Disusun Oleh :
Arfiqni Dinal Maula (200204110057)
Kaisar Ahmad Al Jauhari (200204110059)
B. Rumusan masalah
1. Apa definisi, latar belakang dan karakteristik tafsir sufi?
2. Siapakah tokoh-tokoh tafsir sufi?
3. Apa perbedaan tafsir sufi nadhari dan isyari?
4. Bagaimana syarat-syarat agar tafsir sufi diterima? Serta berikan beberapa contoh
tafsir sufistik dan model penfirannya!
1
Abdullah al-Darraz, al-Naba’ al-‘Azim (Kairo: Daral-‘Urubah, 1996), 111.
PEMBAHASAN
A. Pengertian, Latar Belakang munculnya dan Karakteristiknya
2
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, terj. LiadainSherrard (London: The Institute of IsmailiStudies,
tth.), 189.
3
L. Massignon, “Tasawwuf: Early Development in The ArabicandPersianLands”, dalam PJ. Berman, dkk. (ed.),
Encyclopedia of Islam, Vol 10 (Leiden: Brill, 1998), 314.
Semenjak abad ke-4 H. tradisi sufisme terus berkembang. Di akhir abad ini,
beberapa doktrin fundamental dalam sufisme mulai terbentuk, disusul dengan
berkembangnya beberapa praktek ritual tertentu. Hal tersebut kemudian menjadi
sebuah orientasi kehidupan, etos dan akhirnya menjadi identitas bagi generasi
selanjutnya. Dengan bermunculannya beberapa tariqat (sufi order) pada abad ke-5 s.d.
7 H./11 sd. 13 M., sufisme kemudian menjadi suatu bagian integral dari kehidupan
spiritual, sosial dan politik di kalangan umat Islam pramodern.
Tafsir sufistik didefinisikan sebagai suatu upaya menjelaskan kandungan al-
Qur’an dengan penakwilan ayat-ayatnya sesuai isyarat yang tersirat di balik yang
tersurat, dengan tidak mengingkari arti zahir ayat.4 Artinya, para mufassir isyarah tetap
mengakui sepenuhnya arti zahir ayat yang bertumpu pada kaedah bahasa Arab, bahkan
bagi mereka itulah yang harus didahulukan. Namun dibalik arti zahir itu mereka melihat
simbol-simbol yang menurut keyakinan mereka dapat dianggap sebagai padanan
terhadap arti zahir yang terkandung dalam suatu ayat, lalu dimunculkanlah arti-arti
isyarah itu menurut bahasa dan istilah-istilah mereka.
Definisi tafsir sufistik yang lebih lengkap dikemukakan al-Sabuni, yaitu:
Penakwilan nash al-Qur’an yang berbeda dari arti sebenarnya dikarenakan adanya
isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya dilihat oleh sebahagian ulama (ulu al-‘ilm) atau
orang yang al-‘arif billah dari beberapa kelompok orang yang menempuh jalan rohani
dan berjihad melawan nafs. Allah Swt., telah menerangi penglihatan mereka, sehingga
mereka menemukan rahasia-rahasia al-Qur’an, atau pengungkapan terhadap apa yang
terpatri pada benaknya dari sebahagian makna-makna yang halus dengan perantaraan
ilham Ilahi, dan ada kemungkinan untuk mengkompromikan antara keduanya (tekstual
dan kontekstual) dari apa yang dimaksud oleh nash al-Qur’an.5
Ilmu semacam ini, kata al-Sabuni selanjutnya, tidak termasuk dalam kategori
ilmu kasbi (usaha), yaitu ilmu yang dapat diperoleh melalui usaha penelaan atau dengan
penelitian, akan tetapi ilmu ini termasuk kategori ilmu ladunni, yaitu pemberian
langsung dari Allah sebagai hasil dari bentuk ketaqwaan, istiqamah dan akhlak baik
bagi orang yang mendalaminya. Al-Sabuni berdasar pada dua nash al-Qur’an, kedua
nash yang dimaksud yaitu:6 QS alKahfi/18: 65;
4
Muhammad Husain al-Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun Juz II Cet. II (Al-Qahirah: Dar al-Hadis, 2000 M),
352.
5
Muhammad ‘Ali al-Sabuni, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an Cet. I (Bairut: ‘Alam alKutub, 1995), 171.
6
Ibid, 171-172.
َ ع ْبدًا ِّم ْن ِّع َبا ِّد َنا ٓ ٰاتَي ْٰنهُ َرحْ َمةً ِّم ْن ِّع ْن ِّدنَا َو
علَّ ْم ٰنهُ ِّم ْن لَّدُ َّنا ِّع ْل ًما َ فَ َو َجدَا
Artinya : “Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-
hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang
telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami.” (QS al-Kahfi/18: 65)
Ilmu yang seperti digambarkan oleh al-Sabuni tersebut, tidak mungkin didapat
oleh sembarang orang, melainkan terbatas bagi orang-orang yang berhati bersih, yakni
orang yang telah menempuh perjalanan rohani yang amat berat, dan sebagai buahnya
Allah-lah yang langsung menjadi gurunya tanpa perantara. Pengalaman rohani yang
dirasakan seseorang dengan menempuh jalan tasawuf seperti yang ditegaskan oleh Dr.
Mani‘ ‘Abdu al-Halim Mahmud yang dikutip oleh al-Syarqawi tidak ada hubungannya
dengan materi. Oleh sebab itu, ilmu-ilmu modern tidak ada kaitannya dengan tasawuf
yang bersifat ruhaniah. Dan apapun yang keluar dari mulut seorang sufi dalam bentuk
isyarah bukanlah sesuatu yang aneh kecuali bagi orang yang tidak pernah merasakan
lezatnya perjalanan rohani itu.7 Artinya, apapun yang diucapkan oleh seorang sufi
berupa isyarah tidak dapat diucapkan dengan menggunakan teori-teori ilmiah modern,
karena memang tidak ada keterkaitan antara keduanya.
7
Hasan Syarqawi, Mu‘jam al-Faz al-Sufiyyah Cet. I (Al-Qahirah: Muassasah Mukhtar, 1999 M), 9.
Pada abad pertama Hijriah, tasawuf belum dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu
yang mandiri, maka abad ketiga Hijriah dapat diklaim sebagai awal dari adanya
kesadaran untuk merumuskan epistema tasawuf Islam sebagai bagian dari upaya
identifikasi tasawuf Islam dengan perilaku keagamaan yang senada. Klaim ini
dikuatkan oleh fakta sejarah yang menyatakan bahwa dalam masa ini muncul nama-
nama besar yang mulai tergerak untuk menulis tentang tasawuf semisal al-Muhtsib.
Upaya perumusan epistema ini menjadikan tasawuf tidak lagi identik sebagai
pengejawantahan sikap keberagamaan, namun beralih menjadi sebuah disiplin ilmu
yang memuat sebagian teori dengan terma-terma sufistik, sehingga pada abad ketiga
Hijriah, tasawuf berbenturan dengan nilai-nilai normatif, selaras dengan diskursus
keagamaan yang lain seperti tafsir. Dari sinilah awal penafsiran yang bercorak sufistik,
karena para sufi mulai mengambil bagian dalam mengkaji dan menafsirkan Alquran.
8
Al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Dar al-Hadith, 2005), 297.
9
Ibid, 308.
Ibn ‘Arabi, Imam Al-Tusturi (w. 383 H), Al-Allamah Al-Sulami (w. 412 H), Al-
Allamah Al-Sulami (w. 412 H), dll.
10
Rahman, Abdul, Badruzzaman M Yunus, and Eni Zulaeha "Corak Tasawuf Dalam Kitab-Kitab Tafsir Karya
KH Ahmad Sanusi." (2020), 10.
11
Yunus, Badruzzaman M, "Pendekatan Sufistik Dalam Menafsirkan Al-Quran," Syifa al-Qulub 2.1 (2017): 1-
13. Hal 4-5
12
‘Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdu’I, 29.
13
Muhammad Husein az-Dzahabi, “Penyimpangan Penyimpangan dalam Penafsiran Al-Qur’an,” terj, Hamim
Ilyas (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), 92-93.
Kedua, di dalam tafsir sufi nadhari, hal-hal yang bersifat gaib ditarik ke dalam
sesuatu yang nyata atau tampak (profan) dengan perkataan lain meng-analogikan
yang gaib pada yang nyata. Ketiga, terkadang mengabaikanstruktur gramatika
bahasa Arab dan hanya menafsirkan apa yang sejalan dengan keinginan penafsir. 14
Ulama yang dianggap representatif dalam tafsir tasawuf teoritis (nadhari) yaitu
Muhyiddin Ibn al-‘Arabi. Ibn ‘Arabi dianggap sebagai ulama tafsir sufi nadhari
yang meyandarkan bebarapa teori-teori tasawufnya dengan al-Qur’an. Karya tafsir
Ibn al-‘Arabi di antaranya al-Futuhat al-Makiyah. beliau merupakan salah satu
pelopor dari aliran tafsir ini, dimana pemikirannya banyak dipengaruhi oleh
pemikiran filsafat serta aliran wahdat al-wujud yang berkeyakinan bahwa
sesungguhnya tidak ada wujud dalam dunia ini kecuali Allah. 15
b. Tafsir Sufi Isyari
Tafsir sufi isyari juga didefinisikan dengan: “Pentakwilan ayat-ayat al-Qur’an
yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima
para tokoh sufisme tetapi di antara kedua makna tersebut dapat dikompromikan”.
16
Pengetahuan kaum sufi Isyari seringkali didapatkan dengan proses yang dilalui
dengan riyadhah. Pada hakikatnya pengetahuan dilihat dari proses kemunculannya
dalam diri manusia terdiri dari dua macam: Pengetahuan Hudhuri, Yaitu realitas
eksistensial yang hadir dalam diri subyek atau diketahui secara kehadiran tanpa
perantara apapun. Adapun pengetahuan Hushuli, Yaitu gambaran tentang sesuatu
yang ditangkap oleh jiwa dengan salah satu dari panca indera eksoterik 17 Maka,
penafsiran Al-Qur’an yang diberikan seringkali berangkat dari isyarat atau petunjuk
yang diterima dari pantulan cahaya Tuhan yang bersemayam di dalam hati.
Petunjuk yang hanya bisa memantulkan cahaya jika sebuah hati terlebih dahulu
melewati fase tadzkiyatun nafs (penyucian jiwa).
Tafsir sufistik dalam aliran ini meyakini Al-Qur’an mempunyai dua sisi untuk
ditafsiri, yaitu makna material-eksoteris dan esoteris-spiritual. Karakter nash al-
Qur’an memberi penekanan pada asas “konsep perlambangan”, atau dengan
ungkapan yang Islami “dibangun atas konsep dzahir dan bathin. Konsep ini tidak
14
Muhammad Husen al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun.
15
Khamid, Ahmad, "Interpretasi Sufistik Atas Teks Al-Qur'an: Memahami Analisis Nadzari dan
Isyari," JOURNAL Al IRFANI: Study of the Qur'an and Tafsir, 1.02 (2020): 54.
16
Abd al-Rahman al-‘Ak, Ushul al-Tafsir wa Qawa’iduhu, 205.
17
Muhisn Labib, Mengurai Tasawwuf, Irfan dan Kebatinan (Jakarta: Lentera Basritama, 2004), 66.
begitu saja lahir tanpa ada landasan yang bisa dipertanggung jawabkan, melainkan
berpijak pada ayat-ayat alQur’an diantaranya : 18
18
Khamid, Ahmad, "Interpretasi Sufistik Atas Teks Al-Qur'an: Memahami Analisis Nadzari dan
Isyari," JOURNAL Al IRFANI: Study of the Qur'an and Tafsir 1.02 (2020): 56.
19
Ibid, 57.
20
Yunus, Badruzzaman M, "Pendekatan Sufistik Dalam Menafsirkan Al-Quran," Syifa al-Qulub 2.1 (2017): 1-
13. Hal 5.
tafsir sufi nadzari seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat al-Qur’an
mempunyai makna-makna tertentu dan bukan makna lain yang di balik ayat.
Adapun dalam tafsir sufi isyari asumsi dasarnya bahwa ayatayat al-Qur’an
mempunyai makna lain yang ada di balik makna lahir. Dengan perkataan lain bahwa
al-Qur’an terdiri dari makna zahir dan batin.
Dengan ungkapan lain, al-Qur’an terdiri dari makna lahir dan batin. Artinya
keduanya berbeda dalam hal cara mendapatkan tafsir dan pada kandungan tafsir.
Tafsir sufi nadzari menekankan penyajian ilmiah tetapi tafsir sufi isyari
menekankan latihan ruh untuk mendapatkan tafsir atau kandungan ayat. Kemudian
sufi nadzari tidak melihat kemungkinan maknz dzahir sedangan isyari memandang
ada makna zahir sebelum makna di baliknya.21
D. Syarat-syarat diterimanya Tafsir sufi dan beberapa Contoh Tafsir Sufistik serta
model penulisannya
a. Syarat-syarat Tafsir Sufi dapat diterima :22
- Tidak menafikan makna lahir (pengetahuan tekstual) al-Qur’an
- Penafsirannya diperkuat oleh dalil syara’ yang lain.
- Penafsiran tidak bertentangan dengan dalil syara’ dan akal.
- Mufassirnya tidak menganggap bahwa penafsirannya itu merupakan satu-
satunya penafsiran yang benar, tetapi harus mengakui terlebih dahulu makana
lahiriah ayat.
21
Al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Dar al-Hadith, 2005), 261.
22
Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, “Tafsir Kontekstual” 25 Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1990),
Cet. II, hal. 24.
23
Rosihan Anwar, “Menelusuri Ruang Batin Al-Qur’an” (Jakarta: Erlangga, 2010), 168.
Contoh penafsiran Ibnu Arabi :
24
Rahman, Abdul, Badruzzaman M Yunus, and Eni Zulaeha. Corak Tasawuf Dalam Kitab-Kitab Tafsir Karya
KH Ahmad Sanusi (2020). 14.
25
Murni, Dewi, "Penafsiran Sufistik Di Dalam Al-Quran," Syahadah: Jurnal Ilmu al-Qur'an dan Keislaman 5.2
(2017). Hal 70-73.
itu memenuhi(segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku,
agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Q.s Al-Baqarah, ayat 186)
kata do’a yang terdapat dalam ayat tersebut oleh sufi diartikanbukan
berdo’a dalam arti lazim dipakai. Kata itu bagi golongan ini adalah mengandung
arti berseru atau memanggil. Tuhan merekapanggil dan Tuhan melihat dirinya
kepada mereka. Dengan perkataanlain, mereka berseru agar Tuhan membuka
hijab dan menampakkandirinya kepada mereka.
Az-Zahabi memberikan contoh tafsir nadhari yang dipengaruhifilasafat yaitu
penafsiran Ibn al’Arabi terhadap ayat 57 dari suratMaryam:
َ اس ٰ َهذَا
عذَاب أ َ ِّليم َ ين َي ْغشَى ال َّن
ٍ َان ُم ِّب َّ ارتَقِّبْ َي ْو َم تَأ ْ ِّتي ال
ٍ س َما ُء ِّبدُخ ْ َف
Artinya : “Maka tunggulah pada hari ketika langit membawa kabut yang
tampak jelas. Yang meliputi manusia. Inilah adzab yang pedih” (QS. Ad-
Dukhan, 44: 10-11).
َاخلَ ْع َن ْعلَيْك
ْ َف
Artinya : “tinggalkanlah (Wahai Musa) kedua sandalmu”.
Menurut al-Ghazali makna batin dari ayat ini adalah “Tanggalkan (Hai Musa)
kedua alammu, baik alam dunia mupun akhirat. Yakni, janganlah engkau
memikirkan keuntungan duniawi dan jangan pula mencari pahala ukhrawi, tapi
carilah ridla dan hub Allah”.
ِّ ََّيا أ َ ُّي َها الَّذِّينَ آ َمنُوا قَا ِّتلُوا الَّذِّينَ َيلُو َن ُكم ِّمنَ ْال ُكف
ار
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman bunuhlah orang-orang yang dekat
dengan kamu dari orang-orang kafir‛ “(Al-Taubah: 3)
26
Al-Qusyairi,Lathaif al-Isyarah, II ..., 29-37.
27
Yunus, Badruzzaman M, "Pendekatan Sufistik Dalam Menafsirkan Al-Quran," Syifa al-Qulub 2.1 (2017): 1-
13. Hal 10.
28
Hanafi, Muhammad Faisal “Tafsir sufistik Syaikh Ahmad al-Alawi Lubab al-Ilm fi surah al-Najm dalam
prespektif epistemologi,” Diss. UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018. Hal 28.
dimaksud dari ayat tersebut, karena manusia selalu menyekutukan Tuhannya
dengan selalu menjadi hamba bagi nafsu amarahnya.
KESIMPULAN
Tafsir sufistik didefinisikan sebagai suatu upaya menjelaskan kandungan al-Qur’an
dengan penakwilan ayat-ayatnya sesuai isyarat yang tersirat di balik yang tersurat, dengan tidak
mengingkari arti zahir ayat. Definisi tafsir sufistik yang lebih lengkap dikemukakan al-Sabuni,
yaitu: Penakwilan nash al-Qur’an yang berbeda dari arti sebenarnya dikarenakan adanya
isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya dilihat oleh sebahagian ulama (ulu al-‘ilm) atau orang
yang al-‘arif billah dari beberapa kelompok orang yang menempuh jalan rohani dan berjihad
melawan nafs. Allah Swt., telah menerangi penglihatan mereka, sehingga mereka menemukan
rahasia-rahasia al-Qur’an, atau pengungkapan terhadap apa yang terpatri pada benaknya dari
sebahagian makna-makna yang halus dengan perantaraan ilham Ilahi, dan ada kemungkinan
untuk mengkompromikan antara keduanya (tekstual dan kontekstual) dari apa yang dimaksud
oleh nash al-Qur’an.
Pada abad ketiga Hijriah, tasawuf berbenturan dengan nilai-nilai normatif, selaras
dengan diskursus keagamaan yang lain seperti tafsir. Dari sinilah awal penafsiran yang
bercorak sufistik, karena para sufi mulai mengambil bagian dalam mengkaji dan menafsirkan
Alquran. Di antara tokoh-tokoh mufasir sufi ialah Sahl bin Abdillah At-Tustari, Ibn ‘Arabi,
Imam Al-Tusturi (w. 383 H), Al-Allamah Al-Sulami (w. 412 H), Al-Allamah Al-Sulami
(w. 412 H), dll.
Tafsir sufi dibagi menjadi dua, tafsir sufi nazari dan tafsir sufi ishari. Tafsir sufi nazari
adalah tafsir sufi yang berlandaskan pada teori-teori dan ilmu-ilmu filsafat. Sedangkan tafsir
sufi ishari adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tidak sama dengan makna lahir dari
ayat-ayat tersebut, karena disesuaikan dengan isyarat-isyarat tersembunyi yang nampak pada
para pelaku ritual sufistik, dan bisa jadi penafsiran mereka sesuai dengan makna lahir
sebagaimana yang dimaksud dalam tiap-tiap ayat tersebut.
Syarat-syarat Tafsir Sufi dapat diterima antara lain, tidak menafikan makna lahir
(pengetahuan tekstual) al-Qur’an, penafsirannya diperkuat oleh dalil syara’ yang lain,
penafsiran tidak bertentangan dengan dalil syara’ dan akal, mufassirnya tidak menganggap
bahwa penafsirannya itu merupakan satu-satunya penafsiran yang benar, tetapi harus mengakui
terlebih dahulu makana lahiriah ayat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah al-Darraz, al-Naba’ al-‘Azim (Kairo: Daral-‘Urubah, 1996).
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, terj. LiadainSherrard (London: The Institute of
IsmailiStudies, tth.).
L. Massignon, “Tasawwuf: Early Development in The ArabicandPersianLands”, dalam PJ.
Berman, dkk. (ed.), Encyclopedia of Islam, Vol 10 (Leiden: Brill, 1998).
Muhammad Husain al-Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun Juz II Cet. II (Al-Qahirah: Dar al-
Hadis, 2000 M).
Muhammad ‘Ali al-Sabuni, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an Cet. I (Bairut: ‘Alam alKutub, 1995).
Hasan Syarqawi, Mu‘jam al-Faz al-Sufiyyah Cet. I (Al-Qahirah: Muassasah Mukhtar, 1999
M).
Rahman, Abdul, Badruzzaman M Yunus, and Eni Zulaeha "Corak Tasawuf Dalam Kitab-Kitab
Tafsir Karya KH Ahmad Sanusi." (2020).
Yunus, Badruzzaman M, "Pendekatan Sufistik Dalam Menafsirkan Al-Quran," Syifa al-
Qulub 2.1 (2017): 1-13.
‘Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdu’I,.
Muhammad Husein az-Dzahabi, “Penyimpangan Penyimpangan dalam Penafsiran Al-
Qur’an,” terj, Hamim Ilyas (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996).
Khamid, Ahmad, "Interpretasi Sufistik Atas Teks Al-Qur'an: Memahami Analisis Nadzari dan
Isyari," JOURNAL Al IRFANI: Study of the Qur'an and Tafsir, 1.02 (2020).
Abd al-Rahman al-‘Ak, Ushul al-Tafsir wa Qawa’iduhu.
Muhisn Labib, Mengurai Tasawwuf, Irfan dan Kebatinan (Jakarta: Lentera Basritama, 2004).
Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, “Tafsir Kontekstual” 25 Al-Qur’an
(Bandung: Mizan, 1990), Cet. II.
Rosihan Anwar, “Menelusuri Ruang Batin Al-Qur’an” (Jakarta: Erlangga, 2010).
Murni, Dewi, "Penafsiran Sufistik Di Dalam Al-Quran," Syahadah: Jurnal Ilmu al-Qur'an dan
Keislaman 5.2 (2017).
Al-Qusyairi,Lathaif al-Isyarah, II ....
Hanafi, Muhammad Faisal “Tafsir sufistik Syaikh Ahmad al-Alawi Lubab al-Ilm fi surah al-
Najm dalam prespektif epistemologi,” Diss. UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018.