Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

MATERIALISME KULTURAL
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sosiologi Sastra
Jurusan Bahasa dan Sastra Arab

Dosen pengampu: Moh. Fathoni, S.S, M.A.

Disusun oleh :
M Dzaki As Shafi (211104030005)
Dina Maulidatul Hasanah (211104030023)
Devy Nurdiana (211104030025)
Hanna Maulinda Dewi (212104030009)

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KH ACHMAD SIDDIQ JEMBER

2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Segala puja dan puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, dan tidak lupa
pula sholawat beserta salam kepada junjungan nabi agung yakni, Nabi Muhammad
SAW yang menjadi revolusi bagi umat islam hingga saat ini, serta para sahabat dan
keluarganya. Dengan ijtihad beliau beserta sahabat dan keluargaNya, kita semua dapat
merasakan nikmat menuntut ilmu dan menjalankan syariat agama dengan damai dan
tentram.

Sebelumnya, kami ucapkan terimakasih banyak kepada Bapak Moh. Fathoni,


S.S, M.A. yang telah memberi kepercayaan kepada kelompok kami untuk
menyelesaikan tugas makalah dengan judul “Materialisme Kultural”. Dalam penulisan
makalah ini kami menyadari bahwasanya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
dan masih banyak kesalahan, baik itu dari segi cara penulisan maupun isi makalah. Oleh
karena itu, Kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
perbaikan makalah ini. Harapan penulis semoga dengan adanya makalah ini dapat
sedikit membantu ara pelajar dalam studinya dan juga dapat bermanfaat bagi banyak
orang.

Wassalamualaikum wr.wb

Jember, 13 Maret 2023

Kelompok 3
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR .......................................................................................................................... 2


DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................... 3
BAB I ............................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .............................................................................................................................. 4
1.1 Latar belakang ................................................................................................................ 4
1.2 Rumusan masalah .......................................................................................................... 4
1.3 Tujuan penulisan ............................................................................................................ 4
BAB II .............................................................................................................................................. 5
PEMBAHASAN ................................................................................................................................ 5
2.1 Pengertian Materialisme Kultural ........................................................................................ 5
2.2 Latar Belakang Materialisme Kultural .................................................................................. 6
2.3 Konsep-konsep Materialisme Kultural ................................................................................. 8
2.4 Analisis dan Metode Materialisme Kultural....................................................................... 11
2.5 Contoh Analisis Materialisme Kultural ............................................................................... 15
BAB III ........................................................................................................................................... 17
PENUTUP ...................................................................................................................................... 17
3.1 Kesimpulan ......................................................................................................................... 17
DARTAR PUSTAKA ........................................................................................................................ 19
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Menurut Suwardi Endaswara, Karya sastra merupakan produk dari suatu
keadaan kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada dalam situasi setengah sadar
(subconcius) setelah mendapat bentuk yang jelas dituangkan ke dalam bentuk tertentu
secara sadar (conscious) dalam bentuk penciptaan karya sastra. Artinya, bahwa karya
sastra merupakan pemikiran pengarang yang berada di situasi setengah sadar yang
diterapkan kedalam bentuk yang sadar.

Karya sastra yang bagus adalah karya sastra yang tembus ruang dan waktu.
Karya semacam itu bukan hanya untuk suatu abad, melainkan untuk sepanjang sejarah.
Hal itu dapat terjadi karena karya tersebut memiliki nilai-nilai dalam dirinya sendiri
sehingga tidak memerlukan konteks untuk menafsirkannya. Untuk memahami karya
yang seperti itu, karya sastra harus dipisahkan dari konteksnya dan dikaji secara
mandiri. Untuk dapat memenuhi kriteria tersebut kelompok kami mencoba memaparkan
salah satu aliran kajian sastra “Materialisme Kultural” , secara jelasnya akan dipaparkan
dibawah ini.

1.2 Rumusan masalah


1.2.1 Apa pengertian dari Materialisme Kultural?
1.2.2 Seperti apa latar belakang Materialisme Kultural
1.2.3 Apa saja konsep-konsep yang ada dalam Materialisme Kultural?
1.2.4 Bagaiman metode dan analisis Material Kultural?

1.3 Tujuan penulisan


Tujuan dibuatnya makalah ini ialah untuk memenuhi tugas mata kuliah Nazhariyah
al-Adab dan untuk mengetahui apa saja macam-macam sastra.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Materialisme Kultural

Menurut KBBI, Materialisme adalah salah satu paham yang beranggapan bahwa

manusia hidup di dunia adalah hasil rekayasa materi. Artinya selagi seorang manusia

hidup di dunia, dia sebenarnya hidup di dunia materi. Dia mau hidup, harus makan, dia

mau menata sistem nilai dan budayanya harus menggunakan alat (materi). Sedangkan

Kultural berasal dari kata bahasa inggris yang artinya Budaya.

Dalam istilah "materialisme kultural", "materialisme" berarti kebalikan dari


"idealisme" masudnya berkomitmen mengungkapkan kebenaran tentang fakta-fakta.
Namun menurut para materialis, posisi semacam itu dituduh terselubung (mystified)
karena menyamarkan eksploitasi rasial, gender, dan kelas sosial. Mereka menganggap
tidak ada bidang hidup budaya yang tidak dapat dijelaskan dan ditransformasikan
dengan cara politis. Karena itu para materialis memiliki asumsi bahwa pendidikan
seharusnya tidak mempunyai tujuan ideal, melainkan tujuan yang berguna dan
material.1

Sedangkan kata budaya menurut Williams adalah hal yang sifatnya keseharian
(Culture is ordinary) dan mencakup pengertian baik budaya kelompok elit maupun
orang-orang awam.2 Dalam bukunya Culture and Society, 1780- 1950, Williams
menunjukkan bahwa budaya meliputi perkembangan seluruh masyarakat dan
bahwasanya seni juga dapat menciptakan kesadaran lebih "or the arts, as the creators of
consciousness, determine social reality", 3 sebuah pandangan yang berlawanan dari

1 Scott Wilson, Cultural Materialism: Theory and Practice, (Oxford and Cambridge: Blackwell, 1995), hlm.
15-16
2 Raymond Williams, Culture and Society: 1780-1950, (Harmondsworth: Penguin, 1975), hlm. 6
3 Raymond Williams, Culture and Society: 1780-1950, (Harmondsworth: Penguin, 1975), hlm. 266
Marxis yang deterministis. Budaya bukan hanya cerminan dari sistem ekonomi dan
politik, tetapi juga tidak terlepas darinya.

Bersamaan dengan Williams, Dollimore memahami kata budaya ada dalam dua
pengertian. Pertama, budaya dipahami sebagai analitis yang biasanya digunakan dalam
ilmu-ilmu sosial dan terutama pada antropologi. Kedua, budaya diberi pengertian
evaluatif yakni suatu pengertian yang mengandung “seni” dan “sastra”. 4

Materialisme budaya mengistimewakan relasi kuasa sebagai konteks terpenting


untuk menafsirkan teks, tetapi di mana para historisis baru berurusan dengan relasi
kekuasaan masyarakat masa lalu, materialis budaya mengeksplorasi teks-teks sastra
dalam konteks relasi kuasa kontemporer. Bagi materialis budaya, politik sayap kanan
Thatcherisme pada 1980-an Inggris adalah konteks di mana mereka meninjau kembali
interpretasi Shakespeare, Webster, Wordsworth, Dickens, dan sastra Inggris
pascaperang.5

2.2 Latar Belakang Materialisme Kultural

Pada awalnya Materialisme Kultural ini muncul dalam teksnya Marvin Harris

“The Rise of Antrophological Theory” pada tahun 1968. Dan akhirnya di kembangkan

lagi oleh Raymond Williams dalam bukunya “Cultural Materialism” pada tahun 1980.

Williams mengembangkan lebih lanjut mengenai paradigma teoritis dan metode

penelitian dalam kajian budaya.

Merangkul sifat politik teori Marx dan fokus kritisnya pada kekuasaan dan
struktur kelas , materialisme budaya Williams membidik bagaimana produk budaya

4 Jonathan Dollimore dan Alan Sinfied, Polical Shakespeare: Essays in Cultural Materialism,(Ithaca and
London: Cornell University Press, 1994), hlm. viii
5 Alan Sinfield, Faultlines: Cultural Materialism and the Politics of Dissident Reading, (Oxford:Clarendon

Press, 1992) hlm. 1-7


berhubungan dengan sistem dominasi dan penindasan berbasis kelas. Williams
menyusun teorinya tentang materialisme budaya menggunakan kritik yang sudah ada
sebelumnya tentang hubungan antara budaya dan kekuasaan, termasuk tulisan-
tulisan sarjana Italia Antonio Gramsci dan teori kritis dari Mazhab Frankfurt.

Williams menegaskan bahwa budaya itu sendiri adalah proses yang produktif,
artinya memunculkan hal-hal yang tidak berwujud, termasuk ide, asumsi, dan hubungan
sosial, yang ada dalam masyarakat. Teorinya tentang materialisme budaya berpendapat
bahwa budaya adalah bagian dari proses yang lebih besar tentang bagaimana sistem
kelas dibuat dan mendorong ketidaksetaraan sosial. Budaya memainkan peran ini
melalui promosi nilai-nilai, asumsi, dan pandangan dunia yang dianut secara luas dan
marginalisasi mereka yang tidak sesuai dengan cetakan arus utama. Pertimbangkan cara
musik rap difitnah di media arus utama atau bagaimana gaya tarian yang dikenal
sebagai twerking dianggap "kelas rendah" sementara dansa ballroom dianggap
"berkelas" dan halus.

Para sarjana telah memperluas teori materialisme budaya Williams untuk


memasukkan ketidaksetaraan rasial dan hubungannya dengan budaya. Konsep ini juga
telah diperluas untuk mengkaji kesenjangan antara lain terkait dengan gender,
seksualitas, dan kebangsaan6.

6ThoughtCo, Definition of Cultural Materialism, https://www.thoughtco.com/cultural-materialism-


3026168#:~:text=Cultural%20materialism%20is%20a%20theoretical,and%20worldviews%20that%20pre
dominate%20society, 15 October 2019
Figure 1 Potret wajah Ryamond Williams

2.3 Konsep-konsep Materialisme Kultural

Williams mengembangkan konsep-konsep materialisme kultural sebagai sebuah

kerangka pemikiran yang menghubungkan antara budaya dan politik, sehingga

memungkinkan kajian sastra untuk memperlihatkan peran sastra dalam masyarakat

secara lebih luas. Berikut ini adalah penjelasan detail mengenai konsep-konsep

materialisme kultural menurut Raymond Williams:

a) Budaya

Williams menawarkan definisi baru tentang budaya, yaitu “whole way of life” yang
mencakup praktik-praktik sosial, kepercayaan, nilai-nilai, dan representasi-
representasi yang dihasilkan oleh masyarakat dalam periode tertentu. Budaya,
menurut Williams, merupakan produk sosial dan bukan kebudayaan yang dibentuk
secara alami atau individual.

b) Materialisme

Williams menekankan pentingnya memahami konteks material dan sejarah dalam


menganalisis budaya. Konsep materialisme kulturalnya menekankan pentingnya
mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi, politik, dan sosial dalam memahami
produksi budaya.

c) Kultural

Williams menggunakan istilah “kultural” sebagai pengganti “kebudayaan” karena ia


merasa istilah kebudayaan terlalu luas dan ambigu. Istilah kultural menekankan
pada pengaruh yang saling berhubungan antara representasi-representasi budaya
dengan praktek-praktek sosial yang menghasilkannya.

d) Struktur pengalaman

seperti kelas sosial dan hubungan kekuasaan, berperan penting dalam


mempengaruhi produksi, distribusi, dan konsumsi budaya. Williams menganggap
budaya sebagai medan pertarungan antara kekuatan-kekuatan sosial yang saling
bersaing dalam menghasilkan representasi-representasi budaya.

Contoh: Seorang penulis mungkin menulis tentang pengalaman kelas, gender, atau
ras dalam sastra mereka. Seorang pembaca dapat memahami pengalaman ini dan
meresponsnya berdasarkan pengalaman mereka sendiri dalam struktur sosial yang
sama.

Konsep struktur pengalaman menekankan pentingnya memahami bagaimana


pengalaman individu dipengaruhi oleh struktur sosial dan budaya yang lebih besar
dan bagaimana pengalaman ini tercermin dalam sastra.

e) Hegemoni

Williams menggunakan konsep hegemoni untuk menjelaskan bagaimana kekuatan-


kekuatan dominan dapat mempengaruhi dan mengendalikan tindakan dan
pandangan masyarakat secara tidak langsung melalui representasi-representasi
budaya. Kekuatan dominan dapat memanfaatkan budaya untuk mengeksploitasi
kelas yang lebih lemah dan menjaga status quo dalam masyarakat.
Contoh: Karya sastra yang didukung oleh pemerintah atau elitis sosial cenderung
mendapat lebih banyak dukungan dan lebih mudah diakses oleh masyarakat luas.
Sementara itu, karya sastra dari kalangan bawah atau kelompok minoritas cenderung
tidak mendapat dukungan yang sama dan lebih sulit diakses oleh masyarakat.

Konsep kekuatan dominan menekankan pentingnya memahami bagaimana kekuatan


sosial, politik, dan budaya mempengaruhi produksi, distribusi, dan konsumsi sastra.

f) Budaya rakyat

Williams memperkenalkan konsep budaya rakyat untuk menjelaskan produksi


budaya yang muncul dari masyarakat biasa dan bukan hanya dari elit kebudayaan.
Budaya rakyat dihasilkan oleh masyarakat yang lebih rendah dalam hierarki sosial,
dan sering kali melawan hegemoni kekuatan-kekuatan dominan.

Contoh: Puisi rakyat dan dongeng merupakan bagian dari sastra rakyat yang
mencerminkan kehidupan sehari-hari masyarakat tertentu. Sastra rakyat
memungkinkan kita untuk memahami budaya dan nilai-nilai yang dipegang oleh
masyarakat tersebut.

g) Struggle for meaning

Williams menyatakan bahwa interpretasi dan makna dari representasi-representasi


budaya tidaklah stabil dan pasti, melainkan terus berubah dan dipertarungkan dalam
masyarakat. Oleh karena itu, kajian sastra harus melibatkan pertarungan makna dan
interpretasi dalam masyarakat untuk memahami peran sastra dalam masyarakat
secara lebih luas.7

Dalam rangka untuk memahami hubungan antara sastra dan masyarakat secara
lebih luas, Williams mengembangkan konsep materialisme kulturalnya dengan
menyatakan bahwa sastra harus dianalisis dalam konteks sosial dan sejarahnya, serta
memperhitungkan peran budaya rakyat dan kekuatan-kekuatan dominan dalam

7 Raymond Williams, Marxism and Literature, (Oxford: Oxford University Press, 1978), hlm. 11-20
produksi, distribusi, dan konsumsi sastra. Williams menekankan bahwa kajian sastra
tidak boleh terisolasi dari realitas sosial dan politik yang menghasilkannya.

Selain itu, Williams juga mengembangkan konsep “struktur pengalaman” yang


mengacu pada pengalaman individu dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh struktur
sosial dan budaya. Struktur pengalaman mencakup pengalaman-pengalaman yang
umum dan dapat dikenali oleh banyak orang, seperti pengalaman kelas, gender, ras, dan
sebagainya. Konsep ini membantu menghubungkan antara pengalaman individu dan
budaya yang dihasilkan oleh masyarakat secara lebih luas.

Dalam kajian sastra, Williams menekankan pentingnya memahami sejarah


sastra, seperti periode dan genre sastra, dan bagaimana sastra mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh masyarakat di mana ia dihasilkan. Williams juga menekankan
pentingnya mempertimbangkan konteks sosial dan politik di mana sastra dihasilkan dan
diterima.

Dalam kesimpulannya, konsep-konsep materialisme kultural yang


dikembangkan oleh Raymond Williams menawarkan cara baru dalam memahami peran
sastra dalam masyarakat secara lebih luas. Konsep-konsep ini membuka jalan bagi
kajian sastra untuk mengintegrasikan faktor-faktor sosial, politik, dan budaya dalam
analisis sastra, sehingga memungkinkan kajian sastra untuk memberikan kontribusi
yang lebih signifikan dalam kajian budaya kontemporer.8

2.4 Analisis dan Metode Materialisme Kultural

Dalam pelaksanaan ini, kritik sastra aliran ini menggunakan gabungan empat unsur
dalam melihat teks sastra. Unsur-unsur tersebut adalah konteks historis, metode teoretis,
komitmen politis, dan analisis tekstual. Berikut penjelasan lengkapnya:

a) Konteks Historis

8 Raymond Williams, Marxism and Literature, (Oxford: Oxford University Press, 1978), hlm. 21-32
Sehubungan dengan konteks ini, para kritikus materealis berpandangan bahwa
batasan antara teks sastra dan sejarah tidak signifikan. Sastra bukanlah “latar depan”
dan sejarah adalah “latar belakangnya”. 9 Pandangan ini dipengaruhi oleh pendapat
Williams yang menyatakan bahwa sastra dan seni tidak dapat dipisahkan dari jenis
lain praktik sosial. Dalam konteks ini, teks sastra juga melakukan intervensi ke
dalam sejarah dan tidak diberi status istimewa. Teks tersebut harus dipahami dalam
kaitannya dengan teks-teks lain, seperti pamflet, politik, traktat-traktat keagamaan,
catatan-catatan medis, rumah, kebun, mode pakaian, peta-peta dan sebagainya.10

Cara berfikir seperti ini mirip dengan cara pandang Historisisme Baru yang
ditawarkan Stephen Greenblatt di Amerika yang memberikan kemungkinan pada
para ilmuwan untuk melakukan kajian interdisipliner dalam studi sejarah,
antropologi, seni, politik, sastra, dan ekonomi.

Pada titik ini, para penganut Materialisme Kultural menanggapi pandangan


Humanisme Liberal bahwa karya sastra tembus ruang dan waktu. Benar adanya
bahwa karya yang diciptakan masa lalu masih bisa dibaca hingga saat ini. tetapi,
perhatian dari para pendukung Materialisme Kultural ada pada bagaimana karya
tersebut dapat mengungkapkan sejarah-sejarahnya yang tidak pernah disinggung
oleh kritik sastra sebelumnya. Selain itu, pengertian sejarah yang relevan tidak
hanya berhubungan dengan sejarah sastra pada saat karya tersebut diproduksi, tetapi
juga bagaimana sejarah karya pada masa kini diproduksi dan direproduksi oleh
lembaga-lembaga yang ada sekarang. Singkatnya, karya sastra tidak dapat
dilepaskan dari sejarah dan tembus ruang dan waktu dalam pengertian Humanisme
Liberal.11

b) Metode Teoritis

9 R Selden, Practising Theory and Reading Literature: An Introduction, (London: Harvester Wheatsheaf,
1989), hlm.95
10 S Wilson, Cultural Materialism: Theory and Practice, (Oxford and Cambridge: Blackwell, 1995), hlm. 8
11 M A Rokhman, Keterkaitan Kajian Budaya dan Studi Sastra di Inggris: Sebuah Telaah Singkat, Vol. 20

No. 01, Jurnal Humaniora, 2008, hlm. 23


Metode teoretis para kritikus kelompok ini tidak diarahkan pada pencarian konsep
estetik, koherensi, atau kebenaran yang terdapat dalam karya sastra. Mereka justru
melihat pada kontradiksi-kontradiksi yang mengandung jejak-jejak konflik sosial
dalam teks. Mereka berpandangan bahwa setiap teks selalu bersifat parsial,
mempunyai kepentingan, dan mengandung muatan politis. 12 Metode kritik yang
diterapkan para materialis adalah dengan mengungkap adanya oposisi biner dalam
teks. Dalam kritik ini, hal yang ditunjukkan adalah bagaimana fungsi aspek pada
kolom kanan dalam konstruk wacana sastra yang sedang dianalisis. Pandangan ini
berbeda dari para pendukung Humanisme Liberal yang lebih memusatkan kesatuan
yang harmonis antara bentuk dan isi karya sastra. 13

Para Materialis mendekonstruksi oposisi biner tersebut dengan dua cara; Cara yang
pertama, ditawarkan oleh Williams dengan mengambil definisi budaya dalam
pengertian antropologis yang mencakup semua hal yang berhubungan dengan
kegiatan manusia tanpa memandang kelas. Cara kedua, yang sedikit lebih
berkembang adalah dengan memusatkan kegiatan kelas tertindas, marjinal, dan
tersisihkan, yang berarti memfokuskan pada kolom kanan oposisi biner.

c) Komitmen Politis

Komitmen politis adalah kacamata dalam melihat suatu teks. Maksudnya, dalam hal
ini terdapat semacam asumsi awal yang dibentuk oleh komitmen politis yang
kemudian diterapkan pada analisis teks. Hal ini tentu saja akan menghasilkan cara
pandang yang berbeda dibanding model Humanisme Liberal. Teks dalam
pandangan materialis merupakan sarana pengungkapan suatu pandangan politis
tertentu daripada karya sastra yang netral secara politis. Dalam pandangan ini, teks

12
S Wilson, Cultural Materialism: Theory and Practice, (Oxford and Cambridge: Blackwell, 1995), hlm. 9
13
M A Rokhman, Keterkaitan Kajian Budaya dan Studi Sastra di Inggris: Sebuah Telaah Singkat, Vol. 20
No. 01, Jurnal Humaniora, 2008, hlm. 23
tidak pernah “netral” dan pandangan politik yang berpihak pada kelompok marjinal
adalah kerangka yang digunakan untuk melihat teks.14

d) Analisis Tekstual

Dengan komitmen tersebut, analisis terhadap teks harus membicarakan


implikasi politis, mimetis, atau representatifnya. Akibatnya, fungsi teks tidak
dominan dalam analisa teks dan komitmen terhadap analisa tekstual menjadi lemah
atau sekurang-kurangnya menjadi sepenuhnya tersubordinasi oleh politik. Dengan
kata lain, pada analisis teks model Humanisme Liberal, pembaca karya hanya diberi
teks dan diharapkan dapat memberi interpretasi pada teks tersebut. Disini, pembaca
diasumsikan netral dan tidak mempunyai cara pandang tertentu dalam melihat teks.
Pembaca mengapresiasi teks dan melaporkan hasilnya. Sebaliknya, para materialis
berangkat dari satu cara pandang tertentu terhadap dunia sebelum menganalisis
teks.15

Fokus kajian pada aliran ini biasanya pada karya-karya sastra zaman Renaisans
di Inggris. Topik-topik yang menarik untuk dikaji meliputi kekuasaan Negara dan
perlawanan terhadapnya, konflik antar fraksi-fraksi kelas dalam negara, perlunya
konsepsi Negara yang tidak monolitis. Topik-topik lain yang juga menarik minat para
kritikus Materialis mencakup penyimpangan sosial, seperti sodomi, pelacur, banci yang
mereka terapkan dalam drama-drama Shakespeare, seperti Othello, Measure for
Measure, Henry IV, As You Like it. 16

Materialisme Kultural mencoba fokus pada peristiwa dan varibel yang dapat
diamati dan diukur, dan juga dapat diterapkan di seluruh masyarakat dengan bantuan
metode empiris untuk mengembangkan teori nomotetik. Secara epistemology,

14 M A Rokhman, Keterkaitan Kajian Budaya dan Studi Sastra di Inggris: Sebuah Telaah Singkat, Vol. 20
No. 01, Jurnal Humaniora, 2008, hlm. 24
15 M A Rokhman, Keterkaitan Kajian Budaya dan Studi Sastra di Inggris: Sebuah Telaah Singkat, Vol. 20

No. 01, Jurnal Humaniora, 2008, hlm. 24


16 M A Rokhman, Keterkaitan Kajian Budaya dan Studi Sastra di Inggris: Sebuah Telaah Singkat, Vol. 20

No. 01, Jurnal Humaniora, 2008, hlm. 24


materialisme kultural hanya berfokus pada entitas dan peristiwa yang dapat diukur dan
diamati.

Dengan menggunakan materialisme budaya sebagai metode penelitian, sosiolog


dapat menghasilkan pemahaman kritis tentang nilai-nilai, kepercayaan, dan pandangan
dunia suatu periode melalui studi yang cermat terhadap produk budaya. Mereka juga
dapat membedakan bagaimana nilai-nilai ini terhubung dengan struktur sosial, tren, dan
masalah. Untuk melakukannya, mereka harus mempertimbangkan konteks historis
dimana suatu produk dibuat, menganalisis simbolismenya, dan bagaimana barang
tersebut sesuai dengan struktur sosial yang lebih besar.

2.5 Contoh Analisis Materialisme Kultural

Analisis materialisme kultural dapat digunakan untuk menganalisis sebuah puisi


juga. Salah satu contoh puisi yang dikutip dari segi kritis sastra marxisme hingga
materialism kebudayaan dari sebuah puisi yang berjudul “A Miracle for Breakfast”
seperti berikut:
Puisi tersebut disebut dengan puisi protes Bishop yang tertulis pada tahun 1930-
an ketika terjadi depresi besar-besaran. Puisi ini menceritakan tentang situasi yang
umumnya terjadi pada masa itu, yakni antrian orang-orang miskin yang menunggu
makanan gratis dari amal orang lain.

Puisi ini mengutarakan unsur agama yang menunjukkan bagaimana seseorang


mendapatkan keajaiban ketika sarapan. Pada bait pertama dijelaskan secara eksplisit
tentang cerita Yesus yang berjalan di atas air. Sedangkan bait selanjutnya menjelaskan
tentang alam. Pada puisi tersebut tampak sebuah aliran marxisme yang disebut dengan
Utopianisme. Aliran ini menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki hasrat
melebihi batas yang diberikan kapitalisme kepada mereka dan membayangkan dunia
yang lebih baik, tempat keinginan dan kebutuhan manusia akan diperhatikan dan tidak
dibatasi hanya demi menopang minoritas masyarakat dengan kekayaan berlebih.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pada makalah ini kami para penulis menyimpulkan Materialisme Kultural
dalam beberapa point berikut:

• Williams menunjukkan bahwa budaya meliputi perkembangan seluruh


masyarakat dan bahwasanya seni juga dapat menciptakan kesadaran lebih "or
the arts, as the creators of consciousness, determine social reality", sebuah
pandangan yang berlawanan dari Marxis yang deterministis.
• Williams menyusun teorinya tentang materialisme budaya menggunakan kritik
yang sudah ada sebelumnya tentang hubungan antara budaya dan kekuasaan,
termasuk tulisan-tulisan sarjana Italia Antonio Gramsci dan teori kritis dari
Mazhab Frankfurt.
• Williams menegaskan bahwa budaya itu sendiri adalah proses yang produktif,
artinya memunculkan hal-hal yang tidak berwujud, termasuk ide, asumsi, dan
hubungan sosial, yang ada dalam masyarakat.
• Budaya memainkan peran ini melalui promosi nilai-nilai, asumsi, dan
pandangan dunia yang dianut secara luas dan marginalisasi mereka yang tidak
sesuai dengan cetakan arus utama.
• Konsep-konsep Materialisme Kultural Williams mengembangkan konsep-
konsep materialisme kultural sebagai sebuah kerangka pemikiran yang
menghubungkan antara budaya dan politik, sehingga memungkinkan kajian
sastra untuk memperlihatkan peran sastra dalam masyarakat secara lebih luas.
• Para Materialis mendekonstruksi oposisi biner tersebut dengan dua cara; Cara
yang pertama, ditawarkan oleh Williams dengan mengambil definisi budaya
dalam pengertian antropologis yang mencakup semua hal yang berhubungan
dengan kegiatan manusia tanpa memandang kelas.
• Dalam pandangan ini, teks tidak pernah “netral” dan pandangan politik yang
berpihak pada kelompok marjinal adalah kerangka yang digunakan untuk
melihat teks.
DARTAR PUSTAKA

Rokhman, M. A. (2008). Keterkaitan Kajian Budaya dan Studi Sastra di Inggris: Sebuah Telaah
Singkat. Jurnal Humaniora, 23-24.
Selden, R. (1989). Practising Theory and Reading Literature: An Introduction. London:
Harvester Wheatshea.
Sinfied, J. D. (1994). Polical Shakespeare: Essays in Cultural Materialism. Ithaca and London:
Cornell University Press.
Sinfield, A. (1992). Faultlines: Cultural Materialism and the Politics of Dissident Reading.
Oxford: Clarendon Press.
ThoughtCo. (2019, October 15). Definition of Cultural Materialism. Retrieved from
www.thoughtco.com: https://www.thoughtco.com/cultural-materialism-
3026168#:~:text=Cultural%20materialism%20is%20a%20theoretical,and%20worldvie
ws%20that%20predominate%20society,
Williams, R. (1975). Culture and Society: 1780-1950. Penguin: Harmondsworth.
Williams, R. (1978). Marxism and Literature. Oxford: Oxford University Press.
Wilson, S. (1995). Cultural Materialism: Theory and Practice. Oxford and Cambridge:
Blackwell.

Anda mungkin juga menyukai