Anda di halaman 1dari 268

Pengantar: PROF. DR. AZYUMARDI AZRA. MA.

CBE
PENGANTAR
PROF. DR. AZYUMARDI AZRA. MA. CBE

JEJAK-JEJAK
ARKEOLOGI ISLAM
DI LOMBOK

DR. JAMALUDDIN, MA.


Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok
© Dr. Jamaluddin, MA., Sanabil 2019

Penulis : Dr. Jamaluddin, MA.


Editor : Siti Nurul Khaerani
Layout : Tiem Kreatif Sanabil
Desain Cover : Tiem Kreatif Sanabil

All rights reserved


Hak Cipta dilindungi Undang Undang
Dilarang memperbanyak dan menyebarkan sebagian atau
keseluruhan isi buku dengan media cetak, digital atau
elektronik untuk tujuan komersil tanpa izin tertulis dari
penulis dan penerbit.

ISBN : 978-623-7090-25-0
Cetakan 1 : Pebruari 2019

Jl. Kerajinan 1 Blok C/13 Mataram


Telp. 0370- 7505946, Mobile: 081-805311362
Email: sanabilpublishing@gmail.com
www.sanabilpublishing.com
Pengantar
Prof. Dr. azyumardi azra, Ma., CBe.

DInaMIKa HIStOrIS ISLaM DI


LOMBOK; Mempertemukan arkeologi
dengan Manuskrip Kuno
Islam Asia Tenggara dulu sering dipandang kalangan
orientalis sebagai Islam periferal, Islam pinggiran, Islam yang
jauh dari bentuk asli, seperti yang terdapat dan berkembang
di pusatnya di Timur Tengah. Dengan kata lain Islam di Asia
Tenggara bukanlah Islam yang sebenarnya, sebagaimana
yang berkembang dan ditemukan di Timur Tengah. Islam
yang berkembang di Asia Tenggara adalah Islam yang
berkembang dengan sendirinya, bercampur baur dengan
dan didominasi oleh budaya dan sistem kepercayaan lokal,
yang tak jarang dan tidak sesuai dengan ajaran Islam.1
Persepsi seperti itu juga sering berlaku untuk Islam
di Lombok.Apabila kita membaca tulisan-tulisan tentang
Islam Lombok, seolah-olah ada benturan antara Islam Wetu
Telu dengan Islam Waktu Lima yang telah terjadi sepanjang
sejarah. Pemilahan sosiologis atas masyarakat Muslim
terkait kedua kategorisasi ini tidak jarang dimunculkan,
dengan menampilkan varian-varian yang umumnya

1 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara(Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya, 2000), cet. ke-2,5.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | iii


dipandang bertentangan dan terlibat dalam pergumulan
intens, bukan hanya dalam lapangan keagamaan, tetapi
juga dalam bidang lain termasuk sosial, ekonomi, dan
politik.
Maka di sinilah pentingnya sejarah untuk menggali
akar historis dari Islam di Lombok. Menggali fakta sejarah
tentang masa lalu Islam menjadi sangat penting artinya
untuk menjelaskan dinamika Islam dalam berbagai periode
sejarah di Lombok. Mengungkap masa lalu bukan dengan
memotret peristiwa hari ini, lalu memproyeksikannya
dan menarik kesimpulan tentang masa lalu;melainkan
mengungkap masa lalu dengan membuka fakta sejarah
masa lalu dalam berbagai sumber yang ada.
Di antara sumber terpenting untuk kepentingan
tersebut adalah manuskrip-manuskrip atau sumber-sumber
lain yang ditulis pada eranya. Selain itu, juga adadata-data
arkeologis yang merupakan jejak-jejak Islam Islam pada
masa-masa tertentu.
Buku ini berupaya menghadirkan ke hadapan
pembaca bahwa tempat-tempat tertentuseperti Lombok
yang mengandung Islam yang buruk, semacam Islam
wetu telu, ternyata dulu pernah menjadi pusat kajian
Islam di Lombok. Hal ini terlihat dari jejak-jejak sejarah
yang ditinggalkannya, masih ditemukan seperti mesjid
kuno yang sudah berumur lebih dari empat ratus tahun,
dengan tempat pengajaran agama yang juga seumuran
dengan mesjid tersebut. Dari sudut tersebut, karya ini
dapat disebut sebagai karya kajian arkeologi, karena karya
ini mengungkapkan fakta-fakta berdasarkan hasil-hasil
survei arkeologi. Selanjutnya, juga menggunakan analisis
arkeologi.

iv | Dr. Jamaluddin, MA
Dua hal menjadi kajian utama karya ini; pertama,
dinamika yang menunjukkan kemajuan Islam di
Lombok Selatan dengan menghadirkan hasil survei di
Rembitan yang pada zamannya pernah menjadi pusat
kajian Islam di Lombok; Kedua, dinamika dan kemajuan
Islam di Selaparang Lombok Timur, merupakan jejak
pemerintahan Islam yang pernah berkuasa di Lombok.
Selaparang adalah pusat pemerintahan, yang juga menjadi
pusat kota Muslim pada waktu itu. Dari hasil survei dan
analisis penulisnyaatas tinggalan-tinggalan arkeologis di
Selaparang, terlihat bahwa kerajaan Islam Selaparang
pernah berkuasa dan membangun hubungan diplomatik
dengan berbagai kerajaan lain di Nusantara. Semua ini
menjadi temuan dan sumber penting bagi kajian Islam di
Lombok, untuk kepentinggan kajian lebih lanjut dan lebih
mendalam.
Sebagaimana yang diungkapkan Meighan, dalam
”Archaeology: An Introduction”, arkeologi adalah disiplin
ilmu yang berupaya untuk memperoleh kesimpulan-
kesimpulan historis dari obyek benda-benda yang dikaji,
kendati obyek tersebut, terkadang hanya memberi fakta
atau data fragmentatif. Objek kajian arkeologi juga adalah
peninggalan-peninggalan aktiitas kehidupan masa lalu
yang berupa benda, dan bukan teks tulisan. Seorang
arkeolog memberi jalan pada sejarawan untuk melengkapi
dengan data-data tertulis, sehingga mengkaji sumber data
dengankajian yang lebih menyeluruh dan lebih beragam.2
Akan lebih menarik tulisan ini dikembangkan lagi
sebagai karya sejarah, temuan arkeologis yang juga
dikaji lebih jauh dengan menggunakan sumber-sumber
2 Clement W. Meighan, AerchaeologiAn Introduction, (California:
Chandler Publishing Company, tt), h. 1.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | v


tertulis sebagai karya-karya paling dekat dengan periode
temuan-temuan arkeologis tersebut. Lebih-lebih apabila
disandingkan dengan informasi manuskrip-manuskrip yang
berasal dari wilayah yang menjadi pusat pembelajaran dan
pusat pemerintahan ketika itu. Lombok dikenal sebagai
daerah yang kaya dengan manuskrip baik berkaitan dengan
materi keislaman ataupun subyek lain.
Demikian juga halnya dengan kerajaan Selaparang,
yang di pusat-pusat pemerintahannya boleh jadi terdapat
banyak manuskrip. Karya-karya yang ditulis pada masa
raja-raja berkuasa, biasaya ini dimiliki atau dipegang
oleh keluarga raja atau orang kepercayaan di lingkungan
istana; untuk itu ini dibutuhkan penelusuran lebih lanjut
di lingkungan pewaris kerajaan.
Sebagai kajian sejarah, informasi dari manuskrip
menjadi sangat penting artinya bagi kajian sejarah lokal
dan sekaligus menjadi sumbangan penting untuk sejarah
nasional. Selanjutnya, kemajuan kerajaan Selaparang juga
diketahui dari jumlah karya yang dihasilkan oleh para
penulis dan pujangga yang berada di lingkungan istana
dan sekitarnya.
Para pembaca sepatutnya sangat senang dan berterima
kasih kepada penulis, karena berkat usaha kerasnya buku
ini sekarang tersedia. Dengan begitu Islam di Lombok
dapat diketahui jauh lebih mendalam dan lebih luas lagi.
Oleh karena itulah buku ini sangat penting karena berhasil
mengungkapkan dinamika dan membuktikan kesuksesan
Islam di Lombok; pada saat yang sama karya ini juga berhasil
menghadirkan keanekaragaman kebudayaan dalam kaitan
dengan Islam Lombok yang memang memiliki ciri khas
tersendiri. Selamat!

vi | Dr. Jamaluddin, MA
PENGANTAR PENULIS
‫بسماه الرمن الرحيم‬

Alhamdulillah, karena tauiq dan hidayah-Nya, buku


ini dapat terselesaikan pada waktunya, kalaupun melewati
proses yang penuh liku-liku. Buku ini merupakan hasil
penelitian peneliti beberapa waktu yang lalu, namun
karena satu dan lain hal maka buku ini diterbitkan pada
tahun ini, tentunya setelah ditambahkan data-data terbaru.
Terselesaikannya tulisan ini, telah banyak peroses yang
dilewati, berbagai diskusi dan lain sebagainya mewarnai
proses tersebut.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada mereka yang telah memberikan
kontribusi dan masukan yang tidak kecil artinya bagi
penyelesaian tulisan ini. Khusunya kepada dua orang
arkeolog, almarhum Prof. Hasan Muarif Ambari, dan
almarhum Dr. Uka Tjandrasasmita, mereka berdua
adalah ilmuan yang konsen dalam kajian arkeologi
Islam. Mereka berdua yang mengajarkan tentang ilmu
arkeologi Islam kepada peneliti. Khususnya almarhum
Uka Tjandrasasmita, yang merupakan dosen arkeologi
Islam yang pertama dan paling senior di Indonesia pada
masanya, banyak membatu ketika penelitian ini dilakukan.
Khusunya tentang Selaparang, bersama beliau tulisan
ini saya selesaikan, banyak masukan dan bimbingan

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | vii


waktuitu. Ketika saya mengajukan proposal penelitian ini
ke Puslitbang Lektur, beliaulah yang merekomendasikan
dan kemudian penelitian ini dapat dilaksanakan. Dan
tidak berhenti sampai disitu, sepanjang penelitian ini
dilaksanankan beliau banyak memberikan masukan.
Untuk itu kepada almarhum pak Uka Tjantrasasmita, saya
mengucapkan terima kasih setinggi-tingginya dan semoga
beliau dimudahkan urusannya di alam barzah. Begitu juga
kepada kawan-kawan yang ada di puslitbang lektur, pak
Kapus dan kawan-kawan peneliti saya ucapkan banyak
terimakasih.
Demikian juga kepada guru saya Prof. Dr. Azyumardi
Azra, yang bersedia untuk menulis pengantar buku ini.
Saya tahu beliau sangat sibuk karena menghadiri undangan
seminar di banyak tempat, bukan hanya di dalam negeri
tetapi juga di luar negeri. Di sela-sela kesibukannya masih
sempat menulis pengantar buku ini. Tentu ini sebuah
kehormatan buat penulis, ketika saya menghubunginya
untuk memberikan pengantar buku ini, beliau langsung
menyatakan kesiapannya. semoga beliau panjang umur
dan sehat selalu sehingga tetap memberikan ilmunya
sebagai sumbangan bagi peradaban ke depan.Untuk itu
kepadanya saya mengucapkan terima kasih.
Tulisan ini menguraikan tentang jejak-jejak Islam
di Lombok, yang menggunakan ilmu arkeologi sebagai
pendekatannya. Buku ini berawal dari hasil penelitian yang
pernah peneliti lakukan beberapa tahun yang lalu, dua
tempat yang pernah dijadikan sebagai lokasi penelitian
yaitu Rembitan dan Selaparang. Situs-situs di kedua
tempat tersebut yang akan dihadirkan dalam buku ini.
Tentu kedua tempat ini memiliki nilai historis yang sangat
tinggi, karena itu menjadi sangat penting untuk diketahui

viii | Dr. Jamaluddin, MA


dalam kesejarahan Lombok khususnya dan Indonesia
secara umum.
Baik Rembitan maupun Selaparang yang dipilih
sebagai kajian dalam buku ini, tentu dengan pertimbangan
tersendiri. Rembitan memiliki tinggalan arkeologi yang
khas. Tinggalan arkeologis tersebut merupakan simbol-
simbol keagamaan di Lombok Selatan. Temuan-temuan di
Rembitan menunjukkan bahwa di Lombok Selatan pada
masa awal-awal perkembangannya, Islam pernah maju dan
menemukan peradabannya. Rembitan termasuk salah satu
pusat pengajaran Islam ketika itu, Rembitan (termasuk
Pujut di dalamnya) di Lombok Selatan merupakan gerbang
bagi bertemunya para ulama dari Jawa atau daerah
lainnya di wilayah tengah pantai selatan. Seiring dengan
tumbangnya kekuasaan kerajaan Islam di Lombok pada
pertengahan abad ke-18, maka Islam yang ada di Pujut
dan Rembitan ini juga mengalami kemunduran, yang
berakibat pada tidak terjadinya transformasi keilmuan
Islam dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Demikian juga halnya dengan Selaparang, situs-
situs yang merupakan jejak kerajaan Islam di Lombok.
Selaparang adalah sebuah kerajaan Islam tertua di
Lombok. Di Desa Selaparang terdapat beberapa komplek
pemakaman kuno, masing-masing dikenal dengan dengan
sebutan Makam Selaparang, Makam Tanjung, dan Makam
Pesabu’an, ketiganya merupakan situs-situs dari makam
raja-raja Selaparang. Melihat bentuk makam dan nisannya,
dapat dipastikan bahwa yang dimakamkan adalah tokoh-
tokoh yang berpengaruh. Ketiga situs tersebut menjadi
bagian dari pembahasan dalam buku ini.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | ix


Saya ingin menyampaikan terima kasih kepada mereka
yang membantu saya di lapangan ketika melakukan
survei, saudara saya Husnul Ariin, yang sekarang sibuk
menjadi ajudan pribadi pak Cahyo Kumolo (MENDAGRI),
Muharrir dosen dan Ketua Jurusan di STAI Darul Kamal
NW Kembang Kerang, dan banyak lagi nama-nama yang
tidak mungkin disebutkan satu persatu.
Terselesaikannya buku ini juga tidak lepas dari bantuan
orang-orang berpengaruh di lokasi situs. Mereka yang
pernah membantu ketika saya survei di lokasi situs-situs
beberapa tahun silam, di mana saya bisa masuk ke lokasi
situs berkat bantuan mereka. Oleh sebab itu saya ingin
menyampaikan terima kasih kepada mereka. Terima kasih
saya sampaikan kepada Lalu Minotan, penjaga makam
Selaparang, yang setiap saya datangi selalu menyambut
dengan hangat dan memenuhi segala hal yang saya
butuhkan. Begitu juga dengan Mamik Sidik Rembitan
(sebagai salah seorang tokoh masyarakat yang paling
berpengaruh di Rembitan Pujut, Lombok Tengah bagian
Selatan). Berkat bantuannya pula saya dapat mengakses
dan melakukan survei di wilayah yang terkenal dengan
sikap panatiknya dan pemikiran mitologinya yang sangat
kuat tentang wali Nyatok yang diyakini oleh masyrakat
setempat yang mendirikan masjid Rembitan. Kalau bukan
karena bantuan Mamik Sidik tentu buku ini tidak akan
pernah hadir di hadapan pembaca. Juga kepada keluarga
beliau yang sudah menganggap saya sebagai bagian dari
keluarganya, mereka selalu menyambut saya dengan
senyuman. Ketika saya akan pulang, saya harus membawa
bekal seperti anak kost yang akan pergi sekolah, selalu
membawa oleh-oleh. Semoga kebaikan mereka membuat
mereka semua selalu diberkahi kehidupannya oleh Allah

x | Dr. Jamaluddin, MA
SWT. Kepada semua pihak yang tidak mungkin dapat
disebutkan satu persatu di sini, yang selalu mendoakan
dan memberikan semangat kepada saya, saya ucapkan
terima kasih.Semoga Allah menjadikan ini semua sebagai
tangga kesuksesan bagi kita semua di dunia, dan sebagai
pintu kebahagiaan di akhirat kelak.
Khususnya kepada kedua orang tua saya yang saat
ini sudah berumur senja, mereka selalumendoakan saya.
Semoga semua ini menjadi amal-amal mereka kelak di hari
kiamat. Dan yang terakhir Istri dan anak-anak tercinta,
tentu semua ini atas dukungan mereka buku inidapat
terselesaikan dengan baik pada waktunya. Untuk itu salam
sayang dan terima kasih buat kalian semua.

Mataram, 07 Januari 2018

Penulis
Jamaluddin

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | xi


Daftar ISI

Pengantar Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., CBE. ..........iii


Pengantar .......................................................................vii
Daftar Isi....................................................................... xiii
Daftar Gambar ............................................................... xv

Arkeologi dan Sejarah Islam ............................................1

Bagian I
Jejak Islam di Lombok Selatan

Urgensi Kajian Arkeologis Sejarah


di Lombok Selatan ........................................................ 21
Situs Rembitan: Jejak Islam di Lombok Selatan ........... 29
Islamisasi dan Perkembangan Islam di
Lombok Selatan: Telaah Situs-Situs Arkeologis ............ 73

Bagian II
Jejak Kerajaan Islam di Selaparang

Menelusuri Jejak Kerajaan Selaparang......................... 103


Situs-Situs Kerajaan Selaparang ................................... 113
Sejarah Kerajaan Selaparang: Kajian terhadap
Tinggalan Arkeologis................................................... 189
Daftar Pustaka.............................................................. 235
Tentang Penulis ............................................................ 243

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | xiii


Daftar gaMBar

Bagian I
Jejak Islam di Lombok Selatan

Gambar 1: Masjid Kuno Rembitan .............................33


Gambar 2: Gerbang masjid bagian selatan
pintu terbuka (tampak dari dalam) ...........34
Gambar 3: Gerbang masjid bagian selatan
pintu tertutup dengan engsel pelocok ......34
Gambar 4: Pintu gerbang masjid sebelah timur .........35
Gambar 5: Tangga sumur masjid ................................36
Gambar 6: Dasar sumur di halaman masjid................37
Gambar 7: Sumur di halaman masjid .........................37
Gambar 8: Tiang Soko Guru.......................................39
Gambar 9: Lampu pada tiang Soko Guru ...................40
Gambar 10: Dinding pojok ...........................................41
Gambar 11: Dinding/pagar tanpa ventilasi ..................42
Gambar 12: Dinding dengan papan kayu .....................43
Gambar 13: Engsel Pelocok di pintu masjid .................43
Gambar 14: Tampak bagian atas atap dari dalam .........45
Gambar 15: Hiasan pada bagian atas salah satu
tiang utama ...............................................45
Gambar 16: Penggunaan tali pada setiap
sambungan (ikatan) tidak
menggunakan paku ...................................46
Gambar 17: Sambungan-sambungan tidak
menggunakan Paku...................................46
Gambar 18: Mustoko di bagian paling atas masjid .......47

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | xv


Gambar 19: Mihrab tempat imam, mengimami
solat Jamaah ..............................................48
Gambar 20: Bagian mimbar dan tempat khotib
membaca khutbah ....................................49
Gambar 21: Tempat duduk khotib................................49
Gambar 22: Beduq sebagai alat yang
menginformasikan masuknya waktu........50
Gambar 23: Gantungan beduq kayu ukir
(tersambung dengan kayu atap)................51
Gambar 24: Tempat duduk orang yang
memukul Beduq........................................51
Gambar 25: Pemantok sebagai alat pemukul beduq ....52
Gambar 26: Sempare (tempat menyimpan tikar) .........56
Gambar 27: Tempat pembakaran dupa (kemenyan) ....56
Gambar 28: Pagar keliling makam Wali Nyato ............58
Gambar 29: Pagar bagian dalam yang
mengelilingi makam Wali Nyato ..............60
Gambar 30: Nisan makam sebelah utara ......................61
Gambar 31: Pintu masuk ke makam Wali Nyato .........61
Gambar 32: Bagian kepala nisan makam
sebelah utara .............................................63
Gambar 33: Hiasan pada badan nisan ..........................63
Gambar 34: Hiasan bagian bawah nisan .......................64
Gambar 35: Nisan makam sebelah selatan ..................65
Gambar 36: Hiasan puncak nisan .................................66
Gambar 37: Hiasan pada badan nisan
(makam selatan) ........................................66
Gambar 38: Hiasan nisan bagian bawah
(makam selatan) ........................................67
Gambar 39: Gedeng daya dan gedeng lauk ..................68
Gambar 40: Atap salah satu gedeng ..............................70
Gambar 41: Sempare gedeng sebagai tempat
menaruh tikar dan barang .......................71
Gambar 42: Sumur pada komplek makam Rembitan ..72
Gambar 43: Tangga sumur pada komplek
makam Rembitan ......................................72

xvi | Dr. Jamaluddin, MA


Bagian II
Jejak Islam Kerajaan Selaparang

Gambar 1: Makam Selaparang. .................................117


Gambar 2: Pintu masuk yang menghubungkan
makam dengan Masjid. ...........................119
Gambar 3.a: Deretan makam paling selatan
(makam no. 2 & 3). .................................124
Gambar 3.b: Nisan no.1. ..............................................125
Gambar 4: Nisan makam no. 2 pada deret selatan. ..125
Gambar 5: Hiasan badan bagian bawah nisan
makam no. 2 (samping utara). ................126
Gambar 6: Hiasan badan bagian bawah nisan
makam no. 2 (samping selatan). .............127
Gambar 7: Hiasan badan bagian atas nisan makam no. 2
bertuliskan Allah dengan huruf Arab .....128
Gambar 8: Nisan makam no. 3 pada deret selatan. ..130
Gambar 9: Hiasan bagian puncak. ............................131
Gambar 10. a : Hiasan badan bagian bawah nisan
makam no. 3 pada deret selatan..............131
Gambar 10. b: Hiasan badan bagian bawah nisan
makam no. 3 pada deret selatan..............132
Gambar 10. c: Hiasan badan bagian bawah nisan
makam no. 3 pada deret selatan..............132
Gambar 11: Nisan Makam no. 4 pada deret selatan. .133
Gambar 12: Hiasan bagian kepala dan puncak nisan. 134
Gambar 13: Hiasan badan bagian bawah dan badan
bagian atas nisan makam no. 4.
pada deret selatan. ...................................134
Gambar 14: Nisan Makam no. 6 (deret selatan). ........135
Gambar 15: Hiasan bagian kepala dan puncak nisan. 137
Gambar 16. a: Hiasan badan bagian bawah nisan
makam no. 6 pada deret selatan
sisi selatan. ...............................................138
Gambar 16. b: Hiasan badan bagian bawah nisan
makam no. 6 sisi utara. ..........................138
Gambar 16. c: Hiasan badan bagian bawah nisan
makam no. 6 sisi barat. ...........................139

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | xvii


Gambar 16. d: Hiasan badan bagian bawah nisan
makam no. 6 sisi timur. ...........................139
Gambar 17: Nisan makam no. 7. pada deret selatan. .140
Gambar 18: Hiasan badan bagian bawah nisan. .........141
Gambar 19: Hiasan bagian kepala dan puncak
nisan makam no. 7 pada deret selatan. ...141
Gambar 20: Nisan makam no. 10. pada deret
depan mihrab. .........................................143
Gambar 21.a: Hiasan badan nisan makam no. 10
pada deret depan mihrab, tampak pojok.144
Gambar 21.b: Hiasan sisi utara badan nisan makam
no.. 10 pada deret depan mihrab. ............144
Gambar 21.c: Hiasan sisi selatan badan nisan makam
no. 10 pada deret depan mihrab. .............145
Gambar 21.d: Hiasan sisi utara badan nisan makam
no. 10 pada deret depan mihrab. .............145
Gambar 22. a: Hiasan sisi timur bagian kepala dan
puncak nisan makam no. 10. pada
deret depan mihrab. ................................146
Gambar 22. b: Hiasan sisi selatan, bagian kepala
dan puncak nisan makam no. 10.
pada deret depan mihrab.........................146
Gambar 23: Nisan makam no. 11 pada deret depan
mihrab (puncak nisan patah)...................148
Gambar 23.a: Nisan makam no. 11 pada deret depan
mihrab (bahu nisan sebelah kiri patah). ..148
Gambar 23.b: Nisan makam no. 11 pada deret depan
mihrab (diambil dari sisi berlawanan
nisan 23). .................................................149
Gambar 24: Nisan Makam no. 12
(deret depan mihrab)...............................151
Gambar 25: Hiasan bagian kepala dan puncak nisan. 152
Gambar 26. a: Hiasan sisi samping badan nisan
makam no. 12 pada deret depan mihrab. 152
Gambar 26. b: Hiasan sisi berlawanan, badan nisan
makam no. 12 pada deret depan mihrab. 153
Gambar 27: Nisan Makam no. 13. pada deret
depan mihrab (diambil dari sisi Selatan). 154

xviii | Dr. Jamaluddin, MA


Gambar 27. a: Nisan makam no 13. pada deret depan
mihrab (diambil dari sisi samping). ........155
Gambar 28. a: Model hiasan pada bagian kepala dan
bahu Nisan, Nisan Makam no. 13. pada
deret depan mihrab. ................................156
Gambar 28. b: Hiasan badan nisan makam no. 13 pada
deret depan mihrab. ................................156
Gambar 29: Nisan Makam no. 14
(deret depan mihrab)...............................158
Gambar 30: Hiasan badan nisan no. 14. ......................159
Gambar 31. a: Hiasan bagian kepala nisan makam
no. 14 pada deret depan mihrab. ...........159
Gambar 31. b: Hiasan bagian kepala dan puncak
nisan makam no. 14 pada deret
depan mihrab. .........................................160
Gambar 32: Makam ki Gading di utara
(kanan mihrab). .......................................162
Gambar 33: Nisan Makam no. 15 di utara
(kanan mihrab). .......................................162
Gambar 34. a: Hiasan badan nisan makam no. 15
di utara (kanan mihrab). .........................163
Gambar 34.b: Hiasan badan nisan makam no. 15
di utara (kanan mihrab). .........................163
Gambar 35: Hiasan bagian kepala dan puncak
nisan makam no. 15 di sebelah utara
(kanan mihrab). .......................................164
Gambar 36: Nisan Makam no. 16 di sebelah utara
(kanan mihrab). .......................................165
Gambar 37: Hiasan badan bagian atas nisan, salah satu
nisan yang bertuliskan huruf Arab dan
huruf Jawa Kuno berbunyi: “La ilaha illaha
Wa Muhammadun rasulullah” dan “Mesan
gagaweyan para yuga” tulisan ini sudah mulai
kabur........................................................166
Gambar 38. a: Hiasan badan bagian bawah nisan makam
no. 16 di utara (kanan mihrab)................166
Gambar 38. b: Hiasan badan bagian bawah nisan
makam no. 16 di utara, tampak pojok

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | xix


(kanan mihrab). .......................................167
Gambar 39.a: Hiasan bagian kepala dan puncak
nisan makam no. 16 di utara
(kanan mihrab). .......................................167
Gambar 39.b: Hiasan bagian kepala dan puncak
nisan makam no. 16 di utara
(kanan mihrab). .......................................168
Gambar 39.c: Hiasan bagian kepala dan puncak
nisan makam no. 16. di utara
(kanan mihrab). .......................................168
Gambar 40: Nisan makam deretan utara
(kanan mihrab). .......................................169
Gambar 41: Makam Tanjung, salah satu makam
yang merupakan makam keluarga
dari raja-raja Selaparang..........................170
Gambar 42: Kuburan inti pada Makam Tanjung. .......173
Gambar 43: Nisan makam sebelah timur. ..................174
Gambar 44: Nisan makam sebelah barat. ...................175
Gambar 45: Hiasan pada nisan sebelah barat. ............176
Gambar 46: Hiasan pada nisan sebelah timur. ............177
Gambar 47: Hiasan pada badan nisan sebelah timur. .178
Gambar 48: Model nisan sebelah timur
makam inti di Makam Tanjung. .............179
Gambar 49: Nisan sebelah Timur Makam Sayid
di Utara komplek makam Tanjung. ........180
Gambar 50: Makam Syayid di utara komplek
Makam Tanjung. .....................................181
Gambar 51: Hiasan pada badan nisan makam Syayid 182
Gambar 52: Gerbang masuk pada komplek
Makam Pesabu’an. ..................................183
Gambar 53: Kuburan inti pada Makam Pesabu’an. ....184
Gambar 54: Nisan Makam Pesabu’an, model nisan ini
sama dengan salah satu model nisan raja
yang ada di Makam Selaparang. .............185
Gambar 55: Bagian badan nisan pada
Makam Pesabu’an. ..................................186
Gambar 56: Bagian puncak nisan pada
Makam Pesabu’an. ..................................187

xx | Dr. Jamaluddin, MA
arKeOLOgI Dan SeJaraH ISLaM

a. Ilmu arkeologi
Arkeologi secara bahasa berasal dari kata arke dan
logos. Arke berarti permulaan, titik mulai atau asal
muasal suatu hal.1 Arke juga mengandung arti kuno atau
peninggalan zaman kuno.2 Logos ialah ilmu pengetahuan.
Ilmu adalah rangkaian kegiatan untuk menelaah dan
mengkaji berbagai fenomena, melalui metode tertentu
untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris
mengenai segala sesuatu di dunia ini. Ilmu mempunyai
tiga domain, yakni aktiitas, metode dan pengetahuan.3
Arkeologi dalam kiprahnya juga mempunyai tiga domain
tersebut, yaitu aktiitas-aktitas yang mesti dilakukan untuk
membangun struktur ilmu tersebut.
Aktiitas tersebut meliputi penelitian, perumusan
teori-teori yang digunakan dalam penelitian, dan kritik
data. Tataran metode yang digunakan juga mempunyai
standar-standar tertentu untuk menjaga obyektiitas.
Arkeologi dalam fungsi pengetahuan juga mempunyai
kekhasan-kekhasan tertentu yang tidak dimiliki oleh ilmu

1 Loren Bagus, Kamus ilsafat, ( Jakarta: Gramedia, 2000), h. 83.


2 Magdi Wahba, A Dictionary of Literary Term English-French-Arabic,
(Birut: Librairie Du Liban, 1974), h. 29.
3 Hasan Muarif Ambary, Arkeologi Islam, makalah yang disampaikan tgl
23 Pebruari, 1994, di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fak Adab, h. 6.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 1


yang lain. Oleh karena itulah terkadang, bahkan tidak
jarang terjadi, kesimpulan yang dihasilkan oleh arkeologi
berbeda dengan yang dihasilkan oleh sejarah. Karena
perbedaan pendekatan ataupun karena perbedaan data
yang dikaji, maka hasil akhirpun akan berbeda. Namun
secara garis besar tahapan dan nalar yang digunakan oleh
arkeologi, tidak berbeda jauh dengan tahapan dan nalar
yang dilakukan oleh Sejarah. Bahkan boleh jadi sama
persis dengan bidang sejarah, karenanya ada hubungan
resiprokal antara keduanya.
Berdasarkan arti di atas maka arkeologi dapat
dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan yang berupaya
untuk memahami kehidupan masa lalu manusia melalui
peninggalan-peninggalan kuno dari hasil karya umat
manusia. Karena ilmu dengan ketiga domainnya memiliki
banyak nilai, di antaranya memenuhi hasrat kognitif dan
nalar manusia. Manusia sebagai mahluk yang bernalar
secara alami membutuhkan aktiitas kognitif dan
intelektualis untuk dapat menjelaskan sejarah masa lalu
dan jati dirinya yang terbentuk dari masa lalu.
Jelas, sangat berbeda data arkeologi dengan data ilmu
sejarah. Ilmu sejarah berasal dari data-data teks, maka
data arkeologi merupakan benda-benda bukan tulisan.
Apabila ada tulisan pada benda-benda arkeologis, jumlah
dan subtasinya sangat minimal. Sejarawan melacak data-
data tekstual dan oral sebanyak 99 %, sementara arkeolog
melacak data 99 % tak tertulis, dan hanya 1 persen saja
yang tertulis.4
Arkeologi adalah disiplin ilmu untuk memperoleh
kesimpulan-kesimpulan historis dari obyek benda-benda

4 Ibid.

2 | Dr. Jamaluddin, MA
yang dikaji, kendati obyek tersebut, terkadang merupakan
data yang fragmentatif. Objek kajiannya ialah peninggalan-
peninggalan aktiitas kehidupan masa lalu yang berupa
benda, dan bukan teks tulisan. Seorang arkeolog memberi
jalan pada sejarawan untuk melengkapi data-data tertulis,
sehingga mengkaji sumber data dengan kajian yang
lebih menyeluruh dan lebih beragam.5 Arkeolog adalah
seorang sejarawan, tapi tidak mesti sebaliknya. Sejarawan
merekontruksi kehidupan masa lalu umat manusia, dengan
melacak pada peninggalan teks dan juga cerita oral (lisan).
Arkeolog merekontruksi masa lalu melalui peninggalan
benda-benda material kehidupan masa lalu.
Batu, mineral, dan fosil lainnya, bukanlah obyek
penelitian studi arkeologi, tapi aktitas dan perkembangan
kehidupan manusia masa lalu, serta hasil budaya yang
diartikulisikan melalui benda-benda tersebut. Arkeolog
mempelajari perkembangan umat manusia masa lalu, sama
dengan sejarawan, tetapi terkadang kongklusi-kongklusi
yang dihasilkan saling berbeda karena perbedaan sumber
data yang digunakan.6
Jadi arkeologi merekontruksi sejarah kehidupan dan
perkembangan umat manusia masa lalu melalui benda-
benda peninggalan sejarah, seperti batu, arca, fosil, yang
telah tersentuh oleh rekayasa tangan manusia. Inilah
perbedaan antara ilmu pertambangan dengan ilmu
Arkeologi. Ilmu pertambangan mengekplor bebatuan dan
benda alam lainnya, sebagai material ekonomis yang tidak
tersentuh oleh hasil budaya manusia. Sementara arkeologi
meneliti hasil budaya manusia yang tergores pada bebatuan

5 Clement W. Meighan, Aerchaeologi An Introduction, (California:


Chandler Publishing Company, tt), h. 1.
6 Ibid, h. 2.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 3


dan fosil-fosil lainnya. Secara khusus Arkeolog berusaha
merekontruksi evolusi dan perkembangan kemampuan
umat manusia membuat berbagai peralatan kehidupan
dan perkembangan kemampuan sosio kultural mereka.7
Arkeologi terbaru yang saat ini berkembang,
mempunyai kecenderungan baru. Kecendrungan tersebut
bukan hanya merekontruksi sejarah prehistory, tapi juga
mencoba mempelajari dan merekontruksi proses-proses
kultural yang terjadi pada masyarakat masa lalu yang
sudah dalam masa sejarah, dan mulai mengurangi tensinya
untuk mengungkap kultur Prehistoris.8

B. Hubungan Ilmu Sejarah dan arkeologi


Suatu disiplin ilmu tidak bisa berdiri sendiri secara
otonom mutlak. Ilmu yang satu selalu membutuhkan
disiplin ilmu yang lain untuk mendukung seluruh atau
sebagian prosess ilmiyahnya. Disiplin ilmu yang membantu
kegitan ilmiyah ilmu lainnya, lazim disebut dengan ilmu
bantu. Keterkaitan antar disiplin ilmu diantaranya terjadi
antara ilmu Arkeologi dan ilmu Sejarah. Keterkaitan antara
Arkeologi dan Sejarah bukan hanya bersifat resiprokal
--masing-masing dapat menjadi ilmu bantu bagi lainnya--,
tetapi juga dasar dari sifat hubungan kedua disiplin ,
terutama pada obyeknya, yakni masa lalu.9
Sejarah sebagai “kata” dan sejarah sebagai istilah
mempunyai perbedaan yang sangat mendasar. Kata sejarah
7 Jasson W. Smith, Foundations of Archaeologi, (London: Glencoe Press,
1976), h. 32.
8 Brian M. Fagan, Introductory Reading in Archaeology, (Boston: Little
Brown and Company, 1970), h. 22.
9 Notosusanto, Hubungan Erat Antara Disiplin Arkeologi dan disiplin
Sejarah, Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, No. 1 April, 1963, h. 59-64.

4 | Dr. Jamaluddin, MA
bermakna kejadian dan peristiwa yang terjadi pada masa
lampau.10 Sementara istilah Sejarah bermakna rekontruksi
peristiwa sebagai babakan dan episode kehidupan umat
manusia yang telah diakses oleh tulisan atau budaya
literasi. Bertolak dari pemahaman di atas maka istilah
sejarah berarti suatu disiplin ilmu yang mengerjakan
bagian-bagian peristiwa masa lampau umat manusia yang
tercatat dalam teks.11
Uraian di atas memberi penjelasan bahwa kata sejarah
meliputi segala peristiwa yang telah terjadi sejak zaman
dahulu hingga kemarin bahkan hingga detik yang baru
berlalu. Tidak dibatasi oleh peristiwa dan keadaan tertentu.
Berbeda dengan istilah sejarah yang dibatasi oleh peristiwa
atau kondisi tertentu, yakni sejak manusia mengenal
budaya tulisan.
Masa lampau umat manusia di mana mereka belum
mengenal budaya tulisan, dikenal dengan zaman prasejarah,
dapat ditelusuri melalui ilmu arkeologi. Tetapi pernyataan
di atas bukan mengandung arti bahwa disiplin arkeologi
hanya berkenaan dengan masa prasejarah, tetapi juga
disiplin arkeologi menjangkau masa lampau prasejarah
juga masa sejarah. Setidaknya arkeologi yang berkembang
di Indonesia. Bahkan arkeologi terbaru yang saat ini
berkembang di Amerika, mempunyai kecenderungan
baru, bukan hanya merekonstruksi sejarah prehistory, tapi
juga mencoba mempelajari dan merekontruksi proses-
proses kultural yang terjadi pada masyarakat masa lalu

10 Sri Sukesi Adiwimarta, Kamus Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Pusat


Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1983), h. 1895.
11 Notosusanto, Hubungan Erat…, h. 60.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 5


yang sudah dalam masa sejarah, dan mulai mengurangi
tensinya untuk mengungkap kultur Prehistoris.12
Tinggalan masa lalu hasil rekayasa manusia yang
berupa benda arkeologis disebut dengan artifak atau juga
disebut dengan “benda cagar Budaya” (menurut UU No.5,
Th. 1992), merupakan media utama dalam arkeologi untuk
menelusuri masa lampau umat manusia.
Dimensi waktu yang sangat panjang bagi arkeologi
merupakan problem tersendiri. Untuk mempermudah
maka dilakukan simpliikasi periodesasi masa lampau,
menjadi tiga babakan utama, yakni: masa prasejarah,
masa klasik dan masa Islam (Kolonial).13 Masa prasejarah
diawali dari mulai hadirnya manusia di Nusantara sampai
datangnya budaya tulis baca. Masa klasik dimulai sejak
terjadinya pengaruh budaya India (Hindu, Budha), hingga
masuknya agama Islam dan juga peradaban barat Eropa
(Kolonial). Sementara masa Islam dimulai sejak budaya
Islam masuk ke Indonesia dan Barat sampai kira-kira 50
tahun lalu.
Periode prasejarah dari timbangan arkeologi dapat
diungkapkan dan dijelaskan proses-proses evolusi manusia
dan lingkungan dari era plestosen, holosen, dan resen
serta migrasi-migrasi besar beserta dampak budaya yang
ditimbulkan. Data-data arkeologi yang berkaitan dengan
agroekonomi, teknologi olah logam serta pertautannya
dengan teknologi Asia Tenggara daratan, monumen-
monumen megalitik, termasuk tradisi pembuatan kubur

12 Brian M. Fagan, Introductory Reading in Archaeology, (Boston: Little


Brown and Company, 1970), h. 22.
13 R.P. Soejono (ed)., Sejarah Nasional Indonesia I, ( Jakarta: Balai Pustaka,
1993), h. xxi; lihat juga Satyawati Sulaiman, et al. Lokakarya Arkeologi tahun
1978 Jogyakarta 21-26 Pebruari 1978, ( Jakarta: Puslit Arkenas, 1982).

6 | Dr. Jamaluddin, MA
batu, benda gerabah, senjata dan berbagai peralatan
lainnya, niscaya dapat dijelaskan.14
Arkeologi klasik mengungkapkan bahwa komunitas-
komunitas Nusantara, pada masa protosejarah, berlangsung
persentuhan dan amalgamasi dengan budaya Asia Selatan
melalui proses penyebaran budaya Hindu dan Budha.
Tradisi besar dari India memberi kontribusi yang besar
terhadap perkembangan budaya Nusantara. Interaksi dan
amalgamasi budaya dapat dirunut melalui pembauran
anasir-anasir budaya seperti: Pertama, aksara Phallava dan
bahasa Sansekerta. Kedua, pendirian bangunan-bangunan
besar (keagamaan, perbentengan dll). Ketiga, agama Hindu
Budha. Keempat, Konsep politik kerajaaan dan sistem
kasta.15
Era arkeologi Islam dapat difahami dan dimengerti
tentang proses, alur dan jalur sosialisasi Islam di berbagai
kawasan Nusantara, termasuk wilayah-wilayah yang
sentuhan budaya Hindu dan Budha sangat tipis (seperti
wilayah Sulawesi dan Maluku). Penelitian arkeologi
Nasional telah mampu menjelaskan proses-proses
sosialisasi Islam Nusantara dan pengaruh tradisi besar
Islam yang telah mereformasi budaya lokal. Fase-fase
tersebut meliputi: (1). Hubungan komunitas Nusantara
dengan para pedagang manca negara yang terdiri dari
bangsa Arab, Persia, Gujarat, dan cina;16(2). Sosialisasi Islam
dan berkembangnya kelompok komunitas Muslim yang

14 Sulaiman, ibid.
15 Ibid, h. 19.
16 J.V. van Leur, Indonesian Trade and Society, (Bandung: Sumur
Bandung, 1960), Edisi: 2, h. 94; Juga lihat, Azyumrdi Azra, Renaisans Islam
Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1999), h. 5.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 7


berkoeksistensi secara damai dengan mayoritas masyarakat
Hindu-Budha; (3). Tumbuh dan berkembangnya pusat-
pusat kekuatan politik Islam, seperti Gersik, Cirebon,
Banten Banjar dll;17 (4). Surutnya pusat-pusat kekuatan
Islam secara politis dan ekonomis akibat penetrasi kekuatan
militer dan kolonialisasi Barat Eropa.18.
Pada puncak-puncak kejayaan Islam Nusantara
memberi kontribusi yang besar terhadap proses perjalanan
budaya Nusantara. Sidikitnya bisa dibuktikan dalam ranah-
ranah berikut, yakni: aksara, bahasa Arab dan peninggalan
historiograi tradisional yang kaya dan beragam. Arsitektur
peribadatan yang mengadaptasi berbagai hazanah lokal.
Seni kaligrai yang tinggi. Model budaya pesisir yang
kosmopolit yang berorientasi kepada dunia luar.
Periode ini juga diwarnai oleh kehadiran budaya
Eropa yang modernis yang memberi napas baru bagi
budaya Nusantara. Eropa menghadirkan budaya teknologi
modern, tulis aksara latin dan bahasa Eropa. Arsitek bergaya
Eropa dan juga agama Kristiani dan juga memperkenalkan
bentuk-bentuk tatanan politis yang baru.
Kerangka teoritis arkeologi dapat dirujuk kepada
pendapat Lewis R. Binford, arkeologi bukanlah ilmu
sejarah, sekaligus bukan ilmu Antropologi. Sebagai sebuah
disiplin yang berdiri sendiri, ia memiliki seperangkat
metode dan teknik tersendiri untuk mengumpulkan dan
menghasilkan informasi budaya”.19 Arkeologi minimal

17 Untuk mengetahui saluran-saluran penyebaran Agama Islam di


Nusantara, lihat Uka Tjandrasasmita, Kota-kota Muslim, h. 15-44; dan Uka
Tjandrasasmita, at al. Sejarah Nasional Indonesia, III, h. 188-195.
18 Ibid.
19 Taylor, Walter W, A Study of Archaeology, Memoar No. 69, American
Antrhopologist 50, (3) (part 2), 1948, h. 44.

8 | Dr. Jamaluddin, MA
dapat dijelaskan sebagai studi atas hubungan timbal balik
dari dimensi bentuk, waktu, dan ruang dari artifak. Kata
lain, ahli arkeologi senantiasa memfokuskan diri pada
hubungan timbak balik. Hubungan timbal balik inilah
yang menjadi kekhasan ilmu arkeologi.20
Dengan demikian arkeologi adalah sebuah
disiplin ilmu yang secara sistimatis mempelajari dan
mengembangkan perangkat metode dan teknik riset
dalam rangka penelusuran masyarakat beserta budaya dan
peradabannya pada masa lampau berdasarkan jejak- jejak
yang ditinggalkan.

C. Paradigma dan Data arkeologi


Paradigma sebagai tradisi keilmiahan memberi
arahan kepada pola pikir dan nalar untuk mengasilkan,
memandang dan menafsirkan data empiris. Konteks
ilmu, paradigma dapat diartikan sebagai kehasan tujuan,
persoalan dan pola pikir dengan segala perangkat dan tata
caranya untuk mencapai tujuan dan untuk memecahkan
berbagai persoalan. Di dalamnya terkandung dalil, teori,
dan metodologi. Paradigma memberi arah pada penelitian
yang dilakukan di bawah payung paradigma itu sendiri.21
Untuk mempermudah pemahaman terhadap arkeologi
maka berikut ini disampaikan paradigma dalam arkeologi.
Paradigma arkeologi ini sebenarnya dikemukakan oleh
Binford, yaitu: (a). Rekontruksi cara hidup; (b). Rekontruksi

20 Spaulding, Albert C. Archaeological Dimention, dalam Essays in The


Science of Culture: In Honor of Leslie White, New York, 1960, h. 439.
21 David Hurst Thomas, Archaeology, (Chicago: Hoit Riverhart and
Winston, 1989), h. 662.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 9


sejarah budaya; (c), Pengambaran proses perubahan
budaya.22
Paradigma butir pertama mengandaikan fungsi
dari artifak yang dihadirkan oleh masyarakat masa
lampau. Pendekatan utamanya mengacu kepada konsep
fungsionalisme, artinya artifak yang ditinggalkan mempunyai
fungsi masing-masing dalam budaya dan peradaban
masyarakat. Unsur-unsurnya bertautan satu sama lainnya.
Manakala fungsi artifak tersebut mempunyai peran sentral
dalam budaya masyarakat, menjadi wajar artifak tersebut
menjadi pusat segala magnet perubahan dan eksisitensi
berkebudayaan.
Contohnya masjid, perspektif kebudayaan Islam
mendaulatnya sebagai puncak-puncak artifak budaya
Islam, karena keberadaan masjid menjadi mata air, di
mana seluruh kebudayaan Islam bersumber. Sistem
ekonomi pasar yang dijalankan oleh Islam, menghasilkan
markas perdagangan dan berdampingan dengan bangunan
masjid. Sistem politik yang dikembangkan oleh Islam juga
bersumber dari pengabdian kepada Allah (lambang masjid),
menghadirkan artifak keraton yang juga berdampingan
dengan masjid. Demikian juga upacara-upacara agama
yang diamalgamasikan dengan upacara politik juga
melingkar di haluan masjid.
Fokus utama paradigma kedua adalah bentuk artifak
atau benda yang diandaikan sebagai cermin masyarakat
pendukungnya. Pendekatan yang digunakan adalah
konsep normatif yang berujar bahwa pola dan prilaku

22 Cholil Sodrie dan Sugeng Rianto, Arkeologi dan Sejarah Kebudayaan


Islam, Dialektika Budaya, Fakultas Adab IAIN Gunung Djati, Vol IX/ 2002,
h. 75.

10 | Dr. Jamaluddin, MA
masyarakat ditentukan oleh pola kebudayaan masyarakat
bersangkutan. Bentuk kebudayaan yang diciptakan
manusia untuk memformat prilaku dan inisiatif-inisiatif
budaya baru yang disosialisasikan, mempunyai hubungan
timbal balik yang sangat rumit, untuk merunut dan
mencari mana yag terlebih dahulu hadir.
Paradigma poin ketiga memfokuskan pada proses-
proses perubahan dan arah jarum jam perubahan
kebudayaan. Paradigma ini mengandaikan pendekatan
prosessual yang di antaranya bermakna proses perubahan
yang terjadi pada kebudayaan dihasilkan oleh faktor-faktor
sebab musabab dan sifat perubahan itu sendiri yang terjadi
pada sistem budaya.
Paradigma arkeologi seperti tersebut di atas
menghasilkan kebijakan arkeologi Indonesia untuk
menggutamakan penelitian pada tema-tema berikut:23
Pertama, proses dan aliran migrasi nenek moyang bangsa
Indonesia dan keturunannya hingga menghasilkan puak-
puak. Kedua proses persentuhan budaya Nusantara denga
tradisi-tradisi besar (Hindu-Budha, Islam, dan Eropa).
Ketiga, adaptasi dan tumbuhnya budaya genuin lokal yang
diperkaya oleh masuknya anasir-anasir luar. Keempat,
proses terjadi dan berlangsungnya diversiikasi kultural.
Kelima, proses dan keberlangsungnya integrasi, amalgamasi
budaya dalam lingkup dan wawasan Nasional.
Problem yang dihadapi arkeologi di antaranya adalah
kesulitan untuk menentukan batasan-batasan secara tegas
dan jelas terhadap data-data apa saja yang termasuk dalam
katagori arkeologi. Sebagai rambu-rambu, pengertian data

23 Hasan Muarif Ambary, Kebijakan Penelitian Arkeologi di Indonesia


yang dilaksanakan oleh Pusat Arkenas, Makalah lepas, tidak terbit, h. 11.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 11


arkeologi adalah bahan dasar dalam kajian dan penelitian
arkeologi.24
Dalam arti sempit data arkeologi mempunyai tiga
domain, yaitu artifak, itur, dan ekofak. Artifak ialah
semua benda yang telah direkayasa oleh tangan manusia
sebagian ataupun keseluruhan. Fitur merupakan gejala
atau pertanda adanya aktiitas manusia yang tidak bisa
dipindahkan tanpa merusak matriknya (materi yang
membungkus benda atau media tempat di mana benda
itu berada). Sedangkan ekofak adalah semua benda yang
bukan buatan manusia tapi terkait erat dengan aktiitas
manusia dan terletak di situs arkeologi. Contoh artifak
adalah kapak, batu arca keramik, contoh itur ialah parit,
candi, masjid dan contoh ekofak misalnya serbuk sari,
tulang binatang. Tapi umumnya semua data arkeologi
tersebut disebut dengan Artifak.
Dalam konteks artifak sebagai data arkeologi maka
Lewis Binford membaginya sebayak tiga katagori25, yaitu:
Ideofak yang berhubungan dengan ideologi dan pemikiran
budaya yang bersifat supranatural, seperti arca dewa dan
peralatan upacara. Sosiofak, artifak yang berkaitan dengan
aktiitas sosial kemasyarakatan, seperti prasasti, batu dakon
dst. Teknofak, artifak yang berhubungan dengan kehidupan
sehari-hari seperti pisau, kail, perahu, dll.

24 Daud Aris Tanudirjo, Retrospeksi Penelitian Arkeologi di Indonesia,


dalam PIA V, ( Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1993/1994), h.
67-96.
25 Hasan Muarif Ambary, Menemukan Perdaban, Jejak Arkeologis dan
Historis Islam Indonesia, ( Jakarta: Logos, 1987), h. 26.

12 | Dr. Jamaluddin, MA
D. arkeologi Sejarah Dan Kebudayaan Islam
Arkeologi merupakan suatu studi yang sistimatik
tentang benda-benda kuno sebagai alat untuk
merekonstruksi masa lampau (Clark, 1960;17). Menggali
sisa peninggalan manusia di masa lampau. Itulah ciri
dari sebuah kajian arkeologi. Sebagai ilmu bantu sejarah,
arkeologi bekerja terkonsentrasi pada horizon waktu
dalam sejarah umat manusia, di mana bukti-bukti tertulis
belum ditemukan; suatu horizon waktu yang kemudian
dikenal sebagai “prasejarah“ di mana perangkat analisa
dan metodologi sejarah tidak memungkinkan untuk
bekerja. Arkeologi bertugas memberi perjelasan terhadap
benda-benda peninggalan umat manusia yang sudah
terkubur, sehingga benda-benda tersebut kemudian
bisa berfungsi sebagai sumber sejarah. Oleh karena itu,
arkeologi berhubungan dengan periode paling archaic
dalam sejarah umat manusia. Arkeologi mengarahkan
kajian pada benda-benda peninggalan umat manusia yang
bersifat material, untuk dihadirkan kembali sebagai “benda
berbicara” yang mewakili dunia masa lampau yang gelap.
Dalam kaitan inilah arkeologi secara sederhana dipahami
sebagai ilmu “untuk menulis sejarah berdasarkan sumber-
sumber material” atau sebagai “studi yang sistematik
terhadap kepurbakalaan (antiquities); sebagai alat untuk
merekonstruksi masa lampau”.26
Arkeologi dibedakan dari sejarah dengan bertumpu
hanya pada tersedianya data tertulis. Oleh karena itu
dalam perkembangannya kemudian, perbedaan itu tidak
bisa dipertahankan. Arkeologi berkembang menjadi
menjadi suatu disiplin ilmu yang tidak hanya berurusan

26 Ambary, Menemukan…, h. ix.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 13


dengan masa pra-sejarah, tetapi juga masa sejarah.
Meskipun tentu saja, benda-benda material berupa artifak
dan situs purbakala tetap menjadi sasaran utama kajian
arkeologi. Bahkan, pola kajian arkeologi terakhir ini yang
lebih berkembang dalam konteks sejarah Islam Indonesia.
Arkeologi telah memberi sumbangan yang sangat besar
dalam kajian-kajian para sarjana tentang sejarah Islam
di Indonesia. Lebih dari itu, dengan perkembangan ini,
arkeologi sebagai ilmu bantu sejarah tampak semakin
memperoleh rumusan yang jelas.
Demikianlah untuk masa awal-awal perkembangan
Islam di Indonesia, suatu periode sejarah kerap dinilai
masih kabur, arkeologi jalas telah memberi konstribusi
sangat berarti. Kajian arkeologi dalam konteks ini sangat
mendukung berita-berita sejarah yang terdapat baik dalam
tulisan lokal maupun asing, yang menjadi sasaran perhatian
para sarjana. Sehingga sumber-sumber tertulis tentang
proses islamisasi, yang memang bersifat pragmentaris,
memperoleh dukungan faktual dari hasil arkeologi. Kajian
arkeologi telah memperkaya kajian Islam di Indonesia.
Artifak yang berhubungan erat dengan agama Islam
Nusantara, secara isik setidaknya ada tiga bangunan, yakni
Masjid, Istana dan Kuburan. Fungsi dan kegunaan tiga
bangunan tersebut secara ilosois dapat dijelaskan dengan
pendekatan yang digunakan oleh Binford ketika membagi
artifak dalam tiga katagori, yakni, ideofak, sosiofak dan
teknofak.
Artifak Islam dalam perspektif ideofak inilah yang
henda diurai dalam pembahasan. Namun sebelum
menguraikan sewajarnya terlebih dahulu akan dijelaskan

14 | Dr. Jamaluddin, MA
mengapa Masjid, Istana dan Kuburan merupakan artifak
Islam terpenting.
Masjid merupakan sentral bagi Islam. Nabi Muhammad
ke Madinah dalam perjalanan hijrah, pertama dan yang
utama dibangun adalah membangun masjid. Bahkan di
manapun komunitas Islam berada maka masjid menjadi
ciri utama. Sentralitas masjid bagi umat Islam bukan hanya
dari dimensi ibadah tapi juga dari segi sosial budaya.
Sering dijumpai dalam dunia Islam, bangunan masjid
masih berdiri dengan megah sementara bangunan lainnya,
seperti Istana sudah sirna. Secara ideofak ini menjelaskan
pada arkeolog bahwa latar belakang pemikiran budaya
pembangunan masjid, memiliki intensitas yang agung dan
adiluhung.
Bahkan menurut C. H. Dawson, “Kita tidak akan
mengerti bentuk paling dalam dari bangunan jiwa sosial
tanpa kita mengetahui keyakinan agama yang ada di balik
realita. Sepanjang zaman, kreatiitas utama pekerjaan
budaya, berlangsung karena inspirasi agama dan untuk
dedikasi atas nama tujuan agama.”27
Pendapat Dowson di atas signiikansinya dapat
dibuktikan dalam artifak-artifak yang sekarang bertebaran
di bumi Nusantara. Kreatiitas agung umat manusia dapat
dilacak pada borobudur, prambanan, masjid Demak,
masjid Aceh, masjid Palembang dll, yang kesemuanya
diinspirasi oleh keyakinan agama yang laten di Nusantara.
Bahkan lebih monumental lagi, ketika bangunan religi

27 Nurhadi Magetsari, Kemungkinan agama sebagai alat pendekatan


dalam penelitian, dalam Pertemuan Ilmiyah Arkeologi, Cibulan 21-25 Pebruari
1977, Pusat Penelitian Purbakala dan Peeninggalan Nasional, ( Jakarta: PT
Rora Karya, 1980), h. 498.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 15


tersebut di atas masih berdiri dengan megah, sementara di
sisi lainnya bangunan istananya sudah banyak yang hancur.
Ini membuktikan bahwa inspirasi agama lebih agung dan
adiluhung dibanding inspirasi lainnya.
Perspektif budaya, ideofak masjid, menjadi pertanda
paling menonjol, ketika Islam telah hadir dan mengadakan
penetrasi budaya di suatu komunitas. Masjid-masjid kuno
bertebaran di seantero Nusantara, dengan bentuk dan
ciri khas masing-masing dan tentunya juga membentuk
budaya Islam yang beragam di setiap kumunitas.28
Selain masjid, makam juga menjadi salah satu bangunan
penting dalam Islam. Tata laku dan tata nilai yang melandasi
bangunan kuburan, di inspirasi oleh gagasan atau idea,
baik yang bersifat sosiologis ataupun bersifat religis, untuk
mensikapi dan mengartikulasi kehidupan dalam hidup dan
kematian setelah hidup. Sementara bentuk isik pekuburan
telah mendapatkan sentuhan teknologi manusia dalam
merekayasa rancang bangun. Berdasarkan klasiikasi
artifak yang dikonsep oleh Lewis Binford, maka bangunan
makam pekuburan mempunyai tiga domain fungsi, yakni
pekuburan dalam dimensi idiofak, sosiofak dan teknofak.29
Dimensi Ideofak menjelaskan bahwa pekuburan Islam
dibangun atas landasan nilai-nilai agama Islam mensikapi
kehidupan dan kematian. Tuntunan tentang hidup dan
mati dalam Islam secara langsung banyak diajarkan dalam
Al-Quran dan Hadist Nabi.
Artifak makam tertua di Nusantara yang ditunjukan
oleh batu nisan Fatimah binti Maimun, wafat pada tahun
28 Untuk mengetahui puspa ragam budaya yang hadir dalam artifak
masjid, lihat, I.G.N. Anom, dkk. Masjid Kuno Indonesia, ( Jakarta: Dirjen
Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998/1999).
29 Ibid, h. 3.

16 | Dr. Jamaluddin, MA
475 H/ 1082 M, memberi petunjuk fase-fasi kehadiran
Islam dinusantara.30Dari ketiga artifak utama Islam
Nusantara dapat dilacak berbagi budaya yang berlangsung
di Nusantara, khususnya yang berkaitan dengan budaya
Islam. Artifak-artifak tersebut di atas bila dinalar dalam
dimensi ideofak, sosiofak dan teknofak akan menemukan
berbagai penjelasan tentang eksistensi Islam. Secara
tersirat, dari artifak-artifak tersebut dapat dilacak, proses
persentuhan budaya Nusantara dengan tradisi-tradisi besar
(Hindu-Budha, Islam, dan Eropa). Adaptasi dan tumbuhnya
budaya genuin lokal yang diperkaya oleh masuknya anasir-
anasir luar. Proses terjadi dan berlangsungnya diversiikasi
kultural. Proses dan keberlangsungan integrasi, amalgamasi
budaya dalam lingkup dan wawasan Nasional.
Dengan bantuan dari berbagai macam disiplin ilmu-
ilmu sosial lainnya artifak-artifak Islam dapat menjelaskan
kehadiran Islam dan berbagai dinamikanya di bumi
Nusantara.

30 Hasan Muarif Ambary, Menemukan…, h. 56.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 17


BAGIAN I:
JEJAK ISLAM DI LOMBOK
SELATAN
UrgenSI KaJIan arKeOLOgIS SeJaraH
DI LOMBOK SeLatan

Jejak-jejak Islam di Lombok Selatan dapat ditemukan


di beberapa tempat, seperti di Pujut dan Rembitan. Kedua
desa tersebut berada di satu kecamatan, yaitu kecamatan
Pujut. Jejak-jejak Islam di kedua wilayah ini masih tegak
berdiri, bahkan situs yang ada di kedua tempat tersebut
telah menjadi Cagar Budaya yang dilindungi oleh negara.
Karena itu semua yang berada di dalam lingkungan situs
tersebut dijaga dan perawatannya dibiayai oleh negara.
Desa Rembitan kecamatan Pujut di Lombok Selatan
merupakan desa-desa yang pada masa awal-awal kehadiran
Islam telah menunjukkan eksistensinya, sebagai pusat
penyebaran dan kajian Islam. Hal ini terbukti dengan
banyaknya ditemukan jejak-jejak atau peninggalan-
peninggalan Islam, seperti mesjid kuno, gedeng, makam-
makam, dan sebagainya. Namun demikian, tinggalan-
tinggalan yang menjadi simbol kesuksesan Islam tersebut
tidak banyak yang mengenalnya. Rembitan paling banyak
ditemukan tinggalan-tinggalan Islamnya, tetapi Rembitan
lebih dikenal bukan karena mesjid kunonya, melainkan
karena di desa ini terdapat kampung tradisional. Baik
kampung tradisional maupun mesjid kuno sama-sama
masih tegak berdiri, dan masing-masing memiliki nilai
kesejarahan, namun berbeda dalam hal perhatian baik
dari masyarakat, peneliti, maupun pemerintah. Kampung
Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 21
tradisional memberikan devisa bagi pemerintah, paling
tidak bagi pemerintah desa atau masyarakat setempat.
Sebenarnya desa Rembitan berada pada jalur pariwisata di
Lombok Selatan, dan memiliki nilai jual yang tinggi bagi
sektor kepariwisataan.
Berbeda dengan mesjid kunonya, kalaupun satu atap
dengan sektor kepariwisataan (di bawah naungan Menteri
Budaya dan Pariwisata), sangat sedikit yang peduli. Para
peneliti (arkeolog) yang diharapkan dapat memberikan
perhatian secara serius untuk menjelaskan historisitas
dari mesjid kuno tersebut, belum juga tewujud. Hal ini
lebih disebabkan karena kurangnya peneliti arkeolog dari
daerah ini (Lombok), sementara arkeolog dari luar belum
ada yang melakukan kajian baik alasan teknis atau karena
alasan lain untuk sampai ke daerah tempat mesjid kuno ini
berada.
Di Lombok selatan paling tidak terdapat dua mesjid
kuno, yaitu di Rembitan dan Pujut. Kedua mesjid ini
diperkirakan memiliki umur yang sama. Demikian juga
halnya dengan mesjid kuno yang ada di Bayan Lombok
Utara, yang memiliki umur dan gaya arsitektur yang sama.
Bayan dikenal oleh para peneliti bukan karena mesjidnya,
tapi karena Islam Wetu Telu-nya, khususnya di kalangan
sosiolog atau antropolog.
Bangunan masjid merupakan simbol keagamaan
yang sangat tinggi dalam Islam. Selain untuk kegiatan
ibadah sholat, masjid menjadi pusat kegiatan keagamaan
dan sosial. Karena pentingnya mesjid dalam kehidupan
beragama dalam Islam, Rasulullah SAW. ketika hijrah ke
Madinah 14 abad yang lalu yang dibangun pertama adalah
Masjid.

22 | Dr. Jamaluddin, MA
Para sahabat Rasulullah dan ulama belakangan tradisi-
tradisi semacam ini tetap dipertahankan, di mana mereka
menyebarkan dan mengajarkan agama, pembangunan
mesjid menjadi skala prioritas. Di Lombok Selatan,
khususnya di Rembitan dan Pujut para penyebar Islam awal
telah melakukan hal yang sama seperti yang dicontohkan
oleh Rasulullah, yaitu dengan membangun mesjid, dan
tempat-tempat pertemuan (sebagai tempat pengajaran
ilmu agama), masyarakat setempat menyebutnya gedeng.
Tinggalan-tinggalan ini telah menjadi bukti kesuksesan
Islam di Lombok Selatan pada masa lampau, oleh sebagian
orang justru menilai sebaliknya bahwa Islam di Lombok
Selatan adalah Islam yang “ternodai” (sinkretis), “Islam
pejoratif”, “Islam pinggiran”, dengan tanpa mengkaji secara
mendalam tinggalan-tinggalan tersebut secara ilmiah.
Untuk mengkaji tinggalan-tinggalan Islam seperti
mesjid kuno, makam, atau bangunan-bangunan lainnya
yang bersifat kebendaan menjadi wilayah kajian arkeologi.
Khususnya yang berkaitan dengan tinggalan-tinggalan
Islam menjadi objek kajian bagi arkeologi Islam atau yang
biasa disebut dengan arkeologi sejarah. Arkeologi sejarah
berusaha memberikan penjelasan terhadap tinggalan-
tinggalan tersebut, dan menggunakan ilmu-ilmu sosial
lainnya sebagai ilmu bantu. Karena itu menjadi penting
atau sebuah keharusan bagi kalangan ilmuan untuk
menemukan atau menguak tentang pertumbuhan dan
perkembangan Islam di Lombok Selatan.
Beberapa indikasi lain yang dapat dikemukakan di
sini, tentang pentingnya tulisan ini menjadi sangat urgen
untuk dilaksanakankan, karena ditemukan beberapa nama
tokoh yang hingga saat ini masih menjadi “selebritis”,

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 23


dan sangat disegani oleh masyarakat setempat kalaupun
yang bersangkutan sudah ratusan tahun meninggal dunia,
yaitu Wali Nyato’. Wali Nyato’ merupakan tokoh yang
paling berjasa dalam proses islamisasi di wilayah Lombok
Selatan. Tokoh ini bukan hanya dihormati dan disegani
pada masa hidupnya, melainkan sampai sekarang masih
menjadi penomena. Hal ini dapat dilihat pada ramainya
orang yang mengunjungi makamnya. Kunjungan ke
makam Wali Nyato’ tidak boleh dilakukan selain hari
Rabu. Menurut informasi yang penulis peroleh khususnya
tentang waktu kunjungan itu (hari Rabu), telah menjadi
wasiat Wali Nyato’ pada saat masih hidup, dan kalau wasiat
itu dilanggar atau tidak diikuti, masyarakat Rembitan dan
sekitarnya mempercayai, Allah akan menurunkan bencana
atau musibah bagi masyarakat setempat. Karenanya
masyarakat setempat (desa Rembitan) akan menghalangi
siapa saja yang akan melakukan ziarah makam selain hari
yang diwasiatkan oleh Wali Nyato’, bahkan mereka siap
berperang untuk yang satu ini. Tentunya ini tidak dapat
dianggap remeh, kebesaran Wali Nyato’ hingga sekarang
ini masih didengungkan oleh masyarakat setempat.
Dalam pandangan mereka Wali Nyato’ seorang waliullah
yang memiliki kelebihan (karomah), dan telah berhasil
membawa masyarakat di Lombok Selatan kepada jalan
yang hak yaitu Islam.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengungkap
tentang pertumbuhan dan perkembangan Islam di Lombok
Selatan. Karena data-data atau tinggalan-tinggalan yang
merupakan jejak Islam berupa data-data arkeologis maka
pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah
pendekatan arkeologi Islam (arkeologi sejarah).

24 | Dr. Jamaluddin, MA
Berdasarkan uraian tersebut di atas, ada beberapa
hal yang ingin dikemukakan pada tulisan ini, antara
lain, Pertama, dengan ditemukan beberapa peninggalan
arkeologi Islam, di Lombok Selatan, maka perlu diungkap
tentang peninggalan-peninggalan arkeologi Islam yang
ada di wilayah tersebut. Kedua, Dengan memperhatikan
gaya arsitektur bangunan-bangunan pada situs di Lombok
Selatan, masih ada kesamaan atau kemiripan dengan gaya
arsitektur bangunan-bangunan kuno yang ada di tempat
lain (baik itu di Lombok maupun beberapa tempat di Nusan-
tara) meng indikasikan bahwa terdapat hubungan antar
Lombok Selatan dengan wilayah lainnya. Ketiga, dengan
ditemukan bukti-bukti atau peninggalan-peninggalan
berupa kebendaan yang merupakan peninggalan
Islam, seperti Mesjid Kuno, Gedeng (tempat pengajaran
agama), makam yang berjirat, dan sebagainya. Hal ini
mengindikasikan bahwa keislaman orang-orang yang ada
disekitarnya telah menunjukkan eksistensinya secara nyata
pada saat itu. Selain itu juga, dari peninggalan-peningalan/
bangunan-bangunan yang ada, dapat diketahui bahwa
bangunan-bangunan tersebut memiliki peran atau fungsi
sosiologis terhadap masyarakat muslim di sekitarnya,
khususnya yang berkaitan dengan sistem pendidikan dan
pengajaran agama Islam di masyarakat.
Sebagai sebuah kajian arkeologi Islam (arkeologi
sejarah) yang menjadikan peninggalan-peninggalan
arkeologis sebagai sumber utama, maka kajian ini
antara lain diharapkan dapat: Pertama, memberikan
kontribusi terhadap perkembangan kajian Sejarah dan
Peradaban Islam baik pada tataran lokal, nasional, bahkan
internasional, sehingga Lombok dapat ditempatkan
pada meanstrem global dalam kajian kesejarahan. Kedua,

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 25


memberikan sumbangan bagi khazanah intelektual dan
bagi pengembangan ilmu sejarah, khususnya sejarah
lokal akan dapat menambah dan melengkapi kekurangan
referensi (sumber-sumber sejarah lokal) baik pada sekolah-
sekolah maupun perguruan tinggi di Nusa Tenggara Barat.
Ketiga, memberikan sumbangan bagi lembaga-lembaga
peneliti baik pemerintah maupun swasta akan sangat
berguna bagi pengembangan kajian selanjutnya.
Sumber kajian dari studi ini adalah sumber-sumber
arkeologis, sehingga pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan arkeologi. Sumber-sumber arkeologis di-
gunakan untuk merekonstruksi pertumbuhan dan per-
kembangan Islam di Lombok Selatan. Namun demikian
apabila hanya membaca atau menganalisis tinggalan-
tinggalan arkeologi, mungkin tidak akan banyak
memberikan penjelasan yang berarti bagi kajian ini. Oleh
karenanya karya-karya yang ditulis sezaman dengan masa
yang dikaji dalam tulisan ini atau ditulis oleh mereka
yang masanya lebih dekat dengan masa yang dikaji yang
menjadi pembahasan dalam studi ini merupakan sumber
yang sangat penting.
Di antara sumber-sumber yang termasuk dalam
kategori sumber utama adalah historiograi lokal yang
dalam masyarakat Sasak dikenal dengan nama babad atau
manuskrip. Babad atau naskah-naskah tersebut ditulis
sekitar abad ke-17, yang kemudian dilakukan penyalinan
oleh generasi sesudah mereka, karena itu banyak babad-
babad atau naskah yang merupakan salinan atau turunan.
Historiograi lokal atau manuskrip-manuskrip yang
dimaksud antara lain, Babad Lombok. Babad ini diketahui
selesai ditulis (oleh penyalin) pada tahun 1301 H atau 1883

26 | Dr. Jamaluddin, MA
M. dengan menggunakan huruf jejawen (huruf Sasak),
bahasa Kawi, ditulis di atas daun lontar, tidak disebutkan
penulisnya siapa. Kemudian ditransliterasikan pertama
kali oleh Ida Putu Mergig, sampai bait 324, (Babad
Lombok I) selesai pada tahun Caka 1894 /1972 M. dengan
menggunakan huruf latin, bahasa Kawi. Pada tahun, 1979
M. secara keseluruhan telah ditransliterasikan oleh Lalu
Wacana, dengan menggunakan bahasa Kawi, tulisan latin,
diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Jakarta.
Sumber-sumber pendukung adalah karya-karya ilmiah
yang membahas objek kajian yang sama, baik dari segi
tema, maupun wilayah dan masanya. Antara lain karya
Othman Mohd. Yatim, Batu Aceh: Early Islamic Gravestones
In Peninsular Malaysia. Karya ini akan sangat membantu
penulis dalam memahami batu nisan yang ada di situs
Rembitan, khususnya dalam melacak pengaruh atau
hubungan antara Rembitan dengan negeri muslim lainnya
melalui tipe-tipe atau ragam hias yang ada pada batu nisan
di situs Rembitan.
Beberapa karya lainnya adalah tulisan Uka
Djandrasasmita, Arkeologi Islam di Indonesia dari Masa ke
Masa, yang kaya dengan temuan-temuan arkeologi Islam di
Indonesia. Tidak dapat diabaikan juga karya Hasan Muarif
Ambary, Menemukan Peradaban: Melacak Jejak Arkeologi
Islam di Nusantara, buku ini selain menampilkan kajian
arkeologis, juga melakukan elaborasi lebih luas terhadap
tinggalan-tinggalan arkeologi dengan analisis sosio-kultul
masyarakat di Nusantara. karena itu dalam tulisan ini
karya sarjana arkeologi Islam alumnus Ecole des Hautes
Etude en Science Sociales (EHESS) Paris ini, akan menjadi

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 27


sangat penting untuk dijadikan rujukan, dan karya-karya
lain yang ada kaitannya dengan tulisan ini.
Khususnya karya-karya yang secara langsung
berhubungan dengan situs-situs di Rembitan dan Pujut
akan turut membantu paling tidak tentang perubahan-
perubahan karena adanya pemugaran yang pernah
dilakukan oleh pihak pemerintah. Tentang hal ini ditemukan
dalam buku Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan di Nusa
Tenggara Barat, yang sengaja diterbitkan oleh Depdikbud
NTB, namun demikian buku ini lebih sifatnya informatif
ketimbang analisis arkeologis.
Memperhatikan berbagai sumber di atas, kalaupun
beberapa sarjana atau lembaga yang telah melakukan
kajian atau tulisan arkeologis di Lombok, akan tetapi
belum ada kajian arkeologis yang mengarahkan kajiannya
untuk mengungkap pertumbuhan dan perkembangan
Islam di Lombok Selatan. Untuk itu tulisan ini diharapkan
dapat mengisi ruang kosong yang belum terisi oleh kajian-
kajian sebelumnya.

28 | Dr. Jamaluddin, MA
SItUS reMBItan:
JeJaK ISLaM DI LOMBOK SeLatan

a. Pengantar
Buku ini menguraikan tentang kajian arkeologi sejarah
terhadap situs-situs Rembitan. Oleh karena itu pada bagian
ini terdiri dari temuan situs-situs di Rembitan. Berbagai
proses yang ada di dalamnya mengikuti petunjuk-petunjuk
dalam pendekatan arkeologi sejarah. Sebagai kajian
arkeologi sejarah maka survei terhadap situs-situs menjadi
sebuah keharusan. Hasil survei tersebut akan diuraikan
dalam keseluruhan bagian ini.
Temuan survei sepenuhnya berisi atau menguraikan
kondisi lapangan apa adanya berdasarkan standar kajian
arkeologi. Sebagai kajian arkeologis, maka analisis situs
menjadi bagian yang paling urgen. Namun demikian
kajian ini merupakan kajian arkeologi sejarah akan
menganalisis tidak hanya ditujukan terhadap tinggalan-
tinggalan arkeologis semata, akan tetapi selain berisi
penafsiran-penafsiran data arkeologis juga berisi tentang
penafsiran sejarah yang didukung oleh data-data sejarah
berupa sumber-sumber historis, yang sudah melalui proses
pendekatan sejarah. Bagian analisis akan diuraikan pada
bab berikutnya.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 29


B. Letak dan gambaran Situs rembitan
Di Rembitan, kecamatan Pujut, kabupaten Lombok
Tengah, terdapat dua tinggalan arkeologis yang penulis
jadikan sebagai objek kajian. Kedua tinggalan arkeologis
tersebut sampai sekarang masih tegak berdiri dan banyak
mendapat perhatian masyarakat, yaitu Masjid Kuno
Rembitan dan Makam Nyatok. Keduanya merupakan
peninggalan Islam yang memiliki nilai historis yang sangat
tinggi.
Masjid Kuno Rembitan terletak di desa Rembitan,
3 kilometer dari kota kecamatan, di tengah-tengah
perkampungan penduduk pada lereng suatu perbukitan.
Dari kota kecamatan dapat dicapai dengan segala jenis
kendaraan bermotor baik yang berukuran kecil maupun
sedang. Ada dua jalur yang dapat dilalui untuk menuju
ke lokasi Masjid Kuno Rembitan, jalur selatan dan jalur
utara. Jalur selatan, masuk melalui gerbang selatan masjid
(masjid baru) desa Rembitan, belok kanan dari arah Pujut-
Kute. Jalur ini dapat dilalui oleh mobil berukuran sedang
sampai di dekat Masjid Kuno Rembitan. Jalur selatan ini
sekitar 300 meter yang sudah beraspal, belok kanan masuk
gang Masjid Kuno Rembitan, sampai di masjid kurang
lebih 200 meter tidak beraspal, jalan agak sedikit tidak
rata. Sepanjang jalan jalur selatan ini dari gang masuk
pertama sampai di dekat masjid jalannya menanjak,
bahkan di gang kedua agak sedikit terjal, sehingga mobil
yang agak rendah agak kesulitan untuk dapat melalui jalan
tersebut. Sedangkan jalur utara, masuk melalui gerbang
utara Madrasah Ibtidaiyah (lokasi kantor desa Rembitan
lama), belok kanan dari arah Pujut-Kute. Jalur ini jalannya
tidak beraspal dan agak sedikit lebar, sehingga dapat dilalui
oleh berbagai macam mobil, hanya saja mobil tidak dapat

30 | Dr. Jamaluddin, MA
langsung sampai ke Masjid Kuno Rembitan seperti jalur
selatan, kendaraan hanya sampai di pinggiran bukit, yang
selanjutnya ditempuh dengan jalan kaki. Dari pinggiran
bukit kurang lebih jalannya 200 meter, juga agak sedikit
menanjak sampai di lokasi Masjid Kuno Rembitan.
Lokasi kedua yaitu, Makam Nyatok. Makam Nyatok
terletak di Desa Rembitan, 4,5 kilometer dari kota
kecamatan (Pujut), berada pada sebuah bukit yang jarak
tempuhnya kurang lebih 1,5 kilometer dari gang masuk
di desa Rembitan. Letak Makam Nyatok dapat ditempuh
dengan berbagai macam jenis kendaraan, sepanjang
jalan menuju Makam Nyatok sudah beraspal, kalaupun
di beberapa tempat sudah mengalami kerusakan. Jalan
menanjak menaiki bukit dimulai setelah kilometer
pertama, kalaupun demikian kendaraan dapat langsung ke
tempat parkiran kendaraan para penziarah Makam Nyato.
Dari tempat parkiran dilanjutkan dengan jalan kaki kira-
kira 100 Meter.

C. Situs rembitan
1. Situs I: Masjid Kuno Rembitan
Masjid Kuno Rembitan adalah salah satu di antara
masjid-meskid kuno yang terdapat di pulau Lombok.
Adapun ciri-ciri yang memperlihatkan kekunoannya ialah:
Pertama, mihrab atau pengimaman dibangun menjorok
ke luar pada dinding barat tidak menunjukkan arah kiblat
yang tepat, bahkan serong 7 derajat ke arah barat daya
dari kepulauan Indonesia; Kedua, atapnya tumpang (dua
tingkat) dengan ciri khas tingkat pertama (bawah) rendah
(kira-kira 1 m dari bataran), sehingga pintu masuknya pun
mempunyai ukuran rendah dan apabila orang memasuki

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 31


masjid harus membungkukan badannya; Ketiga, bangunan
hanya terdiri dari bangunan inti saja (tanpa serambi),
didukung oleh empat buah tiang utama (soko guru)
dan beberapa tiang kecil lainya; Keempat, Fondasi atau
bataran dari tanah dengan ukuran yang hampir mendekati
bujur sangkar; Kelima atapnya dari alang-alang dan ijuk,
sedangkan dinding-dindingnya dari anyaman bambu atau
bedek.
Ciri-ciri tersebut di atas dapat dianggap sebagai tipe
dasar dari masjid–masjid kuno di Lombok. Kecuali pada
Masjid Kuno Rambitan, ciri-ciri itu dapat juga kita lihat
pada Masjid Kuno Pujut di Desa Pujut, Kecamatan Pujut
dan Masjid Kuno Bayan di Desa Bayan, Kecamatan Bayan,
hanya saja pada Masjid Kono Bayan atapnya dari bambu
(orang bayan menyebutnya santek).
Masjid Kuno Rembitan merupakan tinggalan purbakala
yang masih difungsikan atau living monument karena masih
dipergunakan oleh masyarakat setempat sebagai tempat
beribadah. Sekalipun masjid dipergunakan setiap harinya,
masyarakat setempat tidak berani memasang penerangan
lampu berminyak atau listrik di malam hari, karena konon
sudah merupakan tradisi sejak zaman Wali Nyato dan
masyarakat sampai sekarang takut melanggarnya. Masjid
Kuno Rembitan memiliki kelengkapan-kelengkapan
yaitu, selain bangunan inti masjid, juga terdapat mihrab
dan mimbar masjid (tempat khatib), bedug masjid, kolam
masjid, tempat lampu (lampu non minyak, dile jarak: Sasak)
dan tempat tikar.

32 | Dr. Jamaluddin, MA
Gambar 1: Masjid Kuno Rembitan

Pintu masuk ke dalam masjid di sebelah selatan, bukan


di sebelah timur tegak lurus dengan mihrab sebagaimana
lazimnya pada masjid-masjid kuno, baik yang terdapat
di pulau Lombok maupun di tempat-tempat lain di luar
pulau Lombok. Dilihat dari cara penempatan bangunan
dan luasnya halaman masjid, penempatan pintu masuk
pada dinding selatan cukup beralasan, karena di sebelah
timur masjid jarak antara sisi fondasi (bantaran) dengan
pagar keliling terlalu sempit, sedangkan permukaan tanah
di luar pagar sudah rendah sekali (curam). Sehingga kalau
dilihat dari tata letaknya, jika pintu masuk di dinding timur
tentu agak menyulitkan. Sebaliknya di sebelah selatan

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 33


masjid, halaman cukup luas, sehingga orang yang ingin
keluar-masuk masjid tidak akan terganggu.

Gambar 2: Gerbang masjid bagian selatan pintu terbuka (tampak dari dalam)

Gambar 3: Gerbang masjid bagian selatan pintu tertutup dengan engsel


pelocok

34 | Dr. Jamaluddin, MA
Gambar 4: Pintu gerbang masjid sebelah timur

Di depan pintu masuk terdapat kolam kering yang


dalamnya 2,5 m dan mempunyai garis tengah 5 m pada
bagian atas dan 3 m pada bagian bawahnya. Kolam ini
memiliki lima anak tangga untuk turun ke bawah. Kuat
dugaan dulu kolam ini selalu berair yang dipergunakan
sebagai tempat mengambil air wuduk untuk solat dan cuci
kaki bagi orang yang akan memasuki masjid. Kalau dilihat
dari kondisi kolam sekarang ini, dari sisi ukuran dapat

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 35


dipastikan masih dipertahankan, khususnya susunan batu
yang kokoh saling berpegangan antara yang satu dengan
yang lainnya diperkuat dengan semen dan pasir itu diduga
dipasang pada saat pemugaran majid. Kalaupun demikian
penggunaan semen sebagai campuran untuk menguatkan
batu-batu kolam selain untuk mempertahankan atau
memperlambat kerusakan juga untuk mempertahankan
bentuk aslinya.

Gambar 5: Tangga sumur masjid

36 | Dr. Jamaluddin, MA
Gambar 6: Dasar sumur di halaman masjid

Gambar 7: Sumur di halaman masjid

Sebagaimana lazimnya, secara vertikal bangunan


masjid dibagi menjadi tiga, yakni: fondasi atau bataran,

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 37


badan dan atap. Pondasinya berukuran 8.20 m x 7.00 m dan
tinggi 0.70 m (diukur dari sisi timur), seluruhnya dibuat dari
tanah dengan konstruksi yang amat sederhana. Pada sisi
utara (bataran utara) terdapat saluran pembuangan yang
senganja dibuat untuk membuang sampah atau sisa-sisa
makanan setelah selesai mengadakan upacara keagamaan
di masjid. Keberadaan lubang pembuangan di sini menjadi
sangat penting karena dilihat pada model pintu masjid,
dimana posisi kayu palang bawah antara daun pintu yang
satu dengan daun pintu yang lainnya berada lebih tinggi
dari bataran masjid, karena itu maka pintu tersebut tidak
dapat digunakan untuk membawa keluar sampah atau
kotoran pada saat disapu dari dalam masjid. Karena itu
lubang pembuangan yang ada di sebelah utara dapat
langsung berfungsi sebagai saluran untuk pembuangan
sampah dari dalam masjid pada saat disapu.
Tiang penyangga utama (soko guru) ada 4 buah
(semua dalam keadaan utuh) terbuat dari kayu Tanjung
Gunung, bentuknya bulat dengan ukuran diameter 0.20 m
dan tinggi 5 m. Kepala tiang berbentuk segi delapan dan
pada puncaknya terdapat hiasan kelopak bunga teratai
berdaun delapan yang dipahat secara kasar. Keempat tiang
penyangga utama (soko guru) ini berdiri di atas umpak
dari batu alam. Tiang pinggir berjumlah 27 buah dengan
perincian sebagai berikut: 4 buah tiang sudut dari Kayu Ipil,
berukuran 0.15 x 0.15 m x 1.50 m; 21 buah tiang keliling
yang lain dibuat dari kayu Ipil dengan ukuran 0.12 m x 0.8
m x 1.50 m; 2 buah tiang mihrab berukuran: 0.12 m x 0.8
m x 1.20 m (keduanya masih utuh). Jadi jumlah seluruhnya
31 buah.

38 | Dr. Jamaluddin, MA
Gambar 8: Tiang Soko Guru

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 39


Gambar 9: Lampu pada tiang Soko Guru

40 | Dr. Jamaluddin, MA
Dindingnya sebagian besar terbuat dari bambu yang
dianyam (bahasa Sasak: ulat saje) kecuali dinding selatan.
sebelah timur pintu masuk dari papan kayu berung (sejenis
kelas I). Pada dinding bagian timur dan bagian utara
terdapat ventilasi-ventilasi dalam ukuran kecil, ventilasi
tersebut berderet dengan ukuran dan jarak yang sama dari
ventilasi yang satu ke ventilasi yang lainnya.
Adanya dua jenis dinding ini, yaitu bambu (bedek)
dan papan, konon dimaksudkan sebagai pengiling-iling
agar manusia berikir dan dapat membedakan antara
makhluk dengan khaliknya, antara raja dengan rakyatnya,
antara baik dan buruk, antara nahi dan mungkar dan lain
sebagainya.

Gambar 10: Dinding pojok

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 41


Gambar 11: Dinding/pagar tanpa ventilasi

Pintu masuk di sebelah selatan seluruhnya dibuat


dari kayu, berukuran lebar 0.63 m dan tingginya 1.24 m.
Karena pintunya ini rendah maka orang yang ingin masuk
ke dalam masjid harus membungkukkan badannya. Daun
pintu polos (tanpa hiasan) bentuknya antik memakai engsel
(Sasak: engsel pelocok). Engsel pelocok terbuat dari kayu
yang diselipkan pada kedua daun pintu, yang memegang
keduanya hanya dengan satu kayu penghubung. Jadi
lubang yang dibuat tepat ditengah pintu berhadapan antara
daun pintu yang satu dengan daun pintu sebelahnya. Kayu
penghubungnya diikat dengan tali yang dibuat atau dipintal
dari serabut ijuk yang kecil-kecil dan lembut.

42 | Dr. Jamaluddin, MA
Gambar 12: Dinding dengan papan kayu

Gambar 13: Engsel Pelocok di pintu masjid

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 43


Bagian atap bertingkat dua, tingkat pertama (bawah)
dibuat sedemikan rendahnya dari permukaan tanah
sehingga bidang permukaan keempat sisinya begitu miring,
yang kalau diperhatikan secara seksama, memberikan
kesan kepada bentuk segitiga sama sisi. Dilihat dari segi
konstruksi, bentuk atap semacam ini sesungguhnya lebih
menguntungkan karena air hujan dapat dengan cepat
jatuh ke tanah, dengan demikian atap mudah kering, dan
dapat tahan lebih lama.
Pada puncaknya terdapat sepotong kayu nangka
berukuran 25 cm x 25 cm x 70 cm, dipahat dengan relief
timbul dengan ukiran yang menurut istilah setempat
disebut karang jahe dan penggel. Pada ujung kayu bertengger
miniature seekor burung (juga dari kayu), membelakangi
arah kiblat, (ekor di barat, kepala menghadap timur). Kayu
nangka yang berukir ini menurut istilah lokal desebut
“poki’, yang di tempat lain dapat disamakan dengan
mustoko, memolo ( Jawa) atau batabah (Sulawesi Selatan).
Bahan atapnya dari alang-alang dan ijuk sedangkan
usuk dan warasnya (Sasak: kerangke) dari kayu tanjung
gunung ada 12 biji, dan sisanya bambu. Pada setiap
sambungan tidak menggunakan paku, mengunakan
sistem kait, misalnya pada kayu usuk menggunakan saeng:
Sasak, dan sitem ikat, ikatan menggunakan: tali ijuk, daun
memali, dan tali saot (tali yang biasa diperoleh dari akar-
akar kayu, lelonto: Sasak).

44 | Dr. Jamaluddin, MA
Gambar 14: Tampak bagian atas atap dari dalam

Gambar 15: Hiasan pada bagian atas salah satu tiang utama

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 45


Gambar 16: Penggunaan tali pada setiap sambungan (ikatan) tidak
menggunakan paku

Gambar 17: Sambungan-sambungan tidak menggunakan Paku

46 | Dr. Jamaluddin, MA
Gambar 18: Mustoko di bagian paling atas masjid

Mihrab pada dinding barat menjorok ke luar 1 m dengan


arah tidak tepat ke kiblat. Ukuran mihrab menunjukkan
bahwa mihrab ini memiliki fungsi tidak lebih hanya
sebagai penanda arah kiblat. Mihrab ini berukuran sangat
kecil, dan rendah sehingga imam yang pada umumnya
memimpin solat dalam mihrab, maka pada masjid ini
imam tidak berada di dalam mihrab, karena tinggi mihrab
tidak lebih dari satu meter dari dasar banguan. Imam solat
akan mengambil posisi agak lebih belakang, paling tidak
setengah dari dari tempat sujut makmum pada saf pertama
akan dijadikan tempat berdirinya imam.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 47


Gambar 19: Mihrab tempat imam, mengimami solat Jamaah

Di dalam ruangan masjid terdapat sebuah mimbar


dari kayu beratapkan anyaman bambu, berukuran 0.81
m x 0.56 m x 1.38m. Tempat duduknya berukuran 0.51
m x 0.39 m x 0.71 m. Mimbar ini ditempatkan sebelah
kiri mihrab (sebelah utaranya), kira-kira 1 m dari dinding
barat. Pada mimbar ini terselip sebuah tongkat kayu yang
dipergunakan oleh khotib sewaktu membaca khotbah.

48 | Dr. Jamaluddin, MA
Gambar 20: Bagian mimbar dan tempat khotib membaca khutbah

Gambar 21: Tempat duduk khotib

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 49


Di sudut timur laut terdapat sebuah bedug dari kayu
duntal dan kulit kerbau dengan ukuran diameter 0.73 m
(bagian depan), dan 0,65 m diameter bagian belakang,
dengan panjangnya 1.10 m. Beduq digantung ke salah
satu kayu usuk pada atap masjid dengan gantungan kayu
ukir yang dililit menggunakan tali ijuk yang sudah dirajut
sehingga ikatan tersebut terlihat kokoh. Bedug tersebut
dilengkapi dengan satu pasang alat pemukul yang sudah
dihaluskan, dan kayu penokol yang digunakan sebagai
tempat duduk oleh kiyai pada saat memukul bedug. Bedug
ini hanya boleh dipukul oleh para kiyai di desa Rembitan
dan sekitarnya secara bergiliran dengan tradisi yang
berlaku sejak dahulu. Bedug biasanya digunakan untuk
menginformasikan kepada masyarakat, bahwa waktu solat
telah tiba. Pukulan beduq biasanya juga dapat dijadikan
sebagai penanda waktu solat. Hal ini dibedakan dengan
jumlah kali pukulan beduk. Setiap waktu jumlah pukulan
berbeda-beda, tergantung jumlah rakaat sholatnya. Untuk
sholat zohor, memukulnya empat kali, sholat magrib
memukul tiga kali begitu juga yang lainnya.

Gambar 22: Beduq sebagai alat yang menginformasikan masuknya waktu

50 | Dr. Jamaluddin, MA
Gambar 23: Gantungan beduq kayu ukir (tersambung dengan kayu atap)

Gambar 24: Tempat duduk orang yang memukul Beduq

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 51


Gambar 25: Pemantok sebagai alat pemukul beduq

Pagar keliling (pasong:Sasak) dibuat dari berbagai jenis


kayu, seperti kayu timus, kayu Kunyit dan kayu tanjung
Gunung dan ipil yang panjangnya rata-rata 2 m, sedangkan
pada ujungnya dibuat runcing. Pemasangannya dilakukan
dengan menanamkan sebagian kayu dolken ke dalam
pasangan perigi batu atau talud kira-kira 25 cm, bagian
atasnya digapit dengan bambu diikat dengan tali saot, dan
tali ijuk.
Pintu masuk ke halaman masjid terlihat hanya satu
(pintu utama), sebenarnya pintu ke halaman masjid ada dua,
satu di sebelah selatan dan satu di sebelah timur. Pintu di
sebelah selatan yang disebut sebagai pintu utama seluruhnya
dibuat dari kayu, menggunakan engsel pelocok, dan beratap
alang-alang, karena itu orang selalu terkonsentrasi dengan

52 | Dr. Jamaluddin, MA
pintu utama ketika akan masuk ke dalam masjid tersebut.
Sementara pintu di sebelah timur tidak tampak seperti
pintu, karena selain tidak menggunakan pintu dari kayu
seperti pintu selatan (pintu utama), juga tidak memiliki
atap (gapura), dan agak sulit dilewati oleh para kaum Ibu,
karena harus melewati atau melangkahi pagar setinggi
lutut orang dewasa. Pintu timur ini diketahui sebagai pintu
masuk setelah penulis melihat, penutup dari bambu yang
menutupi pintu tersebut yang cara membukanya dengan
mengangkat pintu tersebut sehingga tidak menghalangi
jalan ketika melewati pintu tersebut. Selain itu juga pagar
keliling yang ada sebagai pintu hanya dipotong bagian
atasnya, karena itu orang yang melewati pintu ini harus
mengangkat kaki agak tinggi untuk dapat melewatinya.
Bukti lain bahwa itu adalah pintu, lurus di luar terdapat
undak atau tangga turun naik menuju pintu tersebut yang
dibuat dengan susunan batu dari bawah.
Pada Masjid Kuno Rembitan telah dilakukan pemugaran
sesuai dengan prinsip pemugaran bangunan purbakala.
Wujud asli suatu bangunan harus dipertahankan, tanpa
merubah bentuk dan ukurannya. Sehingga sekalipun
bangunan itu baru sama sekali namun kesan kekunoannya
masih terlihat. Tentu saja dalam pelaksanaannya masalah-
masalah teknis tidak diabaikan. Karena tujuan pemugaran
selalu mengembalikan pada bentuk semula, dan diharapkan
setelah pemugaran bangunan itu dapat bertahan lebih
lama atau proses kehancurannya dapat diperlambat.
Dari laporan teknis pemugaran Masjid Kuno Rembitan,
diketahui beberapa hal, antara lain, bahwa keaslian
material bangunan dan konstruksi batarannya tidak bisa
dipertahankan dengan alasan faktor teknis. Keliling bataran
(fondasi), di bawah tiang-tiang keliling digali sampai

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 53


kedalaman 0.60 m, lebar 1.00 m (0.50 m keluar, 0.50 m ke
dalam dari tiang-tiang keliling). Galian ini kemudian diisi
pasangan batu dengan perekat campuran kapur, tepung bata
dan pasir, perbandingan 1:1:2. Di bawah umpak keempat
tiang utama (soko guru) digali pondasi berukuran 0.40 m
x 0.40 dan dalamnya 0.60 m. Lubang fondasi ini kemudian
diisi pasangan batu dimana nantinya tiang-tiang itu berdiri.
Tiang-tiang pinggir sebanyak 27 buah dibuatkan umpak
dari campuran semen dan pasir dengan perbandingan
1:4. Sedangkan lantantainya digali sedalam 0.25 m, lalu
dipasang batu kali dan pasir kemudian disiram dengan
air sampai penuh sambil diratakan dan dipadatkan. Pada
bagian atasnya, dilapisi lagi dengan campuran tanah dan
kulit padi (Sasak: mesang), yang ditumbuk halus dan diaduk
dengan air. Demikian pula dengan bataran kelilingnya
dilapisi pula dengan campuran yang serupa (tanah dan
kulit padi). Teknik dan konstruksi semacam ini diterapkan
dengan tujuan agar wujud aslinya dapat dipertahankan,
namun segi teknisnya dapat dipertanggungjawabkan.
Dari 31 buah tiang masjid ini, 15 di antaranya telah
diganti dengan yang baru. Demikian pula halnya dengan
dinding-dindingnya, atap, termasuk di dalamya kayu dan
bambu yang menjadi kerangka atapnya, hampir seluruhnya
telah diganti dengan yang baru. Khususnya atap masjid
beberapa bulan yang lalu telah diganti.
Pasangan perigi ini kecuali berfungsi sebagai tempat
berdirinya pagar keliling, dapat menahan longsornya
tanah baik di dalam maupun di luar halaman masjid karena
adanya perbedaan tinggi permukaan tanah. Oleh karena
berfungsi ganda inilah maka pemasangan batu perigi
pagar sebelah timur dan utara dibuat miring ke dalam
sekitar 10 derajat. Hal ini dimasudkan agar lebih kuat

54 | Dr. Jamaluddin, MA
menahan beban atau tekanan tanah dari dalam maupun
luar pagar. Panjang perigi seluruhnya 70 m (termasuk di
dalamnya pupi tangga atau undak di depan pintu masuk
sepanjang 6 m). Lebar atau tebal rata-rata 40 cm sampai
2,5 m dengan perincian sebagai berikut: Sisi timur, panjang
20,5 m, tebal 0,40 m, tinggi 2,20 m sampai 2,80 m (dari
luar); Sisi barat, panjang 13 m, tebal 0,40 m – 0,90 m, tinggi
1 m (dari dalam halaman); Sisi utara, panjang 10 m, tebal
(lebar) 1.20 m - 2,50 m, tinggi 2 m (dari luar halaman); Sisi
selatan, panjang 20,5 m, tebal (lebar) 2.5 m, tinggi 0,30 m
(dari luar halaman). Pipi tangga (undak) di depan pintu
masuk, panjang 6 m, tebal 0.40 m dan tinggi 0.50-1.50 m.
Di masjid ini terdapat jalan setapak yang dibuat dari
batu kali andesit yang direkat dengan campuran kapur,
tepung bata dan pasir yang dicor dengan campuran semen
dan pasir. Panjang seluruhnya 19 m, lebar 0.90 m dan tebal
0,30 m, termasuk dengan bagian yang tertanam dalam
tanah. Jalan setapak ini dibuat terputus-putus seperti blok-
blok segi empat. Di depan pintu masuk ke dalam masjid
dibuat pelataran yang luasnya 10 m2, dengan konstruksi
yang sama.
Dalam masjid ada sempare (bhs Sasak) yang dijadikan
sebagai tempat menyimpan barang-barang seperti al
Qurán, tikar dan sebagainya. Selain tikar di dalamnya
juga ditemukan perlengkapan seperti pembakaran dupa.
Di duga ini dijadikan sebagai kelengkapan alat-alat pada
saat melaksanakan ritual-ritual keagamaan dan adat.
Pembakaran dupa biasanya diadakan ketika ada kegiatan-
kegiatan keagamaan di masjid. Yang dijadikan dupa
biasanya dari kayu cendana atau dari dupa yang ada di
pasaran.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 55


Gambar 26: Sempare (tempat menyimpan tikar)

Gambar 27: Tempat pembakaran dupa (kemenyan)

56 | Dr. Jamaluddin, MA
2. Situs II: Makam nyatok
Komplek Makam Nyatok berada pada puncak salah
satu bukit di desa Rembitan. Di dalam komplek Makam
Nyatok terdapat Makam Wali Nyatok, Gedeng, dan Kolam.
Ketiganya memiliki keterkaitan yang sangat erat dalam
hubungannya dengan perkembangan Islam di Lombok
Tengah bagian selatan.
Pada bagian ini penulis perlu menjelaskan istilah yang
digunakan berkaitan dengan komplek Makam Nyatok,
yaitu penggunaan Istilah Makam Nyatok dan Makam
Wali Nyatok. Makam Nyatok digunakan untuk menyebut
komplek Makam Nyatok yang di dalamnya termasuk
bangunan makam, bangunan Gedeng, dan Kolam.
Sedangkan Istilah makam wali nyatok digunakan untuk
menyebut makam itu sendiri, tidak termasuk selainnya.
Pada komplek Makam Nyatok terdapat dua makam
inti yang dikelilingi oleh pagar atau dolken, di bagian
luar makam inti (sebelah timur makam) terdapat satu
buah makam. Makam inti dikelilingi oleh pagar keliling
(pasong:Sasak) yang dibuat dari berbagai jenis kayu, seperti
kayu timus, kayu kunyit dan kayu tanjung gunung dan ipil
yang panjangnya antara 1,50 m-2.00 m. Sedangkan pada
ujungnya ada yang dibuat runcing dan ada juga yang tidak.
Pemasangannya dilakukan dengan menanamkan sebagian
kayu ke dalam pasangan perigi batu atau talud kira-kira 25
cm, bagian atasnya digapit/dijepit menggunakan bambu
yang diikat dengan tali saot, dan tali ijuk.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 57


Gambar 28: Pagar keliling makam Wali Nyato

Selain dikelilingi oleh pagar keliling, Makam Nyatok


menggunakan pintu masuk sebagai pintu akses. Masuk
ke dalam komplek Makam Nyatok harus melewati pintu
gerbang utama. Pintu gerbang utama menggunakan
pintu kayu dengan model sama seperti pintu-pintu rumah
kontemporer pintu tersebut dibuat baru dan sekarang ini
sudah dibangunkan tembok keliling dengan menggunakan
susunan batu-batu pecahan dengan menggunakan
campuran semen dan pasir. Menurut informasi dari Mamik
Sidik (mantan kepala desa Rembitan), bahwa tembok
keliling tersebut dibangun dengan mengikuti tanda-tanda
atau bekas pagar keliling sebelumnya.
Setelah melewati pintu masuk gerbang utama,
untuk masuk ke makam inti (Makam Wali Nyatok),
harus melewati satu pintu lagi yaitu sebuah pintu yang
menampilkan gaya pintu model klasik. Pintu ini berada di

58 | Dr. Jamaluddin, MA
sebelah timur makam yang seluruhnya dibuat dari kayu,
menggunakan engsel pelocok, dan beratap alang-alang.
Memasuki Makam Wali Nyatok tidak diperkenankan
menggunakan alas kaki (sepatu atau sandal). karena itu
orang yang melewati pintu masuk ini harus meninggalkan
alas kaki tepat sebelum melewati pintu tersebut. Masyara-
kat Rembitan memandang bahwa makam adalah tempat
suci sama dengan masjid karena itu diperlakukan juga
harus sama dengan masjid.
Setelah memasuki makam, pada umumnya orang-
orang yang datang berziarah hanya dibolehkan masuk di
pembatas pagar kawat di samping makam. Orang yang
boleh masuk melewati pagar ini adalah orang yang ada
hubungan kekerabatan dengan Wali Nyatok. Mereka yang
mengklaim dirinya sebagai keturunan atau keluarga yang
diberikan mandat oleh keturunan/orang kepercayaan Wali
Nyatok diperbolehkan masuk ke dalam makam utama.
Makam inti berbentuk bujur sangkar dengan panjang
bataran 20,60 meter dan lebar 20,60 meter. Jarak pinggir
bataran dengan pagar 1,50 meter. Pagar bagian dalam yang
memagari bantaran makam panjangnya 7,80 meter dengan
lebar 3,62 meter. Di dalamnya terdapat dua buah makam,
yaitu makam utara dan selatan. Makam utara merupakan
makam Wali Nyato, dan yang selatan menurut masyarakat
tokoh-tokoh Rembitan, adalah makam pengikut setia Wali
Nyatok.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 59


Gambar 29: Pagar bagian dalam yang mengelilingi makam Wali Nyato

Makam utara memiliki nisan yang cukup besar, tinggi


nisan 1,20 M, tinggi badan nisan 0,90 m, tinggi kepala
0,17 m, lingkar badan nisan 1,00 m, jarak nisan 1,60 m.
Sedangkan nisan selatan tinggi nisan 0,95 m, tinggi badan
0,75 m, tinggi kepala 0, 13 m, panjang badan 0,25 m. nisan
ini tampak baru karena sudah diganti setahun yang lalu,
karena nisan aslinya patah. Nisan yang asli masih ada di
samping nisan yang baru (sudah terpasang), ada sedikit
perbedaan antara nisan yang lama dengan yang baru yaitu
terletak pada ukuranya, nisan yang baru ukurannya lebih
besar dari yang lama.

60 | Dr. Jamaluddin, MA
Gambar 30: Nisan makam sebelah utara

Gambar 31: Pintu masuk ke makam Wali Nyato

Makam utara (Wali Nyatok), nisannya dapat dijelaskan


secara rinci lebih rinci, bagian dasar nisan (BD) tersebut

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 61


berbentuk segi empat (bujur sangkar) dengan model
garis vertikal atas bawah dengan jarak yang hampir sama.
Sedangkan bagian badan bawah (BBB) juga empat persegi
dengan ukiran pada bagian tengahnya terdapat linggkaran
yang menjadi pusat ukiran, dari pusat ini kemudian ditarik
garis membentuk setengah linggkaran dengan ujungnya
melinggkar semakin kecil (lingkaran obat nyamuk), seperti
model ujung pakis sawah, ukiran ini saling berhadapan
dengan melingkar ke atas. Pada tiap sisi terdapat dua
hiasan, keempat sisinya berukir yang sama. Bagian badan
atas (BBA), terdiri dari dua tingkat, pada tingkat atas ada
ukiran atau hiasan dengan hiasan yang sama dengan
BBB, hanya saja ukurannya yang lebih kecil dan terdiri
dari empat buah, masing-masing saling membelakangi,
dan ukiran ini terdapat pada keempat sisinya. Bagian atas
bahu (BAB) berbentuk segi enam membentuk garis lurus
pada setiap bagian dari bawah ke atas dengan ukuran
semakin atas semakin besar. Sedangkan bagian kepala
(KP), model bawahnya berbentuk segi enam (pertemuan
dengan BAB), pada setiap segi terdapat dua ukiran yang
sama dengan BBB dengan ukuran yang lebih kecil yang
saling berhadapan sehingga tampak membentuk seperti
gambar jantung. Keseluruhannya berjumlah 12 atau enam
pasang, dan di atasnya segi tiga yang saling menyambung
mengikuti lingkaran kepala nisan. Sedangkan bagian
puncak (PC) berbentuk buah jambu mente, tanpa hiasan,
hanya mengunakan garis-garis vertikal yang terdiri dari
enam garis sebagai pembaginya menjadi enam bagian.

62 | Dr. Jamaluddin, MA
Gambar 32: Bagian kepala nisan makam sebelah utara

Gambar 33: Hiasan pada badan nisan

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 63


Gambar 34: Hiasan bagian bawah nisan

Makam selatan, jenis nisannya hampir sama dengan


nisan Wali Nyatok, ada sedikit perbedaan pada ukiran atau
hiasannya. Bagian dasar nisan (BD) berbentuk segi empat
(bujur sangkar) dengan model garis vertikal atas bawah
dengan jarak yang hampir sama, dan terdapat setengah
ukiran bunga (sejenis mawar) pada keempat sisi nisan.
Sedangkan bagian badan bawah (BBB) juga empat persegi
dengan model ukiran yang sama dengan BBB nisan Wali
Nyatok, hanya saja disini hiasannya bergandeng dua, dan
lingkar ujungnya menghadap ke bawah. Bagian badan
atas (BBA), terdiri dari dua tingkat, pada tingkat atas ada
ukiran atau hiasan dengan hiasan yang sama dengan BBB,
hanya saja ukurannya yang lebih kecil dan terdiri dari
empat buah, masing-masing saling membelakangi, dan

64 | Dr. Jamaluddin, MA
ukiran ini terdapat pada keempat sisinya. Bagian atas bahu
(BAB) berbentuk segi enam membentuk garis lurus pada
setiap bagian dari bawah ke atas dengan ukuran semakin
atas semakin besar, di ujung garis atas membentuk segi
tiga. Sedangkan bagian kepala (KP), model bawahnya
berbentuk segi enam (pertemuan dengan BAB), pada
setiap segi terdapat dua ukiran yang sama dengan BBB
dengan ukuran yang lebih kecil yang saling berhadapan
sehingga tampak membentuk seperti gambar jantung,
keseluruhannya berjumlah 12 atau enam pasang, dan di
atasnya segi tiga yang saling menyambung mengikuti
lingkaran kepala nisan. Sedangkan bagian puncak (PC)
berbentuk buah jambu mente, dengan model hiasan sama
dengan BBB, hanya mengunakan garis-garis vertikal yang
terdiri dari enam garis sebagi pembaginya menjadi enam
bagian.

Gambar 35: Nisan makam sebelah selatan

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 65


Gambar 36: Hiasan puncak nisan

Gambar 37: Hiasan pada badan nisan (makam selatan)

66 | Dr. Jamaluddin, MA
Gambar 38 Hiasan nisan bagian bawah (makam selatan)

Tradisi kunjungan ke Makam Nyatok biasanya hanya


dilakukan pada hari rabu. Dari informasi masyarakat
setempat penentuan hari Rabu sebagai hari ziarah ke
makam Nyatok sudah menjadi ketentuan yang wajib untuk
dilaksanakan oleh siapa saja yang akan berkunjung atau
berziarah ke makam Nyatok. Karena ketentuan tersebut
telah menjadi titah atau sabda dari Wali Nyato. Ketika
Wali Nyatok masih hidup, ia hanya mengizinkan orang
untuk berziarah atau datang ke tempatnya pada hari Rabu,
selain hari rabu beliau tidak dapat ditemui. Atas dasar
itu kemudian masyarakat Rembitan menetapkan waktu
ziarah pada hari rabu baik pada saat Wali Nyatok masih
hidup maupun setelah meninggal dunia sampai sekarang
ini. Masyarakat Rembitan percaya bahwa berziarah ke
makam Nyatok hanya boleh dilakukan hanya pada hari
rabu sesuai dengan wasiat Wali Nyatok, dan hal ini harus
disampaikan oleh masyarakat Rembitan kepada siapa saja
Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 67
yang akan berziarah kepada Sang Wali. Berziarah pada hari
selain hari Rabu sama artinya dengan menentang titahnya
Wali Nyatok, menentang titahnya Wali Nyatok itu berarti
bencana. Hal inilah yang dipercayai oleh masyarakat
Rembitan karena itu masyarkat Rembitan lebih siap
berperang dengan orang yang akan berziarah selain hari
Rabu dari pada melanggar wasiat Wali Nyatok.
Salain Makam Wali Nyatok juga terdapat bangunan
gedeng. Gedeng adalah salah satu bangunan kuno yang ada
dalam komplek Makam Nyatok, bangunan ini menurut
informasi diperkirakan sama tuanya dengan Masjid Kuno
Rembitan. Dalam komplek Makam Nyatok terdapat dua
buah bangunan Gedeng, yaitu Gedeng daya dan Gedeng
lauk. Gedeng daya hanya boleh ditempati oleh jamaah
laki (muslim), sementara Gedeng lauk untuk jamaah
perempuan (muslimat).

Gambar 39: Gedeng daya dan gedeng lauk

68 | Dr. Jamaluddin, MA
Setiap Gedeng ini berbentuk empat persegi,
bangunanya tidak lurus menghadap barat, melainkan
agak sedikit miring ke kanan. Kalaupun tidak persis (tepat)
menghadap kiblat, tetapi lebih mendekati ke arah kiblat,
karena itu Gedeng tersebut dapat dipergunakan sebagai
tempat sholat. Bagi mereka yang melakukan ziarah makam
Wali Nyatok, biasanya menjadikan Gedeng tersebut
sebagai tempat beristirahat menunggu giliran untuk
masuk ke dalam makam Wali Nyato. Biasanya Gedeng
ini dijadikan sebagai tempat membaca tahlilan dan zikir,
kalaupun nantinya setelah selesai membaca tahlilan dan
zikir di Gedeng tersebut maka pada saat mereka masuk
ke dalam makam Wali Nyatok mereka berdo’a kembali
untuk kali kedua.
Mereka para penziarah makam yang berasal dari
berbarbagai daerah terkadang ada yang membawa bekal
atau makanan. Penziarah yang datang dari daerah yang
agak jauh, biasanya membawa makanan untuk makan
siang. Mereka yang sampai di tempat tersebut agak siang
akan menikmati makan siangnya di tempat tersebut.
Gedeng ini juga difungsikan sebagai tempat makan bagi
para penziarah. Sesuatu yang menarik perhatian yang
terjadi pada Gedeng tersebut adalah semua kegiatan baik
itu solat (biasanya solat zohor), tahlilan, istirahat, makan
siang, dan berbagai acara adat (khususnya orang-orang
Rembitan), tidak boleh bergabung antara kaum ibu-ibu
dengan bapak-bapak. Karena itu perempuan menempati
Gedeng Lauk sementara laki-laki di Gedeng daya.
Bangunan Gedeng berbentuk empat persegi, kedua
Gedeng memiliki ukuran yang hampir sama. Gedeng daya
panjang bantarannya 7,70 m, dengan lebar 5,90 m, Gedeng
lauk panjangnya 7,70 m, dengan lebar 5,5 m. Ukuran

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 69


tersebut boleh jadi ukurannya sama, perbedaan tersebut
diukur dari pinggir bataran yang batu-batunya sudah tidak
beraturan (tergeser). Gedeng-gedeng tersebut memiliki
tiang dengan ukuran tidak sama, ada yang kecil dan ada
yang besar. Tempat pemasangan tiangnya juga tidak
beraturan serta jarak dari masing-masing tiang juga tidak
sama. Baik Gedeng daya maupun Gedeng lauk masing-
masing Gedeng memiliki sepuluh buah tiang, sehingga
jumlah seluruhnya menjadi 20 buah tiang.
Bahan atapnya dari alang-alang, sedangkan usuk dan
warasnya (Sasak: kerangke) dari kayu tanjung gunung
dan bambu. Pada setiap sambungan tidak menggunakan
paku, mengunakan sitem kait, misalnya pada kayu
usuk menggunakan saeng: Sasak, dan sitem ikat, ikatan
menggunakan: tali ijuk, daun memali, dan tali saot (tali
yang biasa diperoleh dari akar-akar kayu, lelonto: Sasak).

Gambar 40: Atap salah satu gedeng

70 | Dr. Jamaluddin, MA
Pada Gedeng dilengkapi dengan sebuah sempare
sebagai tempat menyimpan tikar dan barang-barang
lainnya. Selain berfungsi sebagai tempat penyimpanan
barang sempare ini juga untuk mengamankan agar barang-
barang yang ditaruh di sempare tidak diinjak-injak oleh
binatang ternah atau anjing yang berkeliaran di sekitar
makam. Sempare ini dibuat dari anyaman bambu yang
sederhana dengan model ulatan ancak yang diikatkan
dengan bambu sebagai penguat dan penopang.

Gambar 41: Sempare gedeng sebagai tempat menaruh tikar dan barang

Di depan pintu masuk makam (sebelah kanan Gedeng


daya) terdapat kolam kering yang kedalamannya 1.90 m
dan mempunyai garis tengah (diameter) 3,50 m. Kolam ini
memiliki lima anak tangga untuk turun ke bawah. Boleh
jadi dulu kolam ini selalu berair yang dipergunakan sebagai
tempat mengambil air wuduk untuk sembahyang dan bagi
orang yang akan memasuki makam (setelah ada makam).

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 71


Kondisi kolam sekarang ini, pada pinggiran kolam batu-
batunya sudah banyak terlepas, di buat dari batu andesit
atau batu kali.

Gambar 42: Sumur pada komplek makam Rembitan

Gambar 43: Tangga sumur pada komplek makam Rembitan

72 | Dr. Jamaluddin, MA
ISLaMISaSI Dan PerKeMBangan
ISLaM DI LOMBOK SeLatan:
teLaaH SItUS-SItUS arKeOLOgIS

a. Pertumbuhan dan Perkembangan Islam


Masjid yang kerap disebut rumah Tuhan, adalah tempat
umat Islam berkomunikasi dengan Tuhan, yang sekaligus
berfungsi sebagai tempat menyerahkan atau berserah diri
kepada-Nya.1Masjid adalah bangunan suci agama Islam.
Masjid didirikan dan dikembangkan bersamaan dengan
meluasnya ajaran Islam di wilayah yang menjadi tempat
tersiarnya agama Islam di dunia. Masjid merupakan
tempat untuk melaksanakan ibadah bagi kaum muslimin
dalam arti yang seluas-luasnya.2
Dalam konsep Islam, setiap jengkal tanah adalah
masjid, dalam arti bahwa dimanapun setiap muslim dapat
melakukan ibadah shalat, baik secara individual maupun
kolektif berjamaah.3 Karenanya fungsi masjid adalah
sebagai tempat pelaksanaan ibadah kaum muslimin dan
masjid juga berfungsi sebagai pusat syiar agama Islam.

1 Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan


Historis Islam Indonesia ( Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1998), h.39.
2 Tugiyono, KS, et al., Peninggalan Situs dan Bangunan Bercorak Islam di
Indonesia, ( Jakarta: PT.Mutiara Sumber Widya, 2001), cet. ke-1,h.12.
3 Ambary, Menemukan…, 39.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 73


Masjid adalah tempat menampung segala kegiatan
kaum muslimin dalam melaksanakan ibadahnya.
Pengertian fungsi yang harus diterima dalam kaitannya
yang luas, tentu mencakup segala aspek kegiatan kaum
muslimin yang berkaitan dengan pelaksanaan ajaran
Islam. Termasuk di dalamnya aspek sosiologis dimana
manusia sebagai umat tentu akan berhubungan dengan
umat lainnya. Itu pula sebabnya maka keluasan pengertian
fungsi masjid makin lama makin berkembang.
Bangunan masjid pada masa awal hanya terdiri dari
bangunan dinding bujur sangkar. Di dalamnya terdapat
lapangan terbuka yang dinamakan Sahn. Di sepanjang
dinding bujur sangkar itu dibuatkan atap yang membentuk
serambi dan dinamakan al-maghatta. Serambi al-maghatta
yang terletak pada dinding arah kiblat dibuat lebih luas,
karena di situ tempat berkumpul banyak jamaah. Dahulu
sahn atau lapangan terbuka itu ditutup dengan batu
kerikil, kemudian dengan batu licin. Sedangkan serambi al
maghatta ditutup ubin marmer.4
Sesuai dengan ketentuan shalat yang harus menghadap
kiblat, maka masjidpun senantiasa mempunyai arah kiblat
ini. Salah satu sisi dari dindingnya mengarah ke kiblat, yaitu
ke arah Masjidil Haram tempat Ka’bah berada. Oleh sebab
itu arah kiblat itu akan selalu tidak berubah. Biasanya pada
dinding arah kiblat itu dilengkapi dengan mihrab, sedang
dinding yang berlawanan dengannya menjadi bagian
depan masjid.
Bagian utama masjid ialah ruang utama bangunan
yang berbentuk bujur sangkar. Ruangan ini kosong, tidak
dilengkapi alat perlengkapan kecuali mihrab dan mimbar.

4 Tugiyono, KS, et.al. Peninggalan…, h.24.

74 | Dr. Jamaluddin, MA
Sementara di serambi masjid terdapat kentongan atau
beduq. Beduq merupakan unsur kebudayaan asli yang
mempunyai daya bunyi yang kedengaran membantu
azan dengan shalat. Bunyi beduq jadi pertanda sebelum
diserukan azan untuk memulai shalat. Jadi beduq berfungsi
untuk menginformasikan bahwa waktu shalat sudah tiba.
Akan tetapi terkadang beduq ini juga berfungsi untuk
mengumpulkan orang karena ada musyawarah, atau
karena ada yang meninggal. Untuk membedakan suatu
fungsi atau informasi yang dikirim, apakah itu untuk
informasi kematian, atau untuk menandakan masuknya
waktu shalat, terletak pada ritm atau jumlah pukulan
bedugnya. Untuk menandakan waktu shalat, biasanya
didasarkan pada jumlah rakaat, misalnya untuk shalat
subuh, pemukulan beduq diawali dengan pemukulan yang
agak cepat kemudian diselangi sebentar lalu pemukulan
terakhir dua kali, karena shalat subuh rakaatnya hanya
dua, maka terakhir dengan dua pukulan yang lambat dan
teratur. Demikian juga untuk shalat yang lainnya, kecuali
shalat janazah.5
Di beberapa tempat di masjid juga terdapat menara.
Menara ini fungsinya sedikit sama dengan fungsi beduq,
yaitu untuk menginformasikan masuk waktu dan
memanggil orang untuk melakukan shalat. Dahulu
menara ini digunakan untuk tempat azan yang melakukan
azan berada di menara. Kalau sekarang di menara hanya
diletakkan loudspeker yang azan berada di belakang
mimbar atau di ruangan yang ada di sekitar mimbar yang
biasanya bersebelahan.

5 Jamaluddin, Islam Sasak: Sejarah Sosial Keagamaan di Lombok (Abad


XVI-XIX),( Jakarta: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h.
205.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 75


Masjid-masjid di Indonesia pada umumnya sama,
khususnya bagian-bagiannya seperti, ruang utama,
serambi, menara, pintu gerbang, dan gapura, serta mihrab
dan mimbar tentu saja sama dengan masjid yang ada di
luar Indonesia. Yang berbeda adalah seni bangunnya,
seperti gaya atapnya, bentuk menara, dan ornamentiknya
yang pada awalnya mengambil corak bangunan lama yang
sudah berkembang dalam masyarakat sebelum masuknya
agama Islam.6
Agama Islam pada hakekatnya terbuka dan rasional.
Para ulama juga bersifat luwes terhadap banyak hal yang
masih hidup dalam masyarakat misalnya, terhadap seni
bangunan tradisional yang sudah dimiliki oleh masyarakat
sebelum tersiarnya Islam di wilayahnya sepanjang tidak
bertentangan dengan tauhid seperti diajarkan oleh Islam.
Dari latar belakang kehidupan masyarakat itulah
pengaruh Islam berangkat, yang kemudian dengan
melalui adat kebiasaan setempat atau tradisi kehidupannya
Islam terdorong untuk maju. Itulah sebabnya mengapa
arsitektur sebagai aspek kultural pengaruh Islam dapat
dengan mudah ditemukan di antara tempat pemukiman
masyarakat, seperti masjid-masjid kecil yaitu surau,
langgar, dan sebagainya yang ada di tengah-tengah
kehidupan masyarakat dan di antara rumah rakyat yang
hidup dalam pola sederhana.
Adapun faktor kehidupan yang bersifat daerah dan
tradisional, sesungguhnya merupakan perwujudan dari
berbagai unsur yang telah berbaur dan menjadi milik
masyarakat, yaitu pengaruh Hindu-Budha yang telah
berbaur dengan kepercayaan lama masyarakat (animisme

6 Tugiyono, KS,etal., Peninggalan…, h.25.

76 | Dr. Jamaluddin, MA
dan dinamisme). Sedangkan hal tersebut sudah berlangsung
cukup lama jauh sebelum Islam masuk di Nusantara.
Karena itu tidak mengherankan apabila unsur-unsur
mistik, adakalanya juga masih muncul pada pelaksanaan
ajaran Islam di awal perkembangannya, namun akan
diimbangi dengan penuh kebijakan dan kearifan untuk
mengembalikannya kepada tauhid.
Faktor latar belakang perkembangan Islam ini
penting artinya, mengingat masjid sebagai bagian dari
arsitektur Indonesia juga tergantung pada priode sejarah
perkembangan Islam di Indonesia. Karena itu maka akan
berbeda pula penampilan masjid yang berkembang di
awal pertumbuhannya dengan penampilan dari periode
berikutnya.
Masjid di Indonesia menghadap ke timur, sedang
mihrab yang merupakan bagian belakangnya menghadap
ke barat. Pembangunan masjid pada zaman permulaan
Islam dipengaruhi oleh arsitektur kuil atau meru. Atapnya
berbentuk tumpang dengan susunan berjumlah ganjil,
biasanya tiga, kadang-kadang sampai lima. Arsitektur
atap itu, yang biasanya disebut atap tumpang, makin ke
atas makin kecil bentuknya dan tingkatan yang paling
atas berupa limas.7 Dahulu atap tumpang digunakan
di kuil, bangunan suci agama Hindu seperti sekarang
masih ditemukan di Bali dan Lombok ada yang bersusun
sembilan, sebelas, pada umumnya jumlahnya ganjil.
Kubah dan menara belum lagi memainkan peranan dalam
arsitektur pada awal kurun Islam di Indonesia, mungkin
karena faktor lingkungan alam dan budaya.

7 Tugiyono, KS,etal., Peninggalan…, h. 33.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 77


Mengenai arsitektur masjid di Indonesia hingga abad
ke-19 masih tampak mengikuti gaya tradisional seperti
lazimnya di suatu daerah, terutama bagi masjid di daerah
pemukiman dan pedesaan. Atapnya disesuaikan dengaan
keadaan tradisi daerah seperti atap susun (atap tumpang,
atap berundak) atau atap gonjong di Tanah Minang.8
Pada zaman peralihan tentu para tukang masih terbiasa
dengan arsitektur bangunan lama, seperti candi, namun
semua bangunan itu kemudian mendapat napas Islami.
Sedangkan pada puncak atap masjid juga dihiasi dengan
mustika atau mestika yang merupakan hasil kesenian
budaya lokal.9
Dari penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa
kalaupun masjid-masjid itu memiliki fungsi yang sama
atau bagian-bagian yang sama, akan tetapi pada setiap
wilayah masjid-masjid tersebut memiliki ciri-ciri tersendiri
khususnya dalam hal arsitekturnya. Jadi Indonesia memiliki
arsitektur masjid yang khas yang membedakannya dengan
bentuk-bentuk masjid di negara lain.
Dalam hal ini, G. F. Pijper, telah membuat ciri khas
dari masjid-masjid di Indonesia. Ada beberapa ciri yang
disebutkan, yaitu; 1). Fondasi bangunan yang berbentuk
persegi dan pejal (massive) yang agak tinggi; 2). Masjid
tidak berdiri di atas tiang, seperti rumah di Indonesia
model kuno dan langgar, tetapi di atas tanah yang padat;
3). Masjid itu mempunyai atap yang meruncing ke atas,
terdiri dari dua sampai lima tingkat, ke atas makin kecil;
4). Masjid mempunyai tambahan ruangan di sebelah barat
laut, yang dipakai untuk mihrab; 5). Masjid mempunyai

8 Ibid.h. 37.
9 Ibid.

78 | Dr. Jamaluddin, MA
serambi di depan maupun kedua sisinya; 6). Halaman di
sekeliling masjid dikelilingi oleh tembok dengan satu pintu
masuk di depan disebut gapura; 7). Denahnya berbentuk
segi empat; 8). Dibangun di sebelah barat alun-alun; 9).
Arah kiblat tidak tepat ke barat; 10). Dibangun dari bahan
yang mudah rusak; 11). Terdapat parit, di sekelilingnya atau
di depan masjid; 12). Dahulu dibangun tanpa serambi.10
Apakah ciri-ciri tersebut persis sama dengan yang ada
di seluruh Indonesia, tentu tidak seratus persen sama, di
masing-masing tempat juga terkadang mempertahankan
kekhasan tersendiri. Di Lombok Nusa Tenggara Barat
masih ditemukan masjid-masjid tua, seperti masjid tua
Rembitan, masjid tua Pujut, dan masjid tua Bayan. Ketiga
masjid ini merepresentasikan arsitektur masjid Lombok
pada masa-awal masuknya Islam di Lombok.
Kalau teori Pijper di atas digunakan untuk menentukan
ciri-ciri masjid kuno di Lombok, maka tidak sepenuhnya
sama, khususnya masjid Kuno Rembitan yang menjadi
kajian dalam penelitian ini. Dari keseluruhan kategori
tersebut ada beberapa hal yang dimiliki oleh masjid
Rembitan, dan sebagiannya lagi tidak dimiliki oleh masjid
lainnya di Indonesia antara lain ciri-ciri tersebut adalah:
1. Fondasi bangunan yang berbentuk persegi dan pejal
(massive) yang agak tinggi.
2. Masjid tidak berdiri di atas tiang, seperti rumah di
Indonesia model kuno dan langgar, tetapi di atas tanah
yang padat.

10 G. F. Pijper, Empat Penelitian Tentang Agama Islam di Indonesia 1930-


1950, ( Jakarta: UI Press, 1992), h.24.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 79


3. Masjid itu mempunyai atap yang meruncing ke atas,
terdiri dari dua tingkat, ke atas makin kecil.
4. Masjid mempunyai tambahan ruangan di sebelah barat
laut, yang dipakai untuk mihrab.
5. Masjid tidak mempunyai serambi di depan maupun
kedua sisinya.
6. Halaman di sekeliling masjid dikelilingi oleh pagar
dengan dua pintu masuk, satu pintu utama di selatan
disebut gapura, dan satunya di sebelah timur.
7. Denahnya berbentuk segi empat.
8. Dibangun di tempat yang tinggi (bukit).
9. Arah kiblat tidak tepat ke barat.
10. Dibangun dari bahan yang mudah rusak.
11. Terdapat kolam di sebelah selatan masjid (halaman
masjid).
12. Atap dari alang dan ijuk, dindingnya dari bambu
(bedeq).
Mendirikan bangunan yang bernilai sakral di atas
bukit merupakan tradisi zaman prasejarah (tradisi
megalit), yang kemudian berlanjut pada zaman Hindu dan
Islam.11 Bangunan-bangunan suci biasanya dibangun di
tempat-tempat yang tinggi, masjid juga dianggap sebagai
tempat suci karena itu dibangun di tempat yang tinggi.
Tapi sebenarnya untuk bangunan-bangunan masjid,
apabila dikaitkan dengan fungsi masjid, yang menjadi
sentral dari kegiatan ritual Islam, maka bangunan di

11 Usri Indah Handayani, et al., Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan


Nusa Tenggara Barat, (Mataram: Depdikbud Propinsi Nusa Tenggara Barat,
1997/1998), h.6.

80 | Dr. Jamaluddin, MA
atas bukit merupakan sebuah keharusan pada waktu itu.
Kalau di masa Rasulullah, Saidina Bilal sahabat beliau
harus naik ke atas atap rumah yang ada di sekitar masjid,
untuk mengumandangkan azan, maka umat Islam yang
ada di Lombok (di Rembitan khususnya), tidaklah perlu
melakukan hal demikian karena letak bangunan masjid
yang tinggi. Karena itu pada bangunan-bangunan masjid
kuno di Lombok tidak ditemukan yang namanya menara
(tempat azan).12
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa, penduduk
Lombok hampir seluruhnya sebelum kedatangan Islam
memeluk agama Budha, dan kemudian memeluk agama
yang dibawa oleh Majapahit, baru sesudah datangnya
Islam, mereka orang-orang Sasak memeluk agama Islam.13
Oleh karena itu pengaruh-pengaruh keyakinan praislam
tidak mungkin dapat dihilangkan dalam banyak hal yang
ditemukan pada generasi-generasi awal muslim di Lombok.
Misalnya pada masjid kuno Rembitan arsitektur atap
tumpeng, mengambil bentuk atap meru yang merupakan
arsitektur pada bangunan-bangunan suci agama Hindu.
Atap meru untuk masjid sebenarnya lebih menguntungkan
dari sisi ketahanan dan kenyaman di dalam masjid. Pada
saat hujan air hujan tidak tertahan di atap, air dengan
cepat jatuh ke bawah, sehingga daya tahan atap akan lebih
baik tidak cepat rusak. Selain itu dengan atap meru, udara
akan masuk bebas melalui ventilasi atas (jarak antara atap
bawah dengan atap atas), sehingga di dalam masjid suhu
udara tidak panas terasa sejuk.

12 Jamaluddin, Islam Sasak…, h. 211-212.


13 Lengkapnya tentang agama-agama sebelum kedatangan Islam di
Lombok, lihat Jamaluddin, Islam…, h. 61-100.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 81


Di atas atap (puncak masjid) terdapat seekor burung
terbuat dari kayu, yang disebut mustaka. Burung adalah
melambangkan alam atas (alam akhirat), burung ini
diletakkan di atas karena bahwa tujuan hidup manusia
adalah untuk kehidupan di akhirat, maka tujuan hidup
untuk kebahagian di akhirat adalah menjadi tujuan hidup
kita selama di dunia dan tujuan ini harus menjadi tujuan
utama dalam segala aktivitas kita di dunia dan tidak boleh
ada tujuan yang di atas tujuan tersebut.
Pintu masjid ini tidak di sebelah timur seperti
kebanyakan masjid, melainkan di selatan dengan ketinggian
yang lebih sedikit satu meter, sehingga orang yang akan
masuk masjid tidak dapat berdiri dengan tegak, harus
menunduk atau membungkuk. Jadi kalau mau masuk ke
dalam masjid tersebut dengan menunduk dan menghadap
utara. Hal ini juga menjadi simbol yang mengajarkan
kepada manusia, siapa saja yang ingin menghadap kepada
Allah hendaklah menundukkan hatinya untuk tidak
angkuh tidak sombong, kesombongan harus dilenyapkan
dari hatinya, dan pada saat menghadap utara seseorang
harus ingat pada kematian, karena orang yang meninggal
dunia kepalanya di utara.
Dengan demikian seseorang yang sudah bersuci
kemudian memasuki masjid tidak boleh sombong, dan
selalu ingat mati, sehingga seseorang itu dapat khusuk
dalam melaksanankan sholat atau bertemu dengan Allah,
untuk mencapai keridhaan Allah, selamat di dunia dan
akhirat.
Memperhatikan simbol-simbol keagamaan di
Rembitan, seperti ditemukan bangunan masjid kuno, dan
bangunan lainnya, maka di Rembitan ini perkembangan

82 | Dr. Jamaluddin, MA
Islamnya sudah demikian majunya di masa awal-awal
perkembangan Islam. Boleh jadi Rembitan ini termasuk
salah satu pusat pengajaran Islam ketika itu. Rembitan
dan Pujut merupakan gerbang bagi bertemunya para
ulama dari Jawa atau daerah lainnya di wilayah tengah
pantai selatan. Seiring dengan tumbangnya kekuasaan
kerajaan Islam di Lombok pada pertengahan abad ke-
18, maka Islam yang ada di Pujut dan Rembitan ini juga
mengalami kemunduran, yang berakibat pada tidak
terjadinya transformasi keilmuan Islam dari satu generasi
kegenerasi berikutnya. Sehingga muncul generasi yang
ingin mempertahankan tradisi Islam sementara mereka
tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk mengemban
tugas tersebut.
Jadi dengan melemahnya kekuatan Islam, dan tradisi
keilmuan tidak tertularkan ke generasi berikutnya,
karenanya peran dan fungsi masjid tidak teroptimalkan,
yang pada gilirannya muncul Islam yang terdistorsi, yang
mempraktikkan ajaran-ajaran Islam dalalah.
Masjid kuno Rembitan, menurut perkiraan
masjid tersebut telah berumur empat ratusan tahun.
Masjid tersebut terletak di atas bukit di tengah-tengah
perkampungan penduduk. Kalau masjid kuno di gunung
Pujut terletak pada bagian puncak bukit, tidak demikian
halnya dengan masjid kuno Rembitan di Rembitan. Masjid
kuno ini kendati terletak pada bagian atas bukit, namun
tidak berada di puncaknya. Beberapa rumah penduduk
ada yang letaknya lebih tinggi dari pada lokasi bangunan
masjid tersebut, tetapi kemungkinan rumah-rumah
tersebut dibangun kemudian. Karena pada masa-masa
ketika masjid itu dibangun tidak dibenarkan ada bangunan
lain yang lebih tinggi dari bangunan masjid.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 83


Pondasi atau lantai bangunan terbuat dari tanah.
Secara isik baik prototipe maupun bahan dasar bangunan
masjid sama dengan masjid kuno yang ada di gunung
Pujut. Yang tergolong khas pada bangunan masjid ini ialah
tali temalinya menggunakan bahan ijuk dan tali saot, yaitu
sejenis akar gantung pada tumbuhan hutan. Tali pengikat
atap (alang-alang) menggunakan male. Ketika penduduk
melakukan renovasi, jenis bahan maupun jumlah
bilangannya masih tetap dipertahankan karena berkaitan
dengan sistem kepercayaan mereka.
Ciri-ciri yang ada pada masjid kuno Rembitan, terdapat
juga pada masjid gunung Pujut di Kecamatan Pujut, dan
masjid Bayan Beleq (di Kecamtan Bayan, Kabupaten
Lombok Barat). Perbedaannya hanya pada bahan baku
atapnya (bambu). Adanya beberapa persamaan pada ketiga
bangunan masjid kuno tersebut, memperkuat dugaan
bahwa ketiga bangunan masjid itu dibangun pada masa
yang bersamaan, yaitu pada masa awal berkembangnya
agama Islam di Lombok.
Kalau diperhatikan ketiga bangunan kuno tersebut
yang memiliki arsitektur yang sama, bukan hanya dibangun
pada masa yang sama, diduga kuat antara Rembitan, Fujut,
dan Bayan memiliki hubungan yang sangat erat antar
ketiga tempat tersebut.
Cerita tradisi yang masih hidup di kalangan penduduk
desa Rembitan dan sekitarnyamengatakan bahwa masjid
ini dibangun pada sekitar abad ke-16. Babad Lombok
menyebutkan bahwa agama Islam masuk Lombok dibawa
oleh Sunan Prapen, Putera Sunan Ratu Giri dari Gresik.
Dibangunnya masjid kuno Rembitan sering dihubungkan
dengan nama seorang tokoh penyebar agama Islam di

84 | Dr. Jamaluddin, MA
daerah Rembitan dan sekitarnya, yaitu Wali Nyatoq, yang
makamnya terdapat di sebelah timur desa Rembitan.14
Data otentik yang dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya secara ilmiah tentang kapan dibangunnya
masjid kuno Rembitan ini memang belum ditemukan.
Akan tetapi ada beberapa hal yang dapat digunakan untuk
menemukan kapan masjid tersebut dibangun. Menurut
pakar Arkeologi Islam Uka Candrasasmita, bahwa masjid-
masjid kuno yang menggunakan atap tumpeng yang
menyerupai meru umumnya dibangun sekitar abad-abad
ke-17. Selain itu juga data yang dapat diajukan, satu silsilah
yang dikeluarkan oleh Lalu Jelenga, yang menyebutkan
bahwa nama sebenarnya Wali Nyato adalah Deneq Mas
Putra Pengendeng Segara Katon Rambitan, beliau inilah
yang membangun masjid kuno Rambitan, sementara
yang membangun masjid kuno Bayan adalah saudara
Wali Nyatok yaitu Deneq Mas Muncul. Sebelumnya Wali
Nyatok menjadi raja di Kayangan, yang kemudian beliau
ke Rembitan membangun pusat pengajaran agama untuk
wilayah Lombok Selatan, kerajaan diserahkan kepada
anaknya Deneq Mas Komala Jagad.15
Dengan memperhatikan masuknya Islam di Lombok
pada pertengahan abad ke-16, yaitu diislamkannya kerajaan
Mumbul (Kayangan), oleh Sunan Prapen, maka sangat
mungkin bahwa masjid kuno Rembitan dibangun pada
awal-awal abad ke-17, karena sebelumnya Wali Nyatok
memerintah beberapa tahun di Kayangan, kemudian
beliau berhijrah ke Rembitan, dan boleh jadi Wali Nyatok
ini adalah murid dari Sunan Prapen.

14 Handayani, Peninggalan Sejarah…,h.22.


15 Lihat Lalu Jelenga, Keris di Lombok, (Mataram: Yayasan Pusaka
Selaparang, 2000), h. 20.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 85


Selain bangunan masjid di Rembitan masih ditemukan
bangunan lain yang umurnya sama dengan masjid tersebut,
yaitu gedeng bangunan semacam surau yang pada masa
lampau dijadikan sebagai tempat pengajaran agama Islam
yang dilakukan oleh para muballiqh yang ditugaskan oleh
Sunan Prapen.
Bangunan tersebut berbentuk empat persegi panjang,
ada dua bangunan yang satu letaknya agak sedikit ke depan
(gedeng daye), dan yang satunya agak ke belakang (gedeng
lauq), bangunan ini tepat menghadap kiblat, diletakkan
sejajar ke barat, yang sebelah kiriagak ke belakang. Masing-
masing gedeng tersebut memiliki tiang yang jumlahnya
sepuluh, jadi jumlah tiang kedua gedeng tersebut adalah
dua puluh. Jumlah tiang tersebut merupakan simbol yang
menunjukkan sifat-sifat Allah yang jumlahnya dua puluh.
Kalau diperhatikan makna simbol tersebut maka kuat
dugaan Wali Nyatok mengajarkan ajaran mazhab Imam
Syaii, tasawufnya Imam Gazali.
Gedeng atau Surau memiliki fungsi yang sama dengan
masjid, sebagai bangunan ibadah. Kendati demikian, gedeng,
surau atau juga yang biasa disebut langgar, mempunyai
fungsi yang lebih spesiik daripada masjid pada umumnya
apalagi dengan masjid jamik. Kalau masjid jamik lebih
khusus digunakan untuk shalat jama’ah pada hari Jum’at,
maka gedeng (santren), digunakan oleh warga masyarakat
setiap kali melaksanakan shalat lima waktu setiap hari.
Di samping itu fungsi sosial gedeng, tampak lebih nyata.
Bangunan ibadah tersebut juga dipakai sebagai tempat
mengaji, belajar ilmu agama, tempat merayakan hari
besar agama Islam, tempat upacara keagamaan, tempat

86 | Dr. Jamaluddin, MA
bertemu atau berkumpul, memusyawarahkan masalah
umat, beramah-tamah, dan lain sebagainya.
Melihat dari letak bangunan maka bangunan yang
sebelah kanan (gedeng daya) adalah untuk mereka jemaah
laki-laki dan yang sebelah kiri (gedeng lauq) untuk mereka
yang muslimah. Jadi pada saat mereka akan melakukan
shalat maka posisi laki-laki berada di sebelah utara depan
perempuan di kiri belakang. Bangunannya terbuka
sehingga memungkinkan orang untuk bergerak dengan
leluasa.
Kuat dugaan bahwa tempat ini merupakan pusat
pengajaran agama di Lombok Selatan. Di dekat bangunan
tersebut terdapat halaman atau tanah kosong yang luas
di mana sekarang di sekitar tempat tersebut ada makam-
makam kemungkinan yang dimakamkan di tempat ini
adalah mereka yang menjadi pengikut dekat dari wali
Nyatok.
Di sebelah kanan Gedeng terdapat sumur sebagai
tempat mengambil air untuk berwuduk (sekarang sudah
mengering). Simbol yang ditemukan pada kolam tersebut
adalah ditemukan lima buah anak tangga turun ke kolam,
hal yang sama ditemukan juga pada kolam yang ada di masjid
Kuno Rembitan. Kadua kolam tersebut memiliki ukuran
yang berbeda kalaupun demikian jumlah anak tangganya
sama yaitu lima anak tangga. Hal ini melambangkan
seorang akan sempurna keislamannya untuk menghadap
Allah apabila dia bersuci (dalam keadaan suci), pertama
seseorang harus meyakini Allah dan Rasulnya (membaca
sahadat), kedua mendirikan sholat, ketiga membayar
zakat, keempat berpuasa pada bulan Ramadhan, kelima
menunaikan ibadah haji. Kalau seseorang sudah mampu

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 87


melewati kelima tahapan tersebut selama hidup di dunia
maka seseorang akan diterima oleh Allah Swt. sebagai
hambanya yang selamat di akhirat kelak.
Dekat bangunan tersebut terdapat makam kuno
yang disebut dengan makam Wali Nyatok yang diyakini
oleh masyarakat setempat bahwa beliau inilah yang
mendirikan masjid dan bangunan tua (gedeng) yang ada
di Rembitan. Di lihat dari bentuk batu nisan maka dapat
dikategorikan sebagai makam tua. Tawalinuddin Haris
menyebutkan bahwa nama lain dari wali Nyatok adalah
Sayid Ali atau Sayid Abdurrahman,16 dengan tanpa
menjelaskan darimana nama ini diperoleh. Sumber lain
menyebutkan bahwa nama beliau adalahAbdul Qadir al-
Bagdadi.17 Kedua pendapat tersebut tidak menyebutkan
darimana nama tersebut diperoleh. Kalau dilihat dari
bentuk dan jenis nisannya memiliki sesamaan dengan
nisan-nisan yang ada pada komplek makam raja-raja
Selaparang. Penulis menduga kuat bahwa Wali Nyato ini
adalah orang yang ada hubungan darah dengan raja-raja
selaparang, karenanya penulis lebih sependapat dengan
apa yang dikemukakan oleh Lalu Jelenga tentang silsilah
yang menyebutkan bahwa Wali Nyatok adalah Deneq Mas
Putra Pengendeng Segara Katon Rambitan.
Wilayah Lombok Selatan merupakan salah satu tempat
yang paling banyak ditemukan peninggalan-peninggalan
Islam. Melihat bangunan-bangunan yang ada di wilayah
16 Tawalinuddin Haris, Masuk dan Berkembangnya Islam di Lombok
Kajian Data Arkeologis dan Sejarah, dalam Kajian: Jurnal Pemikiran Sosial
Ekonomi Daerah NTB, (Lombok Timur: Yayasan Lentera Utama, 2002),
cet. 1, h. 18.
17 Tim Penyusun Cerita Rakyat NTB, Cerita RakyatNusa Tenggara
Barat: Mite dan Legenda, ( Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1995), cet. ke-2, h. 147.

88 | Dr. Jamaluddin, MA
Lombok Selatan ini,membuktikan bahwa pada akhir abad
ke-16 sampai abad ke-18 Islam telah berkembang dengan
pesatnya bahkan menjadi sentral bagi kajian keislaman
ketika itu.
Islam pada tahap pertama ini sangat diwarnai aspek-
aspek tasawuf atau mistik ajaran Islam meskipun tidak
berarti aspek hukum (syariah) terabaikan sama sekali.
Pendulum Islam tidak pernah berhenti bergerak di antara
kecendrungan suisme dengan panutan yang lebih taat
kepada syari’ah.18 Secara umum Islam tasawuf tetap
unggul pada tahap pertama islamisasi setidaknya sampai
akhir abad ke-17, hal ini karena Islam tasawuf dengan
segala pemahaman dan penafsiran mistisnya terhadap
Islam dalam beberapa segi tertentu cocok dengan latar
belakang masyarakat setempat yang dipengaruhi oleh
asketisme Hindu-Budha dan sinkritisme kepercayaan
lokal. Juga terhadap kenyataan bahwa tarekat-tarekat
sui mempunyai kecendrungan bersikap toleran dengan
terhadap pemikiran dan praktik tradisional semacam
itu yang sebenarnya bertentangan dengan praktek ketat
unitalirianisme Islam.19

B. Masuk dan Berkembangnya Islam di Lombok


Selatan
Berbicara tentang masuk dan berkembangnya Islam
di Lombok Selatan tidak dapat dilepaskan dari sejarah
masuknya Islam di lombok. Masuk dan perkembangan
Islam di pulau Lombok, sebagaimana halnya dengan masuk
18 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan
Kekuasaan, (Bandung: Remaja Rosdakarya,2000), h.36.
19 H.A.R.Gibb, Modern Trends in Islam, (Chicago: University of Chicago
Press,1945), h.25.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 89


dan berkembangnya Islam di Indonesia secara umum
terdapat beberapa versi, namun dalam pembahasan ini
peneliti tidak akan mengemukakan versi-versi tersebut.
Diduga kuat Islam masuk di Gumi Selaparang
(Lombok), tidak lama setelah jatuhnya kerajaan Majapahit.
Ketika itu sudah ada para pedagang-pedagang muslim
yang bermukim dan berniaga di Lombok yang kemudian
mengajarkan agama Islam atau paling tidak mereka
memperkenalkan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat
sekitarnya melalui praktik kesehariannya.
Untuk mengetahui bagaimana Islam masuk di
Lombok, maka akan menjadi penting untuk mengetahui
tentang petaperdagangan ketika awal proses Islamisasi
itu terjadi, atau laporan perjalanan dari para pelancong,
paling tidak perkembangan perdagangan antara daerah-
daerah di sekitarnya dan sejauh mana keterlibatannya
dalam perdagangan tersebut.
Proses komersialisasi telah mendorong pertumbuhan
kota-kota bandar perdagangan dan pelayaran di sepanjang
pantai kepulauan Nusantara yang membentang dari ujung
barat sampai ujung timur. Di bawah hegemoni kerajaan
Islam, kota-kota emporium tumbuh bagai cendawan
di musim hujan menjadi pusat perdagangan, baik yang
bersifat internasional maupun regional.
Munculnya kota-kota emperium Islam di Nusantara
telah membawa pada ramainya para pedagang muslim
ikut ambil bagian dalam pelayaran perdagangan global.
Kota emperium Islam yang pertama kali muncul adalah
Samudera Pasai (akhir abad ke-13), di Sumatera bagian
utara, kemudian disusul kota emperium Islam lainnya
seperti Malaka (abad ke-15) di Semenanjung Malaka, kota

90 | Dr. Jamaluddin, MA
bandar pulau Jawa (mulai awal abad ke-15), Kalimantan,
Sulawesi, Maluku,20Bali dan Nusa Tenggara.21
Dari prasasti yang ada di Tralaya, dapat diketahui
bahwa pada abad ke-14, masa kejayaan Majapahit,
sejumlah besar orang-orang Islam telah menghuni
daerah-daerah di sekitar kerajaan Majapahit. Bila diselidiki
dengan teliti, mungkin akan diperoleh gambaran tentang
peranan Islam dalam proses jatuhnya kerajaan itu, dapat
dibayangkan berdasarkan kisah yang menyatakan bahwa
kerajaan Majapahit jatuh karena serangan gabungan dari
pasukan Islam dari Demak di bawah pimpinan Sunan
Giri.22 Kekalahan Majapahit terhadap kekuatan Islam
yang berpusat di Jawa telah memuluskan jalan bagi para
pedagang Islam untuk lebih intens melakukan pelayaran
dan perdagang ke daerah-daerah yang ada di Indonesia
Timur.
Dengan semakin ramainya jalur perdagangan
antara pantai utara pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi,
Nusa Tenggara, dan Maluku, dimanapara pedagang-
pedagang muslim telah ikut ambil bagian dalam pelayaran
perdagangan di sepanjang jalur tersebut, makasangat
mungkin telah terjadi kontak dagang antara penduduk

20 Djoko Suryo, Ekonomi Masa Kesultanan dalam Ensiklopedi Tematis


Dunia Islam: Asia Tenggara, ( Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, tt), h. 274.
21 Nusa Tenggara Barat dalam hal ini Lombok (pantai utara dan
timur pulau Lombok) telah menjadi bandar perdagangan sejak abad IX,
yang kemudian pada abad ke-13 -14 berada di bawah kekuasaan Majapahit.
Lombok sebagai pengekspor kerbau dan beras ke berbagai daerah di
Nusantara. Sementara Lombok banyak mengimpor barang-barang tekstil
seperti kain-kain, sarung, dan kain sutra dari luar.
22 Buchari, Epigrai dan Historiograi Indonesia, dalam Historiograi
Indonesia Sebuah Pengantar, ( Jakarta: PT Gramedia Utama, 1995), h. 50. lihat
Juga,Brandes, Pararaton, h. 183-185, dan 188-201.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 91


setempat dengan para pelaut dari Lombok dengan para
pedagang muslim ketika itu.
Jadi kemungkinan sekitar abad ke-15 sudah ada para
pedagang-pedagang muslim yang bermukim di pulau
Lombok, sehingga sejak itu pula Islam sudah ada di
Lombok. Kalau pun tidak ada bukti tentang keberadaan
orang Islam ketika itu, namun demikian tidak menutup
kemungkinan orang-orang Islam sudah ada yang yang
bermukim di Lombok. De Graaf, mengungkapkan
bahwa sebelum ada ekspedisi dari raja-raja ulama dari
Giri, mereka para pelaut dan pedagang dari Gresik telah
memperkenalkan nama pemimpin-pemimpin agama dari
Giri sampai ke jauh di luar Jawa. 23
Sumber historiograi tradisional Lombok yang secara
eksplisit menyebutkan pengislaman pulau Lombok
adalah Babad Lombok. Dalam babad tersebut dikatakan,
bahwa dari pulau Jawa agama Islam itu berkembang
ke Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara.
Penyebaran dilakukan oleh Lembu Mangkurat, Dato’
Bandan,24 dan Pangeran Prapen atas perintah Sunan Ratu
Giri. Di lombok Pangeran Prapen pertama-tama mendarat
di Salut25 kemudian meneruskan perjalanan ke Labuhan
23 HJ. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam
Pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke-16, terj. ( Jakarta:
Pustaka Graitipers dan KITLV, 1986), Cet. ke-2. Jilid .2, h.193.
24 Dalam proses islamisasi Dato’ Bandan berdakwah menyebarkan
Islam ke wilayah timur pada abad ke-17, sedangkan pangeran Prapen pada
abad ke-16.Menurut cerita sejarah di Kutai, Dato’ Ri Bandan disebut juga
Tuan Di Bandang dan sama orangnya yang telah giat bekerja di Makasar,
berjuang juga di Kalimantan Timur untuk menyebarkan Islam. De Graaf
dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam…, h.191.
25 Salut merupakan perkampungan tua yang ada di wilayah pesisir
pantai bagian utara,bukan salut Narmada. Karena selain letaknya yang
berada di tengah, juga kemungkinan itu adalah kampung baru. Jadi Salut

92 | Dr. Jamaluddin, MA
Lombok di Menanga Baris, kedatangannya disambut oleh
Prabu Rangke Sari beserta para patih, punggawa dan manca
menteri. Semula Pangeran Prapen ditolak oleh raja Lombok
yang bersiap hendak melawan, namun setelah Pangeran
Prapen menjelaskan maksud kedatangaannya yaitu untuk
menunaikan misi suci yang hendak dilaksanakan dengan
damai tidak perlu dengan cara kekerasan maka beliau
diterima dengan baik.26 Menurut de Graaf, peristiwa itu
berlangsung pada pemerintahan Sunan Dalam27 yang
memerintah pada tahun 1505-1545 M.
Terkait dengan islamisasi di Lombokyang dilakukan
oleh Sunan Prapen dari Giri, nama ulama-ulama Giri
di hadapan masyarakat pesisir pantai timur Nusantara
mungkin saja tidak asing, paling tidak ketokohan wali
tersebut telah sampai di telinga mereka lebih awal.
Menurut de Graaf,28 bahwa para pelaut dan para pedagang
Gresik telah memperkenalkan Giri di pantai-pantai bagian
timur Nusantara. Sejak zaman Sunan Prapen kekuasaan
para pemimpin agama dari Giri ternyata mendominasi
Gresik. Tidak ada pada paruh ketiga abad ke-16 yang
mengabarkan adanya kekuasaan duniawi yang merdeka di

yang ada di pesisir timur ini memiliki peran yang sangat strategis terhadap
keberhasilan dakwah Sunan Prapen di Lombok.
26 Lalu Wacana, Babad Lombok, ( Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1979), h. 17.
27 Sunan Dalem adalah putra dari Sunan Giri yang pertama, Sunan
Dalem digantikan oleh putranya Sunan Seda Margi, yang memerintah
hanya sebentar, lalu diganti oleh adiknya Sunan Prapen, menurut Waselius
(Historisch), Sunan itu memerintah tahun 1553-1587. Lihat, HJ. de Graaf,
Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati, ( Jakarta: Pustaka
Graitipers dan KITLV, 1985), Cet. ke-1. Jilid .3, h.60. Jadi Sunan Prapen
diangkat menjadi raja sesudah kembali dari misi dakwahnya.
28 HJ. de Graaf dan Th.G.Th.Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam…,
h.190.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 93


kota pelabuhan, ini berarti bahwa pada waktu itu Islam
telah mendominasi di sepanjang pantai Jawa ke Timur.
Menurut de Graaf, Giri mempunyai kedudukan
penting dalam mayarakat Sasak, bahkan nama Pangeran
Prapen, anak sesuhunan Ratu dari Giri, namanya disebut
dengan jelas. Dengan armadanya dia singgah lebih dulu
di Salut dan Sugian. Ia memaksa raja kapir di Teluk
Lombok mengakui kekuasaan Islam. Kemudian ia telah
memasuki tanah Sasak di barat daya. Kemudian ia berlayar
ke Sumbawa dan Bima. Dalam ekspedisi kedua, orang-
orang Jawa Islam menduduki kota kerajaan Lombok,
Selaparang.29 Rencana mereka merebut Bali Selatan dari
sebelah timur, demi penyebaran kebudayaan dan ekonomi
Jawa dan untuk agama Islam, rupanya terpaksa dibatalkan
karena mendapatkan perlawanan berat dari Dewa Agung,
raja Gelgel.30

29 Ibid.
30 Mungkin raja itu adalah Dewa Agung Batu Renggong yang konon
pada pertengahan abad ke-16 melawan usaha-usaha mengislamkan dirinya.
Bagian besar dari cerita tutur Bali yang menyangkut kejadian-kejadian pada
abad ke-16 dan ke-17, telah diuraikan oleh Berg, Traditie; Batu Renggong
secara tegas menolak utusan raja Makkah dengan bingkisan simbolis,
berwujud gunting dan alat cukur, ingin membuat Batu Renggong Bertaubat,
karena Ulama dari Mekkah tersebut tidak mampu memotong rambut Batu
Renggong sehelaipun, maka dia menolak untuk masuk Islam, (lih.h.140).
Tidak mungkin kiranya orang Mekkah telah muncul di Bali pada pertengahan
abad ke-16. Tetapi mungkin cerita ini ada sangkut pautnya dengan dengan
usaha Sunan Giri untuk mendekati Raja kapir itu. Ini kiranya terdapat
dalam sajak Bali yang ditulis oleh seorang keraton Bali, yang bernama Den
Ta’mung, sebagai jawaban atas ejekan dan hinaan yang dilancarkan oleh
raja-raja Pasuruan dan Mataram. Yang telah menyamakan Batu Renggong
dengan jangkrik sabungan. Disebutkannya Mataram dalam cerita tutur Bali
ini mungkin menjadi jelas apabila diketahui bahwa cerita ini baru ditulis
pada abad ke-17, waktu raja-raja Mataram mencapai kejayaannya.Lihat, de
Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam…, h.190-191.

94 | Dr. Jamaluddin, MA
Kembali kepada penjelasan babad di atas, dapat
diketahui bahwa sebelum Islam masuk di kerajaan Lombok,
Sunan Prapen terlebih dahulu mengislamkan masyarakat
yang ada di pesisir pantai timur, yaitu Salut. Dalam babad
tersebut islamisasi di Salut ini tidak banyak dibicarakan,
mungkin saja karena Babad Lombok merupakan sejarah
politik di Lombok sehingga desa Salut tidak mendapatkan
tempat. Sebenarnya apabila proses Islamisasi di Salut ini
banyak diperoleh informasinya, maka akan banyak teka-
teki yang selama ini yang belum terjawab, bisa terkuak.31
Bahkan kalau yang disebutkan oleh de Graaf di atas,
Sunan Prapen masuk juga di wilayah barat daya pulau
Lombok, di daerah tersebut kemungkinan masuk juga di
kerajaan Sasak atau Blongas yang pada waktu itu sedang
mengalami kemunduran. Kalaupun tidak banyak disebut
tapi dari berita tersebut menunjukkan bahwa wilayah
barat pulau Lombok juga telah masuk agama Islam. Jadi
yang pertama memeluk Islam di Lombok adalah bukan
kerajaan Lombok, melainkan mereka yang ada di barat
daya dan Salut.32
Salut ini memiliki peran yang sangat strategis
dalam proses Islamisasi di wilayah Lombok. Dari Salut
ini kemudian masuk ke kerajaan Lombok, kemudian
menyebar ke berbagai wilayah-wilayah lainnya di Lombok,
ke utara masuk di kerajaan Bayan, ke arah barat masuk di
kerajaan Pejanggik, dan beberapa kerajaan kecil sekitarnya,
sedangkan ke arah selatan masuk di Rembitan, Pujut, dan
daerah-daerah yang ada di sekitarnya. 33

31 Jamaluddin, Islam Sasak..., h. 121.


32 Ibid.
33 Ibid.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 95


Tantang islamisasi di wilayah Lombok Selatan
ditemukannya bukti-bukti arkeologis, berupa bangunan-
bangunan kuno dan makam-makam yang juga tidak
jauh beda dengan umur bangunan kuno tersebut. Dari
beberapa bukti tersebut menunjukkan bahwa kuat dugaan
di Rembitan dan Pujut merupakan pusat pengajaran Islam
di Lombok bagian selatan pada waktu itu.
Bukti arkeologis yang ditemukan di Rembitan adalah
bangunan masjid kuno yang beratap tumpeng. Pada
masjid tersebut masih ditemukan seperti beduq, mimbar
tempat khatib membaca khutbah yang masih asli. Selain
bangunan masjid, di Rembitan ditemukan bangunan lain
yang umurnya sama dengan masjid tersebut, yaitu, gedeng
(bangunan semacam surau), yang pada masa lampau
kemungkinan sebagai tempat pengajaran agama Islam
yang dilakukan oleh para muballiqh yang ditugaskan oleh
Sunan Prapen.

C. Catatan akhir
Di Lombok Selatan ditemukan tinggalan-tinggalan
arkeologis, khususnya di desa Rembitan terdapat dua
situs yaitu situs masjid kuno Rembitan, dan situs Makam
Nyatok. Situs masjid kuno Rembitan terletak di salah satu
bukit yang berada di tengah perkampungan penduduk.
Mesjid Kuno Rembitan memiliki cirri-ciri antara lain:
1. Fondasi bangunan yang berbentuk persegi dan pejal
(massive) yang agak tinggi.
2. Mesjid tidak berdiri di atas tiang, seperti rumah di
Indonesia model kuno dan langgar, tetapi di atas tanah
yang padat.

96 | Dr. Jamaluddin, MA
3. Mesjid itu mempunyai atap yang meruncing ke atas,
terdiri dari dua tingkat, ke atas makin kecil.
4. Mesjid mempunyai tambahan ruangan di sebelah barat
laut, yang dipakai untuk mihrab.
5. Mesjid tidak mempunyai serambi di depan maupun
kedua sisinya.
6. Halaman di sekeliling mesjid dikelilingi oleh pagar
dengan dua pintu masuk, satu pintu utama di selatan
disebut gapura, dan satunya di sebelah timur.
7. Denahnya berbentuk segi empat.
8. Dibangun di tempat yang tinggi (bukit).
9. Arah kiblat tidak tepat ke barat.
10. Dibangun dari bahan yang mudah rusak.
11. Terdapat kolam di sebelah selatan masjid (halaman
masjid).
12. Atap dari alang dan ijuk, dindingnya dari bambu
(bedeq).
Sedangkan situs Makam Nyatok berada pada puncak
salah satu bukit 1,5 km dari desa Rembitan. Di dalam
komplek Makam Nyatok terdapat Makam Wali Nyatok.
Salain Makam Wali Nyatok juga terdapat bangunan
gedeng. Gedeng adalah salah satu bangunan kuno yang ada
dalam komplek Makam Nyatok, bangunan ini menurut
informasi diperkirakan sama tuanya dengan Masjid Kuno
Rembitan. Gedeng ini terdiri dari dua buah bangunan,
yaitu Gedeng daya dan Gedeng lauk. Gedeng daya hanya
boleh ditempati oleh jamaah laki (muslimin), sementara
Gedeng lauk untuk jamaah perempuan (muslimat).

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 97


Dengan memperhatikan situs-situs yang ada di desa
Rembitan, khususnya arsitektur masjid kuno Rembitan,
memiliki kesamaan dengan masjid-masjid kuno di tempat
lain seperti pada masjid gunung Pujut di Kecamatan Pujut,
dan masjid Bayan Beleq (di Kecamtan Bayan, Kabupaten
Lombok Barat). Adanya beberapa persamaan pada ketiga
bangunan masjid kuno tersebut, memperkuat dugaan
bahwa ketiga bangunan masjid itu dibangun pada masa
yang bersamaan, yaitu pada masa awal berkembangnya
agama Islam di Lombok, dan memiliki hubungan yang
sangat erat antar ketiga tempat tersebut.
Dari penelitian ini diketahui bahwa masjid-masjid kuno
yang menggunakan atap tumpeng yang menyerupai meru
umumnya dibangun sekitar abad-abad ke-17. karena itu
masjid-masjid kuno di Lombok juga dibangun pada abad
ke-17. Tokoh yang membangun masjid kuno Rambitan
adalah Wali Nyatok yang nama lainnya Deneq Mas Putra
Pengendeng Segara Katon Rambitan, sementara yang
membangun masjid kuno Bayan adalah saudara dari Wali
Nyatok yaitu Deneq Mas Muncul.
Kalau dilihat dari bentuk dan jenis nisan pada komplek
makam Nyatok memiliki kesamaan dengan nisan-nisan
yang ada pada komplek makam raja-raja Selaparang.
Karena itu penulis menduga kuat bahwa Wali Nyato ini
adalah orang yang ada hubungan darah dengan raja-raja
selaparang.
Masuknya Islam di Lombok pada abad ke-16 dibawa
oleh Sunan Prapen dari Giri ( Jawa), pertama diterima oleh
orang-orang Sasak di Salut. Salut ini memiliki peran yang
sangat strategis dalam proses Islamisasi di wilayah Lombok.
Dari Salut ini kemudian masuk ke kerajaan Lombok,

98 | Dr. Jamaluddin, MA
kemudian menyebar ke berbagai wilayah-wilayah lainnya
di Lombok, ke utara masuk di kerajaan Bayan, ke arah barat
masuk di kerajaan Pejanggik, dan beberapa kerajaan kecil
sekitarnya, sedangkan ke arah selatan masuk di Rembitan,
Pujut, dan daerah-daerah yang ada di sekitarnya.
Memperhatikan tinggalan arkeologis tersebut yang
merupakan simbol-simbol keagamaan di Rembitan,
maka di Lombok Selatan perkembangan Islamnya sudah
demikian majunya di masa awal-awal perkembangan
Islam. Rembitan ini termasuk salah satu pusat pengajaran
Islam ketika itu, Rembitan dan Pujut di Lombok Selatan
merupakan gerbang bagi bertemunya para ulama dari
Jawa atau daerah lainnya di wilayah tengah pantai selatan.
Seiring dengan tumbangnya kekuasaan kerajaan Islam di
Lombok pada pertengahan abad ke-18, maka Islam yang ada
di Pujut dan Rembitan ini juga mengalami kemunduran,
yang berakibat pada tidak terjadinya transformasi
keilmuan Islam dari satu generasi kegenerasi berikutnya.
Sehingga muncul generasi yang ingin mempertahankan
tradisi Islam sementara mereka tidak memiliki kapasitas
yang memadai untuk mengemban tugas tersebut.
Jadi dengan melemahnya kekuatan Islam, dan tradisi
keilmuan tidak tertranspormasikan secara baik kegenerasi
berikutnya, karenanya peran dan fungsi masjid, dan
gedeng tidak teroptimalkan, yang pada gilirannya muncul
Islam yang terdistorsi, yang mempraktikkan ajaran-ajaran
Islam dalalah.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 99


BAGIAN II:
JEJAK KERAJAAN ISLAM DI
SELAPARANG
MeneLUSUrI JeJaK KeraJaan
SeLaParang

a. Latar Belakang
Selaparang adalah nama dari sebuah kerajaan Islam
terbesar di Lombok yang didirikan oleh Prabu Rangkesari
abad ke-16 M di wilayah timur pulau Lombok. Kerajaan
ini telah menjadi penguasa di Lombok kurang lebih dua
setengah abad, diperkirakan kerajaan ini berakhir pada
abad ke-18. Selama menjadi penguasa di Lombok, kerajaan
ini telah berhasil menjadi sebuah kerajaan besar dan
berwibawa baik di kalangan Sasak maupun di masyarakat
Internasional. Di Lombok pada waktu yang bersamaan
terdapat juga kerajaan-kerajaan lain selain Selaparang,
seperti Pejanggik, Langko, Bayan, Sokong, Suradadi, dan
Parwa, namun demikian dapat dikatakan semua kerajaan
yang ada di Lombok mengakui supremasi kerajaan
Selaparang.
Selaparang dikenal bukan karena kekuatan militernya,
yang berusaha menundukkan setiap kerajaan disekitarnya,
melainkan karena kemampuannya membangun komu-
nikasi (hubungan diplomatik) dengan banyak pihak.
Apalagi kerajaan ini didukung oleh letaknya yang sangat
strategis, memungkinkan untuk mengadakan kerjasama
yang lebih luas dengan penguasa dari negeri-negeri lain.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 103


Dengan dibukanya pelabuhan Lombok di timur sebagai
kota pelabuhan Internasional, juga telah membuka peluang
bagi Selaparang untuk terlibat aktif dalam perdagangan
internasional. Selain itu Selaparang lebih dikenal oleh
banyak kerajaan maritim atau para pedagang-pedagang
dari luar. Semakin ramai kota pelabuhan dikunjungi para
pedagang dari luar, maka akan semakin meningkat pula
perekonomian kerarajaan Selaparang khususnya, dan
masyarakat Lombok pada umumnya. Pendapatan negara
terbesar diperoleh dari devisa yang tinggi dari perdagangan
dan pajak di pelabuhan. Kebesaran dan kemegahan
Selaparang berakhir pada pertengahan abad ke-18 M.
Selaparang dikenal luas oleh kebanyakan orang-orang
Sasak. Kalaupun kerajaan ini telah sudah lama menghilang
dari tanah Gumi Sasak. Pada masyarakat Sasak hampir
tidak ditemukan orang yang tidak mengenal kerajaan
Selaparang, atau paling tidak kata “Selaparang”. Namun
apabila diajukan pertanyaan kepada mereka di mana dan
bagaimana kerajaan Selaparang, mungkin mereka akan
menjawab “tidak tahu” atau hanya akan menunjukkan
letak kampung Selaparang yang ada di Lombok Timur.
Bagi mereka yang pernah membaca atau mendengar dari
oral history akan dapat menjelaskan lebih banyak, namun
pada umumnya cerita-cerita tentang Selaparang banyak
diselimuti oleh “mitos” yang sangat sulit diterima akal
karena “tidak logis”.
Oleh karena itu wajarlah kemudian ada yang
beranggapan bahwa kerajaan Selaparang itu tidak lebih
dari sebatas cerita rakyat yang tidak memiliki nilai historis.
Lebih-lebih lagi di Selaparang tidak ditemukan simbol-
simbol kerajaan, seperti istana raja, atau praktik tradisi-
tradisi kerajaan yang masih diabadikan sampai sekarang.

104 | Dr. Jamaluddin, MA


Berbeda halnya dengan di daerah lain di Indonesia seperti
di Yogyakarta, Solo, Cirebon, dan beberapa daerah lainnya.
Pada tempat-tempat tersebut masih terlihat paling tidak
kalau bukan praktik tradisi-tradisi kerajaan, maka istana
kerajaan masih kokoh berdiri. Pada beberapa tempat
masih ada keturunannya yang diangkat menjadi “raja”
secara turun-temurun sampai sekarang kalaupun secara
“politis” tidak memiliki kekuatan apa-apa karena berada
dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia.
Beberapa tinggalan-tinggalan arkeologis dari kerajaan
Selaparang yang sampai sekarang dapat ditemukan di
beberapa tempat di Lombok. Apabila dikumpulkan akan
dapat memberikan banyak informasi tentang kerajaan
ini. Upaya-upaya semacam ini di Lombok tidak banyak
yang pernah melakukannya, apalagi sampai pada upaya
untuk merekonstruksikan kerajaan Selaparang. Karena
itu dibutuhkan kajian serius terhadap berbagai tinggalan-
tinggalan arkeologis kerajaan Selaparang, sehingga dapat
memberikan informasi yang utuh tentang kerajaan
tersebut. Sangat mungkin untuk merekonstruksikan
sejarah kerajaan Selaparang dengan pendekatan arkeologis,
disebabkan yang ada sekarang ini kebanyakan berdasarkan
data-data arkeologis.
Tentunya sebagai seorang sejarawan yang memiliki
kecendrungan untuk mengkaji sejarah Islam, merasa
berkewajiban untuk mengisi ruang kosong dari deretan
sejarah kerajaan Indonesia khususnya tentang kerajaan
Islam di Lombok. Karena itu penulis tertarik untuk
melakukan kajian arkeologis untuk merekonstruksi
kerajaan Selaparang.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 105


Untuk melakukan rekonstruksi sejarah kerajaan
Selaparang tidak banyak sumber yang dapat diakses, selain
tinggalan-tinggalan arkeologi yang ada pada situs-situs
di wilayah Selaparang. Tinggalan tersebut merupakan
sumber yang autentik dari kerajaan Selaparang. Merupakan
sebuah keniscayaan untuk melakukan kajian terhadap
temuan pada situs-situs tersebut, untuk merekonstruksikan
kerajaan Selaparang. Maka tulisan ini akan berupaya untuk
melakukan tiga hal. Pertama, untuk megetahui tinggalan-
tinggalan arkeologis pada situs-situs di Selaparang; Kedua,
untuk mengetahui hubungan antara kerajaan Selaparang
dengan daerah lainnya berdasarkan situs-situs yang ada di
Selaparang dengan situs-situs di tempat lain; Ketiga, untuk
mengetahui pertumbuhan dan perkembangan kerajaan
Selaparang.
Kajian ini akan berusaha merekonstruksikan sejarah
kerajaan Selaparang, dengan menggunakan tinggalan-
tinggalan arkeologis, yang mengangkat tiga permasalahan
di atas, maka konsentrasi kajian adalah tinggalan-tinggalan
arkeologis, yang ada di desa Selaparang dan sekitarnya,
karena kerajaan Selaparang berada pada desa Selaparang
(sekarang), dan sekitarnya. Namun demikian bukan
berarti kajian ini akan meninggalkan data-data historis
(data-data tertulis), apalagi kajian ini merupakan kajian
arkeologi sejarah maka data-data sejarah menjadi sangat-
sangat urgen dalam kajian ini.
Kajian ini akan melakukan pemetaan terhadap
tinggalan-tinggalan arkeologis kerajaan Selaparang. Di
lokasi Kerajaan Selaparang, setidaknya terdapat tiga situs
yang merupakan peninggalan Selaparang. Situs pertama
yang merupakan komplek makam raja-raja Selaparang
(makam Selaparang I), situs kedua, yang terdapat pada

106 | Dr. Jamaluddin, MA


bagian utara (300) meter ke arah utara dari makam
Selaparang, juga merupakan komplek makam raja-raja
Selaparang (makam Tanjung). Situs ketiga, adalah salah
satu situs yang tidak terurus, yang memiliki kesamaan
dengan dua situs sebelumnya. Situs ini terdiri dari beberapa
makam yang dipagari oleh tembok keliling, dan berada di
tengah pemakaman umum yang sudah tidak dipakai lagi
sebagaimana fungsinya. Dengan demikian lingkup dari
kajian ini adalah ketiga situs tersebut yang ada di desa
Selaparang dan sekitarnya.

B. Kerangka Konsep
Arkeologi merupakan suatu studi yang sistematik
tentang benda-benda kuno sebagai alat untuk
merekonstruksi masa lampau. Menggali sisa peninggalan
manusia di masa lampau. Itulah ciri dari sebuah kajian
arkeologi. Sebagai Ilmu bantu sejarah, arkeologi bekerja
terkonsentrasi pada horizon waktu dalam sejarah umat
manusia, di mana bukti-bukti tertulis belum ditemukan.
Suatu horizon waktu yang kemudian dikenal sebagai
“prasejarah“ di mana perangkat analisa dan metodologi
sejarah tidak memungkinkan untuk bekerja. Arkeologi
bertugas memberi perjelasan terhadap benda-benda
peninggalan umat manusia yang sudah terkubur, sehingga
benda-benda tersebut kemudian bisa berfungsi sebagai
sumber sejarah.
Oleh karena itu, arkeologi berhubungan dengan periode
paling archaic dalam sejarah umat manusia. Arkeologi
mengarahkan kajian pada benda-benda peninggalan umat
manusia yang bersifat material, untuk dihadirkan kembali
sebagai “benda berbicara” yang mewakili dunia masa
lampau yang gelap. Dalam kaitan inilah arkeologi secara
Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 107
sederhana dipahami sebagai ilmu “untuk menulis sejarah
berdasarkan sumber-sumber material” atau sebagai “studi
yang sistematik terhadap kepurbakalaan (antiquities);
sebagai alat untuk merekonstruksi masa lampau”.1
Arkeologi dibedakan dari sejarah dengan bertumpu
hanya pada tersedianya data tertulis. Oleh karena itu dalam
perkembangannya kemudian, perbedaan itu tidak bisa
dipertahankan. Arkeologi berkembang menjadi menjadi
suatu disiplin Ilmu yang tidak hanya berurusan dengan
masa pra-sejarah, tetapi juga masa sejarah. Meskipun
tentu saja, benda-benda material berupa artepak dan situs
purbakala tetap menjadi sasaran utama kajian arkeologi.
Bahkan, pola kajian arkeologi terakhir ini yang lebih
berkembang dalam konteks sejarah Islam Indonesia.
Arkeologi telah memberi sumbangan yang sangat besar
dalam kajian-kajian para sarjana tentang sejarah Islam
di Indonesia. Lebih dari itu, dengan perkembangan ini,
arkeologi sebagai ilmu bantu sejarah tampak semakin
memperoleh rumusan yang jelas.
Masa awal-awal perkembangan Islam di Indonesia,
suatu periode sejarah kerap dinilai masih kabur, arkeologi
jelas telah memberi kontribusi sangat berarti. Kajian
arkeologi dalam konteks ini sangat mendukung berita-
berita sejarah yang terdapat baik dalam tulisan lokal
maupun asing, yang menjadi sasaran perhatian para
sarjana. Karena itu menghadirkan kembali tinggalan-
tinggalan kerajaan Selaparang, dengan menggunakan
pendekatan arkeologi, tentu memberikan informasi yang
akurat tentang bagaimana kerajaan Selaparang pada masa

1 Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan


Historis Islam Indonesia, ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), ix.

108 | Dr. Jamaluddin, MA


lampau, yang tentunya di sini informasi dari manuskrip
akan sangat membantu dalam melakukan rekonstruksi.
Albert C. Spaulding menyatakan, arkeologi, minimal
dapat dijelaskan sebagai studi atas hubungan timbal balik
dimensi bentuk, waktu, dan ruang dari artefak. Dengan
kata lain, ahli arkeologi harus senantiasa memfokuskan
diri pada hubungan timbal-balik ini. Lanjut lewis Binford,
(1992:11) menambahkan untuk menjelaskan (eksplanasi)
tinggalan arkeologis, kita mesti mengamati hubungan
timbal balik antara dimensi bentuk, waktu dan ruang
itu. Jika artefak dianggap sebagai data budaya, dan fungsi
artefak dianggap sebagai elemen budaya, maka akan
banyak kajian atas tinggalan masa lampau yang mesti
mengacu kepada sistem budaya masa lampau tersebut.
Para arkeolog dapat mengkaji tinggalan arkeologis
guna menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang sistem
budaya masa lampau. Ilmu arkeologi bertujuan mencari
penjelasan-penjelasan tentang perbedaan dan persamaan
seluruh sistem budaya yang pernah ada di muka bumi ini.

Kerangka konsep

Rekonstruksi
Kerajaan Selaparang

Situs I
Situs-Situs
Nusantara

Situs Situs II
Selaparang

Analisis historis

Situs III

Naskah /sumber-
sumber Sejarah

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 109


Untuk merekonstruksikan sejarah kerajaan Selapa-
rang dengan hanya membaca atau menganalisis tinggalan-
tinggalan arkeologi, mungkin tidak akan banyak
memberikan penjelasan yang berarti bagi kajian ini. Untuk
itu karya-karya yang ditulis sezaman dengan masa ketika
kerajaan Selaparang, atau ditulis oleh mereka yang masa-
masanya lebih dekat dengan masa kerajaan Selaparang
yang menjadi pembahasan dalam kajian ini merupakan
sumber yang sangat penting.
Di antara sumber-sumber yang termasuk dalam
kategori sumber utama adalah historiograi lokal yang
dalam masyarakat Sasak dikenal dengan nama babad/
naskah atau manuskrip. Babad atau naskah-naskah tersebut
ditulis sekitar abad ke-17, yang kemudian dilakukan
penyalinan oleh generasi sesudah mereka, karena itu
banyak babad-babad atau naskah yang merupakan salinan
atau turunan.
Historiograi lokal atau manuskrip-manuskrip yang
dimaksud antara lain, Babad Lombok. Naskah ini diketahui
selesai ditulis (oleh penyalin) pada tahun 1301 H atau 1883
M. dengan menggunakan huruf jejawen (huruf Sasak),
bahasa Kawi, ditulis di atas daun Lontar, tidak disebutkan
penulisnya siapa. Bagian “terpenting” dari Babad Lombok
kaitannya dengan kajian ini adalah terletak pada bagian
akhir naskah, banyak menguraikan tentang konlik politik
yang terjadi di kerajaan Selaparang sampai jatuhnya
Selaparang ke penguasa Bali Karangasem.
Selain naskah Babad Lombok, Babad Selaparang juga
menjadi sangat penting untuk memberikan informasi
tentang kerajaan Selaparang. Naskah ini akan sangat
membantu dalam memahami tinggalan-tinggalan

110 | Dr. Jamaluddin, MA


Selaparang. Sumber-sumber pendukung lainnya adalah
karya-karya ilmiah yang membahas objek kajian yang
sama, baik dari segi tema, maupun wilayah dan masanya.
Antara lain karya Othman Mohd. Yatim, Batu Aceh: Early
Islamic Gravestones In Peninsular Malaysia. Karya ini akan
sangat membantu penulis dalam memahami batu nisan
yang ada di situs Selaparang, khususnya dalam melacak
pengaruh atau hubungan antara Selaparang dengan negeri
muslim lainnya melalui tipe-tipe atau ragam hias yang ada
pada batu nisan situs Selaparang.
Selain itu, karya Uka Djandrasasmita, Arkeologi Islam
di Indonesia dari Masa ke Masa, yang kaya dengan temuan-
temuan arkeologi Islam di Indonesia. Tidak dapat diabaikan
juga karya Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban;
Melacak Jejak Arkeologi Islam di Nusntara, buku ini selain
menampilkan kajian arkeologis, juga melakukan elaborasi
lebih luas terhadap tinggalan-tinggalan arkeologis dengan
analisis sosio-kultural, karena itu dalam kajian ini karya
sarjana arkeologi Islam alumnus Ecole des Hautes Etude
en Science Sociales (EHESS) Paris ini, akan menjadi sangat
penting untuk dijadikan rujukan.
Khususnya karya-karya yang secara langsung
berhubungan dengan situs-situs di Selaparang, antara lain
karya dari W.F. Stutterheim, Een Inscriptie Van Lombok.
DJAWA, XVIII, 1&2. Stutterheim adalah seorang sarjana
yang pertama membaca tulisan yang ada di salah satu
makam yang ada di situs Selaparang. Kalaupun dalam
tulisannya ia belum melakukan kajian lebih jauh tentang
kerajaan Selaparang, hasil kajian ini penting untuk
dihadirkan kembali, karena beberapa bagian pada situs
Selaparang sekarang ini sudah tidak terbaca lagi, dan dari

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 111


sinilah Stutterheim menetapkan angka tahun untuk situs
Selaparang.
Beberapa informasi tentang situs Selaparang terdapat
juga dalam buku Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan
di Nusa Tenggara Barat, diterbitkan oleh Depdikbud
NTB, namun demikian buku ini sifatnya lebih informatif
daripada analisis arkeologis.
Memperhatikan berbagai sumber di atas, kalaupun
beberapa sarjana atau lembaga yang telah melakukan
penelitian arkeologis di Lombok, akan tetapi belum ada
penelitian arkeologis yang mengarahkan kajiannya untuk
melakukan rekonstruksi sejarah kerajaan Selaparang.
Untuk itu tulisan ini diharapkan akan dapat mengisi ruang
kosong yang belum terisi oleh kajian-kajian sebelumnya.

112 | Dr. Jamaluddin, MA


SItUS-SItUS KeraJaan SeLaParang

a. Pengantar
Desa Selaparang adalah desa yang kaya dengan
peninggalan-peninggalan arkeologis. Tinggalan-tinggalan
tersebut merupakan bukti-bukti sejarah dari peninggalan
kerajaan Selaparang. Khususnya makam, di Selaparang
ditemukan makam-makam kuno di banyak titik, setidaknya
terdapat empat tempat yang dipercaya oleh orang Sasak
sebagai makam Raja Selaparang, yaitu, Makam Selaparang,
Makam Tanjung, Makam Pesabu’an, Makam Pekosong,
dan makam-makam kuno lainnya yang tersebar di sekitar
Selaparang. Dua di antaranya menjadi benda cagar budaya
(dilindungi), dan telah dipugar, yaitu Makam Selaparang
dan Makam Tanjung.
Dalam penelitian ini tiga di antaranya akan dibahas,
yaitu Makam Selaparang (situs I), Makam Tanjung (situs
II), dan Makam Pesabu’an (situs III). Ketiga makam ini
memiliki nilai historis dan perlakuan yang lebih dari
masyarakat. Masyarakat Sasak yang berziarah ke makam-
makam raja Selaparang, biasanya sebelum mereka
mendatangi makam Selaparang, terlebih dahulu mereka
masuk di Makam Pesabu’an, baru ke Makam Tanjung
atau ke Makam Selaparang. Namun yang terpenting di
sini adalah ketiga makam tersebut memiliki hubungan

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 113


yang cukup kuat, daripada dengan yang lainnya khususnya
dalam kaitannya dengan kerajaan Selaparang. Inilah
dasarnya kenapa makam tersebut yang dipilih sebagai
objek dalam buku ini.
Bagi para arkeolog maupun para sejarawan yang ingin
merekonstruksi masa lampau pulau Lombok, sudah tentu
makam-makam yang ada di Selaparang akan menjadi suatu
objek studi yang amat penting. Dengan terungkapnya
fakta dan nilai sejarah yang terkandung dalam peninggalan
ini para arkeolog maupun sejarawan akan mendapatkan
banyak informasi tentang perkembangan politik pada
era kerajaan Islam dan perkembangan Agama Islam di
pulau Lombok. Tentu saja hal ini sangat berguna untuk
melengkapi dan mengisi kekosongan dalam penulisan
sejarah lokal dan nasional pada tataran yang lebih luas.

B. gambaran Umum Letak & Lokasi Situs Selaparang


Selaparang yang dulunya merupakan sebuah negara
yang memiliki wilayah yang cukup luas kini merupakan
sebuah desa kecil yang berada di wilayah kecamatan Suwela
kabupaten Lombok Timur. Desa Selaparang adalah salah
satu dari dua desa yang wilayahnya paling kecil di antara
6 desa yang berada pada kecamatan Suwela. Desa ini
berbatasan dengan desa Ketangga di sebelah barat, Perigi
di utara, dan wilayah kecamatan Pringgabaya di bagian
timur dan selatan.
Makam Selaparang terletak di Desa Selaparang yang
dapat dijangkau dengan menggunakan berbagai jenis
kendaraaan. Menuju lokasi makam Selaparang dapat
ditempuh melalui dua jalur, yaitu jalur utara dan jalur
selatan. Jalur utara merupakan jalur yang sama dengan

114 | Dr. Jamaluddin, MA


jalur Sembalun (Aikmel-Sembalun), setelah kita melewati
jalur dari Aikmel kira-kira 7 km kita akan sampai di Suwela
(simpang tiga Suwela). Dari simpang tiga Suwela lurus
ke arah Ketangga kira-kira 2 km, kita akan sampai pada
simpang tiga Selaparang, belok kiri masuk desa Selaparang,
dari pertigaan tersebut kurang lebih 1 km sampai makam
Selaparang. Sedangkan jalur selatan, kalau kita berkendaraan
dari Pringgabaya kita menuju ke arah Barat Laut (kira-
kira 4 km sebelah Barat Laut Pringgabaya), melalui jalan
Selaparang yang menghubungkan Pringgabaya dengan
Desa Suwela, setelah menempuh jarak kira-kira 3.5 km,
kita akan sampai pada jalan simpang tiga, dari sini belok ke
kanan melalui jalan yang mengubungkan desa Selaparang
dengan desa Sapit. Jalan ini disebut jalan kramat yang
nantinya membelah desa Selaparang menjadi bagian utara
dan selatan. Setelah menempuh jarak kira-kira 700 meter
kita sampai di Makam Raja-Raja Selaparang.
Makam Selaparang terletak di penghujung desa
Selaparang, di sebelah Utara di tepi Jalan Kramat, pada
sebidang tanah dengan ketinggian kira-kira 137.29 m dari
permukaan laut. Di sebelah utara dan timurnya berbatasan
dengan tanah sawah dan tegalan, sedangkan di sebelah
barat dan selatannya terdapat halaman lahan parkir,
rumah-rumah penduduk, jalan desa serta perkampungan.
Kira-kira 400 meter ke arah barat daya dari Makam
Selaparang terletak Makam Tanjung. Makan ini berjarak
kira-kira 75 meter di sebelah selatan Jalan Kramat, dan dapat
ditempuh dengan kendaraan ukuran kecil (sampai depan
gerbang makam). Di sebelah utara, timur dan selatannya
berbatasan dengan sawah tadah hujan, sedangkan di
sebelah baratnya berbatasan dengan tegalan dan kuburan.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 115


Sedangkan ke lokasi makam Penyabu’an dari simpang
tiga (kalau ke kanan menuju arah desa Selaparang) kira-
kira 1 km sampai lokasi dengan melewati jalan Selaparang
yang menghubungkan Pringgabaya dengan Suwela, di
samping kiri jalan terdapat tempat parkir dengan ukuran
sedang, dari sini melewati jalan setapak menyusuri pinggir
parit kira-kira 300 meter. Makam Pesabu’an dikelilingi
oleh sawah-sawah di sebelah selatan, timur, dan utara,
sedangkan di sebelah barat terdapat kuburan dan kebun.

B. Situs-Situs Kerajaan Selaparang


1. Situs I: Makam Selaparang
Makam Selaparang dikenal sebagai tempat
pemakaman raja-raja dari kerajaan Selaparang yaitu
kerajaan Islam yang pertama di pulau Lombok. Komplek
makam tersebut diduga kuat bahwa dahulu makam itu
merupakan komplek pemakaman raja. Sayang sumber-
sumber historis yang secara lengkap menyebutkan nama-
nama raja yang dimakamkan di komplek makam tersebut
belum ditemukan. Melihat bentuk makam dan batu
nisannya, maka sangat mungkin kalau yang dimakamkan
di tempat itu orang-orang yang berpengaruh seperti raja,
pejabat kerajaan atau para tokoh agama.
Demikian juga halnya dengan kerajaan Selaparang
itu sendiri, sejak kapan muncul dalam peristiwa sejarah
belum dapat ditentukan secara konkrit karena belum ada
sumber-sumber serta data yang lengkap mengenai hal
itu, baik berupa sumber-sumber tertulis ataupun sumber-
sumber lainnya. Karena itu mereka yang pernah mengkaji
tentang Selaparang berusaha untuk menetapkan angka
tahun kemunculan kerajaan tersebut. Niuwenhuizen

116 | Dr. Jamaluddin, MA


(1939; 9-13) misalnya, menduga Selaparang telah ada sejak
tahun 1543 M, hal ini didasarkannya atas sejumlah lontar
yang menyebutkan pembagian pulau Lombok menjadi
beberapa daerah kecil yang masing-masing diperintah oleh
seorang tuan tanah yang disebut “datu”, misalnya daerah
Sokong, Bayan, Selaparang dan lain sebagainya. Sementara
W.F. Stutterheim (1937; 36-46), menetapkan tahun 1729 M
berdasarkan inskripsi yang terdapat pada sebuah batu nisan
di komplek makam Selaparang bertuliskan huruf Arab dan
huruf-huruf yang merupakan peralihan dari huruf Jawa
Kuno ke huruf Bali, mengandung candrasangkala 1142 H
atau 1729 M.

Gambar 1: Makam Selaparang.

Denah Makam Selaparang berbentuk huruf L dan


terdiri dari tiga halaman. Halaman pertama dikelilingi
oleh pagar besi dengan kawat berduri, dengan pintu masuk
terbuat dari besi (sebelum pemugaran pintu ini dibuat dari

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 117


bambu). Pada sisi sebelah barat agak ke utara terdapat
sebuah bangunan kayu berbentuk panggung terbuka
bertiang dua belas, atapnya terbuat dari alang-alang.
Bangunan tersebut berukuran 8.70 X 4.80 m memanjang
dari arah timur ke barat didirikan pada tahun 1973 atas
prakarsa seorang ulama kenamaan yaitu Tuan Guru Haji
Zainuddin Abdul Majid.
Halaman pertama dan kedua dihubungkan oleh sebuah
pintu besi dengan lebar 1.50 m. Halaman pertama dan kedua
dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari susunan batu-
batu kali yang diberi perekat dengan luh luh (Sasak) sedang
bagian luar diberi penguat dengan campuran kapur, pasir
dan semen. Pada halaman kedua terdapat dua bangunan
yang disebut berugak dan terletak pada sisi sebelah barat.
Berugak ialah suatu bangunan yang berbentuk panggung
tanpa dinding yang merupakan kelengkapan dari rumah
langgam Sasak yang disebut Bale Gunung Rate. Fungsinya
sebagai tempat menerima tamu, pertemuan desa, upacara
selamatan lainnya seperti upacara kematian, Ngurisan
Ngikiran dan lain sebagainya (R. Goris 1939,196-248):
Tawaluddin Haris: 1976,56). Barugak ini namanya ada
bermacam-macam disesuaikan dengan jumlah tiangnya,
ada yang mempunyai tiang empat disebut berugak sekepat,
kalau yang tiangnya enam maka namanya sekenam.1
Beruga yang pertama memanjang dari utara ke selatan,
terbuat dari bahan kayu dengan atap alang-alang, berukuran

1 Di daerah Bayan (Lombok Utara) penamaan Beruga ini dihubungkan


dengan letak dalam pekarangan rumah. Beruga yang terletak di sebelah
Tenggara disebut Beruga Agung, sebelah Barat Daya yaitu Beruga Malang,
sebelah timur Laut disebut Baruga Empat sedangkan yang terletak di Barat
Laut tidak mempunyai nama khusus. ( J Van Boal = Djawa XXI, 1941,313 –
151).

118 | Dr. Jamaluddin, MA


5.10 X 2.80 m. Bangunan ini dianggap sebagai bagunan
lama dan gambarnya berupa sket yang dibuat oleh G.H
Boresquet (1939; 245). Barugak yang kedua memanjang
dari timur ke barat terbuat dari kayu dan beratap genteng
dengan ukuran 5.30 m X 2.90 M. Bangunan ini termasuk
bangunan baru dan didirikan oleh Kepala Desa Aikmel,
Haji Zainul Ariin tahun 1971. (Laporan teknis pemugaran
Makam Selaparang)
Halaman kedua dan ketiga seperti halnya halaman
pertama dihubungkan oleh sebuah pintu yang letaknya
di sebelah selatan. Di depan pintu masuk terdapat sebuah
tangga terbuat dari batu kali dengan perekat semen dan
pasir, kerangka pintu terbuat dari kayu jati, model klasik,
tanpa hiasan sama sekali. Pintu diapit oleh dua buah tiang
kayu yang menempel di tembok (pilar pintu) yang terbuat
dari batu kali dan tanah (perekat semen), tingginya kira-
kira 2 meter dan tebal 0.80 x 1 m. atap pintu dari alang-
alang.

Gambar 2: Pintu masuk yang menghubungkan makam dengan Masjid.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 119


Selain pintu yang telah disebutkan di atas, ada pintu
lain yang menghubungkan halaman jeroan (halaman III)
dengan kompleks masjid yang saat ini hanya tinggal fondasi
saja. Adanya pintu yang menghubungkan halaman jeroan
dengan komplek masjid, karena masjid yang terdapat di
sebelah makam ini merupakan masjid makam (mashad),
yaitu masjid yang dihubungkan dengan makam, jadi harus
ada pintu masuk yang menghubungkan antara keduanya.
Pintu masuk di sebelah selatan merupakan pintu ziarah
yang tentu saja harus terbuka pada setiap saat, sedangkan
pintu masuk di sudut tenggara ini dibuka pada saat tertentu
saja, apabila ada jenazah yang akan dimakamkan setelah
terlebih dahulu disembahyangkan di dalam Masjid.
Halaman yang ketiga merupakan halaman yang terluas
(utara-selatan 35,3 m, timur-barat 25,3 m.) dan dianggap
suci karena disinilah terdapat kuburan raja-raja Selaparang.
Pada halaman ini terdapat banyak sekali kuburan dengan
bentuk yang beragam, ada yang satu, dua, tiga dan empat
tingkat. Tinggi rendahnya kubur ini melambangkan status
sosial orang yang dimakamkan di tempat itu.
Demikian pula halnya dengan batu nisannya, yang
mempunyai bentuk-bentuk tertentu, seperti bentuk
lingga atau gunungan halus dan sebagainya. Sayang sekali
banyak di antaranya yang tidak mempunyai bentuk lagi
karena sudah patah dan hilang atau hanya berupa pecahan
batu alam yang sudah tak karuan bentuknya, beberapa di
antaranya sudah disambung.
Berdasarkan bahannya batu nisan pada Makam
Selaparang dapat digolongkan menjadi dua, yaitu batu
nisan yang terbuat dari batu alam dan batu nisan yang
terbuat dari batu padas (batu bokah: Sasak). Batu nisan yang

120 | Dr. Jamaluddin, MA


terbuat dari batu padas, umumnya berukuran lebih besar,
diberi ukiran, banyak diantaranya berhias bunga teratai
(akan dibahas lebih rinci).
Menurut ukurannya batu nisan yang di Selaparang
secara keseluruhannya dapat dibagi menajdi tiga bagian:
1. Batu nisan yang berukuran besar, tinggi 0.80 m sampai
1,05 meter dengan ukuran dasar yang kecil (0.23 X 0.23
m) dan yang terbesar (0.20 X 0.35 m)
2. Batu nisan yang berukuran menengah, tinggi 0.34
meter sampai 0.44 meter dengan ukuran dasar terkecil
(0.16 X 0.16 M) dan yang terbesar (0.20 X 0.20 M).
3. Batu nisan yang berukuran kecil, tinggi kurang dari
0.34 meter, bentuk tidak jelas ada yang segitiga dan ada
yang segi empat.
Menurut letaknya kuburan yang ada di Makam
Selaparang ini dapat dikelompokkan menjadi empat:
1. Kuburan di belakang pintu masuk halaman ketiga, yaitu
deretan yang paling Selatan. Pada deretan ini terdapat
tujuh buah nisan, enam buah di antara nisan tersebut
terbuat dari batu padas berbentuk segi empat, segi
delapan dan bulat serta distilir dengan hiasan bunga
teratai. Satu kuburan pada deretan ini bertingkat empat
(paling barat) makam no. 7, tiga kuburan bertingkat
tiga (no. 2,3,6, dan tiga kuburan tidak bertingkat
(makam no. 1,4 dan 5).
2. Kuburan belakang mihrab (mihrab), berjumlah
tujuh buah kuburan, lima diantara kuburan tersebut
nisannya terbuat dari batu padas, ada yang berbentuk
segi empat, segi delapan dan bulat dengan hiasan sulur-
sulur dan bunga teratai. Pada deretan ini terdapat dua

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 121


buah kubur yang bertingkat empat (makam no. 10 dan
14), satu yang bertingkat tiga (makam no. 12) tiga buah
tidak bertingkat, dan satu buah di bawah makam no.
12 juga tidak bertingkat.
3. Makam penghulu raja yang menurut tradisi dikenal
dengan nama Penghulu Gading atau Ki Gading.
Makam ini terletak pada bagian halaman makam yang
menjorok ke timur (sebelah kanan mihrab). Kelompok
ini berjumlah 15 buah kubur, sebagian besar batu
nisannya terbuat dari batu alam dengan bentuk yang
sangat sederhana sekali, kecuali makam Penghulu
Gading. Kubur ini terdiri dari 3 tingkat (2 teras)
berukuran 1.20 X 1.20 m, tinggi 1 m dan pada salah
satu nisannya terdapat sebuah inskripsi dengan pahatan
timbul (lout relief ) berukuran 14 X 11 cm. (makam no.
16). Makam dengan no. urut 17-28 tidak bertingkat,
dengan menggunakan batu biasa sebagai batu nisan.
Satu lagi sebuah lingkaran yang di atasnya ada sebuah
batu nisan diyakini oleh masyarakat setempat sebagai
makam Gajah Mada.
4. Kuburan yang terletak ditengah-tengah halaman
(samping kiri masjid atau selatan masjid), makam
tersebut terdiri dari enam buah kuburan, nisan-nisan
itu terbuat dari batu kali (andesit) dan bentuknya
sederhana sekali. Di sekitar tempat ini terdapat batu-
batu besar (megalith) yang sebagian besar masih
terendam dalam tanah. Mungkin sekali batu-batu besar
tersebut merupakan tahta dari zaman megalith.
Peninggalan lainnya yang merupakan satu rangkaian
dengan makam, yaitu fondasi masjid. Tepi masjid sebelah
barat (kiblat) menempel dengan tembok makam. Rupa-

122 | Dr. Jamaluddin, MA


rupanya dahulu tempat masjid pada bagian tersebut
sekaligus menjadi tembok makam, sehingga mihrab
menjorok ke halaman makam. Arah mihrab miring 15°
dari arah timur barat, jadi menghadap kiblat dengan ukuran
(diukur dari dalam mihrab) 3,6 m x 3 m. Denah mesjid segi
empat dengan ukuran 21,70 m x 20,23 m. tinggi kira-kira
dua meter (diukur dari sisi sebelah timur), di atas fondasi
terdapat sepuluh buah umpak dari batu alam, tetapi hanya
sebagian kecil saja yang masih terlihat, karena sebagian
besar terbenam dalam tanah. Namun ukuran-ukuran
umpak-umpak tersebut dapat dibagi dua macam. Pertama
ialah umpak-umpak yang berukuran besar 0.80 x 0.70 m
berjumlah tiga buah, yang kedua ialah umpak-umpak
yang berukuran kecil, bentuknya agak bulat dengan garis
tengah 0.30 m, sampai 0.40 m jumlahnya 6 buah.
Pada sebelah kanan mihrab terdapat pintu masuk yang
menghubungkan masjid dengan makam, keterangan ini
sesuai dengan sket gambar yang dibuat oleh G.H. Bousquet
pada tahun 1939, bentuknya tidak berbeda dengan pintu
masuk pada halaman yang ketiga. Berdasarkan atas
kenyataan tersebut maka dengan jelas bahwa masjid yang
ada di makam Selaparang itu merupakan suatu mashad
yaitu masjid yang dihubungkan dengan makam.
Penting dikemukakan di sini bahwa dari keempat
pengelompokan di atas tidak memberikan informasi yang
rinci tentang perbedaan dan persamaan yang ada pada
setiap makam dan nisannya. Oleh karenanya khususnya
tentang nisan akan diuraikan lebih rinci dengan berbagai
ciri pada setiap nisan. Penjelasan ini akan mengurutkan
nisan mulai dari deretan nisan paling selatan, dengan
urutan timur-barat, karena itu nisan paling timur pada
deretan selatan menjadi urutan pertama (no. 1).

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 123


Kuburan no. 1 deretan selatan paling timur, memiliki
nisan dengan tinggi 65 cm, lingkar badan 20 cm, dengan
jarak nisan 79 cm. dengan ciri, dasar nisan (BD) berbentuk
balok tanpa hiasan, badan bagian bawah (BBB) terdapat
dua pahatan garis horizontal yang membentuk garis lurus
dari garis atas terdapat kemiringan agak ke dalam sehingga
tampak sebagai lekukan nisan. Di atas garis tersebut (garis
atas) terdapat pahatan hiasan bunga di tengahnya bunga
melengkung dan berhadapan, dari titik itu pula pangkal
hiasan bunga dengan motip yang sama ke kiri dua buah
dengan posisi saling membelakangi, demikian juga yang
kekanan. Hiasan yang sama pada keempat sisi nisan. Badan
nisan bagian atas (BBA) dari bawah membentuk garis
lurus ke atas dan terbagi manjadi delapan, pada bagian
bahu terdapat bekas-bekas garis-garis yang kemungkinan
membentuk segitiga (hampir tidak terlihat), bagian kepala
terdapat hiasan bonggolan berbentuk delapan daun atau
kelopak bunga, dan bagian puncak berbentuk bundar
melengkung. (lihat gambar 3 nisan no.1).

Gambar 3. a: Deretan makam paling selatan (makam no. 2 & 3).

124 | Dr. Jamaluddin, MA


Gambar 3.b: Nisan no.1. Gambar 4: Nisan makam no. 2 pada
deret selatan.

Kuburan no. 2 deretan selatan, memiliki nisan dengan


tinggi 1 m, panjang badan (sisi depan) 27 cm, dengan jarak
nisan 120 cm. dengan ciri: bagian dasar tanpa hiasan pada
keempat sisi nisan, bagian badan bawah BBB berbentuk
persegi dengan hiasan bunga berbentuk garis-garis
lengkung membentuk kurva dan pada setiap ruangnya
terdapat hiasan-hiasan berupa pahatan-pahatan daun dan
lekukan bunga yang merambat, sementara di atasnya
terdapat hiasan bunga yang menggunakan lekukan-
lekukan sehingga berbentuk jantung, dari pangkal jantung
kemudian terdapat bunga yang sama yang lebih panjang
yang keduanya menghadap ke atas (lihat Gambar 5 dan gb
6). motip dan gambar yang sama pada keempat sisi nisan.
Badan nisan bagian atas (BBA) dari bawah membentuk
garis lurus ke atas dan terbagi manjadi enam pada salah
satu bagian tersebut terdapat tulisan Allah dengan

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 125


menggunakan huruf Arab di nisan sebelah utara. Pada
bagian bahu terdapat hiasan bunga-bunga di dalam garis-
garis yang hampir berbentuk jantung berjumlah enam
buah, di atas pangkal jantung terdapat garis melingkar
yang membatasi hiasan di bagian bawah dengan atas, di
atas garis terdapat hiasan yang sama dengan hiasan pada
“BBB persegi” yang melingkar mengitari kepala nisan.
Bagian kepala terdapat hiasan dua tingkat bonggolan
berbentuk delapan daun atau kelopak bunga, dan bagian
puncak (BP) dengan garis vertikal melengkung mengikuti
bentuk nisan, atasnya berbentuk bundar. (lihat gambar. 5-7
nisan 2).

Gambar 5: Hiasan badan bagian bawah nisan makam no. 2 (samping utara).

126 | Dr. Jamaluddin, MA


Gambar 6: Hiasan badan bagian bawah nisan makam no. 2 (samping selatan).

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 127


Gambar 7: Hiasan badan bagian atas nisan makam no. 2 bertuliskan Allah
dengan huruf Arab.

128 | Dr. Jamaluddin, MA


Kuburan no. 3 deretan selatan, memiliki nisan dengan
tinggi 105 cm, panjang badan 30 cm, dengan jarak nisan
104 cm. dengan ciri, dasar nisan (BD) berbentuk balok
tanpa hiasan, badan bagian bawah (BBB), pada satu sisi
terdapat goresan yang membentuk persegi panjang dengan
dua buah bunga yang bergandeng, sisi sebelahnya juga
berbentuk persegi panjang dengan hiasan dua buah bunga
yang bergandeng hanya saja bunga sisi ini berbeda dengan
sisi sebelahnya, pada sisi yang satuannya lagi goresan
membentuk persegi panjang dengan gambar berbeda
dengan kedua sisi itu ditengahnya terdapat goresan saling
silang yang tidak punya ujung, di samping kiri kanan
goresan tersebut ada hiasan gambar daun-daun sejenis
pakis tanaman hias, sisi yang keempat sama dengan salah
satu dari ketiga sisi badan nisan. Tepat di atas keempat
persegi panjang terdapat ukiran yang pada tiga sisi juga
hiasan (bunganya) berbeda, bentuk dasarnya sama. Badan
nisan bagian atas (BBA) dari bawah membentuk garis
lurus ke atas semakin ke atas semakin besar dan terbagi
manjadi delapan, pada bagian bahu (BB) tidak terdapat
goresan nisannya membentuk lengkungan. Bagian kepala
(KP) terdapat hiasan bonggolan bertingkat berbentuk
delapan daun yang berukir, dan bagian puncak berbentuk
lengkungan. (lihat gambar 8-10 nisan 3).

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 129


Gambar 8: Nisan makam no. 3 pada deret selatan.

130 | Dr. Jamaluddin, MA


Gambar 9: Hiasan bagian puncak.

Gambar 10. a : Hiasan badan bagian bawah nisan makam no. 3 pada deret
selatan.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 131


Gambar 10. b: Hiasan badan bagian bawah nisan makam no. 3 pada deret
selatan.

Gambar 10. c: Hiasan badan bagian bawah nisan makam no. 3 pada deret
selatan.

132 | Dr. Jamaluddin, MA


Kuburan no. 4 deretan selatan memiliki nisan dengan
tinggi 80 cm, panjang badan 20 cm, dengan jarak nisan
79 cm. Nisan makam no. 4 ini kalau diperhatikan secara
keseluruhan tampak seperti miniatur bangunan candi.
Secara rinci memiliki ciri-ciri antara lain, dasar nisan (BD)
bergaris-garis membentuk tangga, ditengah-tengahnya
seperti pintu, di pojok juga terdapat goresan yang hampir
sama. Badan nisan (BBB/BBA) terdapat miniatur pintu/
jendela sebanyak lima buah yang di atasnya terdapat
tulisan timbul huruf Arab “Lailahaillallah”, di sebelah
atasnya terdapat goresan garis-garis lurus yang timbul
seperti pintu panjang sebanyak 5 buah. Bagian kepala (KP)
tampak dari setiap sisinya bagian bawah di pojok, tengah
agak meruncing ke bawah, seluruhnya berjumlah delapan,
seluruh bagian kepala dihias dengan ukiran timbul
tumbuhan. Sedangkan puncak melengkung yang bagian
atasnya ada guratan-guratan. (lihat Gambar 11-13, makam
4).

Gambar 11: Nisan Makam no. 4 pada deret selatan.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 133


Gambar 12: Hiasan bagian kepala dan puncak nisan.

Gambar 13: Hiasan badan bagian bawah dan badan bagian atas nisan makam
no. 4. pada deret selatan.

134 | Dr. Jamaluddin, MA


Gambar 14: Nisan Makam no. 6 (deret selatan).

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 135


Kuburan no. 6 deretan selatan, memiliki nisan dengan
tinggi 86 cm, panjang badan 27,5 cm, dengan jarak nisan 104
cm. dengan ciri, dasar nisan (BD) berbentuk balok tanpa hiasan,
badan bagian bawah (BBB), terdapat empat sisi dengan hiasan
yang berbeda. Pada satu sisi terdapat goresan yang membentuk
dua buah persegi panjang, persegi panjang atas menggunakan
ukiran bunga yang berpusat pada sebuah bunga di tengah
menjalar ke kiri dan ke kanan arah berlawanan, sedangkan
pada persegi di bawah terbagi dua berbentuk bujur sangkar
yang di dalamnya bunga (di Aceh disebut boengong keupoela),2
sedangkan pada sisi kedua terdapat goresan yang membentuk
dua buah persegi panjang, persegi panjang atas menggunakan
ukiran bunga yang berpusat pada sebuah bunga di tengah
menjalar kekiri dan kekanan arah yang sama, pada persegi
panjang yang bawah hampir sama dengan sisi pertama bagian
bawah. Sisi ketiga terdapat goresan yang membentuk dua buah
persegi panjang, persegi panjang atas menggunakan ukiran
bunga yang berpusat pada sebuah bunga di tengah menjalar
kekiri dan kekanan arah berlawanan (sama dengan sisi kedua
bagian atas). Bagian bawah pada sisi ini bujur sangkar sebelah
hiasannya sama dengan persegi yang atas hanya saja ukurannya
lebih kecil. Sedangkan pada bujur sangkar yang satu terdapat
ukiran garis lengkung yang berkelok berulang-ulang tanpa
ujung. Gambar yang sama dengan bagian-bagian pada sisi-sisi
itu ditemukan pada sisi ke-empat seperti persegi bagian atas
sema dengan yang ada di sisi pertama, bagian bawah sama
dengan sisi ke tiga pada bujur sangkar sebelah kiri, yang di
kanan bunga seperti dibagian atas. Badan nisan bagian atas
(BBA) dari bawah membentuk garis lurus ke atas semakin ke
atas semakin besar dan membentuk enam sisi nisan, bagian atas

2 Othman Mohd. Yatim, Batu Aceh: Early Islamic Grafestones in Peninsular


Malaysia. (Kuala Lumpur: Museum Association of Malaysia, 1987), h. 91.

136 | Dr. Jamaluddin, MA


pada tiap pertemuan sisi itu terdapat goresan bunga yang saling
berhadapan yang tampak seperti jantung. Bagian kepala (KP)
terdapat hiasan bonggolan bertingkat berbentuk enam belas
daun, dan bagian puncak (PC) berbentuk bulat melengkung.
(lihat gambar 14-16 nisan 6).

Gambar 15: Hiasan bagian kepala dan puncak nisan.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 137


Gambar 16. a: Hiasan badan bagian bawah nisan makam no. 6 pada deret
selatan sisi selatan.

Gambar 16. b: Hiasan badan bagian bawah nisan makam no. 6 sisi utara.

138 | Dr. Jamaluddin, MA


Gambar 16. c: Hiasan badan bagian bawah nisan makam no. 6 sisi barat.

Gambar 16. d: Hiasan badan bagian bawah nisan makam no. 6 sisi timur.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 139


Kuburan no. 7 deretan selatan, memiliki nisan dengan
tinggi 64 cm, panjang badan 19 cm, dengan jarak nisan 98
cm. bagian dasar (BD) tanpa hiasan pada keempat sisi nisan,
bagian badan bawah (BBB) terdapat lima garis lurus yang
membentuk lekukan, segi tiga lurus dan dengan garis itu
pula sebagai sekat pada bagian-bagian. Bagian bawahnya
menggunakan hiasan-hisan segi tiga pada keempat sisi
nisan berjumlah dua belas, di bagian atas juga sama dengan
bagian bawah hanya saja ukurannya lebih kecil. Badan
nisan bagian atas (BBA) dari bawah membentuk garis lurus
ke atas dan terbagi manjadi enam, pada bagian bahu (BB)
terdapat garis-garis yang berbentuk segitiga berjumlah 16
buah melingkar mengikuti bentuk kepala nisan. Bagian
kepala (KP) berbentuk seperti kubah masjid, dengan garis
vertikal yang melengkung mengikuti bentuk kepala nisan
sebanyak delapan garis, dan bagian punjak (PC) berbentuk
bundar. (lihat gambar 17-19 nisan 7).

Gambar 17: Nisan makam no. 7. pada deret selatan.

140 | Dr. Jamaluddin, MA


Gambar 18: Hiasan badan bagian bawah nisan.

Gambar 19: Hiasan bagian kepala dan puncak nisan makam no. 7 pada deret
selatan.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 141


Kuburan no. 10 deretan depan mihrab, memiliki
nisan dengan tinggi 95 cm, panjang badan 26 cm, dengan
jarak nisan 75 cm. Bagian dasar (BD) tanpa hiasan pada
keempat sisi nisan, bagian badan bawah (BBB) terdapat
dua persegi panjang yang diselingi oleh batangan kecil
masing-masing berada di bawah persegi panjang, pada
persegi itu yang paling atas sedikit miring, ke empat sisi
nisan sama hanya saja pada setiap sisi memiliki hiasan
yang berbeda dengan pola yang hampir sama. Pada sisi
badan nisan hiasannya menggunakan pola dasar yang
sama, yaitu model lengkungan-lengkungan seperti huruf
S (model seperti itu pada nisan Aceh biasa disebut boengang
koendo), pada balokan di bawah persegi atas menggunakan
hiasan budar pipih yang turun naik sepanjang balokan,
sedangkan balokan yang paling bawah hisan berbentuk
gelombang, hiasan pada balokan seperti ini dijumpai sama
pada keempat sisi, kecuali satu sisi yang beda yaitu sisi
pertama pada persegi yang paling bawah menggunakan
ukiran-ukiran bunga yang tampak seperti jantung yang
dengan posisi atas bawah secara berselingan. Jadi seluruh
sisi BBB penuh dengan hiasan atau ukiran. Sedangkan
badan bagian atas (BBA) dasar berbentuk bujur sangkar
atas juga berbentuk bujur sangkar dengan ukuran yang
lebih besar pada badan ini penuh dengan hisan bunga-
bunga yang bersilang. Pada bahu nisan (BB) berbentuk atau
model atap rumah memiliki empat sisi yang mengerucut
(tumpeng) keempat sisinya penuh dengan ukiran bunga-
bunga. Pada kepala (KP) nisan terdapat bongkolan yang
berukir kecil-kecil mengelilingi kepala nisan berjumlah
delapan buah. Bagian puncak (PC) berbentuk bundar
melengkung. Model-model nisan seperti ini mirip dengan
nisan-nisan di Sulawesi. (Lihat gambar 20-22 nisan 10).

142 | Dr. Jamaluddin, MA


Gambar 20: Nisan makam no. 10. pada deret depan mihrab.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 143


Gambar 21.a: Hiasan badan nisan makam no. 10 pada deret depan mihrab,
tampak pojok.

Gambar 21.b: Hiasan sisi utara badan nisan makam no.. 10 pada deret depan
mihrab.

144 | Dr. Jamaluddin, MA


Gambar 21.c: Hiasan sisi selatan badan nisan makam no. 10 pada deret depan
mihrab.

Gambar 21.d: Hiasan sisi utara badan nisan makam no. 10 pada deret depan
mihrab.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 145


Gambar 22. a: Hiasan sisi timur bagian kepala dan puncak nisan makam no.
10. pada deret depan mihrab.

Gambar 22. b: Hiasan sisi selatan, bagian kepala dan puncak nisan makam no.
10. pada deret depan mihrab.

146 | Dr. Jamaluddin, MA


Kuburan no. 11 deretan depan mihrab, memiliki nisan
dengan tinggi 44 cm, dengan jarak nisan 127 cm. Bagian dasar
pada bagian atas terdapat pada setiap ujung dan bagian tengah
satu bonggolan berbentuk tiga persegi atau bebawang di bagian
depan terdapat dua bulatan (kiri kanan) yang memanjang
hamper-hampis seperti persegi. Pada bagian badan bawah (BBB)
pada bagian tengah terdapat satu ukiran berbentuk bebawang,
dan pada setiap ujung satu hiasan menonjol berbentuk separuh
hiasan tengah pada permukaan. Bagian badan atas (BBA) pada
dasar setiap sudut terdapat satu bonggolan berbentuk tiga persegi
(bebawang), dua ukiran empat persegi di permukaan. Bagian
bahu berbentuk lengkungan yang di kiri kanannya terdapat
bulatan, dengan hiasan berlengkung-lengkung, berubah-ubah
atau saling silang. Pada bagian kepala (KP) berbentuk bulatan
dengan hiasan berlengkung-lengkung, berubah-ubah atau
saling-silang.3 (lihat gambar 23 nisan no. 11)

3 Nisan seperti ini biasa disebut sebagai nisan Aceh yang lebih dekat
kepada tipe A, Lihat Diniel Perret dan Kamaruddin AB.Razak, Batu Aceh:
Warisan Sejarah Johor, ( Johor Bahru: EFEO dan Yayasan Warisan Johor,
1999), h. 26.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 147


Gambar 23: Nisan makam no. 11 pada deret depan mihrab (puncak nisan
patah).

Gambar 23.a: Nisan makam no. 11 pada deret depan mihrab (bahu nisan
sebelah kiri patah).

148 | Dr. Jamaluddin, MA


Gambar 23.b: Nisan makam no. 11 pada deret depan mihrab (diambil dari sisi
berlawanan nisan 23).

Kuburan no. 12 deretan depan mihrab, memiliki nisan


dengan tinggi 88 cm, panjang badan 27 cm, dengan jarak
nisan 86 cm. Bagian dasar (BD) tanpa hiasan pada keempat
sisi nisan, bagian badan bawah (BBB) terdapat dua persegi
Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 149
panjang yang diselingi oleh balokan kecil masing-masing
berada di bawah persegi panjang itu. Pada persegi itu yang
paling atas sedikit miring ke bawah, keempat sisi nisan sama
hanya saja pada setiap sisi memiliki hiasan yang berbeda.
Pada empat sisi dua yang sama, dua sisi yang sama ukiran-
ukirannya rame (penuh) yang kemudian di atasnya garis
yang hampir membentuk segitiga-segitiga dengan sudut
tidak ketemu, sedangkan pada dua sisi yang lain merupakan
ukiran-ukiran tumbuhan yang kemudian membentuk
model-model jantung yang pada satu sisi terdiri dari lima
buah jantung. Pada balokan di bawah persegi atas dan di
bawah persegi bawah menggunakan hiasan bunga (pada
setiap bunga ada delapan daun bunga) bejumlah empat
sampai enam buah pada setiap sisi. Seluruh sisi BBB penuh
dengan hiasan atau ukiran. Sedangkan badan bagian atas
(BBA) dasar berbentuk bujur sangkar atas juga berbentuk
bujur sangkar dengan ukuran yang lebih besar pada badan
ini penuh dengan hisan bunga-bunga yang berpusat di
tengah. Pada bahu nisan (BB) berbentuk atau model atap
rumah memiliki empat sisi yang mengerucut (tumpeng)
keempat sisinya penuh dengan ukiran daun-daun. Pada
kepala (KP) nisan terdapat bongkolan yang berukir kecil-
kecil mengelilingi kepala nisan berjumlah delapan buah.
Bagian puncak (PC) berbentuk bundar melengkung.
Model-model nisan seperti ini mirip dengan nisan-nisan di
Sulawesi. (lihat gambar 24-26 nisan 12).

150 | Dr. Jamaluddin, MA


Gambar 24: Nisan Makam no. 12 (deret depan mihrab).

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 151


Gambar 25: Hiasan bagian kepala dan puncak nisan.

Gambar 26. a: Hiasan sisi samping badan nisan makam no. 12 pada deret
depan mihrab.

152 | Dr. Jamaluddin, MA


Gambar 26. b: Hiasan sisi berlawanan, badan nisan makam no. 12 pada deret
depan mihrab.

Kuburan no. 13 deretan depan mihrab, memiliki nisan


dengan tinggi 70 cm, dengan jarak nisan 107 cm. model
nisan pipih, tipe-tipe seperti ini sama dengan yang ada di
makam kuno yang di Madura dengan ciri, bagian dasar
(BD) tanpa hiasan, bagian badan bawah (BBB) terdapat
ukiran bunga (sejenis bunga sepatu) di tengah dan di ujung
kiri dan kanan terdapat setengah hisan bunga yang sama
dengan di tengah. Bagian badan atas (BBA) terdapat hiasan
tumbuhan yang melengkung dan daun-daun, badan nisan
yang berhias bagian tengah membentuk segitiga dan di
bagian sisi kiri dan kanan membetuk garis miring ke atas

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 153


agak sedikit keluar yang berujung sampai pojokan atas nisan
dari dasar segitiga hiasan yang di tengah, sehingga kalau
dilihat dari depan bagian yang tidak diukir membentuk
huruf “W”. Pada sisi-sisi badan nisan (samping kiri kanan)
terdapat guratan-guratan kecil-kecil. Bagian kepala (KP)
terdapat ukiran-ukiran melengkung mengikuti guratan
yang ada dibagian puncak. Bagian puncak (PC) berbentuk
melengkung dengan guratan-guratan pada sisi-sisi puncak.
(lihat gambar 27-28 nisan no 13).

Gambar 27: Nisan Makam no. 13. pada deret depan mihrab (diambil dari sisi
Selatan).

154 | Dr. Jamaluddin, MA


Gambar 27. a: Nisan makam no 13. pada deret depan mihrab (diambil dari sisi
samping).

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 155


Gambar 28. a: Model hiasan pada bagian kepala dan bahu Nisan, Nisan
Makam no. 13. pada deret depan mihrab.

Gambar 28. b: Hiasan badan nisan makam no. 13 pada deret depan mihrab.

156 | Dr. Jamaluddin, MA


Kuburan no. 14 deretan depan mihrab (paling barat),
memiliki nisan dengan tinggi 85 cm, panjang badan 24
cm, dengan jarak nisan 98 cm. Dengan ciri: bagian dasar
tanpa hiasan pada keempat sisi nisan, bagian badan bawah
BBB berbentuk persegi dengan hiasan bunga berbentuk
garis-garis lengkung membentuk jantung yang semua
menghadap atas yang utuh tiga buah pada setiap ujung
setengah jantung, pada keempat sisi memiliki hiasan yang
sama sehingga keseluruhannya ada 16 jantung. Sementara
di atasnya terdapat hiasan bunga yang menggunakan
lekukan-lekukan sehingga berbentuk jantung, dari pangkal
jantung kemudian terdapat bunga yang sama yang lebih
panjang yang keduanya menghadap ke atas. (lihat gambar
30).
Motif dan gambar yang sama pada keempat sisi nisan.
Badan nisan bagian atas (BBA) dari bawah membentuk
garis lurus ke atas sebanyak enam buah garis dan terbagi
manjadi enam sisi. Pada bagian bahu terdapat hiasan
bunga-bunga di dalam garis-garis yang hampir berbentuk
jantung berjumlah enam buah, di atas pangkal jantung
terdapat garis melingkar yang membatasi hiasan di bagian
bawah dengan atas. Di atas garis itu terdapat hiasan garis
bergelombang (model kurva) pada setiap ruang kurva
terdapat ukiran-ukiran yang melingkar mengitari kepala
nisan. Bagian kepala (KP) terdapat hiasan dua tingkat
bonggolan berbentuk delapan daun atau kelopak bunga,
dan bagian puncak (BP) atasnya berbentuk bundar. (lihat
gambar 29-31 nisan 14).

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 157


Gambar 29: Nisan Makam no. 14 (deret depan mihrab).

158 | Dr. Jamaluddin, MA


Gambar 30: Hiasan badan nisan no. 14.

Gambar 31. a: Hiasan bagian kepala nisan makam no. 14 pada deret depan
mihrab.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 159


Gambar 31. b: Hiasan bagian kepala dan puncak nisan makam no. 14 pada
deret depan mihrab.

Kuburan no.15 makam utara mihrab, memiliki nisan


dengan tinggi 99 cm, panjang badan 25 cm, dengan jarak nisan
150 cm. bagian dasar (BD) tidak ada ukiran, pada badan bagian
bawah (BBB) terdapat guratan-guratan yang membentuk tiga
garis lurus yang timbul di atasnya pada sisi depan berbentuk

160 | Dr. Jamaluddin, MA


empat persegi dengan ukiran tumbuhan yang membentuk
model jantung dua di tengah dan di ujung (kiri-kanan) separuh
jantung begitu juga di balik nisan, sedangkan yang di sisi
samping ukurannya lebih kecil dengan ukiran yang sama ada
satu buah jantung di tengah, masing-masing separuh pada sisi
ujung. Pada bagian badan atas (BBA) tampak dari depan seperti
mata tombak dengan ukiran di tengahnya yang berbentuk
segitiga lancip pada segitiga tersebut terdapat guratan sisi
segitiga yang di tengahnya ada ukiran melengkung bagai daun
yang bersusun yang semakin atas semakin kecil, di tengah segi
tiga tersebut terdapat guratan yang bertuliskan kata “Allah”
pada miniatur piring (hanya ada pada salah satu nisan utara).
Di samping pinggiran guratan tombak terdapat lekukan yang
agak ke dalam ujung kiri-kanan nisan terdapat ukiran-ukiran
bunga yang melengkung semakin atas semakin kecil. Tampak
dari samping pada badan nisan terdapat ukiran bunga-bunga
yang berbentuk setengah jantung yang saling membelakangi, di
atasnya terdapat dua buah bunga yang berdaun bunga delapan
buah (hiasan-hiasan semacam ini banyak ditemukan di keramik
local dari situs Banten Lama-kabupaten Serang).4 Sedangkan
bagian kepala (KP), merupakan sambungan dari badan bagian
atas, dari samping terlihat ada gambar buanga-bunga seperti
bulatan-bulatan yang di atasnya berbentuk daun-daun. (lihat
gambar 33-35, nisan 15).

4 Uka Tjandrasasmita, Penelitian Arkeologi Islam di Indonesia dari Masa


ke-Masa, ( Jakarta: Menara Kudus, 1999), h.77.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 161


Gambar 32: Makam ki Gading di utara (kanan mihrab).

Gambar 33: Nisan Makam no. 15 di utara (kanan mihrab).

162 | Dr. Jamaluddin, MA


Gambar 34. a: Hiasan badan nisan makam no. 15 di utara (kanan mihrab).

Gambar 34.b: Hiasan badan nisan makam no. 15 di utara (kanan mihrab).

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 163


Gambar 35: Hiasan bagian kepala dan puncak nisan makam no. 15 di sebelah
utara (kanan mihrab).

Kuburan no.16 makam utara mihrab, memiliki nisan


dengan tinggi 99 cm, panjang badan 34 cm, dengan jarak
nisan 134 cm. bagian dasar (BD) tidak terdapat ukiran-
ukiran hanya pada bagian atas terdapat lima buah lubang-
lubang kecil berbentuk persegi. Pada badan bagian bawah
(BBB), terbagi menjadi tiga bagian, bagian tengah terdapat
ukiran berbentuk segi tiga dengan bulatan dan garis
melengkung di tengahnya. Pada bagian kiri dan kanan
terdapat ukiran melengkung yang bagian tengahnya
berlubang tembus ke ukiran yang bentuknya sama di
samping kiri dan samping kanan nisan, karena itu nisan
ini dari berbagai arah tampak memiliki bentuk yang sama
kecuali pada badan bagian atas. Pada badan bagian atas
(BBA) berbentuk enam sisi yang sama besar, hanya pada
bagian utara terdapat tulisan. Inskripsi ini terdiri dari lima
baris. Sekarang yang masih jelas hanya baris pertama
dan kedua saja. Di tulis dengan huruf Arab dan huruf
Jawa Kuno berbunyi: “La ilaha illallah wa Muhammadun

164 | Dr. Jamaluddin, MA


rasulullah” dan “Mesan gagaweyan para yuga”. Menurut W.F.
Stutterheim, inskripsi ini memuat candrasangkala 1142 H
atau 1729 M (W.F. Stutterheim, 1937;309-310). Pada bagian
bahu (BH), terdapat pahatan-pahatan yang berbentuk segi
tiga jumlah keseluruhan enam belas buah. Sedangkan
kepala (KP) nisan, bahwahnya berbentuk piringan dengan
hiasan di bawahnya sama dengan hiasan yang ada di bagian
bahu dan di bagian sisinya terdapat guratan-guratan
miring pada sekeliling piringan, di atas piringan terdapat
hiasan-hisan bunga dengan model lekukan-lekukan yang
terkadang mengikuti bentuk guratan-guratan pinggir,
ada juga bunga yang dengan model tangkai ke atas bunga
dengan kembang kecil-kecil, hiasan-hiasan berbentuk
lengkungan-lengkungan yang terbanyak mengelilingi
bulatan kepala nisan. Di bagian atas bulatan itu terdapat
bonggolan-bonggolan berbentuk enam belas daun atau
kelopak bunga, dan bagian puncak (BP) atasnya berbentuk
bundar. (lihat gambar 36-39 nisan 16).

Gambar 36: Nisan Makam no. 16 di sebelah utara (kanan mihrab).

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 165


Gambar 37: Hiasan badan bagian atas nisan, salah satu nisan yang bertuliskan
huruf Arab dan huruf Jawa Kuno berbunyi: “La ilaha illallah Wa Muhammadun
rasulullah” dan “Mesan gagaweyan para yuga” tulisan ini sudah mulai kabur.

Gambar 38. a: Hiasan badan bagian bawah nisan makam no. 16 di utara
(kanan mihrab).

166 | Dr. Jamaluddin, MA


Gambar 38. b: Hiasan badan bagian bawah nisan makam no. 16 di utara,
tampak pojok (kanan mihrab).

Gambar 39. a: Hiasan bagian kepala dan puncak nisan makam no. 16 di utara
(kanan mihrab).

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 167


Gambar 39. b: Hiasan bagian kepala dan puncak nisan makam no. 16 di utara
(kanan mihrab).

Gambar 39. c: Hiasan bagian kepala dan puncak nisan makam no. 16. di utara
(kanan mihrab).

168 | Dr. Jamaluddin, MA


Beberapa makam yang di sebelah utara, menggunakan
batu nisan dari batu alam, yang diukir. Ada yang patah dan
disambung, ada juga yang masih utuh, sehingga bentuknya
masih terlihat dari beberapa pasang nisan yang di makam
tersebut. Apabila dilihat dari corak beberapa diantaranya
merupakan batu nisan yang bercorak batu nisan Jawa
timur. Selain itu ada juga makam yang nisannya dalam
ukuran yang lebih kecil, tetapi juga berbentuk karena
memang dipahat atau diukir. (Lihat gambar 40).

Gambar 40: Nisan makam deretan utara (kanan mihrab).

2. Situs II: Makam tanjung


Makam Tanjung termasuk makam raja-raja Selaparang
oleh penduduk sekitarnya dianggap sebagai makam
keramat. Makam Tanjung termasuk peninggalan yang
dilindungi, dan dalam kondisi terawat. Komplek makam
Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 169
ini terletak di tengah-tengah sawah/kebun penduduk,
namun demikian untuk menjangkaunya dapat ditempuh
dengan menggunakan berbagai kendaraan dalam ukuran
sedang, bahkan jalan dari gang masuk menuju makam
baru-baru ini telah dipugar (perbaikan dan pelebaran) dan
dalam kondisi cukup baik.

Gambar 41: Makam Tanjung, salah satu makam yang merupakan makam
keluarga dari raja-raja Selaparang.

Komplek makam ini dikelilingi oleh pagar keliling


yang terbuat dari kawat berduri sebagai pembatas dengan
tanah sawah/kebun penduduk. Panjang seluruhnya 176 m
dengan jumlah tiang 58 buah, 19 buah memakai penopang
dan 39 buah yang tunggal, sehingga jumlah penyangga
umpaknya 96 buah. Pagar kawat dipasang 5 m dari tembok
keliling mengitari seluruh halaman (2 halaman) makam.
Gerbang (pintu masuk) di sebelah utara terbuat dari besi
(pintu besi). Dalam komplek makam tersebut terdapat
tiga bagian (atau tiga halaman), pintu yang dimaksudkan

170 | Dr. Jamaluddin, MA


ini adalah pintu masuk ke halaman pertama. Antara pintu
masuk ke halaman pertama dengan pintu masuk halaman
kedua agak berjauhan, karena pintu masuk halaman
pertama berada di sebelah utara, sedangkan pintu masuk
yang menghubungkan halaman pertama dengan halaman
kedua berada di sebelah selatan.
Pintu masuk yang menghubungkan halaman pertama
dengan halaman kedua tidak memiliki daun pintu.
Halaman kedua ini dipagari oleh tembok pembatas yang
terbuat dari batu kali yang menggunakan perekat, sehingga
tampak rapi dengan ketebalan tembok rata-rata 1 meter.
Halaman kedua ini memiliki panjang (timur-barat) 23 m
dengan lebar (utara-selatan) 21, 90 m. Halaman kedua
lebih luas dari halaman ketiga, antara keduanya dibatasi
oleh tembok bagian utara halaman kedua.
Antara halaman kedua dengan halaman ketiga
terdapat sebuah pintu yang menghubungkan keduanya,
pintu ini terletak di selatan. Seperti halnya pintu masuk
pada halaman kedua yang tidak menggunakan daun pintu,
juga pada halaman ketiga tidak memiliki daun pintu.
Halaman ketiga ini ukurannya tidak sama dengan halaman
kedua, lebih kecil hanya saja halaman ketiga ini letaknya
lebih tinggi dari halaman kedua. Ukuran halaman ketiga
panjang (utara-selatan), 22,60 m, dengan lebar 20,80 m.
ketebalan tembok satu meter dengan model bagian atas
melengkung, sehingga apabila turun hujan, air tidak akan
tergenang di atas tembok dapat dengan cepat mengalir
atau jatuh ke bawah dan tembok akan bertahan lama.
Mulai dari pintu masuk halaman kedua sampai
deretan makam-makam di depan halaman inti terdapat
jalan setapak yang panjangnya 23 m. terbuat dari pasangan

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 171


batu-batu yang agak pipih dicor dengan campuran semen
dan pasir, jalan setapak ini dibuat terputus-putus sehingga
berbentuk balok-balok segi empat berukuran 1,50 x 1 m.
Halaman ketiga merupakan halaman utama, di mana
pada halaman ke tiga ini terdapat makam-makam yang
dikeramatkan, yang diduga sebagai tempat dimakamkan
raja-raja Selaparang atau keluarga raja. Pada komplek
Makam Tanjung terdapat banyak kuburan-kuburan, yang
dari sisi keletakannya dapat dikelompokkan menjadi lima
kelompok, yaitu:
1. Kuburan inti, yaitu kuburan yang terdiri dari dua
buah kubur, kedua kubur tersebut tertinggi dari
keseluruhan kubur yang ada, bahkan batu nisannya
tampak lebih tinggi dari tembok keliling dari halaman
ketiga, karenanya kuburan ini dapat dilihat dengan
jelas dari luar pagar. kedua kubur ini dasarnya gandeng
(satu), kubur yang paling kanan empat tingkat dengan
tingkatnya yang terbuat dari bata merah, sedangkan
makam sebelahnya terdiri dari dua tingkat, yang
terbuat dari batu andesit, kedua makam ini memiliki
panjang 4,40 m dengan lebar 4,20 m.

Gambar 42: Kuburan inti pada makam Tanjung.

172 | Dr. Jamaluddin, MA


Makam yang empat tingkat memiliki nisan dengan
ukuran tinggi 73 cm, dengan panjang badan 25 cm,
lebar 25 cm, jarak 1,27 m. memiliki ciri tersendiri,
bagian dasar nisan (BD) berbentuk persegi keempat
sisinya tanpa hiasan, badan bagian bawah (BBB) bergaris
membentuk garis lurus, dan di atasnya terdapat hiasan
bunga melengkung keluar, kekiri dan kekanan masing-
masing dua buah. Bagian badan atas (BBA) dasarnya
bentuk persegi hanya saja kalau dilihat dari samping
terdapat bentuk segi tiga yang menggunakan hiasan
bunga yang sama dangan BBB semakin atas semakin
kecil dan mengrucut ke atas, dan di samping kiri kanan
dari hiasan tersebut membentuk dua segi tiga yang
ujungnya ke bawah (mengapit hiasan). Di bagian bahu
(BH) pada setiap pojok terdapat hiasan bunga dengan
motif yang sama. Sedangkan di bagian kepala (KP)
membentuk lekukan dengan dasar persegi (model
mangkok hias), bagian puncak (PC) berbentuk empat
persegi. Sedangkan nisan sebelah barat, ukurannya
hampir sama, tinggi 71 cm, keliling badan 23 cm, jarak
nisan 1,27 m. dengan bentuk dan tipe sama dengan
nisan di sebelah timur, hanya saja pada bagian bahu
nisan hiasan bunga lebih tebal (rame).

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 173


Gambar 43: Nisan makam sebelah timur.

174 | Dr. Jamaluddin, MA


Gambar 44: Nisan makam sebelah barat.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 175


2. Kuburan samping makam inti (timur makam inti),
kelompok ini terdiri dari dua kuburan. Makam ini
tidak bertingkat letaknya sejajar dengan bagian dasar
makam inti dan lebih tinggi dari makam-makam
selain makam inti. Nisan makam terbuat dari batu
andesit, bentuk nisan pipih, bagian dasar nisan tidak
halus tanpa hiasan, bagian badan nisan model samping
(kiri kanan) melengkung ke dalam, dan tampak dua
garis lurus yang bertemu dengan dasar segitiga yang
mengerucut ke atas. Bagian kepala membentuk kipas,
bagian puncak melengkung dengan lekukan kecil-
kecil bergelombang. Nisan seperti ini hampir sama
bentuknya dengan nisan-nisan di Tralaya-Jawa Timur
bentuk pola Kalamakara yang berangka tahun 1389
Saka (1467 M). Sedangkan nisan kubur yang satuannya
lebih tinggi dari nisan itu, terbuat dari batu andesit
bentuk pipih.

Gambar 45: Hiasan pada nisan sebelah barat.

176 | Dr. Jamaluddin, MA


Gambar 46: Hiasan pada Nisan sebelah timur.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 177


Gambar 47: Hiasan pada badan nisan sebelah timur.

3. Kuburan selatan makam inti, makam ini terdiri dari


enam buah makam dengan nisan dari batu andesit,
letaknya sejajar ketinggiannya dengan makam
kelompok kedua.
4. Kuburan di bawah (selatan) makam kelompok ketiga,
yang terdiri dari enam kuburan dengan batu nisan

178 | Dr. Jamaluddin, MA


dari batu andesit, letaknya lebih bawah dari bataran
kuburan kelompok ketiga.

Gambar 48: Model nisan sebelah timur makam inti di makam Tanjung.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 179


Gambar 49: Nisan sebelah timur Makam Sayid di utara komplek Makam
Tanjung.

180 | Dr. Jamaluddin, MA


5. Kuburan paling timur, terdiri dari dua makam dengan
letak sejajar dengan makam kelompok empat, nisannya
terbuat dari batu andesit.
Sebagai tambahan informasi bahwa di sebelah barat
Makam Tanjung terdapat sebuah komplek makam yang
memiliki nisan yang sama dengan kelompok pertama
pada Makam Tanjung dan satu nisan yang berbentuk
kalamakara. Makam tersebut oleh mangku (juru kunci)
Makam Tanjung disebut sebagai makam Sayid penyebar
agama Islam dari Arab. Makam ini dikelilingi oleh model
tembok yang sama dengan tembok yang ada di Makam
Tanjung, hanya saja tembok-tembok makam ini terlihat
hampir (sebagian besar) sudah runtuh.

Gambar 50: Makam Syayid di utara komplek makam Tanjung.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 181


Gambar 51: Hiasan pada badan nisan makam Syayid di utara
komplek makam Tanjung.

3. Situs III: Makam Pesabu’an


Makam Pesabu’an adalah salah satu makam yang
dulunya sering dikunjungi oleh para penziarah dari
berbagai tempat di Lombok. Seiring dengan berlalunya
waktu dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap
makam ini menyebabkan makam ini semakin kurang
dikunjungi oleh para penziarah, bahkan sekarang sudah
terisolasi dengan sawah dan perkebunan penduduk.

182 | Dr. Jamaluddin, MA


Gambar 52: Gerbang masuk pada komplek Makam Pesabu’an.

Makam Pesabua’an secara resmi tidak termasuk


pada benda cagar budaya, karena itu pada makam ini
tidak ditemukan plang-plang pengumuman (makam ini
merupakan benda cagar budaya yang dilindungi oleh
pemerintah dst.) seperti yang ada pada dua situs di atas,
dan tidak pernah dilakukan pemugaran karena itu kondisi
makam ini sudah mulai megalami kerusakan. Demikan
juga makam-makam yang ada di luar tembok keliling
Makam Pesabu’an, yang tampak hanya kepala batu nisan
karena tertimbun oleh tanah sawah penduduk. Sebagian
besar (90 %) bekas lokasi makam-makam di dekat Makam
Pesabu’an telah menjadi sawah penduduk.
Menurut informasi dari orang-orang tua (penglangsir) di
sekitar Selaparang, pada tahun 1970-an Makam Pesabu’an
Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 183
ini tetap dikunjungi oleh para penziarah dari berbagai
tempat di Lombok. Pada umumnya para penziarah
sebelum datang ke Makam Raja-Raja Selaparang (Makam
Selaparang dan Makam Tanjung) mereka lebih dahulu
datang ke Makam Pesabu’an, karena menurut mereka
tradisi seperti itulah yang telah dilakukan oleh orang tua-
tua atau pendahulu-pendahulu mereka, dengan tanpa dapat
menjelaskan secara rasional kenapa tradisi ini dilakukan.

Gambar 53: Kuburan inti pada Makam Pesabu’an.

Lebih lanjut tentang hal ini penglingsir menjelaskan,


dulunya jalan menuju makam ini cukup lebar bahkan
mobil berukuran sedang dapat masuk ke lokasi makam.
Kondisi sekarang sangat berbeda dengan keterangan
tersebut, Makam Pesabu’an hanya dapat dilalui dengan
berjalan kaki melalui jalan setapak, bahkan sepeda motor
tidak dapat melewati jalan ini.

184 | Dr. Jamaluddin, MA


Makam Pesabu’an dikelilingi oleh tembok keliling
berbentuk empat persegi dengan panjang (utara-selatan)
20,90 m, lebar (timur-barat) 13,40 m. Tembok keliling
terbuat dari susunan batu kali yang menggunakan perekat
tanah yang diayak (luhluh: Sasak), tembok tersebut memliki
ketebalan 0,8 m tinggi tembok tidak rata karena sebagian
ada yang terkikis, diperkirakan tingginya secara merata
sekitar 1 meter. Akan tetapi kalau dilihat dari ukuran
pintu yang ada dan mengikuti ukuran pintu maka tembok
tersebut kemungkinan lebih tinggi dari yang diperkirakan.
Makam ini memiliki pintu masuk di sebelah selatan,
pintu sangat sederhana tanpa hiasan, menggunakan ensel
pelocok (Sasak). Di depan pintu terdapat tangga (undak)
yang terbuat dari batu kali pipih dengan perekat luhluh.
Di dalam komplek Makam Pesabu’an terdapat lima
kuburan, satu kubur inti yang menggunakan batu padas,
empat yang menggunakan batu andesit. Makam inti
bertingkat empat dengan ukuran panjang 5,30 m dan lebar
3,70 m. Tinggi nisan 0. 66 m, panjang lingkar badan nisan
0,70 m.

Gambar 54: Nisan Makam Pesabu’an, model nisan ini sama dengan salah satu
model nisan raja yang ada di makam Selaparang.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 185


Lebih rinci tentang nisan makam inti, bagian dasar
(BD) tanpa hiasan pada keempat sisi nisan, bagian badan
bawah (BBB) terdapat tiga garis lurus yang membentuk
lekukan pada keempat sisi nisan dan di atasnya terdapat
tiga pahatan yang terbentuk pada setiap sisinya sehingga
semuanya terdapat sembilan pahatan pada keseluruhan
badan nisan. Badan nisan bagian atas (BBA) dari bawah
membentuk garis lurus ke atas dan terbagi manjadi
delapan, pada bagian bahu (BB) terdapat garis-garis yang
membentuk segitiga, disesuaiksan dengan garis yang di
bagian badan atas. Bagian kepala (KP) terdapat hiasan
bebawang sebanyak delapan, dan bagian punjak (PC)
berbentuk bundar. Sedangkan kubur yang lain berjumlah
lima buah kubur di dalam komplek Makam Pesabu’an
menggunakan batu andesit dengan bentuk yang sederhana,
bahkan masih dalam bentuk yang asli.

Gambar 55: Bagian badan nisan pada makam Pesabu’an.

186 | Dr. Jamaluddin, MA


Gambar 56: Bagian puncak nisan pada makam Pesabu’an.

Demikian beberapa tinggalan arkeologis yang


merupakan bukti jejak-jejak kerajaan Islam Selaparang.
Dari tinggalan-tinggalan tersebut memberikan informasi-
informasi penting tentang eksistensi dari kerajaan
tersebut. Dengan melihat tipologi makam dan model batu
nisan di Selaparang dan sekitarnya, membuktikan bahwa
Selaparang memiliki hubungan yang kuat dengan daerah-
daerah lainnya di Nusantara.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 187


SeJaraH KeraJaan SeLaParang:
KaJIan terHaDaP tInggaLan
arKeOLOgIS

Pada bagian ini berisi tentang kajian terhadap


tinggalan-tinggalan arkeologis, yang menjelaskan data-
data yang telah diproses dengan mengikuti petunjuk-
petunjuk dalam pendekatan arkeologi sejarah. Selain itu,
bagian ini akan memberikan gambaran tentang kerajaan
Selaparang sebagai penjelasan terhadap beberapa situs
yang ditemukan di beberapa tempat yang merupakan jejak
dari kerajaan Islam di Lombok. Karena kajian ini adalah
kajian arkeologi sejarah maka penjelasan-penjelasan tidak
hanya ditujukan terhadap tinggalan-tinggalan arkeologis
semata, akan tetapi selain berisi penafsiran-penafsiran
data arkeologis juga berisi tentang penafsiran sejarah yang
didukung oleh data-data sejarah berupa sumber-sumber
historis, yang sudah melalui proses pendekatan sejarah.

a. Kajian terhadap tinggalan Selaparang


Dalam konteks ke-Indonesia-an, berbicara tentang
makam-makam kuno merupakan suatu hal yang biasa,
karena Islam di Nusantara meninggalkan sejumlah besar
makam-makam atau komplek makam. Sebagian dari
komplek makam tersebut, khususnya makam para raja atau
sultan dan para wali, di berbagai tempat di Indonesia masih
Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 189
mendapatkan perlakuan khusus oleh sebagian masyarakat.
Sebagiannya dianggap suci atau dikeramatkan, bahkan
kadang secara keliru dijadikan sebagai tempat meminta
suatu keberkahan.
Beberapa tempat di kalangan umat Islam terdapat
upacara-upacara perkabungan atau upacara peringatan
kematian, seperti adanya peringatan kematian pada
hari-hari ketiga, tujuh, sembilan, empat puluh, seratus,
dan seribu. Tradisi ini sebenarnya pada Islam awal tidak
dikenal, dalam sumber-sumber autentik Islam isyarat-
isyarat semacam itu tidak ditemukan. Islam mengajarkan
umatnya untuk mendoakan keluarga yang telah meninggal
agar diampuni oleh Allah Swt. atas segala kesalahan yang
pernah dilakukannya selama hidup di dunia. Diduga
kuat hidupnya tradisi peringatan kematian pada hari-hari
tertentu, berawal dari keinginan menghidupkan ritual
doa untuk yang telah meninggal, dan dilakukan secara
kolektif dan teratur, tradisi semacam ini sebenarnya telah
berkembang di dunia Islam pada abad-abad ke-11 atau
ke-12, di mana kekuatan Islam sui mulai menjadi trend
masyarakat Islam ketika itu.
Demikian juga halnya dengan bekal kubur (funeral
goods), dalam Islam bekal kubur yang diajarkan, bukan bekal
kubur yang dikebanyakan tempat di Indonesia, dipahami
sebagai barang bawaan yang bersifat materi dibawa
pada saat seseorang meninggal dunia, melainkan yang
dimaksudkan oleh Islam adalah bekal kubur, yang telah
dipersiapkan ketika seseorang itu masih hidup di dunia
dalam bentuk amal perbuatan yang biasa disebut dengan
amal saleh. Seseorang akan mendapatkan kenikmatan
hidup mulai dari kehidupan alam barzah sampai pada hari
akhir (akhirat) kelak, sebagai balasan dari amal saleh yang

190 | Dr. Jamaluddin, MA


pernah diperbuatnya semasa hidup di dunia. Jadi yang
menentukan baik atau tidak kehidupannya nanti adalah
tingkat kesalehan kini. Bekal kubur dalam konteks ke-
Indonesia-an ini, kemungkinan besar warisan dari budaya
Hindu-Budha, yang ketika Islam datang ke Indonesia,
tradisi tersebut masih menjadi aktivitas ritual keagamaan
mereka ketika itu.
Makam-makam tua periode Islam Nusantara tersebar
di seluruh pelosok, seperti di Aceh, Pasai, Barus, Lima
Puluh Koto, Banten, Demak, Kudus, Rembang, Cirebon,
Yogyakarta, Lamongan Gresik, Kota Waringin, Pontianak,
Banjar, Gowa, Tallo, Somba Oupu, Jeneponto, Loloan,
Selaparang, Bima,Ternate, Tidore dan sebagainya.
Dalam bukunya seorang arekeolog senior Hasan
Muarif Ambary, menjelaskan bahwa pada makam-makam
tersebut (di Nusantara) terdapat berbagai tipologi makam,
seperti makam berjirat, tak berjirat, dan berjirat semu,
sedang dari bentuk nisan, paling tidak terdapat tipe-tipe
yang sekaligus memperlihatkan wilayah sebaran dan
pertanggalannya, yakni; tipe Aceh, tipe Demak, tipe Bugis-
Makasar, dan tipe Ternate-Tidore.1
Makam-makam Selaparang termasuk monumen
peningggalan sejarah dan purbakala yang pada saat
ditemukan dan dicatat sebagai peninggalan peninggalan
sejarah dan purbakala sudah tidak difungsikan sebagaimana
fungsinya semula, yaitu sebagai tempat pemakaman. Oleh
karena itu, makam Selaparang termasuk dalam klasiikasi
dead monument atau monumen mati.

1 Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan


Historis Islam Indonesia, ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu,1998), h. 42-43.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 191


Makam Selaparang memiliki fungsi sosial yang cukup
penting sebagai tempat berziarah. Makam ini terkenal
juga dengan sebutan makam keramat Raja Selaparang.
Hal ini dapat dilihat dari banyaknya para penziarah yang
pada waktu tertentu, terutama pada musim menjelang
keberangkatan jemaah haji ke tanah Suci, menjelang atau
setelah Ramadhan atau setelah mengadakan sukuran atau
selamatan biasanya masyarakat tidak pernah melupakan
untuk berziarah ke makam tersebut. Aktivitas ziarah yang
sudah menjadi ritual keagamaan masyarakat Sasak hingga
sekarang ini masih dipraktikkan, bahkan bukan hanya
makam ini saja, banyak makam-makam lain di Lombok
yang diyakini sebagai makam tokoh agama atau para
raja masih dikunjungi. Begitu besarnya penghormatan
masyarakat kepada mereka yang dimakamkan di
pemakaman Selaparang, hal ini menunjukkan bahwa
mereka yang dimakamkan adalah orang yang memang
ditokohkan. Tradisi ziarah yang dilakukan oleh masyarakat
Sasak ke makam-makam tersebut tidak diketahui sejak
kapan dimulai, karena pada setiap generasi ditemukan
tradisi semacam ini.
Tradisi ziarah bagi masyarakat Sasak memiliki nilai-
nilai sosial yang demikian tingginya, namun di sisi lain
memiliki dampak yang kurang baik bagi perkembangan
ideologi ziarahnya. Ada beberapa hal yang sampai sekarang
masih mewarnai aktiitas ziarah, dan sepertinya di kalangan
masyarakat hal ini tidak dipandang sebagai perbuatan yang
menentang ajaran Islam. Dalam Islam ada yang dikenal
dengan tradisi nazar, mereka yang berkunjung ke sebuah
makam yang dianggap keramat, biasanya bernazar seperti
ini “apabila saya berhasil dalam suatu usaha (sesuai yang
dinazarkan) maka saya akan datang ke tempat ini kembali”.

192 | Dr. Jamaluddin, MA


Pada waktu mereka bernazar mereka mengikatkan tali
’keberuntungan’ di sekitar makam (biasanya pada akar-
akar pohon beringin yang di sekitar makam). Ikatan tali
akan dibuka ketika mereka datang kembali ke makam
tersebut setelah berhasil. Tetapi kemungkinan nazar-nazar
mereka banyak yang tidak berhasil karena banyak tali-tali
yang sampai sekarang masih terikat di makam-makam
tersebut belum dibuka.
Selaparang merupakan sebuah kerajaan yang sangat
dikenal, baik di Lombok maupun di luar Lombok. Nama
Selaparang masih diabadikan sampai sekarang untuk
sebuah desa yang dulunya merupakan pusat kerajaan yaitu
Selaparang, tempat makam tersebut berada. Di dalam
Babad Negarakertagama, Selaparang disebutkan dengan
nama Selapawis. Ini menunjukkan bahwa Selaparang
secara politis telah memiliki pengaruh yang tidak kecil
pada masa-masa kejayaan Majapahit.
Selaparang adalah sebuah kerajaan Islam tertua di
Lombok. Di Desa Selaparang yang dikenal terdapat
beberapa komplek pemakaman kuno, masing-masing
dikenal dengan dengan sebutan Makam Selaparang, Makam
Tanjung, dan Makam Pesabu’an, ketiganya dipercaya
sebagai makam raja-raja Selaparang. Tetapi sampai saat
ini belum diketahui siapa saja nama tokoh-tokoh atau
raja-raja yang dimakamkam di tempat itu, karena belum
ada sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiyah. Melihat bentuk makam dan nisannya, dapat
dipastikan kalau yang dimakamkan itu tokoh-tokoh yang
berpengaruh, mungkin saja ia seorang raja atau tokoh-
tokoh penyiar agama.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 193


Dua di antaranya menjadi benda cagar budaya
(dilindungi undang-undang) yaitu Makam Selaparang
(situs 1) dan Makam Tanjung (situs II). Selain dua lokasi
makam di atas sekitar dua kilometer ke selatan terdapat
sebuah komplek makam yang sudah tidak terurus, oleh
masyarakat sekitarnya menyebutnya dengan makam
Penyabu’an. Untuk mencapainya, harus ditempuh dengan
jalan kaki ± 300 m. menyusuri jalan setapak. Tapi ada
kemungkinan di sebelah barat pernah ada jalan menuju
makam yang dulunya merupakan jalan besar yang dapat
dilewati dengan kendaraan roda empat, sekarang sudah
tertutup oleh semak-semak dan sebagiannya sudah
dijadikan sawah oleh penduduk sekitar.
Di dalam komplek makam Pesabu’an, terdapat sebuah
makam yang tinggi (berundak-undak empat) dengan model
batu nisan sama dengan salah satu batu nisan yang terdapat
di komplek makam Selaparang. Komplek makam tersebut
dikelilingi oleh tembok batu tersusun rapi, sekarang
tembok selatannya sebagian sudah mulai runtuh, dan
memiliki gerbang pintu masuk yang terbuat dari kayu.
Kalau diperhatikan dari bangunan makam dan bentuk
nisan, kemungkinan besar adalah makam Raja.
Sisi yang menarik untuk dan perlu menjadi perhatian
di sini adalah bahwa makam tersebut agak berjauhan
dengan komplek makam Selaparang. Menurut hemat
penulis makam Pesabu’an ini adalah makam yang
lebih awal dari makam Selaparang. Memperhatikan
keletakan makam, maka ada kemungkinan pada waktu
ibukota kerajaan tersebut dipindahkan ke Selaparang,
di sekitar tempat tersebut pernah dijadikan sebagai
komplek istana Selaparang, dan itu terjadi pada masa
pemerintahan Rangkesari. Jadi sebelum ke Selaparang

194 | Dr. Jamaluddin, MA


(sekarang ini) Rangkesari pernah membangun istana di
selatan Selaparang. Baru kemudian sesudah mangkatnya
Rangkesari Istana dipindahkan ke lokasi yang lebih dalam
di sebelah utara Sungai (tempat sekitar komplek makam
Selaparang sekarang). Jadi kemungkinan yang dimakamkan
di sini adalah Rangkesari raja pertama kerajaan Islam
Selaparang.
Pada komplek makam tersebut terdapat juga beberapa
makam yang menggunakan batu andesit sebagai nisannya.
Sementara di luar komplek makam terdapat banyak
makam-makam yang juga kemungkinan makam-makam
para demung dan prajurit kerajaan, karena banyak juga
yang menggunakan nisan-nisan dalam bentuk besar, namun
penulis agak kesulitan untuk mengidentiikasi makam-
makam yang di luar komplek karena sudah menjadi area
persawahan para petani desa sekitar, dan kebanyakan batu
nisannya hampir tertimbun.
Selain komplek makam tersebut di sebelah utara sungai
(± 1 km dari makam Selaparang ke arah tenggara) juga
terdapat komplek makam yang semuanya menggunakan
nisan dari batu andesit, yang juga kemungkinan yang
dimakamkan di tempat tersebut adalah paling tidak
mereka yang menduduki posisi penting di istana, yang
jelas sepertinya bukan makam raja. Makam tersebut juga
sudah tidak terawat, dan tembok kelilingnya sudah mulai
runtuh.
Sejak kapan kerajaan Selaparang muncul dalam
peristiwa sejarah, belum ditemukan sumber-sumber
tertulis yang menyebutkan tahun berdirinya Selaparang,
akan tetapi kalau dihubungkan dengan masuknya Islam di
Lombok maka dapat diperkirakan kemungkinan kerajaan

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 195


Islam Selaparang ini berdiri pada abad ke-16 (sebelumnya
kerajaan Mumbul yang bermarkas di Labuan Lombok).
Letak lokasi istana kerajaan Selaparang, sampai sekarang
masih belum terungkap. Tetapi memperhatikan letak
makam, kemungkinan besar bahwa Istana kerajaan
Selaparang berada di desa Selaparang dekat lokasi makam
itu berada.
Tepat di sebelah timur hanya berbatasan dengan
tembok kuburan terdapat bangunan masjid, mimbar
masjid masuk ke bangunan makam (menjorok keluar),
kalaupun bangunan masjid tersebut sudah tidak ada, tetapi
dasar bangunan (bekas bangunan) masjid sampai sekarang
masih ditemukan, bahkan batu-batu (umpak batu alam)
yang disebut sendi (Sasak), sebagai tempat bertumpunya
tiang sokoguru2 masih ada, dan kemungkinan besar bahwa
masjid tersebut adalah masjid beleq (masjid Jamik), yang
dibangun oleh kerajaan Selaparang. Dalam historiograi
tradisional Lombok disebutkan bahwa di pusat kota
kerajaan Selaparang telah dibangun sebuah masjid. Dan
setiap laki-laki dewasa diwajibkan untuk melaksanakan
shalat Jum’at di masjid tersebut.3
Pada umumnya di Indonesia di sekitar kraton dibangun
pasilitas seperti masjid, dan menganggap masjid sebagai

2 Dari informasi yang disampaikan oleh penglingsir (orang-orang tua),


pada tahun-tahun sebelum kemerdekaan masjid tersebut masih berdiri,
yang kemungkinan waktu itu sudah kurang difungsikan, karena dengan
dibangunnya masjid lain di desa Selaparang, kemudian tiang-tiang tersebut
diambil (dibagi-bagi) oleh beberapa desa yang memiliki hubungan dengan
kerajaan Selaparang, dan digunakan untuk menjadi tiang masjid di tempat
yang baru.
3 Lalu Wacana, Babad Lombok, (Jakarta: Poyek Penerbitan Buku Bacaan
dan Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1974), h. 21.

196 | Dr. Jamaluddin, MA


kelengkapan dari kerajaannya. Di Jawa masjid itu dibangun
pada tepi barat alun-alun, alun-alun merupakan tanah
lapang yang terhampar di utara istana.4 Apabila teori ini
kita gunakan untuk menentukan letak istana Selaparang
maka kemungkinan besar istana tersebut berada di selatan
Makam Selaparang, agak sedikit ke timur, tepatnya di
seberang jalan (dari Makam Selaparang). untuk mengetahui
kebenaran teori tersebut perlu diadakan penelitian lebih
lanjut.
Nieuwenhuizen (1932) menduga bahwa persekutuan
masyarakat hukum yang tertinggi di Lombok telah ada
sejak tahun 1543 M. Hal ini didasarkan atas penelitiannya
pada sejumlah lontar yang menyebutkan pembagian pulau
Lombok menjadi beberapa daerah kecil yang diperintah
oleh seorang datu, seperti Sokong, Bayan, Selaparang dan
sebagainya.5
Sebagaimana yang disebutkan dalam Babad Lombok,
bahwa ajaran Islam masuk di Lombok dibawa oleh Sunan
Prapen, putra Sunan Ratu Giri. Belakangan Dato Bandan
(Dato Ri Bandan) ke Makasar untuk menyebarkan agama
Islam. Jika berita Babad Lombok ini dapat dibenarkan maka
peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Sunan
Dalem (1500-1545 M) atau pada masa pemerintahan Batu
Renggong dari kerajaan Gelgel.6

4 Tugiyono, KS, et.al., Peninggalan Situs Dan Bangunan Bercorak Islam di


Indonesia, ( Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001), cet. ke-1, h. 19.
5 Usri Indah Handayani, et al., Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan
Nusa Tenggara Barat, (Mataram: Departeman Pendidikan dan Kebudayaan
Kantor Wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat Bagian Proyek Pembinaan
Permuseuman Nusa Tenggara Barat, 1997/ 1998), h. 79.
6 H.J.de Graaf, Lombok in de 17 eew, (Djawa, XXI. Tahun, 1941), h. 355-
373.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 197


Dalam komplek makam Selaparang ada sejumlah
batu nisan yang bertuliskan huruf Arab dan huruf-huruf
yang merupakan peralihan huruf Jawa kuna ke huruf Bali.
Inskripsi ini terdiri atas lima baris, terpahat dalam bentuk
relief timbul, (tulisan tersebut pada saat penulis melakukan
penelitian sudah hampir rusak/tidak kelihatan), berbunyi;
baris kesatu : la ilaha ilallah
baris kedua : wa muhammadun rasul
baris ketiga : ullah (dan) Maesan
baris kempat : gagawean
baris kelima : parayuga.
Salah seorang sarjana barat yang pernah mengadakan
kajian arkeo-epigrai terhadap makam Selaparang adalah
W.F. Stutterheim,7 menurutnya inskripsi tersebut adalah
sebuah cadrasengkala yang bernilai angka 1142 Hijriah
atau 1729 Masehi. Angka tahun ini dihubungkan dengan
kematian seorang raja Selaparang yang pada enam tahun
sebelumnya (1723 M), jadi makam tersebut diperkirakan
adalah makam raja.
Tetapi menurut tradisi, batu nisan yang berangka
tahun itu adalah makam Ki Gading atau Penghulu Gading,
seorang yang jujur, memiliki pengetahuan agama yang
memadai untuk ukuran saat itu, dan dia dipercayakan
oleh raja untuk memegang harta-harta kerajaan. Kalau
dilihat namanya tentu bukan nama seorang raja atau
datu, mungkin nama tokoh penyebar agama atau yang
ada hubungannya dengan masalah keagamaan. Namun
demikian tidak dapat dijadikan pegangan angka tahun yang
7 W.F, Stutterheim, Een Inscriptie Van Lombok, (Djawa, XVII, 1& 2.
tahun 1937), h. 309-310.

198 | Dr. Jamaluddin, MA


disebutkan oleh Stutterheim tersebut, untuk menentukan
umur makam keramat Selaparang, itu artinya umur
makam tersebut tidak sampai tiga ratus tahun. Tidak
menutup kemungkinan banyak makam-makam yang ada
dalam komplek makam Selaparang ini umurnya lebih tua
dari makam yang berangka tahun tersebut. Tetapi bacaan
angka tahun tersebut kemungkinan benarnya lebih besar,
karena pada tahun-tahun tersebut Selaparang masih belum
runtuh kalaupun sudah menunjukkan akan melemah
kekuasaannya.
Dengan demikian kalau diperhatikan peninggalan-
peninggalan yang ada di Selaparang, misalnya model nisan
Aceh yang ada di Selaparang diperkirakan nisan pada
abad-abad ke-16. Sementara model-model nisan berbentuk
kepala kalamakara ( Jawa Timur) yang diperkirakan abad
akhir abad ke 15 atau awal abad ke-16. Menurut informasi
dari naskah kuno tentang peristiwa sejarah maka dapat
dipastikan bahwa Kerajaan Islam Selaparang berdiri pada
abad ke-16.
Selain tulisan-tulisan seperti yang disebutkan oleh
Stutterheim di atas, ada beberapa makam lain yang juga
ditemukan tulisan-tulisan dengan menggunakan huruf
Arab. Pada batu nisan sebuah kubur yang yang letaknya
paling selatan nomor empat dari timur terdapat juga
tulisan lailahaillallah. Kata-kata Allah juga ditemukan pada
dua batu nisan lainnya, berdekatan dengan makam nomor
empat berjarak satu makam, Jadi makam ini urutan kedua
dari timur, dengan baris yang sama. Pada baris kedua
yang lurus dengan arah mimbar (bekas masjid kerajaan
Selaparang), paling barat, juga termasuk salah satu makam
yang bertuliskan Allah.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 199


Batu nisan yang terdapat di makam Selaparang ini
ditemukan tipologi nisan Aceh, Jawa Timur (Majapahit),
Madura, yang berasal dari abad ke-16 dan ke-17, serta
banyak nisan-nisan lainnya yang memang hanya ditemukan
di makam Selaparang, kalau Tawalinudin menyebutnya
batu nisan kepala kerbau bersayap dan tipe silendrik8.
Beberapa dari nisan-nisan tersebut tidak ditemukan di
daerah lain di Nusantara.
Mungkin karena hubungan yang intens dan terjalin
lama dengan Jawa Timur, dan Makasar, maka pengaruh
keduanya juga sangat nampak pada beberapa model-model
atau bentuk-bentuk nisan di Selaparang. Selain pengaruh
luar, pada makam Selaparang terlihat juga masih adanya
pengaruh dari budaya pra Islam. Pada hiasan-hisan nisan
yang banyak menggunakan media tumbuhan serta bentuk-
bentuk candi memperkuat dugaan tersebut.
Dari tipologi yang ditemukan di makam Selaparang,
memberikan gambaran bahwa Islam di Lombok memiliki
ikatan yang sangat erat dengan Islam yang ada di Jawa,
Aceh, Madura dan Makasar. Kuatnya pengaruh khususnya
Jawa dan Makasar telah dimulai sejak awal-awal masuknya
Islam di Lombok. Dalam Babad Lombok dijelaskan bahwa
Sunan Prapen dalam melakukan misi dakwahnya selain
dengan prajurit, beliau dibantu oleh beberapa orang
patih, antara lain: Patih Mataram, Arya Kertasura, Jaya
Lengkara,9 Adipati Semarang, Tumenggung Surabaya,
8 Tawalinuddin Haris, Masuk dan Berkembangnya Islam di Lombok Kajian
Data Arkeologis dan Sejarah, dalam Kanjian: Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi
Daerah NTB, (Lombok Timur: Yayasan Lentera Utama, 2002), h. 17.
9 Dalam Sadjarah Dalem terdapat nama Panembahan Ratu Jayalengkara
dari Surabaya sebagai nama ayah dari Pangeran Pekik (yang sesudah tahun
1625 menjadi ipar Sultan Agung. Jadi mungkin Panembahan itulah yang
pada tahun 1589 menjadi lawan Senapati Mataram. Permaisurinya adalah

200 | Dr. Jamaluddin, MA


Tumenggung Sedayu, Tumenggung Anom Sandi, Ratu
Madura dan Ratu Sumenep.10 Sedangkan Aceh dalam
bentuk komunikasi atau hubungan diplomatis telah terjalin
sejak awal seiring dengan meluasnya kekuasaan Melayu
di Nusantara. Dengan Makasar telah dimulai komunikasi
dengan kerajaan Selaparang pada awal-awal abad ke-17.
Dari sini dapat diketahui bahwa Selaparang memiliki
peranan yang krusial bagi perkembangan Islam,
perdagangan dan politik di Nusantara. Dengan terjalinnya
hubungan kerajaan-kerajaan di Lombok dengan kerajaan
di Nusantara lainnya, maka hal ini telah membawa sebuah
perubahan baru bagi perkembangan Islam di Lombok,
yang telah membentuk identitas intelektual bagi umat
Islam ketika itu bahkan di kemudian.
Tentang keberadaan kerajaan Selaparang banyak
diberitakan dan banyak diketahui orang. Tetapi siapa
rajanya dan tokoh-tokoh yang dimakamkan dikomplek
pemakaman kuno Selaparang tidak diketahui secara pasti.
Ada beberapa nama yang disebutkan dalam tradisi, yaitu
Raden Mas Pakenak, Dewa Mraja Mas Pekel, Raden Dipati
Prakosa, Batara Selaparang, dan sebagainya. Tetapi yang
mana makamnya, dan apakah tokoh-tokoh itu dimakamkan
di Selaparang atau di tempat lain, juga belum jelas.11
Kerajaan Selaparang secara politis telah dapat
mendominasi bukan hanya kekuasaan di Lombok bahkan

seorang putri dari Kediri (dari perkawinan tersebut lahir Pangeran Pekik)
dan Ia masih keluarga dekat raja di Madiun yang asal-usulnya adalah kerajaan
Demak. HJ. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama
di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke-16. Cet. ke-2. Jilid 2, h. 205-
206.
10 Lalu Wacana, Babad Lombok, h. 18.
11 Usri Indah Handayani, et al, Peninggalan Sejarah…, h. 83.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 201


di beberapa daerah lain seperti Sumbawa misalnya,
berada di bawah kekuasaannya. Karena menurut berita
Makasar, pada abad 17 seorang anak raja bernama Mas
Pamayan menjadi raja di Sumbawa, dilantik pada tanggal
30 Nopember 1648. 12 Dikatakan pula bahwa Lombok dan
Sumbawa berada di bawah kekuasaan seorang raja yang
berkedudukan di Lombok. Sejak kapan Selaparang dan
Sumbawa menjadi satu kerajaan belum jelas. Mungkin
pada waktu itu telah terjadi ikatan kekeluargaan antara
raja Selaparang dan raja Sumbawa, seperti yang tersebut
dalam Hikayat Banjar, bahwa seseorang pangeran Banjar
bersama Raden Subangsa pergi ke Selaparang dan kawin
dengan putri Selaparang yang bernama Mas Surabaya.
Dari perkawinan ini melahirkan seorang anak laki-laki
bernama Raden Mataram. Setelah Istrinya meninggal
Raden Subangsa dikawinkan lagi oleh raja Selaparang
dengan anaknya di Sumbawa yang bernama Mas Penghulu,
yang kemudian melahirkan Raden Banten.13
Pada waktu itu baik Selaparang maupun Sumbawa
berada di bawah kekuasaan Gowa di Sulawesi Selatan,
karena sejak tahun 1628 M, Sumbawa sudah ditaklukkan
Gowa. Sedangkan Lombok baru ditaklukkan oleh Gowa
setelah surutnya kekuasaan Gelgel pada tahun 1639 M.
14
Setelah jatuhnya Gowa ke tangan V.O.C, serta dengan
ditandatanganinya perjanjian Bongaya 1667 M, maka
dominasi makasar atas Selaparang semakin melemah,
kalaupun kemudian oleh para bangsawan Makasar,

12 H.J. de Graaf, Lombok in de 17 eew, h. 360.


13 Lihat, JJ. Rass, Hikayat Banjar, (the Haque-Martinus Nijhiff, 1968).
Lihat juga, Usri Indah Handayani, et al, Peninggalan Sejarah…, h. 83.
14 Manggaukang Raba dan Asmawati, Fakta-Fakta Tentang Nusa
Tenggara Barat; Lombok dan Sumbawa, (Mataram: Yayasan Pembangunan
Insan Cita, 2002), h. 62.

202 | Dr. Jamaluddin, MA


Lombok dijadikan basis perjuangan dalam menghadapi
dominasi asing (VOC).

B. Sejarah Kerajaan Selaparang


1. Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan
Selaparang
Sekitar abad ke–14 berdiri kerajaan Selaparang
Hindu yang semula bernama Watu Parang. Kerajaan
ini dibangun oleh Raden Maspahit, seorang pangeran
dari kraton Majapahit yang tidak berani kembali karena
memperistri puteri raja Lombok, sebelumnya sebagai
calon permaisuri raja Majapahit. Dengan alasan itulah,
maka Raden Maspahit maupun kerajaan Lombok
diserbu oleh Majapahit. Kerajaan Lombok hancur, tetapi
Raden Maspahit sempat melarikan diri ke dalam hutan.
Setelah keluar dari persembunyiannya Raden Maspahit
membangun kerajaan Selaparang Hindu dengan pusatnya
di desa Peresak, Selaparang yang sekarang.
Setelah kerajaan Selaparang ditaklukkan Empu Nala
pada pertengahan abad keempat belas, timbul lagi kerajaan
Mumbul yang berpusat di bekas kerajaan Lombok,
letaknya sangat strategis, merupakan pelabuhan utama
ketika itu. Pada zaman pemerintahan Purwawisesa terjadi
perang saudara beberapa orang demung, rangga dan
nyaka berontak karena menuntut balas atas terbunuhnya
Patih Sandubaya yang dibunuh atas perintahnya.15

15 Pemberontakan yang dilakukan oleh para Demung, Rangga, dan


Nyaka Brangbantun terhadap pusat kerajaan diuraikan panjang lebar, mulai
dari latar-belakang, proses (peperangan) yang terjadi, sampai berakhirnya
pemberontakan. Lihat, Lalu Wacana, Babad Lombok, bait 303-534. h. 70-96.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 203


Prabu Purwawisesa sendiri meninggal, karena bunuh
diri yang kemudian diganti oleh Prabu Rangkesari.16
Pada zaman pemerintahan Rangkesari inilah agama
Islam masuk ke Lombok. Kerajaan Lombok merupakan
kerajaan pesisir, Lombok telah terbentuk menjadi kota
pelabuhan dan kota kerajaan sebelum kedatangan Islam.
Sehingga Lombok pada waktu itu ramai didatangi oleh
para pedagang-pedagang dari luar seperti: Jawa, Bali,
Palembang, Makasar, dan Maluku, bahkan tidak menutup
kemungkinan pedagang-pedagang mancanegara seperti
China, Arab juga pernah datang ke Lombok pada waktu
itu.
Beberapa tempat di Nusantara terbentuknya kota-
kota muslim melalui proses yang panjang yaitu, islamisasi
penduduk, kemudian terbentuknya perkampungan
muslim, yang kemudian diikuti dengan pembentukan
pemerintahan Islam, barulah terbentuknya kota-kota
muslim, seperti yang terjadi di Samudra Pasai. Berbeda
dengan yang terjadi di Lombok, terbentuknya kota-
kota muslim di Lombok seiring atau bersamaan dengan
terislamkannya raja-raja Lombok.
Di Lombok sudah berdiri kota-kota pelabuhan dan
yang juga menjadi kota-kota pusat kerajaan, dengan
masuknya Islam di kerajaan Lombok maka kota-kota
tersebut dengan sendirinya menjadi kota-kota muslim dan
kota pusat kerajaan Islam.
Muncul dan tumbuhnya kota-kota muslim di Lombok,
sama dengan yang terjadi di Kalimantan. Di Kalimantan
munculnya kota-kota diketahui dari sumber hikayat dan
sumber Asing, yang menyebutkan bahwa di beberapa

16 Ibid, h. 99.

204 | Dr. Jamaluddin, MA


tempat seperti, Banjar, Mertapura, Negara Dipa di Amuntai,
dan Kutai, sebelum kedatangan Islam sudah merupakan
kota-kota. Setelah kedatangan dan proses penyebaran
Islam terbentuklah pemerintahan yang bercorak Islam dan
dengan sendirinya juga menjadi kota-kota pusat kerajaan
yang kebanyakan berpenduduk muslim.17
Setelah terjadi proses islamisasi dan terbentuknya
kota-kota muslim, di antaranya ada yang berfungsi sebagai
sebagai kota-kota pelabuhan dan perdagangan dan ada
pula yang sebagai kota-kota pusat kerajaan yang berarti
pusat-pusat kekuasaan politik.18 Maka di sini Lombok
merupakan kota pesisir yang berfungsi rangkap yaitu
sebagai kota pelabuhan dan pusat kerajaan atau pusat
kekuasaan politik.
Corak kerajaan yang ibukotanya di pesisir merupakan
kerajaan maritim di mana pelayaran dan perdagangan sangat
diutamakan. Kota tersebut kehidupan masyarakatnya lebih
dinamis jika dibandingkan dengan kota-kota pedalaman,
meskipun tetap merupakan masyarakat tradisional.
Lapisan-lapisan masyarakat antara lain terdiri dari golongan
pedagang, golongan nelayan, golongan budak, golongan
pekarya atau tukang, golongan bangsawan atau raja-
raja serta anggota birokrat (termasuk di dalamnya kyai).
Golongan petani dalam kota-kota tersebut tidak banyak,
tetapi justru mungkin mereka itu sebagai pemilik sawah
atau ladang, kebun yang letaknya di luar kota. Jadi petani

17 Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan perkembangan Kota-Kota


Muslim di Indonesia Dari Abad XIII sampai XVIII Masehi, (Kudus: Penerbit
Menara Kudus, 2000), h. 40.
18 Ibid, h. 41.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 205


dalam arti sesungguhnya jelas sebagian besar bertempat
tinggal di desa-desa.19
Kerajaan Selaparang, merupakan kerajaan-kerajaan
tradisional, karena itu struktur sosial ekonomi kota-kota
kerajaan ataupun kota pusat kerajaan tersebut juga bersifat
tradisional. Golongan masyarakat yang ada dalam struktur
sosial kota-kota yang bercorak tradisional seperti itu dapat
disebut pula golongan masyarakat pra-industri.20
Penggolongan masyarakat kota-kota zaman per-
tumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan yang
bercorak Islam di Indonesia dapat dibagi atas; golongan
raja-raja dan keluarganya, golongan elit, golongan non-
elit, golongan budak. 21
Penggolongan tersebut di atas tidak jauh beda dengan
penggolongan masyarakat yang ada pada kota-kota
kerajaan muslim di Lombok, di sini beberapa golongan
tersebut terbagi pada beberapa golongan yang lebih rinci.
Dalam masyarakat Lombok ada empat tingkatan strata
sosial, yaitu:
1. Golongan para raja, yang terdiri dari keluarga inti kerjaan,
tempat kediaman mereka, baik yang berkedudukan
sebagai raja besar ataupun raja kecil adalah di
keraton atau Istana. Dari keraton itulah mereka raja
menyebarkan pemerintahan atau kekuasaannya.
Mereka ini diberi gelar Datu, atau Pemban, sedangkan
di beberapa tempat lain di Indonesia mereka di sebut
Sultan sebagai akibat dari pengaruh Islam.

19 Tjandrasasmita, Pertumbuhan…, h. 42.


20 Dikutip dari tulisannya G. Sjoberg, lihat Uka Tjandrasasmita,
Pertumbuhan…, h. 79.
21 Tjandrasasmita, Pertumbuhan…, h. 80.

206 | Dr. Jamaluddin, MA


2. Golongan Ningrat atau Raden, adalah mereka ini adalah
kalangan elit. Dalam masyarakat kerajaan tradisional,
baik di pusat kota kerajaan maupun di luar pusat
kerajaan, terdapat segolongan masyarakat yang
status sosialnya dipandang tinggi, karena fungsinya
atau terutama karena pekerjaannya. Golongan ini
merupakan kelompok orang yang menempati lapisan
atas, nominal dapat terdiri dari golongan aristokrasi,
tentara, keagamaan, pedagang dan plutokrasi. 22
Pruangse (Sasak aristocracy) ini juga disebut dengan
menak. Golongan ini terdiri dari tiga tingkatan, yaitu:
pertama, Raden (L) dan dende (P) : gelar yang dimiliki
oleh orang yang menduduki posisi pertama dalam
golongan ningrat (kewangasaan Sasak). Kedua, Mamiq
(L) dan mamiq buling (P), adalah gelar keningratan
kedua dalam golongan ningrat. Ketiga, Lalu (L) dan
baiq atau mamiq lale (P),merupakan gelar keningratan
ketiga.
3. Golongan Pruangase (Perbape or the Sasak citizenry), adalah
golongan rakyat biasa atau orang kebanyakan, dengan
bahasa lain orang yang tidak memiliki hubungan
garis keturunan dengan pihak kerajaan. Panggilan
mereka jika belum menikah adalah dengan langsung
menyebutkan namanya tanpa diselipkan gelar-gelar
apapun kecuali panggilan akrab kekeluargaan seperti
kakak atau adik dan seterusnya. Adapun jika mereka
sudah menikah dan memiliki anak, maka biasanya
mereka dipanggil dengan bape atau amaq (L) dan inaq
(P) baru setelahnya diikuti dengan menyebutkan nama
anaknya yang paling besar.

22 T.B. Bottomore, Ellites and Society, (A Pelican Book. Penguin Book


ltd. Great Britain, 1970), h. 10.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 207


4. Sebagai galongan terakhir dan sekaligus pemegang
kasta terendah adalah golongan jajar karang (bulu
ketujur) dan pengayah. Golongan inipun terdiri dari
empat tingkatan di dalamnya. Pertama, Kaula (Sasak
term for free landowning peasant), golongan petani yang
memiliki dan menggarap tanahnya sendiri. Kedua,
Jepangan (peasant cultivating aristocracy lands), buruh
tani yang tidak memiliki tanah garapan sendiri, namun
menggarap tanah para bangsawan dan biasanya
sebagai imbalannya mereka tinggal sebagai anak
angkat. Ketiga, Pengayah (Peasant cultivating another
lands), buruh tani yang menggarap tanah orang lain,
dan mengaharapkan imbalan darinya. Keempat, Panjak
(Sasak term for a slave), atau budak, adalah mereka yang
bekerja tanpa imbalan apapun dan tinggal dengan
tuannya hanya sekedar untuk memperoleh makanan
guna menyambung hidup.23
Seiring dengan dipindahkannya ibukota kerajaan
Mumbul dari Lombok (pesisir) ke daerah pedalaman
Selaparang yaitu bekas kerajaan Selaparang Hindu, maka
kota pesisir (Lombok) tidak lagi berfungsi sebagai kota
pusat kerajaan atau pusat kekuatan politik, melainkan
hanya menjadi kota pelabuhan dan perdagangan. Kalaupun
ditinggalkan, kota tersebut masih dipertahankan sebagai
wilayah kekuasaan kerajaan Selaparang Islam. Karena
kota pelabuhan Lombok selain letaknya yang startegis dan
sebagai gerbang bagi orang asing yang akan memasuki

23 Jakub Ali, et al., Perubahan Nilai Upacara Tradisional pada Masyarakat


Pendukunganya di Daerah Nusa Tenggara Barat, (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI, 1998), h. 18-21; dan Gede Parman, Titi Tata Adat Perkawinan
Sasak dan Kepembayunan Candrasengkala, (Kekise Lombok), (Mataram:
Lembaga Pembakuan dan Penyebaran Adat Sasak,1998), h. 30-32.

208 | Dr. Jamaluddin, MA


Selaparang juga kota tersebut memberikan devisa yang
cukup tinggi bagi pemasukan negara.
Pemindahan ibukota kerajaan ini dilaksanakan atas
usul Patih Singayudha, dan Patih Bandayudah.24 Usul ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa ibukota Lombok
kurang strategis, mudah diserang dari laut dan dari darat.25
Sebenarnya Lombok sebagai Ibukota kerajaan cukup
strategis, karena letaknya yang sangat menguntungkan,
tetapi mungkin masalahnya pada persoalan keamanan
negara. Ketika Lombok menjadi pusat kerajaan, memang
sangat mudah diserang oleh musuh khususnya dari luar,
selain karena letak di pesisir, juga karena di Lombok
tidak ada benteng pertahanan, yang akan menjadi pusat
pertahanan tentara kerajaan. Jadi kalau ada serangan dari
luar, maka kemungkinan musuh akan dapat langsung
masuk ke jantung kota yang juga di dalamnya terdapat
istana raja.
Memperhatikan letak Selaparang yang agak jauh ke
dalam, dari sisi keamanan memang sangat menguntungkan,
di bagian barat Selaparang terdapat beberapa sungai yang
cukup dalam dan besar, inilah kemudian menjadi benteng
alam bagi pertahanan Selaparang, antara lain di sini yang
biasa menjadi tempat berkumpul dan bertahannya tentara-
tentara Selaparang pada saat ada penyerangan dari arah
barat (darat) terdapat sungai Belimbing26 (kokok Belimbing)

24 Lalu Wacana, Babad Lombok, h. 19.


25 Tim Penyusun Monograi Daerah NTB, Monograi Daerah Nusa
Tenggara Barat, ( Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan
Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
RI, 1977), h. 15.
26 Pada waktu penyerangan oleh kerajaan Bali-Karang Asem ke
Selaparang, mereka para tentara Bali membuat tenda-tenda di barat Kokok
Belimbing, sementara pasukan Selaparang di timurnya. Lihat Sulistiyati,

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 209


yang membentang dari gunung Rinjani sampai ke laut
yang membelah pulau Lombok dari utara ke selatan. Letak
Selaparang yang berada pada dataran tinggi, di mana dari
Selaparang dapat dipantau mobilitas kapal-kapal yang
memasuki atau yang melewati pantai Lombok. Sehingga
setiap kapal yang mencurigakan dapat diketahui secara
langsung dari pusat kerajaan.
Perpindahan ibukota kerajaan ke desa Selaparang,
telah membawa perubahan baru bagi desa Selaparang
itu sendiri. Penataan kota bukanlah menjadi persoalan
bagi kerajaan Islam tersebut, karena sebelumnya (masa
Selaparang Hindu) Selaparang juga merupakan kota pusat
kerajaan Selaparang Hindu. Kehidupan masyarakatnya
tidak asing dengan gaya atau pola kehidupan perkotaan.
Setelah istana kerajaan dibangun, maka berbagai pasilitas-
pasilitas umum, seperti masjid, pasar, dan berbagai pasilitas
lainnya juga ikut dibangun.
Di pusat-pusat kota kerajaan, Islam merupakan
fenomena istana. Istana kerajaan menjadi pusat
pengembangan intelektual Islam atas perlindungan resmi
penguasa, yang kemudian memunculkan tokoh-tokoh
ulama intelektual, tokoh-tokoh ini memiliki jaringan yang
luas, bukan hanya di dalam, melainkan sampai ke daerah
lainnya. Selain itu kota sebagai pusat ekonomi mempunyai
kemampuan untuk mendukung kegiatan yang berkaitan
dengan pengembangan Islam secara politik, lebih-lebih
lagi secara inansial. Relatif baiknya keadaan ekonomi
perkotaan memungkinkan terselenggaranya pembangunan
masjid, dan pusat-pusat pengajaran Islam, kegiatan-
kegiatan Islam, dan menimbulkan kemampuan untuk
Babad Selaparang, ( Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993), h. 182.

210 | Dr. Jamaluddin, MA


melakukan perjalanan dakwah ke wilayah-wilayah lainnya.
Dengan berkesinambungannya hubungan dan kedatangan
pedagang-pedagang muslim dan orang-orang muslim
lainnya yang sengaja bermigrasi untuk mengembangkan
Islam, kota pelabuhan dan kota pusat kerajaan menjadi
dinamis yang dengan gagasan-gagasan baru tentang Islam
yang kemudian menyebar ke pelosok-pelosok pedalaman.
Dalam struktur kota Islam semacam ini tempat ulama
borjuis bermukim, terdapat ketergantungan timbal-balik
antara kegiatan perdagangan dengan pembangunan dan
pemeliharaan lembaga-lembaga pengajaran agama Islam.
Lembaga pengajaran Islam ini sangat penting untuk
mempertahankan karakter kota Islam dan juga bagi
penyegaran Islam ke pedesaan dan pedalaman. 27
Dengan demikian Selaparang berubah menjadi kota
pusat kerajaan dan juga menjadi kota perdagangan.
Di pinggiran Selaparang dibangun perkampungan-
perkampungan bagi mereka para pendatang-pendatang
dari luar, sampai sekarang masih ditemukan beberapa
kampung tua yang kemungkinan pada waktu itu
merupakan perkampungan bagi para pendatang, karena
beberapa nama-nama tempat di pulau Lombok ada di
perkampungan tersebut, kalaupun sekarang sudah menjadi
sebuah desa.
Di bagian utara Selaparang ini masih banyak ditemukan
makam-makam tua, yang menggunakan batu andesit
menjadi batu nisannya. Bahkan beberapa makam tersebut
dikatakan sebagai moyang dari mereka di beberapa tempat

27 Albert H. Hourani dan S.M. Stern (ed), The Islamic City, (oxford:
Bruno Cassirer & The University of Pennsylvania Press,1970), h. 21-22; lihat
juga, Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2000), cet. ke-2, h. 33-34.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 211


di pulau Lombok. Menurut penulis kemungkinan makam-
makam tersebut adalah mereka para pendatang yang pada
awalnya membentuk sebuah pemukiman untuk sementara
selama berdagang mereka tinggal di Selaparang. Dengan
demikian Selaparang pada waktu itu merupakan kota
besar, di mana mereka yang berada di kota-kota kecil yang
di pedalaman berdatangan ke Selaparang.
Golongan-golongan masyarakat di dalam kota-kota
terutama di pusat-pusat kerajaan biasanya mempunyai
perkampungan sendiri-sendiri. Karena itu sering dijumpai
dalam sumber-sumber sejarah, tentang adanya kampung-
kampung, di mana kampung-kampung tersebut ada yang
berdasarkan kedudukan, keagamaan, kebangsaan, ataupun
kekayaan. Biasanya kampung-kampung tersebut terpisah
dari karaton atau tempat raja dan keluarganya.28
Kalau sebelumnya kerajaan Selaparang ini, bercorak
maritim yang menitik beratkan kehidupannya pada
perdagangan dan kekuatan militernya lebih dititik
beratkan pada angkatan laut, maka setelah perpindahan
ibukota kerajaan ke Selaparang, maka kerajaan ini menjadi
kerajaan agraris. Masyarakat kota agraris lebih menitik
beratkan pada pertanian, sedang kekuatan militernya lebih
dititik beratkan pada angkatan darat.
Akan tetapi tampaknya kerajaan Selaparang
merupakan kerajaan yang bercorak maritim-agraris. Hal
ini diketahui dari berbagai kebijakan-kebijakannya yang
tetap membangun sektor-sektor; pertanian, peternakan,
dan perdagangan.29 Terhadap komitmennya sebagai
negara maritim tetap ditunjukkan, hal ini dapat diketahui

28 Tjandrasasmita, Pertumbuhan…, h. 42.


29 Lalu Wacana, Babad Lombok, h. 20.

212 | Dr. Jamaluddin, MA


dari sikapnya yang tetap mempertahankan Lombok
sebagai kota pelabuhan dan dagang untuk berada di bawah
pengawasannya. Bahkan lebih dari itu Selaparang telah
membuka sebuah pasar (kota dagang) yang terletak di
antara pulau Lombok dengan Sumbawa, yang kemudian
pulau ini menjadi pusat perdagangan yang ramai dikunjungi
oleh para pedagang luar.30 Banyaknya pulau-pulau kecil
atau gili-gili yang terdapat antara pulau Lombok dengan
pulau Sumbawa, sehingga agak sulit untuk menentukan
pulau yang mana yang pernah menjadi pusat perdagangan.
Kalau berita dalam babad tersebut dapat dipertanggung
jawabkan, maka kemungkinan besar bekas-bekas kota
dagang tersebut masih dapat ditemukan, karenanya
perlu ada upaya lebih lanjut untuk dapat membuktikan
keakuratan data tersebut.
Pertumbuhan dan perkembangan kota-kota dagang di
pesisir, tidak dapat dipisahkan dari ramainya para pedagang-
pedagang yang melakukan pelayaran dari barat ke timur
yang menyusuri laut utara pulau Jawa, lebih-lebih setelah
wilayah pesisir yang membentang dari laut Jawa sampai
Maluku dikuasai oleh orang muslim. Di Jawa muncul
Cirebon, Demak, Gresik, di Nusa Tenggara; Selaparang,
Sumbawa, dan Bima, di timurnya; Maluku, Makasar,
Sulawesi, yang semuanya adalah kerajaan-kerajaan Islam.
Bersamaan dengan tampilnya Selaparang sebagai
kota-kota pusat kerajaan, maka beberapa tempat juga
muncul sebagai kota-kota kerajaan seperti, Sokong, Bayan,
Pejanggik, Langko, Suradadi, dan Parwa, yang kalaupun
mereka mengakui supremasi kerajaan Selaparang,31

30 Lalu Wacana, Babad Lombok, h. 20.


31 Ibid.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 213


kerajaan-kerajaan tersebut memiliki otonomi untuk
menjalankan pemerintahannya sendiri.
Keberhasilannya dalam bidang ekonomi melalui
pertanian dan perdagangan, yang pada gilirannya telah
berhasil meningkatkan tarap kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat, juga tidak dapat dilupakan keberhasilannya
dalam bidang-bidang peradaban. Dua hal yang harus
sejalan beriringan, antara keberhasilan di bidang ekonomi
dengan berkembangnya peradaban. Keberhasilan
ekonomi akan menjadi penentu bagi keberhasilan dalam
pembangunan peradaban, demikian juga sebaliknya dengan
peradaban perekonomian akan dapat dipertahankan, dan
distabilkan.
Besarnya perhatian Istana terhadap peradaban
di Lombok ikut menentukan pertumbuhan dan
perkembangannya khususnya di pusat-pusat kota. Namun
demikian peran Islam sebagai agama yang berperadaban
juga tidak dapat dilepaskan di dalamnya yang oleh
kebanyakan peneliti tentang Lombok sering “dilupakan”.
Islam hadir di muka bumi dengan membawa peradaban,
maka kehadirannya di Lombok pun dengan membawa
peradaban.
Perkembangan peradaban Islam di pulau Lombok
ditandai dengan banyaknya ditemukan karya-karya
intelektual muslim, khususnya karya-karya mereka pada
masa kejayaan Islam di Gumi Sasak. Masa kejayaan Islam
di pulau Lombok dimulai dari sejak masuknya Islam di
daerah ini pada awal abad ke-16 sampai pertengahan abad
ke-18.
Tradisi tulis diperkirakan telah dikenal di kalangan
masyarakat Sasak jauh sebelum kedatangan Islam. Tulisan

214 | Dr. Jamaluddin, MA


yang sekarang dikenal dengan huruf Jejawen itu sudah ada
sejak abad IX M. hal ini dibuktikan dari sebuah kentongan
yang ditemukan di Pujungan Tabanan-Bali, kentongan
tersebut merupakan peringatan atas kemenangan atas
kerajaan Sasak oleh suatu kerajaan di Bali yang dibuat pada
zaman Anak Wungsu.
Perkiraan yang lebih belakangan diperkirakan sekitar
abad XIV M yaitu dengan ditemukannya Bencingah Punan,
sebuah prasasti tembaga yang terdapat di desa Menggala
kecamatan Tanjung Lombok Barat. Prasasti tersebut berisi
memori kedatangan Majapahit, Gajah Mada menginjakkan
kakinya di Lombok setelah Lombok ditaklukkan oleh
Empu Nala (1357 M). Kedatangan Gajah Mada tentu
akan memiliki arti penting di sini, karena di kerajaan Jawa
tersebut budaya tulis sudah mulai berkembang32. Dengan
kontak hubungan antar kerajaan Jawa dengan Lombok,
maka sangat memungkinkan tradisi tulis telah ditularkan
kepada masyarakat Lombok waktu itu.
Tidak ditemukan tulisan-tulisan sebagai karya
masyarakat Lombok sebelum datangnya Islam (abad
XVI), tapi bukan berarti bahwa mereka sama-sekali tidak
memiliki karya, boleh jadi sebelum abad 16 M. tulisan-
tulisan mereka sudah ada akan tetapi tulisan-tulisan
tersebut tidak sampai kepada kita, atau karya-karya
mereka telah ditulis ulang oleh mereka di kemudian pada
era kerajaan Islam. Memang sulit dilacak tetapi beberapa

32 Di Jawa tradisi tulis-menulis bermula pada masa Sri Darmawangsa


Tguh Anantawikrama yang terkenal dengan upayanya yang disebut
mengjawakan Biyasamata artinya membahasa Jawakan ajaran-ajaran
Baghawan Byasa. Dharmawangsa memerintah kira-kira tahun 991-1017.
Lihat, Achadiati, Peradaban Manusia Zaman Mataram Kuna, ( Jakarta: Gita
Karya, tt), h. 10-12.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 215


indikasi mengarah pada anggapan tersebut, yaitu dengan
ditemukan beberapa karya intelektual yang isi ceritanya
diislamkan, misalnya cerita Ramayana. Di masyarakat
Sasak berkembang cerita dengan tokoh Dewi Anjani, cerita
ini sangat mirip dengan cerita Ramayana.33
Kehadiran Islam di Lombok memberikan nuansa baru
bagi perkembangan tradisi tulis di masyarakat Sasak. Karya-
karya besar yang dihasilkan pada umumnya telah dimulai
dari abad ke-16 di pusat-pusat kota kerajaan dan di kota-
kota muslim lainnya. Berkembangnya budaya tulis dalam
masyarakat Sasak tidak dapat dilepaskan dari beberapa
faktor yang mempengaruhinya. Pertama, kehadiran Islam
sebagai sebuah ajaran, Islam adalah agama yang kaya akan
ajaran-ajaran agama dan budaya yang tidak mungkin dapat
ditransformasikan hanya dengan tradisi lisan. Ditambah
lagi keharusan untuk menyampaikan dan disebarkannya
kepada masyarakat.
Kedua, adanya dukungan yang kuat kalangan Istana.
Istana memfasilitasi segala kegiatan kaitanya dengan
penulisan karya intelektual muslim ketika itu. Karya–
karya mereka banyak yang bertemakan sejarah politik,
dan budaya, banyak ditulis di pusat-pusat kerajaan Islam
pada waktu itu. Antara lain yang dapat dikemukakan
sebagai contoh di sini, Babad Lombok misalnya, babad
ini naskahnya yang terakhir ditemukan berangka tahun,
1301 H, atau 1883 M. ditulis untuk pertama kalinya jauh
lebih awal dari tahun tersebut, boleh jadi telah ditulis
pada masa kejayaan kerajaan Islam. Jadi penulis terakhir

33 Tentang hal ini jelasnya lihat, V.J. Herman, et al., Bunga Rampai
Kutipan Naskah Lama dan Aspek Pengetahuannya, (Mataram, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Museum
Negeri Nusa Tenggara Barat, 1990/1991), h. 8-9.

216 | Dr. Jamaluddin, MA


kemungkinan melakukan salinan-salinan, yang kemudian
menambah data-data yang belum ada dalam babad
tersebut. Babad Lombok, terdiri dari dua bagian ada Babad
Lombok 1 dan Babad Lombok 2. selain itu ada juga Babad
Selaparang, Babad Suwung, Babad Praya, Babad Sakra, yang
semuanya merupakan sejarah politik di Lombok. Selain
tentang sejarah politik, yang paling penting adalah aturan-
aturan yang harus ditegakkan oleh negara dalam bentuk
undang-undang, kitab tersebut diberi nama Kotaragama34.
Di dalamnya berisi tentang aturan-aturan yang mengatur
kehidupan bermasyarakat yang harus ditaati oleh semua
pihak baik itu oleh raja sebagai pemimpin negara maupun
oleh rakyat sebagai abdi negara. Di pusat kerajaan juga
banyak para penulis yang menulis tentang agama dan lain
sebagainya.
Faktor yang ketiga adalah, faktor budaya. Faktor
budaya memegang peranan penting terhadap banyaknya
karya-karya intelektual muslim di Lombok. Di kalangan
masyarakat Sasak membaca naskah–naskah lontar sudah
menjadi tradisi, dan dikenal luas oleh masyarakat Sasak.
Tradisi membaca naskah lontar dalam masyarakat
Sasak disebut pepaosan. Naskah-naskah dibaca dengan
menggunakan lagu-lagu (ditembangkan). Ada enam
tembang yang cukup populer dikenal di kalangan
masyarakat Sasak, yaitu Durma, Sinom, Smarandana,
Pangkur, Dangdang (Dangdang Gula), dan Mas Kumambang.
Namun demikian dalam membaca kitab Serat Menak

34 Jelasnya lihat, Lalu Gde Suparman, et al., Pengungkapan Nilai


Budaya Naskah Kuno Kotaragama, (Mataram: Departemen pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Museum Negeri Propinsi
NTB, 1995/1996). Aslinya Lontar Kotaragama, menggunakan hurup Jejawen
(tulisan Sasak) dengan bahasa kawi. Angka tahun penulisan tidak ada.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 217


( Jawa) mengenal pula tembang-tembang seperti Kinanti,
Girisa, dan Pucung.35
Tradisi pembacaan naskah yaitu Pepaosan, Bakayat,
dan saer, merupakan kegiatan yang erat kaitannya dengan
upacara adat dan keagamaan. Pembacaan naskah-naskah
tersebut biasanya diadakan pada setiap malam jum’at.
Atau pada perayaan-perayaan acara-acara seperti, acara
pernikahan, atau khitanan anak, pembacaanya biasanya
diadakan di malam hari.
Di pulau Lombok ditemukan tidak kurang dari 2000-
an, hasil karya intelektual muslim. Sekarang ini yang
dikoleksi oleh Museum Negeri NTB tidak kurang dari
1200-an buah36, dan sekitar 800-an yang tersebar di luar
pulau Lombok, baik itu yang dikoleksi oleh museum-
museum di Nusantara maupun di Luar Negeri, khususnya
yang terbanyak adalah di Belanda, dimana pada waktu
penaklukan Lombok oleh Belanda pada tahun 1894-
sampai akhir penjajahannya 1942, tidak kurang dari 600-an
babad atau naskah yang dibawa ke Belanda, yang menurut
perkiraan yang dapat dikumpulkan sekarang adalah
sepertiga dari jumlah babad (naskah) yang ada, jadi yang
masih tersebar di masyarakat adalah tiga kali lebih banyak
dari yang dikoleksi oleh museum-museum tersebut.
Perkembangan agama Islam dan peradaban Islam
sangat dipengaruhi oleh perkembangan politik kerajaan
Islam di pulau Lombok. Ketika kerajaan-kerajaan Islam
di Lombok menunjukkan kemajuannya, maka Islam

35 V. J. Herman, et al., Bunga Rampai…, h. 10.


36 Jelasnya jumlah Naskah yang dikoleksi oleh Museum NTB, lihat
katalog yang disusun oleh, Dick van Der Meij, Koleksi Naskah Museum Negeri
Nusa Tenggara Barat Berdasarkan Daftar Spesiikasi Naskah Koleksi Museum
NTB, (1990), h. 1-24.

218 | Dr. Jamaluddin, MA


berkembang dengan pesatnya, dan pradaban Islam
demikian majunya. Sejak abad ke-16 sampai pertengahan
abad ke -18, merupakan masa kejayaan kerajaan Islam di
Lombok, perkembangan Islam dan kemajuan pradaban
Islam demikian pesatnya. Pusat perkembangannya berada
di kota-kota muslim, yaitu di bagian timur (seluruh
wilayah Selaparang), tengah (kerajaan Pejanggik), dan
utara (Bayan) dan sebagian kecil di barat daya. Pada
awal abad ke-18, pusat kota kerajaan Penjanggik dapat
diduduki oleh pasukan sekutu; Karang Asem Bali-Banjar
Getas, yaitu setelah terjadi pertempuran yang sengit
antara Pejanggik dengan Sekutu. Kekalahan Pejanggik
dan beberapa kerajaan kecil lainnya di Lombok Tengah,
telah mengakibatkan surutnya perkembangan Islam dan
pradaban Islam di Lombok Tengah. Kekalahannya dengan
tentara gabungan Bali-Banjar Getas, memaksa Pejanggik
untuk meninggalkan markas besarnya di Lombok
Tengah, ada yang menyeberangi laut ke Sumbawa dan
ada yang tetap bertahan di Lombok, yang kemudian
mengkonsolidasikan kekuatannya di Sakra.37 Sakra inilah
yang kemudian tetap berusaha untuk tetap eksis menjadi
transfomator tradisi intelektual muslim kepada generasi
Sasak di kemudian. Seiring dengan perpindahan Pejanggik
ke arah timur, maka muncul di Lombok Tengah (kerajaan
Banjar Getas). Kalaupun kerajaan ini lahir dari sebuah
konspirasi politik dengan raja Bali-Karang Asem namun
dalam perkembangannya Banjar Getas juga memiliki
sumbangan yang tidak kecil bagi perkembangan Islam di
Lombok Tengah.

37 Lalu Djelenga, Keris di Lombok, (Mataram: Yayasan Pustaka


Selaparang, 2000), h. 57.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 219


Pada pertengahan abad ke-18, dengan hancurnya
Selaparang, maka di bagian Timur, terjadi penyebaran
dan pemerataan peradaban, yang sebelumnya berpusat
di Selaparang, dengan hancurnya Selaparang maka
transformasi intelektual tidak lagi terjadi di pusat peme-
rintahan, melainkan menyebar ke desa-desa, mereka mem-
bentuk perkampungan-perkampungan masing-masing
dalam suatu komunitas yang lebih kecil. Jadi setelah
kerajaan Islam Selaparang dan Pejanggik runtuh, maka
yang melanjutkan tradisi atau yang menjadi jembatan
transmisi intelektual berada di bagian tengah, dan timur,
namun dalam komunitas-komunitas yang terbatas. Karena
kondisi perpolitikan yang tidak kondusif, dan negara yang
tidak stabil maka proses transformasi intelektual tidak
terjadi dengan sempurna.
B.2. Dinamika Politik Di Kerajaan Selaparang
Kerajan Islam Lombok yang sedang menikmati
masa-masa kejayaannya, tidak lepas dari sorotan negara
tetangganya. Di sebelah barat terdapat kerajaan Bali
(Klungkung) yang beragama Hindu yang tidak senang
melihat perkembangan Islam yang demikian pesatnya
di pulau Lombok, keinginan untuk mengembalikan
Lombok kepada kepercayaan semula tidak pernah padam.
Sementara di sebelah timur terdapat kerajaan Islam
Makasar yang menginginkan Lombok untuk tetap mejadi
kerajaan Islam dan bersama-sama untuk menghadapi
kekuatan luar yang ingin mengambil alih jalur perdagangan
di sepanjang pantai pesisir utara, dari pantai utara pulau
Jawa ke timur (Indonesia Timur) yang merupakan wilayah
kekuasaannya.

220 | Dr. Jamaluddin, MA


Klungkung sebagai bekas adipati (gubernur)
Majapahit atas Bali dan Lombok merasa terancam oleh
kemajuan agama Islam, dari arah barat (Pasuruan)
dari timur (Lombok), lebih-lebih Lombok masih tetap
dianggap wilayahnya. Dan karena ini, Klungkung selalu
ingin menegakkan kekuasaannya di Lombok.38 Kejayaan
Majapahit yang telah sirna ingin dibangun kembali
oleh penguasa Bali. Bali merasa dirinya sebagai pewaris
kerajaan Majapahit, berbagai simbol-simbol kejayaan
Majapahit ingin dihidupkan kembali. Sementara itu
kerajaan-kerajaan di Lombok telah memproklamirkan
diri sebagai kerajaan yang merdeka sejak Majapahit mulai
menunjukkan kelemahannya.
Sementara itu kerajaan Makasar di bawah Alauddin,
mempunyai kepentingan untuk membendung kekuasaan
(pengaruh) VOC di sepanjang pesisir pantai yang
merupakan kota Bandar yang dikuasai oleh kerajaan
kerajaan Islam yang berada di kepulauan jalur selatan
(Sunda Kecil), dalam hal ini maka Lombok, Sumbawa
dan Bima, menjadi penting keberadaannya, karena berada
pada posisi strategis dalam jalur perdagangan ketika itu.
Baik Bali maupun Makasar, masing-masing ber-
kepentingan terhadap kota-kota Bandar tersebut. Untuk
menghindari konlik antara keduanya mereka berusaha
menyelesaikannya dengan cara damai yaitu dengan
membuat traktat (kesepakatan-kesepakatan) bersama,
akan tetapi sebelum kesepakatan tersebut dibuat, maka
langkah awal yang dilakukan oleh Makasar adalah dengan
melakukan pendekatan-pendekatan kepada para raja-
raja yang menguasai bandar-bandar dagang tersebut.

38 Tim Penyusun Monograi Daerah NTB, Monograi …, h. 15.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 221


Pada tahun 1618 M Karaeng Morowangeng mengadakan
hubungan diplomatik dengan Sumbawa. Sejak itu Makasar
lebih mendominasi dan menanamkan pengaruhnya atas
Sumbawa, maka pada tahun 1623 M. Sumbawa langsung
di bawah Makasar. 39
Baru kemudian pada tahun 1624 M diadakanlah Traktat
Makasar-Bali (Alaudin-Saganing), di dalam traktat itu
ditentukan mengenai daerah perluasan pengaruh masing-
masing. Beberapa tahun kemudian Makasar menanamkan
pengaruhnya atas Bima, yaitu tepatnya tahun 1633 M.
Tujuh tahun kemudian Lombok di bawah pengaruh
Makasar (1640 M.).40 Dengan demikian hegemoni, Makasar
atas kota-kota Bandar tersebut sudah menjadi kenyataan.
Masuknya dominasi Makasar atas Lombok telah
memunculkan dua pengaruh besar terhadap Lombok,
Makasar dari Timur dan Demak ( Jawa) dari barat, yang telah
dimulai dari awal masuknya Islam di Lombok. Pengaruh
keduanya demikian besar terhadap pembentukan budaya
Sasak yang khas, hal ini dapat dilihat pada bagaimana
masyarakat Lombok memahami agamanya, yang hingga
kini masih tetap dipertahankannya.
Dengan adanya hubungan diplomatis Makasar–
Lombok di satu sisi telah membantu untuk menjaga
kestabilan di Lombok, karena berbagai persoalan yang
dihadapi oleh Selaparang juga akan menjadi tanggung
jawab Makasar.41 Di sisi lain hubungan tersebut telah

39 Ibid.
40 Ibid.
41 Keterlibatan Makasar dalam peperangan yaitu terjadi di Lombok
merupakan wujut nyata dari hubungan tersebut, mulai dari konlik antar
Selaparang-Bali, Selaparang-Arya Banjar Getas (adipati Selaparang), dan
pergerakan-pergerakan politik lainya, Makasar selalu dilibatkan oleh

222 | Dr. Jamaluddin, MA


menggiring Selaparang untuk terlibat dalam konlik
Makasar dengan VOC. Maka sejak itu secara tidak langsung
Lombok bersama Makasar berhadapan dengan VOC. Pada
waktu itu yang memerintah di Selaparang adalah Pemban
Meraja Mas Pakel. Beliau didampingi oleh patih-patihnya
bernama: Singa Yudha, Banda Yudha dan Arya Busing.42
Menurut berita dari Makasar, pada 30 Nopember 1648
M. Mas Pamayan, putra raja Selaparang (Meraja Mas Pakel)
menjadi raja di Sumbawa. Ini berarti pusat kerajaan berada
di Lombok (Selaparang). Kesimpulan ini diperkuat oleh
beberapa keterangan dalam tesis A.A. Cence, bahwa pada
saat itu Lombok dan Sumbawa satu kerajaan.43 Mengenai
sejak kapan Selaparang dan Sumbawa satu kerajaan,
kurang jelas.
Dalam Babad Lombok44 disebutkan bahwa Sumbawa
pernah tunduk di bawah Selaparang. Riwayat itu dimulai
dengan pemberitaan tentang raja Selaparang yang tidak
mempunyai anak laki, hanya seorang Perempuan, maka
baginda mengambil mantu ke Bayan. Semangkatnya
Prabu dimakamkan dekat masjid Selaparang dan
sebagai penggantinya ialah menantunya. Menantunya
itu sebelumnya sudah kawin dengan putri dari Langko
melahirkan seorang anak laki-laki bernama Raden Dipati
Prakosa. Sedang dengan putri Selaparang tidak berputra.

kerajaan Selaparang. Jelasnya tentang hal ini, lihat Sulistiyati, Babad


Selaparang, ( Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudyaan, 1993), h. 26-
63. dalam halaman-halaman tersebut peran Makasar sangat besar, bahkan
Patih Makasar yang memimpin peperangan ketika itu.
42 Ibid.
43 Tulisan A.A. Cence dikutip dari bukunya (tesis) De Kroniek van
Banjarmasin oleh Lalu Wacana, dalam Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat,
(Mataram: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2002), cet. ke-3, h. 45.
44 Lalu Wacana, Babad Lombok, h. 21.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 223


Disamping itu Raja yang asal Bayan itu juga kawin dengan
dengan seorang wanita dari Jurang Kowak dan mempunyai
anak bernama Raden Wiranata, 40 tahun lamanya baginda
memerintah di kerajaan Selaparang, negeri sangat aman
dan makmur. Pada masa pemerintahannya itu Sumbawa
juga takluk di bawah Selaparang. Perdagangan sangat
ramai, Baginda membuat pasar di sebuah Gili (pulau
antara Lombok dan Sumbawa). Semangkatnya baginda
dimakamkan di makam Tanjung (komplek II Makam
Selaparang). Kedua putranya tidak ada yang bersedia
menjadi raja, maka dirajakanlah putra raja dari Siren
(Sumbawa).45 Pada masa inilah kerajaan Islam Selaparang
mulai menunjukkan kelemahannya.
Sejak masuknya VOC di kawasan Indonesia Timur,
perairan di laut Makasar dengan Lombok dan Sumbawa
mulai tidak aman. Setiap saat pertempuran bisa terjadi
antara kapal VOC dengan kapal Makasar. Pada tahun
1633 M. Belanda mengepung pelabuhan Makasar. Sejak
itu permusuhan semakin sengit antara Makasar dengan
VOC. Akibatnya pun sangat dirasakan oleh Lombok dan
Sumbawa. Hubungan dagang antara kerajaan Selaparang
dengan VOC telah terjalin sejak awal. Di pasar-pasar
kota pedalaman banyak yang menjual barang-barang
komoditi yang dibutuhkan oleh Belanda, seperti lada.
Akan tetapi sejak Selaparang di bawah pengaruh Makasar,
hubungan kerajaan Selaparang dengan VOC mulai sedikit
terganggu.
Pada tahun 1618 M Sumbawa diduduki Makasar dan
pada tahun 1623 Sumbawa menjadi bagian dari Makasar.
Keadaan ini sangat menyulitkan VOC sehingga untuk

45 Tim Penyusun Monograi Daerah NTB, Monograi..., h. 15.

224 | Dr. Jamaluddin, MA


mengatasai keadaan itu, VOC menjalankan politik adu
domba. Untuk mengacau Bali, VOC mengirim Karaeng
Watampone (keluarga Arupalaka) ke Klungkung. Dari
Barat, Bali selalu berusaha menguasai Lombok. Hanya
aktivitasnya terbatas karena menghadapi kekacauan di
dalam negeri. Klungkung antara 1650-1686 M mengalami
kekacauan. 46
Untuk di Lombok dan Sumbawa terdapat dua versi
pendapat yang berbeda. Sumber berita yang pertama
tahun 1673 M pusat pemerintahan pindah dari Selaparang
ke Sumbawa. Tahun 1680 M Sumbawa bertanggungjawab
atas Lombok Timur (Selaparang). Sumber berita yang
kedua: bahwa pada tahun 1673 M Sumbawa mengadakan
kontrak yang pertama dengan VOC tahun 1674 M
Sumbawa melepaskan Selaparang. 47
Sejak perjanjian Bongoya 1667 M,48 supremasi Makasar
atas Selaparang dan Sumbawa menjadi tidak menentu.
Tetapi yang jelas sejak perjanjian Bongoya, Selaparang
dan Sumbawa menyatukan kekuatan dalam menghadapi
serangan dari luar. Begitu pula Makasar selalu berada di
belakang keduanya bila menghadapi serangan-serangan
dari Bali. Hal ini disebabkan oleh karena sejak perjanjian
Bongoya pahlawan-pahlawan Makasar memakai Lombok
dan Sumbawa sebagai pangkalan operasi militernya.
Dalam usaha mengacau kekuatan VOC yang beroperasi di

46 Ibid, h. 16.
47 Lalu Wacana, Sejarah Daerah…, h. 55.
48 Jelasnya tentang hal ini, serta implikasinya terhadap kerajaan-
kerajaan sekitar, lihat, G.J. Ressink, Raja dan Kerajaan yang merdeka di
Indonesia 1850-1910: Enam Tulisan Terpilih, ( Jakarta: Djambatan,1987), h. 14-
15.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 225


Lombok, terkenal tiga bangsawan Makasar, Daeng Tollelo,
Karaeng Jenerika, dan Karaeng Pemelikan.49
Kemunduran supremasi Goa atas Lombok dan
Sumbawa, menyebabkan Bali menggiatkan usahanya
menguasai Lombok. Tahun 1674 M Selaparang pertama
kali secara langsung mengadakan kontrak dengan VOC.
Perjanjian diadakan di benteng Rotterdam di Makasar. Yang
mewakili Selaparang50 ialah seorang regent bernama Nene’
Juoro Saparang. Pada Tanggal 16 Maret 1675 M diadakan
lagi perjanjian dengan VOC dari Pihak VOC hadir: 1).
Jan Framsen Holstein; 2). Groeit Coster; 3). Coustrad
van Breitren. Hasil persetujuan, Selaparang mengakui
kekuasaan VOC dan tiap tahun Selaparang menyerahkan
16 pikul (@ 60 kg) beras,51 sama artinya dengan kurang
lebih satu ton beras.
Memperhatikan perjanjian di atas itu menunjukkan
Lombok (kerajaan Selaparang) secara politis diperhitungkan
oleh kekuatan luar. Demikian juga di kerajaan-kerajaan
yang ada di Lombok masih mengakui supremasi Selaparang
sebagai pusat kerajaan, paling tidak ini berlanjut sampai
paruh pertama abad ke-18.

49 Tim Penyusun Monograi Daerah NTB, Monograi…, h.16.


50 Tahun 1675 Selaparang diperintah oleh tiga orang: 1) Raden
Abdi Wirasantana, 2) Raden Kaisania Kosing, 3). Arya Busing. Tidak ada
penjelasan tentang tugas masing-masing mereka ini, apakah mereka
menjadi raja di Selaparang saja atau di Selaparang dan kerajaan-kerajaan
yang berada dibawah kekuasaan Selaparang, ataukah ketiganya yang
mengatur pemerintahan di Selaparang dan berada dibawah satu komando
seorang raja.
51 Tim Penyusun Monograi Daerah NTB, Monograi…, h. 16.

226 | Dr. Jamaluddin, MA


B. 3. runtuhnya kekuasaan Selaparang
Setelah seluruh wilayah Pejanggik dikalahkan
oleh tentara sekutu Bali dan Banjar Getas, maka kini
penyerangan diarahkan kepada kerajaan yang lain seperti:
Kerajaan kecil, Sokong dan Bayan di sebelah utara Gunung
Rinjani diserang dan ditaklukkan. Langko suatu kerajaan
sebelah utara Pejanggik, di bawah pemerintahan Raja
Suryanata, menyerah setelah mengadakan perlawanan
yang sengit. Tentara sekutu terus mengarahkan serangan
ke Suradadi. Kerajaan Suradadi pun dapat dikalahkan
dalam tempo singkat saja.52
Setelah Langko dan Suradadi dikalahkan, lalu tentara
sekutu menuju serangannya di Parwa. Parwa dikepung
dari segala penjuru. Dua tahun lamanya peperangan tak
henti-hentinya. Serangan sekutu semakin diperhebat.
Melihat peperangan yang tak hentinya ini raja Parwa pun
mura (mokhtah). Pimpinan kini dipegang oleh Pangeran
Sangupati. Di bawah pimpinan Sangupati rakyat Parwa
mengadakan perlawanan dengan hebatnya. Sehingga
perang sudah berjalan tiga tahun tanpa ada hentinya.
Pertanian terbengkalai, hewan banyak yang sakit dan
mati. Pohon pun meranggas dan mati, kemarau sangat
panjangnya. Rakyat Parwa kekurangan air dan makanan.
Pangeran Sangupati segera mengirim utusan ke Selavawis
(Selaparang) untuk meminta bantuan tetapi bantuan tak
dapat diberikan, karena Selaprang pun bersiap untuk
menanti serangan sekutu. Tak berapa lama Sangupati
mangkat dan dimakamkan di Parwa. Parwapun jatuh
ketangan sekutu.53

52 Ibid.
53 Ibid.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 227


Setelah di bagian barat, tengah, dapat ditaklukkan,
maka kemudian pasukan diarahkan ke Selaparang. perlu
dijelaskan di sini pada saat penyerangan tentara sekutu ke
Pejanggik, raja Selaparang sedang menderita sakit, dan
kemudian meninggal dunia.54 Dalam Babad tersebut tidak
disebutkan siapa yang mengganti beliau sebagai raja. Akan
tetapi untuk persiapan menghadapi pasukan sekutu sudah
demikian matengnya.
Pada saat penyerangan tentara sekutu, sekutu dibantu
oleh juga Tapon. Sementara Selaparang banyak dibantu oleh
demung-demung dan raja-raja seperti Bayan, Sembalun,
Mamben, Kalijaga. Sehingga pada penyerangan tersebut
pasukan sekutu gagal. Pada penyerangan berikutnya juga
gagal, karena persenjataan mereka pada malam hari dapat
diambil oleh prajurit Selaparang, karena sudah beberapa
kali gagal maka mereka kembali ke Memelak dan
menunggu kiriman senjata dan pasukan dari Karangasem.
Sesudah beberapa tahun kemudian segalanya siap, maka
mereka melakukan penyerangan ke Selaparang. Karena
Selaparang dibantu oleh Bayan, serangan tentara sekutu
dapat dipatahkan.55
Karena selalu gagal, maka Gusti Kaba dan Sudarsana
yang melaporkan kekalahannya selanjutnya diperintah
rajanya agar meminta bantuan prajurit dan senjata ke pulau
Bali. Setelah lima bulan kemudian Karangasem bersiap
siaga untuk menggempur Selaparang. Prajurit Bali yang
dalam jumlah besar mengepung Selaparang. pertempuran
berlangsung sepanjang hari. Selaparang kalah dalam hal
persenjataan. Karena tidak menginginkan korban yang
lebih banyak, maka raja Selaparang bermusayawarah
54 Sulistiati, Babad Selaparang, h. 165-167.
55 Ibid, h.172-204.

228 | Dr. Jamaluddin, MA


dan memutuskan untuk menyerah dengan mengibarkan
bendera putih. 56
Lebih lanjut dalam Babad Selaparang disebutkan,
setelah menyerah raja Selaparang bersama Gusti Kaba
dan Sudarsana, menghadap ke raja Karangasem, yang
disambut dengan upacara kebesaran. Ketika hendak
kembali raja Selaparang diberi hadiah berupa keris
dan pakaian, demikian juga para patih dan punggawa.
Pemerintahan kerajaan Selaparang tetap dipegang oleh
raja lama dengan status merdeka hanya diminta setelah
cukup tiga tahun supaya Selaparang menyerahkan upeti
kepada Karangasem.
Setelah beberapa tahun kemudian, sekitar tahun 1723-
1725 M. kerajaan Selaparang yang dibantu oleh Bayan, dan
Sumbawa, melakukan pemberontakan menyerbu markas
Karangasem yang ada di Pringgabaya, dan menyerang
Arya Banjar Getas. Akan tetapi Arya Banjar Getas gagal
dibunuh oleh pasukan Selaparang.57 Beberapa sumber
menyebutkan bahwa Selaparang terakhir dipimpin oleh
raja yang dari Sumbawa, yang kemudian raja tersebut
kembali ke Sumbawa. Sejak itulah di Selaparang tidak
ada yang dirajakan, maka dengan sendirinya kerajaan di
Selaparang dipimpin oleh adipati, sehingga lebih tepat
Selaparang ini disebut sebagai kedemungan. yang lambat
laun ini juga semakin tidak eksis.
Setelah penaklukan Lombok selesai, antara Banjar
Getas yang telah mengalahkan Pejanggik ia bergelar
Surengrana, mengadakan perjanjian dengan Anak Agung
Ketut Karangasem. Mereka bersumpah bahwa dalam

56 Ibid, h. 210-212.
57 Lalu Djelenga, Keris di Lombok, h. 73.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 229


segala hal akan selalu bersama-sama dalam menghadapi
berbagai kemelut yang kemungkinan yang akan terjadi
di negeri masing-masing. Batas kedua daerah kekuasaan
masing-masing ditetapkan. Anak Agung Ketut Karang
asam memperoleh bagian barat Pulau Lombok dan Banjar
Getas58 bagian timur. Batas antara kedua wilayah ialah:

58 Berdirinya kerajaan Banjar Getas, dalam beberapa sumber


menyebutkan (tahun 1692-1843 M), pendapat ini, berarti menghitung
berdirinya kerajaan ini sejak Banjar Getas mulai melakukan penyerbuan ke
kerajaan pejanggik. Kalau berdirinya setelah terjadinya pembagian wilayah
dengan Karangasem, maka kerajaan ini berdiri pada awal-awal abad ke-18
M. Pusat kerajaan Banjar Getas adalah Mamela’. Kerajaan Banjar Getas
merupakan kerajaan Islam dan rakyatnya diwajibkan untuk menjalankan
syari’at Islam. Pemerintahan tidak stabil karena banyak kekacauan. Kerajaan
ini terus menerus bergolak. Semasa pemerintahannya tercatat kekacauan:
Serangan Ratu Bayan dan Ratu Buluran dan kedua Raja itu menyerbu
Pringgabaya. Serangan Ratu Kadinding, Pemberontakan Selaparang.
Pemberontakan Datu Semong. Beliau menghasut Ketangga dan orang
Selaparang. Datu Semong tewas dalam pertempuran. Kalaupun berbagai
serangan dapat dipatahkan, tetapi paling tidak serangan-serangan tersebut
sangat potensial untuk menghalangi gerak maju kerajaan tersebut. Hampir
selama pemerintahan Banjar Getas kekacauan terus terjadi. Sehingga tidak
ada kesempatannya membangun. Seorang anak perempuanya yang bernama
Denda Wiracandra dikawinkannya dengan Panji Langko. Menantunya
diberi berdiri sendiri. Wilayah kekuasaannya sebagian sebelah utara dan
timur desa Mujur, Marong, Ganti, terus ke laut sebelah timur. Seorang
anaknya laki-laki bernama Raden Jurah diberi memerintah di Batukliang.
Seorang anaknya lagi bernama Raden Ronton tinggal di Memela’. Setelah
Banjar Getas meninggal beliau diganti oleh Raden Ronton. Raden Ronton
memindahkan pusat pemerintahan ke hutan Berora yaitu Praya sekarang.
Sepeninggal Raden Ronton, diganti oleh putranya bernama Raden Lombok.
Raden Lombok kawin dengan putri dari kerajaan Sokong Perwira. Dan
semangkatnya diganti oleh anaknya, bernama Dene’ Bangil. Di zaman Dene’
Bangil terjadi pemberontakan Demung Selaparang yang dibantu bajak laut,
yang juga dapat dipatahkan. Dene’ Bangli diganti oleh putranya bernama
Raden Mumbul. Semangkat Raden Mumbul, beliau diganti oleh putranya
bernama Raden Wiratmaja. Di zaman pemerintahan Raden Wiratmaja
daerahnya banyak diambil oleh Bali bahkan diancam akan dikenai upeti

230 | Dr. Jamaluddin, MA


dari Sweta ke Penenteng Aik, Kumbung sampai ke selatan
batas desa Kuripan dengan Darek, Ranggagata, Pelambek
hingga ke Laut Hindia. Kerajaan Sokong Perwira dan
kerajaan Bayan diberi status berdiri sendiri.59
Dengan demikian sejak pertengahan abad ke-18
(banyak yang menyebutkan tahun 1740 M.) runtuhnya
kerajaan Islam Selaparang di Timur, maka muncul kerajaan
Islam Banjar Getas di Lombok Tengah, yang berakhir
sampai 1843 M. dan Kerajaan-kerajaan Bali di Lombok
Barat. Kerajaan Bali-Sasak berakhir sampai tahun 1894 M.
yang diawali dengan berbagai penyerangan-penyerangan
oleh masyarakat Lombok. Perang Praya I (Congah Praya)
tahun 1839-1841, Perang Lombok (perang Praya II) tahun
1891-1894 M.60

C. Catatan akhir
Desa Selaparang adalah desa yang kaya dengan
peninggalan-peninggalan arkeologis. Tinggalan-tinggalan
tersebut merupakan bukti-bukti sejarah dari peninggalan
kerajaan Selaparang. Khususnya makam, di Selaparang
ditemukan makam-makam kuno di banyak titik, setidaknya
terdapat tiga tempat yang dipercaya sebagai makam Raja
Selaparang, yaitu, Makam Selaparang, Makam Tanjung,
Makam Pesabu’an.

sehingga timbullah Perang Praya I. Dalam Perang itu Raden Wiratmaja


terbunuh di hutan Sundil. Sedangkan putranya bernama Raden Wiracandra
tewas dalam pertempuran. Sejak itulah berakhir kerajaan Banjar Getas
sekitar tahun 1843 M. Tim Penyusun Monograi Daerah NTB, Monograi
Daerah…, h. 26-27.
59 Ibid, h. 165-167.
60 Tentang perang Praya I dan perang Praya II (perang Lombok) secara
rinci dapat dilihat pada Babad Praya dan Babad Sakra.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 231


Hubungan Selaparang dengan daerah-daerah di
Nusantara diketahui dari tipologi nisan yang ditemukan
di makam Selaparang, yaitu Jawa Timur, Aceh, Madura,
dan Makasar memberikan gambaran bahwa kerajaan
Islam Selaparang di Lombok memiliki ikatan yang sangat
erat dengan Jawa, Aceh, Madura dan Makasar. Kuatnya
pengaruh khususnya Jawa dan Makasar telah dimulai sejak
awal-awal masuknya Islam di Lombok. Hal ini diperkuat
oleh informasi yang ada dalam naskah Babad Lombok yang
menjelaskan bahwa Sunan Prapen dalam melakukan misi
dakwahnya selain dengan prajurit, beliau dibantu oleh
beberapa orang patih, antara lain: Patih Mataram, Arya
Kertasura, Jaya Lengkara, Adipati Semarang, Tumenggung
Surabaya, Tumenggung Sedayu, Tumenggung Anom
Sandi, Ratu Madura dan Ratu Sumenep. Sedangkan Aceh
dalam bentuk komunikasi atau hubungan diplomatis telah
terjalin sejak awal seiring dengan meluasnya kekuasaan
Melayu di Nusantara. Dengan Makasar telah dimulai
komunikasi dengan kerajaan Selaparang pada awal-awal
abad ke-17.
Kerajaan Selaparang didirikan oleh Rangkesari pada
abad ke-16, yang pada awalnya kerajaan ini berada di
Lombok (Kayangan), yang atas usul patihnya kerajaan
ini di pindah ke Selaparang. Di Selaparang kerajaan ini
mencapai puncak kejayaannya dan memiliki peranan yang
krusial bagi perkembangan Islam, perdagangan dan politik
di Nusantara. Dengan terjalinnya hubungan kerajaan-
kerajaan di Lombok dengan kerajaan di Nusantara lainnya,
maka hal ini telah membawa sebuah perubahan baru bagi
perkembangan Islam di Lombok, yang telah membentuk
identitas intelektual bagi umat Islam ketika itu bahkan di
kemudian. Istana kerajaan menjadi pusat pengembangan

232 | Dr. Jamaluddin, MA


intelektual Islam atas perlindungan resmi penguasa, yang
kemudian memunculkan tokoh-tokoh ulama intelektual,
tokoh-tokoh ini memiliki jaringan yang luas, bukan hanya
di dalam, melainkan sampai ke daerah lainnya. Selain itu
kota sebagai pusat ekonomi mempunyai kemampuan
untuk mendukung kegiatan yang berkaitan dengan
pengembangan Islam secara politik, lebih-lebih lagi secara
inansial. Relatif baiknya keadaan ekonomi perkotaan
memungkinkan terselenggaranya pembangunan masjid,
dan pusat-pusat pengajaran Islam, kegiatan-kegiatan
Islam, dan menimbulkan kemampuan untuk melakukan
perjalanan dakwah ke wilayah-wilayah lainnya. Dengan
berkesinambungannya hubungan dan kedatangan
pedagang-pedagang muslim dan orang-orang muslim
lainnya yang sengaja bermigrasi untuk mengembangkan
Islam, kota pelabuhan dan kota pusat kerajaan menjadi
dinamis yang dengan gagasan-gagasan baru tentang Islam
yang kemudian menyebar ke pelosok-pelosok pedalaman.
Sejak abad ke-16 sampai pertengahan abad ke -18,
merupakan masa kejayaan kerajaan Islam di Lombok,
perkembangan Islam dan kemajuan pradaban Islam
demikian pesatnya. Pusat perkembangannya berada
di kota-kota muslim, yaitu di bagian timur (seluruh
wilayah Selaparang), tengah (kerajaan Pejanggik), dan
utara (Bayan) dan sebagian kecil di barat daya. Pada
awal abad ke-18, pusat kota kerajaan Penjanggik dapat
diduduki oleh pasukan sekutu; Karang Asem Bali-Banjar
Getas, yaitu setelah terjadi pertempuran yang sengit
antara Pejanggik dengan Sekutu. Kekalahan Pejanggik
dan beberapa kerajaan kecil lainnya di Lombok Tengah,
telah mengakibatkan surutnya perkembangan Islam dan
pradaban Islam di Lombok Tengah.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 233


Pada pertengahan abad ke-18, dengan hancurnya
Selaparang, maka di bagian Timur, terjadi penyebaran
dan pemerataan peradaban, yang sebelumnya berpusat
di Selaparang, dengan hancurnya Selaparang maka
transformasi intelektual tidak lagi terjadi di pusat peme-
rintahan, melainkan menyebar ke desa-desa, mereka mem-
bentuk perkampungan-perkampungan masing-masing
dalam suatu komunitas yang lebih kecil. Jadi setelah
kerajaan Islam Selaparang dan Pejanggik runtuh, maka
yang melanjutkan tradisi atau yang menjadi jembatan
transmisi intelektual berada di bagian tengah, dan timur,
namun dalam komunitas-komunitas yang terbatas. Karena
kondisi perpolitikan yang tidak kondusif, dan negara yang
tidak stabil maka proses transformasi intelektual tidak
terjadi dengan sempurna.

234 | Dr. Jamaluddin, MA


Daftar PUStaKa

Achadiati, Peradaban Manusia Zaman Mataram Kuna,


( Jakarta: Gita Karya, tt).
Adiwimarta, Sri Sukesi, Kamus Bahasa Indonesia,
( Jakarta:Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, 1983).
Ali, Jakub etal.,Perubahan Nilai Upacara Tradisional pada
Masyarakat Pendukunganya di Daerah Nusa Tenggara
Barat, ( Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI, 1998).
Ambary, Hasan Muarif, Menemukan Peradaban: Jejak
Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, ( Jakarta:
Logos Wacana Ilmu,1998).
________,Kebijakan penelitian Arkeologi di Indonesia yang
dilaksanakan oleh Pusat Arkenas, makalah lepas, tidak
terbit.
________,Arkeologi Islam, Makalah yang disampaikan tgl 23
Pebruaridi IAIN Syahid, Fak Adab, 1994.
Anom, I.G.N., dkk, Masjid Kuno Indonesia, ( Jakarta: Dirjen
Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1998/1999).
Azra,Azyumardi,Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana
dan Kekuasaan, (Bandung: Remaja Rosdakarya,2000).
Bagus,Loren,Kamus ilsafat, ( Jakarta: Gramedia, 2000).
Buchari, Epigrai dan Historiograi Indonesia, dalam Historiograi
Indonesia Sebuah Pengantar,( Jakarta: PT Gramedia
Utama, 1995).

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 235


de Graaf, H.J.,Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan
Senapati,( Jakarta: Pustaka Graitipers dan KITLV, 1985),
Cet. ke-1. Jilid .3.
_______, Lombok in de 17eEeuw,(Djawa, XXI. Tahun,
1941).
de Graaf, HJ. dan Th.G.Th.Pigeaud, Kerajaan-kerajaan
Islam Pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad ke-
15 dan ke-16, terj. ( Jakarta: Pustaka Graitipers dan
KITLV, 1986), Cet. ke-2. Jilid 2.
Deetz, James, Invitation to Archaeology, (New York: The
Natural Historic Press, 1967).
Djelenga, Lalu, Keris di Lombok, (Mataram: Yayasan Pustaka
Selaparang, 2000).
Fagan, Brian M., Introductory Reading in Archaeology,
(Boston: Little Brown and Company, 1970).
G.J.Ressink, Raja dan Kerajaan yang merdeka di Indonesia
1850-1910: Enam Tulisan Terpilih, ( Jakarta:
Djambatan,1987).
Gede Parman, Titi Tata Adat Perkawinan Sasak dan
Kepembayunan Candrasengkala (Kekise Lombok),
(Mataram: Lembaga Pembakuan dan Penyebaran
Adat Sasak,1998).
Gibb, H.A.R.,Modern Trends in Islam, (Chicago: University
of Chicago Press,1945).
Handayani, Usri Indah, et al, Peninggalan Sejarah dan
Kepurbakalaan Nusa Tenggara Barat, (Mataram:
Depdikbud Propinsi Nusa Tenggara Barat,
1997/1998).

236 | Dr. Jamaluddin, MA


Haris, Tawalinuddin Masuk dan Berkembangnya Islam di
Lombok Kajian Data Arkeologis dan Sejarah, dalam
Kanjian: Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi Daerah NTB,
(Lombok Timur: Yayasan Lentera Utama, 2002).
_______, Laporan Tehnis: Pemugaran Mesjid Kuno Rembitan
Lombok-NTB, (Mataram: Proyek Pemugaran dan
Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala
Nusa Tenggara Barat, 1980/1981).
Hourani, Albert H. dan S.M. Stern (ed), The Islamic City,
(Oxford: Bruno Cassirer & The University of
Pennsylvania Press,1970).
Jamaluddin, Islam Sasak: Sejarah Sosial Keagamaan di
Lombok (Abad XVI-XIX),( Jakarta: Konsentrasi
Sejarah dan Peradaban Islam Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004).
_______, Rekonstruksi Kerajaan Selaparang: Analisis
Arkeologi Sejarah,( Jakarta: Puslitbang Lektur, 2005).
_______, Pertumbuhan Dan Perkembangan Islam Di Lombok
Selatan Pendekatan Arkeologi Sejarah, (Mataram:
Lemlit, 2006).
Jelenga,Lalu, Keris di Lombok, (Mataram: Yayasan Pusaka
Selaparang, 2000).
JJ.Rass, Hikayat Banjar, (Bibliotteca Indonesia,KITLV, The
Haque-Martinus Nijhoff, 1968).
Leur, J.V.van, Indonesian Trade and Society, (Bandung:
Sumur Bandung, 1960).
Magetsari, Nurhadi, Kemungkinan Agama Sebagai Alat
Pendekatan Dalam Penelitian, dalam Pertemuan
Ilmiyah Arkeologi, Cibulan 21-25 Pebruari 1977,

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 237


Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan
Nasional, ( Jakarta: PT Rora Karya, 1980).
Meighan, Clement W., Aerchaeologi An Introduction,(Califor
nia:Chandler Publishing Company, tt).
Meij, Dick van der, Koleksi Naskah Museum Negeri Nusa
Tenggara Barat berdasarkan Daftar Spesiikasi Naskah
Koleksi Museum NTB, 1990, tt.
Notosusanto,Hubungan Erat antara Disiplin Arkeologi dan
disiplin Sejarah, Majalah Ilmu-Ilmu sastra Indonesia, No:
1 April, 1963.
Perret, Daniel dan Kamaruddin AB.,Razak, Batu Aceh: Warisan
Sejarah Johor, ( Johor Bahru: EFEO dan Yayasan Warisan
Johor, 1999).
Pijper, G.F.,Empat Penelitian Tentang Agama Islam Di Indonesia
1930-1950, ( Jakarta: UI Pres, 1992).
Raba, Manggaukang dan Asmawati, Fakta-Fakta Tentang
Nusa Tenggara Barat; Lombok dan Sumbawa, (Mataram:
Yayasan Pembangunan Insan Cita, 2002).
Smith, Jasson W., Foundations of Archaeologi, (London:
Glencoe Press, 1976).
Sodrie, Cholil dan Sugeng Rianto, Arkeologi dan Sejarah
Kebudayaan Islam, Dialektika Budaya, Fakultas Adab
IAIN Gunung Djati, Vol IX/ 2002.
Soejono, R.P. (ed.),Sejarah nasional Indonesia I, ( Jakarta:
Balai Pustaka, 1993).
Spaulding, Albert C.,Archaeological Dimension, dalam
Essays in The Science of Culture: In Honor of Leslie
White, (New York, 1960).

238 | Dr. Jamaluddin, MA


Stutterheim, W.F., Een Inscriptie Van Lombok,(Djawa, XVII,
1& 2. tahun 1937).
Sulaiman, Satyawati, et al.,Lokakarya Arkeologi tahun 1978
Jogyakarta 21-26 Pebruari 1978, ( Jakarta: Puslit
Arkenas, 1982).
Sulistiyati, (translator), Babad Selaparang, ( Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1993).
Suparman, Lalu Gde, et al., Pengungkapan Nilai Budaya
Naskah Kuno Kotaragama, (Mataram; Departemen
pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral
Kebudayaan Museum Negeri Propinsi NTB,
1995/1996).
Suryo,Djoko, Ekonomi Masa Kesultanan dalam Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam: Asia Tenggara, ( Jakarta:
PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, tt).
T.B. Bottomore, Ellites and Society, A Pelican Book,(Penguin
Book ltd. Great Britain, 1970).
Tanudirjo, Daud Aris, Retrospeksi Penelitian Arkeologi di
Indonesia, Dalam PIA V,( Jakarta: Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional, 1993/1994).
Taylor, Walter W.,A Study af Archaeology, Memoar No. 69,
American Anthropologist 50,(3) (part 2), 1948.
Thomas, David Hurst, Archaeology, (Chicago: Hoit
Riverhart and Winston, 1989).
Tim Penyusun, Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat: Mite
dan Legenda, ( Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1995), cet. 2.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 239


Tim Penyusun, Monograi Daerah Nusa Tenggara Barat,
( Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan
Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1977).
Tjandrasasmita, Uka, Penelitian Arkeologi Islam di Indonesia
dari Masa ke-Masa, ( Jakarta: Menara Kudus, 1999).
________, Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial bagi Pengembangan
Arkeologi Indonesia, Pertemuan Ilmiyah Arkeologi,
Cibulan 21-25 Pebruari 1977, Pusat Penelitian
Purbakala dan Peninggalan Nasional, ( Jakarta:PT
Rora Karya, 1980).
________, Sejarah Nasional Indonesia, III: Jaman
Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-
kerajaan Islam di Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka,
1993).
________, Pertumbuhan dan perkembangan Kota-Kota Muslim
di Indonesia Dari Abad XIII sampai XVIII Masehi,
(Kudus: Penerbit Menara Kudus, 2000).
________, Pertumbuhan dan perkembangan Kota-kota Muslim
di Indonesia dari Abad XIII Sampai XVIII, (Kudus:
Menara Kudus, 2000).
Tugiyono, KS, et al., Peninggalan Situs Dan Bangunan
Bercorak Islam di Indonesia, ( Jakarta: PT. Mutiara
Sumber Widya, 2001), cet. ke-1.
Tugiyono, KS,et al., Peninggalan Situs dan Bangunan Bercorak
Islam Di Indonesia, ( Jakarta: PT.Mutiara Sumber
Widya,2001), cet. ke-1.
V.J. Herman. et al., Bunga Rampai Kutipan Naskah Lama
dan Aspek Pengetahuannya, (Mataram, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal
240 | Dr. Jamaluddin, MA
Kebudayaan Museum Negeri Nusa Tenggara Barat,
1990/1991).
Wacana, Lalu, Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat, (Mataram:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2002),
cet. ke-3.
Wacana, Lalu, (translator),Babad Lombok, ( Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1979).
Wahba, Magdi, A Dictionary of Literary Term English- French-
Arabic, (Birut:Librairie Du Liban, 1974).
Yatim, Mohd.Othman, Batu Aceh: Early Islamic Grafestones in
Peninsular Malaysia, (Kuala Lumpur:Museum Association of
Malaysia, 1987).

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 241


tentang PenULIS

JAMALUDDIN Lahir di Kembang Kerang,


Lombok Timur, 23 Juli 1974. dari keluarga H.
Ismail dan Hj. Zakiyah, anak keempat dari
lima bersaudara. Menikah tahun 2001 dengan
Siti Nurul Khaerani, dikaruniai putra-putri:
M. Qusaiyi al-Jamali; Yumna Annisa’ al-Jamali; Zaira
Annisa al-Jamali.
Sejak tahun 2000, menjadi dosen di UIN Mataram
(waktu itu masih STAIN Mataram), selain mengajar pada
jenjang S1 juga mengajar di Program Pascasarjana, dan
beberapa perguruan tinggi Swasta. Ia mengampu mata kuliah
Sejarah Peradaban Islam, Sejarah Sosial Pendidikan Islam,
Sirah Nabawiyah, Filologi Islam, dan Metodologi Penelitian.
Pernah menjabat sebagai Pembatu Ketua I bidang Akademik
pada STAI Darul Kamal NW Lombok Timur dari tahun
2007-2015 dan sebagai Direktur Pascasarjana IAIN Mataram
(2011-2015).
Setelah tamat dari STAIN Mataram tahun, 2008, empat
tahun kemudian melanjutkan pendidikan Magisternya pada
Pascasarjana UIN Jakarta, dan tamat tahun 2004. Pada tahun
yang sama melanjutkan pendidikan pada perguruan tinggi
yang sama dengan tetap mengambil konsentrasi Sejarah dan
Peradaban Islam dan tamat tahun 2010. Pada tahun 2007
pernah juga belajar metodologi sosial keagamaan di Sekolah
Pascasarjana UGM, program kerjasama kementerian agama
dengan CRCS-SPS UGM.

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 243


Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Himpunan
Mahasiswa Nahdlatul Wathan (HIMMAH NW) tahun
1999-2002 ini, sampai sekarang masih aktif sebagai wakil
ketua PWNW NTB sejak tahun 2012. Selain kesibukannya
mengajar di kampus dan meneliti, juga aktif di Dewan Riset
Daerah Nusa Tenggara Barat, sebagai Sekretaris Umum
(2016-2020). Bersama para akademisi senior dari beberapa
Perguruan Tinggi di NTB dan para tokoh-tokoh masyarakat
dan Tuan Guru, juga tergabung dalam Tim Penyelaras
Kebijakan Gubernur (2015-2018). Mantan Ketua Dewan
Racana Pramuka IAIN Sunan Ampel (sebelum alih status
menjadi STAIN Mataram) tahun 1996-1997, sekarang aktif
juga sebagai asessor sekolah dan Madrasah (SMA/MA)
yang ada di Nusa Tenggara Barat. Selain kesibukannya
melakukan penelitian-penelitian di Dewan Riset Daerah,
juga melakukan penelitian-penelitian naskah-naskah kuno di
Lombok, bahkan sekarang bersama Puslitbang Lektur masih
berlanjut (sejak tahun 2007) untuk melakukan digitalisasi
naskah-naskah kuno, kegiatan ini sebagai bentuk usaha
penyelamatan tinggalan-tinggalan khazanah intelektual
masyarakat Sasak.
Beberapa pengalaman yang telah digeluti dalam
organisasi kependidikan, keagamaan, dan kemasyarakatan
antara lain; sebagai Ketua Masyarakat Pernaskahan
Nusantara (Manassa) NTB sejak tahun 2003. Ketua pada
Lembaga Kajian Sejarah dan Peradaban Islam (LKASPI) sejak
tahun 2002. Di luar kesibukan selaku dosen tetap FITK IAIN
Mataram, juga mengelola sebuah perguruan tinggi swasta
(STAI Darul Kamal NW Kembang Kerang) yang dirintisnya
bersama keluarga besarnya di kampung halamannya, sejak
tahun 2007. Pengalaman penelitian yang pernah dilakukan
adalah (1) selaku Ketua Tim dalam penelitian “Sejarah Kota

244 | Dr. Jamaluddin, MA


Mataram”, yang dibiayai oleh Pemda Kota Mataram pada
tahun 2011, (2) Ketua Tim dalm penelitian “Peran Syeikh
Zainuddin dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia”,
yang dibiayai oleh Bapeda Provinsi NTB pada tahun 2012,
(3) Sebagai anggota Tim dalam penelitian “Radikalisme di
Pondok Pesantren Nusa Tenggara Barat”, yang dibiayai oleh
Lemlit IAIN Mataram pada tahun 2012, (4) Ketua Tim dalam
penelitian “Sejarah Kesultanan Sumbawa: Analisis Sejarah
Sosial”, yang dibiayai oleh Puslitbang Lektur Kemenag RI
pada tahun 2012, (5) Peneliti utama dalam penelitian mandiri
“Sejarah Biograf dan Pemikiran TGH. Abdul Gafur (1754-
1904) pada tahun 2013, (6) Peneliti utama dalam penelitian
“Perubahan Sikap Masyarakat Sasak terhadap Tuan Guru”,
yang dibiayai Lemlit IAIN Mataram pada tahun 2014, dan (7)
Peneliti utama dalam penelitian “Islam Bayan: Sebuah Analisis
Arkeologi Sejarah”, yang dibiayai Lemlit IAIN Mataram pada
tahun 2015. 8. Saat ini sedang dalam tahap penyelesaian
beberapa penelitian terhadap peninggalan-peninggalan Islam
di Lombok juga. Beberapa buku yang sudah diterbitkan antara
lain: Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun 1740-1933 (Studi
Kasus Tuan Guru) tahun 2011, Sejarah Kesultanan Sumbawa
(Ketua) tahun 2013, bersama tim menulis buku Perjuangan
TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid (2017), Sejarah Islam
Lombok (Abad IVI-XX), tahun 2018,dan ada beberapa buku
lainnya yang sedang proses penerbitan. Aktif juga menulis
di media koran lokal maupun nasional. Beberapa tulisannya
telah terbit di jurnal-jurnal nasional dan internasional.
Sejumlah kegiatan ilmiah dan pelatihan profesional yang
pernah digeluti hingga ke Luar Negeri yaitu (1) Mengikuti
Workshop Desain Pembelajaran Dosen yang diselenggarakan
oleh IAIN Mataram,tahun 2005, (2) Workshop Metodologi
Penelitian yang diselenggarakan oleh Lemlit IAIN Mataram,

Jejak-Jejak Arkeologi Islam di Lombok | 245


Buku yang di hadapan pembaca ini, menguraikan tentang jejak-jejak
Islam di Lombok, yang berupaya menghadirkan fakta-fakta sejarah
dengan menampilkan bukti-bukti arkeologis yang menegaskan
bahwa Islam di Lombok pernah berkembang dengan baik, dengan
menjadi pusat pendidikan dan menjadi pusat pemerintahan di masa
lalu. Dua kesuksesan ini diperolehnya dari dua tempat yang berbeda,
yaitu di Rembitan, Lombok Tengah bagian selatan, dan di
Selaparang, Lombok Timur. Di Rembitan ditemukan
tinggalan-tinggalan arkeologis yang merupakan simbol-simbol
keagamaan di Rembitan, yang menunjukkan bahwa di Lombok
Selatan perkembangan Islam sudah demikian majunya di masa
awal-awal perkembangan Islam di Lombok. Rembitan pernah
menjadi salah satu pusat pengajaran Islam ketika itu. Demikian juga
halnya dengan Selaparang, desa Selaparang adalah desa yang kaya
dengan peninggalan-peninggalan arkeologis. Tinggalan-tinggalan
tersebut merupakan bukti sejarah dari peninggalan kerajaan
Selaparang. Khususnya makam, di Selaparang ditemukan
makam-makam kuno di banyak titik, setidaknya terdapat tiga
tempat yang merupakan jejak dari kerajaan Islam Selaparang, yaitu,
Makam Selaparang, Makam Tanjung, dan Makam Pesabu’an. Dari
kajian arkeologis membuktikan bahwa Selaparang telah membangun
hubungan diplomatik dengan daerah-daerah lainnya di Nusantara.
Hal ini diketahui dari tipologi nisan yang ditemukan di makam
Selaparang, yaitu tipologi JawaTimur, Aceh, Madura, dan Makasar,
ini memberikan gambaran bahwa kerajaan Islam Selaparang di
Lombok memiliki ikatan yang sangat erat dengan Jawa, Aceh,
Madura dan Makasar.

Jl. Kerajinan 1 Blok C/13 Mataram


Telp. 0370- 7505946, Mobile: 081-805311362
Email: sanabilpublishing@gmail.com
www.sanabilpublishing.com
tahun 2006, (3) Mengikuti Pendidikan dan Pelatihan
Penelitian Naskah, yang diselenggarakan oleh Puslitbang
Depag RI Jakarta, 2006, (4) Workshop Metodologi
Penelitian Gender, yang diselenggarakan oleh PSW IAIN
Mataram, 2007, (5) Mengikuti Pelatihan Peningkatan
Keterampilan Peneliti di Bidang Lektur Keagamaan (Naskah
Klasik), yang diselenggarakan oleh Badan Litbang dan
Diklat Departemen Agama Jakarta, 2008, dan (6) Mengikuti
“University Governance Program” yang diselenggarakan
oleh Institute of Continuing dan Tesol Education (ICTE-
UQ) di The University of Queensland Australia, tahun 2013.
Dan beberapa workshop lainnya, baik terkait penelitian,
pernaskahan dan lainnya.

246 | Dr. Jamaluddin, MA

Anda mungkin juga menyukai