Anda di halaman 1dari 20

PENAFSIRAN SUFISTIK DI DALAM AL-QURAN

Dewi Murni
Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UNISI Tembilahan Tembilahan
email: dewimurnimanur@gmail.com

Abstrak
Artikel ini mengkaji tafsir ayat-ayat al-Qur’an dengan
menggunakan paradigma sufistik dalam penafsirannya.
Paradigma sufistik dalam penafsiran al-Quran menjadi
cara efektif yang digunakan untuk mereka yang hidup di
lingkungan ‘”sekuler”, sehingga memilih ‘suasana sejuk’
guna menularkan pengetahuan Qurani ke komunitasnya.
Paradigma sufistik yang dikembangkan tidak sepenuhnya
menjinakkan akal di samping hati dan jiwa. Ketiga-tiganya
digunakan secara seimbang dalam mengarungi samudera
al-Quran. Tafsir shufi adalah tafsir yang ditulis oleh para
sufi yang mereka lebih mementingkan bathinnya lafal
daripada lahirnya. Dalam tafsir shufi terdapat dua corak
tafsir, yaitu; tafsir sufi nazhari dan tafsir sufi isy’ari. Tafsir
sufi nazhari adalah tafsir produk sufi teoritis, sedangkan
tafsir sufi isyari adalah tafsir produk sufi praktis. Tafsir
sufi seharusnya steril dari dimensi sektarianisme, karena ia
diklaim bersumber dari Tuhan yang adalah sumber dari
segala kebenaran.

Kata Kunci: Tafsir Sufistik, Nazhari, Isyari.

A. Pendahuluan
Al-Quran adalah landasan pokok seluruh ajaran Sufi. Sesuai
dengan ciri utama Tasawuf yang lebih menekankan kepada dzauq (rasa)
dan aspek esoteris (ruhani, batiniah), maka tafsir Sufi atas Al-Qur’an
tak jarang amat berbeda dengan tafsir yang biasa kita kenal. Kadang
tafsir Sufi disebut juga ta’wil. Tafsir Sufi banyak berhubungan dengan
62 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017

“rahasia-rahasia” di balik teks lahiriah (literal) yang maknanya tak aus


oleh dinamika perubahan-perubahan dalam sejarah.1
Menurut Sufi, kemampuan seseorang dalam memahami makna
Al-Quran amat bergantung kepada derajat dan kualitas keruhanian.
Imam Ja’far as-Shadiq mengatakan bahwa Kitab Allah meliputi empat
perkara: ibarat, isyarat, lathaif dan haqaiq. Ibarat adalah bagi orang
awam, isyarat adalah bagi orang khusus, lathaif adalah bagi para Wali
Allah, dan haqaiq adalah bagi para Nabi. 2
Munculnya tafsir sufistik merupakan bukti bahwa umat Islam
terus melakukan tajdid al-‘ilm (pembaharuan pengetahuan) dalam
merespon relasi antara kalam Tuhan dan konteks masyarakat di

1
Kata al-Quran, secara etimologi adalah masdar dari fi’il qa-ra-a yang
berpolakan fu’lana bermakna al-qira’ah (bacaan). Adapun secara istilah banyak
ditemukan defenisi al-Quran yang telah disusun oleh para ulama dari berbagai disiplin
ilmu. Di antara mereka adalah ‘Ali Ash-shabuni yang telah mendefenisiskan al-Quran
sebagai: “al-Quran adalah Kalam Allah yang mu’jiz, diturunkan pada pemungkas para
Nabi dan rasul dengan perantaraan Jibril yang terpercaya, tertulis dalam mushaf yang
dinukilkan kepada kita secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, yang
dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah al-Nas” . Muhammad ‘Ali Al-
Shabuni, Al-Tibyan fi ‘Ulum al-Quran, Kairo: Maktabah al-Ghazali, 1977, h. 6.
2
Tidak ada seorang Muslim pun yang meragukan keaslian dan keabsahan kitab
sucinya. Menurut keyakinan Islam, al-Quran adalah pegangan hidup terakhir dari
yang diwahyukan Allah kepada umat manusia melalui perantaraan Nabi dan Rasul.
Konsekuensi logisnya, Allah SWT sendiri yang akan memelihara keutuhan dan
keabsahan kitab suci-Nya. Sebab jika tidak demikian, kemudian kitab suci itu
dibiarkan mengalami kemungkinan perubahan, maka klaimnya sebagai wahyu
penutup menjadi rapuh, dan fungsinya sebagai pegangan hidup umat manusia sampai
akhir zaman menjadi goyah. Allah SWT menjanjikan itu semua dalam firman-Nya:
Sungguh Kami telah menurunkan peringatan (al-Quran) dan Kamilah yang
menjaganya”. (QS. Al-Hijr{15}:9). Secara kenyataan lahiriah, al-Quran memang
tampil kepada umat manusia sedemikian rupa sehingga benar-benar memenuhi janji
Tuhan bahwa kitab suci itu akan terpelihara dari kemungkinan perubahan. Di seluruh
dunia Islam, tidak satupun kitab suci al-Quran yang diterbitkan berbeda dari yang lain,
biarpun hanya sekedar satu kata-kata. Nurcholish Madjid, dalam
http:/media.isnet.org/islam/para MADINA/CAK%20Nur_Kitab %20 Suci%20.htm,
diakses tanggal 10 Februari 2017.
Penafsiran Sufistik di Dalam al-Qur’an | 63
Dewi Murni

zamannya. Beberapa pengertian tafsir sufistik yang diungkapkan oleh


beberapa ulama diantaranya yaitu :
Shubhi al-Shalih sebagaimana yang dikutip dalam ilmu al-Quran
dan tafsir mendefinisikan tafsir sufistik adalah “Tafsir yang
mentakwilkan ayat tidak menurut zhahirnya namumn disertai usaha
menggabungkan antara zhahir dan tersembunyi”. 3
Manna Khalil al-Qhattan menyatakan setiap ayat mempunyai
makna zhahir dan makna bathin (tersembunyi). Zhahir ialah sesuatu
yang mudah dipahami akal pikiran sebelum lainnya, sedangkan makna
bathin adalah isyarat tersembunyi di balik itu, hanya nampak dan
diketehui maknanya oleh para ahli tertentu (ahli suluk). 4
Muhammad Ali Ash-Shabuni di dalam kitabnya al-Tibyan fi
‘ulum al-Quran mendefinisikan tafsir sufistik sebagai : “penafsiran al-
Quran yang berlainan menurut zhahir ayat karena adanya petunjuk
yang tersirat dan diketahui oleh sebagian ulama, atau hanya diketahui
oleh orang yang mengenal Allah SWT yaitu orang yang berpribadi
luhur dan telah terlatih jiwannya”.5
Sementara menururut Al-Zarqani tafsir sufi adalah “menafsirkan
Al-Quran tidak dengan makna zahir, melainkan dengan makna batin,
karena ada isyarat yang tersembunyi yang terlihat oeh para sufi. Namun

3
Shubhi al-Shalih, Mabahits Fi ‘Ulum al-Quran, Beirut: Dar al-Fikr li al-
Malayin, 1988, h. 86.
4
Mannâ al-Qaththâan, Mabâhis fi ‘ulủm Al-Quran, Riyadh: Mansyurat al-
‘Ashr al-Hadîts, t.th, h. 75.
5
Muhammad Ali Ash-Shabuni al-Tibyan fi ‘ulum al-Quran, Damaskus:
Maktabah al-Ghazali, 1977, h. 123.
64 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017

demikian tafsir batin tersebut masih dapat dikompromikan dengan


makna zahirnya.6
Imam Sahl Ibn ‘Abdullah al-Tustari, seorang sufi, pernah
mengatakan bahwa Allah SWT itu tak terbatas (unlimited), maka
kandungan makna kalam-Nya itu juga tak terbatas. Demikian
penggalan pernyataan yang dikutip oleh Syaikh Badrud-din al-Zarkasyi
dalam karyanya al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran. Mungkin karena hal
inilah mengapa secara historis-faktual, seiring dengan perjalanan
sejarah peradaban umat Islam, tafsir menggunakan berbagai
pendekatan dan perangkat penafsiran.7
Dengan kata lain tafsir sufistik adalah suatu tafsir yaitu di mana
mufassir berpendapat dengan makna lain tidak sebagai yang tersurat
dalam al-Quran tetapi penafsiran tersebut tidak diketahui oleh setiap
insan kecuali mereka yang hatinya telah dibukakan oleh Allah SWT
yakni orang-orang shalih. Sesuai dengan pembagian dalam dunia
tasawwuf tafsir ini juga dibagi menjadi dua yaitu tafsir yang sejalan
dengan tashawwuf an Nadzari disebut Tafsir al Shufi al Nadazri, dan
yang sejalan dengan tashawwuf amali disebut tafsir al isyari. Pedoman
Para sufi umumnya berpedoman kepada hadits Rasulullah SAW yang
berbunyi:

6
Badr al-Din Muhammad ibn ‘Abdullah, al-Burhan fi Ulum al-Quran, Jilid 1
Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th, 79.
7
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Quran. Studi Aliran-aliran
Dari Periode Klasik, Pertengahan Hingga Modern-Kontemporer, Yogyakarta: Adab
Press, 2012, h. 10.
Penafsiran Sufistik di Dalam al-Qur’an | 65
Dewi Murni

“Setiap ayat memiliki makna lahir dan batin. Setiap huruf


memiliki batasan-batasan tertentu. Dan setiap batasan
memiliki tempat untuk melihatnya.”

Berkaitan dengan pemaparan di atas, maka tulisan ini akan


memaparkan tentang penafsiran-penafsiran tafsir sufistik di dalam al-
Quran, dan di bagian akhir, penulis menambahkan pembahasan tentang
bagaimana mengenai dunia tasawuf untuk mengetahui asal-usul
munculnya corak tafsir sufi dalam peta penafsiran al-Quran.

B. Pembahasan
1. Sekilas Tentang Asal-Usul Tafsir Sufistik
Kata suf (‫ )صوف‬berasal dari madzi dan mudlari’ ‫صاف يصوف‬
yang mempunyai arti tenunan dari bulu domba (wol), merujuk pada
jubah yang dikenakan oleh orang muslim yang bergaya hidup
sederhana. Sebagian ulama berpendapat bahwa kata sufi berasal
dari madhi dan mudlari’ ‫ صفا يصفو‬yang mempunyai arti jernih,
bersih. Hal ini menaruh penekanan pada memurnian hati dan jiwa.
Dalam sejarah disebutkan, bahwa orang yang pertama kali
menggunakan kata sufi adalah seorang zahid yang bernama Abu
Hasyim al-Kufi di Irak (w. 150H).8 al-Zahabi memberi makna
tasawuf sebagai sikap menyerahkan diri kepada Allah SWT (dan
berserah diri) sesuai yang Allah kehendaki. 9

8
UIN Sunan Kalijaga, Akhlak Tasawuf, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN
Sunan Kalijaga. 2005, h. 29.
9
Muhammad Husain al-Zahabi. al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Jilid IV. Dar al-
Fikr, t.t., h. 301.
66 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017

Tafsir sufistik bermula dari beberapa premis bahwa Al-


Quran berisi banyak level makna; bahwa manusia memiliki potensi
untuk menyingkap makna-makna tersebut; dan bahwa tugas
interpretasi tidak pernah berakhir. Level-level makna, baik makna
zahir dan makna batin, mungkin diungkap oleh manusia, karena
manusia memiliki potensi untuk menyingkapnya. Terlebih bahwa
aktifitas interpretasi akan terus berlangsung tanpa akhir. 10
Tafsir al-Quran dari sudut pandang sufi merupakan
khazanah, kekayaan intelektual Islam yang paling unik,
dibandingkan dengan tinjuan lain. Tafsir sufi mengkaji ayat-ayat al-
Quran dari segi mistik, yang bersifat batiniah dan sulit dipahami
oleh rasio dan logika, sehingga sulit dipahami oleh kebanyakan
muslim. Annemarie Schimmel menggambarkan bahwa “Kata
mistik itu terkandung sesuatu yang mistik, yang tidak bisa dicapai
dengan cara-cara biasa atau usaha intelektual”.11
Lantas apakah disiplin ilmu tasawuf yang menjadi landasan
tafsir sufi?. Tasawuf adalah perilaku ritual yang dilakukan untuk
menjernihkan jiwa dan menjauhkan diri dari kemegahan duniawi
melalui zuhud, kesederhanaan dan ibadah, al-Ghazali
mengungkapkan bahwa terdapat dua hal dalam tasawuf yaitu,
ketulusan kepada Allah dan membaguskan pergaulan yang baik
dengan sesama. 12 Dalam ilmu tafsir al-Quran klasik, tafsir yang

10
Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa al-Quran: Upaya Menafsirkan al-
Quran dengan Pendekatan Kebahasaan, Jakarta: Fikra, 2006, h. 5.
11
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj, Sapardi Joko
Damono, dkk., Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986, h. 1.
12
Abu Bakar M. Kalabadzi, Ajaran-ajaran Tasawuf, terj, Natsir Yusuf,
Bandung: Pustaka, 1985, h. 114.
Penafsiran Sufistik di Dalam al-Qur’an | 67
Dewi Murni

bernuansa sufi sering didefinisikan sebagai suatu tafsir yang


berusaha menjelaskan makna ayat-ayat al-Quran dari sudut esoterik
atau berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh seorang
sufi dalam suluk atau perjalanan spritualnya.
Perspektif sufistik merupakan salah satu genre tafsir yang
berkembang seiring dengan perluasan dan perkembangan Islam.
Tepatnya pada abad ke-2-3 hijriyah, seiring dengan Hellenisasi di
dunia Islam, tradisi filsafat dan mistisme turut mempengaruhi
cakrawala pemikiran umat Islam. 13 Bahkan jauh sebelum itu,
inspirasi laku spiritual umat Islam juga dilatari oleh motivasi al-
Quran yang banyak memberikan penjelasan dan penekanan untuk
tidak larut dengan kehidupan duniawi semata. Louis Massignon,
sebagaimana dikutip Muhammad ibn al-Tayyib,14mengatakan
bahwa tasawuf pada mulanya tumbuh dan berkembang lantaran
ketekunan membaca dan merenungi kandungan al-Quran sekaligus
berakhlak sesuai al-Quran. Kedekatan dengan pesan al-Quran inilah
yang melatari ketertarikan umat Islam untuk mengikuti jalan sufi,
termasuk memberikan perspektif sufistik dalam penafsiran al-
Quran. Dalam konteks ini, Mustaqim menempatkan tafsir sufistik
pada kategori tafsir era afirmatif dengan nalar ideologis. 15

13
Muhammad Husain Al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Quran, juz 1,
Beirut: Mu’assasah al-A’lam li al-Mathbu’at, t.th, h. 705.
14
Muhammad al-Tayyib, Al-Islam al-Mutasawwifah, Beirut: Dar al-Tali’ah,
2007, h. 14.
15
Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis: Membaca al-Qur’an dengan
Optik Perempuan, Yogyakarta: LKiS. 2008, h. 35.
68 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017

2. Penafsiran-Penafsiran Sufistik dalam al-Quran


Al-Quran adalah sumber agama Islam. Kitab suci itu,
menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan
pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator,
pemandu dan pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang 14 abad
sejarah pergerakan umat ini. Dan pemahaman terhadap ayat al-Quran
melalui penafsiran, mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju
mundurnya umat. sekaligus, penafsiran-penafsiran itu dapat
mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka. Di dalam
Ulumul Quran, tafsir yang bernuansa sufistik sering dikategorikan
sebagai tafsir esoterik.
Dalam kitab Tâj Al-Muslimîn dan al-Iklîl corak sufistik itu
banyak, terlihat misalnya dalam ayat:

“Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada


Engkaulah Kami meminta pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5)

Ayat ini ditafsirkan sebagai berikut: “ketika orang menjalankan


suatu ibadah tanpa dilandasi dengan khusuk, ibadah orang tersebut
belum bisa dinamakan ibadah karena belum mendapatkan pertolongan
dari Allah. Disini beliau membagi tiga tingkatan tentang ibadah.
Pertama, ibadah tingkatan rendah yaitu, ibadah kepada Allah
hanya untuk mendapatkan pahala dari Allah, atau jangan sampai diberi
siksa dari Allah, sebab sejatinya yang disembah itu adalah pahala
bukanlah Allah SWT dan Allah SWT dijadikan perantara untuk
menghasilkan apa yang makhluk kehendaki. Kedua, ibadah tingkatan
tengah adalah ibadah yang sebabnya ada tujuan untuk menjadi orang
Penafsiran Sufistik di Dalam al-Qur’an | 69
Dewi Murni

yang mulia atau ingin menjadi orang yang dekat sama Allah SWT.
Ketiga, ibadah tingkatan luhur, yaitu ibadah kepada Murni Allah SWT,
sebab Allah SWT adalah Tuhan yang Maha Besar dengan pemberian
rahma-Nnya, kekuasaan-Nya, maka sudah semestinya orang takzim
dan mengagungkan Allah SWT semata bukan embel-embel lainnya. 16
Tafsir yang menggunakan corak pembacaan jenis ini
sebagaimana telah disinggung sedikit di atas dengan menggunakan
istilah lainnya ada dua macam, 17Pertama, tafsir yang didasarkan pada
Tasawuf Nadhâri (teoritis), sebuah tafsir yang cenderung menafsirkan
al-Quran berdasarkan teori atau faham tasawuf yang umumnya
bertentangan dengan makna lahir ayat dan menyimpang dari pengertian
bahasa.
Contoh Tafsir Sufi Nadhari ialah sebagaimana terdapat dalam
surat al-Baqarah ayat 186:

ۖ
ۖ
“Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,
Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia
memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi
(segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-
Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”

Kata do’a yang terdapat dalam ayat tersebut oleh sufi diartikan
bukan berdo’a dalam arti lazim dipakai. Kata itu bagi golongan ini

16
Misbah Mushtofa, Tafsir Al-Iklil, Majelis Ma’lif wa Khotot, juz I ,Bangilan,
tt, , h. 25.
17
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, Jakarta: Teraju, , 2003, h. 244.
70 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017

adalah mengandung arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka


panggil dan Tuhan melihat dirinya kepada mereka. Dengan perkataan
lain, mereka berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan
dirinya kepada mereka.
Terdapat juga di dalam surat Al-Baqarah 115:

ۖ ۖ

“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun


kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.”

Kaum sufi menafsirkannya dengan di mana saja Tuhan ada, dan


di mana saja Tuhan dapat dijumpai. Sehingga untuk mencari Tuhan
tidak perlu jauh-jauh, dan Tuhan dapat dijumpai di mana saja dan Dia
selalu ada.
Surat Qaf ayat 16:

“Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan


mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih
dekat kepadanya daripada urat lehernya.”

Para ahli tasawuf menafsirkan ayat itu sebagai gambaran bahwa


untuk mencari Tuhan orang tak perlu pergi jauh-jauh. Untuk itu ia
cukup kembali ke dalam dirinya sendiri. Dengan perkataan lain bahwa
Tuhan bukan berada di luar diri manusia, tetapi Tuhan berada di dalam
diri manusia.
Penafsiran Sufistik di Dalam al-Qur’an | 71
Dewi Murni

Kedua, tafsir Isyâri atau Faidli adalah takwil ayat-ayat al-Qur’an


yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus
yang diterima seorang sufi tetapi antara kedua makna tersebut dapat
dikompromikan. 18Atau bisa disebut dengan Tasawuf amali (praktis),
yaitu menakwilkan ayat-ayat al-Quran berdasarkan isyarat-isyarat
tersirat yang tampak oleh seorang sufi dalam suluk-nya. Di antara
contoh tafsir sufi adalah kitab Fushush al-Hikâm karya Ibn Arabi. Di
mana ia menafsirkan firman Allah berkenaan dengan Nabi Idris a.s
dalam surat Maryam ayat 57 Pada ayat itu, kata “makānan” diartikan
pada makna “posisi” (makān) bukan tingkatan (makanāh). ....Artinya:
“Dan kami telah mengangkatnya ke tempat paling tinggi (Q.S Maryam
57). Ibn Arabi menafsirkan ayat ini sebagai berikut: “Posisi kosmik
yang paling tinggi adalah lingkaran titik di mana planet-planet yang
merupakan Planet Matahari (Falak asy-Syams) tempat bersemayam
bentuk spiral idris. 19
Contoh penafsiran isyari yang dapat diterima karena telah
memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, yaitu penafsiran al-Tustary
ketika menafsirkan ayat 22 dari surat al-Baqarah : ‫ فال تجعلوا هلل اندادا‬al-
Tustary menafsirkan “andadan” yaitu nafsu amarah yang jelek. Jadi
maksud “andadan” di sini bukan hanya patung-patung, setan atau jiwa
tetapi nafsu amarah yang sering dijadikan Tuhan oleh manusia adalah
perihal yang dimaksud dari ayat tersebut, karena manusia selalu

18
Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005,
h. 72-73.
19
Ibn Arabi, Fushusul al-Hikam, terj, Ahmad Sahidah dan Nurjannah Arianti,
Yogyakarta: Islamika, 2004, h. 111.
72 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017

menyekutukan Tuhannya dengan selalu menjadi hamba bagi nafsu


amarahnya.
Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan melihat isyarat yang ada
di dalamnya telah banyak dilakukan oleh para sahabat Nabi, di
antaranya penafsiran isyari sahabat yaitu ketika para sahabat
mendengar ayat pertama dari surat al-Nashr ayat 1 yang bunyinya: ‫اذا‬
‫جاء نصر هللا والفتح‬Artinya: “Apabila telah datang pertolongan Allah dan
kemenangan” (QS. al-Nasr:1) di antara mereka ada yang mencoba
memberikan penafsiran ayat tersebut dengan mengatakan bahwa ayat
tersebut memerintahkan kepada mereka untuk bersyukur kepada Allah
dan meminta ampunannya. Tetapi berbeda dengan Ibn Abbas yang
mengatakan bahwa ayat tersebut adalah sebagai tanda ajal Rasulullah
saw.
Al-Dzahabi memberikan penjelasan mengenai perbedaan antara
tafsir sufi nadzari dengan tafsir sufi isyari sebagai berikut;20Tafsir sufi
nadzari dibangun atas dasar pengetahuan ilmu sebelumnya yang ada
dalam seorang sufi yang kemudian menafsirkan al-Quran yang
dijadikan sebagai landasan tasawufnya. Adapun tafsir sufi isyari bukan
didasarkan pada adanya pengetahuan ilmu sebelumnya, tetapi didasari
oleh ketulusan hati seorang sufi yang mencapai derajat tertentu
sehingga tersingkapnya isyarat-isyarat al-Quran.
Dalam tafsir sufi nadzari seorang sufi berpendapat bahwa semua
ayat al-Quran mempunyai makna-makna tertentu dan bukan makna lain
yang di balik ayat. Adapun dalam tafsir sufi isyari asumsi dasarnya

20
Lihat Muhammad Husain az-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz I, h.
145.
Penafsiran Sufistik di Dalam al-Qur’an | 73
Dewi Murni

bahwa ayat-ayat al-Quran mempunyai makna lain yang ada di balik


makna lahir. Dengan perkataan lain bahwa al-Quran terdiri dari makna
zahir dan batin.
Contoh Penafsiranyang bisa dijadikan contoh ialah;
1. Al-Ghazali menafsirkan potongan ayat (QS:20;12) ( َ‫)فَا ْخلَ ْع نَعْلَ ْيلَك‬
yang secara zahir “tinggalkanlah (Wahai Musa) kedua
sandalmu”. Menurut al-Ghazali makna batin dari ayat ini adalah
“Tanggalkan (Hai Musa) kedua alammu, baik alam dunia
mupun akhirat. Yakni, janganlah engkau memikirkan
keuntungan duniawi dan jangan pula mencari pahala ukhrawi,
tapi carilah wajah Allah semata”.
2. Az-Zahabi memberikan contoh tafsir nadhari yang dipengaruhi
filasafat yaitu penafsiran Ibn al’Arabi terhadap ayat 57 dari surat
Maryam: ‫ع ِليًّا‬
َ ‫َو َرفَ ْع َٰنَهُ َمكَانًا‬ Artinya: “Dan Kami telah
mengangkatnya ke martabat yang tinggi.” Menurut az-Zahabi
penafsiran Ibn al-’Arabi tersebut sangat dipengaruhi oleh
pemikiran filasafat alam yaitu dengan menafsirkan lafazh
makanan ‘aliyyan dengan antariksa (alam bintang).
3. Kaum Bathiniyah, Dengan dalih bahwa di balik makna zahir Al-
Qur’an tersimpan makna batin, mereka mengembangkan tafsir
batin yang disesuaikan dengan ajaran-ajaran mereka sendiri.
Misalnya saja ketika mereka menafsirkan surat al-Hijr ayat 99.
٩٩:‫َوا ْعبُ ْد َربَّكَ َحت َّٰى يَأْتِيَكَ ا ْليَ ِقينُ ﴿الحجر‬
Menurut pendapat jumhur, ayat itu berarti “sembahlah
Tuhanmu sampai ajal tiba”. Namun kaum Bathiniyah
mengembangkan penafsiran sendiri. Menurut mereka makna
74 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017

ayat itu adalah “barangsiapa telah mengerti makna ibadah, maka


gugurlah kewajiban baginya”.21
Tafsir sufistik ini jika bercampur dengan hal yang samar-samar
(tasyabbuh) ia akan menjadi pemahaman yang salah dan sesat. Tetapi
selama merupakan kajian dan penelitian (istinbat) yang benar dan
sesuai dan kaidah-kaidah kebahasaan yang didukung oleh bukti-bukti
keshahihannya tanpa adanya pertentangan (mukhalafah), maka ia dapat
diterima.
Mengenai apakah sufistik ini juga menafsirkan ayat-ayat di luar
tataran tasawuf, kiranya perlu diketengahkan terlebih dahulu tentang
apakah tafsir sufistik menafsirkan selu-ruh ayat-ayat al-Quran dalam
kerangka berfikir tasawuf?. Mengenai hal ini, penulis melakukan
pembacaan sekilas pada tafsir al-Tustari dan al-Qusyairi.
Dari pembacaan ini, penulis menemukan bahwa tidak semua
ayat-ayat al-Quran ditafsirkan oleh mufassirnya. Ada beberapa ayat
yang diloncati dan tanpa alasan. Sebagai contoh dapat dilihat dalam
tafsir al-Qusyairi yang tidak memberikan penafsirannya sebanyak 9
ayat dalam surat al-Zariyat, yaitu dari ayat 39-47. Pada tafsir al-Tustari
penulis menemukan sebanyak 16 ayat dalam surat al-Baqarah, yaitu
dari ayat 6-21.
Dari pembacaan sekilas ini, penulis menemukan bahwa tidak
semua ayat-ayat al-Quran ditafsirkan oleh mufassirnya dalam nuansa
tasawuf. Fenomena ini memberikan dua kemungkinan, pertama, ayat-
ayat yang diloncati tampaknya sulit bila ditafsirkan dalam kerangka

21
Mahmud Basyuni Faudhah, al-Tafsir wa Manahijuhu fi Dhaw’ al-Mazahib
al-Islamiyah, Mesir: Amanah, 1987, h. 217.
Penafsiran Sufistik di Dalam al-Qur’an | 75
Dewi Murni

tasawuf, dan kedua, ada sebagian naskah atau teks yang hilang dan
belum ditemukan oleh muhaqqiq. Selanjutnya adalah tentang isu yang
menyatakan bahwa para sufi menolak hukum fiqh atau syariah seperti
shalat, puasa, zakat dan sebagainya. Hal ini karena mereka lebih
menekankan pada aspek hakikat bukan syariat. Oleh karena itu, perlu
diketengahkan bagaimana sejarah tasawuf menanggapi isu ini.
Dalam sejarah tasawuf, pada sekitar abad ke-14 telah terjadi
pergulatan yang tajam antara ahli hakikat yang diperankan oleh para
ahli tasawuf dan ahli syariah yang dimainkan oleh para fuqaha. Tetapi
setelah itu al-Ghazali berusaha menyatukan kembali dengan menulis
berbagai kitab, terutama kitabnya yang terkenal Ihya’ Ulum al-Din. Al-
Ghazali sebagai seorang yang dulunya seorang filosof berpendapat
bahwa dalam Islam antara syariah dan hakikat tidak bisa dipisahkan dan
tidak bisa hanya mengambil salah satu dari keduanya. Ulama sufi –
dalam hal ini terutama Ibn ‘Arabi- selalu mengambil makna lebih dari
sebuah perintah hukum atau syariat. Ayat-ayat tentang perintah shalat,
zakat, dan lainnya tetap diterima sebagaimana ahli fuqaha. Yang
berbeda adalah ahli sufi tidak hanya sebatas mengetahui hal itu wajib
atau tidak, tetapi menelusuri apa hikmah-hikmahnya. Kelebihan inilah
yang jarang dilakukan oleh ahli fuqaha. Ada beberapa contoh
penafsiran ahli sufi terhadap ayat-ayat hukum, diantaranya:
1. Ayat-ayat tentang kewajiban menutup aurat. Ibn ‘Arabi dalam
karyanya al-Futuhat al-Makkiyah-sebagaimana dikutip oleh
Ignaz Goldziher- mengatakan bahwa secara syariah menutup
aurat adalah kewajiban, tetapi tidak lepas dari makna batin yaitu
ke-wajiban bagi orang berakal untuk menutup rahasia Tuhan.
76 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017

Hukum yang mengatur tidak bolehnya seorang wanita tanpa


tutup kepala dalam melaksanakan shalat ditafsirkan sebagai
berikut; “seorang wanita i’tibar-nya adalah jiwa dan kepala
adalah lambang dari kepemimpinan. Maka wajib bagi jiwa
untuk menutup kepalanya atau menutup kepemimpinannya di
hadapan Tuhan sebagai tanda kepatuhannya kepada Allah, serta
membuang setiap pemikiran congkak dan takabbur, kemudian
menggantinya dengan kerendahan dan ketundukan.”
2. Zakat dari aspek bahasa dan asal katanya mempunyai makna ke-
sucian, maka Ibnu ‘Arabi menafsirkan melalui jalan simbolik
dan isyarat penentuan syara’ pada delapan golongan yang wajib
diberi zakat (mustahiq al-zakah). Berikutnya dia memahami
zakat dengan makna penyucian akhlak pada delapan anggota
tubuh. Adapun shadaqah sunnah ditafsirkan dengan meratakan
penyucian pada seluruh badan.
3. Sebelum Ibnu ‘Arabi, filosof Ibnu Sina telah menjelaskan
konsep yang serupa dalam kajiannya tentang esensi shalat, yang
ia sebut sebagai “ibadah ruhani”. Pada saat shalat fisik –yang
dikerjakan dengan anggota tubuh dalam bentuk formalistic
sekaligus wak-tu yang telah ditentukan- berbanding lurus
dengan tingkatan-tingkatan jiwa yang rendah, yang
membedakan manusia dengan hewan. Hal ini karena shalat
merupakan media pembersihan jiwa manusia dari godaan
syeitan dan syahwat serta melepaskan diri dari tujuan-tujuan
duniawi.
Penafsiran Sufistik di Dalam al-Qur’an | 77
Dewi Murni

Dari beberapa contoh di atas, dapat diketahui bahwa tidak semua


ayat-ayat yang berada di luar tataran tasawuf ditinggalkan oleh mufassir
corak sufistik. Melainkan ada beberapa ayat yang memang sengaja
“dibawa” ke arah tasawuf, meski terkesan agak dipaksakan. Akan
tetapi, menurut penulis, selama hal itu tidak menyimpang, maka sah-
sah saja bila ayat nuansa ditafsirkan dalam corak sufistik.Adapun kitab-
kitab yang menjadi rujukan tafsir sufi di antaranya ialah, Tafsir Al-
Qur’an Al-Azhim, karya Imam At-Tustari (w.283 H), Haqa’iq at-
Tafsir, karya Al-Allamah As-Sulami (w.412 H), Arais Al-Bayan fi
Haqa’iq Al-Qur’an, karya Imam As-Syirazi (w.606 H).

C. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal
terkait tafsir sufistik, di antaranya:
1. Corak tafsir sufi terbagi menjadi dua, yaitu al-tafsir sufi nazhari
dan al-tafsir sufi isyari. Tafsir sufi nazhari adalah tafsir yang
berpegang pada metode simbolis yang tidak berhenti hanya
pada aspek kebahasaan saja. Sedangkan Tafsir sufi isyari
menurut az-Zahabi adalah mentakwilkan ayat-ayat al-Quran
yang berbeda dengan maknanya yang dzahir berdasarkan
isyarat (petunjuk) khusus yang diterima oleh para ahli sufi.
2. Sumber penafsiran corak tafsir sufi adalah intuisi dan filsafat.
Pendekatan yang digunakan adalah takwil.
3. Ahli sufi dalam Tafsir sufi nazhari berpendapat bahwa ayat-ayat
al-Qur’an mempunyai makna tertentu dan penafsirnya sebagai
pembawa makna. Maka dalam tafsir sufi nazhari di awali
78 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017

dengan premis-premis yang ada di dalam diri seorang sufi yang


kemudian dituangkan dalam penafsiran al-Quran. Sedangkan
dalam tafsir sufi isyari tidak berlandaskan premis-premis ilmiah
terlebih dahulu, akan tetapi berdasarkan riyadah ruhiyah (olah
jiwa) yang dilakukan oleh seorang ahli sufi terhadap dirinya
hingga mencapai tingkatan terungkapnya tabir isyarat
(petunjuk) kesucian.
Penafsiran Sufistik di Dalam al-Qur’an | 79
Dewi Murni

Daftar Pustaka

Al-Dzhabi, Muhammad Husain al-Tafsir wa al-Mufassirun, Dar al-


Fikr, t.t..

Al-Shabuni, Muhammad ‘Ali, Al-Tibyan fi ‘Ulum al-Quran, Kairo:


Maktabah al-Ghazali, 1977.

Al-Shalih, Shubhi, Mabahits Fi ‘Ulum al-Quran, Beirut: Dar al-Fikr li


al-Malayin, 1988.

Al-Tayyib, Muhammad, Al-Islam al-Mutasawwifah, Beirut: Dar a l-


Tali’ah, 2007.

Al-Thabathaba’i, Muhammad Husain al-Mizan fi Tafsir al-Quran, juz


1, Beirut: Mu’assasah al-A’lam li al-Mathbu’at, t.t.

Al-Qaththâan, Mannâ Khalil, Mabâhis fi ‘Ulủm Al-Quran, Riyadh:


Mansyurat al-‘Ashr al-Hadîts, t.t.

Faudhah, Mahmud Basyuni al-Tafsir wa Manahijuhu fi Dhaw’ al-


Mazahib al-Islamiyah, Mesir: Amanah, 1987.

Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia, cetakan I, Jakarta: Teraju,


2003.

Ibn ‘Abdullah, Badr al-Din Muhammad al-Burhan fi Ulum al-Quran,


juz 1 Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th, 1979.

Ibn Arabi, Fushusul al-Hikam, terj, Ahmad Sahidah dan Nurjannah


Arianti, Yogyakarta: Islamika, 2004.

Kalabadzi, Abu Bakar M. Ajaran-ajaran Tasawuf, terj, Natsir Yusuf,


Bandung: Pustaka, 1985.

Mustaqim, Abdul, Aliran-aliran Tafsir, Yogyakarta: Kreasi Wacana,


2005.
80 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, Oktober 2017

_______, Paradigma Tafsir Feminis: Membaca al-Qur’an dengan


Optik Perempuan,Yogyakarta: LKiS. 2008.

_______, Dinamika Sejarah Tafsir al-Quran. Studi Aliran-aliran Dari


Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer,
Yogyakarta: Adab Press, 2012.

Mushtofa, Misbah, Tafsir Al-Iklil, juz I, Bangilan: Majelis Maa’lif wa


Khothoth, Bangilan, tt,.

UIN Sunan Kalijaga, Akhlak Tasawuf, Yogyakarta: Pokja Akademik


UIN Sunan Kalijaga. 2005.

Raya, Ahmad Thib, Rasionalitas Bahasa al-Quran: Upaya


Menafsirkan al-Quran dengan Pendekatan Kebahasaan,
Jakarta: Fikra, 2006.

Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik dalam Islam, terj, Sapardi Joko


Damono, dkk., Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.

Anda mungkin juga menyukai