Anda di halaman 1dari 12

‫الغرر الكثير يفسد العقود دون يسيره‬

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Qawa’id Fiqhiyyah dalam
Muamalah Maliyah

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M.

Dr. Umar Al-Haddad, M.Ag.

Pemakalah:

Muhamad U Zainullah (21220433000008)

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2022

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun sampaikan kehadirat Allah SWT karena atas segala ridho dan
rahmat-Nya kepada penyusun, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah Penerapan
Qawa’id Fiqhiyyah dalam Muamalah Maliyah ini dengan baik. Sholawat serta salam senantiasa
penyusun haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, dan para sahabatnya.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin
Suma, S.H., M.H., M.M. dan Dr. Umar Al- Haddad, M.Ag. selaku dosen pengampu mata
kuliah Penerapan Qawa’id Fiqhiyyah dalam Muamalah Maliyah ini yang telah memberikan
kesempatan untuk perkembangan kami dan juga kepada teman-teman mahasiswa Magister
Hukum Ekonomi Syariah tahun 2022 yang telah menemani untuk belajar bersama-sama.

Dalam makalah yang berjudul ‫ الغرر الكثير يفسد العقود دون يسيره‬ini, penyusun berharap dapat
memberikan manfaat baik dari segi akademisi maupun dari segipraktis bagi pembaca yang
membaca makalah ini. Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, saran dan kritik yang dapat membangun dari pembaca sangat saya harapkan
demi kesempurnaan makalah ini. Semoga dengan adanya makalah ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi para pembaca.

Jakarta, 16 November 2022

Pemakalah

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... 2

DAFTAR ISI...................................................................................................................... 3

BAB I: PENDAHULUAN ................................................................................................ 4

Latar Belakang .................................................................................................................... 4

Rumusan Masalah ............................................................................................................... 5

BAB II: PEMBAHASAN ................................................................................................. 6

Pengertian Kaidah ............................................................................................................... 6

Dasar Hukum ..................................................................................................................... 7

Contoh Penerapan Kaidah................................................................................................... 9

BAB III: PENUTUP ......................................................................................................... 11

Kesimpulan ......................................................................................................................... 11

Saran ................................................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 12

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia selalu berupaya untuk bisa memenuhi kebutuhan dalam hidupnya. Di antara
upaya-upaya yang dilakukan tersebut tentunya bersentuhan dengan pihak-pihak lain.
Secara konkret, upaya-upaya tersebut bisa tergambar melalui transaksi-transaksi yang
dilakukan oleh satu orang dengan yang lainnya. Tentunya selain untuk memenuhi
kebutuhan, keuntungan dalam bertransaksi menjadi salah satu yang dituju oleh manusia.

Dalam hal bertransaksi yang dilakukan oleh manusia kepada manusia yang kemudian
berkaitan dengan harta benda, Islam menyebutnya dengan istilah muamalah maliyah.
Pelaksanaan muamalah maliyah tidak serta merta dilakukan dengan tanpa adanya syarat
dan ketentuan. Demi mendapatkan harta yang halal, jauh dari syubhat terlebih lagi haram,
ada beberapa ketentuan yang seharusnya diperhatikan dan dipraktikkan dalam bertransaksi
yang benar.

Salah satu ketentuan yang perlu diperhatikan dalam bertransaksi adalah perihal
kejelasan objek transaksi. Islam memperkenalkan istilah gharar terkait hal tersebut. Gharar
adalah satu dari tiga prinsip yang dilarang oleh Islam dalam bertransaksi secara syariah.
Dengan demikian, perlu adanya penjelasan-penjelasan terkait prinsip tersebut agar mudah
diterapkan dalam pratiknya. Pengertian gharar, batasan-batasan, dasar pelarangan dan hal-
hal yang berkaitan dengan penerapannya menjadi sesuatu yang penting untuk diketahui
agar transaksi yang terjadi menjadi transaksi yang sah berdasarkan prinsip syariah.
Penerapan qawa’id fiqhiyyah yang berbunyi ‫ الغرر الكثير يفسد العقود دون يسيره‬juga menjadi salah
satu pembahasan dalam konsep gharar. Terutama dalam penerapannya pada praktik
muamalah maliyah.

Urgensi yang terlihat dalam pemahaman konsep gharar ini menjadi salah satu alasan
pentingnya penulisan makalah ini. Di sisi lain, adanya qawa’id fiqhiyyah yang
bersinggungan dengan konsep tersebut yang kemudian mewajibkan penulis untuk
mengkaji lebih dalam tentang gharar ini. Karena penggunaan suatu kaidah dalam
menyimpulkan suatu hukum masalah tertentu dianggap lebih mudah dan praktis. Apabila
salah pemahaman akan kaidah tersebut, maka hukum yang ditimbulkan akan salah pula.
Sehingga sangat penting untuk memahami kaidah fiqhiyyah secara utuh.

4
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, penulis merumuskan beberapa rumusan agar pembahasan


yang dikaji tepat sasaran. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:

1. Bagaimana pengertian kaidah dan konsep gharar yang terkandung dalam kaidah?
2. Apa yang menjadi dasar hukum terbentuknya kaidah dan pengharaman atas gharar?
3. Bagaimana penerapan kaidah dalam praktik muamalah maliyah?

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah dan Gharar

Beberapa fatwa yang dikeluarkan oleh para ulama atau pakar hukum Islam, khususnya
di Indonesia yaitu oleh Dewan Syariah Nasional, tidak terlepas dari sumber atau dasar
hukum. Salah satunya yang kerap dijadikan dalil adalah kaidah fikih. Dalam bidang
muamalah maliyah ada salah satu kaidah yang berbunyi:

‫الغرر الكثير يفسد العقود دون يسيره‬


Artinya: Gharar yang banyak dapat merusak akad-akad terkecuali sedikitnya gharar (gharar
yang sedikit).

Dari kaidah di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam usaha memahami
makna kaidah. Beberapa di antaranya adalah terkait pengertian dari gharar, baik dari segi
bahasa maupun istilah. Pembatasan gharar juga termasuk pembahasan dalam kaidah ini,
yaitu ada gharar yang banyak dan juga ada yang sedikit yang keduanya mempengaruhi
kepada akad-akad transaksi yang dilakukan.

❖ Pengertian Gharar

Gharar menurut etimologi berasal dari kata ‫غرورا‬-‫غرا‬-‫يغر‬-‫غر‬. Orang yang terlibat dan
menjadi objek (karena merasakan rugi) dalam praktek gharar disebut‫ مغرور‬atau ‫غرير‬, atau
pihak yang merasa ditipu dan telah mengkonsumsi sesuatu yang tidak halal atau terjerumus
ke dalam suatu kesalahan yang disangkanya benar.1 Sedangkan dalam istilah fikih, gharar
adalah suatu sifat dalam transaksi yang menyebabkan sebagian rukunnya tidak pasti
(mastur al-aqibah).2 Perkara yang tidak jelas atau tidak pasti dalam suatu transaksi maka
dapat dikategorikan sebagai gharar, sehingga menyebabkan pihak-pihak yang terkait
merasa tertipu atau terjerumus ke dalam keadaan yang merugikan. Secara operasional,
gharar bisa diartikan kedua belah pihak dalam transaksi tidak memiliki kepastian terhadap
barang yang menjadi objek transaksi baik terkait kualitas, kuantitas, harga, dan waktu
penyerahan barang sehingga pihak kedua dirugikan.3

1
Muh. Fudhail Rohman, “Hakekat dan Batasan-Batasan Gharar Dalam Transaksi Maliyah”, dalam
Salam; Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i, Vol. 5, No. 3, 2018, h. 256.
2
Muh. Mufid, Kaidah Fikih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2019), h. 161.
3
Adiwarman A. Karim dan Oni Sahroni, kaidah Riba dan Gharar dalam Bisnis dan Keuangan, Sintesa
Fikih dan Ekonomi, h. 64.

6
Atas dasar pengertian di atas, praktik gharar (ketidakpastian dalam akad) terjadi dalam
beberapa praktik berikut:4

1. Gharar dalam kualitas, seperti penjualan anak sapi yang masih dalam
kandungan.
2. Gharar dalam kuantitas, seperti dalam kasus ijon.
3. Gharar dalam harga, seperti murabahah rumah 1 tahun dengan margin 20 persen
atau murabahah rumah 2 tahun dengan margin 40 persen.
4. Gharar dalam waktu penyerahan, seperti menjual barang yang hilang.

Untuk menghindari ketidakpastian seperti di atas, menurut Muhammad Ayub, hukum


Islam melarang jual-beli dalam salah satu situasi berikut ini:5

1. Barang-barang yang tidak eksis.


2. Barang-barang yang sudah eksis tetapi belum berada di dalam kekuasaan
penjual atau ketersediaannya tidak dapat diharapkan.
3. Barang-barang yang dipertukarkan berdasarkan penyerahan dan pembayaran
yang tidak pasti.
B. Dasar Hukum

Pelarangan unsur gharar dalam praktik muamalah maliyah bersumber pada beberapa
dalil yang menjadi landasan, antara lain:

1. Al-Qur’an

Penggunaan lafadz gharar tidak tertulis secara langsung dalam al-Qur’an. Namun,
ada beberapa ayat yang dianggap memiliki keterkaitan dengan gharar, sebagai berikut:

‫ّلل ٱ ۡلغَرور‬ ّٞۖ


ِ َّ ‫ّلل َحق فَ ََل تَغ َّرنَّكم ٱ ۡل َح َيوة ٱلد ُّۡن َيا َو ََل َيغ َّرنَّكم ِبٱ‬
ِ َّ ‫ََٰٓيأ َ ُّي َها ٱلنَّاس ِإنَّ َو ۡع َد ٱ‬

Artinya:

Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah
kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai
menipu, memperdayakan kamu tentang Allah. (Q.S Fatir Ayat 5)

4
Adiwarman A. Karim dan Oni Sahroni, Riba, Gharar, dan Kaidah-Kaidah Ekonomi Syariah: Analisis
Fikih dan Ekonomi, (Jakarta: Rajawali Press, 2015), h. 78.
5
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah; Produk-Produk dan Aspek-Aspek Hukumnya, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2018), h. 170.

7
Ayat ini menerangkan bahwa setan sebagai pelaku akan menggoda dan
memberdayakan manusia ke dalam perangkapnya. Bisa pula dalam arti
membahayakan, baik kepada diri sendiri maupun harta. Artinya membuka peluang
untuk menjadi hancur/bahaya tanpa diketahui. Isimnya adalah gharar. Gharar bermakna
bahaya, dan taghrir bermakna menjerumuskan diri ke dalam gharar.6

Gharar secara tersirat juga dapat digambarkan sebagai perbuatan yang


mengandung unsur memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Perbuatan yang
demikian telah dilarang oleh Allah melalui firman-Nya sebagai berikut:

ِ َّ‫َو ََل تَ ۡأكل َٰٓواْ أَ ۡم َولَكم بَ ۡينَكم ِبٱ ۡلبَ ِط ِل َوت ۡدلواْ ِب َها َٰٓ ِإلَى ٱ ۡلحك َِّام ِلتَ ۡأكلواْ فَ ِر ٗيقا ِم ۡن أَ ۡم َو ِل ٱلن‬
‫اس ِبٱ ۡ ِۡل ۡث ِم‬
َ‫َوأَنتمۡ تَ ۡع َلمون‬

Artinya:

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (Q.S al-Baqarah ayat 188).

2. Hadist

Rasulullah SAW telah melarang jual beli yang terindikasi unsur gharar di dalamnya.
Hal tersebut terbukti dengan adanya hadits sebagai berikut:

‫عن أبي هريرة قال نهى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم عن بيع الحصاة وعن بيع الغرر‬

Artinya:

Dari Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW. telah melarang dari melakukan jual beli
hasat dan dari jual beli gharar”. (H.R Abu Daud dan Muslim).

Hadist ini menjelaskan tentang larangan melakukan jual beli ghārar dan jual beli
secara melempar krikil. Yang dimaksud dengan ghārar di sini yaitu suatu objek yang
tidak dapat dipastikan apakah akan bisa diserahkan atau tidak. Menurut Imam Nawawi,
jual beli secara melempar kerikil terdapat tiga penafsiran, yaitu:

6
Muh. Fudhail Rohman,“Hakekat dan Batasan-Batasan Gharar Dalam Transaksi Maliyah”, h. 256.

8
a. Seorang penjual berkata kepada pembeli, “saya menjual dari sebagian pakaian
ini, yang terkena lemparan batu saya”. Atau dia berkata kepada pembeli, “saya
menjual tanah ini dari sini sampai batasan jatuhnya batu ini”.
b. Seorang berkata kepada pembeli, saya jual kepadamu barang ini dengan catatan
engkau mempunyai hak khiyar sampai aku melempar batu kerikil ini.
c. Pihak penjual dan pembeli menjadikan sesuatu yang dilempar dengan batu
sebagai barang dagangan, yaitu pembeli berkata kepada penjual, “apabila saya
lempar pakaian dengan batu, maka ia saya beli darimu dengan harga sekian”.7
C. Penerapan Kaidah Dalam Muamalah Maliyah

Ulama telah bersepakat, seperti yang termaktub dalam Mi’yar al-Shar’i Li al-
Mu’amalah al-Maliyah, bahwa ada empat macam aspek yang menyebabkan gharar
dilarang, yaitu:

1. Volume gharar lebih banyak.


2. Gharar hanya terjadi pada transaksi bisnis.
3. Gharar ada pada bagian yang pokok.
4. Tidak ada kebutuhan mendesak.8

Dengan demikian, pemahaman terbalik dari empat aspek di atas, tidak terkena larangan
gharar atau jika ada gharar di dalamnya maka hal tersebut tidak mempengaruhi akad yang
terjadi atau dapat dikatakan dimaafkan (ma’fu ‘anhu), antara lain; volume ghararnya sedikit,
bentuk transaksinya bersifat sosial, gharar terdapat pada unsur pengikut, dan transaksi yang
dilakukan ditujukan untuk kebutuhan yang mendesak atau penting.

Beberapa contoh penerapan kaidah dalam muamalah maliyah dengan pemberlakuan


larangan gharar karena sebab volume gharar yang banyak yang kemudian berimbas kepada
rusaknya akad sebagai berikut:9

1. Penjualan anak sapi atau hewan lainnya yang masih dalam kandungan.
2. Jual Beli Ijon

7
Abdul ‘Azim bin Badawi Al-Khalafi, Al-Wajiz Ensiklopedi Fiqih dalam Al-Qur’an As- Sunnah As-
Shahih, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2006), hlm. 658-659.
8
Muh. Fudhail Rohman,“Hakekat dan Batasan-Batasan Gharar Dalam Transaksi Maliyah”, h. 269.
9
Muh. Mufid, Kaidah Fikih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2019), h. 161-
162.

9
3. Jual beli atau murabahah rumah dengan margin 20 persen atau lebih dalam 1
tahun dan seterusnya.
4. Jual beli barang yang hilang.
5. Sewa rumah atau sejenisnya tanpa batas waktu.
6. Jual beli barang yang tidak pasti keberadaannya pada waktu penyerahannya.

Selanjutnya, beberapa contoh transaksi yang mengandung gharar bervolume kecil yang
tidak merusak akad dari transaksi tersebut:10

1. Jual beli buah yang dilapisi oleh kulit, meski tidak melihat isinya langsung.
2. Jual beli rumah tanpa melihat pondasinya.
3. Sewa masuk toilet, tanpa membedakan secara pasti jumlah air yang digunakan
serta lamanya berdiam diri di dalamnya.
4. Sewa rumah yang sama pada hitungan perbulan, meskipun ada perbedaan
jumlah hari. Adakalanya 29, 30 atau 31 hari.

Perlu diketahui lebih lanjut bahwa dikatakan gharar berlebihan atau berat jika gharar
tersebut dapat dihindarkan dan dapat menimbulkan perselisihan di antara para pelaku akad.
Gharar jenis ini berbeda-beda, sesuai dengan kondisi dan tempat. Oleh karena itu, standar
gharar ini dikembalikan kepada urf.11

10
Muh. Fudhail Rohman,“Hakekat dan Batasan-Batasan Gharar Dalam Transaksi Maliyah”, h. 270.
11
Adiwarman A. Karim dan Oni Sahroni, Riba, Gharar, dan Kaidah-Kaidah Ekonomi Syariah: Analisis
Fikih dan Ekonomi, (Jakarta: Rajawali Press, 2015), h. 82.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Islam secara lengkap mengatur segala bentuk aktivitas pemeluknya. Di antara aktivitas
tersebut adalah aktivitas manusia dalam mencari harta. Dengan berbagai bentuk akad yang
disediakan oleh ajaran Islam, manusia dalam mencari pendapatan atau lebih dari itu
mencari keuntungan memiliki berbagai macam atau bentuk transaksi. Namun, Islam juga
membatasi dengan batasan-batasan yang seharusnya mampu untuk ditaati oleh para pelaku
akad transaksi. Salah satunya adalah batasan akad yang tidak boleh mengandung unsur
gharar.

‫الغرر الكثير يفسد العقود دون يسيره‬


Adalah kaidah fikih yang berkaitan dengan gharar. Dalam kaidah tersebut, gharar dibagi
menjadi dua jenis yaitu gharar yang banyak dan gharar yang sedikit. Gharar yang banyak
dapat merusak akad dari suatu transaksi, sedangkan gharar yang sedikit tidak merusak akad.
Adapun patokan banyak dan sedikitnya gharar itu dapat dikembalikan kepada urf yang
berlaku pada suatu wilayah.

B. Saran

Penulis menyarankan sekalipun ada istilah gharar yang sedikit, tidak merusak akad
transaksi, lebih baik untuk tetap berhati-hati dan menghindari gharar sebisa mungkin. Karena
hal tersebut akan meyakinkan pada batin bahwa apa yang didapat dari sebuah transaksi
merupakan sesuatu yang halal sehingga tidak terjebak pada situasi ragu.

11
DAFTAR PUSTAKA

A. Karim, Adiwarman dan Oni Sahroni, kaidah Riba dan Gharar dalam Bisnis dan Keuangan,
Sintesa Fikih dan Ekonomi.
A. Karim, Adiwarman dan Oni Sahroni, Riba, Gharar, dan Kaidah-Kaidah Ekonomi Syariah:
Analisis Fikih dan Ekonomi, Jakarta: Rajawali Press, 2015.
Abdul ‘Azim bin Badawi Al-Khalafi, Al-Wajiz Ensiklopedi Fiqih dalam Al-Qur’an As-
Sunnah As-Shahih, Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2006.

Fudhail Rohman, Muh,“Hakekat dan Batasan-Batasan Gharar Dalam Transaksi Maliyah”,


dalam Salam; Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i, Vol. 5, No. 3, 2018.

Mufid, Muh, Kaidah Fikih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2019.
Remy Sjahdeini, Sutan, Perbankan Syariah; Produk-Produk dan Aspek-Aspek Hukumnya,
Jakarta: Prenadamedia Group, 2018.

12

Anda mungkin juga menyukai