I. Pendahuluan
Dalam memahami makna makna yang terkandung dalam al-Quran, para ulama’
banyak yang menekuni dalam menafsirkan atau menakwilkan kandungan al-Qur’an
dengan beberapa metode atau dengan beberagam corak dan dengan beberapa bentuk
penafsiran yang beragam, diantaranya yaitu dengan menggunakan riwayat, akal dan
isyarat- isyarat yang terlahir dari para ahli sufi, adapun penafsiran dengan
menggunakan isyarat itu terdapat beberapa pendapat ulama’ tentang diperbolehkan
dan tidak diperbolehkanya dengan menetapi beberapa syarat-syarat yang menjadikan
tafsir itu diterima.
II. Pembahasan
A. Pengertian
Tafsir isyari adalah penakwilan ayat al-Quran dengan selain dhohir al-Qur’an,
yakni dengan menggunakan isyarat yang samar yang dilakukan oleh para ahli
tasawuf dan seseorang yang menempuh ma’rifat pada Allah, dan memungkinkan juga
menyatukan antara isyarat dengan dhohir ayat.1
1 Muhammad Abdul Adhim Az-Zarqoni, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an , (Bairut-Lebanon: Dar
al-Kutub al-Ilmi, 2010), 310
1
dan diberikan darinya cahaya pemahaman, dan termasuk orang-orang shaleh, yakni
seseorang yang telah diberi pemahaman oleh Allah, sebagaimana firman Allah
mengenai kisah Nabi Khidir dengan Nabi Musa
ًفليلولجلداً لعلبمداً عملن ععلباًعدلناً آتليليَيلناًهد لرلحلةم عملن ععلنعدلناً لولعلنلملناًهد عملن لددنناً ععلمما
Macam dari tafsir isyari ini bukanlah termasuk dari ilmu yang dapat diperoleh
dari suatu usaha yang dapat diperoleh dengan pembahasan dan pemikiran, akan tetapi
termasuk dari ilmu ladunni yaitu suatu pemberian dari bentuk ketaqwaan, istiqamah
dan kebaikan, sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah
2
لواًتنيدقواً اًللنهل لويَيدلعلدمدكدم اًللنهد لواًللنهد بعدكلل لشليءء لعلعيَمم
Ulama’ telah berselisih dalam menghukumi tafsir isyari, sebagian dari mereka
memperbolehkanya dan sebagian yang lain melarang.
2Muhammad Ali as-Shobuni, at- Tibyan fi al-Ulum al-Qur’an, (Pakistan: Maktabah al-Bushra, 1432),
115
2
melainkan itu adalah makna makna yang ditemukan dalam tingkah ketika membaca
al-Qur’an. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh sebagian ahli sufi mengenai
firman Allah ليَاً أليَييلهاً اًلنعذيَلن آلمندواً لقاًتعلدواً اًلنعذيَلن يَليلديونلدكلم عميلن اًلدكنفياًعر (At-Taubah, 123) Yang
dimaksud adalah “nafsu”, mereka berkehendak, illat dari perintah itu adalah untuk
memerangi seseorang yang mengiringi kita karena faktor dekat, sedangkan sesuatu
yang terdekat dengan manusia adalah nafsunya
Ibnu Shalah dalam kitab Fatawinya mengatakan: telah ditemukan dari Imam
Abi Hasan al-Wahidi seorang mufassir sesungguhnya beliau berkata: Abu Abdir
Rahman telah mengarang haqaiq fi at-tafsir “ ketika telah meyakini bahwa itu
adalah sebuah penafsiran maka dihukumi kafir” 4
Imam Nasafi dalam al-Aqaid mengatakan: nash-nash itu harus sesuai dengan
dhohirnya, dan pemindahan nash pada makna lain yang dilakukan oleh ahli bathil itu
adalah sebuah penyelewengan.
4 Muhammad Abdul Adhim Az-Zarqoni, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an , (Bairut-Lebanon: Dar
al-Kutub al-Ilmi, 2010), 310
5 Muhammad Ali as-Shobuni, at- Tibyan fi al-Ulum al-Qur’an, (Pakistan: Maktabah al-Bushra,
1432),118-119
3
Perbedaan antara tafsir sufi yang dinamai dengan tafsir isyari dengan tafsir al
bathiniyah al-Mulahadah, maka para ahli sufi tidak mencegah yang dimaksud dari
dhohir ayat bahkan mereka mendorong hal tersebut dan mereka mengatakan hal itu
wajib dilakukan sebelumnya. Jadi barang siapa yang mengaku- ngaku memahami
beberapa rahasia al-Quran dan dia tidak menghukumi dhohirnya maka dia
diumpamakan sebagaimana seseorang yang mengaku- ngaku sampai pada loteng
rumah tampa melewati pintu dari rumah tersebut. Sedangkan menurut para
bathiniyah, sesungguhnya dhohir al-Qur’an itu bukanlah maksud asal, dan
sesungguhnya yang dimaksud adalah yang bathin, dan mereka bermaksud untuk
menafikan syariat.6
Sebagaimana yang sudah dijelaskan bahwa tafsir isyari ada yang dapat diterima
dan ada yang tidak dapat diterima. Adapun syarat-syarat diterimanya tafsir isyari
adalah:
1. Setidaknya tafsir isyari itu tidak menafikan pada dhohir ayat al-Qur’an
2. Tafsir isyari mempunya bukti syariat yang mengutkanya
3. Tidak adanya perlawanan antara tafsir isyari dengan syariat dan akal
4. Tidak menganggap bahwa tafsir isyari adalah maksud yang paling
benar tampa dhohir, bahkan wajib mengetahui makna-makna dhohir terlebuih
dahulu.7
yang berbunyi بععإلذنععه ِ لملن لذاً اًلنعذيِ يَللشلفدع ععلنلدهد عإلmereka mengatakan bahwa maknanya
adalah: ( )من ذلdari ( )ذى, الذلisyarat terhadat an-nafsu, ( )يشفdari as-syifa’ , ()ع
berupa fi’il amar dari الللوعى, dan juga yang dinukil dari sebagian ahli sufi yang
6 Muhammad Afifuddin Dimyati, Mawaridu al-Bayan , (Sidoarjo: Maktabah Lisan Arabi, 2016), 129
4
عع
menafsiri firman Allah dalam ayat ke 69 dari surat al-Ankabut لوإعنن اًللنهل للملع اًلدملحسن ل
ي
pada lafad ( )لم يعdijadikan sebagai fi’il madhi dengan arti أضيياًءdan pada lafadz (
لل
ي عع
)اًلدملحس ين لsebagai maf’ulnya. Dalam hal tersebut sesuai dengan yang dikehendaki
Ibnu Abbas dalam ungkapanya “ mereka meletakkan suatu kalam tidak pada
tempatnya” .8
Perbedaan antara tafsir sufi syari dengan tafsir sufi nadhari itu terdapat dua wajah:
5
Mereka yang memperbolehkan tafsir isyari beralasan dengan hadis yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab shohih nya dalam bab tafsir dalam
menafsirkan surat an-Nashr, dan terdapat hadis dari Ibnu Abbas, beliau berkata: Umar
mengajakku bergabung bersama tokoh-tokoh perang Badar. Di antara mereka ada
yang berkata “ mengapa kau mengajak anak kecil ini bersama kami padahal kami
mempunyai beberapa anak yang seusia denganya?” Umar menjawab “ ia adalah
seorang yang kau kenal kepandaianya. Pada suatu ketika aku dipanggil untuik
bergabung dengan kelompok mereka. Ibnu Abbas berkata “ aku berkeyakinan bahwa
Umar memanggilku semata-mata untuk diperkenalkan kepada mereka. Umar berkata,
“ apa pendapat kalian tentang firman Allah: صي يدر اًللني يعه لواًللفلتي يدح
إعلذاً لجيياًءل نل ل. dikalangan
mereka ada yang menjawab “kami diperintah untuk memuji dan meminta ampun
kepada Allah ketika mendapat pertolongan dan kemenangan.” Sahabat yang lain
bungkam dan tidak mengatakan apa-apa. Umar melemparkan pertanyaan padaku
“begitukah pendapatmu Ibnu Abbas?” aku menjawab, “ ayat itu menunjukkan ajal
Rasulallah, yang diberitahukan Allah kepadanya, ia berfirman, صي يدر اًللني يعه
إعلذاً لجي يياًءل نل ل
ع ع
لواًللفلتدح itu adalah tanda-tanda tentang dekatnya ajalmu. فللسبللح عبللميد لربيل ل
ك لواًلسييتليلغفلرهد إع ينهد
ًلكيياًلن تلينواًبمييا Umar menjawab “ aku tidak tau pengertian ayat tersebut, kecuali yang
Pemahaman Ibnu Abbas ini tidak dapat dikuasai oleh sahabat-sahabat lain.
Yang memahaminya hanyalah Umar dan Ibnu Abbas sendiri, inilah bentuk tafsir
isyari yang diilhamkan Allah kepada makhluknya yang ia kehendaki untuk
diperlihatkan pada hamba-hamba yang lain. Surat an-Nashr tersebut menyatakan
berita wafatnya Nabi Saw, dan menunjukkan dekatnya ajal beliau.10
10 Muhammad Ali as-Shobuni, at- Tibyan fi al-Ulum al-Qur’an, (Pakistan: Maktabah al-Bushra,
1432), 116
6
F. Kitab-kitab tafsir isyari11
1. Tafsir Al-Qur’anul Adzim, Imam at Thustari
2. Haqaiq At-Tafsir, Imam as-Salimy
3. Araisul Bayan fi Haqaiq al-Qur’an, Abi Muhammad as-Syiraji
4. At-Ta’wilat an-Najimiah, Najmu ad-Din Dayati
5. Tafsir al-Mansub, Ibnu Arabi
III.Kesimpulan
Tafsir isyari adalah penakwilan ayat al-Quran dengan selain dhohir al-Qur’an,
yakni dengan menggunakan isyarat yang samar yang dilakukan oleh para ahli
tasawuf dan seseorang yang menempuh ma’rifat pada Allah, dan memungkinkan juga
menyatukan antara isyarat dengan dhohir ayat.
Tafsir isyari dapat diterima dengan adanya lima syarat yaitu Setidaknya tafsir
isyari tidak menafikan pada dhohir ayat al-Qur’an, tafsir isyari mempunya bukti
syariat yang mengutkanya, tidak adanya perlawanan antara tafsir isyari dengan
syariat dan akal, tidak menganggap bahwa tafsir isyari adalah maksud yang paling
benar tampa dhohir, bahkan wajib mengetahui makna-makna dhohir terlebuih dahulu.
Adapun dalil para ulama’ yang memperbolehkan tafsir isyari yaitu diambil
ع
terakhir turun yaitu surat al-Maidah ayat 3, ت لدكيلم ديَنلدكيلم لوأللتللمي د
ت لعلليَدكيلم اًليَل يلولم أللكلملي د
ًت لدكدم اًللسلْلم عديَمنا ع ع
نلعلمعت لولرضيَ د, yang ditafsiri juga dengan akan datangnya ajal Rasul.
7
Daftar Pustaka
As-Shobuni, Muhammad Ali at- Tibyan fi al-Ulum al-Qur’an, Pakistan: Maktabah al-
Bushra, 1432.
8
Dimyati,Muhammad Afifuddin Mawaridu al-Bayan , Sidoarjo: Maktabah Lisan
Arabi, 2016.