Dewi Murni
Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UNISI Tembilahan Tembilahan
email: dewimurnimanur@gmail.com
Abstrak
Artikel ini mengkaji tafsir ayat-ayat al-Qur’an dengan
menggunakan paradigma sufistik dalam penafsirannya.
Paradigma sufistik dalam penafsiran al-Quran menjadi
cara efektif yang digunakan untuk mereka yang hidup di
lingkungan ‘”sekuler”, sehingga memilih ‘suasana sejuk’
guna menularkan pengetahuan Qurani ke komunitasnya.
Paradigma sufistik yang dikembangkan tidak sepenuhnya
menjinakkan akal di samping hati dan jiwa. Ketiga-tiganya
digunakan secara seimbang dalam mengarungi samudera
al-Quran. Tafsir shufi adalah tafsir yang ditulis oleh para
sufi yang mereka lebih mementingkan bathinnya lafal
daripada lahirnya. Dalam tafsir shufi terdapat dua corak
tafsir, yaitu; tafsir sufi nazhari dan tafsir sufi isy’ari. Tafsir
sufi nazhari adalah tafsir produk sufi teoritis, sedangkan
tafsir sufi isyari adalah tafsir produk sufi praktis. Tafsir
sufi seharusnya steril dari dimensi sektarianisme, karena ia
diklaim bersumber dari Tuhan yang adalah sumber dari
segala kebenaran.
A. Pendahuluan
Al-Quran adalah landasan pokok seluruh ajaran Sufi. Sesuai
dengan ciri utama Tasawuf yang lebih menekankan kepada dzauq (rasa)
dan aspek esoteris (ruhani, batiniah), maka tafsir Sufi atas Al-Qur’an
tak jarang amat berbeda dengan tafsir yang biasa kita kenal. Kadang
tafsir Sufi disebut juga ta’wil. Tafsir Sufi banyak berhubungan dengan
62 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017
1
Kata al-Quran, secara etimologi adalah masdar dari fi’il qa-ra-a yang
berpolakan fu’lana bermakna al-qira’ah (bacaan). Adapun secara istilah banyak
ditemukan defenisi al-Quran yang telah disusun oleh para ulama dari berbagai disiplin
ilmu. Di antara mereka adalah ‘Ali Ash-shabuni yang telah mendefenisiskan al-Quran
sebagai: “al-Quran adalah Kalam Allah yang mu’jiz, diturunkan pada pemungkas para
Nabi dan rasul dengan perantaraan Jibril yang terpercaya, tertulis dalam mushaf yang
dinukilkan kepada kita secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, yang
dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah al-Nas” . Muhammad ‘Ali Al-
Shabuni, Al-Tibyan fi ‘Ulum al-Quran, Kairo: Maktabah al-Ghazali, 1977, h. 6.
2
Tidak ada seorang Muslim pun yang meragukan keaslian dan keabsahan kitab
sucinya. Menurut keyakinan Islam, al-Quran adalah pegangan hidup terakhir dari
yang diwahyukan Allah kepada umat manusia melalui perantaraan Nabi dan Rasul.
Konsekuensi logisnya, Allah SWT sendiri yang akan memelihara keutuhan dan
keabsahan kitab suci-Nya. Sebab jika tidak demikian, kemudian kitab suci itu
dibiarkan mengalami kemungkinan perubahan, maka klaimnya sebagai wahyu
penutup menjadi rapuh, dan fungsinya sebagai pegangan hidup umat manusia sampai
akhir zaman menjadi goyah. Allah SWT menjanjikan itu semua dalam firman-Nya:
Sungguh Kami telah menurunkan peringatan (al-Quran) dan Kamilah yang
menjaganya”. (QS. Al-Hijr{15}:9). Secara kenyataan lahiriah, al-Quran memang
tampil kepada umat manusia sedemikian rupa sehingga benar-benar memenuhi janji
Tuhan bahwa kitab suci itu akan terpelihara dari kemungkinan perubahan. Di seluruh
dunia Islam, tidak satupun kitab suci al-Quran yang diterbitkan berbeda dari yang lain,
biarpun hanya sekedar satu kata-kata. Nurcholish Madjid, dalam
http:/media.isnet.org/islam/para MADINA/CAK%20Nur_Kitab %20 Suci%20.htm,
diakses tanggal 10 Februari 2017.
Penafsiran Sufistik di Dalam al-Qur’an | 63
Dewi Murni
3
Shubhi al-Shalih, Mabahits Fi ‘Ulum al-Quran, Beirut: Dar al-Fikr li al-
Malayin, 1988, h. 86.
4
Mannâ al-Qaththâan, Mabâhis fi ‘ulủm Al-Quran, Riyadh: Mansyurat al-
‘Ashr al-Hadîts, t.th, h. 75.
5
Muhammad Ali Ash-Shabuni al-Tibyan fi ‘ulum al-Quran, Damaskus:
Maktabah al-Ghazali, 1977, h. 123.
64 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017
6
Badr al-Din Muhammad ibn ‘Abdullah, al-Burhan fi Ulum al-Quran, Jilid 1
Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th, 79.
7
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Quran. Studi Aliran-aliran
Dari Periode Klasik, Pertengahan Hingga Modern-Kontemporer, Yogyakarta: Adab
Press, 2012, h. 10.
Penafsiran Sufistik di Dalam al-Qur’an | 65
Dewi Murni
B. Pembahasan
1. Sekilas Tentang Asal-Usul Tafsir Sufistik
Kata suf ( )صوفberasal dari madzi dan mudlari’ صاف يصوف
yang mempunyai arti tenunan dari bulu domba (wol), merujuk pada
jubah yang dikenakan oleh orang muslim yang bergaya hidup
sederhana. Sebagian ulama berpendapat bahwa kata sufi berasal
dari madhi dan mudlari’ صفا يصفوyang mempunyai arti jernih,
bersih. Hal ini menaruh penekanan pada memurnian hati dan jiwa.
Dalam sejarah disebutkan, bahwa orang yang pertama kali
menggunakan kata sufi adalah seorang zahid yang bernama Abu
Hasyim al-Kufi di Irak (w. 150H).8 al-Zahabi memberi makna
tasawuf sebagai sikap menyerahkan diri kepada Allah SWT (dan
berserah diri) sesuai yang Allah kehendaki. 9
8
UIN Sunan Kalijaga, Akhlak Tasawuf, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN
Sunan Kalijaga. 2005, h. 29.
9
Muhammad Husain al-Zahabi. al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Jilid IV. Dar al-
Fikr, t.t., h. 301.
66 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017
10
Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa al-Quran: Upaya Menafsirkan al-
Quran dengan Pendekatan Kebahasaan, Jakarta: Fikra, 2006, h. 5.
11
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj, Sapardi Joko
Damono, dkk., Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986, h. 1.
12
Abu Bakar M. Kalabadzi, Ajaran-ajaran Tasawuf, terj, Natsir Yusuf,
Bandung: Pustaka, 1985, h. 114.
Penafsiran Sufistik di Dalam al-Qur’an | 67
Dewi Murni
13
Muhammad Husain Al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Quran, juz 1,
Beirut: Mu’assasah al-A’lam li al-Mathbu’at, t.th, h. 705.
14
Muhammad al-Tayyib, Al-Islam al-Mutasawwifah, Beirut: Dar al-Tali’ah,
2007, h. 14.
15
Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis: Membaca al-Qur’an dengan
Optik Perempuan, Yogyakarta: LKiS. 2008, h. 35.
68 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017
yang mulia atau ingin menjadi orang yang dekat sama Allah SWT.
Ketiga, ibadah tingkatan luhur, yaitu ibadah kepada Murni Allah SWT,
sebab Allah SWT adalah Tuhan yang Maha Besar dengan pemberian
rahma-Nnya, kekuasaan-Nya, maka sudah semestinya orang takzim
dan mengagungkan Allah SWT semata bukan embel-embel lainnya. 16
Tafsir yang menggunakan corak pembacaan jenis ini
sebagaimana telah disinggung sedikit di atas dengan menggunakan
istilah lainnya ada dua macam, 17Pertama, tafsir yang didasarkan pada
Tasawuf Nadhâri (teoritis), sebuah tafsir yang cenderung menafsirkan
al-Quran berdasarkan teori atau faham tasawuf yang umumnya
bertentangan dengan makna lahir ayat dan menyimpang dari pengertian
bahasa.
Contoh Tafsir Sufi Nadhari ialah sebagaimana terdapat dalam
surat al-Baqarah ayat 186:
ۖ
ۖ
“Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,
Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia
memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi
(segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-
Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
Kata do’a yang terdapat dalam ayat tersebut oleh sufi diartikan
bukan berdo’a dalam arti lazim dipakai. Kata itu bagi golongan ini
16
Misbah Mushtofa, Tafsir Al-Iklil, Majelis Ma’lif wa Khotot, juz I ,Bangilan,
tt, , h. 25.
17
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, Jakarta: Teraju, , 2003, h. 244.
70 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017
ۖ ۖ
18
Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005,
h. 72-73.
19
Ibn Arabi, Fushusul al-Hikam, terj, Ahmad Sahidah dan Nurjannah Arianti,
Yogyakarta: Islamika, 2004, h. 111.
72 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017
20
Lihat Muhammad Husain az-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz I, h.
145.
Penafsiran Sufistik di Dalam al-Qur’an | 73
Dewi Murni
21
Mahmud Basyuni Faudhah, al-Tafsir wa Manahijuhu fi Dhaw’ al-Mazahib
al-Islamiyah, Mesir: Amanah, 1987, h. 217.
Penafsiran Sufistik di Dalam al-Qur’an | 75
Dewi Murni
tasawuf, dan kedua, ada sebagian naskah atau teks yang hilang dan
belum ditemukan oleh muhaqqiq. Selanjutnya adalah tentang isu yang
menyatakan bahwa para sufi menolak hukum fiqh atau syariah seperti
shalat, puasa, zakat dan sebagainya. Hal ini karena mereka lebih
menekankan pada aspek hakikat bukan syariat. Oleh karena itu, perlu
diketengahkan bagaimana sejarah tasawuf menanggapi isu ini.
Dalam sejarah tasawuf, pada sekitar abad ke-14 telah terjadi
pergulatan yang tajam antara ahli hakikat yang diperankan oleh para
ahli tasawuf dan ahli syariah yang dimainkan oleh para fuqaha. Tetapi
setelah itu al-Ghazali berusaha menyatukan kembali dengan menulis
berbagai kitab, terutama kitabnya yang terkenal Ihya’ Ulum al-Din. Al-
Ghazali sebagai seorang yang dulunya seorang filosof berpendapat
bahwa dalam Islam antara syariah dan hakikat tidak bisa dipisahkan dan
tidak bisa hanya mengambil salah satu dari keduanya. Ulama sufi –
dalam hal ini terutama Ibn ‘Arabi- selalu mengambil makna lebih dari
sebuah perintah hukum atau syariat. Ayat-ayat tentang perintah shalat,
zakat, dan lainnya tetap diterima sebagaimana ahli fuqaha. Yang
berbeda adalah ahli sufi tidak hanya sebatas mengetahui hal itu wajib
atau tidak, tetapi menelusuri apa hikmah-hikmahnya. Kelebihan inilah
yang jarang dilakukan oleh ahli fuqaha. Ada beberapa contoh
penafsiran ahli sufi terhadap ayat-ayat hukum, diantaranya:
1. Ayat-ayat tentang kewajiban menutup aurat. Ibn ‘Arabi dalam
karyanya al-Futuhat al-Makkiyah-sebagaimana dikutip oleh
Ignaz Goldziher- mengatakan bahwa secara syariah menutup
aurat adalah kewajiban, tetapi tidak lepas dari makna batin yaitu
ke-wajiban bagi orang berakal untuk menutup rahasia Tuhan.
76 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017
C. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal
terkait tafsir sufistik, di antaranya:
1. Corak tafsir sufi terbagi menjadi dua, yaitu al-tafsir sufi nazhari
dan al-tafsir sufi isyari. Tafsir sufi nazhari adalah tafsir yang
berpegang pada metode simbolis yang tidak berhenti hanya
pada aspek kebahasaan saja. Sedangkan Tafsir sufi isyari
menurut az-Zahabi adalah mentakwilkan ayat-ayat al-Quran
yang berbeda dengan maknanya yang dzahir berdasarkan
isyarat (petunjuk) khusus yang diterima oleh para ahli sufi.
2. Sumber penafsiran corak tafsir sufi adalah intuisi dan filsafat.
Pendekatan yang digunakan adalah takwil.
3. Ahli sufi dalam Tafsir sufi nazhari berpendapat bahwa ayat-ayat
al-Qur’an mempunyai makna tertentu dan penafsirnya sebagai
pembawa makna. Maka dalam tafsir sufi nazhari di awali
78 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017
Daftar Pustaka