Anda di halaman 1dari 18

MUT{LAQ DAN MUQAYYAD

Makalah

Dipresentasikan dalam Seminar Mata Kuliah Masa>il al-Fiqhiyyah

Program Studi Dirasah Islamiyah/Konsentrasi Syariah-Hukum Islam

Pascasarjana UIN Alauddin Makassar

Oleh:

Ma’adul Yaqien Makkarateng


NIM. 80101214017

Dosen Pemandu:

Prof. Dr. H. Minhajuddin, M.A.


Dr. H. Muammar Bakri, Lc., M.Ag.

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2016
1

Pengertian Al-Mut}laq

Para Ulama telah banyak yang memberikan pengertian-


pengertian tentang al-mut}laq, yang semua pengertian tersebut
mengarah bahwasanya mutlak adalah lafadz yang menunjukkan
pada suatu hakikat (menujukkan hanya kepada individu tidak
tertentu dari hakikat tersebut), tanpa suatu pembatas.

Al-Amidi> memberikan pengertian dalam kitab al-


Ah}ka>m bahwasanya al-mut}laq adalah lafadz yang
menunjukkan pada sesuatu yang mana cakupannya hanya pada
jenisnya saja. Sedangkan pengarang kitab Muja>mi’ al-
Jawa>mi’mendefinisikan bahwasanya mut}laq adalah suatu
(lafadz) yang menujukkan hakikat suatu hal tanpa adanya
batasan.

Pengertian Al-Muqayyad

Para Ulama juga memberikan pengertian yang bermacam-


macam terhadap al-muqayyad, yang semuanya mengarah
2

bahwasanya muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan suatu


hal dengan adanya batasan.

Adapun Ibn Qada>mah, memberikan pengertian


bahwasanya muqayyad itu adalah suatu lafadz yang
menunjukkan pada sifat tertentu atau tidak tertentu tapi pada
hakikatnya mencakup kepada jenisnya.

Imam Ámidi mendefinisikan bahwa muqayyad memiliki dua


makna : Pertama, Muqayyad merupakan lafadz-lafadz yang
menunjukkan sesuatu yang terkhusus/tertentu. Seperti Zaid,
Amar, orang ini, dan sebagainya. Kedua, muqayyad merupakan
lafadz-lafadz yang menunjukkan sesuatun yang mutlak tetapi
memiliki sifat. Contohnya, dinar mesir dan dirham mekkah,
lafadz ini merupakan lafadz yang bermakna muqayyad, tetapi
dari segi jenisnya lafadz ini bisa jadi merupakan lafadz yang
bersifat mutlak, yaitu mutlaknya dirham mesir dan dirham
mekkah.1 Artinya lafadz- lafadz tersebut bersifat mutlak dari satu
sisi dan muqayyad dari sisi yang lain.

Contoh muqayyad pada firman Allah SWT :


“Memerdekakan budak yang beriman (Ayat)”. Maksud kalimat
“Membebaskan budak” yaitu membebaskan budak yang

1 Dinar mesir atau dirham mekkah menjadi muqayyad bila diberi


penjelasan jenis bilangannya, seperti 1000 dirham mekkah.
3

beriman, artinya maksud mutlak lafadz budak (raqabah) tidak


cukup untuk melepaskan pelaku dari hukumnya (harus budak
yang beriman).

Contohnya juga dalam firman Allah SWT: “Barang siapa


yang tidak mampu maka hendaknya ia berpuasa dua bulan
berturut-turut”. Lafadz dua bulan (syahrain) dikhususkan dengan
lafadz berturut-turut (mutatabi’ain). Maka apabila orang yang
membayar kaffarat berpuasa dua bulan terputus-putus maka
kaffaratnya tidak sah. Contohnya lagi dalam firmanNya, “atau
darah yang mengalir”. Darah yang haram dimakan dikhususkan
dengan lafadz mengalir (masfuh), maka haram memakan darah
yang tidak mengalir.

Kondisi-kondisi Mutlak dan Muqayyad.

Berikut penjelasan-penjelasan mutlak dan muqayyad :


4

Kondisi pertama : Apabila ada lafadz mutlak dalam satu


nash dan ada lafadz muqayyad dalam lafadz lain. Maka sebab
hukumnya berbeda tetapi tujuan dan hukumya sama, hal ini
sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin umar
beliau berkata, ”Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah berupa
1 sha’ kurma atau gandum kepada orang muslim baik itu hamba
sahaya atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan, anak kecil
atau orang besar, dan beliau memerintahkan untuk
melaksanakan pembayaran zakat sebelum shalat ied”.

Kondisi kedua, kesamaan mutlak dan muqayyad dalam


suatu hukum dan sebab, hal ini sebagaimana firman Allah swt.:
“Diharamkan bagi kalian bangkai, darah, dan daging babi serta
apa yang disembelih selain atas nama Allah.’’ Dan juga dalam
firman-Nya: “Katakanlah (Muhammad), saya tidak mendapatkan
pada apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan
kepada orang yang ingin makan kecuali bangkai atau darah yang
mengalir atau daging babi.” Darah yang mengalir maksudnya
adalah darah yang tumpah yang mengalir dari tempatnya.
Lafadz darah (ad-dam) di ayat pertama merupakan darah yang
bersifat mutlak. Dan pada adat yang kedua merupakan darah
yang bersifat muqayyad karena ada lafadz mengalir (masfuh).
Adapun hukum dari kedua ayat tersebut adalah sama, yaitu
haram, dan sebabnya juga sama, yaitu darah yang jelek dan
mendatangkan mudarat.
5

Kondisi ketiga, berbedanya mutlak dan muqayyad dalam


suatu hukun dan sebab, hal ini sebagaimana firmanNya,
“Potonglah tangan pencuri laki-laki dan pencuri perempuan
sebagai balasan atas apa yang mereka lakukan dan segai
siksaan dari Allah.”

Kondisi keempat, berbedanya mutlak dan muqayyad dalam


suatu hukum namun sepakat dalam sebab (terjadinya hukum)

Kondisi kelima, apabila lafadz mutlak dan muqayyahd


sependapat dalam hukum, namun berselisih terhadap sebab.
6

Adapun keadaan- keadaan yang disepakati para ulama


didalamnya yaitu :

1. Apabila disepakati hukum dan sebab: maka sungguh


kesepakatan ulama tertuju pada wajibnya menggabungkan
mutlak atas yang muqayyad, maka darah yang diharamkan
yaitu darah yang mengalir saja.
2. Apabila keduanya berbeda pada hukun dan sebabnya :
maka kesepakatan ulama juga tertuju pada ketidakbolehan
menggabungkan yang mutlak terhadap yang muqayyad,
an hukun di dalam ayat tentang pencurian itu diberlakukan
secara mutlak, dan hukum pada ayat tentang wudhu
diberlakukan secara muqayyad.
3. Apabila hukumnya berbeda dan sebabnya sama : maka
demikian pula ulama bersepakat atas tidak adanya
penggabungan antara yang mutlak atas yang muqayyad,
maka (hukum) tangan yang mutlak pada tayammum tidak
dugabungkan terhadap (hukum) tangan yang muqayyad
dalam wudhu. Dan adapun yang telah lewat
pembahasannya dari wajibnya menyapu kedua tangan
dalam tayammum sampai kedua siku bukan merupakan
dasar penggabungan hukum yang muqayyad terhadap
hukum yang mutlak. Tapi dasarnya adalah dalil-dalil yang
lain, bukan merupakan ijma’ ulama dan penjalasan yang
ada telah disebtkan keduanya. Sesungguhnya bentuk ini
ada juga didalamnya ulama yang berbeda pendapat.
7

Adapun keadaa-keadaan yang para ulama berbeda


pendapat didalamnya yaitu :

1. Adanya pemutlakan dan taqyid berada dalam satu sebab


hukum, dan tujuan serta hukum itu satu. Dan
sesungguhnya telah terjadi perbedaan pendapat pada
keadaan ini. Dan jumhur ulama dari mazhab syafi’I, Malik,
dan Hambali, berpendapat pada penggabungan mutlak
atas muqayyad. Dan oleh karena itu mereka tidak
mewajibkan zakat fitrah itu diberikan kepada hamba
sahaya yang non muslim sebagaimana yang akan datang
pembahasannya. Dan mazhab Hanafi berpendapat pada
tidak adanya penggabungan, maka mereka mewajibkan
zakat fitrah itu diberikan kepada hamba sahaya yang non
muslim secara mutlak.
2. Keduanya sama dalam hukum dan berbeda pada sebab :
dan ini juga masalah yang di perselisihkan didalamnya.
Maka mazhab Hanafi berpendapat: bahwasanya tidak
digabungkan mutlak itu terhadap yang muqayyad. tapi di
pengamalan mutlak dan muqayyad sesuai dengan tempat
dan tujuannya. Oleh karena itu tidak disyaratkan Iman
8

dalam Kaffarat Zihar (ucapan menyamakan punggung


seorang ibu mertua dengan istri) sebagaimana akan dating
penjelasannya, akan tetapi menjadi syarat dalam kafarat
pembunuhan yang tidak disengaja.

Syarat-syarat penggabungan mutlak terhadap


muqayyad menurut ulama yang berpendapat mengenai
hal tersebut :

Sesungguhnya ulama menggabungkan mutlak terhadap


muqayyad pada keadaan awal penyebutan. Asy-Syaukani
menyebutkan hal itu dalam kitabnya Irsyadul Fuhul, beliau
berkata :

Pembahasan ketiga : Ulama-ulama mensyaratkan


penggabungan ini dengan tujuh syarat :
9

Syarat pertama : Adanya muqayyad itu dari bab sifat-


sifat bersama tetapnya zat-zat di dalam dua tempat. Adapun
dalam penetapan dasar hukum dari penambahan atau jumlah
maka tidak digabungkan salah satunya atas yang lain, dan ini
seperti wajibnya mencuci empat bagian tubuh dalam wudhu,
dengan peringkasan terhadap dua anggota badan pada saat
tayammum, sesungguhnya pengumpulan ini menyimpulkan tidak
digabung kemutlakan tayammum itu terhadap pengkhususan
wudhu, sampai tayammum itu wajib atas empat anggota tubuh.
Berdasarkan ketentuan hukum yang ada di dalamnya tidak
disebutkan, dan penggabungan mutlak terhadap muqayyad
terkhusus pada sifat-sifat sebagaimana yang telah disebutkan,
dan diantara orang-orang yang menyebutkan syarat ini Abu
Bakar Al-Qaffal as-Syasyii, Syeikh Abu Hamid Al-Asfaraí, Al-
Mawardi, Ar-Rayyani dan Al-Mawardi menukilkannya dari Ibnu
Khairani dari mazhab Syafií : Bahwasanya mutlak itu boleh
digabung terhadap muqayyad dalam bentuk-bentuk, tapi itu
adalah pendapat yang batil.
10

Syarat yang kedua : Sesungguhnya tidak ada terhadap


yang mutlak itu kecuali satu dasar. Seperti dasar keadilan dalam
persaksian atas ruju’ dan pewasiatan, dan pemutlakan
persaksian dalam jual beli dan selainnya. Maka itu adalah syarat
yang umum, dan begitupula warisan dua isrti menjadi muqayyad
dengan firman Allah SWT. : Setelah dilaksanakan wasiat yang
diwasiatkan atau utangnya telah dilunasi (ayat). Dan pemutlakan
kewarisan apa yang mutlak di dalamnya dan semua pemutlakan
kewarisan, setelah wasiat dan pembayaran utang. Adapun
apabila kemutlakan itu berorientasi diantara dua hal yang
muqayyad yang saling berlawanan, maka dipikirkan apabila
sebabnya itu berbeda maka pemutlakannya itu tidak
digabungkan terhadap yang lainnya. Kecuali dengan adanya dalil
maka pemutlakan itu lebih utama digabungkan ke qiyas saja,
atau adanya dalil hukum terhadapnya, maka itu lebih kuat. Dan
diantaranya yang menyebutkan syarat ini yaitu Ustaz Abu
Mansur dan Syeikh Abu Ishaq Asy-Syirasyi dalam kitab Al-Lam’i
dan juga Imam Al-Mawardi dan diriwayatkan oleh Hakim Abdul
Wahab kesepakatan terhadapt persyaratannya. Asy-Syarkasyi
berkata : Dan tidak seperti itu, dan telah diriwayatkan Al-
Qafaalus Syasyii bahwa terdapat perbedaan diantara para
sahabat dan tidak ada yang kuat.
11

Syarat yang ketiga : Muqayyad itu berupa perintah-


perintah dan ketetapan-ketetapan. Adapun peniadaan dan
larangan maka tidak dikatakan sebagai muqayyad, karena
karena hal itu melazimkan tercampurnya dengan lafadz mutlak
dan hal itu tidak boleh. Adapun yang menyebutkan syarat ini
adalah Al amidi dan ibnu Al hajib, keduanya berkata tidak ada
perselisihan untuk berbuat dengan keduanya dan menghimpun
diantara keduanya jika tidak ada udzur. Dia berkata: janganlah
kamu memerdekakan seorang penulis, janganlah kamu
memerdekakan seorang penulis yang kafir. Tidk cukup
memerdekakan seorang penulis tanpa adanya keterangan
apakah iya kafir atau muslim, jika di memerdekakan salah satu
diantara keduanya berarti dia tidak beramal dengan keduanya.

Imam Al karafi menolak hal itu sebagaimana yang


disebutkan oleh Al amidi dan ibnu Al hajib. Adapun Al asfahani
mengikutkan, dia berkata: membawa yang mutlak kepada yang
12

muqayyad tidak dikhususkan pada perintah dan larangan akan


tetapi berlaku pada seluruh perkataan. Imam az Zarkasyi
berpendapat terkadang dikatakan adanya mutlak dan muqayyad
tidak digambarkan dari sisi peniadaan dan larangan dan apa
yang telah mereka sebutkan dari contoh dan itu hanyalah
sebagian daripada yang menunjuk pada hal yang bersifat umum.
Dan padanya telah disampaikan mengenai apa yang
dipeselihsihkan oleh Abu Tsaur maka tidak perlulagi
mengulanginya disini. Adapun yang benar adalah tidak
membawanya (Mutlak dan Muqayyad) dalam hal peniadaan dan
larangan. Dan ulama yang memberi syarat, seperti Ibnu Daqiq Al
áid dan dia juga menjadikan ini sebagai syarat pada al’Aam dan
al-Khas.

Syarat yang keempat: Hendaknya yang muqayyad itu


bukan dari hal-hal yang bersifat ibahah (Boleh). Ibnu Daqiq Al aid
berkata : sesungguhnya yang mutlak tidak boleh dibawa kepada
yang muqayyad dalam hal-hal yang bersifat ibahah (Boleh) Jika
tidak ada pertentangan diantara keduanya dan yang mutlak itu
hanya tambahan. Imam Az zarkatsi berkata : dalam hal ini
terdapat beberapa pendapat.
13

Syarat yang kelima: tidak memungkinkan untuk


memepertemukan keduanya kecuali dengan jalan membawa
yang mutlak ke muqayyad. Jika memungkinkan untuk beramal
dengan keduanya maka itu lebih utama daripada beramal pada
hal-hal yang tidak ditunjukkan oleh salah satu dari keduanya.
Demikianlah yang disebut oleh ibnu Ar rif áh dalam kitabnya Al
matlab.

Syarat yang keenam: hendaknya muqayyad itu tidak


disebutkan bersamanya ukuran tambahan yang memungkinkan
qaid itu. Maka tidak boleh membawa yang mutlak ke muqayyad
dalam hal yang seperti ini.

Syarat yang ketujuh: tidak adanya dalil yang melarang


batasannya, jika ada dalil yang melarang batasannya maka
muqayyad tidak berlaku.

Perbedaan pendapat dalam masalah furu’iyyah

Perbedaan pendapat dalam mutlak dan muqayyad


menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap perbedaan
pendapat dalam masalah furu’iyyah, dan kami akan
memaparkan masalah-masalah yang paling penting, dan
sesungguhnya detail masalah yang yang timbul dari kaidah ini
hampir semuanya tertuang dalam kitab Jami’
14

Zakat fitrah kepada fakir miskin yang non muslim.

Imam Hanafi berpendapat, ”Bahwasanya seorang muslim


wajib mengeluarkan zakat fitrah kepada seorang hamba baik itu
muslim atau kafir. Mereka beralasan terhadap hal itu secara
mutlak sebagaimana yang terdapat pada hadis yang
15

diriwayatkan Daruqutni, bahwasanya Rasulullah SAW.


memerintahkan untuk mengeluarakan zakat fitrah terhadap
anak-anak, orang tua, dan hamba sahaya. Dan tidak membatasi
secara mutlak sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadis
Ibnu Umar, ia berkata, ”Rasulullah saw. menganjurkan zakat
fitrah pada bulan Ramadhan satu sha’ kurma atau satu sha’
gandum terhadap seorang hamba atau orang merdeka, laki-
laki,perempuan,anak-anak dari orang muslim.

Dan mereka tidak membatasi seorang hamba apakah dia


termasuk dari orang muslim, sungguh perbedaan ini karena
adanya sebab yaitu orang yang butuh. Diantaranya kaidah-
kaidahnya seperti yang disebutkan bahwasanya kaitannya jika
ada pada pada sebab tidak menggabungkan yang mutlak dan
muqayyad tetapi mengerjakan keduanya secara bersamaaan,
karena sesungguhnya sebab-sebab yang telah diperhitungkan ini
dan dari apa yang telah dikatakan terhadap pendapat atas Imam
A’ta, An-Nakha’i, Abu Dzar, Ishak, dan Zaid bin Jabir.

Adapun jumhur ulama maka mereka sengaja membedakan


yang mutlak dengan yang muqayyad, maka mereka
menghukumi bahwa sungguh zakat fitrah tidak wajib atas
majikan pada budak-budaknya kecuali pada budak yang muslim.

Imam Syafi’i berkata dalam kitabnya al-Umm setelah


menyebutkan dua hadis diatas, “Dalam hal ini kami semuanya
menyimpulkan, karena dalam hadits Nafi’ terdapat petunjuk
bahwasanya Rasulullah tidak mewajibkan zakat kecuali kepada
orang-orang muslim, dan hal itu sesuai dengan al-Qur’an, bahwa
sesungguhnya orang muslim menjadikan zakat sebagai
penyucian jiwa dan penyucian itu tidak dianjurkan kecuali
terhadap orang-orang muslim. Adapun hadits yang disanadkan
kepada Nafi’ yang dimaksud oleh Imam Syafi’i adalah hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar.
16

Mensyaratkan budak yang beriman dalam Kaffarah Zhihar

Allah swt. berfirman dalam Surah al-Muja>dilah : “Dan


orang-orang yang menzhihar istri mereka, kemudia mereka
hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka wajib
atasnya memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami
isteri itu bercampur.

Dan Allah swt. juga berfirman dalam Surah al-Nisa>: “Dan


barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan tidak
sengaja, maka hendaklah memerdekakan seorang budak”.
Lafadz (raqabah) pada kaffarah zhihar mutlak untuk setiap
budak, namun muqayyad dalam kaffarah pembunuhan secara
tidak sengaja, jadi harus yang beriman. Dan secara jelas hukum
pada kedua ayat tersebut sama, yaitu memerdekakan budak.
Tetapi sebab jatuhnya hukum berbeda. Pada ayat pertama
17

dikarenakan ingin rujuk kembali (walaupun masih ada perbedaan


pendapat pada kata “al-‘awd”), pada ayat kedua dikarenakan
pembunuhan dengan tidak sengaja.

Madzhab Hanafi termasuk ulama yang tidak meyetujui


mutlak dan muqayyad dalam penyamaan hukum dan perbedaan
sebab. Mereka berpendapat bahwa pengamalan mutlak pada
tempatnya dan muqayyad pada tempatnya juga. Maka dalam
kaffarah zhihar diperbolehkan memerdekakan budak baik
mu’min maupun kafir, dan dalam kaffarah pembunuh tidak
sengaja tidak diperbolehkan kecuali hamba yang mu’min

Adapun yang menyamakan arti mutlak dan muqayyad


seperti dalam masalah ini, mereka adalah jumhur ulama : Syafi’i,
Maliki>, Hanbali>, dst, mereka berpendapat bahwasanya tidak
diperboleh pada kedua kaffarah tersebut memerdekakan kecuali
budak yang mu’min

Anda mungkin juga menyukai