua macam yaitu:
1. Sanksi terhadap pelanggaran yang mengakibatkan
kematian. Jiwa ganti jiwa, karena menurut
pandangan orang Kei, dahulu pembunuhan akan
mengakibatkan pembunuhan masal bagi
masyarakat satu masa (Ohoi sipembunuh).
Bencana itu bisa berupah wabah penyakit, huru
hara dan kekacawan antara penduduk Ohoi,
bencana kelaparan, dan menemui berbagai
kegagalan dalam hidup. Sementara sipembunuh di
buang ke laut atau dimasukan kedalam kubur,
orang yang sudah siap dengan hartanya sebagai
penebus, segera tampil untuk mengangkatnya.
Sipembunuh lalu diantar kerumah tetapi akan hidup
sebgai hamba orang yang menebusnya tadi.
Adapun harata tebusan itu terdiri dari harta yang
disebut vut wau atau vut wau (= delapam puluh)
dan vut faak atau vut faak (= empat puluh). Dalam
terjemahan teknis sekarang sering dipakai istilah
“80 depah” dan “40 depa”. Dua istilah ini dipakai
141

untuk menunjukan beratnya hukuman yang


menuntut pula banyaknya harta tebusan. Yang
dimaksud dengan harta 40 depa yaitu: satu buah
gong sebagai pengganti kepala.
Satuh buah lelah (meriam kecil) pengganti tetan
luruin (tulang belakang)
Satu buah masreu rat sebagai pengganti tali perut.
Satu buah mastahil tulen pengganti vuaan yatan
Sejumlah uang untuk bagaian tubuh yang lain dan
untuk memulihkan manusia.
Semua hal itu diterima oleh keluarga si korban.
Selain itu panca indra dan bagian-bagain tubuh
lainnya digantikan pula dengan emas dan uang,
yang jumlahnya ditentukan dengan sidang adat lalu
semuanya dibuang ke laut atau ke tempat orang itu
dibunuh.
Yang dimasud dengan harta tebusan 80 depa,
ialah tiga tahil emas murni menggantikan vuan
yatan, diterima oleh keluarga si korban
Selain itu, semua organ tubuh dihitung dan diganti
dengan emas atau uang, lalu dibuang ke laut atau
tempat orang itu dibunuh.
2. Pelanggaran yang tidak mengakibatkan kematian,
sanksinya diserahkan kepada kebijaksanaan
sidang adat. Praktek simbolis seperti digambarkan
di atas, bisa melukiskan pandangan orang Kei
tentang hidup manusia. Setiap organ tubuh yang
dianggap penting seperti kepala, jantung dan hati,
(tali) perut dan organ-organ lainnya, semua diganti
dengan harta. Pandangan ini sangat sejalan
dengan organ-organ tubuh yang disebut didalam
pasal satu sampai empat hukum adat larvul ngabal.
142

Oleh karena itu kiranya boleh diberikan interpretasi


pula, bahwa penebusan kesalahan dengan
membayar setiap organ tubuh manusia itu,
melambangkan aspek persatuan organ tubuh.
Semua organ tubuh membentuk satu kesatuan dan
kalau semuanya telah dibunuh, maka semuanya
harus dibayar pula. Inilah satu simbol kesatuan
atau kekerabatan yang mendasari praktek simbolis
itu. Pendeknya, pembunuhan telah merusakan
kekerabatan atau persatuan, karena itu harus
ditebus pula dengan harta yang
mempersatukannya.
Hukum Adat Hanilit (kesusilaan)
a. Bentuk Pelanggaran:
1). 1 buah lela, toma-toma
2). 3 buah tahil mastulen, (mas hoan)
3). Seperangkat pakaian sebagai Vil Faob.
4). Uang yang layak sebagai jaminan kelahiran,
anak.
b. Bentuk pelanggaran: Marnu’u maray (membawa lari
anak gadis orang) bentuk sanksi: diselesaikan
secara baik oleh pemangku adat.
c. Bentuk pelanggaran: Marai(membawa lari istri
orang lain) bentuk sanksi:
1) Membayar kembali harta kawin wanita yang
bersangkutan (hutan)
2) Membayar 3 tahil mas tulen sebagai pengganti
air susu Ibu
3) Membayar uang atau harta lain sesuai
keputusan sidang adat.
143

d. Bentuk pelanggaran: Dos urwar, ten yanat


(menghamili saudara kandung, anak kandung atau
keponakan)
Bentuk pelanggaran:
1) Sama dengan sanksi membunuh orang lain
(hukum nevnev)
2) Luduk naa Nil Nuhutel (ditenggelamkam)
3) Keluarga di usir/dikutuk seumur hidup
Pelaksanaan sanksi-sanksi tersebut selalu diawali
dengan teguran dan nasehat yang diberikan dalam sidang
adat. Namun apabillah sidang adat dapat menganggap perlu,
maka sanksinya bisa diberlakukan dengan pembayaran harta
seperlunya menurut kebijaksanaan dalam sidang adat
tersebut. Perlu dicatat bahwa semula harta ini, yang diberika
sebagai denda, adalah harta vat vilin yang biasanya diberikan
dalam penyelesayan dan pengaturan suatu perkawinan
dilangsungkan, maka tidak dituntut harta samapai ada
perdamayan. Hal ini terutama disebabkan karena selama ada
persengkataan, tidak bisa diadakan sidang adat.
Melihat pemberlakuan sanksi-sanksi tersebut, jelaskan
sekali betapa sanksi-sanksi terhadap sasa sorvit hukum hanilit
telah ditentukan sedemikian teliti dan ketat. Setiap
kemungkinan diperhitungkan dan sertiap segi dari tata
kehidupan susila (orang bujang dan orang beruma tangga)
diperhatikan dengan cermat. Salah satu pertanyaan yang
muncul sehubungan dengan pelanggaran pasal 7 sasa sorvit
hukum hanilit, ialah mengenai penceriaan dalam perkawinan
adat Kei: apakah adat Kei mengizinkan penceraan? Berarti
tidak ada perceraan yang dimungkinkan perkawinan baru.
Akan tetapi, sebetulnya larangan ini berlaku apabilla pihak
suami dari wanita itu tidak mau menceraikan istrinya secara
adil. Dalam adat Kei, dikatakan bahwa percerayan digantung
144

dari pihak suami. Tidak ada satu pun sidang kepala adat (rat)
yang berhak memberikan surat “cerai”. Jadi cerainya satu
perkawinan tergantung pada pihak suami. Apabila suami
mengatakan: “meski engkau (istri) pergi kawin dengan seribu
lelaki, tetapi engkau tetap istriku satusatunya”. Maka saat itu
juga tidak ada percerayan. Tetapi jika sang suaami berkata: “
mulai sekarang (saat terbongkarnya kasus perkawinan baru
itu) engkau (istri) bukan istriku”, maka saat itu juga ada
percerayaan secara adat. (setitit: 1981) kaistimewa dari suami
ini disebabkan “hukum berada di pihak lelaki, yang justru
memberikan harta pengikat perkawinannya”. Keputusan suami
tentang percerayan itu biasanya diberikan dalam suatu sidang
adat.
Mengenai perceraian adat ini, Ter Har mensinyalir
adanya pengaruhIslam yang memperkenalkan tradisi talaq
dengan hak istimewa atas istri, akan tetapi pengaruh Islam ini
mungkin bisa disanksikan mengingat adanya Kei hanya
mengenal alasan pencurian, yakni adanya kasus perkawinan
baru secara tidak sah, sedangkan alasan-alasan seperti istri
cacat atau istri mandul dalam tradisi Islam, tidak dikenal
sebagai alasan percerayan.
Perceraian harus disebut sebagai salah satu
penolakan terhadap kerja sama antara dua manusia dalam
satu perkawinan. Tetapi dilain pihak, agaknya perlu dicatat
bahwa percerayan itu merupakan satu jalan keluar untuk
keadaan yang lebih aman dan bersatu. Berikutnya, kasus
poligami dengan alasan-alasannya, mendukung pandangan
orang Kei tentang kesuburan wanita dan sekaligus
menyatakan pula satu ikatan erat yang dicita-citakan antara
keluarga sendiri (perkawinan saudara) wanita sebagai lambing
kesuburan dan sumber penghasilan (bandingkan: kesuburan
tanah sebagai sumber panen), harus dinyatakan dalam
145

perkawinan; karena itu wanita yang tidak menghasilkan anak


dianggap tidak subur dan “boleh ditinggalkan”. Hal yang perlu
dicatat bahwa dari sanksi-sanksi tersebut diatas, sebagai spirit
dan semangat untuk menuju pada suatu harapan bersama
yaiut perdamayan yaitu perdamayan yang merupakan suatu
syarat mutlak demi pengaturan perkawinan. Dalam kasus
manapun, selalu dituntut suatu keamanan yang
memungkinkan sidang adat bisa diselenggarakan.
3. Hukum Adat Hawear Balwirin
Bentuk pelanggaran: It Lavur Hera Ni Afa (merusak
milik orang/umum). Contoh: Roa Nangan, Met Tahit
yang suda diberi sasi (yutub)
Bentuk sanksi:
1. Buah lela sebagai denda melanggar sasi
(yutub)
2. Sejumlah harta (uang, benda-benda berharga)
untuk tua-tua adat sesuai keputusan sidang
adat.
Dalam menentukan sanksi terhadapa pelanggaran
Hukum Hawear Balwirin sangat tergantung pada:
1. Cara hukum itu dilanggar. Hal ini menuntuk suatu
penyelidikan tentang proses “mencuri”,
“merampas”, atau “merusakan barang orang lain”.
Sedangkan pelanggaran pasal 1 sasa sorvit hukum
ini yakni varyatad, tidak biasa diberi sanksi karena
merupakan satu actus internus yang tidak diketahui
dan dengan demikian tidak pula dikenai tindakan
hukum.
2. Nilai atau harga barang yang di curi, dirampas atau
dirusakan itu. Olehnya itu pada prinsip
keseimbangan nilai yang dipakai. Nilai barang yang
dikorbankan harus seimbang dengan nilai
146

penulisannya. Proses penyelidikan tentang cara


pelanggaran hukum Hawear Balwirin serta
penentuan nilai barang itu, biasanya dilaksanakan
oleh satuh sidang adat dimana terdapat pula
“hakim adat” mengenai nilai atau harga barang itu,
umumnya berlaku ketenyuan bahwa sanksi yang
dikenakan harus seimbang dengan nilai barangh
yang menjadi korban, dan disertai dengan nasehat-
nasehat secara adat.
Aspek-aspek sanksi yang diatur baik dalam hukum
nevnev, hanilit maupun hawear balwirin, sepertinya lazimnya
suatu Negara mempunyai hukum, yang didalamnya terdapat
badan-badan yang berfungsi menegakan dan melindungi
hukum tersebut, maka hukum adat larvul ngabaljuga demikian.
Apabilah seseorang melanggar hukum-hukm dalam hukum
adat Larvul ngabal, maka orang tersebut diadili oleh raja atau
pemerintah adat. Apabilah ternyata pelanggaran itu
salah/melanggar hukum ia akan diberikan sanksi-sanksi
sesuai dengan pelanggaran yang dibuatnya. Misalnya (pius
retob: 1987):
1. Apabilah seorang tidak mengakui kekuasaan
Tuhan, pemerintah, dan orang tua. Maka sebagai
sanksi ia akan mendapat malapetaka.
2. Apabilah seorang membunuh atau menganiyaya
orang lain, maka sanksi yang harus dibayar
kembali orang yang telah dibunuh/dianiyaya itu
dengan sejumlah mas. Biasanya 5 tail mas dan 40
potong kain.
3. Bilah seorang memfitnah atau mengecam orang
lain, maka ia harus membayar denda brupa mas,
pakaian, uang dan minta maaf.
147

4. Orang yang mengganggu/merusak rumah tangga


orang lain (skandal sex) maka ia diwajibkan
mebayar denda (sebagai tutup malu), agar
perbuatan yang salah itu tidak terulang lagi.
5. Untuk menjaga kesalamatan hak milik seseorang
(tanaman, rumah) dilarang mencuri dan masuk
rumah orang lain sembarangan saja. Kalau ada
pelanggaran, maka akan diberi sanksi membayar
kembali barang curian itu.
6. Orang selalu dianjurkan untuk berlaku sopan
sesuai aturan. Hal itu penting untuk kebaikan
menjaga nama baik diri sendiri.
Indonesia merupakan Negara yang menganut
pluralitas dibidang hukum, yang mengakui keberadaan hukum
barat, hukum agama dan hukum adat. Tetapi dalam
prakteknya sebagaian masyarakat masi menggunakan hukum
adat untuk mengelola ketertiban dilingkungannya, bahkan
menjadikan hukum adat sebagai landasan dalam membuat
keputusan atau peraturan perundang-undangan, yang juga
diakui keberadaanya namun dibatasi peranannya. Legitimasi
hukum adat sampai saat ini diaku bahwa adat merupakan
salah satu cermin bagi bangsa, dan identitas bagi setiap
daerah termasuk hukum adat larvul ngabal di kepulauan
KeiKota Tual yang sampai saat ini masih eksis.
Suatu sumber adat merupakan subsitim dalam hokum
nasional, sebagai subsistem dalam system ketatanegaraan
hukumadat memiliki peran yang sangat strategi dalam
membangun system nasional. Sistim hokum adat seperti
hukumadat larval ngabal menjadi subtansi hokum dalam
hokum Indonesia dan hokum nasional. Hukuim adat selalu
berlaku normative tanpa melibatkan Negara keberadaannya
dapat di legitemasi oleh Negara melalui peraturan perundang-
148

undangan seperti peratyuran daerah dan peraturaqn


desa/negeri, sehingga keberlakuan hokum adat Larval ngabal
lebih efektif dan evesien masarakat hukum adat kepulawan
kei akan lebih terjaga dimasa yang akan datang sebagai
kesatuan hokum dalam susunan hukuimnasional.
Larvul ngabalbagi masyarakat Kei merupakan alat
pemersatu yang dapat menghilangkan sekat-sekat agama
diantara mereka. Paduan antara konsepsi yang disandarkan
pada agama dan disandarkan pada elemen-elemen lokal,
selanjutnya membentuk suatu sikap hidup dan kepercayaan
yang tercakup dalam sistem kemasyarakatan yang sangat
Nampak dari khas. Berangkat dari ciri khas yang lahir dari
proses dan integrasi dari elemen-elemen agama dengan
budaya setempat, dan ini sekaligus dapat membedakan
masyarakat kepulauan Kei dangan masyarakat lainnya yang
ada di Maluku.
Kondisi tersebut memberikan makna tersendiri bagi
masyarakat di kepulauan Kei, seperti dalam hal agama
walaupun berbeda-beda tetapi memilik budaya yang sama.
Bagi masyarakat diKepulauan Kei perbedaan agama
merupakan sesuatu yang sangat rentan yang dapat memicu
terjadinya suatu konflik atau sengketa, karena menganggap
bahwa, agama selalu bersentuhan dengan masalah-masalah
tentang keyakinan yang menyangkut urusan personalitas
seseorang atau kelompok yang kadang harus mengabaikan
dimensi rasionalitas yang ada.
Eksistensi adat Larvul ngabal, yang menjadi pegangan
bagi masyarakat Kei di Kepulauan Maluku Tenggara telah
Nampak dan mampu menyelsaikan berbagai konflik yang
terjadi baik dalam masalah politik, ekonomi maupun konflik
antar umat beragama yang terjadi di kepulauan Kei tahun
1999.Berbagai konflik yang terjadi proses pendekatan selalu
149

dengan pendekatan formal dan itu selalu mengalami


kegagalan. Hal itu bisa dilihat dari upaya menyelesaikan
konflik antara umat beragama pada tahun 1999, oleh
pemerintah baik pemerintah daerah di kepulauan Kei itu
sendiri maupun pemerintah Provinsi dan Pusat. Upaya-upaya
yang dilakukan seperti mendatangkan TNI dan POLRI dengan
segala kekuatan yang ada baik dari segi peralatan maupun
komunikasinya, dan juga pada tingkat pemerintah yang juga
melakukan tim Rekonsiliasi yang melibatakan baik itu toko-
toko agama, pemerintah dan masyarakat, namun kenyataan
dilapangan upaya tersebut gagal dalam menyelsaikan konflik
tersebut.
Melihat kegagalan yang dialami oleh tim rekonsiliasi
yang dibentuk oleh pemerintah sementara konflik dari hari-
kehari semakin membahayakan, sebagai bukti bahwa
kepemimpinan formal atau pemerintah Negara belum mampu
menyelsaikan konflik yang terjadi umat beragama di
kepulauan Kei, maka pilihan dengan penyelsaiyan dengan
cara Informal atau pemerintahan adat itu harus dilakukan
dengan mendorong pemerintahan adat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi di Lorsiuw atau ursiuw yang dikenal
dengan persekutuan Sembilan negeri (ohoi yang dimaknai
dengan kampong atau Ohoi) (J.A. Pattikaihatu dkk: 1998), dan
pemegang kedaulatan tertinggi di lorlim atau Urlim adalah
persekutuan lima negeri (ohoi yang dimaknai dengan
kampong atau Ohoi). Ohoikan untuk menyelesaikan dengan
pemerintah informal atau pemerintahan adat dengan suatu
harapan atau keyakinan bahwa konflik trsebut bisa
diselesaikan secara adat.
Dengan melibatkan pemegang kedua kedaulatan
tertinggi tersebut yang berpegang pada hukm adat Larvul
Ngaba untuk melakukan pendekatan-pendekatan adat dengan
150

masyarakat setempat dengan melibatkan seluruh masyarakat


dengan seluruh struktur hukum yang ada baik perangkat
pemerintah adat maupun perangkat pemerintah adat dalam
mengakhiri konflik yang tengah terjadi, dengan
mengedepankan falsafah Ken sa Faak (kedua belah pihak
yang berkonflik sama-sama memiliki kesalahan dan juga
kebenaran) dan Ain Ni Ain (kita adalah satu) serta ditutup
dengan kearifan lokal yang tercermin dalam hukum adat
Larvul ngabal yang menjadi perekat dan pemersatu
masyarakat Kei Maluku Tengara yakni Manut Ain Mehe Ni
Tilur, Vuut Ain Mehe Ni Ngifun (semua orang Kei berasal dari
satu keturunan). (tamrin A tamagola: 2007).
Berdasarkan amat dalam hukum adat larvul ngabal
tersebut maka semua elemen yang ada di kepulauan Kei
harus menyadari betapa pentingnya makna dari kebersamaan
tersebut maka semua struktur secara berjenjang dari atas
sampai keseluru Ohoi (kampung) diperintahkan untuk turut
ambil bagian dalam penyelesayan konflik tersebut.Proses
penyelesaian konflik di kepulauan Kei relative berjalan cepat
dengan ditandai dengan upacara adat di Woma lodar El
dengan melibatkan semua elemen masyarakat yang ada di
Kepulauan Kei yang ditandai dengan penamaan sasi sebagai
tanda larangan memulai konflik, dibandingkan dengan proses
penyelesayan di pulau Ambon maupun di Maluku Tengan
yang juga menggunakan hukum adat yang dikenal dengan
Pela Gandong.
Bahkan menurut Bernard L Tanya (Tanya: 2006)
memperlihatkan bahwa hukum nasional menjadi semacam
beban dalam budaya masyarakat lokal. Hukum nasional
meninggalkan cara-cara pengorganisasian ketertiban
masyarakat sebelumnya yang telah terjadi ribuan tahun
lamanya. Hukum nasional yang mengedepankan karakteristik
151

hukm modern tidak berarti lebih baik ataupun lebih mampu


menciptakan ketertiban masyarakat. Bahkan ketertiban
masyarakat yang dibangun oleh masyarakat lokal lebih
substansial sifatnya dari ketertiban yang dibangun oleh hukum
modern yang sarat dengan prosedur dan hal-hal yang bersifat
formalistik sehingga pencapaian ketertiban pun bersifat
mekanistik seperti mesin, tanpah ruh atau jiwa dari komunitas
masyarakat tersebut.
Peran dan fungsi struktrur hukum yang berpegang
pada substansi hukum adat Larvul ngabal sangat terlihat
ketika mampu menyelesaikan konflik antara umat beragama di
kepulauan Kei Maluku tenggara, yang di selesaikan oleh
pemerintah dengan menerjunkan TNI dan Polri tetapi
mengalami kegagalan. Kehadiran struktur hukum dengan
fungsi dan perannya tersebut tidak saja mencegah terjadinya
konflik antara dua komunitas yang berbeda agama yang
melibatkan berbagai kepentingan, tetapi juga dapat
membentuk perdamayan yang dirasakan olehb masyarakat di
kepulauan Kei pada waktu itu sampai sekarang.
Kesadaran hukum oleh masyarakat yang di makanai
sebagai kultur hukum yaitu budaya saling menghormati,
menghargai, dan saling memiliki atau dalam istilah adat Kei
disebut “Manut Ain Mehe Tilur Vuut Ain Mehe Ni Ngifun” (satu
telur ayam dan satu perut ikan) yang dimanifestasikan dengan
ungkapan pendek dengan Ain Ni Ain (kitah adalah satu)
pemaknaan ini juga dapat dilihat dalam konteks komunitas
yang berbeda agama pun karena semua orang Kei berasal
darin satu keturunan.
Sayangnya, sistem hukum adat Larvul ngabal sebagai
hukum tertinggi di kepulauan Kei Maluku Tenggara tidak
pernah mendapat ruang untuk berkembang bahkan sangat
terasa disingkirkan. Hal tersebut disebabkan oleh peran
152

dominan pemerintah pusat pada masa orde baru dengan


konsep pengembangan sentralisme hukum. Pemerintah
menjadikan semua bentuk yang sesungguhnya beragama dari
aturan-aturan yang berlaku dimasyarakat (law in Action) agar
tunduk kepada hukum formal yang seragam (Law on Book)
fenomena yang seperti ini menunjukan bahwa Negara atau
pemerintah cenderung menempatkan Law in Action sebagai
sebuah penyimpangan dari Law on book atau bahwa Law In
Action dianggap sebabagai sebuah fersih yang lebih rendah
nilainya dari Law on Book.
Secara teoritis hukum negara memang berlaku, namun
pada kenyataannya tidak demikian, (Micheal R Dove: 1984)
sebab hukum adat dibeberapa daerah termasuk diKepulauan
Kei masi bertahan menghadapi perkembangan dan perubahan
zaman. Selama orde baru yang terjadi adalah pengembangan
perangkat hukum atas dasar ketunggalan dan kongkordanci
sebagai manifestasi dari kencangnya proses univaksi hukum.
Hal itu tercermin dengan dilakukannnya kodifikasi hukum
dengan mempositifkan hukum-hukum material kedalam kitab-
kitab hukum.
Pada pemerintah orde baru begitu nampak,
keragaman hak-hak masyarakat adat sebagai subyek hukum,
yang akhirnya mengarah kepada pengambilan alih secara
paksa oleh kekuasaan dengan berdalih atas nama hukum
nasional dengan menegaskan hukum tradisonal yang amat
plural. Alasan yang dikemukakan adalh untuk melindungi,
meningkatkan kesejahtraan mastarakat. Semua aturan-aturan
tradisonal diganti dengan aturan Negara.
Sistem hukum Indonesia mengakui hukum nasional
Indonesia sebagai hukum resmi yang diberlakukan di
Indonesia, tetapi kondisi tersebut tidak dapat membuat hukum
adat diabaikan. Hal itu disebabkan karena sebagian besar
153

masyarakat Indonesia terbiasa dengan hukum adat.


Berkenaan dengan hal tersebut maka menurut Jawahir
Thontowi bahwa kekuasaan colonial belanda Indonesia
menyebabkan adanya kategori hukum yang berbeda yakni
hukum lama yang berartui hukum adat dan hukum Islam
sedangkan hukum baru yang berarti hukum belanda. Namun
demikian hukum adat dan hukum Islam merupakan unsur dari
tata hukum Indonesia (Jawahari Thontowi: 2005)tiga cabang
hukum tersebut berlaku di seluruh nusantara. Meskipun
hukum buatan pemerintah secara resmi diberlakukan di
Indonesia, kaidah dan nilai-nilai hukum adat, dan cara
masyarakat perpegang pada hukum adat dan hukum Islam
tetap penting ketika mengkaji berbagai masalah yang dihadapi
dalam pelaksanaan hukum nasional.
Larvul ngabaldalam masyarakat kepulwan Kei tidak
hanya terbatas sebagai suatu hukum yang mengatur
hubungan timbal balik antara sesama manusia, baik itu dalam
kontek hukum privat maupun hukum publik, tetapi lebih dari itu
ia berfungsi sebagai penggerak yang secara spiritual
membimbing prilaku masyarakat dalam menghadapi dan
menyelesaikan seperti perkawinan, hubungan keluarga,
institusi politik dan ekonomi, dan menjadi hubungan integral
dari kehidupan mereka. Olehnya itu sebagai hukum adat yang
memiliki sitim nilai, cara membela dan menjaga kehormatan
dan tersusun dari unsur-unsur martabat, kesopanan,
patriotism, kesungguhan dan persaudaraan umat manusia,
sebagai yang tercermin dari pasal-pasal hukum adat Larvul
ngabal yang telah dijelaskan sebelumnya. Larvul
ngabalsebagai hukum adat yang dimiliki masyarakat
kepulauan Kei mendorong orang Kei untuk melakukan
tindakan yang terpuji, sebab orang berperilaku tidak terpuji
154

tidak mendapat tempat di hati seluruh manusia. (Abdul Rauf:


2008).

E. Pemerintahan Adat Kei Kota Tual Dalam Konteks


Otonomi Daerah
Pasca konflik sosial antara umat beragama di
kepulauan Kei pada tahun 1998, adanya pergeseran
paradigma kepercayaan diantara masyarakat terhadap
berbagai lembaga-lembaga pemerintah, partai-partai politik,
maupun lembaga-lembga suwadaya masyarakat baik yang
berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Pandangan
masyarakat seperti itu memang ada benarnya karena secara
realitas lembaga-lembaga tersebuttidak memiliki basis atau
akar yang jelas dimasyarakat. Dengan melihat lemahnya
tingkat masyarakat terhadap lembaga-lembaga tersebut maka
harus ada upaya-upaya yang dilakukan agar bisa
mengembalikan kekuatan masyarakat. Olehnya itu salah satu
usaha yang harus dilakukan adalah pengunatan masyarakat
dari gerakan masyarakat hukum adat, yang menjadikan
lembaga-lembaga pemerintah adat menjadi perekat dalam
menjalankan aktifitas dalam kehidupan pemerintahan dan
sosial masyarakat, dan merasakan dampak posotif dan
bermanfaat ketimbang lembaga-lembaga formal yang ada.
Kelembagaan pemerintahan adat yang ada
dikepulauan Kei, secara yuridis formal sangant memiliki
kekuatan yang dijadikan sebagai adat dan budaya lokal
karena memiliki legitimasi oleh produk hukum tingkat nasional
seperti tercantum dalam UUD NRI tahun 1945, TAP MPR
NO.IX/2001 dan UU No 32 tahun 2004 yang mengakui
keberadaan sistemdan diperkuat dengan dengan UU Desa
yang baru yaitu UU Ri No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa
semakin memperkuat beberapa hukuim adat di Indonesia
155

hukum adat baik itu hak-hak masyarakat adat, otonomi


Ohoi, dan penguasaan serta pengelolaan sumber-sumber
agraria dan sumberdaya alam. Atas dasar legitimasi tersebut
maka dalam pelaksanaannya masyarakat selalu tunduk dan
patuh kepada apa yang menjadi keputusan perintah melalui
pemerintahan adat tersebut bahkan dikalangan sebagian
masyarakat asli kepulauan Kei hamper tidak mengetahui
produk-produk hukum nasional, karena menurut mereka
hukum adat yang mereka yakini suda benar mengatur
pemerintah adat bahkan sudah lebih sempurnah untuk
mengatur kehidupan mereka.
Pandangan yang seperti itu, harus menjadi kajian yang
serius untuk melihat apakah pemerintah adat yang selama ini
menjadi suatu symbol tradisi budaya yang ada di Kepulauan
Kei masi menjadi relefan dalam konteks sekarang. Kalau kita
mencermati struktur pemerintahan adat tersebut diatas,
dengan memiliki aparatur pemerintah dalam pemerintahan
adat dengan memiliki tugas dan tanggung jawab yang jelas,
maka secara substansi pemerintahan adat Kei sangat relevan,
hanaya saja wilayah keberlakuan itu hanaya berlaku di
kepulauan Kei saja, kalau dibandingkan dengan keberlakuan
suatu pemerintahan formal yang memiliki hirarki struktur dari
pusat sampai ke daerah.
Kalau mencermati dari pemberlakuan otonomi daerah
dengan mendekatkan pada struktur pemerintahan adat yang
ada maka setiknya hal itu dimaknai dengan pluralism daerah
otonom karena adanya keaneka ragaman yang dimiliki oleh
masing-masing daerah sebgai identitas yang dimiliki sebagai
suatu budaya lokal yang memiliki nilai, norma, dan tradisi
tentang tujuan dan cara hidup, definisi manusia dengan
manusia dan hubungan manusia dengan alam fisik, tumbuhan
dan hewan (lokal knowledge), kemapuan-kemapuan warga
156

masyarakat setempat untuk memproduksi barang dan jasa


serta produksi lokal lainnya (local genius), dan symbol-symbol
yang menggambarkan identitas masyarakat lokal, yang sering
disuarakan seperti putra daerah, bahasa dan tutur bahasa,
produk lokal, rumah adat, makanan daerah, lagu daerah (local
sysbol), yang merupakan sebab dan akibat pluralism daerah
otonom dan pluralism otonomi daerah. (Ramlan Subakti:
2001).
Simbol pemerintah adat di kepulauan Kei, menurut
hemat penulis dipahami juga sebagai identitas lokal. Oleh
karena itu penerapan otonomi daerah harus mengakomodasi
kepentingan, pertimbangan dari berbagai aspirasi masyarakat
dalam perancanaan pembangunan. Sinergitas antara
pemerintah adat dengan pemerintah formal, bagi masyarakat
di kepulauan Kei bukan menjadi hal yang harus diperdebatkan
karena model kedua pemerintah tersebut berjalan sesuai
dengan fungsi dan kewenangan, bahkan seorang yang
menjadi pemimpin adat juga menjadi pemimpin formal. Di
Kepulauan Kei seorang yang menjadi pemimpin baik itu
pemimpin formal maupun informal merupakan amanah yang
harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan seadil-
adilnya, maka harus diberikan kewenangan karena dapat
memelihara dan mengembangkan identitas budaya lokal
tersebut.
Harapan yang besar untuk membangun pemrintahan
adat di Kepulauan Kei, tidak terlepas dari kepemimpinan
tradisonal atau kultural yang terdapat dalam lembaga
pemerintahan adat tersebut. Fakta tersebut menjadi cermin
relevansi untuk mengkaji kecendrungan munculnya kekuatan-
kekuatan tradisonal yang sifatnya terbuka dikedaerahan ataun
lokal yang ingin membangun pemerintahan dengan model
desentralisasi yang mengadopsi pemerintahan adat yang
157

sesui dengan kewenangan-kewenangan yang diberikan maka


dapat berhadapan dengan model pemrintahan nasional atau
pusat, yang berusaha untuk mensentralisasikan pemrintahan
dengan kendali pemerintahan pusat. Kehawatiran tersebut
turut memberikan kontribusi terhadap upaya-upaya untuk
penguwatan pemerintahan adat dengan tidak menafikan
kekuasaan pada pemerintah nasional dengan semangat
otonomi daerah, sehingga fenomenanya bergandengan
tangan dengan kesan “arogansi” pemerintahan daerah.
(Susanto Zuhdi: 2001).
Dalam UU RI No 32 Tahun 2004, Tentang
Pemerintahan daerah maka terdapat pengertian dalam
penjelasan umum mengenai pemerintah pusat dan pemerintah
dareah. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut pemerintah,
adalah presiden Repoblik Indonesia yang memegang
kekuasaan Pemerintah Negara Repoblik Indonesia
sebagaimana dimaksud UUD NRI Tahun 1945.
Pemerintah daerah adalah penyelenggara urusan
pemerintah oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas
otonomi dan tugas pembantu dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Repoblik
Indonesia sebagaiman dimaksud dalam UUD NRI 1945 di
ganti dengan UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Dalam pembagian urusan pemerintahan pasal 10 ayat
(1) Undang-Undang No 32 tahu 2004, pemerintah daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan, kecualai urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan menjadi pemerintah .
Ayat (2) dalam penyelenggara urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah yang dimaksud pada ayat
(1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-
luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
158

pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas


pembantuan.
Ayat (3) urusan pemerintahan yang menjadi urusan
pemerintah meliputi:
a. Politik luar negeri;
b. Pertahanan;
c. Keamanan;
d. Yustisi;
e. Moneter dan fiscal nasional; dan
f. Agama.
Keragaman pemerintah dalam masyarakat adat
tersebut dapat dilihat dengan pembentukan masyarakat adat,
dengan memiliki factor-faktor yang berpengaruh terhadap
pembentukan seperti: (1) Faktor Geneologis, yaitu factor
terikatnya satu dengan yang lain karena keturunan yang
sama. (2) Faktor teritorial, yaitu bersama-sama terikat pada
suatu daerah yang tertentu.
Melihat dari kedua faktor tersebut, maka dari segi
geneologis, masyarakat di Kepulauan Kei menganut sistem
“patrilinial” dimana pertalian darah ditarik dari garis keturunan
ayah (bapak) yang dapat menyatukan anak cucu atau
keturunannya. Setiap orang yang berketurunan dari garis ayah
atau bapak merasa dirinya terikat dalam suatu persekutuan
keluarga atau family (clan). Menurut B.Z. Ter Haar
menjelaskan bahwa di Kepulauan Kei bagian-bagian lain
berhukum bapak pula yang mewujudkan dusun-dusun disitu.
Sebagian daripada mereka adalah penduduk asli dan
sebagian lainya adlah orang-orang luar Indonesia yang datang
kemudian, dan berhasil merebut kekuasaan pemerintahan
dusun. Kepala Dusun bergelar orang Kayyang tidak terlalu
besar berpengaruh atas kepal-kepala kerabat (kepal soa).
159

Dalam sturktur pemerintahan adat di Kepulauan Kei


bahwa kekuasaan pemerintahan yang tinggi ada ditangan
seorang “raja” dibawahnya “pati”, kemudian “orang kaya”,
sesudah itu “kepala soa”, dan “saniri”dari tiap-tiap rahanyam.
Gelaran Raja atau rat dan orang kaya bukanlah suatu gelar
yang asli di Kepulauan Kei, tetapi mungkin pengaruh dari luar
yaitu pulau jawa atau orang Melayu yang datang kemudian.
Secara umum masyarakat di kepulauan Kei terbagi menjadi
tiga kelompok rumpun besar kekerabatan, yakni lorlim atau
urlim lorsiuw atau ursiuw dan lor lobay.
Lorlim adalah persekutuan limah dan lorsiuw atau
ursiuw adalah persekutuan Sembilan. Lor atau ur artinya
persekutuan atau kelompok. Lim artinya lima dan siu artinya
Sembilan. Jadi lorlim adalah persekutuan yang terdirti dari
limah negeri (ohoi, kampong atau Ohoi) dan ursiuw adalah
persekutuan Sembilan negerih, lor lobayadalah persekutuan
menengah. Persekutuan masyarakat yang semacam ini juga
dapat di dijumpai di Maluku Tengah apa yang dikenal dengan
ulilima dan ulisiwa. Sedangkan di Kepulauan Ambon dan
Lease dikenal dengan patalima dan patasiwa.
Sebaliknya pada persekutuan ataupun perserikatan
ursiuw, urlim maupun lor lobay dimana semua Negeri atau
(Ohoi) atau kampong di kepulauan Kei merupakan anggota
dari salah satu perserikatan tersebut, hanya saja pemaknaan
tersebut masih menjadi perdebatan dan belum mendapat
berbagai sumber sejarah yang jelas tentang itu terutama
mengenai asal usul pembentukannya. Ada sebagian yang
berpendapat bahwa persirakatan baik itu ursiuw atau lorlim
maupun lor lobay itu murnih dari kepulauan Kei atau pengaruh
yang masuk dari Maluku Tengah atau Maluku Utara.
Dalam menjelankan organisasi pemerintahan itu agar
berjalan dengan baik, maka memiliki susunan perangkat
160

persekutuan hukum, baik itu ursiu maupun lorlim di Kepulauan


Kei yang dinamakan dengan pemerintahan adat dengan gelar
adat seperi: Rat/raja. Pemeimpin dalam suatu ratschap dan
juga sebgai pemimpin dalam suatu ohoi. Sang Raja dibantu
oleh suautu struktur pemerintahan adat yang terdiri dari orang
kaya tau patti (kepala Ohoi) dari Ohoi-Ohoi yang tergabung
dalam wilayah adat tersebut. Dalam struk ini masing-masing
orang kay/patti memiliki tugas dan fungsi khusus, baik sebagai
juru bicara raja, pengawal raja, pemimpin doa dalam upacara
adat, dan sebgainya. Dalam wilayah adat terbagi lagi atas
beberapa Ohoi yang dipimpin oleh seorang orang kay/patti,
sebagai pemimpin tertinggi di daerahnya, dan bertanggung
jawab terhadap kemajuan Ohoi, dan melindungi rakyatnya dari
ancaman marabaha.
Dalam melaksanakan tugasnya, orang Kei dibantuh
oleh satu struktur pemerintahan Ohoi yang terdiri dari para soa
yang membawahi satu maraga atau beberapa dmaraga dalam
satu komunitas Ohoi tersebut sehubungan dengan tugasnya
sebagai aparat pemerintahan adat di Ohoi. Pada masa
penjajahan belanda ada bebrapa Ohoi yang dipimpin oleh
seorang soa, tidak dibawa kekuasaan satu orang kay. Sowa
ini otonom mengurus rumahtangga Ohoinya dalam istilah
belanda di sebut soa selfistending(P.M. Laksono dkk: 2004)
jabatan kepala marga dalam satu Ohoi disebut saniri, yakni
orang yang dipih oleh anggota marga untuk mewakili
marganaya dalam struktur pemeritahan adat di Ohoi dalam
pemerintahan formal di ibartkan dengan perrwakilan rakyat
daerah (DPRD). Jumlah saniri disetiap Ohoi sangat tergantung
pada jumlah marga yang ada di Ohoi tersebut. Para saniriini
pun merupakan satu badan otonom di Ohoi dan berperan
sebagai badan legislative Ohoi. Semua kebijakan orang kay
dan soa harus mendapat persetujuan dari para seniri. Selain
161

itu ada juga yang disebut kaputan pemimpin yang memangku


jabatan panglilam perang. Tuan tan, penjaga batas-batas
tanah (petuanan dengan kampong lain). Mitiduan; pembawa
persembahan, pemimpin upacara agama. Marin wabwab;
penjaga pintuh, pembawa berita, polisi kampung.
Sistim pemerintahan adat di Kepulauan KeiKota Tual
masi memiliki keterikatan-ketirikatan dengan budayanya.
Fungsi-fungsi dari setiap unsur yang terdapat dalam sistem
pemerintahan adat di Maluku Tenggara adalah yang memiliki
kedudukan yang paling tinggi dalam wilayah kekuasaan yaitu
seorang rat/raja, karena dia meliputi beberpa kampong dan
dimana setiap kampong terdapt suatu pemerintahan yang
dipimpin oleh seorang orang kai, yang juga membawahi
beberpa perangkat pemerintahan seperti wawat atau
sekertaris selain menjalankan tugas-tugas administrasi juga
mewakili orang kai dalam pertemuan dengan pihak-pihak lain,
soa, tuan tana, mitiduan dan hamham,melaksanakan
tugasnya apabilah diperlukan misalnya dalam hal
penyelesayan sengketa tana dengan Ohoi lain atau adanya
upacara-upacara adat.
Sedangkan seorang soa yang mengepalai beberapa
fam dapt juga bertindak mewakili orang kai apabilah
berhalangan, namun sebeium bertindak harus berkonsultasi
terlebi dahulu dengan dewan penasehat yang disebut dengan
saniri. Sebagai suatu badan penasehat yang akan menberikan
nasehat kepada orang kai apabilah diperlukan tetapi saniri
juga merupakan badan yang melaksanakan pemerintahan
adat (Ohoi, persekutuan hukum) seharihari, yang terdiri atas:
pemerintah (lakilaki atau wanita) dan pembantuhnya yaitu
kepala soa (kepala-kepala marga/famili) sebanyak kurang
lebih 6 orang. Selain itu juga saniri juga bertugas dan
berfungsi sebagai hakim perdamayan pada wilayah kerjanya.
162

Saniri merupakan lembaga atau badan yang paling


dekat dengan masyarakat, karena dibentuk dari elemen-
elemen masyarakat yang ada diwilayah pemerintahan adat
tersebut yang diangkat menurut adst dan dipilih sebagai wakil
dari rakyat biasa. Badan ini beranggota 8-15 orang, atau
tergantung besarnya jumlah penduduk yang ada dikampung
atau ohoi. Fungsinya dalah menjadi badan pembuatan
perundang-undangan, memusyawarahkan masalah
menyangkut kepentingan pemerintahan dikampung atau ohoi,
meberikan kebijaksanaan dan mengularkan peraturan. Dan
juga menyampaikan aspirasi-aspirasi masyarakat kepada
orang kai sebagai pemimpin pemerintahan dalam suatu ohoi.
Agar semua keputusan yang dihasilkan oleh orang Kai
dengan lembaga-lembaganya diketahui oleh masyarakat yang
ada diohoi ataun kampong itu merupakan tugas dari marinyo.
Marinyo diartikan sebagai pesuruh Ohoi, opas kantor, dan
polisi Ohoi ditingkat rendah, marinyo bertugas menyampaikan
perintah-perintah dan pemberitahuan-pemberitahuan dari
pemerintah negeri kepada rakyat. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat dari bagan berikut.

F. Struktur pemerintahan adat di Kepulauan Kei


Uwelwel ai rangrang. adalah merupakan suatu
lembaga tertinggi dalam struktur pemerintahan adat, dimana
tugas pokoknya dalah memberikan nasehat dan pertimbangan
kepada raja dan orang kaiya dalam menyelenggarakan tugas
pemerintahannya.
1. Memberikan pertimbangan tentang bakal calon
dalam setiap pemcalonan orang kaya.
2. Memberikan pertimbangan keputusan terhadap
pertikayan antar ratschap.
163

Keanggotaan lembaga atau bandan ini terdir dari para


sesepuh adat dan orang yang dipandang tertua dari setiap
mata ruma atau kerabat. Pada umunya keanggotaan badan ini
hanya dari kalangan strata bangsawan. Badan ini mepunyai
kedudukan yang berdampingan dengan raja dan orang kaya,
badan ini ditempatkan baik ditingkat raja maupun orang kaya.
Rat/raja
Adalah toko atau pemimpin dalam suatu ratschap dan
juga sebagai pemimpin dalam suatu ohoi mempunya tugas:
1. Menyelesaikan masalah-masalah adat pada tingkat
ratschap
2. Mengayomi seluruh masyarakat adat yang ada
pada wilayah ratschap
3. Sebagai coordinator dan sekaligus sebagai lambing
pemersatu diwilayah ratschap
Raja/rat dipilih berdasarkan garis keturunan lurus dari
marga yang telah ditentukan atau memilik strata yang lebih
tinggi, serta memegang jabatan untuk masa seumur hidup
atau sampai dengan tidak mampu menjalankan tugas. Raja
yang karena jabatannya sebagai kepal pemerintahan
bertanggung jawab secara pemerintahan kepada camat.
Sebgai kepala pemerintahan bertanggung jawab kepada
Rapat Besar Kepala Adat (RBKA). Dalam pemerintahan adat
ditekankan bahwa tidak ada raja diatas raja, tidak ada raja
membawahi raja dan tidak ada raja mewakili raja lainnya.
Kapitan: pemimpin yang memangku jabatan sebagai
panglima perang.
Saniri: kepala fam (senhores, portugis) yang mengerti suatu
fam (clan) dalam kampong dan membentuk suautu dewan
yang disebut dewan saniri. Saniri adalah kepala fam atau
marga yang diangkat oleh warha marga berdasarkan unsur
dituakan serta bijaksana, fungsi saniri yaiut:
164

1. Menyelesaikan masala-masala adata kemasyarakatan


pada tingkat marga atau fam
2. Bersama kepala soa membantu raja dan orang kai
dalam tugas adat dan kemasyarakatan serta tugas
pemerintahan atau administrasi.
Orang Kai atau patti adalah pemimpin dalam suatu
ohoi dan juga menjadi pimipinan dalam suatu ratscap atau
gabungan bebrapa ohoi dengan fungsa dan tugas sebagai
berikut:
1. Sebagai kepala adat tingkat orang kai schap
2. Sebagai kepala pemerintahan administrasi
langsung dibawa camat.
3. Bertindak selaku hakim pada tingkat orang kai
schap dalam menyelesaikan persoalan-persoalan
yang muncul yang tidak dapat diselesaikan pada
tingkat sao dan saniri.
Orang kai diangkat dan dipilih oleh masyarakat ohoi
dari marga atau faam yang telah atau yang telah memiliki
strata yang lebih tinggi. Untuk masa jabatan sebagai kepala
pemerintahan mengacu kepada ketentuan hukum Negara,
sedangkan sebagai kepala adat berlaku seumur hidup.
Soa: merupakan kepala dari persekutuan kepala marga. Soa
bertugas sebagai pembantu utama orang kai dan mengepalai
beberapa faam, dalam pemerintahan dan adat budaya pada
tingkat ohoi. Soa dipilih dari marga yang telah ditentukan atau
memiliki hak untuk itu yang tingkatan stratanya dalam
masyarakat lebih tinggi.
Tuan tan. Yaitu orang yang mempunya pengetahuan yang
lebih baik tentang seluk beluk menyangkut batas-batas tanah
(petuanan) dengan kampong lain. Fungsi Tuan Tanah adalah:
165

1. Membantu memberikan informasi kepada orang kai


atau raja menyangkut dengan masalah tanah
dipetuanan kampong.
2. Membantu orangkai atau raja dalam menyelesaikan
kasus-kasus yang berkaitana dengan kepemilikan
tanah, baik oleh warga masyarakat atau antara
kampong.
Mitu duanadalah pembantu persembahan, pemimpin upacara
keagamaan.
Marin wab-wab adalah penjaga pintu,polisi kampong, dan
pembawa berita yang berasal dari raja, orang kai, soa. Pada
wilayah-wilayah ratschap/ohoi tertentu.
Juru tulis adalah orang yang diangkat pada tingkat ratschap
atau ohoi dengan tugas pembantu raja, orang kai yang
dianggap mampu dlam mengelola administrasi pemerintahan
terutama dalam hal menulis dan membaca.
Selain dari struktur pemerintahan adat tersebut diatas,
juga dilengkapi dengan pemangku adat yang berfungsi untuk
mempersiapan dan melaksanakan berbagai upacara adat
yang ads di Kepulauan Kei. Pemangku adat tersebut adalah:
1. Duan Tan (Tuan Tan) merupakan penjaga batas
batas wilayah kampong tetapi bukan pemilik tanah,
namun ia bertanggung jawab terhadap hak
petuwanan, penanaman dan pemanenan hasil
serta betanggung jawab tentang cara-cara
pelaksanaan upacvara adat.
2. Mitu duan yakni orang yang membawa
persembahan pada mitu, yakni keramat atau roh
pelindung kampong atau duan tanat.
3. Turan leb adalah orang yang membawa
persembahan kepada Duad (Tuhan Yang Maha
Kuasa)
166

4. Wulun ohoi ten yaitu para imam pada masyarakat


kerbau siu yang tugasnya membawa persembaha
kepada hukum adat larvul
5. Ngabal duan yaitu para imam pada masyarakat
lorlim yang tugasnya membawa persembahan
kepada hukum ngabal
6. U’uun turun f’eeni yaitu penasehat kampong yang
terdiri daritua-tua dat dari dua kelompok (ursiu
lorlim)
7. Ngun ngod rat ngod faf, yaitu pembicara yang
berbicara atas nama pemerintahan adat didalam
satu sidang adat.
Keseluruhan struktur pemerintahan adt maupun pemangku
adat berada pada jajaran pemimpin dalam masyarakt Kei.
Untuk itu, dalam masyarakat Kei, seorang pemimpin yang idial
harus memiliki tiga prinsip:
1. Pejuang (ti-midir u umfar horan = didepan menbawa
tombak) yang berarti seorang pemimpin harus selalu
berad didepan memperjuangkan nasip dan
kepentingan rakyatnya
2. Persembahan atau pemberi fatwa (o naa faruwan
muwelsil = ditengah sebagai persembahan) yang
berarti suatu pengakuan atas kedudukan spiritual,
yang menjadi perantara antara para leluhur dngan
Keinginan masyarakat dalam upacara-upacara adat
dan juga memberi fatwa keagamaan,
3. Pengayom dan pelindung (ma mdok mur mam baing
ran = dibelakan sebagai payung atau pelindung) yang
berarti seorang pemimpin harus mampu bertindak
mendahulukan kepentingan masyarakt darib
kepentingan pribadinya dalam melindungi dan
167

mengayomi rsakyatnya dari bentuk ancaman dan


gangguan.
Berangkat dari kedua model kepemimpinan yang
dianut oleh masyarakt di Kepulauan Kei tersebut diatas, maka
relasi antara pemerintahan daerah dan pemerintahan adat
dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah pasal 1 poin 12, menekankan bahwa
Ohoi adalah kesatuan masyarakt hukum yang memiliki batas-
batas wilayah yang erwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarat setempat berdasarkan asalusul dan
adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara kesatuan repoblik Indonesia.
Sedangkan pada pasal 2 ayat 9, Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakt adat beserta hak
tradisonalnya sepanjang masi hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara kesatuan
Repoblik Indonesia.
Kekuatan-keuatan pemimpin informal di kepulauan Kei
masi dihormati dan ditaati oleh masyarakatnya karena
berpedoman kepada hukum adar Larvul ngabal bahwa proses
pemilihan seorang raja menggunakan sistem keturunan,
sedangkan kalau melihat proses pemipilihan seorang raja
yang sebelumnya menggunakan sistem keturunan dirubah
dengan sistem pemilhan langsung oleh rakyat. Implikasi yang
terjadi menyebabkan timbulnya konflik dimasyarakat atau
konfllik horizontal. Implikasi sangat berpengaruh dalam bidang
hukum, salah satunya dalam menyelesaiakan konflik yang
terjadi didaerah tersebut.
Pemberlakukan otonomi daerah dengan tujuan
mempercepat terwujudnya kesejahtraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran
masyarakat. Hal itu bisa terwujud dengan baik apabilah peran
168

serta masyarakat, maka penting kiranya untuk melakukan


kajian bagaimana membangun pemerintahan adat yang kuat
dalam kerangka otonomi daerah dengan merujud pada nilai-
nilai hukum adat yang tumbuh dan berkembang pada suatu
daerah yang menjadi pegangan bagi masyarakat sepanjang
tidak bertentangan dengan UUD NRI tahun 19945 dan itu
menjadi arah dan pembentukan kebijakan pemerintah agar
pelaksanaan otonomi daerah yang secara empiris telah teruji
dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi baik itu
persolan hukum, politik, ekonomi maupun sosial budaya yang
terjadi.

G. Sistem perkawinan Kepulauan Kei


Sistem perkawinan khususnya pada masyarakt Tual,
terdapat beberapa bentuk yang menjadi pola bagi sistem
pengetahuan mereka yakni (heribertus letsoin: 2004):
1. Kawin minang (tai ret yafuk)
Bentuk perkawinan ini adalah perkawinan yang
diharapkan dapat diterapkan dalam masyarakat
didaerah ini, khusnya di tual. Karena tipe atau
bentuk perkawinan seperti ini dapat mrengangkat
martabat pelaku kawin minang, baik itu dari pihak
lakilaki maupun perempuan dimata masyarakat
adat. Di satu pihak ukuran kemampuan keluarga
sang pria terpublikasi melalui acara perkawinan
bentuk ini, dilain pihak kehormatan yang
merupakan pengakuan status sosial terhadap
martabat kaum perempuan jugadapat diketahui.
Proses perkawinan seperti ini berlangsung teratur dan
terhormat sehingga penggunaan istilah sesuai tipe
peminangan pun berbeda seperti dudung ngail artinya
meminta atau memohon secara terhormat: hab sol fel tan
169

artinya memintah secara terhormat sambil membawa tuak


serta wada atau talam yang berisikan harta kawin (maskawin
dan uang seperlunya): lenan rat fid artinya meminang secara
terhormat melalui tangga masuk rumah atau pintu.
Adapun peminangan perkawinan yang seperti ini,
mempunya tahapan-tahapan yang harus dipatuhi sesui adat
masyarakat, agar menjadi bentuk perkawinan yang paling
terhormat dalam masyarakat Tual. Tahapan-tahapan
perkawinan peminangan tersebut adalah:
Tahap 1. Lenan Rat Fid
Orang tua sang pria menghimpun keluarga mata ruma
untuk mendengar penyampaian maksud ingin kawin dngan
sang gadis yang telah lama menjalin hubungan dengannya.
Sekaligus orang tua dan keluarga sang pria berembuk untuk
mempersiapkan harta kawin anak pria twersebut, oleh pihak
orang tua atau keluarga pria menetukan bebrapa orang tua
sebagai delegasi untuk mempersiapkan maksud pihak orang
tua pria kepada pihak orang tua gadis dengan melihat akan
harta apa dengan memperhitungkan saat bulan penuh atau
bulan gelap. Apalagi kehadiran delegasi ini dengan
penyampayan maksudnya dapt diterima oleh pihak orang tua
sang gadis maka penetapan waktu lanjutan untuk penetapan
harta kawin dan penyelesayan lebih lanjut dapat disepakati
dan dilegasipun segerah kembali setelah bertemu dengan
keluarga sang gadis.
Demi lancarnya persidangan adat kawin tahap kedua,
ketiga maka setelah delegasi sang pria kembali ke keluarga
pria untuk disampaikan hasil perjalanan, maka pihak gadis
bertemu untuk membicarakan persiapan-persiapan apa yang
patit dipersiapkan untuk menghadapi menyelesaikan adat
sampai mengantar sang gadis keruma pria yang lazim di sebut
dengan bahasa di Tual kabil tahalim atau taur flas khat.
170

Sebagaimana telah dijelaskan bentuk peminangan


terhormat adalah melalui rat fut dimana pihak laki-laki
memberitahukan kepada pihak perempuan tentang
kedatangannya. Kemudian hari yang telah ditentukan tibah,
keluarga pihak lakilaki mendatangi pihak perempuan dan
sebagaimana biasanya mereka diterima dengan baik-baik, di
persilahkan masuk dan duduk di hamparan tikar yang telah
disediakan. Biasanya pada saat itu tamu suda di persilahkan
duduk. Para tamu tidak serta merta menyampaikan
maksudnya, melainkan kadang-kandang diawali dengan
kelakar atau canda sejenak sambil menikmati tuak atau arak
dari sol (wadah dari bambu) yang dibawa oleh pihak lakilaki
setelah keadaan telah memungkinkan untuk menyampaikan
maksud, maka tan yang berisi bingkisan yang dibawah oleh
pihak lakilaki disodorkan dan diletakan sambil
mengungkapkan tujuan kedatangan dengan menggunakan
bahasa simbolik atau sair yang dinyanyikan seperti bant ‘t
nanit., ngel-ngel dan sebagainya untuk mengungkapkan
maksud. Pihak perempuan akan membalas dengan cara yang
sama sebagai jawaban penolakan atau penerimaan. Apabilah
pihak perempuan menerima pinangan itu maka pihak lakilaki
pun segera kembali membicrakan persiapan-persiapan proses
berikutnya. Pihak perempuan akan membicarakan juga hal-hal
yang perlu dipersipkan menyangkut hak dan kewajibannya
dalam tahap selanjutnya, tahap ini biasanya disebut lenan ret
vid.
Tahap 2 sawe kot (sawe ko)
Setelah delegasi pria menyampaiakan hasil
perjalanannya pihak keluarga atau orang tua pihak pria segera
mempersiapkan apa yang patut di persiapakan sesuai
ketentuan hukunm adat yang sejak lama dapat disepakati oleh
para leleluhur, penetapan besar atau banyaklnya harta kawin
171

ini terletak pada asal sang pria apalgi pria tersebut berasal
dari luar Ohoi atau dlam Ohoi itu sendiri, kalau dari luar Ohoi
maka penetapan harta besar. Untuk pria asal Ohoi maka harta
kawinnya umpanya ditetapkan lela tiga, mas tiga dan gong
tiga bahkan yang termasuk harta besar semuanya tigatiga.
Apabilah pihak mempelai laki- laki itu berasal dari laur
Ohoi maka harta besar akan menjadi lima-lima, namun ada
pertimbangan-pertimbangan khusus dari orang tua kandung
sang gadis terhadap hubungannya dengan sang pria,dan asal
usul sang pria itu.
Dengan demikian apabilah tepat waktu yang disepakati
maka pihak keluarga pria datang ke pihak wanita untuk
menyelsesaikan harta kecil seperti:
1. Mas ikat 1 buah berbentuk gelang yang disebut
fungsinya untuk memeluk sang gadis agar tidak
boleh bebeas bergaul. Karena suda ada yang
mengikatnya. (selama masah menunggu saat
perkawinan) Masa ini bernilai 3 tail mas.
2. Satu lela sebagai sasih agar semua orang
taubahwa sang gadis telah disasih atau telah
menjadi milik orang.
3. Satu pasang vuvu (anting-anting) fungsinya untuk
menyambut telinga sang gadis agar jangan mudah
terpancing fitnah atau bujuk rayu orang dan biar
kapanpun ia harus setia menunggu calon sang
suami.
4. Satu mas lagi untuk membuat senang hati ibu dari
sang gadis yang lazim disebut man malolin.
5. Satu mail lagi untuk air susu ibu yang disebut
Ovtet yar.
Sawe kot adalah bentuk pertemuan adat dalam
rangkah penyerahan bingkisan (harta adat) pertunangan.
172

Biasanya bingkisan ini bermakana mengikat dari pihak


keluarga laki-laki kepada keluiarga sigadis untuk menyatakan
bahwa sigadis telah menjadi calon istri dari sanglelaki. Pada
Saat serah terima harta adat pihak lakilaki secara resmi
disebut sebagai Yan Ur, sedangkan pihkan perempuan
disebut Mang Ohoi. Kadang-kadang penyampaian bingkisan
ini disebut dengan harta kecil yang terdiri dari:
a. Satu mas ikat yang berbentuk gelang disebut mas a
(mas pengikat) yang berfungsi sebagai pengikat,
maksudnya agar sigadis suda terikat sehingga dalam
pergaulan sehari-hari dia tidak bebas dalam dalam
menentukan apa saja yang ia inginkan sebagaimana
gadis-gadis lain yang masi bebas. Nilai mas ini adalah
3 tail.
b. Satu buah sad-sad sebagai sasih terhadap si gadis,
agar menjadi jelas bagi semua orang bahwa dia telah
menjadi calon istri orang.
c. Satu pasang anting-anting (vuvu), fungsinya sebagai
lambing penyumbat telinga gadis agar tidak mudah
jatu/terpancing dengan isu-isu yang sengaja dibuat
untuk meninggalkan pertunangan.
d. Satu buah mas yang disebut mas mamolin yang
fungsinya menghibur ibu dari sigadis dari perasaan
gunda karena akan berpisah dengan anaknya.
e. Satu buah masyang disebut Af Tet Yar sebagai
lambing balas jasa terhadap duka derita ibu dalam
menyusui anak gadisnya.
Harta kawin pertunangan diatas disebut wawut tatau/rov
having dan diberikan kepada pihak mang ohoi oleh yan Ur
pada waktu yang telah ditetapkan yang biasanya disebut naun
enkik. Tata cara penyerahan rav hoving harus melalui tahap-
tahap seperti:
173

a. Sob Duad, Flurut Nit Tovlai


Yan Ur akan mengisih uang atau emas pada dua buah
piring yang telah disediakan: oleh mang ohoi. Sebuah
piring dengan isinya (baun) akan diserahkan kepada
mang ohoi utin, sedangkan piring yang satunya lagi
diserahkan kepada Tetua Mang Ohoi lain sambil
mengangkat piring tersebut pihak penerima memohon
berkat Tuhan dan restu pada leluhur (toar taroman)
bagi kesalamatan pasangan itu.
b. Vor yaf
Pihak yan ur minta diberikan beberapa piring kosong,
kemudian mengisinya dengan uang/mas seperlunya
(bandingkan bingkisan sawe ko di atas). Piring-piring
tersebut kemudian ditutup dengan sapuh tangan dan
kemudian diserahkan kepada pihak mango hoi yang
ditentukan khusus untuk menerimanya.
c. Mas Mol Sian
Menurut adat Kei apabilah seorang laki-lakis yang
merantau maka saudara perempuanya yang tinggal di
rumah teteap menjaga perilakunya agar tidak
mendatangkan sial atau malapetaka baginya. Saudari-
saudarinya itu disebut vat mol-mol. Jarena hir batang
mol (hir dok mol) apabilah dari antara saudarinya itu
ada yang kawin maka tempatnya menjadi kosong.
Oleh Karen itu pihak yon ur harus memberikan satu
buah mas untuk memenuhi tempat itu agar saudaranya
dirantau tidak mengalami kesusahan (mat mav niton).
Mas yang diberikanitu namanya mas mol sian.
d. Huwear Balwirin
Huwear Balwirin adalah suatu lambang larangan
terhadap milik orang yang dibuat dari daun kelapa
muda (hu=daun kelapa, wear= air atau basah;
174

balwirin= yang adik, yang bungsu, yang terakhir: daun


kelapa yang muncul terakhir) yang dianyam kemudian
diikat pada tonggak pilihan dan ditegakan pada objek
larangan, misalnya dipajang pada sebidang tana itu.
Berkaiatan dengan sebuah pinangan maka terhadap
sang gadis juga dipasang tanda larangan huwear
balwarin yang terdiri dari sebuah gong yang
melambangkan anyaman janur kuning itu dan sebuah
sadsad yang melambangkan tonggak dimana janur
kuning itu diikat.
e. Mas Famem
Dalam sistem adat perkawinan Kei si gadis wajib
meninggalkan nama keluarga (faam) dan menerima
nama kelaurga suaminya. Karena pihak yon ur
memberikan sebuah mas kepada mango hoi. Mas itu
diberi nama mas famem, berfungsi sebagai pengikat si
wanita kepada sang lelaki.
f. Mas eyak ye
Puncak acara pertunangan ini ditutup dengan mas dan
eyak ye yang di siapkan oleh yan uri dank kain sarung
yang disiapkan oleh mango hoi pengikat pertunangan.
Ditilik dari fungsinya, maka kain dan emas ini identik
dengan cincin pertunangan pada zaman sekarang.
Silelaki dan gadis yang dipertunangkan mengambil
tempat ditengah ruang pertemuan. Kepada mereka
dikenakan selembar kain sarung melingkar, kemudian
salah seorang tetua mengambil mas Eak ye sambil
E’ntoar (Na toar) taraoman mohon berkah Tuhan serta
leluhur dalam pertunangan ini.
Tahap III Sawe Laai
Setelah penyelesayan adat (harta ada kecil tahap II
diatas, maka pihak pria kembali untuk mempersiapkan harta
175

kawin (harta besar) yang disebut dengan bahasa – bauk anan


atau waan raat udt lim.
Perlu dijelaskan bahwa setelah harta besar ini maka
pihak oang tua sang gadis pun harus mempersiapkan
sejumlah perangkat persiapan rumah tangga sang anak
gadisnya mulai dari ruang tamu, ruang makan, dapur bahkan
sampai kepada binatang peliharaan pun bilah perlu diberikan
masing-masing 1 pasang untuk dibawa ke rumah sang pria.
Harta besar atau bauk anan yang dimaksudkan
adalah:
1. Apabilah sanak saudara kandung dari sang gadis
ada yang merantau keluar daerah maka harus
dibuat fnan luwu mas ini diberikan agar menolak
bahala yang menimpah saudaranya yang lagi
merantau.
2. Melornit Fat Fatuk berupa mas atau uang, untuk
mango hoi rehantal. Harta ini diterimah oleh
saudara lelaki dari ibu sang gadis, satu lagi untuk
mama dari nene mama, dan satu lagi diterima oleh
oyang dan ketiga-tiganya menari sambil memohon
restu atas perkawinan anak cucu gadis tersebut
serta menolak baha dari perkawinannya.
3. Sesuai penetapan adat negeri dan Ohoi maka yang
kawin antara pria wanita dalam Ohoi maka harus
diselesaikan 5 mas, 5 lola, 5 gong all.
Kalau ternyata dalam penyelesayan adat harta
besar yang ditetapkan itu ada mengalami kekurang
maka atas kesepakatan kedua belah pihak
terutama kedua orang tua kelarga gadis dapat
memaafkan denga ketentuan kapan saja bilah
prang tua pria telah menemukan harta yang telah
ditetapkan maka akan dilunasi kepada pihak orang
176

tua/keluarga gadis, kesapakan sedemikan disebut


ref vav vav hi wa an kir-kirik.
4. Wang tam-tam pihak laki-laki mempersiapkan
beberapa potong emas, atau lela tau gong atau
uang untuk diberikan kepada:
a. Kades kalau laki-laki dari luar Ohoi juga untuk
negeri asal gadis
b. Kepada paman dari sang gadis, serta saudara
laki-laki dari saudara sang gadis
c. Bapak tua atau bapak muda dari sang gadis
serta pihak pengantar dari pihak perempuan.
Setelah selesai wang tam-tam maka sang pria dan
wanita ditampilkan untuk dinasehati oleh pihak orang tua
kedua belapihak bersama kepala Ohoi serta tua adat yang di
undaang sebagai penengah.
Sawe laai adalah pertemuan pembahasan harta kawin
secara besar-besaran yang juga disebut waan rat vut lima
taubauk anan.
Biasanya pembahasan mengenai ini memakan waktu
cukup lama karena mang ohoi n’ngail ni tuat wad atau teang
tam (manhoik agar mendapat sesuatu) bahasa yang dipakai
tidak boleh menyinggung perasaan. Keseluruhan harta kawin
itu lebih sering disebut: Vat vilin harta besar atau bauk anan
itu berupah:
a. Mas Finaan Luv
Yaitu bingkisan berupa satu buah mas adat yang
diberikan untuk menolak bala bagi saudara si
gadis.
b. Malornit Vat-vatuk
Berupa mas atau uang untuk mango hoi rahan tel
yaitu saudara laki-laki dari ibu sang gadis, nenek
(dari ibu) dan Oyang masi dari garis ibu. Kegiatan
177

serah terima harus didahului dengan permohonan


berkat Tuhan dan leluhur atas perkawinan
anak/cucu mereka.
c. Ref vav-vav Ni Wan Kir-kir
Sesuai tradisi apabilah seorang pria mengawini
perempuan sekampung, maka keluarganya
berkewajiban menyiapkan 5 buah mas, 5 batang
sadsad, 5 buah dada dan lain-lain. Apabilah pihak
yan ur belum dapat menyediakan semua kewajiban
itu, maka yan ur dan mango hoi akan menyepakati
dan menentukan, waktu penyelesayan pada waktu
tertentu. Kesepakatan demikian disebut ref vav-vav
ni wan kir-kir.
d. Wang tam-tam.
Pihaka laki-laki juga haru mempersiapkan
beberapa buah mas, sadsad, dada, atau uang
untuk diberikan kepada: orang kai, atau kepala soa
kalau laki-laki berasal dari luar kampung, selain itu
juga diberikan kepada perbendaharaan Ohoi asal
sigadis. Paman dan saudara laki-laki sigadis serta
pihak pengantar dari perempuan.
e. Setelah selesai serahterima wang tam-tam, kedua
mempelai dinasehati oleh orang tua kedua
mempelai, orang kai, kepala soa dan tua-tua adat.
Pelaksanaan save laai biasanya diadakan sehari
setelah pernikahan. Tempat pertemuan disiapkan oleh mang
ohoi, kemudian yan ur diundang sesuai kesepakatan waktu.
Selanjutnya harta kawin ini diserahkan kepada pihak yan ur.
1. Ngaban Ten
Dalam pertanian tradisonal di Tual ngaban adalah
sebutan untuk kayu-kayu buat berdiameter berkisar
7-10 cm dengan panjang berkisatr 2-2,5 m yang
178

disusun secara horizontal satu diatas yang lainnya


dari permukaan tanah diantara tegakan fetar
(tongggak dari kayu bulat yang berdiameter 4-7 cm)
mengelilingi sepetak kebun untuk menghindari
masuknya babi hutan. Ngaban tenan (ngaban yang
paling bawah adalah ngaban yang kokoh dan
peletakannya harus mengikuti kebiasaan atau
tradisi pertanian Kei, khususnya daerah tual dianut
secara luas. Ngaban tenan kemudian diadopsi
menjadi sebutan atas harta kawin utama berupa
sadsad didalam masyarakat adat. Penyerahan
ngaban tenan dari yan ur kepada mango hoi di
sertai dengan leaf vehe it dan taat wad (uang, mas
dan tuak).
2. Mas A Ye.
Mas Aye adalah sebuah gelang mas bernilai 3 tail
yang di serahkan yan ur dan di balas dengan
penyerahan dengan sebuah kain sarung oleh
mang ohoi.
3. Mas Vev Aroan Vahan
Mas ini diberikan khusus kepada ibu, yang setelah
melahirkan sang gadis, selama 40 hari
mengkonsusmsikan obat tradisonal Keiuntuk
memulihkan kesehatanannya sendiri serta anak
yang dilahirkannya itu. Masyarakat tradisonal Kei
terutama pada ibu masa pasca persalinan, sering
minum air rebusan daun-daun sebagai obat
(roan=daun ; ai roan= daun pohon; vev=melingkar;
vev-ai roan= daun-daun yang berasal dari pohon
kayu dan tumbuhan menjalar; misalnya warlolanit)
4. Mas Tod Yan
179

Mas ini hanya diberikan kalau si perempuan sejak


kecil hanya dipelihara oleh orang lain (bukan orang
tua kandung) misalnya tantenya atau neneknya.
5. Mas Dir Talik
Yan ur memberikan satu buah mas 3 tail kepada
orang tua si perempuan karena dia
akanmeninggalkan orang tuanya. Mas itu sebagai
pengganti putri mereka yang telah pergi
meninggalkan mereka, dengan demikian sering
disebut juga mas tub luv
6. Mas Sidsidak
Makna dari sidsidak (pencabutan) adalah sigadis
dicabut dari keluarga Mang Ohoi, bukan berarti
putus hubungan kekeluargaan sama sekali. Mas
Sidsidak hanya diberlakukan pada kasus-kasus
khusus. Hakekat harta kawin masyarakat khusunya
di Kei Kota Tual adalah menjalin hubungan
kekeluargaan yang lebih luas, mendalam dan
diletakan di dalam kekerabatan masyarakat adat,
khusunya antara yan ur dan mang ohoi. Hak dan
kewajiban yan ur dan mang ohoi yang muncul
sebagai suatu konsekwensi perkawinan akan
berlanjut dan harus dilaksanakan dan dipenuhi
sampai beberapa generasi sesudah terjadinya
perkawinan itu. Contohnya kewajiban-kewajiban
yang masih berlaku sampai sekarang ini seperti
meminta dan menerima mulin, kewajiban
menyediakan Bakvil-baklof, buut barit, ye lim-lim
dan sebagainya.
Apabilah masa sidsidak diberikan kepada yan ur,
maka mang ohoi wajib mempersiapkan
180

perlengkapan yang memadai bagi anak


perempuannya (isi rumah yang akan di tempatkan)
7. Tiga buah mas yang akan disertakan adalah mas
ra hilin, diterimah oleh orang yang berkedudukan
didalam keluarga merasa tersinggung dengan
pesoalan perkawinan yang sementara di proses.
Mastufu baing dimintah oleh mang ohoi karena
kedudukan agak tinggi dalam masyarakat. Mas
haruk ded (mas merintis jalan) diminta jika diantara
pihak yan ur dan mang ohoi belum pernah ada
perkawinan sebelumnya.
8. Mulin wanan.
Kata unilin berarti tubuh, atau pemalin, sedangkan
wananartinya batangan atau raut bamboo atau
buluh tempat menjalin atap dari daun rumbia. Harta
ini terdiri dari satu sadsad dan uang seperlunya
yang bermakna ikatan persatuan dan perkenalan
dengan bapak atau saudara dari ibu sigadis. Harta
ini dibalas dengan memberikan makanan
seperluanya.
9. Mas wear
Terdiri dari satu gelang mas dan uang secukupnya.
Bentuk harta ini dapt dibals dengan makanan dan
kain atau pakaian oleh kakek atau enek sigadis.
10. Lutur Waram
Pihak yan ur akan memberikan leaf veha kepada
seluruh masyarakat Ohoi asal sigadis karena dia
akan keluar dari kampungnya. Harta ini
melambangkan bahwa perkawinan ini
menyebabkan tembok batu atau talud (hitur) yang
mengelilingi kampong telah rumah (navraha)
Tahap IV: Kabil Taha Lim atau Kabil Vat
181

Setelah penyelesaian harta besar boleh juga pada saat


itu pihak keluarga pria meminta agar sang wanita dibawa serta
kembali menyartu dengan orang tua keluarga sang suami
namun apabilah orang tua sang istri menawarkan waktu sehari
atau dua hari maka waktunya di undurkan dalam waktu yang
tidak terlalu lama. Pada saat itu anak gadis dipangku oleh om
kandung atau bapak yang tuah atau bapak yang mudah,
dikamar ia duduk dengan seperangkat alat rumah tangga dan
pihak keluaga laki-laki yang ditunjuk masuk dengan istrinya
untuk menjemput, didalam kamar harus suami istri yang
menjemput dalam rumah tangga dan beranak banyak dengan
membawa mas untuk meminta anak perempuan dari
pangkuan orang tuanya (mas basidak) setelah dibawah kelaur
dari kamar sampai diproses maka saudara laki-lakinya
membentuk jalan dengan kain dan sesudah itu ia diberikan
harta berupa uang atau emas tanda ia meminta permisi,
begitu sampai di pintuh depan atau mau keluar dari rumah
sang gadis, mungkin kakak atau adik yang paling ia sayangi
datang sambil menangis dan menghalangi sambil membawa
seperangkat peralatan rumah tangga maka harus diberikan
emas untuk meminta permisi yang selanjutnya melanjutkan
perjalanan sampai ke rumah sang suami (pria)
Apabilah suami dari lain Ohoi maka ada saja hambatan
sepanjang perjalanan dalam Ohoi sampai ke pinggiran Ohoi,
wakil-wakil dari staf-staf adat Ohoi berdiri dengan sejumlah
peralatan rumah tangga, sampai dengan pakaian dan lain-lain,
menghalangi kepergian sang gadis dengan orang yang
mengantaranya maka pada saat itu harus diberikan lela dan
mas untuk memohon permisi agar bisa melanjutkan
perjalanan pulang ke kampug/Ohoi sang pria (suami) dengan
berbagai nyanyian adat.
182

Sampai didepan pintu masuk rumah sang pria maka


telah disiapkan seorng wanita yang cukup tua umur dan
dikenal oleh masyarakat, telah siap dengan percikan air
kelapa mudah sambil memintah berkat dari Tuhan, doa arwah
para leluhur/ orang tua yang suda meninggal agar
mendatangkan berkat serta menolak bala dari kehidupan
rumah tangga yang baru agar mereka dapat memperoleh
anak yang banyak dan kiranya hidup umur panjang dalam
keluarganya.
Sesudah sang gadis menyatu dengan sang pria dan
keluarganya maka sebagai sambutan dalam memeriakan
perkawinan adat tersebut maka oleh tua-tua adat diundang
bersama semua yang terlibat dalam peristiwa pinangan gadis
itu untuk dilaksanakan nyanyian adat yang diiringi dengan tiva
gong disertai tarian-tarian sebagai pertandah bahwa telah
bertambah seorang anggota masyarakat di Ohoi terutama
dalam mata rumah tangga sang pria (suami).
Kadang-kadang kabil vat disebut juga kabil taha lim
yaitu serangkaian acara penjemputan pengantin wanita untuk
diantar pulang ke rumah sang pria dengan arak-arakan.
setelah selesai penyelesaian harta perkawinan (sawe kot dan
sawe laai), sang wanita yang telah menjadi isitri sah sih laki-
laki dijemput di rumahnya dan diantar ke rumah suaminya
untuk memulai hidup mereka secara bersama-sama. Oleh
Karena itu keluarga pihak yan uru harus menyiapkan lagi harta
seperlunya berupa uang, mas dan lela sedangkan pihak
mango hoi sudah harus suda mempersiapak seperangkat
peralatan rumah tangga mulai dari ruang tamu sampai ke
dapur. Pengelolaan acara tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut:
a. Pada hari pertama penjemputan pengantin wanita
ditempatkan didalam kamar orang tuanya, berselimut
183

kain selibung dipangku oleh bapak tua dan bapak


mudahnya.
b. Pihak penjemput dari keluarga sang suami biasanya
ditunjuk orang-orang pilihan seperti suami istri yang
mujur, beranak banyak, berwibawah dan
berpembawaan baik dalam masyarakat. Mereka
membawa mas yang disebut mas basida/mas velvel
untuk meminta pengantin perempuannya itu dari orang
tuanya.
c. Pada waktu keluar sudara laki-laki perempuan itu
membuat halangan di pintu menuju teras rumah
dengan membentangkan kain. Kepadanya harus
diberikan mas atau uang sacukupnya.
d. Di pintu depan (bagian teras) ada lagi kakanya atau
adiknya yang paling disayangi berdiri dengan
memegang seperangkat alat rumah tangga sambil
mengekspresikan wajah kedukaan atas perpisahan
dengan kakak atau adiknya itu. Ketika sang gadis
memohon adik atau kakanya itu agar merelakannya
untuk pergi, pihak keluarganya harus menyerahkan
mas dan uang secukupnya kepadanya.
e. Pada tahap ini pengantin wanita sambil digendong,
didudukan diatas ranjang atau sambil berjalan kaki
diarak menuju rumah pengantin pria, baik keluarga
wanita, keluarga pria bahkan semua orang kampong
bahkan handaitolan ikut dalam perarakan itu. Kepada
orang yang menggendong pengantin wanita diberikan
mas vavan dan kepada para pengantara dari keluraga
wanita diberikan mas baluang.
f. Apabilah suami berasal dari lain kampong, maka ada
lagi rintangan lain. Ditengah jalan keluar kampong
pihak perempuan menuju kampong keluarga pria telah
184

berdiri wakil-wakil dari staf orang kai (soa, saniri dan


tua-tua adat) dengan seperangkat alat rumah tangga
ataupun pakaian sambil menghalangi kepergian sang
pengantin wanita dan keluarga pria harus memohon
pamit sambil menerima bingkisan yang telah disiapkan.
Sebagai ucapan terimakasih keluarga pria memberikan
sadsad dan uang secukupnya kepada mera.
g. Sesampai dirumah pengantin pria, telah siap seorang
ibu yang cukup umur dan berwibawah melakukan toar
taroman. Ia memercikan air kelapa mudah memohon
berkah Tuhan serta restu para leleluhur (n’rinin) atas
pengantin yang baru saja meneguhkan nika adatnya.
Setelah itu salah seorang saudara pengantin pria
membuka kain selubung pengantin lain memberikan
mas yang namanya Mas uv uv.
h. Kedatangan pengantin wanita di sambut dalam rumah
oleh saudara-saudara perempuan dan kaum kerabat
suaminya sambil memberikan mas dan uang sebagai
ungkapan suka cita mereka. Bingkisan –bingkisan
seperti itu disebut Vor Yaf.
Tahap V Tiva De Tel
Lazimnya bahwa setelah si pengantin sudah tinggal
serumah dengan suaminya dan menyatu dengan keluarga pria
sebagai keluarga yang baru maka telah dipersiapkan juga oleh
keluarga besar pria, makanan dan minuman untuk
memeriahkan malam gembira selama tiga malam berturut-
turut.
Pada umumnya acara diisi dengan tarian adat atau
lagu-lagu adat (ngel-ngel) diiringi tiva gong sebagai instrument
music lokal. Kesempatan inipun dapat diundang tua-tua adat
sekampung serta keluarga tetangga kampong untuk
menyatakan kegembiraan sebagai ungkapan kebanggaan
185

atas bertambahnya seorang keluarga didalam mata rumah


sang pria.
1. Kawin Lari
Kawin lari dalam bahasa Kei khususnya Tual disebut
Menu u Marai bentuk perkawinan ini kurang disukai karena
mengandung berbagai resiko antara lain:
a. Pihak orang tua wanita menduga bahwa anak
gadisnya tidak diakui oleh orang tua sang pria
sehingga sang gadis dan sang pria suda saling
mencintai maka harus kawin lari.
b. Pihak lelaki bila ditemukan maka akan diberikan
ancaman fisik dari orang tua gadis (khusnya terhadap
fisik sang pria).
c. Resiko harta kawinnya besar, sebagai sanksi atas
tindakan yang tidak disenangi oleh masyarakat adat
yang ada atau sang pria dan wanita suda terlanjur
dalam hubungan yang lebih intim maka terpaksa sang
pria mengambil langkah kawin lari.
d. Kawin lari ini juga diambil sebagai akibat dari pihak
orang tua sang gadis menolak maksud yang
disampaikan oleh delegasi dari sang pria dengan
berbagai alasan, namun tetap dikenakan sebagai
sanksi yang cukup besar.
2. Kawin Masuk Rumah.
Bentuk prkawinan dalam bahasa Kei kususnya Tual
adalah Tub Riin, perkawinan ini sering terjadi, dan cara ini
diambil karena ada beberapa kriteria yang sangat disukai,
antara lain:
a. Sang wanita merupakan anak perempuan yang
satu-satunya dan sangat disayangi oleh orang
tuanya ataupun hubungan kekeluargaan sang pria
dengan orang tua sang wanita masi erat dank
186

arena pertimbangan-pertimbangan khusus dari


orang tua wanita.
b. Pihak orang tua sang pria menolak pilihan calon
anak mantunya justru berbagai kriteria dan siofat
serta sikap orang tua sang wanita yang kurang
disenangi oleh pihak orang banyak.
c. Pihak orang tua pria tidak berharta bilah
dibandingkan dengan tingkah dan keberadaan
orang tua gadis.
Bentuk perkawinan ini tidak terlalu menuntut harta
yang banyak apabilah sang pria dapat mengerti kehidupan
dan kesulitan kehidupan sang mertuanya.
Ada dua bentuk perkawinan lainnya yakni kawin lari
dan kawin masuk adalah perkawinan yang tidak sesuai
dengan ketentuan adat dan jenis perkawinan tersebut adalah
pelanggaran adat yang sanksinya berat.

H. Sistem Adat Kematian di Kepulauan Kei


Adat budaya didaratan kepulauan ini khususnya Tual
adalah sama didalam praktek pelaksanaannya dan
perbedaannya terletak pada materiaal adatnya saja dan lebih
jelas terlihat pada adat kebiasaan yang bersifat kebapakan
(patrilinieal) dimana,apabilah perkawinan itu terjadi maka sang
isteri- harus meninggalkan orang tua, keluarga atau mata
rumah serta kampong halamannya dan menyatu dengan
keluarga sang suaminya dan harus merubah fam marganya
(mata rumah) dan menggunakan faam/marga suaminya
demikian halnya anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan
maka harus memakai faam bapaknya.
Demikian pun ketentuan-ketentuan adat istiadat yang
berlaku sam halnya dalam prosesi upacara kematian diatur
demikian pula. Sebagaimana diungkapkan suatu peribahas
187

Tual mengatakan bahwa: En Uuk, Ne Mav En Ahang artinya


kematian menghimpun dan pelayanan menyatukan.
Maksudnya apabilah seseorang meninggal maka seluruh
keluarga jau dekat hendaknya dihubungkan untuk hadir sebab
ada berbagai ketentuan adat yang harus dipenuhi oleh
keluarga kandung yang meninggal terutama pihak mama, slah
satu dari eluarga asal mama ini bilah diberitahukan maka
mereka mendengar berita kematian tersebut, kelaurga pihak
yang meninggal harus memberikan sebuah bentuk emas
untuk membuka telingah merak yang selama ini tidak
diberitakan tentang kematian tersebut, emas ini disebut vu aur
ditkuun artinya emas tilangah tuli. Maksudnya dengan diberi
emas vu aur ditkuun (emas telingah tuli) ini berarti segala rasa
dan kata yang bersifat tidak baik, telah selesai dan soal yang
mengenai adat kematian lainnya dapat diatur secara baik.
Jika dilihat dari sisi tanggung jawab, maka:
1. Sekeluarga semata rumah dan masyarakat seOhoi
saling membantu dalam menyumbang makanan,
menggali kubur, mengerjakan keranda bagi orang
yang beragama kristen, sedang yang beragama
Islam cukup dengan Tanggu yang telah disipkan
oleh majelis TAQLIM secara tetap agar apabilah
ada orang meninggal maka tidak usah
merepotkan. Sesungguhnya sejak awal sebelum
masuknya agama, maka manusia pada saat itu
bilah ada yang meninggla maka di buat keranda
dari gaba-gaba,I atau sampan dan dipotong,
ditutup bahagian depan dan belakang serta
bahagian atasmnya yang dilator belakangi dengan
kepercayaan kepada dewata dan lain-lain.
2. Vaan yan ur (vaat yanan turan) yang lama dan
yang baru, dekat dan jau setelah mendengar berita
188

kematian itu, maka mereka meras berkewajiabn


membantu dengan emas/uang, lela, gong, dan
lain-lain. Bantuan seperti ini disebut hartan kabur
kavai arinya harta ulat dan alat/lalata. Harta benda
ini disumbang untuk upacara adat orang mati.
3. Mang ohoi dan maduan untuk membantu dengan
sandang atau pakain dan pangan lainnya yang
lazim disebut bakvil akvil baklov matmatan artinya
pakaian pembungkus orang mati. Maksudnya
pihak mang ohoi suda merupakan kewajiban untuk
mempesiapkan pakaian tersbut apabilah ada dari
antara anak atau cucu/ saudara atau tantenya
kawin dikelaurga mata rumah tersebut ada yang
meninggal dunia.
4. Mang ohoi utin (mang hir dok ohoi, orang tua dari
ibu yang punya anak meninggal itu bertanggung
jawab atas pembuatan keranda orang yang mati
tersebut dengan semua perlengkapannya yang
disebut vuut barit. Artinya parekat rabuk (kain putih
atau kain hitam, paku, benang dan lain-lain
menjadi tanggung jawab mang ohoi utin (ibu,
bapak atau saudara lelaki dari ibu).
Baik dari pihak Vat Yan ur maupun pihak mel mang
ohoi (mangohoi, rahan tet) semuanya sibuk dalam upaya
menyelesaikan persiapan untuk pemakaman. Pada saat mang
ohoi datang ke rumah keluarga yang meninggal (vaat yan ur)
dengan segala bawaannya mereka tidak langsung masuk
kedalam rumah duka. Sesuai adat kebiasaan yang berlaku
hingga sekarang, mereka berhenti sementara di halaman
rumah duka dan seorang wanita keluarga duka keluar sambil
menyampaikan suatu tangisan merupakan bentuk
penghormatan rasa duka adat mera dengan membawa
189

sebuah piring/talang yang berisi emas sambil mengundang


mang ohoi/ meduan untuk masuk kedalam rumah duka. Mas
ini disebut mas lu wear herher, yang terima oleh pihak mang
ohoi.
Pada saat keranda mayat dibawa masuk maka pihak
yang membawa keranda tersebut bertanya kepada penghuni
yang berada dalam rumah duka itu: “ini keranda siapa?” orang
yang berada dalam rumah menjawab “itu keranda sianu”
sebanyak tiga kali pertanyaan itu dilontarkan. Dan sebanyak
tiga kali juga diberikan jawaban kemudian keranda tersebut
dibawa masuk kedalam rumah dan diletakan di pinggir tempat
tidur yang meniggal guna menunggu pihak mang ohoi ran tel
datang untuk mengangkat mayat tersebut dan memasukan
kedalam keranda yang telah disediakan. Pada saat
penguburan mayat dilaksanakan maka mangohoi rahan tel
diundang datang untuk mengangkat mayat tersebut masuk
kedalam keranda dengan tatacara prosesi adat:
a. pihak mang ohoi utin (pihak mama memegang
kepala mayat)
b. pihak nene mama memegang bahu dan sekitarnya
c. pihak nene mama punya ibu memegang di sekitar
pinggul dan paha setelah ketiga belah pihak telah
mengambil posisi sesuai apa yang ditetapkan
didalam adat maka diangkatnya mayat tersebut
masuk kedalam keranda.
Sementara untuk pihak keluarga, yang menganut
agama Islam uapacara adat kematian ini suda tidak lazim
dilaksanakan. Namun demikian jika ada yang terlibat didalam
pihak mang ohoi rahan tel biasanya mereka masuk berdiri saja
untuk menyaksikan dan keluarga pihak orang Kristen yang
ditunjuknya bertugas untuk mengangkat mayat tersebut,
dengan cara mayat diangkat turun naik sebanyak tiga kali
190

kemudian diletakan dan dimasukan kedalam peti atau keranda


mayat.
Pada masa silam, beberapa abad yang lampau
biasanya mang ohoi meletakan beberapa piring yaitu satu
buah piring diletakan diatas kepala satu di bahu dan satu buah
dibagian pinggul atau pahanya yang menurut kepercayaan
saat itu diyakini sebagai wadah makan bagi orang mati.
Namun saat ini faham tersebut suda tidak digunakan proses
pemakaman mayat dilakukan sesuai agama yang dianutnya.
Proses pemakaman mayat diserahkan kepada pihak majelis
agama guna melanjutkan upacara pemakaman menurut
agama yang dianutnya.
Selain acara adat dan tradisi di atas maka sesudah
upacara pemakaman adat, acara selanjutnya apabilah mayat
belum dikuburkan belum diselesaikan secara adat disebut nit
vokun kepada mang ohoi rahantel ada sebuah pemberian
dalam bentuk emas, uang atau lela atau gong kepada para
mang ohoi dimana mereka yang meninggikan atau
mengangkat kepala di sebut mang ohoi utin yang memegang
bahu (mang hoi dimana kedua pihak nene mama) dan mang
ohoi pihak ketiga (nenek mama punya mama dari (yang
mama).
Ada beberapa proses khusus yang dilaksanakan
apabilah yang mengakibatkan terjadinya kematian yang
meragukan dan mencurigakan misalnya pernah melakukan
pertikaian dengan orang lain atau mengeluarkan ucapan yang
menyakiti dan merusak kepentingan orang banyak serta
dibantah dimana orang tersebut termasuk orang yang
disenangi dan terpandang dan memiliki peranan besar maka
untuk mencari tau sebab musabab maka disuru orang tertentu
naik tidur ditempat tidur orang yang sudah meninggal tersebut
arwahnya datang memberitahukan sebab musabab kematian
191

tersebut. Kepercayaan orang di zaman itu disebut in ba inso


sir amait artinya berjalan menyusur atap dan dinding rumah
agar arwah orang mati itu masi berada di sekitar rumah sekitar
40 hari/40 malam dan sesudah itu mereka mengembara
malam sewaktu-waktu mereka kembali datang mendekati
dipinggir sir anait. Ada juga faham dan cerita berupa legenda
didalam masyarakat seperti uun ohoider ohoimas, te waha ru
yang masi melegenda di gua ohoider tentang jasad dan ruh
orang mati.

I. Maren atau Masohi (Gotong Royong)


Maren (ren) atau masohi merupakan istilah lokal
masyarakat setempat atau dikenal dengan istilah gotong
royong adalah perwujudan atau sikap hidup dari bangsa
Indonesia yang suda terbinah didalam perilaku berbangsa dan
bernegara sejak berabad, hingga dewasa ini masi
dipertahankan dari generasi kegenerasi apabilah sikap dan
sifat hidup ini ditinggalkan oleh satu generasi maka makna
dan arti persatuan Indonesia yang tertuang dalam sila kedua
pancasila yang merupakan dasar Negara dan Falsafa hidup
bangsa Indonesia akan menimbulkan tantangan dalam
perikehidupan berbangsa dan bernegara makna dari
persatuan bangsa Indonesia ini dapat dinikmati hasilnya
hingga saat ini, baik dalam wujud nasional, daerah dan Ohoi
untuk wilayah adat Kepulauan Kei Kota Tual di sebut maren
(hamaren) yang artinya bakti (membagi kerja) maksudnya
suatu pekerjaan biar seberat apapun tetap dapat dikerjakan
oleh banyak orang maka dapat memberi kerja ganda baik itu
kerja negeri, pekerjaan kelompok maupun pekerjaan
perorangan akan tetapi memberikan hasil yang memuaskan,
jadi kerja bakti atau kerja sama ialah hameran (maren)
ham=bagi, maren diartikan kerja bakti. Dengan demikian
192

dalam pelaksanaan hamaren ini apabilah bersifat kelompok


atau perorangan maka dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Hamaren yang bersifat perorangan maka yang punya
kerja mendapatkan warga Ohoi memberitahukan hari
apa dapat dilaksanakan pekerjaan tersebut dan
berlokasi dimana.
2. Menyongsong tiba waktu yang ditetapkan untuk maren
dilaksanakan maka yang punya masud kegiatan itu
suda harus mempersiapakan bahan berupa makanan
dan minuman, alat yang dibutuhkan apabilah tidak
dimiliki oleh mereka yang datang kerja bakti atau
maren tersebut.
Kalau kerja yang hanya memakan waktu sejam dua
jam maka yang punya kerja menyiapkan tembakau atau rokok
serta minuman saja, tetapi bilah pekerjaan yang menelan
waktu maka kelompok harus mengumpulkan bahan
makanan/minuman dan lain-lain, karena pekerjaan berjalan
sehari atau memakan waktu, oleh sebab itu perluh disepakati
jam dan hari kerja hari kerja dll kebutuhan yang harus
dipersiapkan lebih awal.
Pada zaman dahulu untuk mengetahui jumlah peserta
yang ikut didalam hamaren tersebut maka seseorang ditunjuk
membuat/mempersiapakan waan yang terbuat dari sapu lidi
berukuran 1 jengkal selanjutnya ia pergi menemui semua
peserta maren dan ia memulai mengeluarkan waan tersebut,
agar segera pula ia pergi melaporkan ibu-ibu yang kerja
mempersiapakan makanan, setelah beristahatb maka
makanan dihitung berjumlah waani yang diserahakan oleh
yang menghitung dan inilah sistem perhitungan tradisonal
pada datuk leleluhur.
193

J. Agama dan Kepercayaan di Kepulauan Kei


Sebelum datangnya agama Islam, katolik dan
protestan, orang Maluku mempunyai kepercayaan primitiv.
Ketika cara hidup nomaden, mereka mempunyai kepercayaan
dinamisme. Kepercayaan itu erat kaitannya dengan pekerjaan
berburu dengan menggunakan alat sederhana seperti batu
atau sekerat kayu. Jika alat tersebut berhasil membunuh
hewan buruan mereka, maka dianggap batu atau kayu itu
mempunya kekuatan tertentu, mempunyai mana yang tidak
terdapat pada batu atau kayu yang lainnya. Ketika mereka
telah menetap dalam aman/hena, moli dan ohoi, maka
mempercayai animisme, yaitu animo atau roh yang masi
menguasai kehidupan manusia yang masi hidup kepercayaan
ini masi dianut oleh sebagian masyarakat Maluku hingga kini.
Para pengembara Eropa mengisahkan mengenal hal
ini bahwa Agama bagi mereka merupakan pemujaan kepada
matahari dicampur dengan animisme. Matahari dan bumi
dianggap sebagai sImbol pria dan wanita, selain itu orang juga
masi menyembah pada roh pelindung yang disebut sedeu,
yang ditemspatkan dijalan masuk atau dinegeri, dalam bentuk
patung pria atau wanita yang diukir dari kayu atau dipahat dari
batu, kadang-kadang dalam bentuk duduk, tetapi kembali
dalam sikap berdiri. Pada pusatnya terdapat lobang dimana
sesaji diberikan. Roh-roh jahat tinggal di lobang atau pohon-
pohon besar. Roh orang mati memiliki kekuatan untuk
mengganggu atau menolong mereka yang hidup dan muncul
dibumi seperti baying-bayang atau embun. Setelah
meninggalkan tubuh, pertama-tama mereka pergi ke pulau
Bair dan Ohoimas, disebelah utara Nuhu Roa. Sementara itu
jumlah orang Kristen dan orang Islam mengalami kenaikan
sangat pesat. Para pemeluk Islam dengan berbagai cara
melakukan propaganda, kadang-kadang dengan paksaan atau
194

tipuan, kemudian kembali dengan ancaman, tetapi juga


dengan pembelian. Mereka yang baru masuk terutama akan
menerima hadia f 200 dan jika mereka adalah bangsawan
akan menerima f 1000, yang jumlahnya bersama-sama
dikumpulkan oleh Negeri-Negeri Islam.
Kepercayaan pada tanda-tanda seperti aturan
larangan memainkan peranan penting. Terutama ini terjadi
saat kehamilan atau melahirkan, tetapi juga muncul pada
kasus kematian dan penguburan. kerabat dan teman-teman
berkumpul untuk melantunkan lagu-lagu duka dan setelah
pembasuhan jenazah, jenazah dibungkuskan dengan busana
yang layak dan dimasukan kedalam peti kayu besi yang diukir
indah, yang kadang-kadang disimpan berbulan-bulan dirumah
sampai suatu hari baik bagi penguburannya dipilih. Kemudian
pada nisannya sebuah tonggak dipasang di depan rumah
duka, dimana sesaji diberikan pada saat sakit, melakukan
perjalanan seperti halnya bagi ketentraman arwah. Tetapi ini
berlaku pada orang-orang kafir. Makam Islam dikelilingi
dengan tembok batu yang berkapur putih. Melalui campur
tangan pemerintah penempatan jenazah diatas tanah dalam
jangka waktu lama dalam belakangan ini sudah berkurang.
Goa-goa kematian ditemukan di beberapa pulau; tidak banyak
penulis yang menduga bahwa perawatan jenazah dengan
cara ini bukan berasal dari orang Kei melainkan berasal dari
Papua. Tetapi penduduk sangat menghormati tempat-tempat
ini dan banyak yang dikeramatkan.
Mengenai hakatas tanah, dalam banyak aspeknya ini
mirip dengan kondisi yang berlaku di Pulau Ambon. Hak milik
atas tanah liar bersifat komunal dan setiap negeri memiliki
wewenang atas tanah-tanah yang terletak pada batas-
batasnya. Di dekat kebun atau kumpulan tanaman (dusun),
ditanami dengan sagu, pinang, kelapa atau pohon kenari,
195

keluarga yang tampil sebagai pemiliknya dan haknya bisa


diwariskan turun temurun dalam sebuah cabang terkait. Hanya
lahan yang dibuka sendiri bisa diterapkan hak pakai secara
turun temurun oleh pembukanya, yang tidak bisa di alihkan
kepada orang asing kecuali mereka menikah di negeri ini dan
dianggap sebagai penduduk. Karena penangkapan ikan
dilakukan secara besar-besaran, setiap negeri memiliki hak
milik dari harta laut ini yang terletak di tanah mereka. Ini
membentang sampai kedalaman 10 vadem, tetapi toh bagi
orang asing dilarang untuk mengeksploitasi batuan karang
atau tempat-tempat yang kering. .
Pada tahun 1606 kepulauan Kei di kunjungi salah satu
kapal komponi, yaitu duifje dibawa Willem Jansz. Dan menjalin
hubungan dengan penduduknya. Pada tahun 1645 komponi
membuat perjanjian dengan kepala adat Kei yang kira-kira 20
tahun kemudian diperbaharui dimana mereka mengakui
sebagai kaulah komponi. Diketahui bahwa pelayaran hong
komponi berulang kali mencapai kepulauan Keiuntuk
membabat pohon pala yang tumbuh disana. Kepulauan Kei
saat itu berada dibawah banda. Usaha pertama untuk
menyebarkan agama Kristen pada tahun 1635 mengalami
kegagalan. Meskipun dari pihak penduduk berkeinginan bagi
pendidikan dan kesanggupan untuk masuk Kristen berulang
kali diungkapkan pada abad XVIII, Keinginan ini terkabul.
Sementara itu orang-orang Islam menyebarkan agamanya
dengan akibat bahwa pada kunjungan Residen Baron van
Houvell pada tahun 1887 sepertiga dari penduduk yang di
taksir berjumlah 20 ribuh masuk Islam.
Menurut pendapat pejabat tinggi ini, penyebaran
agama Kristen sangat diharapkan dan hanya misi katolik yang
bisa bertindak untuk memerangi propaganda Islam.
Pandangan ini diterima; dilanggur di Kei. Kei kecil tinggal misi
196

katolik dari kongregasi hati kudus dari isoudun. Juga dari


pihak protestan dari arah ini akhirnya usaha dilakukan. Pada
tahun 1900 dari Ambon suatu penginjilan di Keii dimulai
dengan tenaga pribumi. Baik di Kei besar maupun di Kei kecil
pengkristenan penduduk kafir banyak berhasil. Jumlah
sekolah agama pada tahun 1915 mencapai 12 di Kei kecil dan
7 di KeiBesar, semuanya terkecuali dua di Kei besar di subsidi
oleh Negara. Suatu subsidi pendidikan diberikan kepada
sekolah kesusteran diLanggur pada tahun 1513 dimana
kepada para gadis pribumi pendidikan rumah tangga
diberikan. Dari misi Katolik di Langgur di New Guinea selatan,
dua orang pastur dan seorang bruder berkarya di Merouke
dan seorang bruder di Kokaba. Beberapa kali konflik terjadi
dengan orang Islam, terutama pada tahun seperempat 1913
konflik besar terjadi. Namun kemudian konflik segerah
dipulihkan.
Pada tahun 1882 pemerintah Belanda menempatkan
seorang posthouder di Kei Dula, agar lebih banyak melakukan
pengawasan atas Kepulauan Kei. Setelah kemudian pada
tahun 1890 kepulauan Aru, Kei dan Tanimbar dijadikan
menjadi satu afdeling dibawa satu orang kontroling di Tual,
pada tahun 1911 (lembaran Negara Nomor 631) afdeeling
kepulauan Kei khususnya dibentuk di keresidenan Ambon.
Afdeeling ini di bagi atas Kabupaten atau distrik dan dalam
negeri-negeri khusus. Sebagai pimpinan setiap Kabupaten
terdapat seorang raja dan dibawahnya di negeri-negeri ini
diangkat beberapa kepala rendahan dengan gelar mayor,
orang kaya dan kapitan, selanjutnya setiap kampong masih
ada orang tua atau tatua, yang diminta nasehat dalam
perkara-perkara penting.
Larvul ngabal, bagi masyarakat kepulauan Kei adalah
sebagai alat pemersatu yang dapat menghilangkan sekat-
197

sekat agama diantara mereka. Paduan antara konsepsi yang


disandarakan pada agama dan kesetiaan pada elemen-
elemen lokal, selanjutnya membentuk suatu sikap hidup dan
kepercayaan yang tercukup dalam sistem kemasyarakatan
yang khas. Ciri khas tersebut lahir dari proses dan integrasi
antara elemen-elemen agama dengan budaya setempat, dan
ciri tersebut membedakan masyarakat Kei dan masyarakat
lainnya yang ada di Maluku. Perbedaan itu terlihat pada
masyarakat Kei memiliki agama yang berbeda-beda, namun
memiliki budaya yang sama. Perbedaan agama dianggap
rentan memicu terjadinya sebuah konflik atau sengketa. Hal
itu disebabkan agama selalu bersentuhan dengan masala
keyakinan yang terkadang mengabaikan masalah rasionalitas.
Tetapi dalam kehidupan tetap memiliki kepercayaan-
kepercayaan yang selalu dijadikan sebagai rujukan dalam
beraktifitas agama merupakan faktor teramat penting dalam
kehidupam amsyarakat Kei. Dan itu terlihat dari sasaran
penyiaran dari ketiga agama, yati : Islam, Katolik dan
Protestan.
Menurut Ohoitimur, agama di Kepulauan Kei pada
dasarnya mengandung unsur-unsur animisme, maqis dan
totematis. Animsm adalah kepercayaan kepada roh-roh yang
memasuki benda-benda didalam alam semesta. Bagi
masyarakat di kepulauan Kei, kepercayaan yang seperti itu
diterima sebagai budaya leluhur yang masi melekat dalam
kehidupan masyarakat walaupun mereka suda menganut
agama.
Magis, dalam pandangan dualismenya masyarakat
kepulauan Kei mempercayai bahwa manusia maupun
makhluk-makhluk lain memiliki sifat Ilahi. Atas partisipasi
kesadaran manusia dalam Ke Ilahian kosmos, ia merasa
dirinya mampu menggunakan Ke Ilahian untuk
198

mempengaruhhi Ke Ilahian dari sesama manusia atau Ke


Ilahian dari benda-benda lain. Dalam pandangan masyarakat
kepulauan Kei tersebut berarti magis berada dadalam tingkat
gaib, dilaur dunia profane sehari-hari. Namun demikian,
didalam magisorang tetap menggunakan teknik-teknik dunia
profan. Mislanya untuk menyembuhkan orang sakit dengan
cara mengeloskan pasir diseluruh tubuhnya, karena pasir
adalah barang profan, namun pelaksanaan penyembuhan itu
berada dalam taraf gaib karena hal itu termasuk unsur Ke
Ilahian si pasien. Dalam masyarakat kepulauan Kei, magis
dipakai untuk meramal, mencari rejeki termasuk dalam
kategori wite maging, sedangkan magis untuk mencelakakan
orang lain termasuk black maging.
Sejak agama asli masyarakat kepulauan Kei tersebut
terbentuk praktik anatara dunia maya dengan dunia Ilahi,
dengan demikian dari ketiga kepercayaan tersebut diatas
menunjukan bahwa masyarakat kepulauan Kei sebelumnya
masuk agama Islam dan Kristen telah mengakui adanya
kekuasaan Ilahi diluar dunia profan manusia, setelah agama
Islam dan Kristen menyebar di kepulauan Kei, kehidupan
keagamaan menunjukan intensitas yang cukup tinggi. Hal
tersebut terlihat dari praktek-praktek ritual serimonial, dan
berusaha mengaplikasikan nilai-nilai ajaran agama secara
utuh dalam kehidupan masyarakat. Transformasi kehidupan
umat beragama di kota Tual, telah mengalami perubahan
yang cukup pesat karena menjadi mayoritas tempat bagi umat
Islam, apalagi paska pemakaran ini suda pasti yang
menjadikan kota Tual sebagai basis umat Islam bilah
dibandingkan dengan kabupaten Maluku Tenggara yang
menjadi basis Katolik dan Protestan.
Kehidupan umat beragama di kota Tual tidak bisa
terlepas dari pengaruh-pengaruh dari luar, karena khusus
199

ibuKota Tual, umat Islam yang sangat dominan adalah para


pendatang baik itu dari arab, jawa, Sumatra, maupun
Sulawesi, sementara umat Islam yang penduduk asli lebih
banyak berada diluar ibu Kota Tual seperti di pulau Dula,
Tayando, Tam dan Kur. Sedangkan daerah yang menjadi
besik protestan yaitu daerah taar. Kondisi yang seperti itu
pasti berpengaruh dalam hal kepercayaan, karena masing-
masing akan melaksanakan sesuai dengan keyakainan
Karena itu bagian dari adat yang mereka yakini.
Hal itu bisa dilihat juga dari praktek-praktek ritual
serimonial yang selalu dilakukan hampr seluruhnya di
Kepulauan Kei seperti dalam Islam symbol- symbol Keislaman
dalam berbagai kegiatan tetap ditonjolkan, misalnya tari
hadrath, mengarah mimbar mesjid keliling kota dan lain
sebagainya. Acara seperti ini dilaksanakan secara rutin dari
tahun ketahun. Penganut Kristen Katolik misalnya
pelaksanaan arak-arakan patung Yesus (kristus raja) dari
satuOhoi ke Ohoi yang lain, kristen protestan pun tidak
ketinggalan misalnya, acara sidi atau pengukuhan seorang
anak masuk dalam Iman Kristen.
Manusia dalam kehidupannya mengakui dan
mengalami adanya satu kekuasaan, atasan, kepala, yang
mengatur segala- galanya, termasuk manusia sendiri. Olehnya
itu “Duad’’ atau Tuhan diyakini mengatasi segala sesuatu dan
juga menciptakan sesuatu, karena dia adalah asal mula
segala sesuatu. Dia pemberi hidup, pengatur hidup, berkuasa
atas manusia dan berhak pula atas hidup manusia. Nama
“Duad” menunjukan dasar pemikiran pada alam bahwa ”Dia”
memiliki segala-galanya persoalan yang muncul didunia baik
secara lahiria maupun batinia. Sikap batin terhadap Tuhan
(Duad) itu dibuktikan dengan kepasrahan, menyerah diri,
guna memuaskan kerinduan hati manusia terhadap Tuhan.
200

K. Struktur sosial Masyarakat Kei (Mel RenIri)


Kebudayaan masyarakat Kei sangat kompleks
sehingga untuk mempelajarinya perlu berpedoman pada
literatur.
Koenjaraningrat membagi kebudayaan dalam tiga
wujud yaitu:
a. Kebudayaan sebagai suatu kelompok dari Ide,
Gagasan, Nilai, Norma, Peraturan dan Sebagainya.
b. Kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas serta
tindakan yang berpola dari manusia dalam
masyarakat.
c. Kebudayaan sebagai benda hasil karya manusia.
Kalau dihubungkan dengan kebudayaan masyarakat
Kei, ketiga wujud kebudayaan tersebut dapat diterangkan
sebagai berikut :
Pembagian kasta stratifikasi sosial masyarakat secara umum
di Kepulauan Kei terbagi atas tiga (Matdoan ; 1998) :
1. Mel
Mel adalah kelompok penduduk yang datang dari luar
Kepulauan Kei.
2. Ren
Ren adalah kelompok penduduk asli yang menerima
kehadiran kelompok Mel (pendatang). Ren disebut juga
degan Mel Vuar Lair, gabungan kelompok Mel dan Ren
disebut Mel Ohoi Lim. Ri
3. Ri adalah kelompok masyarakat yang berasal dari
kelompok Mel dan Ren dan dipisahkan karena mereka
melanggar perjanjian luhur yang telah dibuat bersama.
Berkenaan dengan strativikasi sosial yang berlaku
pada masyarakat Kei secara umum dan lebih kuhsus di
Kei Kota Tual, untuk memahami strativikasi sosial pada
tersebut, maka fakta realitas yang ditemukan,
201

sekaligus dapat memberikan pemahaman bahwa


betapa strativikasi sosial tersebut memiliki kekuatan
sehingga dapat dipatuhi oleh seluruh masyarakat adat
Kei Kota Tual, dengan begitu dapat dilihat dari hasil
pengamatan saya sebagai berikut:

Hari pertama tiba di bandara Ibra, saya dijemput oleh


adik. Sidik namanya. Dia didampingi Ibu Mina Isteri
Imam Masjid Raya Tual Bapak H. Ahmad Kabalmay
dan menantunya Lukman. Ini hanya kebetulan,
mereka juga menjemput anak dan cucu Ibu Mina. Kami
pun berbarengan. Tak lama, mobil melaju menuju
kediaman Ibu Mina di Jalan LPTQ Dumar kota Tual.
Dalam perjalanan, sempat terjadi percakapan antara
ibu Mina dan anak perempuannya. Biasa disapa Nur.
Dia barusan tiba dari Ambon. Ibu Mina menyampaikan
kepada putrinya, dalam Minggu ini akan ada
perkawinan anak laki- laki dari Bapak Ali Kabalmay.
Namun diawali, bakumpul keluarga (teng wear
naneang) di rumah.
Mendengar itu, sang puteri, yang duduk di salah satu
perguruan tinggi negeri di kota Ambon, bertanya
kenapa mesti kumpul keluarga di rumah kita? Apa tidak
semestinya di rumahnya Bapak Ali. Mendengar
percakapan itu, saya diam. Namun tetap
menyimaknya. Bagi saya, ini menarik.
Lantas, mendengar perkataan anaknya, ibu Mina
terdiam sesaat. Tiba-tiba, Ibu mina mengatakan
meskipun Bapak Ali bukan keluarga dekat, tetapi ayah
begitu sapan untuk Bapak Iman sudah dianggap
sebagai orang yang dituakan. “oh.. begitu,” ungkap,
202

anaknya. “Atau jangan-jangan ada alasan yang lain,”


tambah anaknya.
Ibu Mina kembali diam. Dengan nada pelan, sang ibu
menjelaskan bahwa, apa yang dilakukan berkaitan
dengan stratifikasi sosial. Hal ini berlaku di kepulauan
Kei. Artinya, bukan status sebagai orang yang dituakan
saja, tapi nampaknya ada kesadaran dan kepatuhan
dalam menjalankan prinsip- prinsip adat Larvul ngabal.
Adat ini menegaskan, Bapak Ali tidak bisa mengatur
diri dan keluarganya sendiri. Adat tersebut berhak
untuk mengatur mulai dari bakumpul keluarga, proses
peminangan hingga pernikahan. Semuanya diatur
Bapak Imam sebagai kuasa berdasarkan struktur
social masyarakat adat Kei Kota Tual.
Setelah semuanya rampung, termasuk mengatur
siapa-siapa yang terlibat, siapa yang ikut mengundang
dan diundang, dan mengatur jalannya ye lim. Jika
semua persiapan sudah rampung, baru
penyelenggaraan nikah dan resepsi dilangsungkan.
Acara nikah bertempat di gedung atau kediaman
Bapak Ali.
Tanpa sadar, mobil nisan warna merah yang kita
tumpangi, tiba di kediaman Ibu Mina. Keluarga ibu
Mina bergegas turun. Kisah ibu Mina dan anaknya
adalah cerita menarik. Ini sebuah kearifan lokal yang
patut dilestarikan. Mobil pun meluncur menuju rumah
saya. Kerinduan berkumpul dengan keluarga benar-
benar memuncak di kalbu. (Hasil Pengamatan Tual
2014).
Perjanjian luhur yang dibuat mereka merupakan hukum
dasar yang diterapkan secara adat oleh pihak Mel dan Ren
yang ditandai dengan penetesan darah dari tubuh pimpinan
203

Mel dan Ren lalu diminum bersama oleh kedua pimpinan


tersebut.

Janji Antara Mel Dan Ren


Janji luhur yang dubuat bersama oleh Mel dan Ren
merupakan Hukum Dasar, terdiri dari lima pasal yaitu:
1. Pihak Ren dengan ikhlas menyerahkan seluruh urusan
Pemerintah dan Adat baik keluar maupun kedalam
kepada Mel.
2. Pihak Ren bersedia mendukung semua urusan dan
perencanaan yang dibuat oleh pihak Mel.
3. Saling menghormati dan menghargai dalam pergaulan
hidup sehari-hari.
4. Saling mengakui hak dan kewajiban dari pihak Mel dan
Ren.
5. Pihak Mel dan Ren tidak dibenarkan melakukan
perkawinan karena telah terjadi ikatan persaudaraan
yang kental dan akrab yang ditandai dengan sumpah
minum darah bersama dan menyatakan bahwa laki-laki
Mel bersaudara dengan perempuan Ren sedangkan
laki-laki Ren bersaudara dengan Perempuan Mel.

Sanksi
Barang siapa yang melanggar ketentuan hukum dan
janji luhur tersebut baik Mel maupun Ren akan
dihukum dengan cara ditenggelamkan di laut.
Penetapan pembagian kasta dan pelaksanaan hukum
Lud Luduk (ditenggelamkan di laut) di Kepulauan Kei
merupakan pengaruhh dari budaya Luang Maubessy.
204

L. Bentuk BentukTradisi Ye Lim dan Nit Ni Wang


Masyarakat Keiumumnya, secara Kota Tual memiliki
ciri khas dalam kegiatan upacara- uapacara dan budaya-
budayanya. Kekhasan itu tentunya dipandu oleh kebudayaan
Kei pesisir yang berbeda dengan masyarakat pedalaman.
Diantara yang menonjol terutama dalam kaitannya dengan
islam- ialah ciri masyarakat pesisir yang adaptif terhadap
ajaran Islam dibanding dengan masyarakat pedalaman yang
singkritik. Budaya adaptif tersebut tampak dalam performence
tradisi lokal yang dipandu dan dipedomani oleh Islam dalam
coraknya yang mengambil ajaran Islam sebagai kerangka
seleksi terhadap budaya lokal dan bukan mengambil yang
relefan sebagaimana budaya pedalaman. Dalam hal ini, bagi
masyarakat pesisir, Islam dijadikan sebagai kerangka
referensi tindakan sehingga seluruh tindakannya merupakan
ekspresi ajaran Islam yang telah adaptif dengan budaya lokal.
Bagi masyarakat pedalaman, sinkretisasi tersebut tampak
dalaqm kegiatan kehidupan yang memilah- milah, mana
diantara ajaran Islam tersebut yang sesuai dengan budaya
lokal dan kemudian dipadukannya sehingga menjadi sebuah
rumusan budaya yang sinkretik. Konsep kategorisasi pada
masyarakat Kei yakni adat, kuvni dan agam sebagaimana
dikemukakan …adalah contoh yang sangat baik untuk
menggambarkan tentang corak Islam sinkritik melalui proses
pemilahan ajaran Islam yang cocok dengan budaya lokal.
Sebagai Kota yang mayoritas penduduknya beragama
Islam, dengan corak budaya yang khas dan unik tampak dari
tradisi ye lim dan nit ni wang yang menggambarkan
masyarakat yang akomodatif terhadap budaya lokal.
Wujudnya adalah pengintegrasian nilai ajaran Islam ke dalam
budaya Kei. Di Kota Tual dijumpai beberapa tradisi yang
merupakan pengakondisian antara Islam dan budaya lokal
205

seperti tradisi ye lim (partisipasi dan solidaritas sosial) dan nit


ni wang (memberikan doa dan sesajen kepada roh para
leluhur). Nit ni wang diselenggarakan secara rutin pada setiap
memasuki bulan puasa, maupun saat masuk rumah baru,
serta hajatan lainnya seperti hitanan, meraih suatu
keberhasilan, patut untuk menyelenggarakan Nit Ni Wang
sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan dan para
leluhur.
1. Tradisi Ye Lim
Kegiatan partisipasi sosial masyarakat Kei yang
disebut dengan istilah ye lim adalah kegiatan partisipasi dan
solidaritas sosial yang dimiliki dan diaktualisasikanpada
beberapa momen penting diantaranya pada momen
perkawinan, khitanan, orang pergi haji,membangun rumah
baru, dan lain sebagainya. Pada momen perkawinan misalnya
tradisi Ye Lim dapat dipahami melalui pengamatan saya
berikut :
Tiba di rumah. Rasa gerah dan penat menyerangku.
Matapun tertutup, rapat. Saya pun berlayar di pulau
kapuk. Mera saga jelang magrib pun menghamparkan
keindahan ciptaan Illahi. Rasa penat hilang, saya
bergegas menuju rumah mertua.
Mertua lelaki, Bapak Husen Tamher adalah salah satu
tokoh adat Kota Tual. Kebetulan, mertuaku ada di
rumah. Sambil menanyakan keadaan keluarga, saya
pun menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan ke
Tual. “Bapak, saya mau melakukan penelitian tentang
tradsi social masyarakat Kei tentang ye lim dan nit ni
wang”, ujar saya. Mendengar pengakuan saya, Bapak
mertua pun mengatakan untuk meneliti hal itu, saya
disarankan untuk menyaksikan langsung prosesi ye
lim. “Kebetulan besok itu, ada persiapan prosesi
206

pernikahan di Ohoi Dula. Ada baiknya nanti sama-


sama Bapak ke Ohoi Dula (penyebutan desa) Dula
esok pagi,” tambah Bapak. Mendengar itu, saya
langsung mengiyakan.
Usai menemui Bapak mertua, saya pun kembali ke
rumah. Selesai makan malam, kasur empuk
mengundangku. Mata terpejam. Saya pun ternyenyak
hingga shubuh menyapa. Bergegas mandi dan sholat
shubuh. Sejenak mencatat apa yang harus saya
persiapkan hari kedua di kota Tual.
Jam dinding berdetak. Jarum jam menunjukkan pukul
09.00 Wit. Saya pun secepatnya menuju rumah
mertua. Sampai di rumah, Bapak mertua sudah siap.
Kami pun menuju Ohoi Dula tempat pelaksanaan pesta
pernikahan. Untuk sampai ke Ohoi Dula, kami
menempuhnya dengan kenderaan bermotor.
Perjalanan memakan waktu 15 menit.
Sampai di Ohoi Dula, kami langsung dipersilahkan
duduk bersama orang tetua yang sudah duluan ada.
Tak lama, tiga gadis cantik menyuguhi secangkir kopi,
teh manis dan sepiring penganan.
Saat duduk, saya mengambil posisi berdampingan
dengan mertua. Sambil menikmati kopi dan penganan,
tatapan saya tertuju pada sejumlah pemuda yang
tengah mendirikan tenda dari kayu dan bambu. Tenda
yang sudah jadi disebut Sabuah.
Luar biasa melihat partisipasi dan solidaritas antar
warga dalam mempersiapkan acara pernikahan.
Proses pembuatan tenda itu, dikomandai beberapa
orang tatua. Dari beberapa orang tatua itu, ada yang
bertindak sebagai tukang atau bas. Tugasnya
mendesain sabuah dimaksud.
207

Pelibatan masyarakat tersebut, bukan hanya


masyarakat yang ada di Ohoi Dula, tetapi juga
melibatkan warga dari desa-desa tetangga. Semua
memiliki hubungan darah dengan pengantin, baik laki-
laki maupun perempuan.
Hari menjelang petang. Mertua pun pamit. Sebelum
beranjak, mertua sempat ditemui seorang bapak
paruhbaya. Rupanya, sang orang tua ini, adalah Bapak
dari puteri yang akan dinikahkan. “Nanti ayah Cen
(sapaan mertua saya) dan keluarga dapat
menanggung beras satu karung dan gula,” pinta orang
tua itu. Mendengar permintaan itu, mertua saya
mengiyakan dengan ucapan “Insya Allah besok baru
diantar,” balas mertua.
Sambil mengucapkan salam, saya dan mertua tercinta
meninggalkan tempat prosesi pernikahan menuju
rumah. Kenderaan motor milik saya pun mengantar
sampai di rumah. (Hasil Pengamatan Tual 2014).

Tradisi Ye Lim, merupakan suatu budaya yang


dilaksanakan oleh masyarakat Kei, Kota Tual. Tradisi ini
merupakan bagian dari rumpun tradisi lainnya yang ada di Kei.
Seperti dikemukakan oleh M.M. Tamher yang menjelaskan
bahwa :

Ye Lim, merupakan sub bagian dari budaya Maren.


Maren sendiri, memiliki makna secara luas yakni
kerjasama masyarakat Kei-Kota Tual, dalam
melaksanakan suatu pembangunan. Maren memiliki
arti lebih luas sama dengan masohi atau gotong-
royong. Sementara Ye Lim, memiliki arti lebih dalam
lagi namun masih tetap dalam bingkai kerjasama atau
208

masohi. Istilah ini mengikat di dalam tradisi masyarakat


Islam Kei.
Umumnya, masyarakat di Kepulauan Kei saat ini
hidupnya sama dengan masyarakat lainnya di Maluku.
Sama-sama mengenal kehidupan yang sudah modern
dan transformasi. Seiring dengan modernisasi
kehidupan sosial masyarakat, budaya dan masyarakat
Kei, Kota Tual masih terjaga hingga saat ini. Budaya
tradisi sosial masyarakat yang dilaksanakan dari
zaman dulu sampai kini masih mengakar di
masyarakat. Masyarakat bahkan sulit menghilangkan
budaya atau tradisi yang sudah ada secara turun-
temurun itu, seperti Tradisi Ye Lim.
Kendati belum dituangkan dalam naskah
pemerintahan, namun, Ye Limmasih tetap
dipertahankan secara utuh dalam tradisi dan adat-
istiadat kehidupan sosial masyarakat.
Tradisi Ye Lim memiliki makna secara mendalam,
yakni suatu perbuatan atau tindakan masyarakat Kei,
Kota Tual, berupa sikap rela tolong-menolong atau
membantu antar sesama tanpa pamrih. Sikap dasar ini
dilakukan secara spontan baik diberitahukan secara
lisan, tertulis maupun tidak.
Secara harfiah, Ye artinya kaki. Sedangkan Lim
artinya, tangan. Kaki digunakan untuk berjalan, dan
tangan untuk membantu. Dari pengertian tersebut,
para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh adat
di Kei, Kota Tual, mengakui bahwa kaki dan tangan,
digunakan sebagai perantara untuk memberikan
bantuan, baik secara fisik maupun non-fisik. Fisik
maksudnya adalah pemberian bantuan dalam bentuk
209

tenaga. Sedangkan non-fisik adalah bantuan berupa


ide atau gagasan yang sifatnya membangun.
Ye Lim, awalnya merupakan pemberian bantuan yang
sifatnya tenaga. Setelah masyarakat mengenal alat
tukar, termasuk uang, baru kemdian masyarakat dapat
memberikan bantuan dalam bentuk materi, mulai dari
makanan, hingga uang. Semua yang diberikan itu
disebut Ye Lim.Bantuan itu diberikan secara sukarela
untuk melepaskan diri dari tenaga yang sedianya
dilakukan. Namun, lebih pentingnya, yang dibutuhkan
di sini bukan pada materi, tapi in-materinya. Yakni,
kehadiran mereka dalam acara tersebut. “Yang penting
dilihat wajahnya di acara, sudah dianggap sebagai
penghormatan.(wawancara 2014)

Untuk itulah,Yelim dilakukan secara hati-hati dan


santun berdasarkan struktur keluarga tersebut. Kendati sudah
era modernisasi, baik YeLim maupun Yaruk Yelim masih
dirawat dan dilakukan. Bahkan, sekalipun warga Kei, Kota
Tual yang tidak berdomisili di Kota Tual, seperti di Kota
Ambon wajib menjalani tradisi ini, bila hendak melaksanakan
suatu hajatan, seperti haji, atau akad nikah. Mengumpulkan
keluarga dalam frame Ye Lim wajib dilakukan meski terpisah
secara geografis.
Pengakuan tentang tradisi Ye Lim, Husein
Tamhermenyatakan, bahwa
“Budaya ini sudah berlaku sejak dirinya belum lahir.
Tradisi ini diketahui saat mengantarkan orang tuanya
pada acara pernikahan, maupun keluarganya yang
hendak menunaikan rukun Islam ke-lima, yakni Haji.
Hal ini dilakukan secara terus-menurus hingga dirinya
dewasa, dan mengetahui proses tradisi Ye Lim dan
210

Yaruk Yelim. Sepeninggal orang tuanya, tradisi


tersebut dilanjutkan. Sampai saat ini, tradisi tersebut
kembali diajarkan kepada anak-anaknya. Hal ini
dimaksudkan agar anak-anaknya tidak lupa akan
tradisi tersebut.”(wawancara 2014)

Lebih lanjut dijelaskan oleh H. Ahmad Kabalmay (Imam


Masjid Raya Kota Tual). Menurut beliau,
“Ye Lim sebenarnya bukan hanya pada aspek materi.
Tapi, mengumpulkan keluarga untuk diminta
pendapatnya sebelum melakukan suatu hajatan
keluarga juga dapat dikategorikan sebagai Ye Lim, dan
Yaruk Yelim. Hal ini sama, karena sebelumnya
memang dilakukan untuk hal itu. Setelah terjadi
pergeseran zaman, baru kemudian ada perubahan
prakteknya dalam bentuk memberikan bantuan secara
material.” (wawancara 2014)

Sedangkan menurut H. A. W Rahawarin, menyatakan


bahwa:
“Ye Lim bermakna pada estahalim. Artinya, berjabat
tangan sebagai tanda kehadiran dalam acara yang
digelar, atau bentuk sikap kerelaan atau Keikhlasan
saudaranya di acara tersebut. Tradisi ini menurut
beliau, disebut juga primus interparis. Maksudnya
adalah peradaban yang utama. Oleh dia, peradaban
yang memiliki nilai tinggi dan patut dilestarikan. Ye Lim
sama juga dengan Marem. Namun, dirinya
menjelaskan bahwa Marem lebih kepada stratifikasi
sosial masyarakat. Ia menyebutkannya seperti Mel,Ren
dan Iri. Mel sebagai level atas, ren level tengah dan iri
bawah. Tiga level tersebut seperti Pohon Beringin. Mel
211

sebagai daun yang rindang, dengan filosofinya


melindungi dan mengayomi, Ren seperti batang, yang
bertugas sebagai penyangga ranting dan daun,
sedangkan Iri adalah akar yang bertugas untuk
menyalurkan makanan kepada batang, ranting dan
daun tersebut. Dari sini, Mel, Ren dan Iri tidak bisa
dilepaspisahkan dalam makna Ye Lim tersebut.
Sehingga ketika ada masyarakat yang tidak
menjalankan Ye Lim, akan menerima sanksi secara
natural.
Secara umum, agar Ye Lim tetap terjaga maka warga
Kei mengenal tiga istilah dalam tradisi. Pertama,
Tunan, artinya orang yang menghargai dan menjalan
budaya Kei secara totalitas. Kedua, Minan, artinya
orang yang berasal dari keturunan baik-baik.
Dimaksudkan kepada orang Kei yang memiliki kualitas
dalam arti luas, baik mencakup aspek pendidikan,
akhlak maupun agama. Ketiga, Manan, disimbolkan
kepada seseorang yang mampumemberikan nafkah
keluarga. Secara garis besar, beliau membenarkan
seluruh pernyataan yang diuraikan oleh sumber-
sumber sebelumnya tentang Ye Lim dan Yaruk
Yelim.(wawancara 2014)

H. Husein Tamher, menegaskan bahwa :


Ye Limitu mencakup semua perbuatan yang
mengundang perhatian keluarga dan masyarakat
secara umum. Misalnya, membuka kebun baru,
mendirikan rumah (termasuk gereja atau masjid), pesta
perkawinan atau kematian. Semua orang yang merasa
terkait dalam kekerabatan bekerja bersama-sama. Jadi
ada semacam kerelaan dari setiap orang untuk
212

membantu sesama demi kekerabatan yang telah


terjalin. Sikap rela menolong ini pada dasarnya
dilakukan demi kelestarian hubungan, baik dengan
keluarga maupun dengan masyarakat lainnya di Kei,
Kota Tual. Dari sini, telah timbul perasaan wajib untuk
menolong sesama, yang berlaku secara turun-temurun.
Secara luas, beliau menyebutkan, sikap ini erat
kaitannya dengan sikap rela menolong yakni
membantu orang lain, dengan maksud beryakinan
bahwa orang lain juga akan membantu setiap usaha
dan pekerjaannya. (wawancara 2014)

Sementara Badaul Tamher (Tokoh Adat Warga Kei,


Kota Tual) lainnya juga menuturkan, perbuatan tersebut juga
dimaknai sebagai ungkapan terima kasih baik kepada
keluarga maupun masyarakat. Ungkapan terima kasih yang
diwujudkan dalam tindakan itu, kemudian dihargai oleh
keluarga atau masyarakat dengan cara membalasnya pada
setiap moment kegiatan. Hal ini dilakukan secara runut dalam
hubungan sosial masyarakat Kei.
Tradisi adat YeLim sebenarnya membawa kepada
ajaran menjaga hubungan kekeluargaan dan persaudaraan
yang tidak membedakan suku, ras, dan agama. Kekeluargaan
pada masyarakat Kei dimaknai dalam arti yang luas yaitu
mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia, dan tidak
hanya terbatas pada bentuk kekeluargaan secara biologis.
Semangat Ye Lim juga terwujud dalam relasi Yanur-Mangohoi,
Koi-Maduan, dan Teabel. Upaya untuk merawat dan menjaga
tradisi ye lim ini, salah satunya adalah melalui naun snib,
maksudnya dari orang tua kepada anaknya sehingga tradisi
tersebut dapat dilestarikan. Untuk itu berikut ini dikemukakan
213

gambaran realitas tentang ye lim, sebagaimana yang tulis oleh


(Raharusun : 2013), yang menceritakan bahwa :
Ibu suda sangat tua, matanya suda sangat buram
untuk dapat melihat, karena sulit, biasanya ibu selalu
memiingkin matanya untuk melihat sosok yang dating.
Telinganya pun sudah sulit digunakan untuk
mendengar seperti mata, kepalahnya dimiringkan demi
mendengar apa apa yang di dengarnnya. Kulitnya suda
keriput, jalannya pun membungkuk bertumpu pada
sebuah kayu membungkuk pada sebuah kayu sebagai
tongkat penyangga tubuh.
Sepanjang hidupnya, ibu selalu mengajakku
silaturahmi kerumah para keluarga. Aku selalu saja
malas berjalan, alasan apa saja selalu akau adadakan
demi menolakan ajakan ibu. Mulai dari alasan sakit,
kerja tuggas sekolah, kecapan, menunggu teman yang
ingin kerumah dan lain-lain, apa saja aku lakukan
untuk menghindari ajakan ibu.. jiikah telaah “lolos” dari
ajakan ibu, maka aku bermain, menonton acara gosip
dan sinetron atai facebookan adalh pilhanku. Tapi,
ibupun tidak pernah putu asah mengajukan jalan,
sepertinya ibu pun sudah hafal etul kelakuannya,
bahwa itu hanya alasan saya untuk tidak jalan. Ibu
sering berkata “marri kita rumah ketetangga ini atau itu,
disana ada hajan keluarga kita antar ini sebungkus
kopi dan gula sebagai yelim kita, guna meringkan
hajtannya.” Aku selalu membantah ibu dan berkat
mera itu orang berada lebih dari kita atau ibu mereka
itu juga tida peduli dengan kita buat apa yelim atau ibu
yelim itu sudah punah ini zaman moderen. Dan ibbu
hanya tersenyuum lalu berkata “yelim bukan hanya
214

adat istiyadat tapi juga hukum Tuhan,di rumah mana


yelim ssecara ikklsas di situ rumah Tuhan bagimu”
Pernah ibu mengajakku ke rumah pak kasim untuk
yelim, dia orang berada dikampung. Setelah dipintu
pagar rumahnya aku meihat wajahnya agak masam
menyambut aku dan ibu, tapi ibu suda berniat, pak
kasim juga suda tidak dapat menolak sebab kami telah
didepan pintu diselahkannya kami melewati pintu
samping rumahnya lalu ke bagian dapur, ibu hanya
bertemu sebentar dengan anak pak kasim yang tua
dan memberikan yelim sebungkus kopi dan gula. Ibu
tau kan merasa tidak nyaman dengan situasi ini dalam
perjalanan pulng ibu hanya berkata.
“ pak kasim itu masi sanak family kita, dia sepupuan
dua kali dengan ibu. Kita tid perlu risaukan wajhanya
yang kelihatan masam yang penting niat kita bersih
ingin menjalin terus silaturahmi terus keluarga kta
dengan mereka, jika inngin engkau lakukan dengan
baik kelak Tuhan akan menjaga hubungan dengan
orng terbaik”.
Aku tidak dapat memungkiri, kekurang ajaranku sama
ibu makin hari makin tak tertahankan, meski ibu selalu
berkata yelim itu pesan leluhur jua pesan agama,
dengan yelim engkau akan menjalin hubungan
kekeluargaan yang baik sesame manusia atau
habaluminannas jika hubunganmu dengan sesama
manusia baik, maka Tuhan akan menjaga
hubunganmu dengan-Nya atau habaluminaullah,
persepsi Tuhan itu tidak pernah jau dengan persepsi
umat-Nya. Tapi hikmah yang disampaikan ibu tentang
yelim selalu saja membuatku makin bebel mendengar
kata-katanya.
215

“apa Tuhan juga bermuka masam juga menyambut kita


saat mendatangi rumah-Nya seperti wajah pak kasim
itu?”
Ibu hanya mengernyitkan alis matanya mendengarku
dan menasehatiku, “Tuhan Maha meli, Tuhan melihat
niat kita bukan wajah masam mahluk-Nya.”
Sampailah pada suatu siang yang tidak pernah
kulupakan, perdebatan yang berujung hayat.
“Nak bersiaplah engkau, semalam anak gadisnya Ibu
Hj. Fatima mengundang Ibu dan kamu, ada acara
selamatan dirumahnya, mari kita sillaturahmi dan
yelim.”
“aku tak ingin kemana-mana, aku tak ingin menjalin
silturahmi dengan siapapun sekalipun itu Tuhan.”
“Keterlaluan kau Nak! Apa kau tidak takut ancaman
Tuhan bagi orang yang memutus silaturahmi? Kau
akan ditahan di neraka sebelum merasakan nikmatnya
ssurga, kau akan dikucilkan oleh penduduk surge,
hidupmu sebatang kara kelak kemudian hari.”
“Aku juga suda terbiasa sebatang kara, jik harus
sendiri dialam bakapun tidak massalah toh… di dunia
ini, di rumah ini kita hanya berdua, dan jika diakhirat
hanya kita bedua itu tidak menjadi masalah buat aku.”
“kau memang tidak dapat lagi dnasehati dengan yang
baik-baik.”
Seterusnya Ibu hanya mengambil sebungkus kopi dan
sebungkus gula, bersama dengan tongkatnya sebagai
penuntun. Ibu pun berjalan sendirian tanpa aku yang
menemaninya. “kau akan merasakan kesendirian yang
tak tertahankan jika sikpmu keras menjalani yelim.”
Kalimat itu mengiang di telingaku, setelah itu akan
216

tersadar dan mengejar ibu, tapi mengejar ibu telah


hilangg pada semak-semak jalanan kampong.
Setelah pertengkaran itu, wajah ibu terus terbayang,
kata-kata ibu terkahir terus teringiang-ngiang dalam
ingatan. Hari itu menajdi hari terakhir
pembangkannganku pada ibu. Setelah balik dari yelim,
seorang kerabat mengabariku. Ibu mengalami
kecalakaan. Kakiku tersa berat melangkah. Akau tak
bisa menbayangkan jika hal buruk terjadi padanya.
Kumasuki rumasakit berlantai (berpala lantai) dan
segera menerobos kerumunan yang mengelilingi ibu.
Aku tak bisa menahan ataku berair. Wajah ibu telah
pucat. Ibu tak bisa mmelihatiku lagi bahkan
mengajakku bercerita tentang yelim.
Pada hari ketuju kematian ibu, kini akau baru tersadar
semua yang dikatakan ibu, aku menjadi sebatang kara
di dunia, yang membuatku merasa bersalah kepada
ibu, bukan hanya pembangkanganku hari itu pada ibu
untuk menemani ibu yelim di tetangga tetapi kehadiran
ibu dalam tidur malamku, aku hanya melihat ibu yang
sudah tua hanya tersenyum bercahaya, duduk diatas
kursi, banyak sekali orang yang berdatangan pada ibu,
aku juga melihat pak kaim dan sejumlah orang yang
tidak aku kenal wajah mereka, menghantarkan segala
keperluann ibu, darri bahan dapur sampai perabot
rumah tangga, dan disofa yang sesuai denganku ibu
tersenyum, sesosok malaikat pun tersenyum melihat
ibu.
Dalam duni nyata, pada hari itu juga aku menyaksikan
bukan hanya penduduk kammpung ini tetapi juga
kampong tetangga bahkan ada orang dari kota jauh-
jauh dating di kampong meghantarkan yelim mereka.
217

Pak Kasim mengantarkan 2 ekor kambig untuk


dipotong pada hari ke tujuh tahlilan. Ibu Fatima
membawa sekrung beras, pak Janim mebawa dua
kaun terigu, dan yang lain membawa gula, kopi, semua
orang penduduk kampung membawa yelim. Orang dari
kota pun memmbawa karper sebagai alas tahlil bahkan
ada yang menyewa tenda untuk tahlil.
Rumah suda penuh dengan bawaan yelim tahlilan
orang- orang, sejak hari pertama, ketiga dan ketujuh
orang-orang yang merasa dulu diyelim ibu, kini
membalas yelim pada ibu. Aku mulai tersadar betapa,
aku telah kehilangan ibu yang begitu di citntai orang
sekampung. Sekarang mmeski rumah ini tampak ramai
dengan barang-barang yelim dan juga penduduk
kampong yang melayat, aku tetap merasa sepih, sunyi
tanpa ibu.
Seorang menepuk bahuku, dia anak tertua pak Kasim,
“kasihan bibi, dia orang baiik dikampung ini, hubungan
silaturahminya dengan orang kampong selalu baik,
dimana dan kampanpun acara orang kampong bibi
selalu meoyongkan waktu menghantarkan yelimnya.
Kau jangan lupa usahakanlah semampumu menjalani
terus hubungan ini antara sesame keluarga ataupun
kenalan ibumu, kelak kau akan menuai hassilnya.” Aku
hanya tertegun mendengar kata-katanya, waktu cepat
berlalu, aku hanya meratapi nasib ini, menjadi
sebatang kara sebelum di akhirat.
Yanur-Mangohoi, merupakan bentuk kekerabatan
suatu kesatuan orang-orang yang diikat dalam perkawinan
adat. Artinya perkawinan dua orang yang menjadi
tanggungjawab dua keluarga besar, yang terikat dalam
struktur marga. Koi-Maduan, secara harfiah, Maduan berarti
218

tuan atau pemilik. Maduan adalah orang yang selalu


memberikan bantuan, sedangkan pihak penerima bantuan
disebut Koi yang artinya bawahan atau abdi. Koi-Maduan
dapat dipakai dalam beberapa konteks, misalnya dalam
perkawinan dan perjanjian sosial-ekonomi, di dalamnya
terdapat relasi atasan dan bawahan. Pihak atasan bertindak
sebagai yang menguasai, mengatur, menuntut hak, dan
bertanggungjawab atas kepentingan bawahannya, sedangkan
pihak bawahan wajib tunduk dan taat, serta mempercayakan
diri kepada atasannya dan melayani. Bentuk kekerabatan ini
berlandaskan rasa percaya yang tinggi, namun dalam
prakteknya, terkadang yang terjadi adalah dominasi atasan
terhadap bawahan.
Sementara Teabel terbagi dalam dua kata. Tea yang
artinya menggores dan Bel yang berarti darah yang mengalir.
Jadi Teabel merupakan bentuk kekerabatan atau perjanjian
yang diikat oleh aliran darah.
Unsur yang utama dari budaya ini adalah solidaritas
antara saudara yang menunjuk pada dua hal, yakni, sikap
untuk membantu orang atau kampung lain yang terlibat dalam
perjanjian itu, dan kemampuan untuk terlibat dalam kehidupan
orang lain dalam kesepakatan adat. Sistem kekerabatan ini
sebenarnya mau mengangkat derajad semua orang sebagai
saudara yang harus dihargai, dilayani dan dilindungi.
Bayan Renuat (Kepala OhoiDula), menuturkan, Ye Lim
bukan hanya sebatas tradisi yang dilakukan untuk
melaksanakan hajatan keluarga atau masyarakat. Ye Lim
bahkan seperti mata rantai kehidupan yang mengikat
hubungan sosial masyarakat di OhoiDula, dan Kei seluruhnya
agar tetap terjaga baik dalam hubungan strata sosial maupun
hubungan keagamaan. Atas dasar tradisi Ye Lim, masyarakat
Kei di OhoiDula tidak bisa bertindak sesukanya dalam
219

menghadapi masalah. Setiap masalah dapat diselesaikan


lewat perkumpulan dengan tradisi adat yang dijalankan oleh
para leluhur mereka. Tradisi ini tidak hanya menjadi cermin
untuk membangun tatanan kehidupan sosial masyarakat, tapi
bahkan lebih kuat untuk menghimpun secara totalitas
masyarakat dan pelbendarahaannya. Berdasarkan
pengalaman selama menjabat sebagai Kepala OhoiDula,
menurut Bayan Renuat, menjelaskan bahwa :
tradisi Ye Lim mampu mengikat seluruh masyarakat
dalam menghadapi masalah yang rupit apapun.
Bahkan kalau ada persoalan sosial di masyarakat tidak
diselesaikan lewat tradisi Ye Lim, justru akan sulit
ditangani. Sebaliknya, kalau diselesaikan lewat tradisi
Ye Lim, maka dalam sekejap masalah itu dapat
ditangani.
Bentuk-bentuk kekerabatan masyarakat Dula, sama
dengan masyarakat Kei secara umum, seperti yang
telah dijelaskan di atas, memiliki beberapa kesamaan
gagasan dasar yakni sikap hidup kolektif, semangat
solidaritas, dan kekeluargaan, mengutamakan suatu
persaudaraan yang diikat dalam keluarga. Perjanjian
adat mengkondisikan semua orang untuk saling
membantu dan mengaggap orang lain sebagai
keluarga sendiri. Semua orang terikat dalam relasi
kekeluargaan tanpa membedakan agama.(wawancara
2014)

Dalam penjelasan Sanusi Kabalmay (Tokoh Pemuda


Kei-Tual),menyatakan :
bahwa kebersamaan berpusat pada suatu ikatan
keluarga yang utuh. Hubungan antar pribadi selalu
didasarkan atas hubungan saudara. Semua orang
220

dilihat sebagai saudara dari satu keluarga. Hal ini jelas


dalam struktur keluarga masyarakat Kei, yang dibingkai
dalam istilah “Teen fo teen, yanyanat fo yananat, yaan
fo yaan, warin fo warin, yanur fo yanur, mangohoi fo
mangohoi.” Artinya, bahwa masyarakat Kei memiliki
struktur yang memaksa setiap anggota keluarga untuk
mengetahui jati dirinya. Karena ketika ia mengetahui
struktur asal dirinya, ia akan menempatkan posisi
orang lain pada tempatnya yang sepadan. Biasanya,
masyarakat Kei ketika mencari posisi keluarganya,
dengan cara menimbulkan pertanyaan yang sudah
dituturkan secara turun-temurun dalam rumpun
keluarga. Pertanyaan mendasar itu, “Siapa nama
orang tua”. Dari sini, dapat ditarik kesimpulan baik
secara keluarga maupun hubungan sosial antar
sesama masyarakat Kei. (wawancara 2014)

Ini dapat di lihat misalnya prosesi ye lim pada


pelaksanaan perkawinan menurut adat Kei sebagai berikut :
Ye lim pada upacara perkawinan khususnya pada
masyarakt Kei Kota Tual, dengan mengacu pada tahapan
yang menjadi pola bagi sistem adat. Dalam proses
peminangan dengan istilah (tai ret yafuk)misalnya, sebelum
memasuki tahapan ini, keluarga dari pihak laki- laki
melakukan rapat atau kumpul keluarga (Sdov ivut raad) untuk
bermuasyawarah mufakat soal persiapan peminangan,
pembiayaan, dan waktu peminangan secara matang, dari sini
terlihat ukuran kemampuan keluarga pria yang nantinya akan
terpublikasi melalui acara perkawinan, sehingga memerlukan
keterlibatan penuh baik secara indifidu, maupun berdasarkan
marga (riin faam), karena dianggap sebagai pertAruan harga
diri dari keluarga mempelai pria, dilain pihak juga memberikan
221

kehormatan yang merupakan pengakuan status sosial


terhadap martabat kaum perempuan. Sebagai instrument
untuk mengumpulkan keluarga, dengan cara melakukan teng
wear na neang sebagai medium untuk mengundang keluarga
baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu baik secara
indifidu maupun perwakilan mata rumah atau marga (riin
faam)untuk menghadiri pertemuan (sdov ivut raad) untuk
menentukan dan memutuskan besarnya ye lim yang akan
diserahkan nantinya pada saat peminangan berlangsung.
Dengan begitu ibu Ati pun melakukan sdov atau musyawarah
untuk itu.
Ibu Ati dan beberapa ibu- ibu lainnya pada suatu sore
sibuk menyiapkan snac dan makanan ringan
dilengkapi dengan teh dan kopi yang siap untuk
menjamu tamu undangan yang akan hadir
dirumahnya setelah sholat isya, dalam acara teng
wear naneang, Teng wear naneang ini dilakukan
untuk membicarakan persiapan perkawinan putra ibu
Ati, yang pada beberapa hari sebelumnya telah
disampaikan undangan secara lisan kepada deluruh
keluarga baik dari pihak ibu ati sendiri maupun dari
pihak keluarga suami bu ati yang masih memiliki
hubungan family dengan saya, sehingga saya dan
kakak saya pun ikut diundang dalam pertemuan teng
wear naneang tersebut. Tepat setelah selesai sholat
isya saya dan kakak berboncengan bergegas menuju
kediaman ibu Ati di Perumahan BTN Un Kota Tual
yang jaraknya tidak terlalu berjauhan dengan tempat
tinggal saya.Setelah tiba di kediaman bu Ati saya dan
kakak saya dipersilahkan masuk dan duduk bersilah
bersama keluarga lainnya yang telah hadir lebih dulu,
sambil menunggu kehadiran undangan lainnya.lalu
222

kemudian dipersilahkan untuk mencicipi hidangan


alakadar yang telah disediakan. Pada malam itu
hampir dipastikan semua undangan yang di
sampaikan hadir, beberapa saat kemuadian saudara
laki- laki dari ibu yang bertindak sebagai yang
mewakili keluarga menyampaikan terima kasih atas
kehadiran sweluruh keluarga dan selanjutnya
menyampaikan maksud da nisi hati kepada kami
yang inti adalah mengharapkan ketulusan dan uluran
tangan dari semua pihak untuk dapat mengambil
bagian dalam acara perkawinan anak, cucu, cicit,
buyut dan atau ponakan kita semua yang pada
beberapa bulan sebelumnya ditinggal ayahnya
karena telah meninggal dunia.Dalam proses sdov
atau musyawarah tersebut akhirnya diputuskan untuk
memberikan Ye lim sesuai dengan kemampuan
masing- masing da nada beberapa orang yang sudah
patok untuk mempersiapkan ye lim nya berupa sapid
an kambing, serta perabot rumah tangga, dan
sepasang perhiasan berupa cincin emas.
(pengamatan langsung 2014)
Seluruh bahan- bahan yang di butuhkan dalam acara
teng wear naneang biasanya dilaksanakan oleh kedua belah
pihak, baik di rumah calon pengantin pria maupun di rumah
calon pengantin perempuan dan ditempatkan ditengah-
tengah ruangan, dengan hidanganhasil kebun berupa pisang,
ubi- ubian dan penganan lainnya serta minuman the manis
atau kopi dan dibagikan kepada keluarga yang hadir secara
merata.Pada momen inilah orang tua atau yang mewakili
keluarga menyampaikan besarnya harta yang di minta
berdasarkan kesepakatan, dan telah disanggupi, sehingga
secara terbuka dan jujur menyampaikan kepada majelis
223

keluarga yang hadir bahwa ketersediaan atau kesiapan harta


baru mencapai sekian, maka sisanya harus ditanggulangi oleh
majelis ataukeluarga yang hadir, dengan meminta pendapat
dan tanggapannya sebelum menyepakati besarnya ye lim
yang akan diberikan masing- masing, biasanya berakhir
dengan kesepakatan membagi habis kekurangan harta untuk
mencukupi sesuai jumlah yang diminta. Jika kekurangannya
terlampau besar dari kesiapan yang ada, alternative solusinya
adalah dengan mendahulukan keluarga yang paling dekat
berinsiatif menuntaskannya dengan cara yaruk ye lim. Dalam
hal ini beberapa orang menyampaikan kesanggupannya untuk
mengantisipasi sepAru dari kekurangan yang ada, sisanya lalu
kemudian dibagi habis oleh keluarga yang lain baik dalam
bentuk barang, perhiasan maupun uang.
Kesederhanaan pelaksanaan teng wear naneang ini
dapat dilihat dari prosesnya yang sederhana, Dimana
biasanya pihak laki- laki mengutus beberapa orang ibu yang
dituakan untuk memberitahukan kepada semua keluarga (riin
faam)dan semua keluarga yang masih memiliki hubungan
darah (wel an saso lar ni baba), dari rumah ke rumah dengan
menyampaikan salam hormat dari orang tua laki- laki untuk
menghadiri pertemuan teng wear na neang dalam rangka
persiapan pemingan anak mereka. Hal yang sama juga
dilakukan oleh pihak perempuan untuk menyambut
kedatangan pihak laki- laki. Biasanya jika terjadi perkawinan
antar sesama etnis Key, pada saat pertemuan keluarga baik
pihak laki- laki maupun perempuan, masing- masing pihak
menunjukkan keberpihakan atau kedekatan kepada salah satu
pihak, namun pada saat memberikan ye lim justeru tidak
sedikit indifidu yang mesti memberikan ye lim nya kepada
kedua belah pihak karena memiliki hubungan darah (wel an
saso lar ni baba) sehingga tidak bisa tidak mesti memberikan
224

ye lim kepada pihak laki- laki maupun perempuan yang dalam


bahasa Key disebut dengan (dir habka) yang dalam bahasa
symbol diartikan sebagai berdiri di atas dua belah pihak, kaki
sebelah untuk pihak laki- laki dan yang sebelahnya untuk
pihak perempuan. Dengan begitu mereka harus mengeluarkan
ye lim nya yang sama kepada kedua belah pihak. Dalam hal
pemberitahuan untuk menghadiri pertemuan adat teng wear
naneang mesti dilakukan dari rumah ke rumah secara teliti
dan terstruktur. Artinya yang dimaksudkan dengan teliti adalah
jangan sampai ada keluarga atau kerabat yang terlewatkan,
sementara terstruktur yang maksudkan adalah memulai dari
keluarga atau kerabat yang tertua, secara adat tertua disini
bukan dari aspek usia tetapi berdasarkan struktur dan silsilah
keturunan dan yang paling terdekat sampai yang paling
termudah atau terjauh, jika tidak dilakukan secara teliti dan
terstrukturbisa terjadi hambatan dan memiliki resistensi yang
cukup tinggi.
Sementara Ye lim dalam struktur keluarga yang paling
dekat, disebut dengan istilah Yaruk Yelim. Yaruk Yelim,
biasanya juga berlaku dalam kegiatan yang memiliki ikatan
keluarga untuk menolong keluarga lainnya, seperti hajatan
pernikahan atau haji. Praktek Yelim sifatnya sangat sensitif.
Sehingga harus dilakukan sesuai dengan struktur keluarga.
Bahkan, tidak boleh didahului oleh keluarga yang lebih muda.
Secara struktur silsilah atau keluarga, pemberian bantuan
dalam bentuk Yelim harus dilakukan oleh keluarga yang lebih
tua usianya. Ketika dilakukan oleh yang lebih muda, maka
akan menimbulkan masalah. Ketika ada yang tidak
diberitahukan secara otomatis menimbulkaan kekecewaan
dan kepedihan mendalam oleh karena yang bersangkutan
merasa tidak dihargai dan tidak dianggap sebagai bagian dari
keluarga mereka yang dalam istilah bahasa Kei disebut
225

dengan (masuhun) kesedihan (raan kuran),kurang hati


bahkan pada taraf (raan suhut) atau sakit hati. Hal ini didasari
atas prinsip adat Kei bahwa bukan materi atau kekayaan yang
di lihat, tetapi yang paling terpenting adalah adat dan
penghormatan(adat hormat) atau dengan kearifan yang sama
disebut dengan (Umat I minan Harta I Vuliir) harta itu tidak
penting yang terpenting itu adalah penghargaan dan
penghormatan terhadap kemanusiaan. Ini adalah salah satu
bentuk keunikan dan karakteristik dari tradisi sosial
masyarakat Kei yang saya temukan.. Dalam kaitan ini,
(Raharusun : 20000, mengisahkan bahwa Habib Al Mohdar
sebagaimana habib lainya yang tersebar di Nusantara adalah
keturunan Nabi Muhammad saw yang menyeber dari kota
Madinah ke Mesopotamia (Irak) sekitar abad ke 6 M, dari
Mesoptomia kafilah keturunan Nabi saw ini pun hijrah ke
Hadramaut kaum keturunan Nabi saw yang suci ini pun
menyebara ke Asia Tenggara, untuk kepulaun Indonesia
sendiri keluarga Nabi Muhammad saw ini di perkirakan oleh
sejarawan Islam masuk sekitar abad ke 7 M sezaman dengan
masuknya Islam di Indonesia mereka adalah bagian dari
sejarah Islam Nusantara. Di kepulun Kei khususnya Datuk dari
keturunn Habaib Al Mohdar, Habib ADulah Al Mohdar kini
generasinya mencapai 5 generasi meski Habib yang
menyebar ke kepulaun Kei bukanlah pembawah Islam
pertama di Kepulaun Kei tetapi peran serta kelurga Nabi ini
sangat besar dalam awal-awal perkembagan Islam di Kei.
Selain Al Mohdar Klain Habaib yang tersebar di kepulaun Kei
antara lain Al Hamid, As Syatri, Al Latas, As Sagaf.
Tradisi islam Kei sangat menghargai dan menghormati
keturunan Nabi saw ini. Orang Kei percaya bahwa selain
paham akan agama Islam, mereka juga memiliki karmah serta
ahli dalam tasawuf. Sebagai buktiTom penghargaan orang
226

Muslim Kei terhadap keluarga Nabi ini di Ohoi Slam sebisa


mungkin masyarakat mengusahakan pada Mesjid Ohoi yang
menjadi imam adalah keturunan ahlul bait, jua sebidang tanah
di kawasan kota Tual diwakafkan sebagai makam ahlul bait
Nabi SAW disebut dengan kubur keramat.
Atas dasar penentuan demikianlah tentang sejarah
islam Kei, sejak kelahiran bapaknya lakile sangat berharap
kelak jika anaknya, usman telah balig, maka pegajaran
agamanya dipercayakan kepada habib al-Mohdar. Beliau
sangat percaya di bawa asuhan habib al-Mohdar anakny kelak
menjadi anak yang sholeh. Ini juga menjadi bagian dari tradisi
keluarganya yang mempercayai habib sebagai guru agama
bagi anak-anak mereka.
10 tahun suda anaknya, sejak balig belajar agama
pada habib al-Mohdar selain mgaji al-Quran yang suci pada
petua hiduppun dipelajarinya dari sang guru. Habib yang lahir
dan tumbuh di Keipun paham betul akan filosofi adat dari
orang Kei, Larvul ngabal.
Suatu ketika lakile ingin sekali mengetes Usman soal
pelajaran yang diterima dari sang guru. Siang itu setelah
selesai makan siang embal, ikan bakar dan sayur sir-sir, pada
sar di kabong Lakile bersama anaknya duduk memulihkan
tenaga setelah dari pagi bekerja pada kabong. Lakile pun
mulai dengan bertanya pada usman, “nak, selain bellajar
mengaji, apalagi yang telah kau pelajari dari habib al-
Mohdar?”. Tersenyum, basa giginya kelihatan, Usman pun
menjawab pertanyaan ayahnya “guru banyak mengajar petua
atau nassehat dalam hidup.” “misalnya apa nak? ” Tanya lakile
tidak sanggup mendengar pernyataan anaknya. “kemarin
soreh beliau menasehatiku tentangg posisi manusia dan
harta.” “apa itu anakku?”
227

“Habib berkata dalam falsafa hidup orangg Kei di kenal


kalimat, ‘umat iminan, harta I vuliir”, mksudnya bagi orang Kei
manusia yang dalam bahasa Kei umat, adalah bahsa hasil
adopsi dari bahasa arab, kalimat ini adalah inti dari semua
yang ada di alam raya. Dalam artian bahwa apa yang ada di
alam raya ini berhak untuk pergunakan manusia untuk
kesejahteraannya serta juga sebagi sarah atau media untuk
mendekatkan manusia pada Tuhan yang Maha Esa. Manusia
adalah Kalifah atau pemimpin”.
“sementara arti dari kalimat Harta I Vuliir, mengandung
arti bahwa harta termasuk jabatan hanya “kulit’ atau “daki”
yang menempel pada kulit manusia. Harta atau jabatan
bukanlah esensi atau inti dari hidup, dia hanyalah sarat untuk
melayani manusia kehakekatan kemanusiaan yang
sesungguhnya, yakni ketundukan kepada Tuhan yang Maha
Esa.“Umat I minan, Harta I Vuliir” falsafah ini menempatkan
manusia dalam martabat yang sesungguhnya, penghargaan
terhadap manusia lebih tinggi dari harta atau jabatan
sekalipun”.
“kata Guru Habib sebagai orang Kei tidaklah pantas
melihat seseorang berdasarkan harta atau jabatan. Manusia
harus di lihat dan di hormati dilhat sebagai harkatnya sebagai
manusia. Falsafa ini juga memiliki arti yang sangat luas,
bahwa setiap orang Kei harus menghargai manusianya,
janganlah sampai nilai kemanusianya terkotori tau ternodai
hanya karena ingin harta yang banyak atau jabatan yan tinggi
seseorang menjual martabat dirinya”.
“namun, pesan Guru Habib juga dewasa ini di Kei
sebagian orang Kei salah menginterpretasi makna falsafah
‘umat I minan harta I vulir’, menurut mereka bahwa
penghargaan terhadap manusia adalah menghormati sesama
keluarga sehingga orang Kei sering bersifat nepotisme dalam
228

jabatan. Ada juga yang melakukan korupsi atau pencurian


uang rakyat demi harga kemanusiannya.
“ini pandangan yang sangat keliru, kata guru habib.
Bahwa sifat atau tabiat nepotisme adalah perilaku yang
mencederai kemanusiaan itu sendirri yakni menafikan niai-
nilaikeadilan dan kebenaran yang mana itu adalah
penghargaan tertinggi manusia.Lakile hanya begitu terkagum
anak yang masi kecil. Habib telah menanamkan prinsip hidup
orang Keiyang masih bijak. Usman pun melanjutkan selama
falsafa “umat I minan, harta I vuliir” ditempatkan dan
dilaksanakan pada tempat yang sesuai maka seseorrang akan
merdeka tas dirinya sendiri tanpa dijaja oleh masalah duniawi
seperti harta dan jabatan. Usman terdiam sementara.
Tapi ayah saat menyampaikan petua ini habib sangat
sedih. Wajah usman terlihat semakin serius “saat bercerita
orang Kei dewasa ini ada beberapa peristiwa yang terjadi di
daerah kita, ada sekolompok orang yang memperebutkan
tahta adat, ada juga perilaku pejabat korupsi uang rakyat, ada
juga peristiwa tauran antara ohoi, lalu kadang juga ada tauran
antar ssekolah, ada mahasiswa yang menjual idealism, ada
angota DPRD yang tidak dapat menghargai jabatannya, ada
guru yang berperilaku amoral, ada kasus pemerkosaan, ada
kasus narkoba, ada kasus pencurian bahkan ada kasus
pembunuhan.” Manusia suda seperti boneka robot yang haus
akan jabatan dan harta, nilai kemanusiaan yang dilacurkan
bahkan falsafa dan adat serta agama diinjak demi meraut
keuntungan duniawi.
“pesan guru habib hendaklah kita banyak menggali
dan belajar khazana kebudayaan kita, juga diseimbangkan
dengan pengetahuan duniawi. Kita pandai-pandai mengarungi
samudera kehidupan, harus pandai-pandai merangkai
gelombang kehidupan. Hidup hanya sekali dan sementara
229

harkat, martabat ditinggalkan sebagai manusia akan kekal


abadi selamanya. Diakhir pesan habib kembali mengingatkan
ingatlah falsafah ini selalu, ‘umat I minan harta I vuliir’”.
Lekile hanya tersenyum bangga mengusap-ngusap
kepala anaknya dan berkata, bapak bangga sama kamu
bapak berharap kamu kelak jadi anak soleh berbakti kepada
orang tua dan guru serta menjunjung tingggi nilai-nilai
kemanusiyaan seperrti perktaan habib al-Mohdarr kepadamu.
Matahari siang mulai menyinggsing tanda akan datang
sore hari kedua anak bapak masih ada di sar-sar kabong.
Kini lakile merasa legah ilmu sebagai bekal untuk
anaknya yang bijak. Paling tidak usianya beranjak tua dia
percaya bekal dari habib al-Mohdarr cukup merasa bahwa
anaknya akan bijak dalam hidupnya.

M. Tradisi Nit Ni Wang


Tradisi Nit Ni Wang diselenggarakan dalam rangka
mengirim doa atau sesajian kepada arwah leluhur, tradsisi ini
telah berlangsung secara turun temurun sebelum datang Islam
di kepulauaan Kei, ritual nit ni wang ini biasanya dilaksanakan
menjelang bulan puasa, atau khitanan, masuk rumah baru,
atau seseorang yang meraih kesuksesan atau hendak
merantau biasanya melakukan ritual Nit Ni Wang.
Kalau menurut penjelasan Akademisi Kei, Kota Tual,
H. M. Nasir Rahawarin, dan Jamal Rahawarin, bahwa
selain Ye Lim, ada juga Nit Ni Wang. H.M. Nasir
Rahawarin menjelaskan, Ye Lim ada yang
memahaminya sebagai simbol-simbol partisipasi
masyarakat dalam kaitannya dengan pelaksanaan
upacara adat dalam rumpun kegiatan sosial dan
keagamaan. Seperti kegiatan perkawinan, haji, khitan
dan juga aqikah. Seluruh aktifitas sosial yang
230

membutuhkan dukungan dapat dikategorikan ke dalam


tradisi Ye Lim. Ia menjelaskan Ye Lim merupakan
bagian dari pemberian doa, atau restu terhadap suatu
kegiatan masyarakat, yang disampaikan secara
ikhlas.Sementara Nit Ni Wang, merupakan suatu tradisi
masyarakat untuk menghargai para leluhur. Dalam
konteks masyarakat Kei, terdapat kepercayaan bahwa
semua benda di alam semesta memiliki roh. Roh
dalam bahasa Kei disebut Duan. Sementara untuk
Tuhan atau Allah Swt disebut dengan kata Duad.Duad
menguasai Duan. (Wawancara, 2014).

Masyarakat menganut kepercayaan, kalau leluhur


mereka tidak meninggal secara utuh. Mereka meyakini bahwa
di dalam seluruh aktifitas masyarakat Kei yang masih hidup,
masih terdapat campur-tangan leluhur yang telah duluan
meninggal. Di sini masyarakat kemudian mengirim doa
kepada para leluhur yang sudah meninggal. Sebagai bentuk
penghargaan. Awalnya dikirim dalam bentuk sesajian.
Sesajian itu diberikan untuk para arwah. Roh ini disebut Nit.
Artinya, arwah yang telah meninggal. Sementara Wang
artinyabagian dari para arwah. Sehingga pemberian sesajian
itu menjadi bagian dari pemenuhan kebutuhan arwah.
Tradisi memberikan sesajian di tempat-tempat yang
dikeramatkan seperti di samping rumah atau bawah pohon
beringin, secara perlahan dikikis oleh masuknya agama.
Tradisi ini untuk masyarakat Kei yang menganut Agama Islam
dirubah ke dalam tradisi Tahlilan. Jadi, tradisi memberikan
sesajian diubah menjadi Tahlilan. Kendati prakteknya
berbeda, namun, niat yang disampaikan sama dengan yang
dilakukan saat membawa sesajian. Saat melaksanakan
231

tahlilan, juga disertai dengan membacakan doa, sebagai


bentuk mengirim pesan kepada arwah.
Puncak berdoa dengan sesajian saat diletakkan di
tempat-tempat yang dikeramatkan. Sedangkan tahlilan,
dilakukan saat membakar 'kamniang' di atas barah api yang
dimasukkan ke dalam mangkok atau dupa. 'Kamniang'
tersebut biasanya dibakar oleh imam masjid (leb), atau orang
yang dituakan, atau orang yang mengetahui proses tersebut.
Nit Ni Wang dilaksakan pada waktunya. Misalnya,
ketika ada keluarga yang ingin masuk rumah baru, atau
menjelang bulan Ramadhan.
Sama dengan penjelasan sebelumnya, Ye Lim juga
dimaknai sebagai kaki dan tangan. Dengan kaki dan tangan
itulah, bantuan disampaikan kepada kerabat atau masyarakat
Kei. Khusus untuk bantuan yang sifatnya berduka, dilakukan
tanpa harus ada pemberitahuan. Secara sukarela, masyarakat
memberikan bantuan sebagai bentuk duka antar sesama atas
peninggalan keluarga masyarakat Kei.
Sementara untuk pemberitahuan Ye Lim yang lebih
dekat, disebut dengan istilah Teng Wear Na Neang. Tradisi
Teng Wear na Neang, dilakukan pada pra kegiatan. Karena
Teng Wear na Neang, merupakan kegiatan kecil yang
dilakukan lebih awal oleh rumpun keluarga untuk membahas
niat hajatan tersebut. Pada tradisi Teng Wear na Neang,
mereka yang datang akan disuguhkan makanan dan minuman
ringan berupa snack. Biasanya, mereka yang datang siap
memberikan dukungan berupa sumbang fikir hingga bantuan
fisik, seperti uang dan sebagainya.
Selain tradisi tersebut di atas, ada pula tradisi Yaruk ye
Lim. Tradisi ini masih berkaitan dengan Ye Lim dan Nit Ni
Wang. Tradisi Yaruk Ye Lim biasanya langsung disertai
dengan penetapan harga. Sehingga, mereka yang siap hadir
232

di tradisi Yaruk Ye Lim, telah memiliki modal dasar yang siap


diberikan secara sukarela. Karena kalau tidak, akan
dipandang sebelah mata oleh mereka yang hadir dan
pelaksana hajat tersebut. Tradisi ini berlaku tidak hanya dalam
satu rumpun keluarga, tapi juga bisa dengan keluarga jauh,
namun, sifatnya menOhoik dan dianggap sebagai wajib
dilaksanakan. Sebut misalnya, seperti keluarga yang hendak
menunaikan haji, namun, saat itu mengalami masalah
kekurangan finansial. Maka keluarga berkumpul lewat tradisi
Ye Lim, dan berpatungan untuk membantu keluarga tersebut.
Hal ini bahkan dialami langsung oleh sumber, H.M. Nasir
Rahawarin.
Menurut beliau, bantuan itu diberikan secara sukarela,
tanpa pamrih. Mereka yang mampu memberikan bantuan
dalam konteks YarukYe Lim, merasa puas kendati bantuan itu
didapatkan dengan cara yang sulit. Karena pemberian
bantuan itu dianggap telah menutup aib dirinya dan keluarga.
Sikap pemberian hadiah ini tidak dianggap sebagai bentuk
perbuatan ria, bahkan tidak membebankan.
Bantuan itu dimaknainya sebagai bagian dari sifat
pemurah dan penyayang antara sesama, baik yang memberi
maupun yang menerima. “Rahman dan Rahim”. Lewat
pemaknaan ini, masyarakat bangkit sebagai satu suku yang
dirasa berbeda dengan suku lainnya di Maluku. Secara
mendalam, Ye Lim dan Nit Ni Wang, dianggap sebagai tradisi
yang menggabungkan nilai budaya dengan agama. Gabungan
itu terlihat ketika seseorang memberikan pertolongan tanpa
pamrih.
Orang yang mengajarkan Ye Lim dan Nit Ni Wang
diakui sebagai sosok yang memahami esensi ajaran Agama
Islam. Karena mampu menggabungkan nilai-nilai Islam berupa
kasih dan sayang di dalam praktek Ye Lim dan Nit Ni Wang.
233

Lewat tahlil itu, masyarakat mengirim doa kepada para arwah,


yang sebelum ada Agama Islam, dilakukan dengan cara
memberikan sesajian. Berdoa kepada para arwah leluhur atau
orang tua yang telah meninggal disebut ‘To Flur Nit Sob
Duad”’.
Beberapa istilah yang disertai dengan prakteknya juga
harus diketahui secara baik sebelum suatu acara
dilaksanakan. Bantuan yang dikhususkan kepada orang
meninggal disebut dengan tradisi ‘Er Ba Sidka’. Tradisi ini
dilakukan secara spontan oleh masyarakat tanpa harus
diberitahukan atau diundang. Sementara yang berupa
undangan disebutYe Lim.
Sedangkan orang yang memimpin jalannya tahlil
disebut leb.Leb berarti imam atau hir ain, yang maknanya
orang Kay. Imam biasanya oleh orang yang sudah mapan
dalam bidang agama
Pada masa lalu, tradisi di masyarakat Kei yang dapat
menjadi imam hanya orang kaya. Dari sinilah kemudian lahir
istilah hir ain atau hila ai. Pada kegiatan tahlil, orang yang
memiliki status hila ai atau hir ain dapat menggantikan posisi
imam, bila imamnya berhalangan atau tidak hadir.
Esensi tahlil dalam Ye Lim lebih ditonjolkan pada
pembacaan niat sewaktu imam membakar kamniang.
Tindakan ini tidak diajarkan kepada seluruh
masyarakat, hanya pada masyarakat kalangan tertentu saja
yang mengetahuinya. Sehingga tidak semua masyarakat bisa
memberikan penjelasan soal status dan kedudukan Tahlil
khusus dalam wirid dan bacaannya. Pada tingkatannya, orang
yang membakar kamniang mengetahui kedudukannya
sehingga dapat dimaknai dengan kalimat ‘Min Nafsi Wa Hid’.
Adat budaya didaratan kepulauan ini khususnya Tual
adalah sama didalam praktek pelaksanaannya dan
234

perbedaannya terletak pada materiaal adatnya saja dan lebih


jelas terlihat pada adat kebiasaan yang bersifat kebapaan
(patri linier) diman bilah perkawinan itu terjadi maka sang istri-
harus meninggalkan orang tua, keluarga/mata rumah serta
kampong halamannya dan menyatu dengan keluarga sang
suaminya dan harus merubah fam marganya (mata rumah)
dan menggunakan faam/marga suaminya demikian halnya
anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan maka harus
memakai faam bapaknya.
Demikian pula dengan ketentuan-ketentuan adat
istiadat yang berlaku sama halnya dalam prosesi upacara
kematian diatur demikian pula. Sebagaimana diungkapkan
suatu peribahas Tual mengatakan bahwa: En Uuk, Ne Mav En
Ahang artinya kematian menghimpun dan pelayanan
menyatukan. Maksudnya apabilah seseorang meninggal maka
seluruh keluarga jau dekat hendaknya dihubungkan untuk
hadir sebab ada berbagai ketentuan adat yang harus dipenuhi
oleh keluarga kandung yang meninggal terutama pihak mama,
slah satu dari eluarga asal mama ini bilah diberitahukan maka
mereka mendengar berita kematian tersebut, kelaurga pihak
yang meninggal harus memberikan sebuah bentuk emas
untuk membuka telingah merkayang selama ini tidak
diberitahukan tentang kematian tersebut, emas ini disebut vu
aur ditkuun artinya emas tilangah tuli. Maksudnya dengan
diberi emas vu aur ditkuun (emas telingah tuli) ini berarti
segala rasa dan kata yang bersifat tidak baik, telah selesai
dan soal yang mengenai adat kematian lainnya dapat diatur
secara baik.
Jika dilihat dari sisi tanggung jawab, maka:
1. Sekeluarga semata rumah dan masyarakat se ohoi
saling membantu dalam menyumbang makanan,
menggali kubur, mengerjakan keranda bagi orang yang
235

beragama kristen, sedang yang beragama Islam cukup


dengan Tanggu yang telah disiapkan oleh majelis
secara tetap agar apabilah ada orang meninggal maka
tidak usah merepotkan. Sesungguhnya sejak awal
sebelum masuknya agama, maka manusia pada saat
itu bilah ada yang meninggla maka di buat keranda
dari gaba-gaba,I atau sampan dan dipotong, ditutup
bahagian depan dan belakang serta bahagian atasnya
yang dilatar belakangi dengan kepercayaan kepada
dewata dan lain-lain.
2. Vaan yan ur (vaat yanan turan) yang lama dan yang
baru, dekat dan jau setelah mendengar berita kematian
itu, maka mereka merasa berkewajiban membantu
dengan emas/uang, lela, gong, dan lain-lain. Bantuan
seperti ini disebut hartan kabur kavai arinya harta ulat
dan alat/lalata. Harta benda ini disumbang untuk
upacara adat orang mati.
3. Mang ohoi dan madua untuk membantu dengan
sandang/pakain dan pangan lainnya yang lazim
disebut bakvil akvil baklov matmatan artinya pakaian
pembungkus orang mati. Maksudnya pihak mangohoi
sudah merupakan kewajiban untuk mempersiapkan
pakaian tersebut apabilah ada dari antara anak atau
cucu/ saudara atau tantenya kawin dikelaurga mata
rumah tersebut ada yang meninggal dunia.
4. Mang ohoi utin (mang hir dok ohoi, orang tua dari ibu
yang punya anak meninggal itu bertanggung jawab
atas pembuatan keranda orang yang mati tersebut
dengan semua perlengkapannya yang disebut vuut
barit. Artinya parekat rabuk (kain putih/kayin hitam,
paku, benang dan lain-lain menjadi tanggung jawab
mango hoi utin (ibu, bapak atau saudara lelaki dari ibu)
236

Baik dari pihak Vat Yan ur maupun pihak mel mang


ohoi (mango hoi, ra-n te) semuanya sibuk dalam upaya
menyelesaikan persiapan untuk pemakaman. Pada saat mang
ohoi datang ke rumah keluarga yang meninggal (vaat yan ur)
dengan segala bawannya mereka tidak langsung masuk
kedalam rumah duka. Sesuai adat kebiasaan yang berlaku
hingga sekarang, mera berhenti sementara di halaman rumah
duka dan seorang wanita kelaurga duka keluar sambil
menyampaikan suatu tangisan merupakan bentuk
penghormatan rasa duka adat mera dengan membawa
sebuah piring/talang yang berisi emas sambil mengundang
mang ohoi/ meduan untuk masuk kedalam rumah duka. Mas
ini disebut mas lu wear herher, yang terima oleh pihak mang
ohoi.
Pada saat keranda mayat dibawa masuk maka pihak
yang membawa keranda tersebut bertanya kepada penghuni
yang berada dalam rumah duka itu: “ini keranda siapa?” orang
yang bera dalam rumah menjawb “itu keranda sianu”
sebanyak tiga kali pertanyaan itu dilontarkan. Dan sebanyak
tiga kali juga diberikan jawaban kemudian keranda tersebut
dibawa masuk kedalam rumah dan diletakan di pinggir temapt
tidur yang meniggal guna menunggu pihak mang ohi ran tel
datang untuk mengangkat mayaat tersebut dan memasukan
kedalam keranda yang telah disediakan. Pada saat
penguburan mayat dilaksanakan maka mango hoi rahan tel
diundang datang untuk mengangkat mayat tersebut masuk
kedalam keranda dengan tatacara prosesi adat:
a. pihak mang ohoi utin (pihak mama memegang kepala
mayat)
b. pihak nene mama memegang sekitar bahu dan
sekitaranya
237

c. pihak nene mama punya ibu memegang di sekitar


pinggul dan paha setelah ketiga belah pihak telah
mengambil posisi sesuai apa yang ditetapkan didalam
adat maka diangkatnya mayat tersebut masuk kedalam
keranda.
Sementara untuk pihak keluarga, yang menganut
agama Islam uapacara adat kematian ini suda tidak lazim
dilaksanakan. Namun demikian jika ada yang terlibat didalam
pihak mang ohoi rahan tel biasanya merka masuk berdiri saja
untuk menyaksikan dan kelaurga pihak orang Kristen yang
ditunjuknya bertugas untuk mengangkat mayat tersebut,
dengan cara mayat diangkat turun naik sebanyak tiga kali
kemudian diletakan dan dimasukan kedalam peti atau keranda
mayat.
Pada masa silam beberapa abad yang lampau
biasanya mang ohoi melatakan beberapa piring yaitu satu
buah piring diletakan diatas kepala satu di bahu dan satu buah
dibagian pinggul atau pahanya yang menurut kepercayaan
saat itu diyakini sebagai wadah makan bagi orang mati.
Namun saat ini faham tersebut suda tidak digunakan proses
pemakaman mayat dilakukan sesuai agama yang dianutnya.
Proses pemakaman mayat diserahkan kepada pihak majelis
agama guna melanjutkan upacara pemakaman menurut
agama yang dianutnya.
Selain acara adat dan tradisi diatas tadi maka sesudah
upacara pemakaman adat lagi acara selanjutnya apabilah
mayat belum dikuburkan belum diselesaikan secara adat
disebut nit vokun kepada mango hoi rahantel ada sebuah
pemberian dalam bentuk emas, uang atau lela atau gong
kepada para mangohoi dimana mereka yang meninggikan
atau mengangkat kepala di sebut mango hoi utin yang
memegang bahu (mang ohoi dimana kedua pihak nene
238

mama) dan mango ohoi pihak ketiga (nenek mama punya


mama dari(oyang mama).
Terdapat beberapa proses khusus yang dilaksanakan
apabilah yang mengakibatkan terjadinya kematian yang
meragukan dan mencurigakan misalnya pernah melakukan
pertikayan dengan orang lain atau mengeluarkan ucapan yang
menyakiti dan merusak kepentingan orang banyak serta
dibantah dimana orang tersebut termasuk orang yang
disenangi dan terpandang dan memiliki peranan besar maka
untuk mencari tau sebab musabab maka disuru orang tertentu
naik tidur ditempat tidur orang yang suda meninggal tersebut
arwahnya datang memberitahukan sebab musabab kematian
tersebut. Kepercayaan orang idzaman itu disebut in ba inso sir
amait artinya berjalan menyusur atap dan dinding rumah agar
arwah orang mati itu masi berada di sekitar rumah sekitar 40
hari/40 malam dan seudah itu mereka mengembara malam
sewaktu-waktu mereka kembali dstang mendekati dipinggir sir
anait. Ada juga faham dan cerita berupa legenda didalam
masyarakat seperti uun ohoider ohoimas, te waha ru yang
masi melegenda di gua ohoider tentang jasad dan ruh orang
mati.

N. Konstruksi Sosial Ye Lim dan Nit Ni Wang


Tradisi Ye Lim dan Nit Ni Wang, merupakan suatu
budaya yang dilaksanakan oleh masyarakat Kei, Kota Tual.
Tradisi ini merupakan bagian dari rumpun tradisi lainnya yang
ada di Kei. Seperti dikemukakan oleh para tokoh masyarakat,
dan tokoh agama berikut ini:
M.M. Tamher (Walikota Tual), menjelaskan, Ye Lim
dan Nit Ni Wang, merupakan bagian dari budaya Maren.
Maren sendiri, memiliki makna secara luas yakni kerjasama
masyarakat Kei-Kota Tual, dalam melaksanakan suatu
239

pembangunan. Marem memiliki arti lebih luas sama dengan


masohi atau gotong-royong. Sementara Ye Lim, dan Nit Ni
Wang, memiliki arti lebih dalam lagi namun masih tetap dalam
bingkai kerjasama atau masohi. Istilah ini mengikat di dalam
tradisi masyarakat Islam Kei.
Umumnya, masyarakat di Kepulauan Kei saat ini
hidupnya sama dengan masyarakat lainnya di Maluku. Sama-
sama mengenal kehidupan yang sudah modern dan
transformasi. Seiring dengan modernisasi kehidupan sosial
masyarakat, budaya dan masyarakat Kei, Kota Tual masih
terjaga hingga saat ini. Budaya tradisi sosial masyarakat yang
dilaksanakan dari zaman dulu sampai kini masih mengakar di
masyarakat. Masyarakat bahkan sulit menghilangkan budaya
atau tradisi yang sudah ada secara turun-temurun itu, seperti
Tradisi Ye Lim dan Nit Ni Wang.
Kendati belum dituangkan dalam naskah
pemerintahan, namun, Ye Lim dan Nit Ni Wang masih tetap
dipertahankan secara utuh dalam tradisi dan adat-istiadat
kehidupan sosial masyarakat.
Tradisi Ye Lim memiliki makna secara mendalam,
yakni suatu perbuatan atau tindakan masyarakat Kei, Kota
Tual, berupa sikap rela tolong-menolong atau membantu antar
sesama tanpa pamrih. Sikap dasar ini dilakukan secara
spontan baik diberitahukan secara lisan, tertulis maupun tidak.
Secara harfiah, Ye artinya kaki. Sedangkan Lim
artinya, tangan. Kaki digunakan untuk berjalan, dan tangan
untuk membantu. Dari pengertian tersebut, para tokoh
masyarakat, tokoh agama, dan tokoh adat di Kei, Kota Tual,
mengakui bahwa kaki dan tangan, digunakan sebagai
perantara untuk memberikan bantuan, baik secara fisik
maupun non-fisik. Fisik maksudnya adalah pemberian bantuan
240

dalam bentuk tenaga. Sedangkan non-fisik adalah bantuan


berupa ide atau gagasan yang sifatnya membangun.
Ye Lim, awalnya merupakan pemberian bantuan yang
sifatnya tenaga. Setelah masyarakat mengenal alat tukar,
termasuk uang, baru kemudian masyarakat dapat memberikan
bantuan dalam bentuk materi, mulai dari makanan, hingga
uang. Semua yang diberikan itu disebut Ye Lim.Bantuan itu
diberikan secara sukarela untuk melepaskan diri dari tenaga
yang sedianya dilakukan. Namun, lebih pentingnya, yang
dibutuhkan di sini bukan pada materi, tapi in-materinya. Yakni,
kehadiran mereka dalam acara tersebut. “Yang penting dilihat
wajahnya di acara, sudah dianggap sebagai penghormatan,”
tutur M.M. Tamher.
Sementara bantuan dalam bingkai kekeluargaan yang
sifatnya terstruktur, disebut dengan istilah Yaruk Yelim. Yaruk
Yelim, biasanya berlaku dalam kegiatan yang memiliki ikatan
keluarga untuk menolong keluarga lainnya, seperti hajatan
pernikahan atau haji. Yaruk Yelim, merupakan rangkaian dari
Ye Lim. Praktek Yaruk Yelim sifatnya sangat sensitif.
Sehingga harus dilakukan sesuai dengan struktur keluarga.
Bahkan, tidak boleh didahului oleh keluarga yang lebih muda.
Secara struktur silsilah atau keluarga, pemberian bantuan
dalam bentuk Yaruk Yelim harus dilakukan oleh keluarga yang
lebih tua usianya. Ketika dilakukan oleh yang lebih muda,
maka akan menimbulkan masalah.
Untuk itulah, Yaruk Yelim dilakukan secara hati-hati
dan santun berdasarkan struktur keluarga tersebut. Kendati
sudah era modernisasi, baik Yelim maupun Yaruk Yelim masih
dirawat dan dilakukan. Bahkan, sekalipun warga Kei, Kota
Tual yang tidak berdomisili di Kota Tual, seperti di Kota
Ambon wajib menjalani tradisi ini, bila hendak melaksanakan
suatu hajatan, seperti haji, atau akad nikah. Mengumpulkan
241

keluarga dalam frame Ye Lim dan Yaruk Yelim wajib dilakukan


meski dibatasi dengan ruang dan waktu.
Pengakuan tentang tradisi Ye Lim, dalam kacamata H.
Husein Tamher (Tokoh Adat Masyarakat Kei), bahwa budaya
ini sudah berlaku sejak dirinya belum lahir. Tradisi ini diketahui
saat mengantarkan orang tuanya pada acara pernikahan,
maupun keluarganya yang hendak menunaikan rukun Islam
ke-lima, yakni Haji. Hal ini dilakukan secara terus-menurus
hingga dirinya dewasa, dan mengetahui proses tradisi Ye Lim
dan Yaruk Yelim. Sepeninggal orang tuanya, tradisi tersebut
dilanjutkan. Sampai saat ini, tradisi tersebut kembali diajarkan
kepada anak-anaknya. Hal ini dimaksudkan agar anak-
anaknya tidak lupa akan tradisi tersebut.
Lebih mendalam, dijelaskan oleh H. Ahmad Kabalmay
(Imam Masjid Raya Kota Tual). Menurut beliau, Ye Lim
sebenarnya bukan hanya pada aspek materi. Tapi,
mengumpulkan keluarga untuk diminta pendapatnya sebelum
melakukan suatu hajatan keluarga juga dapat dikategorikan
sebagai Ye Lim, dan Yaruk Yelim. Hal ini sama, karena
sebelumnya memang dilakukan untuk hal itu. Setelah terjadi
pergeseran zaman, baru kemudian ada perubahan prakteknya
dalam bentuk memberikan bantuan secara fisik dan non-fisik
tersebut.
Sedangkan menurut H. A. W Rahawarin, SH (Tokoh
Agama Warga Kei), bahwa Ye Lim bermakna pada estahalim.
Artinya, berjabat tangan sebagai tanda kehadiran dalam acara
yang digelar, atau bentuk sikap kerelaan atau Keikhlasan
saudaranya di acara tersebut. Tradisi ini menurut beliau,
disebut juga primus intervaris. Maksudnya adalah peradaban
yang utama. Oleh dia, peradaban yang memiliki nilai tinggi
dan patut dilestarikan. Ye Lim sama juga dengan Marem.
Namun, dirinya menjelaskan bahwa Marem lebih kepada
242

stratifikasi sosial masyarakat. Ia menyebutkannya seperti


Mel,Ren dan Iri. Mel sebagai level atas, ren level tengah dan
iri bawah. Tiga level tersebut seperti Pohon Beringin. Mel
sebagai daun yang rindang, dengan filosofinya melindungi dan
mengayomi, Ren seperti batang, yang bertugas sebagai
penyangga ranting dan daun, sedangkan Iri adalah akar yang
bertugas untuk menyalurkan makanan kepada batang, ranting
dan daun tersebut. Dari sini, Mel, Ren dan Iri tidak bisa
dilepaspisahkan dalam makna Ye Lim tersebut. Sehingga
ketika ada masyarakat yang tidak menjalankan Ye Lim, akan
menerima sanksi secara natural.
Secara umum, agar Ye Lim tetap terjaga maka warga
Kei mengenal tiga istilah dalam tradisi. Pertama, Tunan,
artinya orang yang menghargai dan menjalan budaya Kei
secara totalitas. Kedua, Minan, artinya orang yang berasal dari
keturunan baik-baik. Dimaksudkan kepada orang Kei yang
memiliki kualitas dalam arti luas, baik mencakup aspek
pendidikan, akhlak maupun agama. Ketiga, Manan,
disimbolkan kepada seseorang yang mampumemberikan
nafkah keluarga. Secara garis besar, beliau membenarkan
seluruh pernyataan yang diuraikan oleh sumber-sumber
sebelumnya tentang Ye Lim dan Yaruk Yelim.
H. Husein Tamher, (Tokoh Adat Masyarakat Kei),
menuturkan, Ye Lim mencakup semua perbuatan yang
mengundang perhatian keluarga dan masyarakat secara
umum. Misalnya, membuka kebun baru, mendirikan rumah
(termasuk gereja atau masjid), pesta perkawinan atau
kematian. Semua orang yang merasa terkait dalam
kekerabatan bekerja bersama-sama. Jadi ada semacam
kerelaan dari setiap orang untuk membantu sesama demi
kekerabatan yang telah terjalin. Sikap rela menolong ini pada
dasarnya dilakukan demi kelestarian hubungan, baik dengan
243

keluarga maupun dengan masyarakat lainnya di Kei, Kota


Tual. Dari sini, telah timbul perasaan wajib untuk menolong
sesama, yang berlaku secara turun-temurun.
Secara luas, beliau menyebutkan, sikap ini erat
kaitannya dengan sikap rela menolong yakni membatu orang
lain, dengan maksud beryakinan bahwa orang lain juga akan
membantu setiap usaha dan pekerjaannya.
Sementara Badaul Tamher (Tokoh Adat Warga Kei,
Kota Tual) lainnya juga menuturkan, perbuatan tersebut juga
dimaknai sebagai ungkapan terima kasih baik kepada
keluarga maupun masyarakat. Ungkapan terima kasih yang
diwujudkan dalam tindakan itu, kemudian dihargai oleh
keluarga atau masyarakat dengan cara membalasnya pada
setiap momen kegiatan. Hal ini dilakukan secara runut dalam
hubungan sosial masyarakat Kei.
Tradisi adat YeLim sebenarnya membawa kepada
ajaran menjaga hubungan kekeluargaan dan persaudaraan
yang tidak membedakan suku, ras, dan agama. Kekeluargaan
pada masyarakat Kei dimaknai dalam arti yang luas yaitu
mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia, dan tidak
hanya terbatas pada bentuk kekeluargaan secara biologis.
Semangat Ye Lim juga terwujud dalam relasi Yanur-Mangohoi,
Koi-Maduan, dan Teabel.
Yanur-Mangohoi, merupakan bentuk kekerabatan
suatu kesatuan orang-orang yang diikat dalam perkawinan
adat. Artinya perkawinan dua orang yang menjadi
tanggungjawab dua keluarga besar, yang terikat dalam
struktur marga. Koi-Maduan, secara harfiah, Maduan berarti
tuan atau pemilik. Maduan adalah orang yang selalu
memberikan bantuan, sedangkan pihak penerima bantuan
disebut Koi yang artinya bawahan atau abdi. Koi-Maduan
dapat dipakai dalam beberapa konteks, misalnya dalam
244

perkawinan dan perjanjian sosial-ekonomi, di dalamnya


terdapat relasi atasan dan bawahan. Pihak atasan bertindak
sebagai yang menguasai, mengatur, menuntut hak, dan
bertanggungjawab atas kepentingan bawahannya, sedangkan
pihak bawahan wajib tunduk dan taat, serta mempercayakan
diri kepada atasannya dan melayani. Bentuk kekerabatan ini
berlandaskan rasa percaya yang tinggi, namun dalam
prakteknya, terkadang yang terjadi adalah dominasi atasan
terhadap bawahan.
Sementara Teabel terbagi dalam dua kata. Tea yang
artinya menggores dan Bel yang berarti darah yang mengalir.
Jadi Teabel merupakan bentuk kekerabatan atau perjanjian
yang diikat oleh aliran darah.
Unsur yang utama dari budaya ini adalah solidaritas
antara saudara yang menunjuk pada dua hal, yakni, sikap
untuk membantu orang/kampung lain yang terlibat dalam
perjanjian itu, dan kemampuan untuk terlibat dalam kehidupan
orang lain dalam kesepakatan adat. Sistem kekerabatan ini
sebenarnya mau mengangkat derajad semua orang sebagai
saudara yang harus dihargai, dilayani dan dilindungi.
Bayan Renuat (Kepala OhoiDula), menuturkan, Ye Lim
bukan hanya sebatas tradisi yang dilakukan untuk
melaksanakan hajatan keluarga atau masyarakat. Ye
Lim bahkan seperti mata rantai kehidupan yang
mengikat hubungan sosial masyarakat di Ohoi Dula,
dan Kei seluruhnya agar tetap terjaga baik dalam
hubungan strata sosial maupun hubungan keagamaan.
Atas dasar tradisi Ye Lim, masyarakat Kei di OhoiDula
tidak bisa bertindak sesukanya dalam menghadapi
masalah. Setiap masalah dapat diselesaikan lewat
perkumpulan dengan tradisi adat yang dijalankan oleh
para leluhur mereka. Tradisi ini tidak hanya menjadi
245

cermin untuk membangun tatanan kehidupan sosial


masyarakat, tapi bahkan lebih kuat untuk menghimpun
secara totalitas masyarakat dan pelbendarahaannya.
Berdasarkan pengalaman selama menjabat sebagai
Kepala OhoiDula, menurut Bayan Renuat, tradisi Ye
Lim mampu mengikat seluruh masyarakat dalam
menghadapi masalah yang rupit apapun. Bahkan kalau
ada persoalan sosial di masyarakat tidak diselesaikan
lewat tradisi Ye Lim, justeru akan sulit ditangani.
Sebaliknya, kalau diselesaikan lewat tradisi Ye Lim,
maka dalam sekejap masalah itu dapat ditangani.
(Wawancara, 2014).

Bentuk-bentuk kekerabatan masyarakat Dula, sama


dengan masyarakat Kei secara umum, seperti yang telah
dijelaskan di atas, memiliki beberapa kesamaan gagasan
dasar yakni sikap hidup kolektif, semangat solidaritas, dan
kekeluargaan, mengutamakan suatu persaudaraan yang diikat
dalam keluarga. Perjanjian adat mengkondisikan semua orang
untuk saling membantu dan mengaggap orang lain sebagai
keluarga sendiri. Semua orang terikat dalam relasi
kekeluargaan tanpa membedakan agama.
Dalam penjelasan Sanusi Kabalmay (Tokoh Pemuda
Kei-Tual), bahwa kebersamaan berpusat pada suatu ikatan
keluarga yang utuh. Hubungan antar pribadi selalu didasarkan
atas hubungan saudara. Semua orang dilihat sebagai saudara
dari satu keluarga. Hal ini jelas dalam struktur keluarga
masyarakat Kei, yang dibingkai dalam istilah “Teen fo teen,
yanyanat fo yananat, yaan fo yaan, warin fo warin, yanur fo
yanur, mangohoi fo mangohoi.” Artinya, bahwa masyarakat
Kei memiliki struktur yang memaksa setiap anggota keluarga
untuk mengetahui jati dirinya. Karena ketika ia mengetahui
246

struktur asal dirinya, ia akan menempatkan posisi orang lain


pada tempatnya yang sepadan. Biasanya, masyarakat Kei
ketika mencari posisi keluarganya, dengan cara menimbulkan
pertanyaan yang sudah dituturkan secara turun-temurun
dalam rumpun keluarga. Pertanyaan mendasar itu, “Siapa
nama orang tua”. Dari sini, dapat ditarik kesimpulan baik
secara keluarga maupun hubungan sosial antar sesama
masyarakat Kei.
Kalau menurut penjelasan Akademisi Kei, Kota Tual,
H. M. Nasir Rahawarin, dan Jamal Rahawarin, bahwa selain
Ye Lim, ada juga Nit Ni Wang. H.M. Nasir Rahawarin
menjelaskan, Ye Lim ada yang memahaminya sebagai simbol-
simbol partisipasi masyarakat dalam kaitannya dengan
pelaksanaan upacara adat dalam rumpun kegiatan sosial dan
keagamaan. Seperti kegiatan perkawinan, haji, khitan dan
juga aqikah. Seluruh aktifitas sosial yang membutuhkan
dukungan dapat dikategorikan ke dalam tradisi Ye Lim. Ia
menjelaskan Ye Lim merupakan bagian dari pemberian doa,
atau restu terhadap suatu kegiatan masyarakat, yang
disampaikan secara ikhlas.
Sementara Nit Ni Wang, merupakan suatu tradisi
masyarakat untuk menghargai para leluhur. Dalam konteks
masyarakat Kei, terdapat kepercayaan bahwa semua benda
di alam semesta memiliki roh. Roh dalam bahasa Kei disebut
Duan. Sementara untuk Tuhan atau Allah Swt disebut dengan
kata Duad.Duad menguasai Duan.
Masyarakat menganut kepercayaan, kalau leluhur
mereka tidak meninggal secara utuh. Mereka meyakini bahwa
di dalam seluruh aktifitas masyarakat Kei yang masih hidup,
masih terdapat campur-tangan leluhur yang telah duluan
meninggal. Di sini masyarakat kemudian mengirim doa
kepada para leluhur yang sudah meninggal. Sebagai bentuk
247

penghargaan. Awalnya dikirim dalam bentuk sesajian.


Sesajian itu diberikan untuk para arwah. Roh ini disebut Nit.
Artinya, arwah yang telah meninggal. Sementara Wang
artinyabagian dari para arwah. Sehingga pemberian sesajian
itu menjadi bagian dari pemenuhan kebutuhan arwah.
Tradisi memberikan sesajian di tempat-tempat yang
dikeramatkan seperti di samping rumah atau bawah pohon
beringin, secara perlahan dikikis oleh masuknya agama.
Tradisi ini untuk masyarakat Kei yang menganut Agama Islam
dirubah ke dalam tradisi Tahlilan. Jadi, tradisi memberikan
sesajian diubah menjadi Tahlilan. Kendati prakteknya
berbeda, namun, niat yang disampaikan sama dengan yang
dilakukan saat membawa sesajian. Saat melaksanakan
tahlilan, juga disertai dengan membacakan doa, sebagai
bentuk mengirim pesan kepada arwah.
Puncak berdoa dengan sesajian saat diletakkan di
tempat-tempat yang dikeramatkan. Sedangkan tahlilan,
dilakukan saat membakar 'kamaniang' di atas barah api yang
dimasukkan ke dalam mangkok atau tempatnya. 'Kamniang'
tersebut biasanya dibakar oleh orang yang dituakan, atau
orang yang mengetahui proses tersebut.
Nit ni Wang dilaksakan pada waktunya. Misalnya,
ketika ada keluarga yang ingin masuk rumah baru, atau
menjelang bulan Ramadhan.
Sama dengan penjelasan sebelumnya, Ye Lim juga
dimaknai sebagai kaki dan tangan. Dengan kaki dan tangan
itulah, bantuan disampaikan kepada kerabat atau masyarakat
Kei. Khusus untuk bantuan yang sifatnya berduka, dilakukan
tanpa harus ada pemberitahuan. Secara sukarela, masyarakat
memberikan bantuan sebagai bentuk duka antar sesama atas
peninggalan keluarga masyarakat Kei.
248

Sementara untuk pemberitahuan Ye Lim yang lebih


dekat, disebut dengan istilah Teng Wear Na Neang. Tradisi
Teng Wear na Neang, dilakukan pada pra kegiatan. Karena
Teng Wear na Neang, merupakan kegiatan kecil yang
dilakukan lebih awal oleh rumpun keluarga untuk membahas
niat hajatan tersebut. Pada tradisi Teng Wear na Neang,
mereka yang datang akan disuguhkan makanan dan minuman
ringan berupa snack. Biasanya, mereka yang datang siap
memberikan dukungan berupa sumbang fikir hingga bantuan
fisik, seperti uang dan sebagainya.
Selain tradisi tersebut di atas, ada pula tradisi Ya Ru
Ke Lim. Tradisi ini masih berkaitan dengan Ye Lim dan Nit Ni
Wang. Tradisi Yaruk Ye Lim biasanya langsung disertai
dengan penetapan harga. Sehingga, mereka yang siap hadir
di tradisi Yaruk Ye Lim, telah memiliki modal dasar yang siap
diberikan secara sukarela. Karena kalau tidak, akan
dipandang sebelah mata oleh mereka yang hadir dan
pelaksana hajat tersebut. Tradisi ini berlaku tidak hanya dalam
satu rumpun keluarga, tapi juga bisa dengan keluarga jauh,
namun, sifatnya menOhoik dan dianggap sebagai wajib
dilaksanakan. Sebut misalnya, seperti keluarga yang hendak
menunaikan haji, namun, saat itu mengalami masalah
kekurangan finansial. Maka keluarga berkumpul lewat tradisi
Yaruk Ye Lim, dan berpatungan untuk membantu keluarga
tersebut. Hal ini bahkan dialami langsung oleh sumber, H.M.
Nasir Rahawarin.
Menurut beliau, bantuan itu diberikan secara sukarela,
tanpa pamrih. Mereka yang mampu memberikan bantuan
dalam konteks Ya Ru Ke Lim, merasa puas kendati bantuan
itu didapatkan dengan cara yang sulit. Karena pemberian
bantuan itu dianggap telah menutup aib dirinya dan keluarga.
249

Sikap pemberian hadiah ini tidak dianggap sebagai bentuk


perbuatan ria, bahkan tidak membebankan.
Bantuan itu dimaknainya sebagai bagian dari sifat
pemurah dan penyayang antara sesama, baik yang memberi
maupun yang menerima. “Rahman dan Rahim”. Lewat
pemaknaan ini, masyarakat bangkit sebagai satu suku yang
dirasa berbeda dengan suku lainnya di Maluku. Secara
mendalam, Ye Lim dan Nit Ni Wang, dianggap sebagai tradisi
yang menggabungkan nilai budaya dengan agama. Gabungan
itu terlihat ketika seseorang memberikan pertolongan tanpa
pamrih.
Orang yang mengajarkan Ye Lim dan Nit Ni Wang
diakui sebagai sosok yang memahami esensi ajaran Agama
Islam. Karena mampu menggabungkan nilai-nilai Islam berupa
kasih dan sayang di dalam praktek Ye Lim dan Nit Ni Wang.
Lewat tahlil itu, masyarakat mengirim doa kepada para arwah,
yang sebelum ada Agama Islam, dilakukan dengan cara
memberikan sesajian. Berdoa kepada para arwah leluhur atau
orang tua yang telah meninggal disebut ‘To Flur Nit Sob Duad.
Beberapa istilah yang disertai dengan prakteknya juga
harus diketahui secara baik sebelum suatu acara
dilaksanakan. Bantuan yang dikhususkan kepada orang
meninggal disebut dengan tradisi ‘Er Batim Sedka’. Tradisi ini
dilakukan secara spontan oleh masyarakat tanpa harus
diberitahukan atau diundang. Sementara yang berupa
undangan disebut Yaruk Ye Lim.
Sedangkan orang yang memimpin jalannya tahlil
disebut leb.Leb berarti imam atau hir ain, yang maknanya
orang Kay. Imam biasanya oleh orang yang sudah mapan
dalam segala hal, termasuk harta dan benda. Sehingga oleh
orang Kei disebut orang kay atau hila ai.
250

Pada masa lalu, tradisi di masyarakat Kei yang dapat


menjadi imam hanya orang kay. Dari sinilah kemudian lahir
istilah hir ain atau hila ai. Pada kegiatan tahlil, orang yang
memiliki status hila ai atau hir ain dapat menggantikan posisi
imam, bila imamnya berhalangan atau tidak hadir.
Esensi tahlil dalam Ye Lim lebih ditonjolkan pada
pembacaan niat sewaktu imam membakar kamniang.
Praktek ini tidak diajarkan kepada seluruh masyarakat,
hanya pada masyarakat kalangan tertentu saja yang
mengetahuinya. Sehingga tidak semua masyarakat bisa
memberikan penjelasan soal status dan kedudukan Tahlil
khusus dalam wirid dan bacaannya. Pada tingkatannya, orang
yang membakar kamniang mengetahui kedudukannya
sehingga dapat dimaknai dengan kalimat ‘Min Nafsi Wa Hid’.

O. Memahami Konstruksi Sosial Tradisi Islam Lokal di


Kei Kota Tual
1. Tradisi Islam lokal : Tradisi Ye Lim dan Nit Ni Wang
Apapun harus dinyatakan bahwa tradisi Islam lokal
di Kei Kota Tual sebagaimana diungkapkan oleh
masyarakat Kei melalui tradsisi Ye Lim dan Nit Ni Wang
memiliki keunikan tersendiri. Keunikan budaya tersebut
tampaknya dari berbagai pelaksanaan upacara ritual yang
diselenggarakan oleh mereka semenjak dahulu hingga
sekarang. Didalam setiap upacara yang diselenggarakan,
akan tampak adanya sesuatu yang dianggap sakral.
Dalam komunitas lokal Islam di Kota Tual ini
merupakan representsi semua itu berupa pemberian
sesaji atau sesajien, bacaan suci (bacaan al-quran, tahlil),
dan doa dalam berbagai fariasinya. Di dalam upacara Nit
Ni Wang, sarana ritus itu berupa bahan-bahan makanan,
251

penganan dan prosesi Nit Ni Wang yang dipimpin oleh


imam.
Prosesi Nit Ni Wang juga mengandung keyakinan,
misteri dan penghormatan kepada nenek moyang atau
leluhurnya yang sudah meninggal. Di dalam tradisi Nit Ni
Wang, ternyata tidak hanya mengandung dimensi
memberikan sesajen kepada arwah leluhur dengan bahan
makanan yang disucikan melalui doa-doa saja tetapi juga
dengan tindakan menghormati. Dalam memberikan
sesajien harus sesuai dengan keinginan yang diberinya.
Ada proses menyamakan apa yang diberikan dengan
keinginan yang memberinya, (tradisi Nit Ni Wang dengan
sesajien berupa tembakau, siri, pinang, kapur dan uang
logam). Dalam sistem keyakinan mereka bahwa
pemberian kepada kekuatan gaib harus berbeda dengan
pemberian terhadap yang lain. Jadi mereka tidak asal
memberi tetapi berangkat dari sistem kognitif yang telah
diperoleh dari para pendahulunya.
Bahkan tradisi ritual Nit Ni Wang, yang memiliki
keunikan dan kesucian. Seluruh prosesi upacara
mengandung kesucian kesakralan telah terasa begitu
orang melakoni upacara yaitu dengan bersuci dimana
orang yang terlibat harus suci dari hadas besar atau kecil.
Dewasa ini, prosesi Nit Ni Wang dilakukan untuk
menandai “relijius dan sosial” mereka ditengah kehidupan
masyarakat. Tidak diketahui secara pasti kapan awal
mula dilaksanakan tradisi Nit Ni Wang, tetapi jelaslah
bahwa ada perlakuan khusus dari masyarakat terhadap
tradisi tersebut. Seluruh prosesi pengsakralan tersebut
bermuara pada penemuan berkah. Dengan demikian Nit
Ni Wang mengandung mitologi dan mistifikasi. Miitologi
dan mistifikasi itu tidak datang dengan sendirinya akan
252

tetapi melalui proses pelembagaan dan habitualisasi


untuk mestarikan tradisi Nit Ni Wang digunakanlah
berbagai sarana dan instrumen yang mendukung yaitu
pengajian, yasinan, tahlilan, dan berbagai upacara yang
bermuatan religius.
2. Konstruksi Sosial Tradisi Yelim dan Nit Ni Wang.
Eksternalisasi: momen adaptasi diri
Eksternalisasi merupakan proses awal dalam
konstruksi sosial. Ia merupakan momen adaptasi diri
dengan dunia sosio kultural. Dalam momen ini, sarana
yang digunakan adalah bahasa dan tindakan. Manusia
menggunakan bahasa untuk melakukan adaptasi dengan
dunia sosiokulturalnya dan kemudian tindakannya juga
disesuiakan dengan dunia sosiokulturalnya. Pada momen
ini, terkadang dijumpai orang yang mampu beradaptasi
dan juga ada yang tidak mampu beradaptasi. Penerimaan
dan penolakan tergantung dari mampu atau tidaknya
individu untuk menyesuaikan dengan dunia sosiokultural
tersebut. Secara konseptual, momen penyesuaian diri
dengan sosiokultural tesebut dapat digambarkan sebagai
berikut:
Pertama, penyesuaian dengan teks-teks suci.
Ungkapan di dalam teks-teks suci (al-quran dan al-hadis)
dapat dipakai sebagai peijakan untuk memberikan
ligitimasi tentang benar atau tidaknya tradisi yang
dilakukan oleh para pendahulu. Teks-teks suci tersebut
dapat menjadi pedoman bagi pelaksanaan berbagai
tradisi islam lokal tersbut. Berbagai ceramah dan khotbah
dilakukan di masjid, pertemuan tokoh- tokoh adat yang
menjelaskan tentang perlunya menjaga tradisi. Adanya
himbauan dari tokoh agama dan tokoh adat tentang
pentingnya tradisi Yelimdan Nit Ni Wang bagi masyarakat
253

Islam Kei Kota Tual, bahwa semua ritual yang ditujukan


kepada orang tua atau sanak kerabat serta leluhur yang
sudah meninggal adalah tindakan terpuji. Anak sholeh
yang mau mendoakan kepada orang tuanya yang telah
meninggal adalah idaman bagi seluruh orang Islam.
Setiap tradisi memiliki dasar legitimasinya masing-
masing bisa dari sejarah baku atau sejarah lisan, bisa
juga dari kitab-kitab yang dianggap sebagai reverensi
penting, meskipun bukan kitab standar yang berisi
religius, magisme yang mendasari berbagai tindakan
ritual. Tradisi Yelim dan Nit Ni Wang memiliki rujukan,
baik yang bersumber dari teks-teks suci al-quran dan al-
hadits, maupun yang dianggap sebagau rujukan penting
dari sejarah lisan maupun pernyataan para tokoh agama
dan tokoh adat. Upacara ritual Nit Ni Wang yang
kemudian menjadi sedekah bagi para leluhur, dianggap
sebagai pelestarian warisan leluhur yang bersumber dari
sejarah lisan. Selain itu juga memiliki rujukan teks suci
yang berpangkal dari Al-Quran dan Al-Hadits
sebagaimana penafsiran yang dilakukanya. Nit Ni Wang
adalah ungkapan rasa syukur dan penghormatan
terhadap para leluhur yang telah meninggal dunia melalui
pelaksanaan doa dalam bentuk yasinan, tahalilan. Yang
semua itu dianggap memiliki basis nilai di dalam ajaran
agama Islam.
Kedua, penyesuaian dengan nilai-nilai dalam
tradisi lama. Ada dua tindakan yang ditampilakan dalam
proses penyesuaian tindakan individu dengan nilai dalam
tradisi lama, yaitu penerimaan dan penolakan.
Penerimaan terhadap nilai dalam tradisi lama biasanya
berwujud dalam tindakan partisipatif dalam berbagai
tradisi yang dilakukan diberbagai ruang budaya.
254

Banyaknya warga masyarakat yang terlibat di dalam


kegiatan Ye lim dan Nit Ni Wang menandakan bahwa
secara umum masyarkat menerima tradisi tersebut yang
sudah dikemas sedemikian rupa. Banyaknya masyarakat
yang melakukan upacara Nit Niwang juga
mengindikasikan tindakan penerimaan tradisi tersebut.
Namun demikian, ada juga sebagian warga
masyarakat yang menolak terhadap pelestarian nilai
dalam tradisi lama. Penolakan itu juga berbasis pada
teks-teks suci berdasarkan cara pandang mereka. Bentuk
penolakan itu ialah dengan penggunaan bahasa, seperti
Nit Ni Wang yang dilakukan dengan cara memberikan
sesajien kepada para arwah leluhur adalah bentuk
tahayul, bid’ah dan khuravat. Penolakan tersebut juga
berupa ketidak patuhan sebagai serana untuk
membuktikan bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut
tidaklah benar adanya. Kepercayaan itu hanyalah mitos-
mitos yang dilestarikan.
3. Objektivasi: Momen Interaksi Diri Dengan Dunia
Sosio Kultural
Didalam objektivitas, realitas sosial itu seakan-
akan berada diluar diri manusia. Ia mejadi realitas
objektif. Karena objektif, sepertinya ada dua relitas, yaitu
realitas diri yang subjektif dan realitas lainnya yang
berada di luar diri yang objektif. Dua realitas itu
membentuk jaringan interaksi intersubjektif. Melalu proses
pelembagaan atau institusionalsasi. Proses di dalam
objektivitas itu dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, Tradisi Ye Lim dan Nit Ni Wang dan
masyarakat adalah dua entitas yang berbeda. Untuk bisa
sampai kearah itu diperlukan penyadaran bahwa tradisi
tersebut memiliki kelibihan, karena dapat mendekatkan
255

manusia kepada Allah. Prosesi Nit Ni Wang misalnya


menjadi wasilah atau perantara yang dapat
menghubungkan antara manusia dengan Allah. Untuk
dapat menjadi wasilah haruslah memenuhi persyaratan-
persyaratan kedekatan dan kesucian. Kedekatan bisa
diperoleh karena upaya-upaya individual yang dilakukan
oleh sesorang dalam berhubungan dengan Allah lewat
zikir atai wirid dan riyadah yang sistematis dan terstruktur.
Melalui kedekatan (takarub) akan memunculkan aurah
yang disebut sebagai kesucian. Dengan demikian,
kesucian adalah level kedua yang diperoleh oleh
seseorang lewat level pertamanya dipenuhi. Lewat
kesucian, wasilah dapat dimaknai. Dalam berbagai acara
Nit Ni Wang, yang dipentingkan adalah pembacaan zikir,
mengagungkan asma Allah, yasinan, disertai dengan
pemujaan kepada arwah leluhur, dalam pengabungan
inilah disebut dengan istilah (Sob Duad Nit), yang
bermakna penyembahan kepada Tuhan dan leluhur yang
penuh dengan “keajaiban”, “misteri”, yang “lain” dari yang
biasa, baik yang menyangkut kegiatan keagamaan
individual maupun ibadah sosialnya.
Kedua, Ye Lim dan lebih khusus kepada Nit Ni
Wang, memiliki kekuatan supra natural dan manusia
biasa hanya memiliki kekuatan natural. Agar sampai
kepada kesadaran seperti itu diperlukan penyadaran
yang dibarengi dengan penguatan-penguatan
“kelebihan” melalui dalil-dalil atau nash-nash yang
memiliki rujukan sampai kepada Nabi Muhammad.
Misalnya, banyak tempat- tempat keramat yang
dinisbahkan kepada para leluhur, hakikatnya berasal
dari sunnah sahabat yang memiliki kecendrungan untuk
menghormati tempat- tempat keramat seperti makam
256

dan lain sebagainya. Di tanah Arab banyak makam


keramat yang dinisbatakan kepada para Wali, Nabi dan
sahabat Nabi, bahkan dhzurriyat.
Ketiga, pelembagaan atau institusional, yaitu
proses untuk membangun kesadaran menjadi tindakan.
Didalam proses pelembagaan tersebut, nilai- nilai yang
menjadi pedoman didalam melakukan interpertasi
terhadap tindakan telah menjadi bagian yang tak
terpisahkan sehingga apa yang disadari adalah apa
yang dilakukan. Mereka yang melakukan tradisi Ye Lim
dan Nit Ni Wang tentunya tidak hanya berdasar atas
tindakan berpura-pura tetapi telah menjadi tindakan
bertujuan. Mereka tahu tentang apa sebenarnya manfaat
tindakan itu bagi dirinya. Dalam melakukan amalan
dengan menggunakan wasilah-wasilah dari para leluhur
mereka, mereka tahu siapa leluhur atau moyang yang
dikeramatkan itu. Jika mereka berziarah ke tempat-
tempat keramatmereka juga mengetahui arti pentinnya
bagi dirinya. Jika mereka melakukan upacara-upacara
(ritual atau serimonial), mereka juga tahu apa arti
pentingnya upacara tersebut bagi dirinya. sesungguhnya
melalui proses pelembagaan tersebut, tindakan individu
telah diperhitungkan secara matang dan konseptual,
sehingga tindakannya itu menjadi tindakan rasional
bertujuan.
Keempat, habitualisasi atau pembiasaan, yaitu
proses dimana tindakan rasional bertujuan itu telah
menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Tidak
dibutuhkan lagi berbagai penafsiran terhadap tindakan,
karena tindakan tersebut telah menjadi bagian dari sitem
kognitif dan system evaluatifnya. Peta kesadarannya
telah menerima dan system evaluasi yang berasal dari
257

sistem nilai juga telah menjadi bagian didalam seluruh


mekanisme kehidupannya. Dengan demikian, ketika
suatu tindakan telah menjadi sesuatu yang habitat, maka
telah menjadi tindakan mekanis, yang mesti dialkukan
begitu saja. Seseorang akan melakukan Nit Ni Wang,
datang kemakam, atau mesjid kemudian tiba-tiba hal-
hal yang berkaitan dengannya. Seseorang akan datang
shalat jamaah dimesjid, jika hal itu telah menjadi habitual
action-nya. Seseorang akan datang ketempat yang
dikermatkan, ketika dia merasa bahwa suda saatnya dia
melakukan ziarah makam, seseorang juga akan datang
kesumur wali, manakalah dia membutuhkan sesuatu
darinya. Seseorang yang dsatang berkali-kali ke acara
ratiban, juga didasari oleh kenyataan adanya
habitualisasi tersebut.
Dari keseluruhan proses ini, kata kuncinya
terletak pada adanya age yang memain peran penting
sebagai individu atau sekelompok individu untuk proses
penyadaran, pelenbagaan dan habitualisasi memerlukan
peran agen. Oleh Karen itu, didalam proses membangun
mitologi dan mistifikasi terhadap makam, sumur dan
mesjid juga melibatakan jaringan agen-agen tersebut.
Didalam kegiatan jam’iyah Nit Ni Wang tahlil dimasing-
masing Ohoi, maka didapati agen-agen yang
menyuarakan pentingnya membangun dan menjaga
bangunan-bangunan suci tersebut sebagai lambang
atau simbol Islam. Menjaga tempat keramat dan makam
berarti turut serta melestarikan warisan leluhur yang
berupa symbol-simbol Islam. Bukankah makam wali
yang dikeramatkan adalah lambang bagi orang yang
menyebar Islam dimasa lalu. Oleh karena itu perlu
dimitoskan agar “kesucian” mereka ituterus terjaga.
258

Didalam berbagai ceramah atau pengajian yang


diselnggarakan oleh ustat atau ulama akan dijumpai
kehendak untuk melestarikan warisan ritual dan budaya
itu sekaligus.
4. Internalisasi: Momen Indentifikasi Diri dalam Dunia
Sosio-Kultural
Internalisasi adalah proses individu melakukan
identifikasi diri di dalam dunia sosio-kulturalyna.
Internalisasi merupakan proses penarikan realitas sosila
kedalam diri atau realitas sosial menjadi kenyataan
subjektif. Realitas sosial itu berada didalam diri manusia
dan dengan cara itu maka diri manusia akan
teridentifikasi didalam dunia sosio-kulturalnya.
Secara kodrati, manusia memiliki kecendrungan
untuk mengelompok. Artinya, manusia akan selalu bera
didalam kelompok, yang kebanyakan didasarkan atas
dasar seidentitas. Sekat interaksi tidak dijumpai jika
manusia berada didalamidentitas yang sama. Jika
sesama warga Kei, maka sacara leluasa juga dapat
melakukan interaksi yang intensif. Berbeda pula dengan
warga KeiMuslim.berinteraksi dengan beragama
Kristen, demikian pula dengan sistem sosial lainnya
seperti stratifikasi sosial yang berlaku pada masyarakat
Kei baik yang muslim maupun non muslim dengan istilah
mel, rend an iri, tentunya akan sangat terbatas pula
pada persoalan-persoalan segmental. Dalam segmen
tertentu bisa berkomunikasi tetapi dalam segmen lain
akan membatasi diri.
Itulah sebabnya terdapat penggolongan sosial,
misalnya sesama orang Kei tetapi teridentifikasi di dalam
stratifikasi social pada masyarakat Kei . Penggolangan
social itu tentunya memiliki basis nilai dan historis. Basis
259

historis antara mel, ren dan iri,serta kategorisasi dalam


tiga kelompok berdasarkan kompetensi yakni kelompok
Adat, Kuvni dan Agam, tentunya dapat dirunut dalam
sejarah panjang masyarakat Kei, baik aspek sosial
keagamaan. yang semenjak awal memiliki komitmen
terhadap penguatan dan pelestarian adat, (adat),
Pemerintahan (Kuvni), dan Agama (agam)Kelompok
adat ini didasrkan atas kenyataan “banyaknya” amalan-
amalan dan pengetahuan tentang adat larvul ngabal
yang memuat tradisi-tradisi lokal, sama halnya dengan
kelompok pemerintahan (Kuvni) dan Agama (Agam).
Dengan demikian maka ketiga kelompok ini bisa
bersinergi secara langsung untuk merawat dan
melestarikan atau proses pembudayaan tradisi lokal.
Ketiga kategorisasi diatas juga memiliki resistensi ketika
mempertahankan tradisi- tradisi lokalnya. Dari basis
nilai, bertahan diatas nilai tradisi yang dianggapnya
resisten ketika bersinggungan dengan strativikasi
sosial“mel, rend an iriri” yang merupakan nilai asasiah
(dasar) dalam adat Larvul ngabal. Sedangkan ada pihak-
pihak yang beranggapan bahwa persoalan tradisi-tradisi
lokal yang dinyatakan sebagai yang bertentangan
dengan nilai ajaran secara teologis, dan sangat
menentukan Islam yang genius atau Islam yang
ditambah-tambahi. Bagi kelompok adat, kuvni dan agam
bahwa persolan melakukan tradisi adalah persoalan urf
atau adat kebiasaan lokal yang tidak mengganggu
keyakinan Islam, meskipun ada pihak- pihak yang
beranggapan sebagai penyimpangan dari genuinitas
Islam. Oleh Karena itu, yang melakukan tradisi Islam
lokal di Kei Kota Tual (Ye Lim dan Nit Ni Wang), telah
beradaptasi dengan nilai- nilai ajaran Islam.
260

Dialektika Eksternalisasi, Objektivasi dan Internalisasi Ye Lim


dan Nit Ni Wang
Momen Proses Fenomena
Eksternal- Penyesuaian Menyesuaikan tradisi lokal Ye
isasi diri dengan Lim dan Nit Ni Wang dengan
dunia sosio teks-teks keagamaansesuai
kultural dengan interpretasi elitadat,
kuvni dan agam terdahulu,
bahwa tindakan upacara adat
memiliki basis historis, ajaran
dan nilai. Menyesuaikan
dengan bahasa dan tindakan
upacara sebagaimana
dicontohkan oleh ulama dan
tuah- tuah adat pada
masyarakat Islam Kei Kota
Tual.

Objektivasi Interaksi diri Penyadaran bahwa tradisi Ye


dengan Lim dan Nit Ni wang bukan
dunia sosio- tradsisi biasa, sehingga ritual
kultural Nit Ni Wang menjadikan
leluhur sebagai wasilah,(sob
duad Nit) yang melalui tempat-
tempat yang dikeramatkan
diyakini memiliki kekuatan,
dani kedekatan, sehingga bisa
menjadi perantara hubungan
dengan Allah SWT.
Pembiasaan tindakan melalui
reproduksi tradisi ye lim dan
nit ni wang, dan kelembagaan
261

tradisi melalui berbagai variasi


tindakan
(pengajian,pertemuan adat
didalam berbagai ruang
budaya).

Internal- Identifikasi Adanya penggolangan sosial


isasi diri dengan yang berbasis historis dengan
dunia sosio- teologis-idiologis,sehingga
kultural tradisi Ye Lim dan Nit Ni
Wang, memperkuat integrasi
antara adat, kuvni dan agam,
dengan strativikasi sosial mel,
ren dan iri, serta islam Kei dan
Kristen yang berbedasehingga
memunculkan ungkapan
seperti adat berkembang
agama juga ikut berkembang
(ai ngam in mel agam in seb)

P. Mitologi Dalam Tindakan Ye Lim dan Nit Ni Wang


Dalam melakukan kegiatan ritual Nit Ni Wang dan Ye
Lim dengan maksud untuk meperoleh barakah (dalam bahasa
Arab) yang kemudian mengalami desimilasi menjadi barkat
orang Kei menyebutnya (barkaat). Apapun namanya, yang
jelas bahwa motif penyebab atau because motive diantara
mereka yang menyelenggarakan ritual tersebut adalah
keinginan yang kuat untuk mendapatkan restu dari para
leluhur, serta rahmat dan kebahagiaan dari Allah SWT (Duad
Nit). Prosessi penyelenggaraan Nit Niwang terebut kemudian
disamakan dengan tahlilanyang maknanya adalah mendoakan
262

para leluhurnya untuk mendapat safaat atau ampunan. Jadi


baik proses sampai hasil akhir dari rangkaian prosesi tersebut
adalah doa untuk roh leluhur mereka dapat diterima, dan
kepada mereka mendapatkan kesalamatan dan kebahagiaan.
Untuk memperoleh keberkahan tersebut, maka
dilakukanlah traddisi Yelim dan Nit Niwang yang dilakukan di
rumah atau masjid bahkan diluar rumah. Doa juga dilakukan
di tempat-tempat keramat atau makam yang dikeramatkan
sebagai tempat sacral, termasuk di dalamnya mensakralkan
hukum Larvul Ngabal. Adalah pemikiran yang didasari oleh
mitologi. Artinya bahwa kesakralan itu dimitoskan. Ia menjadi
sakral karena dimitoskan sebagai sesuatu yang sakral.
Memang dalam kehidupan ini tidak semuanya bisa dianggap
sebagai realitas yang profan, akan tetapi juga terdapat wilayah
atau lokus yang dianggap sebagai sakral. Untuk menjadi
sakral itu, harus memenuhi persyaratan sebagai sesuatu yang
sakral, yaitu pertama. Ia memang sesuatu yang pantas
disakralkan. Tidak semua makam dianggap sakral karena
tidak memenuhi persyaratn sebagai sakral. Bagi sebagian
umat Islam, makam diangggap sakral kalau ia adalah makam
orang yang pantas disakralkan, seperti penyebar Islam,
makam leluhur yang berjasa dalam mencetuskan adat larvul
ngabal yang diyakini memiliki kelebihan super natural.
Dalam cerita-cerita selalu terdapat toko-toko mitos
yang dengan kekuatan super naturalnya dapat mengubah
sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Dalam dunia mitologi,
sosok manusia bisa menjadi manusia lebih, manusia atau
bendah yag dimitoskan itu kemudian hidup dalam sejarah-
sejarah lisan melalui proses pelembagaan, habitualisai dan
legitimasi. Biasanya melalui proses yang diciptakan oleh kaum
elit, teutama dalam proses kekuasaan. Jadi, memitologikan
makam atau tempat-tempt keramat lainnya juga melalui
263

legitimmasi kekuasaan. Misalnya untuk makam karamat


biasanya oleh para juru kunci atau penjaga makam, untuk
mesjid dapat melalui takmir mesjid dan, hukum Larvul Ngabal
melalui tokoh-tokoh lokal yang berkepentingan terhadap
pelestarian tradisi tersebut. Demikian pula dengan mitos
tentang naga, buaya yang yang berada di tempat-tempat
tertentu dapat melalui raja atau tokoh adat.
Mistifikasi terjadi jika manusia memiliki kekuatan yang
diyakini sebagai kekuatan lebih dibanding manusia lainnya.
Dan memerlukan ruang untuk dapat bertahan. Salah satu
diantara cara untuk mempertahankan mistifikasi itu adalah
melalui proses pelembagaan cerita-cerita keunggulan yang
dimiliki. Pandangan tentang mistifikasi dan mitologi terhadap
makam yang dikeramatkan, naga dan buaya hakekatnya
adalah menempatkan alam sebagai subyek. Alam memiliki
aurah keunikan, misteri dan kekuatan, sehingga dengan
kekuatan seperti itu alam harus ditempatkan dalam dan
menjadi fenomena yang bukan provan. Alam bukan dunia
mutatis mutandis atau ipsofakto. Akantetapi alam adalah
sebagai subyek yang dapat mengatur, menjaga dan
menumbuh kembangkan sesuatu yang lain. Makam yang
dikeramatkan itu bisa meman carkan berkah. Sehingga orang
harus membuat sesuatu yang menyebabkan akan munculnya
berkah tersebut.
Pandangan tentang mistik dan demitologi tentang
alam, hakekatnya adalah kecenderungan berfikir orang
moderen yang menganggap bahwa alam adalah objek. Alam
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia dan bukan
alam memanfaatkan manusia. Alam bukan pengatur, penjaga,
apalagi menumbuh kembangkan sesuatu akan tetapi alam
adalah yang diatur, dijaga dan ditumbuh kembangkan. Alam
adalah bagian dari dunia yang dapat dimanfaatkan secara
264

maksimal untuk manusia. Itulah sebabnya tidak ada


penghormtan manusia terhadap alam. Makam, dan mesjid
adalah tempat yang profan, yang dimanfaatkan untuk
kepentingan manusia. Makam tak lebih adalah tempat
menyimpan jasad manusia yang telah mati dan tidak memiliki
kekuatan apapun. Mitos tentang naga dan budaya dan tidak
memiliki misteri dan kekuatan apapun. Sedangkan mesjid
dianggap suci taklebih karena digunakan sebagai tempat
ibadah yang memang secara sar’I mengharuskan kesucian
tempat ibadah. Jadi makam, dan mesjid tak ubahnya
sebagamana benda-bendah lainnya didunia ini yang tidak
memiliki dunia keunikan, misteri dan kekuatan apapun.
Pandangan terhadap re-mistifikasi dan re-mitologi
muncul ketika orang mulai melihat kembali dunia spritualnya
yang telah hilang. Terlalu menganggap bahwa alam adalah
semata-mata objek akan menyebabkan berbagai kurangnya
penghargaan manusia terhadap alam, sehingga disana-sini
akan muncul sikap merendahkan alam. Dalam keadaan
seperti itu, alam yang memerlukan penjagaan dan
penumbuhkembangkan juga mengalami pemerosotan.
Bahkan dunia kesakralan pun mengalami pelunturan kalau
bukan pemerosotan. Pencurian tehadap meriam tua,
gong,(sad- sad, kusber),batu nisan (maesan-maesan) di
makam-makam tertentu sebagai komoditas yang bisa
diperjualbelikian hakikatnya adalah pandangan trans-rasional
atau pandangan yang menganggap bahwa alam adalah
subjek-subjek. Dengan demikian, alam dipandang menjadi
objek yang rasional dan sekaligus menjadi subjek yang
dimistifikasi.
265

Q. Perubahan Budaya: Dari Tradisi Lokal ke Tradisi Islam


Lokal
Islam tradisi mengandung pengertian tentang adanya
kaitan masa lalu dengan masa sekarang. Ia menunjuk kepada
sesuatu yang diwariskan dari generasi kegenarasi, dan
diwujudkannya masih ada hingga sekarang. Oleh Karena itu,
Shielss (1981:2) sebagaimana dikutip oleh Pranowo (2002:8)
secara ringkas menyatakan bahwa tradisi adalah sesuatu
yang diwariskan atau ditransmisikan dari masa lalu kemasa
kini. Jadi ketika berbicara tentang tradisi Islam berarti
berbicara tentang serangkaian ajaran atau doktrin yang terus
berlangsung dari masa lalu ke masa kini. Jadi ketika berbicara
tentang tradisi Islam berarti berbicara tentang serangkaian
ajaran atau doktrin yang terus berlangsung dari masa lalu
sampai masa sekarang, yang masi ada dan terus berfungsi
didalam kehidupan masyrakat luas.
Namun demikian, tradisi juga bukan sesuatu yang
stagnan, karena ia diwariskan dari satu orang generasi
kepada orang lain atau generasi lain. Akibatnya akan terdapat
perubahan-perubahan baik dalam skala besar maupun kecil.
Dalam salah satu kajiannya, Tibi (1999: 27-28) yang
menggunakan Geertz untuk melihat hubungan antara Islam
dan kebudayaan atau agama sebagai sistem kebudayaan,
bahwa dalam memandang Islam sebagai sebagai agama
ternyata mendapat variasi interpertasi. Hal ini disebabkan
karena Islam berada dalam konteks lokalitasnya masing-
masing. Dia memberikan contoh tentang permainan tambur itu
Islam atau tidak. Bagi penulis Senegal, bahwa permainan
tambur tidak membawa controversial, karena permainan itu
ada dan hidup dalam budaya mereka, akan tetapi kalangan
partisipan Arab akan menolak karena hal itu tidak terdapat
dalam Islam atau Tidak Islam. Perdebatan tentunya mengacu
266

kepada pertanyaan dasar, apakah Islam itu monolitik atau


bukan. Jika mennggunakan kerangka Geertz, sebagaimana
digunakan oleh Tibi (1999:13), maka agama hendaklah dilihat
pada kerangka models of reality (model-model mengenai
reaalitas), dimana agama sebagai model realitas bersifat
kongkrit yang menggambarkan kongruensi struktural dengan
objek yang digambarkan. Di sisi lain, sebagai model dari
realitas bersifat abstrak, yang berupa teori, dogma atau doktrin
yang tidak merupakan kongruensi struktural.
Dengan kata lain, bahwa tradisi tidak hanya diwariskan
tetapi juga dikonstruksikan atau invented. Dalam invented
traditional, tradisi tidak sekedar diwariskan tetapi juga
dikonstruksikan atau serangkaian tindakan yang ditujukan
untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui
pengulangan (repetition), yang secara otomatis mengacu
kepada kesinambungan dengan masa lalu (Habsbawn, 1983:
1-2 sebagaimana dikutip oleh Pranowo, 2001: 9). Jadi,
didalam tradisi ada dua hal yang sangat penting, yaitu
pewarisan dan konstruksi. Pewarisan menunjukan kepada
proses penyebaran tradisi dari masa kemasa sedangkan
konstruksi menunjuk kepada proses pembentukan atau
penamaan tradisi kepada orang lain medium untuk pewarisan
dan untuk membentuk tradisi dapat dilihat dari kerangka
tipologi sebagai berikut:

No Jenis tradisi Medium Penggol. Sosio-


religius
1 Ye Lim dan Pengulangan Pemangku : Adat
Nit Ni melalui Teng (kelompok adat),
wang,makam Wear Naneang, kuvni (kelompok
atau tempat- Ritual Nit Ni Pemerintahan atau
tempat Wang Hi Laay), Agam
267

keramat pengulangan (kelompok Agama,


tindakan ritual di Imam dan Ulama
ruang budaya
2 Melalui ta’lim
bulanan.
Mingguan

Karena pewarisan dan pembentukan tradisi berada


dalam dunia kontekstual, sebagai konsekwensinya adalah
terjadinya perubahan-perubahan. Didalam perubahan selalu
saja ada hal-hal yang tetap dilestarikan, sementara itu ada
yang berubah. Dengan menggunakan konsep Kleden (1987:
169-170) tentang perubahan budaya, maka ada lima pola
perubahan yang harus diamati, yaitu: pertama, pada tataran
sistem nilai adalah dari integrasi, disintegrasi ke reintegrasi.
Kedua, pada tataran sistem kognitif adalah melalui orientasi,
disorientasi ke reorientasi. Ketiga, dari sistem kelembagaan,
maka perubahannya adalah dari reorganisasi, kedisorganisasi
ke reorganisasi. Keempat, dari perubahan dari tataran
interaksi adalah dari sosialsasi, disosilisasi ke resosialisasi.
Kelima, dari tataran kelakuan, maka prosesnya adalah dari
penerimaan tingkah laku, kepenolakan tingka laku dan
penerimaan tingkalaku baru.
Dari perspektif perubahan kognetif, fenomena pada
masyarakat Kei Kota Tual menunjukan perubahan yang
tampak jelas, yaitu perubahan pada level wacana, sepertinya
banyaknya ungkapan nit ni wang untuk menggantikan wacana
tahlilan, Ye Lim bukan hanya dilakukan untuk hal- hal yang
bersifat serimonial atau pada saat ada warga yang meninggal
tetapi sudah ada wacana kearah yang produktif, misalnya ye
lim untuk membiayai pendidikanPerubahan ini tidak terjadi
dengan sendirinya, akan tetapi melalui proses interaksi yang
268

melibatkan peggolongan sosial. Pada masyarakat Kei Kota


Tual, dengan intensitas iteraksi antara golongan relativ tinggi
seperti di Kota Tual, di mana tidak terdapat dominnasi
penggolongan sosial-religus yang cukup menonjol, maka
perubahan-perubahan itu tidak kelihatan.
Dalam tataran upacara komunal, seperti Nit Ni Wang
yang semula menjadi mendominasi pengetahuan budaya
masyarakat Kei kota Tual juga telah berubah sedemikian rupa.
Dewasa ini yang sering disebut atau yang berkembang
adalah tahlill. Perubahan-perubahan ini terjadi karena
intensitas interaksi antara masyarakat dalam berbagai segmen
sosial religion-kulturalnya.
Perubahan juga terjadi pada level tindakan atau
pervorman perilakunya. Dalam sudut pandang perubahan
budaya, maka yang terjadi adalah perubahan sistem
penerimaan tingkalaku baru. Jika pada masalalu, Nit Ni Wang
di makam atau sesaji dipohon-pohon besar disertai dengan
posisi menyembah, maka dewasa ini telah terjadi perubahan,
yaitu dengan cara Nit Ni Wang, dengan cara mereka posisi
duduk biasa saja, dengan iringan doa atau tahalil ringkas.
Perubahan itu tentu saja difasilitasi oleh semakin banyaknya
forum pengajian yang meggelar ceramah dengan tema-tema
keagamaan, termasuk salah satunya adalah tatacara Nit Ni
Wang yang benar sesuai dengan ajaran Islam. Interaksi lewat
forum-forum tersebut, mau tidak mau akan merubah tampilan
perilaku, yang kemudian mengubah seluruh jaringan sistem
budayanya.
Berikut ini adalah skema tentang perubahan tradisi
dikalangan masyarakat Kei Kota Tual :
269

Perubahan tradisi interaksi antara elit dan masyarakat


dalam penggolongan sosial

Interaksi Tradisi sosial


antar elit & Islam Kei
masyarakat Ye lim
dalam dan
nit ni wang
penggolonga
n sosial
Perubahan
dalam tradisi
sosial ye lim
dan nit ni
wang

Tiga tungku
Adat, kuvni,
agam

skema diatas memberikan gambaran proposisi yang


dapat dirumuskan, yaitu: “jika terdapat interaksi antara elit
dengan asyarakat dalam penggolongan sosio cultural pada
tiga tungku yakni adat, kuvni dan agam, pada Ye Lim dan Nit
Ni Wang, Larvul Ngabal, meriam kuno (sad-sad dan
Kusber)makam keramat dan mesjid, naga dan buaya, maka
terjadi perubahan-perubahan upacara dalam tradisi Islam
lokal”.
270

Interkasi antara elit dan masyarakat merupakan suatu


keniscayaan. Didalam setiap kehidupan sosial, maka akan
terjadi hubungan diantara berbagai segmen masyarakat
berdasar atas penggolongan sosial-religius yang ada
dimasyarakat tersebut.
Diantara perubahan tersebut yang menonjol adalah
perubahan dalam sistem kognitifnya, yaitu wacana-wacana
keagamaan yang dahulunya lebih pada istilah lokal Key kota
Tual berubah menjadi lebih kearaban. Nit Ni Wang menjadi
tahlil. Berikut ini adalah perubahan-perubahan ritual
keagamaan dimaksud.

Perubahan Wacana Budaya dan Keagamaan


Masa Medan
No Masa Lalu
Sekarang Budaya
masjid,
1 Nit Ni Wang tahlil
rumah
Ye Lim untuk orang
2 Sidkah Rumah
meninggal
Ye Lim untuk
3 Ye lim Rumah
perkawinan dsb
Rumah dan
4 Maren Gotong royong
luar rumah
Rumah dan
5 Larvul Ngabal Larvul Ngabal
luar rumah
Mitos kepada Naga,
(Nang), buaya (Uve), Sudah
Rumah dan
6 meriam tua (sad- sad mengalami
luar rumah
dan kusber) memiliki penurunan
nilai magis
271

Dengan demikian, gambaran tentang masyarakat adat


dan kuvni yang statis sebagaimana konsepsi Geertz juga
bukan konsepsi tertutup. Artinya melalui interaksi dalam
berbagai level masyarakat, konsepsi adat, kuvni dan agama
juga konsep yang cair (fluid). Selain itu, penelitian ini sekaligus
memberikan gambaran bahwa corak keagamaan orang Kei
Kota Tual yang singkretis pada dasarnya juga kurang
memperoleh pembenaran, disebabkan oleh perubahan-
perubahan yang terus terjadi. Melalui banyaknya toko adat,
kuvni, agamsecara langsung maupun tidak langsung juga
berpengaruh terhadap perubahan-perubahan dikalangan
bawah atau gras-root. Tradisi-tradisisindirian atau tayuban
yang dulu menjadi vestifal penting dikalangan masyarakat
abangan juga suda berkurang bahkan tidak akan ada. Festifal
tayuban yang selalu di kaitkan dengan upacara Nit Ni
Wangsudah berganti menjadi tahlil yang intinya adalah
mendoakan leluhur dan memohon kepada Allah untuk
memperoleh berkah di dalam kehidupan.
272

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penelitian ini, kiranya dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut: Pertama, Kearifan Lokal Tradisi Ye Lim dan
Nit Ni Wang pada masyarakat Kei, pada hakikatnya bertumpu
pada medan budaya Makam dan Masjid. Medan budaya dapat
mempertemukan berbagai varian di dalam penggolongan
sosial religius dan menjadi medan interaksi sebagai wadah
untuk transformasi, legitimasi dan habitualisasi. Melalui medan
budaya, pewarisan tradisi dilakukan dari generasi ke generasi.
Untuk pewarisan tradisi, peran besar dilakukan oleh kaum elit
yang terdapat di dalam masing-masing penggolongan sosio
religius. Dalam proses konstruksi sosial, inti upacara
hakikatnya adalah memperoleh berkah dari Allah dan para
leluhur. Ketika memandang berkah berkaitan dengan makam,
dan masjid maka terdapat dialektika alam sebagai subjek,
objek dan subjek objek, sehingga juga menghasilkan
dialektika sakralisasi, mistifikasi dan mitologi, ke desakralisasi,
demistifikasi dan demitologi dan ke resakralisasi, remitologi
dan remistifikasi. Dialektika tersebut muncul dalam kaitannya
dengan interaksi antara tiga tungku adat kuvni dan agam
(adat,pemerintah dan agama). Dewasa ini muncul ke
permukaan adalah rasionalisasi berkah, sebagai hasil
273

dialektika spiritualisasiberkah dan rasionalisasi.Sebagai akibat


lebih lanjut dari interaksi antar penggolongan sosial religius
tersebut, maka juga terjadi berbagai perubahan, terutama
dalam wacana tradisi ritual Islam lokal maupun konfigurasi
tindakannya.
Kedua, tradisi Islam lokal, hakikatnya juga berada di
dalam proses tarik menarik diantara berbagai varian
ponggolongan sosial, baik yang berbasis religio kultural
maupun religio politik. Berbagai upacara dalam konteks
penggolongan religio kultural seperti tiga tungku adat kuvni
dan agam yang berimplikasi pada pilihan tindakan yang
berbeda, ternyata dapat menggambarkan secara mendasar
tentang mekanisme kaitan antara tradisi Islam lokal dengan
konfigurasi varian penggolongan sosial tersebut.Tiga tungku
memiliki medan budaya yang "sama" ternyata bisa berdialog
dalam mewujudkan tradisi Islam yang kolaboratif. Tradisi lslam
lokal tersebut merupakan jalinan kerja sama antara berbagai
agen dalam penggolongan social religio kultural yang berbeda.
Ketika terjadi dialog di antara berbagai varian penggolongan
sosio religio kultural, maka implikasinya adalah perubahan
perubahan tradisi, baik dalam kawasan wacana maupun
dalam tataran tindakan-tindakan sosial. Jadi interaksi antar
varian dalam penggolongan sosial hakikatnya mempunyai
relevansi dengan perubahan- perubahan tradisi Islam local Ye
Lim dan Nit Ni Wang.
274

B. Refleksi Teoritik
Kajian Geertz tentang The Religion of Java (1981)
memberikan gambaran bahwa terdapat trikhotomi mengenai
varian agama Jawa, yaitu abangan yang berpusat di
pedesaan, santri berpusat di pasar dan priyayi berpusat di
kota. Kajian Geertz, sesungguhnya telah menjadi jendela bagi
berbagai kajian tentang Islam di Indonesia, baik mereka yang
mendukung maupun yang menolak. Di antara yang
mendukung, misalnya berasumsi bahwa Islam di Jawa
memang bercorak sinkretik, artinya terdapat pemaduan
diantara dua atau lebih budaya (Islam, Hindu, Budha,
Animisme) yang disebut sebagai agama Jawa. Agama yang
kelihatannya dari luar Islam, tetapi ketika dilihat secara
mendalam, sebenarnya adalah agama sinkretis.Kajian yang
mendukung Geertz tersebut adalah Beatty (1994) dalam
tulisannya yang bertopik: Adam and Eve and Vishnu:
Syncretism in the Javanese Slametan. Dalam kajian tersebut,
dia menggambarkan bahwa sesungguhnya slametan sebagai
inti upacara di dalam kehidupan orang Jawa adalah gambaran
mengenai sinkretisme antara Islam dengan berbagai
keyakinan lokal lainnya.1

1
Dalam tulisannya yang lain, Andrew Beatty juga menyoroti tentang agama Jawa
yang berporos pada slametan dianggapnya sebagai tindakan sinkretis. Melalui pendekatan
polisemi dan multivokalitas, sebagaimana yang digunakan oleh Leach (1954) dan Turner
(1967) ditemukan bahwa slametan merupakan medium untuk mempertemukan berbagai
275

Meskipun menolak konsepsi Geertz (1981) tentang


singkritisme yang dianggap kurang relevan untuk melihat
Islam di Jawa, Mulder (1999: 3-18) justeru menggunakan
konsep baru, yakni lokalitas. Menurutnya, jika sinkretisme
adalah pemaduan tanpa diketahui mana yang dominan, akan
tetapi dengan konsep lokalitas justeru diketahui mana yang
sesungguhnya dominan dalam percaturan agama Jawa.
Dalam lokalitas, ada unsur yang selalu menyesuaikan. Islam
yang datang belakangan akan menyesuaikan dengan unsur
lokal yang cocok, sehingga inti sesungguhnya adalah unsur
lokalnya dan bukan Islam. Jadi meskipun dari luar tampak
Islam, tetapi hakikatnya adalah agama lokal Jawa.2Dalam
studinya tentang kentrung, Suripan Sadi Hutomo (2001: 269-

penggolongan sosial. Oleh karena itu terdapat ambiguitas simbol ritual yang berhubungan
dengan variasi dan tingkatan di dalam struktur sosial. Periksa Andrew Beatty, The Varieties of
Javanese Religion" (Princeton: Princeton University Press, 1999).
2
Dalam bukunya yang lain, Mulder menegaskan bahwa kejawen atau Jawanisme
sesungguhnya merupakan kesadaran kultural Orang Jawa untuk melestarikan warisan budaya
Jawa secara sungguh-sungguh. Kejawen adalah produk pertemuan antara Islam dan
kebudayaan Jawa kuno, produk dari penjinakan kerajaan-kerajaan Jawa oleh Kongsi Dagang
Belanda (VOC), hasil dari pertemuan kolonial antara orang Jawa dengan Belanda. Jawanisme
bukanlah kategori religius akan tetapi menunjuk pada etika dan gaya hidup yang dijiwai oleh
pemikiran Jawa, sehingga ketika orang berbicara tentang mistisisme Jawa, maka sebenarnya ia
berbicara melampaui agama-agama atau trans-religius. Sebagai produk dialog, kejawen seriny
dalam posisi diametris dengan Islam, misalnya. Oleh karena itu, masa Orde Bam adaliili main
kebangkitan kejawen, dengan kemunculan Aliran Kebatinan dalam kancah politik Dengan
kabangkitan kejawen dalam kehidupan masyarakai, Mulder beranggapan Mistisisme Jawa
adalah sebuah ideojogi. Periksa, Niels Mulder, Mistisisme Jaw,-), Indonesia (Yogyakarta:
LKiS, 2001), h 1-20.
276

279), secara tidak langsung menangkap adanya sinkretisme


dalam budaya Jawa, khususnya kesenian. Meskipun kentrung
adalah medium dakwah para wali, khususnya Sunan Kalijaga,
akan tetapi tampak kekuatan budaya Jawa yang mampu
"memaksakan" sinkretisme ketika harus berhadapan dengan
budaya lain. Inti cerita kentrung merupakan simbol pandangan
hidup orang Jawa yang senantiasa mendambakan
keharmonisan.
Studi lain yang juga bernuansa sinkretik adalah tulisan
Noerid Haloei Radam (2001: 343-350) yang mengkaji
mengenai Religi Orang Bukit. Bagi Orang Bukit, religi bukan
sekedar hanya berkaitan dengan sakral, ilahiah, adikodrati
atau alam lain sesudah kematian melainkan juga pada
perilaku kehidupan keseharian yang bernuansa duniawi. Religi
juga berfungsi dalam kehidupan kemasyarakatan dan
perekonomian. Ketika Religi Huma bersentuhan dengan religi
lain, maka religi Huma dapat "mendudukkan" religi luar
tersebut dalam sistem religi mereka, sehingga tampak terjadi
sinkretisme. Menurut Erni Budiwanli (2001: 342-348) bahwa
Islam Wetu Telu adalah Islam sinkretik dan Islam
nominal.Masuknya Islam ke dalam masyarakat Sasak tidak
serta merta menghilangkan praktik keagamaan yang
bersumber dari praktek-praktek Hindu, animisme dan
antropomorfisme.Islam Wetu Telu masih dipandu oleh adat
dan tradisi lokal, yang merupakan campuran berbagai praktek
277

religius tersebul. Di tengah dinamika yang terus terjadi, agama


Wetu Telu semakin tersudut akibat Islamisasi yang dilakukan
oleh berbagai kalangan, terutama elit Islam Wetu Limo,
sehingga dari hari ke hari, Islam Wetu Telu semakin
terpinggirkan.
Di antara yang menolak, seperti Woodward (1985) dan
kawan-kawan, beranggapan bahwa Islam dan budaya lokal itu
adalah sesuatu yang akulturatif sesuai dengan prosesnya
masing-masing, sehingga antara Islam dan budaya lokal
bukanlah sesuatu yang antonim tetapi kompatibel. Ada proses
mengambil dan menerima, sehingga terjadilah Islam tersebut
sebagai agama yang bercorak khas, Islam Jawa. Yang
mendukung Woodward adalah Muhaimin (2001) dalam
tulisannya tentang Islam di Cirebon.Menurutnya, Islam di Jawa
sesungguhnya adalah Islam lokal, yaitu Islam yang di dalam
praktiknya bersifat akulturatif dengan budaya lokal.Justru
Islamlah intinya ketika berada di tengah budaya lokal yang
bersentuhan dengannya. Kajian Islam dalam konteks budaya
lokal tersebut sampai pada asumsi teoretik bahwa Islam di
Jawa hakikatnya adalah Islam sebagaimana di tempat lain,
yaitu Islam dalam bingkai budaya lokal. Tulisan Bartolomew
(2001) juga identik dengan Islam akulturatif, yaitu Islam yang
mempunyai kemampuan adaptasi dengan budaya lokal. Tidak
dalam bentuk saling mengalahkan dan mendominasi, akan
tetapi saling mengambil dan menerima. Islam Muhammadiyah
278

yang sering direpresentasikan sebagai Islam puris yang di


masyarakat Sasak diwakili oleh Jamaah Al-Azis, dan Islam NU
yang sering diidentikkan dengan Islam tradisional yang di
masyarakat Sasak diwakili oleh Jamaah Al-Jibril, ketika
berada di masyarakat lokal ternyata juga mengalami proses
dialog. Islam dan budaya lokal justru menciptakan
konvergensi.Dalam bidang teologis yang sering bertentangan,
ternyata dapat dikompromikan secara arif terutama ketika
menghadapi keniscayaan dalam perubahan sosial.
Berbagai kajian tersebut menghasilkan konsep yang
bervariasi, Geertz (1981), Beatty melalui pendekatan polisemi
dan multivokalitas (1996, 1999), Hutomo dengan pendekatan
strukturalisme (2001) dan Budiwanti dengan pendekatan
fungsionalisme-alterrtatif (2000) menghasilkan konsep yang
sama yaitu Islam Sinkretik. Mulder dengan pendekatan lokal
genius (1999) menyebut sebagai Lokalisasi Islam. Woodward
melalui pendekatan aksiomatika struktural (1995)
merumuskan sebagai Islam Akulturatif, Muhaimin melalui
pendekatan alternatif (1999) menyebut sebagai Islam
Akulturatif, dan Bartholomew melalui pendekatan kovergensi
(2001) merumuskan Islam Akulturatif.
Konsep sinkretisme jelas mengandung kelemahan,
sebab mengabaikan adanya dialog yang terjadi antara Islam
dengan budaya lokal. Baik kajian yang dilakukan oleh Geertz,
Beatty, Mulder, Budiwanti, Radam dan Hutomo memberikan
279

legitimasi bahwa Islam hanyalah nominal saja, aspek luar,


sebab inti dari semuanya adalah budaya lokal. Islam tidak
mampu menyentuh kedalaman budaya lokal yang adiluhung
dan mendalam, sehingga ketika harus berhadapan dengan
budaya lokal, Islam harus tetap berada di luar. Kajian tentang
Islam dengan konsep akul-turasi yang compatible juga
menyisakan persoalan pada aras macam apa dan bagaimana
Islam dipahami dan sekaligus dikons-truksi menjadi seperti itu.
Jika Islam mengalami proses saling menerima dan memberi
dalam konteks ajaran dan praktek ritual, maka semestinya
terdapat gambaran bagaimana proses kons-truksi Islam
sebagaimana keadaannya sekarang. Dialektika iru yang tidak
diperoleh dalam berbagai kajian tentang Islam akulruratif.3
Kajian Islam dan masyarakat yang menggunakan
konsepsi konstruksi sosial ini menghasilkan suatu tipologi
tambahan, meskipun sesungguhnya berada di dalam kategori
Islam akul turatif mengikuti pandangan Woodward (1985) dan
kawan-kawan dan Islam sinkretik sebagaimana pandangan

3Selain konsep sinkretisme dan akulturasi, ada juga konsep inkulturasi dan

enkulturasi. Konsep inkulturasi memang bukanlah konsep yang lazim digunakan dalam
antropologi, tetapi banyak digunakan dalam kajian pastoral atau misiologi sebagai desain
tugas atas usaha-usaha misionari, Inkulturasi sendiri mengacu kepada pengertian proses
pertemuan dua budaya atau prosoa interaksi antara dua budaya. Pertemuan antara dua
budaya itu melahirkan bentuk eksprnsi budaya tersendiri. Sedangkan enkulturasi adalah
proses belajar budaya atau proses pewarisnn budaya. Budaya bukan sesuatu yang diwariskan
secara biologis tetapi diperoleh melalui prosim belajar. Periksa Pancratius Mariatma,
"Incu/turation and Socio-Cultural Change, The Case nl Indonesia" dalam Joachim G. Piepke
(ed.).Anthropology and Mission, SVD International Consul tation on Anthropology for Mission
(Nettetei: Steyler Verl. Wort u. Werk, 1988), h. 82—83.
280

Geertz (1981) dan kawan-kawan adalah "Islam kolaboratif",


yaitu hubungan antara Islam dan budaya lokal yang bercorak
akul-turatif-sinkretik sebagai hasil konstruksi bersama antara
agen (elit-elit lokal) dengan masyarakat dalam sebuah proses
dialektika yang terjadi secara terus menerus. Ciri-ciri Islam
kolaboratif adalah bangunan Islam yang bercorak khas,
mengadopsi unsur lokal yang tidak bertentangan dengan
Islam dan menguatkan ajaran Islam melalui proses
transformasi secara terus menerus dengan melegitimasinya
berdasarkan atas teks-teks Islam yang dipahami atas dasar
interpretasi elit-elit lokal. Transformasi dilakukan melalui
berbagai medium, sehingga menghasilkan konstruksi sosial
tentang Islam lokal.
Tradisi Islam lokal hasil konstruksi sosial masyarakat
tersebut sesungguhnya merniliki keunikan, tidak bercorak
genuin Islam akan tetapi juga bukan Kejawen akan tetapi
membentuk tradisi Islam yang khas. Yaitu tradisi Islam yang
berporos pada makam, sumur dan masjid yang disebut
sebagai medan budaya (cultural sphere). Medan budaya yang
mempertemukan berbagai segmen masyarakat tersebutpada
gilirannya dapat menjadi medan pertemuan budaya yang
menghasilkan budaya yang khas. Perubahan tidaklah muncul
dengan sendirinya akan tetapi melalui interaksi antar agen
dalam penggolongan sosio-religio-kultural, atau disebut
penggolongan sosial wong abangan, wong NU dan wong
281

Muhammadiyah. Akibat interaksi tersebut secara nyata terlihat


di dalam perubahan-perubahan tradisi, tidak hanya dalam
wacana tetapi juga dalam tindakan. Proposisi berikut dapat
menggambarkan adanya perubahan-perubahan tradisi Islam
lokal yang bercorak khas, yaitu: "jika terdapat interaksi antar
elit dengan masyarakat dalam penggolongan sosial NU,
Muhammadiyah dan abangan, melalui medan budaya sakral,
mistifikatif dan mitologis, maka akan terjadi perubahan-
perubahan budaya dalam tradisi Islam lokal". Hakikat tradisi
Islam lokal, dengan demikian adalah hasil dari proses panjang
konstruksi sosial masyarakat melalui interaksi antara agen
dengan masyarakat dalam konfigurasi penggolongan
sosialnya.
Berbagai konsepsi yang dihasilkan oleh para ahli,
ternyata juga terkait dengan konteks dimana konsep tersebut
dihasilkan dan dibangun. Konsepsi Weber tentang
disenchantment of the world, yang dibangun oleh Weber pada
saat rasionalisasi sedang berkembang dan tumbuh di Eropa
dengan setting budaya masyarakat Barat, ternyata ketika
digunakan sebagai perspektif untuk rnelihat masyarakat Jawa
yang berada dalam transisi juga kurang relevan. Pada
masyarakat Jawa, yang sedang bergerak ke arah rasionalisasi
ternyata justru mengembangkan corak baru dalam aura
spiritualitasnya, yaitu melakukan rasionalisasi spiritualitas.
Rasionalisasi spiritualitas tersebut tidak datang dengan
282

sendirinya akan tetapi melalui proses pergumulan diantara elit


lokal dalam berbagai konfigurasi sosio religiositasnya dengan
masyarakat juga dalam berbagai konfigurasinya. Pergumulan
tersebut tidak hanya sekedar menghasilkan wacana
rasionalitas spiritual, akan tetapi juga menghasilkan tindakan-
tindakan keagamaan yang khas. Dengan demikian, tidak
terjadi pemutusan dunia spiritual dengan dunia
rasional.Proposisi yang dihasilkan melalui penelitian ini
menggambarkan secara utuh bahwa teoritisasi yang
dikemukakan oleh Weber ternyata tidak relevan.Dengan
hanya menggunakan bagan konseptual in order to motive saja
ternyata tidak cukup.Artinya, orang pergi ke makam keramat,
keramat dan masjid keramat untuk memperoleh berkah saja
ternyata tidak cukup. Oleh karena itu, bagan konseptual
sebagai mana diungkapkan oleh Schultz menjadi penting,
yaitu mengangkat because motive. Artinya, orang pergi ke
makam keramat dan masjid untuk melakukan serangkaian
tindakan ritual dipastikan ada faktor penyebabnya.Faklor itu
adalah keyakinan bahwa makamdan masjid itu memiliki
kekeramatan (sakral) dan mistis serta mengandung kekuatan
magis.Jadi, seseorang pergi ke makam keramat, dan masjid
pada hakikatnya disebabkan oleh kekuatan sakral yang
dimiliki oleh ketiganya, sehingga tindakan-tindakan ritual yang
diyakini dapat memperoleh berkah.
283

Weber dan Schultz bisa jadi benar.Akan tetapi ada


satu hal mendasar yang masih tersisa untuk dipertanyakan
adalah bagaimana sakralisasi, mitologi dan mistifikasi tersebut
terjadi di tengah dunia transisional seperti sekarang
ini?Jawabannya ternyata terjadi sebagai akibat dari interaksi
antar golongan sosial di masyarakat. Melalui dialektika alam
sebagai subjek, sebagai objek dan sebagai subjek-objek,4
yang terkait dengan penggolongan sosial dan motif tujuan dan
motif penyebab, sebagaimana dikemukakan dalam proposisi
pertama: "sakralisasi, mistifikasi dan mitologi terhadap medan
budaya terjadi ketika alam dianggap sebagai subjek sehingga
menimbulkan tindakan magis." Proposisi ini menggambarkan
bahwa adanya tindakan untukmemperoleh berkah (in order to
motive) terjadi ketika terdapat serangkaian keyakinan bahwa
makamdan masjid adalah benda-benda yang dapat dipandang
sebagai subjek sakral yang mistifikatif dan mitologis (because
motive). Proposisi ini menyebabkan dunia keyakinan manusia
yang penuh misteri, magis dan mitologis sebagai ciri dari
kebanyakan masyarakat tradisional.
Proposisi kedua: "desakralisasi, demistifikasi dan
demitologis terjadi ketika medan budaya dipandang sebagai
objek sehingga menimbulkan tindakan rasional." Proposisi ini

4
Konsep tentang sakralisasi, mistifikasi dan mitologi serta alam sebagai subjek,
objek dan subjek/objek dalam tulisari ini menukil tulisan Koentowijoyo ketika melihat
fenomena semakin maraknya upacara di dalam kehidupan masyarakat. Periksa Koentowijoyo,
"Mistifikasi dan Mitologi dalam Pemikiran Jawa" dalam Kompas, 30 Desember 2000, h. 4.
284

menggambarkan bahwa ketika masyarakat telah menganggap


makam, sumur dan masjid adalah benda-benda biasa
(sebagai objek), maka akan terjadi desakralisasi, demistifikasi
dan demitologi (because motive) dan menimbulkan tindakan
rasional (in order to motive). Proposisi ini menyibak dunia
modern yang jauh dari keyakinan-keyakinan yang tidak
rasional.Keyakinan bahwa alam sebagai subjek yang sakral,
mitologis dan mistifikatif adalah keyakinan masyarakat
tradisional yang tidak relevan dengan pemikiran rasional yang
menjadi ciri masyarakat modern.Weber hanya sampai disini,
ketika membahas tentang of the world.
Akan tetapi, kenyataannya bahwa pemilahan
Weber itu tidak sepenuhnya benar, mengingat bahwa
pada masyarakat yang memasuki dunia modern disebut
sebagai masa transisional ternyata terjadi dialog antara
dunia keyakinan dengan dunia rasional. Melalui proposisi
ketiga: "resakralisasi, remitologi dan remistifikasi terhadap
rnedan budaya terjadi ketika alam dipandang sebagai
subjek/objek sehingga menimbulkan tindakan
rasionalisasi magis," digambarkan bahwa berkah yang
semula bermakna sebagai sesuatu yang tak terselami, sakral
dan berupa mitos ternyata dapat dirasionalkan dalam
bentuk yang bersifat fisikal dan material. Harta, pangkat,
jodoh, ketentraman dan sebagainya adalah wujud kongkrit
dari tradisi Ye Lim sebagai wujud rasa kepedulian antar
285

sesama dan Nit Ni Wang utuk mendapatkan berkah dari


Allah SWT dan para leluhur. Melalui proposisi ketiga inilah
tesis Weber tentang disenchantment of the world tidak
ditemukan konteksnya di dalam dunia empirik.
Berger (1984: 32) menambahkan konsepsi tentang
motif yang disebutnya sebagai pragmatic motive.5Motif ini terjadi
ketika pengetahuan manusia ditentukan oleh kepentingan
pragmatis individu setiap hari.Manusia melakukan tindakan
berdasarkan atas pengetahuannya tentang ada atau
tidaknya kepentingan.Jadi, semakin besar kepentingan
dibalik tindakan, maka akansemakin besarpula akan tindakan
tersebut. Motif pragmatis inilah yang sesusahauntuk
melakuungguhnya memicu berbagai benturan di antara
individu. Namun demikian, karena realitas dunia kehidupan
keseharian, hakikatnya adalah terbagi dengan yang lain,
maka manusia mengembangkan pengetahuan untuk
berbagi dengan yang lain. Melalui pengetahuan seperti itulah,
maka akanterjadi keteraturan dan keseimbangan dalam
dinamika hubungan sosial.
Manusia mengembangkan pengetahuan, kesadaran
dan pengalaman untuk berbagi dengan yang lain melalui

5 Jika Weber menyebut sebagai motif tujuan, artinya individu melakukan tindakan

didasarkan nl;i» tujuan apa dibalik tindakan itu, sedangkan Schutz menambahkan bahwa
individu melukukiin tindakan didasarkan atas faktor penyebab, maka Berger menambahkan
bahwa individu moliikukrtii tindakan didasarkan atas motif kepentingan. Jika motif tujuan
bernuansa psikhologis, molll lenyebab juga bernuansa psikhologis,"maka motif kepentingan
kelihatan dipengaruhi oloh cnm werpikir kaum Marxian, yaitu motif yang bersifat pisik atau
materi.
286

proses transformasi dan sosialisasi. Proses itu terjadi di dalam


kehidupansehari-hari kebanyakan melaluiace to face
relationship. Memang, kebanyakan pengalaman manusia
dengan yang lain terjadi di dalam hubungan tatap muka,
sehingga setiap individu haruslah memandang dan memahami
manusia lainnya didalam konteks itu. Melalui proses belajar
budaya tersebut, terjadilah kemudian proses pelembagaan
atau institusionalisasi, yang merupakan tindakan sehari-hari.
Tindakan sehari-hari yang telah melembaga tersebut, tidak
hanya dipahami oleh si empunya tindakan, akan tetapi
dipahami oleh individu lainnya dalam kerangka negosiated
meaning.
Tindakan religius, pada dasarnya juga merupakan hasil
negosiasi antara satu individu dengan lainnya.Dia dipahami
secara terbagi antara satu dengan lainnya melalui Ye Lim dan
Nit Ni Wang yang dilakukan secara terus menerus, sehingga
membentuk tindakan yang terbagi tersebut.Karena agama
adalah common knowledge meskipun derajat pemahamannya
berbeda-beda, maka hakikat agama adalah hasil konstruksi
bersama melalui pemahaman di antara individu-individu
melalui institusionalisasi.6

6 Dalam pandangan Berger, bahwa salah satu persyaratan dasar untuk

mengkonstruksi kebudayaan adalah lembaga-lembaga "pengingat" yang selama berabad-


abad berperan sebagai pengingat "kealpaan" yang terjadi di masyarakat. Untuk hal ini, salah
satu pengingat penting itu adalah ritual religius.Melalui ritual religius inilah lembaga-lembaga
memperoleh legitimasinya untuk mempertahankan tatanan sosial yang telah terbangun
287

Dalam proses eksternalisasi, hakikat agama adalah


kons-truksi sosial. Di dalam fase ini terdapat proses
penyesuaian diri dengan teks-teks suci atau norrna-norma
yang telah diinter-pretasikan oleh elite atau agen-agen di
dalam suatu masyarakat. Di dalam proses penyesuaian ini
tentu saja terdapat problem penyesuaian atau yang disebut
sebagai penyimpangan sosial. Adaptasi dengan dunia sosio-
kultural tersebut memanfaatkan bahasa dan tindakan. Jika di
dalam suatu masyarakat terdapat suatu tradisi yang kuat,
maka akan memunculkan berbagai resistensi yang berupa
bahasa atau tindakan yang berbeda dengan arus utamanya.
Manusia tidak memiliki dunianya sendiri.Oleh karena
itu dia membangun dunianya melalui
kebudayaan.Kebudayaan merupakan produk dan selalu
direproduksi oleh manusia.Karena kebudayaan selalu dalam
posisi becoming dan bukan given, maka struktur kebudayaan
memiliki daya rentan dalam menghadapi perubahan-
perubahan.Disinilah terdapat keniscayaan perubahan
kebudayaan. Namun demikian, agama memiliki sumbangan
relatif stabil dalam proses pembangunan dunia.7
Pada tataran objektivasi, agama adalah suatu usaha
manusia untuk membentuk suatu kosmos keramat. Dengan

dalam selang waktu yang lama. Periksa, Peter L Berger, Langit Suci: Agama sebagai Realitas
Sosial (Jakarta: LP3ES, 1991), h. 49.
7Mengenai sumbangan agama terhadap pembangunan dunia, periksa Peter L

Berger, Langit Sue/..., h. 3-34.


288

kata lain, agama adalah kosmisasi dalam suatu cara yang


keramat (sakral). Yang dimaksud dengan keramat adalah
suatu kualitas kekuasaan yang misterius dan menakjubkan,
bukan dari manusia tetapi berkaitan dengannya, yang diyakini
berada di dalam objek-objek pengalaman tertentu (Berger,
1991: 32).8Menurut Otto (sebagai-mana dikutip oleh O'Dea,
1985: 38—39), bahwa hal yang kudus atau numinous
merupakan suatu yang berada di luar konsepsi rasional dan
etika. Dalam tiga konsepsi agama dijumpai konsep qadosh
(Yahudi), ayios (Yunani) dan sanctus atau sacar (Latin) yang
menunjukkan inti terdalam agama yang riil. Yang kudus
adalah suatu kekuatan hidup yang tertinggi, sesuatu yang tak
terselami dan mengatasi segala makhluk, yang tersembunyi
dan esoterik. Atau yang kudus adalah getaran dan pesona
mysterium tremendum et fascinosum.9

8Agama sering dikaitkan dengan problem theodicy adalah bagaimanakah Tuhan

yang memiliki kemahakuasaan (omnipotent) ternyata juga memiliki dualisme sikap menyintai
dan menghukum bahkan menciptakan setan untuk kepentingan itu. Periksa Bryan S. Turner,
Religion and Soda! Theory (London: Sage Publications, 1991), 80-84. Mengikuti pendapat
Weber, Berger menyatakan bahwa ada empat tipe teodisi rasional, yaitu janji dan ganjaran di
dunia ini, janji dan ganjaran di "sana", dualisme, doktrin karma. Periksa juga Peter L. Berger,
Langit Sue/..., h. 64—65.
9
Yang numinus memiliki dua sifat, yaitu kekaguman dan ketakutan, dan juga
ketertarikan atau keterpikatan.Tuhan itu tremendum tetapi sekaligus juga facsinosum.Yang
numinus memiliki dua sifat, yaitu kekaguman dan ketakutan, dan juga ketertarikan atau
keterpikatan.Tuhan itu tremendum tetapi sekaligus juga facsinosum. Karena yang tremendum
dan facsinosum itu mengandung misteri, maka tidak dapat ditangkap dengan rasio belaka,
akan tetapi membutuhkan sesuatu yang beyond rationality. Yang llahi itu tidak dapat
sepenuhnya diterangkan, ditangkap dan dimengerti oleh akal manusia, karena "Yang llahi itu
Misteri, Yang tak dapat diterangkan, Yang lain sama sekali, Yang melebihi." Periksa,
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h. 104—105.
289

Yang mysterium dan facsinosum itulah inti dari


mistifikasi di dalam agama-agama. Jika agama kehilangan
misterinya, maka akan kehilangan daya pesonanya. Semakin
mistifikatif agama itu, akan menyebabkan manusia semakin
sungguh-sungguh untuk mencari dan menemukannya. Puncak
dari proses mistifikasi itu¬lah yang dikenal dalam dunia
agama-agama lokal sebagai relasi antara Tuhan dan manusia
atau terbukanya hijab atau tabir antara manusia dengan
Tuhan. Dengan demikian, tindakan orang yang melakukan
ritual, hakikatnya adalah proses pencarian terhadap dunia
misteri yang tak terselami itu, apakah akan menemukan atau
bahkan tidak pernah menemukannya.10
Yang misterius itu tidak akan tetap bertahan jika tidak
di-lembagakan melalui berbagai performance ritus yang
dilestarikan secara terus menerus. Pelestarian ritus itu melalui
apa yang disebut sebagai mitologi. Cassirer sebagaimana
dikutip oleh O'Dea (1985: 80-81) menyatakan: "melalui mitos,
manusia tidak hanya menjelaskan dunia mereka tetapi secara
simbolis juga menampil-kannya kembali. Mitos mempunyai
cara lain dalam melihat dunia, suatu cara mengungkapkan
kesatuannya bersama dengan keterlibatan emosional manusia

10Pengalaman dalam berhubungan dengan Tuhan atau relasi manusia dengan

Tuhan banyak dijumpai di kalangan penganut sufisme. Di dalam dunia mistik (mistisisme) aiau
dunia pengalaman manusia dalam berhubungan dengan Tuhan yang bersifat esoteris,
terdapat dua keyakinan, yaitu manusia diserap oleh kekuatan Tuhan atau disebut sebagai
Hulul dan Tuhan diserap oleh kekuatan manusia yang disebut sebagai wihdatui wujud. Dalam
sejarah pergumulan Islam di Jawa dijumpai nama Syaikh Siti Jenar yang dianggap
mempraktekkan ajaran agama yang bersifat wihdatui wujud.
290

dan partisipasi di dalamnya." Mitos merupakan proses untuk


pelembagaan ritus sebagai ajaran penting di dalam agama-
agama. Dalam konsepsi Berger (1991: 36) disebut sebagai
legitimasi, yaitu "pengetahuan yang diobjek-tivasikan secara
sosial yang bertindak untuk menjelaskan dan membenarkan
tatanan sosial." Ritus, bagaimana pun juga akan tetap lestari
di dalam kehidupan masyarakat selama terdapat proses
legitimasi. Berbagai ritus dan pemujaan di dalam agama-
agama popular, selalu melibatkan berbagai legitimasi,
terutama melalui mitos-mitos yang dibangun oleh elit-elit
sosial.Tujuan utama legitimasi adalah agar tatanan sosial
tetap bertahan.
Pada tataran internalisasi, momen yang terjadi adalah
iden-tifikasi diri dengan dunia sosiokultural.11Inti teori
kebudayaan dalarn perspektif Berger (1984) adalah tentang
dialektika self dan body atau diri di dalam hubungannya
dengan dunia sosial.Sebagai inti teori kebudayaan, kiranya
perlu untuk ditegaskan bahwa konsepsi Berger tersebut juga
memiliki bias lokalitas.Konsepsi yang dibangun atas dasar
lokalitas masyarakat barat yang sekuler, maju dan rasional

11Mengenai problem internalisasi realitas, terdapat empat hal periling yaitu

sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder, internalisasi dan struktur sosial, teori identitas
serta organisme dan identitas.Terkait dengan teori identitas, identitas merupakan elemen
kunci dari realitas subjektif dan dialeklikanya. Identitas dibentuk oleh proses sosial dan
kemudian identitas tersebut mereaksi balik terhadap masyarakat. Periksa uraian lebih lanjut
dalam Peter Berger and Thomas Luckman: The Soda! Construction of Reality dalam Ramlan
Surbakti, Formal Organization, dihimpun dari Berbagai Internet, Bahan Perkuliahan llmu-llmu
Sosial, 2001.
291

juga haruslah direvisi ulang ketika pola dialektika tersebut


digunakan untuk rnelihat masyarakat transisional, seperti
masyarakat Jawa pesisiran, yang masih mengagungkan aura
spiritualitas. Masyarakat selalu dalam proses pergeseran.
Namun demikian, di antara perubahan yang terjadi masih
menyisakan spiritualitas yang sepertinya tak lekang oleh
panas matahari dan tak lapuk oleh hujan. Dalam aras yang
paling dalam, tampak bahwa dunia kosmologi masih tetap
dominan.12 Meskipun berbagai tradisi baru masuk ke dataran
masyarakat Jawa, tetapi suatu hal yang tetap kelihatan
menge-depan dalam performance kehidupan adalah ritual
yang bersumber dari kosmologi Jawa. Dari kerangka
konseptual ini, pemilahan se/dan body yang sangat ketat
akanmenemui kendala empiris. Jadi di dalam dialektika itu
mestilah ditemukan konsep yang dapat mewadahi
terpeliharanya aura spiritualitas individu, yaitu
self/body.Penomena tindakan rasionalitas-magis atau secara
lebih empirik materialisasi berkah, hakikatnya merupakan
kontekstualisasi diri di tengah tuntutan kepentingan duniawi.
Berdasarkan analisis motif pragmatis, manusia tidak
dapathidup keseharian dengan manggunakan berkah yang
"tidak nyata" tetapi harus hidup dengan berkah yang

12 Melihat begitu dominannya kosmologi pada masyarakal Jawa, Irwan Abdullah

kelika mellhat upacara-upacara di Kesultanan Jogjakarta, menyatakan bahwa kosmologi Jawa


merupakan dasar dari sinkretisrne di kalangan ma'syarakat Periksa Irwan Abdullah, "Kraton,
Upacara dan Politik Simbol: Kosmologi dan Sinkrelisme di Jawa, Humaniora, No. 1, Vol. 1,
1990.
292

"menduniawi." Itu berarti bahwa manusia mestilah menutup


dua kebutuhan sekaligus, yaitu kebutuhan spiritual dan materi.
Dewasa ini, manusia sedang hidup dalam dunia materi
yang melimpah sebagai akibat eksploitasi dunia secara
maksimal yang dilakukannya.Dampak yang terjadi kemudian
adalah "pe-mujaan" terhadap materi secara berlebihan,
sehingga tindakan manusia menjadi semakin
materialistis.Yang menentukan bukan lagi ideologi, agama
atau etika tetapi oleh materi dan instrumen
pendampingnya.Materi dan rasio merupakan pasangan dalam
menggapai kehidupan di era modern.
Sama seperti Weber, Berger (1984: 55-56)
menyatakan bahwa infrastruktur penting modernitas adalah
rasionalitas.Menurutnya, tehnologi, birokrasi dan pluralisme
adalah institusi dominan dalam modernisasi.13
Berdasarkan kajian-kajian Weber (1988), Turner
(1991), Berger (1991) dan Poole (1993)14 bahwa problem

13
Dalam bukunya yang lain, secara sarkastis Berger menunjuk bahwa dewasa ini,
hampir semua lembaga edukasi dan masyarakat telah di bombardir sedemikian kuat dengan
berbagai ide, gambaran-gambaran dan model-model tingkah laku yang secara intrinsik
berhubungan dengan produksi berteknologi. Selain itu birokrasi juga menjadi sarana
modernisasi yang efektif, karena melalui birokrasi itulah pesan-pesan modernisasi
dikukuhkan. Periksa Peter L. Berger, Pikiran Kembara, Modernisasi dan Kesadaran Manusia
(Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 43 dan 61.
14 Di awal tulisannya di bab IV, Ross Poole mengutip Weber tentang rasionalisme

sebagai ciri modernisme sebagai berikut: "Nasib zaman kita dicirikan dengan rasionalisasi dan
intelektualisasi dan mengatasi semua itu, dengan hilangnya pesona dunia". Satu di antara
rasio yang memicu ke arah liberalisme dan individualisme adalah rasionalitas instrumental
yang berwujud dalam pasar, organisasi produksi kapitalis dan efeknya hampir di segala
kegiatan dan hubungan manusia lainnya. Periksa Ross Poole, Moralitas dan Modernitas, di
bawah Bayang-bayang Nihilisme. (Yogyakarta: Kanisius, 1993).
293

utama modernisasi adalah sekularisasi.Hakikat sekularisasi,


sesungguhriya adalah pemisahan antara dunia privat dan
publik. Dalam cara pandang sekularisasi, agama masuk ke
dalam wilayah privat. Ada beberapa pandangan tentang tesis
privatisasi.Parson (1974) dan Bellah (1970) merelokasi
"agama publik" di dalam bentuk-bentuk budaya seperti
American Civil Religion atau Marxism.Sebaliknya, Berger dan
Luckman berbicara tentang "wilayah" publik dan privat, yaitu
penempatan agama hanya di dalam bentuk.Memang,
privatisasi berkait erat dengan diskusi panjang tentang
sekularisasi. Misalnya, Robertson (1977) menyatakan
privatisasi sebagai individualisasi, Bryan Wilson (1976)
menyatakan sebagai hilangnya komunikasi, dan Richard
Fenn, menyatakan sebagai kerenggangan unitas moral.15
Privatisasi agama (Beyer, 1991 dalam Abdullah, 2002:
2) menunjukkan proses individualisasi dalam penghayatan
dan praktik keagamaan. Privatisasi agama tidak hanya
menegaskan pergeseran masyarakat tetapi secara luas juga
mempengaruhi terhadap proses reorganisasi sosial budaya.
Budaya lokal yang merupakan referensi tradisional adalah
yang paling terkena dampak privatisasi agama
ini.Bagaimanapun juga harus diakui bahwa sebagai referensi
tradisional, budaya lokal menghadapi "serangan" yang luar

15 Uraian lebih panjang mengenai ini da"pat dibaca dalam Peter Beyer, Religion in

Globalization (London: Sage Publications, 1997), h. 70—94.


294

biasa besarnya di tengah percaturan globalisasi, privatisasi


dan tekanan pasar yang kapitalistik.Agama sebagai substansi
penting dalam referensi tradisional, juga mengalami
pergumulan hebat di tengah arus utama globalisasi, privatisasi
dan tekanan pasar.Akan tetapi tampaknya, agama mengalami
pergeseran pemaknaan ke dalam dinamika pasar.Banyaknya
tokoh agama yang sekaligus juga kaum konglomerat,
sehingga status sosial dan religiusnya sangat tinggi betapapun
menggambarkan dinamika tuntutan pasar yang semakin
kapitalistik.Seorang individu dianggap "sukses" kalau memiliki
basis materi sangat kuat dan hal itu bersearah dengan basis
sosial-religius yang juga kuat.Kaum juragan, yang haji dan
tokoh agama merupakan simbol "kebahagiaan" yang tampak
di dalam kehidupan.Inilah yang dikonsepsikan sebagai
kehidupan yang "barakah."
Pada masyarakat yang lebih mengedepankan
rasionalitas yang bersearah dengan teknonologi, birokrasi dan
pluralisme, seperti masyarakat barat dalam berbagai
settingnya, sekularisasi memang menjadi keniscayaan.Namun
demikian, pada masyarakat transisional-terutama di negara
sedang berkembang perbincangan tentang sekularisasi
tidaklah memperoleh pembenaran empirik yang memadai.
Religio-magisme yang masih dilakukan oleh sebagian besar
masyarakat dalam berbagai penggolong-an sosialnya adalah
295

contoh kongkrit bagaimana beroperasinya sistem kesadaran


yang bercorak demodernisasi.
Pada sebuah komunitas yang sebagian praktik
ritualnya bertumpu pada medan budaya sakral, mistifikatif dan
mitologis, maka "penolakan semu" terhadap modernisasi juga
menonjol. Di antara penolakan itu adalah masih dominannya
upacara-upacara yang tidak rasional.Ketika ingin meraih
kesuksesan dalam ke¬hidupan, maka tempat yang didatangi
adalah makam keramat, dan masjid.Dunia modern yang ber-
sentuhan dengan efektivitas dan efisiensi, tentunya tidak
relevan dengan berbagai tindakan masyarakat seperti
itu.Mestinya, ada rational choice yang melatari berbagai
tindakan tersebut.
Memang, ada kecenderungan paradoksal, di satu sisi
terjadi semakin meningkatnya rasionalitas di kalangan
masyarakat tetapi di sisi lain juga terdapat kecenderungan
religio-magisme yang tetap kokoh. Paradoks itu
sesungguhnya terjadi dalam aras permukaan. Tetapi ketika
penelusuran ke dalam dilakukan, sebenarnya yang terjadi
adalah komodifikasi agama dalam kehidupan
masyarakat.16Ketika masyarakat dengan referensi

16 Konsep Komodifikasi agama digunakan oieh Irwan Abdullah untuk menandai

agama tidak hanya sebagai sumber nilai dalam pembentukan gaya hidup tetapi lebih sebagai
instrumen bagi gaya hidup itu sendiri. Haji Plus tidak hanya sebagai perjalan spiritual tetapi
juga untuk menegaskan identitas diri. Selain itu agama juga menjadi faktor dalam
pembentukan identitas diri yang sekali lagi menjadi alat dalam menegaskan pluralitas agama
296

tradisionalnya tidak lagi kuat menahan gempuran pasar


dengan hukum kapitalistiknya, maka "adaptasi" pun
dilakukan.Mereka tidak menolak intervensi pasar, tetapi
justeru memanfaatkannya dengan mengubah simbol-
simbolnya.Upacara Ye Lim dan Nit Ni Wang yang dilakukan
dengan melibatkan banyak orang adalah contoh komodifikasi
agama tersebut.Tradisi Ye Lim dan Nit Ni Wang yang
dilakukan secara besar-besaran juga merupakan contoh
realistis beroperasinya tuntutan pasar. Jadi, sebenarnya telah
terjadi perubahan pada aras simbol-simbol agama di tengah
berbagai dinamika kehidupan.
Pada dataran lainnya, semakin maraknya gerakan
keagama-an yang bercorak revivalisme atau gerakan
keagamaan modern juga membawa kecenderungan ke arah
agama yang rasional. Namun demikian, ada suatu hal yang
tetap menarik diperhatikan adalah rasionalisasi agama juga
tidak serta merta menyelesaikan problem kemanusiaan.
Bahkan, menurut Bellah (2000: 234-235) bahwa masih tetap
bertahannya agama rakyat dan sufisme di tengah gempuran
dahsyat kaum skripturalis menandai bahwa skripturalisme
bagaimanapun berhasilnya ia sebagai ideologi, ternyata tidak
dapat memenuhi semua kebutuhan religius. Jadi persoalan
modernisasi Islam hakikatnya juga mengandung problema

dan penganutnya Periksa Irwan Abdullah, "Privatisasi Agama: Globalisasi Gaya Hidup dan
Komodifikasi Agama di Indonesia" dalam Jurnal Wacana, Vol. 2, No.1, Juni 2002, h. 5-3.
297

bukan pada tataran sumbangannya terhadap modernisasi


politik, keluarga atau pribadi, akan tetapi pada tataran apakah
ia secara efektif dapat memenuhi berbagai kebutuhan religius
kaum muslim itu sendiri.
Terjadinya pemahaman agama yang bercorak
rasionalisasi-magis, sesungguhnya adalah jawaban terhadap
adanya kebutuh¬an rohani atau kebutuhan spiritual yang tetap
menggelegak di tengah gempuran modernisasi yang
cenderung eksploitatif. Kearifan lokal seperti ini akan terjadi
manakala terjadi proses penyesuaian diri, interaksi dan
identifikasi diri dengan dunia sosio-kultural yang melibatkan
dinamika hubungan antar agen dalam penggolongan sosial.
Jadi, konfigurasi sosio-religio-kultural pada masyarakat
pesisir telah memberikan gambaran tentang bagaimana
mereka mengkonstruksi tradisinya sendiri di tengah hamparan
medan kehidupan yang kompleks dan menantang. Islam
kolaboratif yang merupakan hasil konstruksi antara agen dan
masyarakat dalam dinamika penggolongan sosio-religio-
kultural merupakan contoh kongkrit penafsiran Islam yang
bercorak lokalitas.
DAFTAR PUSTAKA

Abdalla, Abshar. ―Menyegarkan Kembali Pemahaman


Islam,‖ dalam Kompas, 18 November 2002.

_______. Menjadi Muslim Liberal (Nalar: Jakarta, 2005), 3.

Abdullah, Abdul Rahman Haji. ―Pemikiran Islam Tradisional


di Nusantara: Pertumbuhan dan Perkembangannya,‖
dalam Pemikiran Umat Islam di Nusantara: Sejarah
Perkembangannya Hingga Abad ke-19.Selangor:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990.

Abdurrahman, Moeslim.―Ber-Islam Secara Kultural,‖ dalam


Islam Sebagai Kritik Sosial. Jakarta: Erlangga, 2003.

Al-Jabiri, Muhammad Abed. Post Tradisionalisme Islam. ter.


Ahmad Baso. Yogyakarta: LKiS, 2000.

Ambary, Hasan Muarif. Menemukan Peradaban Jejak


Arkeologis dan Historis Islam Indonesia.Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1998.

Azra, Azyumardi. Pergulatan Politik Islam Dari


Fundamentalisme, Modernisme, HinggaPost-
Tradisionalisme. Jakarta: Paramadina, 1996.

Bachtiar, Harsja W. Bachtiar, ―The Religion of Java: Sebuah


Komentar , dalam Abangan, Santri, Priyayi Dalam
Masyarakat Jawa, ter. Aswab Mahasin. Jakarta:
Pustaka Jaya, 1989.
Beatty, Andrew. Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan
Antropologi, ter. Achmad Fedyani Saifuddin. Jakarta:
Raja Grafindo Persada,1999.

Berger, Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Tafsir Sosial


atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi
Pengetahuan, ter. Hasan Basari. Jakarta:LP3ES, 1990.

_______. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial, ter.


Hartono. Jakarta: LP3ES, 1991.

Bruinessen, Martin Van. NU: Tradisi, Relasi Kuasa, Pencarian


Wacana Baru. Yogyakarta: LKiS, 1999.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang


Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, 1982.

Fealy, Greg, Wahab Chasbullah, Tradisionalisme dan


Perkembangan Politik NU, dalam Tradisionalisme
Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama dan Negara.
Ed. Greg Fealy dan Greg Barton.Yogyakarta: LKiS,
1996.

Gerrtz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat


Jawa, ter. Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya, 1989.

_______.Islam Yang Saya Amati: Perkembangan di Maroko


dan Indonesia, ter. Hasan Basari. Jakarta: YIIS, 1982.

Gibb,H.A.R. Modern Trend in Islam.Illionis: The University of


Chicago, 1947.
Hamim, Toha. ―Faham Ahlus Sunnah Waljamaah Proses
Pembentukan dan Tantangannya, dalam Kontroversi
Aswaja: Aula Perdebatan dan Reinterpretasi, ed. Imam
Baehaki. Yogyakarta: LKiS, 2000.

Hefner, Robert W. Hindu Javanese: Tengger Tradition and


Islam. Princenton: Princenton University Press, 1985.

Hodgson, Marshall. The Venture of Islam.Vol II (Chicago: The


University of Chicago Press, 1974.

Horikoshi, Hiroko. Kyai dan Perubahan Sosial, ter. Umar


Basalim dan Andi Muarly Sunrawa.Jakarta: P3M, 1987.

Misrawi, Zuhairi. ―Menyoal Tradisi untuk Liberasi:


Muktamar Pemikiran Islam di NU, dalam
http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0309/26opini/563602.htm.

Morris, Brian. Antropologi Agama: Kritik Teori-Teori Agama


Komtemporer, ter. Imam Khoiri.Yogyakarta: AK
Group, 2003.

Muchtarom, Zaini. Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan


Abangan. Jakarta: Salemba Diniyah, 2002.

Mulder, Niels. Agama Hidup Sehari-Hari dan Perubahan


Budaya, ter. Satrio Widiatmoko. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1999.

Muzakki, Akhmad. ―Melintasi Batas Kultur,‖ dalam Media


Indonesia, 21 Pepruari 2003.
Nata, Abuddin. Metoodologi Studi Islam. Cet. VI. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2001.

Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-


1942.Jakarta: LP3ES, 1980.

Priyono, B. Herry. Anthony Giddens: Suatu


Pengantar.Jakarta:Gramedia, 2002.

Ritzer, George . Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern,


ter. Alimandan. Jakarta: Prenada Media, 2003.

Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma


Ganda, ter. Alimandan. Jakarta: Rajawali Press, 1985.

Robinson, Roland. Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi


Sosiologis, ter. Achmad Fedyani Saifuddin. Jakarta:
Rajawali, 1988.

Sofwan, Ridin. et.al, Islamisasi di Jawa: Walisongo Penyebar


Islam di Jawa Menurut Penuturan Babad. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000.

Suryo, Joko. ―Tradisi Santri dalam Historiografi Jawa:


Pengaruh Islam di Pesisir Utara Jawa dalam Dari
Samudra Pasai ke Yogyakarta, ed.Sunaryo Purwo
Sumitro. Jakarta: Yayasan Masyarakat Sejarawan
Indonesia, 2002.

Syam, Nur. ―Tradisi Islam Lokal Pesisiran (Studi Konstruksi


Sosial Upacara Pada Masyarakat Pesisir Palang, Tuban
Jawa Timur),Disertasi Doktor, Unair, Surabaya, 2003.
Woodward, Mark R. Islam Jawa: Kesalehan Normativ versus
Kebatinan, ter. Hairus Salim. Yogyakarta: LKiS, 1999.

Zada, Khamami. Menggagas Islam Pribumi, dalam Media


Indonesia, Pepruari 2003.

Anda mungkin juga menyukai