Anda di halaman 1dari 14

TAFSIR SUFI

SURAH AZ-ZUMAR AYAT 53

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Sufi

Disusun Oleh:

Ely Apriani (2018.05.003)

Masitoh (2018.05.007)

Mira Yuniar (2018.05.008)

Siti Hasanah (2018.05.037)

Dosen Pengampuh: Tapa’ul Habdin, Lc. MA

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM AL-QUR’AN AL-ITTIFAQIAH (IAIQI)
TAHUN 2020-2021
2
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT., yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kami
panjatkan puji dan syukur atas hadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada kami.Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami ini.

Shalawat bertangkaikan salam semoga selalu tercurahkan peda nabi Muhammad SAW.,
yang kita nanti-nantikan syafa’atnya dari dunia sampai akhirat kelak.

Makalah ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari beberapa
pihak, sehingga dapat mempelancar pembuatan makalah ini.Untuk itu kami menyampaikan
banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah ikut berperan dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari itu kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan, baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya.Kami menerima saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ini.Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat terhadap pembaca.

Indralaya, Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Tafsir Sufi Nadzhari dan Isyari


B. Tafsir Sufi Surah Az-Zumar ayat 53

BAB III PENUTUPAN

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui, bahwa Tafsir merupakan pengetahuan yang membahas
maksud-maksud Allah yang terkandung dalam al-Qur’an sesuai dengan kemampuan
manusia.Oleh karena itulah, tafsir merupakan salah satu ilmu yang paling agung dan tinggi
kedudukannya, disebabkan obyek pembahasannya yaitu kalamullah yang sangat mulia dan
banyak dibutuhkan orang.Adanya corak-corak penafsiran yang beragam adalah sebagai bukti
akan kebebasan penafsiran al-Qur’an. Corak-corak tafsir yang ada atau dikenal selama ini
adalah corak bahasa, corak filasafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqih, tasawuf
dan corak sastra budaya dan kemasyarakatan dan yang lainnya.
Seiring berkembangnya aliran sufi. Merekapun menafsirkan alqur’an sesuai dengan
faham sufi yang mereka anut. Pada umumnya kaum sufi memahami ayat-ayat alqur’an bukan
sekedar dari lahir yang tersurat saja. Namun mereka memahaminya secara bathin atau yang
tersirat.Sebagian ulama berpendapat bahwa kata sufi berasal dari madli dan mudlari’ ‫صفا يصفو‬
yang mempunyai arti jirnih, bersih.Hal ini menaruh penekanan pada memurnian hati dan
jiwa. Dapat diambil kesimpulan dari dua pengertian di atas bahwa seorang sufi atau sufisme
yaitu orang yang hidup sederhana, menjahui urusan dunia (zuhud) dan memurnikan hati
hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah.1
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian Tafsir Sufi Nadzari dan Isyari?
2. Bagaimanakah Tafsir Sufi Surah Az-Zumar ayat 53?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui Pengertian Tafsir Sufi Nazari dan Isyari
2. Mengetahui Tafsir Sufi Surah Az-Zumar ayat 53

1
Muhammad Huseyn al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-mufassirun, (Kairo: Mu’assasah al-Tarikh al-‘arabiyah, 1396
H/1976 M.) Juz II, cet. II, hal. 236

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tafsir Sufi Nadzari dan Isyari

Tafsir sufi nadzhari adalah tafsir sufi yang dibangun untuk mempromosikan dan memperkuat
teori-teori mistik yang dianut mufassir. Dalam menafsirkannya itu mufassir membawa al-Qur’an
melenceng jauh dari tujuan utamanya yaitu untuk kemaslahatan manusia, tetapi yang ada adalah
penafsiran pra konsepsi untuk menetapkan teori mereka. Az-Zahabi mengatakan bahwa tafsir
sufi nadzhari dalam praktiknya adalah penafsiran al-Qur’an yang tidak memeperhatikan segi
bahasa serta apa yang dimaksudkan oleh syara’.2

Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir tasawuf teoritis (nadzhari) yaitu Muhyiddin Ibn
al-‘Arabi. Ibn ‘Arabi dianggap sebagai ulama tafsir sufi nadzhari yang meyandarkan bebarapa
teori-teori tasawufnya dengan al-Qur’an. Karya tafsir Ibn al-‘Arabi di antaranya al-Futuhat al-
Makiyat dan al-Fushush.Ibn al-‘Arabi adalah seorang sufi yang dikenal dengan paham wahdatul
wujud-nya. Wahdat al-wujud dalam teori sufi adalah paham adanya persatuan antara manusia
dengan  Tuhan.

Sementara itu Az-Zahabi juga menjelaskan karekteristik atau ciri-ciri dalam penafsiran
nadzhari yang dapat diringkas sebagai berikut :

1. Dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tafsir nadzhari sangat besar dipengaruhi oleh
filsafat.
2. Di dalam tafsir nadzhari, hal-hal yang gaib dibawa ke dalam sesuatu yang nyata atau
tampak dengan perkataan lain meng-qiyas-kan yang ghaib pada kenyataan.
3. Terkadang tidak memperhatikan kaidah-kaidah nahwu dan hanya menafsirkan apa yang
sejalan dengan ruh dan jiwa sang mufassir.

Contoh dari tafsir sufi nadzari ini adalah Q.S. Al-Baqarah ayat 186 yang berbunyi:

۟ ُ‫ُوا لِى َو ْلي ُْؤ ِمن‬


َ‫وا بِى لَ َعلَّهُ ْم يَرْ ُش ُدون‬ ۟ ‫ك ِعبَا ِدى َعنِّى فَإنِّى قَريبٌ ۖ أُ ِجيبُ َد ْع َوةَ ٱل َّداع إ َذا َدعَان ۖ فَ ْليَ ْستَ ِجيب‬
َ َ‫َوإِ َذا َسأَل‬
ِ ِ ِ ِ ِ
2
Muhammad Huseyn al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-mufassirun, (Kairo: Mu’assasah al-Tarikh al-‘arabiyah, 1396
H/1976 M.) Juz II, cet. II, hal. 237

2
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengambulkan perrmohonan orang yang berdo’a kepada-
Ku apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-
Ku), dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada didalam
kebenaran.”

Kata do’a yang terdapat dalam ayat tersebut  bukan diartikan berdo’a dalam lazimnya,
melainkan berseru atau memanggil. Dalam arti mereka berseru kepada Tuhan untuk membuka
hijab diantara hamba dan Tuhannya.

Sedangkan Tafsir isyari adalah penakwilan ayat-ayat Al-Quran dengan makna yang
berbeda dari makna lahiriahnya berdasarkan tuntutan isyarat-isyarat tersembunyi yang tampak
kepada para penempuh jalan spiritual (arbab al-suluk). Mungkin juga makna batiniah dan makna
lahiriah itu diaplikasikan secara bersama-sama.3 Yang menjadi asumsi dasar mereka dengan
menggunakan tafsir isyari adalah bahwa al-Qur’an mencakup apa yang zhahir dan batin. Makna
lahir (zhahir) dari al-Qur’an adalah teks ayat sedangkan makna batinnya adalah makna isyarat
yang ada dibalik makna tersebut.

Seorang ulama sufi Nasiruddin Khasr mengatakan bahwa penafsiran nash al-Qur’an yang
hanya melihat zhahir-nya, hanya merupakan badan atau pakaian akidah sehingga diperlukan
tafsir atau penafsiran yang dalam dengan menelusuri di balik makna lahir tersebut dan itu adalah
ruhnya, sehingga bagaimana mungkin badan bisa hidup tanpa ruh. Dan begitu, bukan berarti
ulama tasawuf menolak makna lahir, mereka tetap menerima makna lahir dan menelusuri makna
batin untuk mengetahui hikmah-hikmah yang ada di balik makna lahir tersebut.Imam al-Gazali
seorang ulama tasawuf, beliau tidak menolak secara mutlak apa yang ada dari makna lahir.
Untuk bisa memahami makna batin tidak bisa dilakukan oleh akal atau ra’yi, sehingga beliau
sangat menolak yang namanya tafsir dengan ra’yi (akal).

Contoh penafsiran isyari, yaitu penafsiran al-Tastary ketika menafsirkan ayat 22 dari
surat al-Baqarah :

۟ ُ‫فَاَل تَجْ َعل‬


َ‫وا هَّلِل ِ أَندَادًا َوأَنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬

“Janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”


3
Ibid, hal 238

3
Al-Tastary menafsirkan yaitu nafsu amarah yang jelek. 4 Jadi maksudnya disini bukan
hanya patung-patung, setan atau jiwa tetapi nafsu amarah yang sering dijadikan Tuhan oleh
manusia adalah perihal yang dimaksud dari ayat tersebut, karena manusia selalu menyekutukan
Tuhannya dengan selalu menjadi hamba bagi nafsu amarahnya.

B. Tafsir Sufi Surah Az-Zumar ayat 53

‫وب َج ِميعًا ۚ إِنَّ ۥهُ هُ َو ْٱل َغفُو ُر ٱل َّر ِحي ُم‬ ۟ ُ‫وا َعلَ ٰ ٓى أَنفُ ِس ِه ْم اَل تَ ْقنَط‬
َ ُ‫وا ِمن رَّحْ َم ِة ٱهَّلل ِ ۚ إِ َّن ٱهَّلل َ يَ ْغفِ ُر ٱل ُّذن‬ ۟ ُ‫ى ٱلَّ ِذينَ أَ ْس َرف‬
َ ‫قُلْ ٰيَ ِعبَا ِد‬

“Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri!
Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa.
Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.  (QS. Az-Zumar [39]: 53)”

Menurut Math‘im bin ‘Addiy, ayat ini turun kepada kamu kafir Quraish, terutama
pemuka-pemuka mereka yang masuk Islam pasca penaklukan Mekah (fath makkah). Mereka
adalah Suhail bin ‘Amr, Hakim bin Hazm, Safwan bin Umayyah, Abu Sufyan dan lain-lain
(Tafsir Al-Qur’an/Tafsir al-Sam‘ani [4]: 475).

Mereka berkata, “Bagaimana mungkin kami bisa masuk Islam? Sesungguhnya nabi Muhammad
Saw pernah bersabda, “Barang Siapa yang melakukan perbuatan syirik, berzina atau membunuh,
maka dia akan binasa atau celaka.”Dan kami sungguh telah melakukan itu semua, bagaimana
keadaan kami?”Kemudian turunlah QS.Az-Zumar Ayat 53.

Rahmat atau rahmat itu berasal darinya, karena Dia tidak membayangkan rahmat bagi
orang yang belum diampuni, dan pembenaran untuk larangan itu adalah dengan firman-Nya,
Yang Maha Tinggi: Dan Allah mengampuni semua dosa (mengharuskan mereka dimasukkan
dalam pembenaran, dan lampiran pada firman-Nya, Maha Suci Dia (Dia adalah Maha
Pengampun, Maha Penyayang) adalah sebagai eksplisit dalam hal itu, dan diperbolehkan dalam
keahlian berbicara. Kebingungan seolah-olah sebelumnya: Jangan putus asa Rahmat dan
pengampunan Tuhan, karena Tuhan mengampuni segala dosa dan memiliki belas kasihan, dan di

4
Abi Hamid Muhamamd bin Muhammad Al-Ghazali, , Ihya ‘Ulul Al-Din, (Beirut;Dar Ihya Turas Al-‘Arabi)

4
dalamnya ada kehidupan setelah kematian. Pembatasannya untuk tobat bertentangan dengan
makna yang jelas dari ayat itu.5

Pertama menghendaki dalam perceraian kecuali kemusyrikan, dan ada juga hal-hal yang
membenarkan perceraian. Yang kedua adalah kekhususan yang Anda rasakan selain hati
nuraninya, Yang Maha Kuasa, karena Allah akan mengasihani hambanya. dikatakan: Kerugian
dosa adalah karena mereka. Jika seorang budak melakukan kesalahan dan berdiri di hadapan
Allah, dan dia malu dan takut, menyadari kemarahan tuannya menentangnya, dan mengharapkan
kehormatan orang lain yang taat.

Keempat, pelarangan pemalu sama sekali tentang rahmat, serta ampunan dan
pelepasannya. Kelima: Menambahkan rahmat pada nama yang dimuliakan yang mengandung
segala arti nama dengan cara membalikkan badan, hal ini terlihat dari kapasitasnya, dan
merupakan terlihat dari kelengkapannya, keterwakilannya dan lain-lain. Keenam, nalar dengan
mengatakan Yang Maha Tinggi (Tuhan) adalah otak, karena nalar meningkat dengan
mengesampingkan dan meninggalkan keputus asaan rahmat tanpa taubat lebih dikecualikan
daripada meninggalkannya dengan taubat. Kedelapan adalah pengertian dosa, karena di tempat
terpuji tampak di dalam air, termasuk serigala yang diikuti taubat dan yang tidak diikuti taubat.
Penegasan kesembilan untuk semua. Sepuluh dan sebelas ungkapan “Al-Ghafoor” berlebihan,
yaitu jika dilihat dari kuantitasnya, ampunan itu mencakup semua dosa, atau jika dilihat
kualitasnya, termasuk dosa besar tanpa taubat. Yang kedua belas dihilangkan ... dan (Pemaaf)
karena menghapus yang mapan menguntungkan publik. Ketiga belas adalah pernyataan
pembatasan yang indah, karena diketahui bahwa pengampunan dapat dijelaskan oleh selain Yang
Mahakuasa, maka yang terbatas pada-Nya, Maha Suci Dia, adalah Yang Sempurna dan Agung,
yang tanpa taubat. itu bukan karena belas kasihannya, yang terlihat di dalamnya jika dia tidak
menerima ungkapan itu dalam bentuk yang berlebihan. Ketujuh belas: pelepasannya, dan
Mu'tazilah melarang pengampunan dosa besar dan mengampuni mereka tanpa taubat.

Secara umum ayat di atas mengatakan bahwa sebaiknya manusia yakni hamba-hamba
Allah swt yang telah melakukan dosa, tidak berputus asa dari rahmat-Nya. Jika mereka
menyesali semua dosa tersebut dan mau bertaubat secara sungguh-sungguh, maka Allah swt

5
Alusi (al), Ruh al-Ma’ani fi Tafsir Alqur’an al-Adzim wa al-Sab’ al-Matsani, juz 24, Jilid I, (Beirut : Dar al-Fikr,
t.t) hal 13

5
akan mengampuninya. Karena Dia adalah Tuhan Yang Maha Pengampun terhadap dosa-dosa
hamba-Nya dan Maha Penyayang kepada mereka.6

Kata taqnuthu pada ayat ini bermakna la tay‘asu, yakni janganlah berputus asa dari
rahmat Allah Swt, karena rahmat-Nya jauh lebih luas dan besar daripada murka-Nya. Tidak
berputus asa di sini bermakna bahwa seseorang menyesali semua perbuatan dosanya, bertaubat
dengan sungguh-sungguh, dan memohon ampunan dan rahmat-Nya.

Berdasarkan ayat di atas, semua dosa manusia dapat diampuni seandainya Allah Swt
berkehendak. Namun dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa ketika QS.Az-Zumar Ayat 53 turun,
seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Muhammad Saw, “Ya Rasulullah, bagaimana
dengan dosa orang yang syirik?” kemudian nabi Saw diam sejenak dan laki-laki itu bertanya
lagi, “bagaimana dengan dosa orang yang syirik?” Beliau menjawab, “Kecuali orang yang
menyekutukan Allah Swt.”

Jika seseorang menelaah ayat di atas secara cermat, maka ia dapat menemukan bahwa
ada isyarat dari Allah Swt agar manusia tidak mencela pendosa. Karena Allah Swt pada konteks
ayat ini memanggil mereka dengan panggilan hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap
diri mereka sendiri, sebuah panggilan mesra dan penuh kasih dari-Nya, tanpa penindasan apalagi
penghujatan.

Melalui panggilan tersebut, Allah seakan-akan berfirman, “Wahai hamba-hamba-Ku


yang melampaui batas, Aku tahu bahwa kalian telah melakukan berbagai perbuatan dosa, baik
disengaja ataupun tidak. Dosa-dosa kalian itu sangat banyak, sehingga kalian merasa kalian tidak
pantas untuk menerima ampunan. Namun ketahuilah, hal itu tidaklah benar, ampunan dan
karunia-Ku jauh lebih besar dari dosa kalian semua.”

“Oleh karena itu, jangan kalian berputus asa dari ramat-Ku dan teruslah memohon ampun
kepada-Ku atas kesalahan-kesalahan kalian. Sesungguhnya Aku akan memaafkan segala dosa-
dosa manusia sebanyak dan sebesar apapun sesuai keinginan-Ku. Dan ketahuilah bahwa Aku
adalah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada semua makhluk di alam
semesta.”

6
Ibid, hal 14

6
Dari QS.Az-Zumar Ayat 53 ini, kita juga belajar tentang psikologi dakwah Islam dalam
perspektif Al-Qur’an, yakni mendahulukan cinta dan kasih serta kelembutan di atas segalanya.
Pada aspek tertentu, kita memang harus ketat dan tegas. Namun di sisi lain, ketegasan tersebut
jangan sampai membuat kita lupa bahwa agama Islam adalah agama yang mengutamakan cinta,
kedamaian, dan kesejahteraan. 

7
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Tafsir sufi nadzhari adalah tafsir sufi yang dibangun untuk mempromosikan dan memperkuat
teori-teori mistik yang dianut mufassir. Dalam menafsirkannya itu mufassir membawa al-Qur’an
melenceng jauh dari tujuan utamanya yaitu untuk kemaslahatan manusia. Sedangkan Tafsir
isyari adalah penakwilan ayat-ayat Al-Quran dengan makna yang berbeda dari makna
lahiriahnya berdasarkan tuntutan isyarat-isyarat tersembunyi yang tampak kepada para
penempuh jalan spiritual (arbab al-suluk).

Berdasarkan surah az-zumar ayat 53, semua dosa manusia dapat diampuni seandainya
Allah Swt berkehendak. Jika seseorang menelaah ayat di atas secara cermat, maka ia dapat
menemukan bahwa ada isyarat dari Allah Swt agar manusia tidak mencela pendosa. Karena
Allah Swt pada konteks ayat ini memanggil mereka dengan panggilan hamba-hamba-Ku yang
melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, sebuah panggilan mesra dan penuh kasih dari-
Nya, tanpa penindasan apalagi penghujatan.

B. Saran
Kami menyadari didalam makalah ini masih terdapat kesalahan dan kekurangan, hal ini
karena kurangnya sumber bacaan dan keterbatasan penulis. Oleh karena itu kami sebagai penulis
berharap akan kritik dan saran dari semua pihak, terutama dosen pembimbing yang berguna
untuk menjadikan perbaikan makalah ini.

8
DAFTAR PUSTAKA
Alusi (al), Ruh al-Ma’ani fi Tafsir Alqur’an al-Adzim wa al-Sab’ al-Matsani, juz 24, Jilid I,
Beirut : Dar al-Fikr, t.t
Al-Dzahabi, Muhammad Huseyn, al-Tafsir wa Mufassirun, (Kairo:Mu’assasah at-Tariqh
al-‘arabiyah, 1396H/ 1976 M) juz II cet. II

Al-Suyuti, Jalaludin, Al-Itqan fil ‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1951)

Al-Ghazali, Abi Hamid Muhamamd bin Muhammad, Ihya ‘Ulul Al-Din, (Beirut;Dar Ihya Turas
Al-‘Arabi)

Faudah, Mahmud Basuni, Tafsir-tafsir Al-quran Perkenalan dengan Metode Tafsir, (Bandung
Penerbit Pustaka, 1987)

Anda mungkin juga menyukai