Anda di halaman 1dari 9

Tafsir Al-Isyari

Oleh: Siti Durrotun Nafisah

I. Pendahuluan

Dalam memahami makna makna yang terkandung dalam al-Quran, para ulama’
banyak yang menekuni dalam menafsirkan atau menakwilkan kandungan al-Qur’an
dengan beberapa metode atau dengan beberagam corak dan dengan beberapa bentuk
penafsiran yang beragam, diantaranya yaitu dengan menggunakan riwayat, akal dan
isyarat- isyarat yang terlahir dari para ahli sufi, adapun penafsiran dengan
menggunakan isyarat itu terdapat beberapa pendapat ulama’ tentang diperbolehkan
dan tidak diperbolehkanya dengan menetapi beberapa syarat-syarat yang menjadikan
tafsir itu diterima.

II. Pembahasan
A. Pengertian

Tafsir isyari adalah penakwilan ayat al-Quran dengan selain dhohir al-Qur’an,
yakni dengan menggunakan isyarat yang samar yang dilakukan oleh para ahli
tasawuf dan seseorang yang menempuh ma’rifat pada Allah, dan memungkinkan juga
menyatukan antara isyarat dengan dhohir ayat.1

Seseorang yang menempuh ma’rifat pada Allah atau seseorang yang


mujahadah adalah seseorang yang telah diberi sinar oleh Allah, sehingga mereka
Stelah menemukan rahasia-rahasia al-Qur’an, dengan lantaran ilham ilahy, atau
dengan pemahaman rabbany , sehingga mereka dapat menyatukan antara isyarat-
isyarat dengan dhohir ayat.

Dalam tafsir isyari, mufassir berpendapat dengan makna lain, tidak


sebagaimana dhohir ayat, tetapi penafsiran tersebut tidak tampak disetiap manusia,
namun penafsiran tersebut tampak pada seseorang yang dibuka hatinya oleh Allah,

1 Muhammad Abdul Adhim Az-Zarqoni, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an , (Bairut-Lebanon: Dar
al-Kutub al-Ilmi, 2010), 310

1
dan diberikan darinya cahaya pemahaman, dan termasuk orang-orang shaleh, yakni
seseorang yang telah diberi pemahaman oleh Allah, sebagaimana firman Allah
mengenai kisah Nabi Khidir dengan Nabi Musa

ً‫فليلولجلداً لعلبمداً عملن ععلباًعدلناً آتليليَيلناًهد لرلحلةم عملن ععلنعدلناً لولعلنلملناًهد عملن لددنناً ععلمما‬

Macam dari tafsir isyari ini bukanlah termasuk dari ilmu yang dapat diperoleh
dari suatu usaha yang dapat diperoleh dengan pembahasan dan pemikiran, akan tetapi
termasuk dari ilmu ladunni yaitu suatu pemberian dari bentuk ketaqwaan, istiqamah
dan kebaikan, sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah

2
‫لواًتنيدقواً اًللنهل لويَيدلعلدمدكدم اًللنهد لواًللنهد بعدكلل لشليءء لعلعيَمم‬

Ibnu al-Qayyim telah mengatakan bahwa penafsiran seseorang itu akan


melalui tiga dasar,

1. Menafsiri pada lafad, sebagaimana yang telah ditekuni oleh ulama


khalaf,
2. Menafsiri pada makna, yaitu sesuatu yang telah disebutkan oleh
ulama’ salaf
3. Menafsiri atas isyarat, yaitu penafsiran yang dicondongi oleh
kebanyakan ahli sufi.3

B. Pendapat Ulama’ tentang Tafsir Isyari

Ulama’ telah berselisih dalam menghukumi tafsir isyari, sebagian dari mereka
memperbolehkanya dan sebagian yang lain melarang.

Imam Zarkasyi dalam kitab al Burhan mengatakan bahwa : pembicaraan ahli


sufi dalam menafsiri al-Quran telah dikatakan bahwa hal itu bukanlah termasuk tafsir

2Muhammad Ali as-Shobuni, at- Tibyan fi al-Ulum al-Qur’an, (Pakistan: Maktabah al-Bushra, 1432),
115

3Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, (Surabaya: al-Hidayah, tth), 357-358

2
melainkan itu adalah makna makna yang ditemukan dalam tingkah ketika membaca
al-Qur’an. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh sebagian ahli sufi mengenai

firman Allah ‫ليَاً أليَييلهاً اًلنعذيَلن آلمندواً لقاًتعلدواً اًلنعذيَلن يَليلديونلدكلم عميلن اًلدكنفياًعر‬ (At-Taubah, 123) Yang

dimaksud adalah “nafsu”, mereka berkehendak, illat dari perintah itu adalah untuk
memerangi seseorang yang mengiringi kita karena faktor dekat, sedangkan sesuatu
yang terdekat dengan manusia adalah nafsunya

Ibnu Shalah dalam kitab Fatawinya mengatakan: telah ditemukan dari Imam
Abi Hasan al-Wahidi seorang mufassir sesungguhnya beliau berkata: Abu Abdir
Rahman telah mengarang haqaiq fi at-tafsir “ ketika telah meyakini bahwa itu
adalah sebuah penafsiran maka dihukumi kafir” 4

Imam Nasafi dalam al-Aqaid mengatakan: nash-nash itu harus sesuai dengan
dhohirnya, dan pemindahan nash pada makna lain yang dilakukan oleh ahli bathil itu
adalah sebuah penyelewengan.

At-Taftazani dalam kitabnya Syarah al-Aqaid mengatakan: para ateis


dikatakan sebagai golongan bathiniyah karena pengakuan mereka atas nash-nash
yang tidak dengan dhohirnya, namun nash nash tersebut mempunyai makana-makna
yang tidak dapat diketahui kecuali dari sang guru, dan mereka telah bermaksud untuk
menafikan syariat secara keseluruhan.

Imam As-Syuyuti telah menuturkan dalam al-Itqon, dari pendapatnya Ibnu


Atha’ : ketahuilah bahwa tafsir isyari terhadap kalam Allah dan kalam Rasul dengan
menggunakan makna-makna bahasa Arab bukanlah berarti suatu pemalingan arti dari
dhohirnya, tetapi dari dhohir ayat itu dapat dipahami makna sebenarnya seperti yang
dimaksud oleh ayat.5

4 Muhammad Abdul Adhim Az-Zarqoni, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an , (Bairut-Lebanon: Dar
al-Kutub al-Ilmi, 2010), 310

5 Muhammad Ali as-Shobuni, at- Tibyan fi al-Ulum al-Qur’an, (Pakistan: Maktabah al-Bushra,
1432),118-119

3
Perbedaan antara tafsir sufi yang dinamai dengan tafsir isyari dengan tafsir al
bathiniyah al-Mulahadah, maka para ahli sufi tidak mencegah yang dimaksud dari
dhohir ayat bahkan mereka mendorong hal tersebut dan mereka mengatakan hal itu
wajib dilakukan sebelumnya. Jadi barang siapa yang mengaku- ngaku memahami
beberapa rahasia al-Quran dan dia tidak menghukumi dhohirnya maka dia
diumpamakan sebagaimana seseorang yang mengaku- ngaku sampai pada loteng
rumah tampa melewati pintu dari rumah tersebut. Sedangkan menurut para
bathiniyah, sesungguhnya dhohir al-Qur’an itu bukanlah maksud asal, dan
sesungguhnya yang dimaksud adalah yang bathin, dan mereka bermaksud untuk
menafikan syariat.6

C. Syarat Diterimanya Tafsir Isyari

Sebagaimana yang sudah dijelaskan bahwa tafsir isyari ada yang dapat diterima
dan ada yang tidak dapat diterima. Adapun syarat-syarat diterimanya tafsir isyari
adalah:

1. Setidaknya tafsir isyari itu tidak menafikan pada dhohir ayat al-Qur’an
2. Tafsir isyari mempunya bukti syariat yang mengutkanya
3. Tidak adanya perlawanan antara tafsir isyari dengan syariat dan akal
4. Tidak menganggap bahwa tafsir isyari adalah maksud yang paling
benar tampa dhohir, bahkan wajib mengetahui makna-makna dhohir terlebuih
dahulu.7

Dan dapat dipahan dengan penggambaran pasti bahwa tidaklah mungkin


seseorang yang mempunyai akal dapat menerima sesuatu yang dinukil dari sebagian
ahli tasawuf yang menafsirkan firman Allah dalam ayat ke 255 dari surat al-Baqarah

yang berbunyi ‫بععإلذنععه‬ ِ‫ لملن لذاً اًلنعذيِ يَللشلفدع ععلنلدهد عإل‬mereka mengatakan bahwa maknanya
adalah: (‫ )من ذل‬dari (‫ )ذى‬, ‫ الذل‬isyarat terhadat an-nafsu, (‫ )يشف‬dari as-syifa’ , (‫)ع‬
berupa fi’il amar dari ‫ الللوعى‬, dan juga yang dinukil dari sebagian ahli sufi yang
6 Muhammad Afifuddin Dimyati, Mawaridu al-Bayan , (Sidoarjo: Maktabah Lisan Arabi, 2016), 129

7 Muhammad Husain Ad-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun , (ttp: Dar al-Hadith, 1433),330

4
‫عع‬
menafsiri firman Allah dalam ayat ke 69 dari surat al-Ankabut ‫لوإعنن اًللنهل للملع اًلدملحسن ل‬
‫ي‬

pada lafad (‫ )لم يع‬dijadikan sebagai fi’il madhi dengan arti ‫ أضيياًء‬dan pada lafadz (
‫لل‬
‫ي‬ ‫عع‬
‫ )اًلدملحس ين ل‬sebagai maf’ulnya. Dalam hal tersebut sesuai dengan yang dikehendaki
Ibnu Abbas dalam ungkapanya “ mereka meletakkan suatu kalam tidak pada
tempatnya” .8

D. Perbedaan Antara Tafsir Sufi Isyari Dengan Tafsir


Sufi Nadhari

Perbedaan antara tafsir sufi syari dengan tafsir sufi nadhari itu terdapat dua wajah:

1. Sesungguhnya tafsir sufi nadhori itu dibangun atas dasar-dasar


keilmuan yang dapat merusak batin ahli sufi dalam permulaan
Sedangkan tafsir sufi isyari tidak mendiami dasar-dasar keilmuan, tetapi
dengan adanya riyadhoh ruhiyyah yang biyasa dilakukan oleh ahli sufi,
sehingga mereka sampai pada suatu derajat yang dapat menyingkap
ibarah-ibarah yang berupa isyarat-isyarat al-qudsiyah
2. Sesungguhnya tafsir sufi nadhori itu adalah makna makna yang
berhubungan denga ayat, dan tidak terdapat makna lain yang mengarahkan
pada ayat, dan ini sesuai dengan kemampuan mufassir secara pasti.
Sedangkan tafsir sufi isyari, para ahli sufi tidak berpendapat bahwa
penafsiranya itu adalah yang dimaksud oleh ayat tetapi terdapat makna
lain yang dikandung dan yang dimaksud oleh ayat , yaitu makna dhohir
yang dapat mendorong pemahaman. 9

E. Dalil yang Memperbolehkan Tafsir Isyari

8 Muhammad Husain Ad-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun , (ttp: Dar al-Hadith, 1433),331

9 Muhammad Husain Ad-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun , (ttp: Dar al-Hadith, 1433),308

5
Mereka yang memperbolehkan tafsir isyari beralasan dengan hadis yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab shohih nya dalam bab tafsir dalam
menafsirkan surat an-Nashr, dan terdapat hadis dari Ibnu Abbas, beliau berkata: Umar
mengajakku bergabung bersama tokoh-tokoh perang Badar. Di antara mereka ada
yang berkata “ mengapa kau mengajak anak kecil ini bersama kami padahal kami
mempunyai beberapa anak yang seusia denganya?” Umar menjawab “ ia adalah
seorang yang kau kenal kepandaianya. Pada suatu ketika aku dipanggil untuik
bergabung dengan kelompok mereka. Ibnu Abbas berkata “ aku berkeyakinan bahwa
Umar memanggilku semata-mata untuk diperkenalkan kepada mereka. Umar berkata,

“ apa pendapat kalian tentang firman Allah: ‫صي يدر اًللني يعه لواًللفلتي يدح‬
‫ إعلذاً لجيياًءل نل ل‬. dikalangan
mereka ada yang menjawab “kami diperintah untuk memuji dan meminta ampun
kepada Allah ketika mendapat pertolongan dan kemenangan.” Sahabat yang lain
bungkam dan tidak mengatakan apa-apa. Umar melemparkan pertanyaan padaku
“begitukah pendapatmu Ibnu Abbas?” aku menjawab, “ ayat itu menunjukkan ajal

Rasulallah, yang diberitahukan Allah kepadanya, ia berfirman, ‫صي يدر اًللني يعه‬
‫إعلذاً لجي يياًءل نل ل‬

‫ع‬ ‫ع‬
‫لواًللفلتدح‬ itu adalah tanda-tanda tentang dekatnya ajalmu. ‫فللسبللح عبللميد لربيل ل‬
‫ك لواًلسييتليلغفلرهد إع ينهد‬

ً‫لكيياًلن تلينواًبمييا‬ Umar menjawab “ aku tidak tau pengertian ayat tersebut, kecuali yang

engkau jelaskan.” (hadis riwayat Bukhari)

Pemahaman Ibnu Abbas ini tidak dapat dikuasai oleh sahabat-sahabat lain.
Yang memahaminya hanyalah Umar dan Ibnu Abbas sendiri, inilah bentuk tafsir
isyari yang diilhamkan Allah kepada makhluknya yang ia kehendaki untuk
diperlihatkan pada hamba-hamba yang lain. Surat an-Nashr tersebut menyatakan
berita wafatnya Nabi Saw, dan menunjukkan dekatnya ajal beliau.10

10 Muhammad Ali as-Shobuni, at- Tibyan fi al-Ulum al-Qur’an, (Pakistan: Maktabah al-Bushra,
1432), 116

6
F. Kitab-kitab tafsir isyari11
1. Tafsir Al-Qur’anul Adzim, Imam at Thustari
2. Haqaiq At-Tafsir, Imam as-Salimy
3. Araisul Bayan fi Haqaiq al-Qur’an, Abi Muhammad as-Syiraji
4. At-Ta’wilat an-Najimiah, Najmu ad-Din Dayati
5. Tafsir al-Mansub, Ibnu Arabi

III.Kesimpulan

Tafsir isyari adalah penakwilan ayat al-Quran dengan selain dhohir al-Qur’an,
yakni dengan menggunakan isyarat yang samar yang dilakukan oleh para ahli
tasawuf dan seseorang yang menempuh ma’rifat pada Allah, dan memungkinkan juga
menyatukan antara isyarat dengan dhohir ayat.

Tafsir isyari dapat diterima dengan adanya lima syarat yaitu Setidaknya tafsir
isyari tidak menafikan pada dhohir ayat al-Qur’an, tafsir isyari mempunya bukti
syariat yang mengutkanya, tidak adanya perlawanan antara tafsir isyari dengan
syariat dan akal, tidak menganggap bahwa tafsir isyari adalah maksud yang paling
benar tampa dhohir, bahkan wajib mengetahui makna-makna dhohir terlebuih dahulu.

Adapun dalil para ulama’ yang memperbolehkan tafsir isyari yaitu diambil

dari penafsiran Ibnu Abbas dalam ayat ‫صدر اًللنيعه لواًللفلتيدح‬


‫ إعلذاً لجاًءل نل ل‬yang ditafsiri dengan
dekatnya ajal Rasul. Begitu juga penafsiran Abu Bakar dalam ayat al-Quran yang

‫ع‬
terakhir turun yaitu surat al-Maidah ayat 3, ‫ت لدكيلم ديَنلدكيلم لوأللتللمي د‬
‫ت لعلليَدكيلم‬ ‫اًليَل يلولم أللكلملي د‬
ً‫ت لدكدم اًللسلْلم عديَمنا‬ ‫ع‬ ‫ع‬
‫نلعلمعت لولرضيَ د‬, yang ditafsiri juga dengan akan datangnya ajal Rasul.

11 Muhammad Husain Ad-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun , (ttp: Dar al-Hadith, 1433),333-350

7
Daftar Pustaka

Ad-Dzahabi, Muhammad Husain Tafsir wa al-Mufassirun , ttp: Dar al-Hadith, 1433.

al-Qattan, Manna’ Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Surabaya: al-Hidayah, tth.

As-Shobuni, Muhammad Ali at- Tibyan fi al-Ulum al-Qur’an, Pakistan: Maktabah al-
Bushra, 1432.

Az-Zarqoni, Muhammad Abdul Adhim Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an , Bairut-


Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmi, 2010.

8
Dimyati,Muhammad Afifuddin Mawaridu al-Bayan , Sidoarjo: Maktabah Lisan
Arabi, 2016.

Anda mungkin juga menyukai