Anda di halaman 1dari 16

“CORAK TAFSIR SUFI”

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Madzahib At-Tafsir


Dosen Pengampu : Ustadz. Dr. H. Moh Toriquddin, Lc. M.Th.I

Disusun Oleh :
Arfiqni Dinal Maula (200204110057)
Kaisar Ahmad Al Jauhari (200204110059)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG 2022/2023
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Abdullah al-Darraz mengumpamakan al-Qur’an dengan sebuah batu intan yang
setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan sudut lainnya.1 Hal tersebut
berarti bahwa al-Qur’an merupakan suatu teks suci yang mengandung suatu muatan
yang bisa ditinjau dari multi-perspektif. Al-Qur’an merupakan suatu teks “polifonik”
yang menghasilkan beberapa seni membaca bagi para pengkajinya. Dalam hal ini,
pluralitas tafsir al-Qur’an adalah sebanyak pluralitas penafsir itu sendiri sebagai aktor
utama dalam tradisi penafsiran al-Qur’an.
Pada gilirannya, dalam leksikon tafsir al-Qur’an, ditemui suatu momen ketika
al-Qur’an bersentuhan dengan tradisi tasawwuf atau sufisme. Hasilnya adalah apa yang
kemudian dikenal sebagai tafsir sufi atau sufistik. Meskipun cukup kontroversial dan
tidak terlalu mendapatkan banyak atensi (little-studied genre) sebagaimana corak
mayor tafsir al-Qur’an lainnya, tafsir sufistik merupakan salah satu corak tafsir yang
telah diakui keberadaannya sebagai suatu corak yang berdiri sendiri secara utuh. Dalam
artian, tradisi tafsir sufistik telah memiliki sebuah skena historis, epistemologi tafsir
dan beberapa eksponen yang kemudian menjadikannya pantas disebut sebagai sebuah
corak tafsir.
Tulisan ini merupakan sebuah pengantar singkat yang mencoba memotret salah
satu fase dalam tradisi penafsiran al-Qur’an ketika ia bersinggungan dengan tradisi
sufisme. Tulisan singkat ini akan mengurai kontak dan relasi tafsir al-Qur’an dengan
sufisme dan perkembangannya sampai membentuk sebuah corak (genre) tafsir al-
Qur’an.

B. Rumusan masalah
1. Apa definisi, latar belakang dan karakteristik tafsir sufi?
2. Siapakah tokoh-tokoh tafsir sufi?
3. Apa perbedaan tafsir sufi nadhari dan isyari?
4. Bagaimana syarat-syarat agar tafsir sufi diterima? Serta berikan beberapa contoh
tafsir sufistik dan model penfirannya!

1
Abdullah al-Darraz, al-Naba’ al-‘Azim (Kairo: Daral-‘Urubah, 1996), 111.
PEMBAHASAN
A. Pengertian, Latar Belakang munculnya dan Karakteristiknya

Pengertian Tafsir Sufi


Sebelum membahas mengenai tafsir sufi, sebaiknya terlebih dahulu membahas
tentang kata sufi, menurut Ibnu Khaldun, kata tasawuf memiliki beberapa versi
pengertian, salah satunya ialah mushtaq dari kata suf, karena para sufi memakai pakaian
yang berbeda dengan masyarakat umum yang memakai pakaian mewah, mereka
menggunakan kain suf (tenunan dari bulu domba atau yang disebut dengan wol),
sebagai praktek gaya hidup sederhana dan kezuhudan. Ada pula yang mengatakan,
kata sufi diambil dari kata safa’, yang berarti suci, hal ini karena kesucian hati para
sufi, dan kesucian kondisi batin dan lahir mereka dari menentang Allah. Ada
juga yang mengatakan diambil dari suffah yang dinisbatkan pada sahabat-sahabat Nabi
dari golongan yang tidak mampu yang kemudian mereka dikenal dengan ahli suffah.
Pendapat yang lain menyebutkan bahwa kata ini bukan mushtaq tapi merupakan laqab
(sebutan) bagi mereka.
Menurut Henry Corbin, kata sufi sendiri mulai dikenal pada abad ke-3 H. Ia
merupakan suatu kata yang pertama kali disematkan kepada seorang anggota kelompok
mistis Syi’ah di Kufah yang bernama “Abdakal-Sufy” (w. 210 H./825 M).2 Pendapat
lain menyatakan bahwa kata sufi telah dikenal sebelumnya pada abad ke-2 H. Orang
pertama yang dikenal sebagai sufi adalah Abu Hasyim al-Sufi (w. 150 H). Hal ini juga
diperkuat dengan pendapat yang mengatakan bahwa sejak abad ke 2 H./8 M telah
muncul suatu gerakan dengan tendensi anti pemerintahan dan anti-sosial yang konon
dikenal dengan nama al- sufiyyah. Mereka merintis sebuah relasi yang sensitif dengan
Tuhan dan mengembangkan konsep cinta kepada Tuhan.3
Sufisme sebagai aliran mistis dan asketis mulai menjadi sebuah trend pada masa
awal Imperium Abbasiah bersamaan dengan munculnya gerakan esoteris di wilayah
Syiria, Iran dan Asia Tengah yang dengan nama-nama yang berbeda. Selanjutnya,
mulai abad ke-4 H./10 M gerakan asketisme Islam mulai terkonsentrasi di wilayah Irak
terutama di Baghdad. Sejak itulah tradisi tasawwuf mulai diterima sebagai suatu tradisi
yang tersendiri dalam kehidupan sosial-masyarakat.

2
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, terj. LiadainSherrard (London: The Institute of IsmailiStudies,
tth.), 189.
3
L. Massignon, “Tasawwuf: Early Development in The ArabicandPersianLands”, dalam PJ. Berman, dkk. (ed.),
Encyclopedia of Islam, Vol 10 (Leiden: Brill, 1998), 314.
Semenjak abad ke-4 H. tradisi sufisme terus berkembang. Di akhir abad ini,
beberapa doktrin fundamental dalam sufisme mulai terbentuk, disusul dengan
berkembangnya beberapa praktek ritual tertentu. Hal tersebut kemudian menjadi
sebuah orientasi kehidupan, etos dan akhirnya menjadi identitas bagi generasi
selanjutnya. Dengan bermunculannya beberapa tariqat (sufi order) pada abad ke-5 s.d.
7 H./11 sd. 13 M., sufisme kemudian menjadi suatu bagian integral dari kehidupan
spiritual, sosial dan politik di kalangan umat Islam pramodern.
Tafsir sufistik didefinisikan sebagai suatu upaya menjelaskan kandungan al-
Qur’an dengan penakwilan ayat-ayatnya sesuai isyarat yang tersirat di balik yang
tersurat, dengan tidak mengingkari arti zahir ayat.4 Artinya, para mufassir isyarah tetap
mengakui sepenuhnya arti zahir ayat yang bertumpu pada kaedah bahasa Arab, bahkan
bagi mereka itulah yang harus didahulukan. Namun dibalik arti zahir itu mereka melihat
simbol-simbol yang menurut keyakinan mereka dapat dianggap sebagai padanan
terhadap arti zahir yang terkandung dalam suatu ayat, lalu dimunculkanlah arti-arti
isyarah itu menurut bahasa dan istilah-istilah mereka.
Definisi tafsir sufistik yang lebih lengkap dikemukakan al-Sabuni, yaitu:
Penakwilan nash al-Qur’an yang berbeda dari arti sebenarnya dikarenakan adanya
isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya dilihat oleh sebahagian ulama (ulu al-‘ilm) atau
orang yang al-‘arif billah dari beberapa kelompok orang yang menempuh jalan rohani
dan berjihad melawan nafs. Allah Swt., telah menerangi penglihatan mereka, sehingga
mereka menemukan rahasia-rahasia al-Qur’an, atau pengungkapan terhadap apa yang
terpatri pada benaknya dari sebahagian makna-makna yang halus dengan perantaraan
ilham Ilahi, dan ada kemungkinan untuk mengkompromikan antara keduanya (tekstual
dan kontekstual) dari apa yang dimaksud oleh nash al-Qur’an.5
Ilmu semacam ini, kata al-Sabuni selanjutnya, tidak termasuk dalam kategori
ilmu kasbi (usaha), yaitu ilmu yang dapat diperoleh melalui usaha penelaan atau dengan
penelitian, akan tetapi ilmu ini termasuk kategori ilmu ladunni, yaitu pemberian
langsung dari Allah sebagai hasil dari bentuk ketaqwaan, istiqamah dan akhlak baik
bagi orang yang mendalaminya. Al-Sabuni berdasar pada dua nash al-Qur’an, kedua
nash yang dimaksud yaitu:6 QS alKahfi/18: 65;

4
Muhammad Husain al-Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun Juz II Cet. II (Al-Qahirah: Dar al-Hadis, 2000 M),
352.
5
Muhammad ‘Ali al-Sabuni, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an Cet. I (Bairut: ‘Alam alKutub, 1995), 171.
6
Ibid, 171-172.
َ ‫ع ْبدًا ِّم ْن ِّع َبا ِّد َنا ٓ ٰاتَي ْٰنهُ َرحْ َمةً ِّم ْن ِّع ْن ِّدنَا َو‬
‫علَّ ْم ٰنهُ ِّم ْن لَّدُ َّنا ِّع ْل ًما‬ َ ‫فَ َو َجدَا‬
Artinya : “Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-
hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang
telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami.” (QS al-Kahfi/18: 65)

Demikian pula pada potongan ayat di akhir QS al-Baqarah/2: 282:

‫ع ِّليْم‬ َ ‫اّٰللُ ِّب ُك ِّل‬


َ ٍ‫ش ْيء‬ ‫اّٰللُ ۗ َو ه‬ ‫َواتَّقُوا ه‬
‫اّٰللَ ۗ َويُ َع ِّل ُم ُك ُم ه‬
Artinya : “Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu,
dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS al-Baqarah/2: 282)

Ilmu yang seperti digambarkan oleh al-Sabuni tersebut, tidak mungkin didapat
oleh sembarang orang, melainkan terbatas bagi orang-orang yang berhati bersih, yakni
orang yang telah menempuh perjalanan rohani yang amat berat, dan sebagai buahnya
Allah-lah yang langsung menjadi gurunya tanpa perantara. Pengalaman rohani yang
dirasakan seseorang dengan menempuh jalan tasawuf seperti yang ditegaskan oleh Dr.
Mani‘ ‘Abdu al-Halim Mahmud yang dikutip oleh al-Syarqawi tidak ada hubungannya
dengan materi. Oleh sebab itu, ilmu-ilmu modern tidak ada kaitannya dengan tasawuf
yang bersifat ruhaniah. Dan apapun yang keluar dari mulut seorang sufi dalam bentuk
isyarah bukanlah sesuatu yang aneh kecuali bagi orang yang tidak pernah merasakan
lezatnya perjalanan rohani itu.7 Artinya, apapun yang diucapkan oleh seorang sufi
berupa isyarah tidak dapat diucapkan dengan menggunakan teori-teori ilmiah modern,
karena memang tidak ada keterkaitan antara keduanya.

Latar Belakang Munculnya Tafsir Sufi


Tasawuf Islam mempunyai kecenderungan dalam merenungkan makna Alquran
melalui media simbol dan isyarat, kemudian pada langkah berikutnya, mereka
mempunyai kecenderungan untuk mampu menemukan fondasi konstruk mazhabnya
dalam Alquran, dan menegakkan bukti bahwa prinsip-prinsip tertentu dalam mazhab
mereka disandarkan pada kitab wahyu yang suci. Sehingga menurut mereka (para sufi)
beberapa ayat dalam Alquran dapat dipahami sebagai teks yang menopang mazhab
mereka.

7
Hasan Syarqawi, Mu‘jam al-Faz al-Sufiyyah Cet. I (Al-Qahirah: Muassasah Mukhtar, 1999 M), 9.
Pada abad pertama Hijriah, tasawuf belum dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu
yang mandiri, maka abad ketiga Hijriah dapat diklaim sebagai awal dari adanya
kesadaran untuk merumuskan epistema tasawuf Islam sebagai bagian dari upaya
identifikasi tasawuf Islam dengan perilaku keagamaan yang senada. Klaim ini
dikuatkan oleh fakta sejarah yang menyatakan bahwa dalam masa ini muncul nama-
nama besar yang mulai tergerak untuk menulis tentang tasawuf semisal al-Muhtsib.
Upaya perumusan epistema ini menjadikan tasawuf tidak lagi identik sebagai
pengejawantahan sikap keberagamaan, namun beralih menjadi sebuah disiplin ilmu
yang memuat sebagian teori dengan terma-terma sufistik, sehingga pada abad ketiga
Hijriah, tasawuf berbenturan dengan nilai-nilai normatif, selaras dengan diskursus
keagamaan yang lain seperti tafsir. Dari sinilah awal penafsiran yang bercorak sufistik,
karena para sufi mulai mengambil bagian dalam mengkaji dan menafsirkan Alquran.

Karakteristik Tafsir Sufi


Tafsir sufi dibagi menjadi dua, tafsir sufi nazari dan tafsir sufi ishari. Tafsir sufi
nazari adalah tafsir sufi yang berlandaskan pada teori-teori dan ilmu-ilmu filsafat.8
Sedangkan tafsir sufi ishari adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tidak sama
dengan makna lahir dari ayat-ayat tersebut, karena disesuaikan dengan isyarat-isyarat
tersembunyi yang nampak pada para pelaku ritual sufistik, dan bisa jadi penafsiran
mereka sesuai dengan makna lahir sebagaimana yang dimaksud dalam tiap-tiap ayat
tersebut.9

B. Tokoh-tokoh Tafsir Sufi


Di antara tokoh-tokoh mufasir sufi ialah Abu Muhammad Sahl bin Abdullah
Bin Yunus bin Abdullah Sahl bin Abdillah Al-Tustari atau yang lebih dikenal
dengan Sahl bin Abdillah At-Tustari (283/896) adalah seorang mufasir yang
mengarang kitab Tafsiran Quran Al-Adzim. Beliau lahir di wilayah Tustar, masih
termasuk wilayah Ahwaz, Iran, pada tahun 200 H. Konon At-Tustari adalah
seorang yang sangat wara’, takwa, dan tergolong orang-orang yang arif. Selain Sahl
bin Abdillah At-Tustari, terdapat beberapa tokoh mufassir sufi yang lain, seperti

8
Al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Dar al-Hadith, 2005), 297.
9
Ibid, 308.
Ibn ‘Arabi, Imam Al-Tusturi (w. 383 H), Al-Allamah Al-Sulami (w. 412 H), Al-
Allamah Al-Sulami (w. 412 H), dll.

C. Perbedaan Tafsir Sufi Nadhari dan Isyari


a. Tafsir sufi nadhari
Tafsir sufi nadhari adalah tafsir yang disusun oleh ulama-ulama(mufassir) yang
dalam menafsirkan al-Qur’an berpegang pada teori-teori tasawuf yang mereka anut
dan dikembangkan.10 atau tafsir sufi yang dibangun untuk mengusung dan
memperkuat teori-teori mistik yang dianut mufassir. 11
Al-Farmawi berpendapat bahwasanya tafsir sufi nadhari diartikan sebagai
model penafsiran yang menekankan pemaknaan kata dengan melihat makna batin
sebuah ayat, atau dapat pula diartikan sebagai usaha penafsiran yang dilakukan oleh
para sufi yang melakukan justifikasi al-Qur’an terhadap teoriteori sufistik, seperti
konsep tentang khauf, mahabbah, ma’rifah, hulul dan wihdat al-wujud. 12
Tafsir sufi nadhari berpegang pada instrumen akal dan intuisi dalam
menakwilkan al-Qur’an. Pada umumnya menyimpangkan makna al-Qur’an dari
maksud dan tujuan yang dikehendaki sebenarnya. Al-Qur’an dengan nash-nash dan
ayat-ayatnya mempunyai maksud tertentu, tetapi kelompok ini menyimpangkannya
kepada maksud-maksud lain yang sesuai dengan pandangan-pandangan dan ajaran-
ajaran mereka. Kadang-kadang ada kesenjangan dan kontradiksi di antara kedua
tujuan atau maksud tersebut, dalam hal seperti ini mereka tidak bisa berbuat lain
kecuali menyimpangkan maksud al-Qur’an yang sebenarnya itu kepada maksud
lain yang ingin mereka capai. Dengan segala upayanya ini mereka bermaksud
mempopulerkan faham tasawuf kepada orang-orang yang membaca al-Qur’an dan
bermaksud membangun teori-teori atau pandangan-pandangan yang didasarkan
atas prinsip dari kandungan kitab suci itu.13
Muhammad Husen al-Dzahabi menjelaskan karekteristik atau ciri-ciri dalam
penafsiran nadhari sebagai berikut : Pertama, dalam menafsiran ayat-ayat al-
Qur’an, tafsir sufi nadhari sangat kuat dipengaruhi oleh disiplin ilmu filsafat.

10
Rahman, Abdul, Badruzzaman M Yunus, and Eni Zulaeha "Corak Tasawuf Dalam Kitab-Kitab Tafsir Karya
KH Ahmad Sanusi." (2020), 10.
11
Yunus, Badruzzaman M, "Pendekatan Sufistik Dalam Menafsirkan Al-Quran," Syifa al-Qulub 2.1 (2017): 1-
13. Hal 4-5
12
‘Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdu’I, 29.
13
Muhammad Husein az-Dzahabi, “Penyimpangan Penyimpangan dalam Penafsiran Al-Qur’an,” terj, Hamim
Ilyas (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), 92-93.
Kedua, di dalam tafsir sufi nadhari, hal-hal yang bersifat gaib ditarik ke dalam
sesuatu yang nyata atau tampak (profan) dengan perkataan lain meng-analogikan
yang gaib pada yang nyata. Ketiga, terkadang mengabaikanstruktur gramatika
bahasa Arab dan hanya menafsirkan apa yang sejalan dengan keinginan penafsir. 14
Ulama yang dianggap representatif dalam tafsir tasawuf teoritis (nadhari) yaitu
Muhyiddin Ibn al-‘Arabi. Ibn ‘Arabi dianggap sebagai ulama tafsir sufi nadhari
yang meyandarkan bebarapa teori-teori tasawufnya dengan al-Qur’an. Karya tafsir
Ibn al-‘Arabi di antaranya al-Futuhat al-Makiyah. beliau merupakan salah satu
pelopor dari aliran tafsir ini, dimana pemikirannya banyak dipengaruhi oleh
pemikiran filsafat serta aliran wahdat al-wujud yang berkeyakinan bahwa
sesungguhnya tidak ada wujud dalam dunia ini kecuali Allah. 15
b. Tafsir Sufi Isyari
Tafsir sufi isyari juga didefinisikan dengan: “Pentakwilan ayat-ayat al-Qur’an
yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima
para tokoh sufisme tetapi di antara kedua makna tersebut dapat dikompromikan”.
16

Pengetahuan kaum sufi Isyari seringkali didapatkan dengan proses yang dilalui
dengan riyadhah. Pada hakikatnya pengetahuan dilihat dari proses kemunculannya
dalam diri manusia terdiri dari dua macam: Pengetahuan Hudhuri, Yaitu realitas
eksistensial yang hadir dalam diri subyek atau diketahui secara kehadiran tanpa
perantara apapun. Adapun pengetahuan Hushuli, Yaitu gambaran tentang sesuatu
yang ditangkap oleh jiwa dengan salah satu dari panca indera eksoterik 17 Maka,
penafsiran Al-Qur’an yang diberikan seringkali berangkat dari isyarat atau petunjuk
yang diterima dari pantulan cahaya Tuhan yang bersemayam di dalam hati.
Petunjuk yang hanya bisa memantulkan cahaya jika sebuah hati terlebih dahulu
melewati fase tadzkiyatun nafs (penyucian jiwa).
Tafsir sufistik dalam aliran ini meyakini Al-Qur’an mempunyai dua sisi untuk
ditafsiri, yaitu makna material-eksoteris dan esoteris-spiritual. Karakter nash al-
Qur’an memberi penekanan pada asas “konsep perlambangan”, atau dengan
ungkapan yang Islami “dibangun atas konsep dzahir dan bathin. Konsep ini tidak

14
Muhammad Husen al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun.
15
Khamid, Ahmad, "Interpretasi Sufistik Atas Teks Al-Qur'an: Memahami Analisis Nadzari dan
Isyari," JOURNAL Al IRFANI: Study of the Qur'an and Tafsir, 1.02 (2020): 54.
16
Abd al-Rahman al-‘Ak, Ushul al-Tafsir wa Qawa’iduhu, 205.
17
Muhisn Labib, Mengurai Tasawwuf, Irfan dan Kebatinan (Jakarta: Lentera Basritama, 2004), 66.
begitu saja lahir tanpa ada landasan yang bisa dipertanggung jawabkan, melainkan
berpijak pada ayat-ayat alQur’an diantaranya : 18

ٗ‫علَ ْي ُك ْم ِّنعَ َمه‬ ِّ ‫ت َو َما فِّى ْاْلَ ْر‬


َ ‫ض َوا َ ْس َب َغ‬ ِّ ‫س َّخ َر لَ ُك ْم َّما فِّى السَّمٰ ٰو‬ ‫اَلَ ْم ت ََر ْوا ا َ َّن ه‬
َ َ‫اّٰلل‬
ۗ ً‫اط َنة‬ َ
ِّ ‫ظا ِّه َرة ً َّو َب‬
Artinya : “.....dan Ia menyemprnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin” (QS.
Luqman, 31:20)

‫ب َوأُخ َُر ُمتَشَا ِّب َهات‬


ِّ ‫َاب ِّم ْنهُ آ َيات ُمحْ َك َمات ه َُّن أ ُ ُّم ْال ِّكتَا‬
َ ‫علَيْكَ ْال ِّكت‬
َ ‫ه َُو الَّذِّي أ َ ْنزَ َل‬
Artinya : “Dia-lah yang menurunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu (Muhammad),
Diantaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok kitab (alQur’an)
dan yang lain mutasyabihat” (QS. Ali Imran, 3:7).

Sufi Isyari memberikan rambu interpretasi, bahwa interpretasi konsisten dengan


amaliyah dengan tidak melampaui pengetahuan-pengetahuan yang diisyaratkan
sebagaimana telah diketahui seumbernya dalam islam. Sebagaimana juga
diisyaratkan adanya kewajiban untuk beriman dam mengamalkan kandungan
redaksi tekstual yang merupakan dasar agama. Adapun yang lebih dari itu berupa
dimensi batin, maka tidak lebih dari pelengkap dari syarat yang telah ada. Teks-teks
tersebut hadir untuk dijadikan sarana ibadah dengan bentuk pemahaman yang dapat
dicerna oleh publik karena agama datang kepada mansia secara keseluruhan tidak
hanya segelintir orang19.
Setelah mengetahui pendeksripsian diantara dua corak diatas maka perbedannya
adalah, menurut Az-Zahabi ketika beliau memeberikan penjelasan mengenai
perbedaan antara tafsir sufi nadzari dengan tafsir sufi isyari sebagai berikut :20
Tafsir sufi nadzari dibangun atas dasar pengetahuan ilmu sebelumnya yang ada
dalam seorang sufi yang kemudian menafsirkan alQur’an yang dijadikan sebagai
landasan tasawufnya. Adapun tafsir sufi isyari bukan didasarkan pada adanya
pengetahuan ilmu sebelumnya, tetapi didasari oleh ketulusan hati seorang sufi yang
mencapai derajat tertentu sehingga tersingkapnya isyarat-isyarat alQur’an. Dalam

18
Khamid, Ahmad, "Interpretasi Sufistik Atas Teks Al-Qur'an: Memahami Analisis Nadzari dan
Isyari," JOURNAL Al IRFANI: Study of the Qur'an and Tafsir 1.02 (2020): 56.
19
Ibid, 57.
20
Yunus, Badruzzaman M, "Pendekatan Sufistik Dalam Menafsirkan Al-Quran," Syifa al-Qulub 2.1 (2017): 1-
13. Hal 5.
tafsir sufi nadzari seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat al-Qur’an
mempunyai makna-makna tertentu dan bukan makna lain yang di balik ayat.
Adapun dalam tafsir sufi isyari asumsi dasarnya bahwa ayatayat al-Qur’an
mempunyai makna lain yang ada di balik makna lahir. Dengan perkataan lain bahwa
al-Qur’an terdiri dari makna zahir dan batin.
Dengan ungkapan lain, al-Qur’an terdiri dari makna lahir dan batin. Artinya
keduanya berbeda dalam hal cara mendapatkan tafsir dan pada kandungan tafsir.
Tafsir sufi nadzari menekankan penyajian ilmiah tetapi tafsir sufi isyari
menekankan latihan ruh untuk mendapatkan tafsir atau kandungan ayat. Kemudian
sufi nadzari tidak melihat kemungkinan maknz dzahir sedangan isyari memandang
ada makna zahir sebelum makna di baliknya.21

D. Syarat-syarat diterimanya Tafsir sufi dan beberapa Contoh Tafsir Sufistik serta
model penulisannya
a. Syarat-syarat Tafsir Sufi dapat diterima :22
- Tidak menafikan makna lahir (pengetahuan tekstual) al-Qur’an
- Penafsirannya diperkuat oleh dalil syara’ yang lain.
- Penafsiran tidak bertentangan dengan dalil syara’ dan akal.
- Mufassirnya tidak menganggap bahwa penafsirannya itu merupakan satu-
satunya penafsiran yang benar, tetapi harus mengakui terlebih dahulu makana
lahiriah ayat.

Selain keempat persyaratan di atas, al-Sabuni menambah tiga persyaratan lagi,


yaitu: 23
- Makna esoterik tidak bertentangan dengan makna eksoteriknya.
- Penakwilannya tidak melampaui konteks kata.
- Tidak mengacaukan pemahaman orang awam.
-
b. Contoh Tafsir Sufistik serta Model Penulisannya
a. Model Penafsiran Tafsir Sufi Nadhari

21
Al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Dar al-Hadith, 2005), 261.
22
Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, “Tafsir Kontekstual” 25 Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1990),
Cet. II, hal. 24.
23
Rosihan Anwar, “Menelusuri Ruang Batin Al-Qur’an” (Jakarta: Erlangga, 2010), 168.
Contoh penafsiran Ibnu Arabi :

‫فَٱ ْد ُخ ِّلى ِّفى ِّع ٰ َبدِّى َوا ْد ُخ ِّلي َج َّن ِّتي‬


Artinya : “Masuklah engkau (nafsu muthmainnah) ke dalam golongan hamba-
hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku” (Q.s al-Fajr : 29-30)
Yang dimaksud dengan surga (jannah) dalam ayat tersebut, menurut Ibn
‘Arabi “diri sendiri”. Karena, dengan memasuki diri sendiri seseorang
mengenal dirinya, dan dengan mengenal dirinya itu ia akan mengenal
Tuhannya. Inilah puncak dari kebahagiaan bagi manusia. Penafsiran ini
didasarkan kepada pemahaman Ibn ‘Arabi tentang wahdatul wujud (kesatuan
wujud) yang diyakininya. Menurut konsepsi wahdatul wujud, tidak ada satupun
yang wujud kecuali wujud yang satu, yaitu wujud al-Haqq (Allah). Allah itulah
tempat kebahagiaan. Semua wujud yang lain adalah sebuah cerminan
(mazhahir) dari wujud yang alHaqq tersebut.24
Contoh lainnya : 25

ُ ‫سهُ َونَحْ ُن أ َ ْق َر‬


‫ب ِّإلَ ْي ِّه ِّم ْن َح ْب ِّل‬ ُ ‫س ِّب ِّه َن ْف‬
ُ ‫سانَ َو َن ْعلَ ُم َما ت ُ َو ْس ِّو‬ ِّ ْ ‫َولَقَ ْد َخلَ ْقنَا‬
َ ‫اْل ْن‬
‫ْال َو ِّري ِّد‬
Artinya : “Dan Sesungguhnya Kai telah menciptakan manusia danmengetahui
apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebihdekat kepadanya daripada
urat lehernya.” (Q.s Qaf, ayat 16)

Para ahli tasawuf menafsirkan ayat itu sebagai gambaran bahwauntuk


mencari Tuhan orang tak perlu pergi jauh-jauh. Untuk itu iacukup kembali ke
dalam dirinya sendiri. Dengan perkataan lain bahwaTuhan bukan berada di luar
diri manusia, tetapi Tuhan berada di dalamdiri manusia.

‫ان فَ ْل َي ْست َِّجيبُوا‬ ُ ‫ع ِّني فَإِّ ِّني قَ ِّريب أ ُ ِّج‬


َ َ‫يب دَع َْوة َ الدَّاعِّ إِّذَا د‬
ِّ ‫ع‬ َ ‫سأَلَكَ ِّع َبادِّي‬ َ ‫َوإِّذَا‬
ُ ‫ِّلي َو ْل ُيؤْ ِّمنُوا ِّبي َل َع َّل ُه ْم َي ْر‬
َ‫شدُون‬
Artinya : "Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,Maka
(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Akumengabulkan permohonan
orang yang berdoa apabila iamemohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka

24
Rahman, Abdul, Badruzzaman M Yunus, and Eni Zulaeha. Corak Tasawuf Dalam Kitab-Kitab Tafsir Karya
KH Ahmad Sanusi (2020). 14.
25
Murni, Dewi, "Penafsiran Sufistik Di Dalam Al-Quran," Syahadah: Jurnal Ilmu al-Qur'an dan Keislaman 5.2
(2017). Hal 70-73.
itu memenuhi(segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku,
agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Q.s Al-Baqarah, ayat 186)

kata do’a yang terdapat dalam ayat tersebut oleh sufi diartikanbukan
berdo’a dalam arti lazim dipakai. Kata itu bagi golongan ini adalah mengandung
arti berseru atau memanggil. Tuhan merekapanggil dan Tuhan melihat dirinya
kepada mereka. Dengan perkataanlain, mereka berseru agar Tuhan membuka
hijab dan menampakkandirinya kepada mereka.
Az-Zahabi memberikan contoh tafsir nadhari yang dipengaruhifilasafat yaitu
penafsiran Ibn al’Arabi terhadap ayat 57 dari suratMaryam:

َ ‫َو َرفَ ْع ٰ َنهُ َم َكا ًنا‬


‫ع ِّليًّا‬
Artinya : “Dan Kami telahmengangkatnya ke martabat yang tinggi.” Menurut
az-Zahabipenafsiran Ibn al-’Arabi tersebut sangat dipengaruhi olehpemikiran
filasafat alam yaitu dengan menafsirkan lafazhmakanan ‘aliyyan dengan
antariksa (alam bintang).

b. Model Penafsiran Tafsir Sufi Ishari

َ ‫اس ٰ َهذَا‬
‫عذَاب أ َ ِّليم‬ َ ‫ين َي ْغشَى ال َّن‬
ٍ ‫َان ُم ِّب‬ َّ ‫ارتَقِّبْ َي ْو َم تَأ ْ ِّتي ال‬
ٍ ‫س َما ُء ِّبدُخ‬ ْ َ‫ف‬
Artinya : “Maka tunggulah pada hari ketika langit membawa kabut yang
tampak jelas. Yang meliputi manusia. Inilah adzab yang pedih” (QS. Ad-
Dukhan, 44: 10-11).

Untuk makna batini kata “langit” di atas ulama-ulama sufi mempunyai


banyak pandangan terhadapnya, seperti yang dikemukakan oleh berberapa
imam; Imam Ja’far as-Shadiq, Imam atTustari, Imam Abu Bakar bin Tahir,
Imam al-Qusyairi dan Imam Ruzbahan al-Baqili. Imam Ja’far asShadiq
memberikan makna batin “langit” dengan makna “kalbu” dan kemampuannya
menerima bisikan-bisikan dan maqam-maqam (seperti keimanan, katakutan,
harapan, tawakal, cinta dan ma’rifat). Imam at-Tastari juga memberikan makna
batin “langit” dengan makna “kalbu” sedangkan arti kata “kabut” adalah “
kekerasan hati dan kelalaian” Im am Abu Bakar bin Tahir memberikan makna
“langit” dengan makna “ruh” Sementara itu al-Qusyairi juga memberikan
makna batin “langit” dengan makna “kalbu”. Sedangkan Ruzbahan al-Baqili
memberikan makna “langit” dengan arti “ruh dan kalbu”, sedangkan “kabut” ia
artikan sebagai “sifat-sifat manusia berupa syahwat dan kelalaian”.26
Contoh lainnya ketiika al-Ghazali menafsirkan potongan ayat (yang
secara zahir)27

َ‫اخلَ ْع َن ْعلَيْك‬
ْ َ‫ف‬
Artinya : “tinggalkanlah (Wahai Musa) kedua sandalmu”.

Menurut al-Ghazali makna batin dari ayat ini adalah “Tanggalkan (Hai Musa)
kedua alammu, baik alam dunia mupun akhirat. Yakni, janganlah engkau
memikirkan keuntungan duniawi dan jangan pula mencari pahala ukhrawi, tapi
carilah ridla dan hub Allah”.

ِّ َّ‫َيا أ َ ُّي َها الَّذِّينَ آ َمنُوا قَا ِّتلُوا الَّذِّينَ َيلُو َن ُكم ِّمنَ ْال ُكف‬
‫ار‬
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman bunuhlah orang-orang yang dekat
dengan kamu dari orang-orang kafir‛ “(Al-Taubah: 3)

Kata ‚yalūnakum‛ditafsirkan dengan arti nafsu. Para sufi berpendapat


bahwa alasan kita diperintah membunuh orang kafir yang dekat kepada kita
adalah karena dekatnya. Sedangkan perkara yang paling dekat kepada manusia
adalah nafsunya.
Adapun contoh tafsir ishari, yaitu penafsiran al-Tustary ketika
menafsirkan ayat 22 dari surat al-Baqarah28

ِّ ‫فَ ََل تَجْ َعلُ ْوا ِّ ه‬


َ‫ّٰلل ا َ ْندَادًا َّوا َ ْنت ُ ْم تَ ْعلَ ُم ْون‬
Artinya : “Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi
Allah, padahal kamu mengetahui.”

Al-Tastary menafsirkan “andadan” yaitu nafsu amarah yang jelek. Jadi


maksud “andadan” disini bukan hanya patung-patung, setan atau jiwa tetapi
nafsu amarah yang sering dijadikan Tuhan oleh manusia adalah perihal yang

26
Al-Qusyairi,Lathaif al-Isyarah, II ..., 29-37.
27
Yunus, Badruzzaman M, "Pendekatan Sufistik Dalam Menafsirkan Al-Quran," Syifa al-Qulub 2.1 (2017): 1-
13. Hal 10.
28
Hanafi, Muhammad Faisal “Tafsir sufistik Syaikh Ahmad al-Alawi Lubab al-Ilm fi surah al-Najm dalam
prespektif epistemologi,” Diss. UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018. Hal 28.
dimaksud dari ayat tersebut, karena manusia selalu menyekutukan Tuhannya
dengan selalu menjadi hamba bagi nafsu amarahnya.
KESIMPULAN
Tafsir sufistik didefinisikan sebagai suatu upaya menjelaskan kandungan al-Qur’an
dengan penakwilan ayat-ayatnya sesuai isyarat yang tersirat di balik yang tersurat, dengan tidak
mengingkari arti zahir ayat. Definisi tafsir sufistik yang lebih lengkap dikemukakan al-Sabuni,
yaitu: Penakwilan nash al-Qur’an yang berbeda dari arti sebenarnya dikarenakan adanya
isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya dilihat oleh sebahagian ulama (ulu al-‘ilm) atau orang
yang al-‘arif billah dari beberapa kelompok orang yang menempuh jalan rohani dan berjihad
melawan nafs. Allah Swt., telah menerangi penglihatan mereka, sehingga mereka menemukan
rahasia-rahasia al-Qur’an, atau pengungkapan terhadap apa yang terpatri pada benaknya dari
sebahagian makna-makna yang halus dengan perantaraan ilham Ilahi, dan ada kemungkinan
untuk mengkompromikan antara keduanya (tekstual dan kontekstual) dari apa yang dimaksud
oleh nash al-Qur’an.
Pada abad ketiga Hijriah, tasawuf berbenturan dengan nilai-nilai normatif, selaras
dengan diskursus keagamaan yang lain seperti tafsir. Dari sinilah awal penafsiran yang
bercorak sufistik, karena para sufi mulai mengambil bagian dalam mengkaji dan menafsirkan
Alquran. Di antara tokoh-tokoh mufasir sufi ialah Sahl bin Abdillah At-Tustari, Ibn ‘Arabi,
Imam Al-Tusturi (w. 383 H), Al-Allamah Al-Sulami (w. 412 H), Al-Allamah Al-Sulami
(w. 412 H), dll.
Tafsir sufi dibagi menjadi dua, tafsir sufi nazari dan tafsir sufi ishari. Tafsir sufi nazari
adalah tafsir sufi yang berlandaskan pada teori-teori dan ilmu-ilmu filsafat. Sedangkan tafsir
sufi ishari adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tidak sama dengan makna lahir dari
ayat-ayat tersebut, karena disesuaikan dengan isyarat-isyarat tersembunyi yang nampak pada
para pelaku ritual sufistik, dan bisa jadi penafsiran mereka sesuai dengan makna lahir
sebagaimana yang dimaksud dalam tiap-tiap ayat tersebut.
Syarat-syarat Tafsir Sufi dapat diterima antara lain, tidak menafikan makna lahir
(pengetahuan tekstual) al-Qur’an, penafsirannya diperkuat oleh dalil syara’ yang lain,
penafsiran tidak bertentangan dengan dalil syara’ dan akal, mufassirnya tidak menganggap
bahwa penafsirannya itu merupakan satu-satunya penafsiran yang benar, tetapi harus mengakui
terlebih dahulu makana lahiriah ayat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah al-Darraz, al-Naba’ al-‘Azim (Kairo: Daral-‘Urubah, 1996).
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, terj. LiadainSherrard (London: The Institute of
IsmailiStudies, tth.).
L. Massignon, “Tasawwuf: Early Development in The ArabicandPersianLands”, dalam PJ.
Berman, dkk. (ed.), Encyclopedia of Islam, Vol 10 (Leiden: Brill, 1998).
Muhammad Husain al-Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun Juz II Cet. II (Al-Qahirah: Dar al-
Hadis, 2000 M).
Muhammad ‘Ali al-Sabuni, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an Cet. I (Bairut: ‘Alam alKutub, 1995).
Hasan Syarqawi, Mu‘jam al-Faz al-Sufiyyah Cet. I (Al-Qahirah: Muassasah Mukhtar, 1999
M).
Rahman, Abdul, Badruzzaman M Yunus, and Eni Zulaeha "Corak Tasawuf Dalam Kitab-Kitab
Tafsir Karya KH Ahmad Sanusi." (2020).
Yunus, Badruzzaman M, "Pendekatan Sufistik Dalam Menafsirkan Al-Quran," Syifa al-
Qulub 2.1 (2017): 1-13.
‘Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdu’I,.
Muhammad Husein az-Dzahabi, “Penyimpangan Penyimpangan dalam Penafsiran Al-
Qur’an,” terj, Hamim Ilyas (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996).
Khamid, Ahmad, "Interpretasi Sufistik Atas Teks Al-Qur'an: Memahami Analisis Nadzari dan
Isyari," JOURNAL Al IRFANI: Study of the Qur'an and Tafsir, 1.02 (2020).
Abd al-Rahman al-‘Ak, Ushul al-Tafsir wa Qawa’iduhu.
Muhisn Labib, Mengurai Tasawwuf, Irfan dan Kebatinan (Jakarta: Lentera Basritama, 2004).
Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, “Tafsir Kontekstual” 25 Al-Qur’an
(Bandung: Mizan, 1990), Cet. II.
Rosihan Anwar, “Menelusuri Ruang Batin Al-Qur’an” (Jakarta: Erlangga, 2010).
Murni, Dewi, "Penafsiran Sufistik Di Dalam Al-Quran," Syahadah: Jurnal Ilmu al-Qur'an dan
Keislaman 5.2 (2017).
Al-Qusyairi,Lathaif al-Isyarah, II ....
Hanafi, Muhammad Faisal “Tafsir sufistik Syaikh Ahmad al-Alawi Lubab al-Ilm fi surah al-
Najm dalam prespektif epistemologi,” Diss. UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018.

Anda mungkin juga menyukai