Disusun oleh
Nama : Putria renata
Nim : 2023.03.10.003
FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING PENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) AL-AZHAR LUBUKLINGGAU
Tahun Ajaran 2023/2024
0
Kata Pengantar
Segala puji hanya bagi Allah semata Rabb seluruh alam, Yang telah
menyempurnakan agama ini dan nikmat-Nya untuk kita, Yang telah meridhai
Islam sebagai agama kita dan Yang memerintahkan kita untuk berpegang
teguh kepada Kitabullah dan Sunnah hingga kematian. Semoga Sholawat dan
salam terlimpah curahkan dari Allah SWT kepada hamba dan rasul-Nya, nabi
kita Muhammad Saw, kepada segenap keluarga, sahabat beliau dan seluruh
orang shalih.
1
penulis
DAFTAR ISI
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Allah Ta’ala di dalam perut seorang ibu
berupa nuthfah (air mani), kemudian menjadi ‘alaqoh (segumpal darah),
kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging), lalu ditiupkan ruh ke
dalamnya. Kemudian Allah menyempurnakan ciptaannya, lalu Allah
mengilhamkan kepada manusia jalan kejahatan dan ketakwaan. Maka
sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan alangkah ruginya
orang yang mengotori jiwanya. (QS Asy-Syams :7-10)
Bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
tentu jiwanya dituntut untuk mencondongkan diri terhadap ketakwaan. Salah
satu cara untuk mencapai ketakwaan adalah dengan menyucikan jiwa.
Bagaimana cara menyucikan jiwa ? Bagimana cara agar kita dapat
mendekatkan diri kepada Allah? Ternyata dalam hal ini ada ilmunya. Ilmu
untuk mendekatkan diri kepada Rabb semesta alam adalah ilmu Tasawuf.
Apa itu ilmu tasawuf? Kata tasawuf hampir tidak asing bagi telinga
masyarakat menengah ke atas di dunia, hingga ke Indonesia. Ilmu tasawuf
bisa dibilang ilmu yang menjelaskan tata cara untuk beribadah dengan tujuan
menjernihkan hati, membangun ketenangan dalam beribadah, dan cara
mendekatkan diri kepada Allah. Jika demikian, apakah ilmu Tasawuf sesuai
dengan manhaj Ahlussunnah wal jama’ah?
3
Di kalangan kaum muslimin, telah tersebar issue-issue yang
mendukung dan ada pula yang menentang. Kami akan membahas
ilmu/paham ini dengan barometer sesuai atau tidaknya dengan Al-Qur’an
dan As-sunnah serta menurut apa yang dipahami ulama Salafush Sholih. Ilmu
tasawuf ini berkaitan dengan ibadah seorang muslim. Dan berdasarkan
hukum ushul fiqih, “Hukum asal ibadah adalah tawaqquf (diam sampai
datang dalil).” Maka dari itu kami akan mencoba membahas tema ini agar
dapat mengarah pada kebenaran yang haq.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tasawuf secara bahasa dan istilah?
2. Bagaimana konsep ilmu tasawuf yang sesuai dengan manhaj Salaf?
3. Apa saja jenis penyimpangan dalam ilmu tasawuf?
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
Kata “Shufi” berasal dari bahasa Yunani “Shufiya ” yang artinya:
hikmah.
Pemikir tasawuf dan para sufi sendiri lebih cenderung pada teori yang
mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata al-shuf, yang berarti bulu
domba atau wol kasar. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Harun
Nasution bahwa yang banyak diterima dari seluruh teori yang ada adalah
teori yang mengatakan tasawuf berasal dari kata al-shuf. Pendapat ini
lebih sesuai karena pakaian wol di zaman dulu selalu diidentikkan dengan
sifat zuhud, mereka memakai pakaian wol kasar sebagai simbol atau
lambang hamba Allah yang ahli ibadah yang tulus dan zuhud. Ada juga
yang mengatakan bahwa memakai pakaian wol dimaksudkan untuk ber
tasyabbuh (menyerupai) Nabi ‘Isa Al Masih ‘alaihi sallam (Lihat kitab
kecil “Haqiqat Ash Shufiyyah Fii Dhau’il Kitab was Sunnah” (hal. 13),
tulisan Syaikh DR. Muhammad bin Rabi’ Al Madkhali).
Dari perbedaan definisi secara bahasa, penganut tasawuf pun
berbeda pendapat mengenai ini. Dalam definisi tasawuf secara
terminology pun memiliki berbagai makna yang dijelaskan oleh ulama
sufi. Namun, melihat keberadaan tasawuf dari zaman ke zaman dapat
diketahui bahwa yang dimaksud dengan tasawuf ketika pertama kali
muncul adalah mengikhlaskan amal hanya untuk Allah Ta’ala, zuhud
terhadap dunia, meninggalkan ajakan-ajakan syahawat dan condong
kepada sifat tawadhu’, lemah lembut dan menyingkirkan syahwat dari
jiwa.
Tasawwuf sendiri menurut Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad
adalah hijarahnya seorang hamba dari akhlak tercela menuju akhlak
mulia. Seorang sufi kamil (sempurna) adalah orang yang membersihkan
amal, perkataan, niat dan akhlak dari riya’, dan segala yang dapat
menimbulkan murka Allah, pun pula pendekatan dhohir dan bathin
kepada Allah. (Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad, Nafaisu al-
uluwiyyah fi al-masail al-shufiyyah wat takhafu al-saail bi jawab al-
masaail, hal 103),
6
Menurut Imam Ibnul Jauzi, pada awal kemunculannya tasawuf
bermakna “Olah jiwa, yaitu membentuk watak dengan mengusir perilaku
buruk dan mengarahkannya kepada akhlak mulia, berupa zuhud, santun,
sabar, ikhlas dan jujur.
7
mengamalkan tasawwuf sehingga diadopsi pemikirannya sampai
sekarang ini.
Pernyataan dari ulama di atas, bisa menjadi acuan bagi kita.
Bahwa memang benar, tidak ada istilah tasawuf pada zaman Rasulullah
saw dan para Shahabat radhiyallahu anhum ajmain. Namun, realitasnya
ada dalam Al-Qur’an dan suri tauladan kita, dalam kehidupan Rasulullah
saw, seperti sikap Zuhud, Wara’ , Qona'ah, Taubat, Ridho, Ikhlas, Sabar,
khusyu’ dst. Kumpulan dari sikap-sikap mulia seperti ini dirangkum
dalam sebuah nama yaitu Tasawuf.
8
mengeluarkan ungkapan-ungkapan spiritual tak lazim (syathahat).
Ungkapannya yang berbunyi “ana al-Haqq” (aku adalah Tuhan)
menimbulkan badai kontroversi di tengah masyarakat. Al-Hallaj
tampaknya tak sendirian. Beberapa tahun sebelum al-Hallaj bicara
tentang konsep Hulul, al-Junaid sudah bicara tentang konsep yang mirip,
yaitu konsep Tauhid-Fana’-Uluhiyyah dan Abu Yazid al-Busthami (w.
261 H./875 M.) bicara tentang konsep Ittihad yang nanti di tangan
Muhyiddin Ibn Arabi (560 H./1165 M.-638 H./1240 M) berkembang
menjadi wihdatul wujud. Model tasawuf ini dikenal dengan tasawuf
falsafi.
Dan pada awal abad keenam Hijriyah sebagai abad berakhirnya
peletakan pokok-pokok ajaran tasawuf yang berperan besar dalam
marhalah ini, muncul tokoh-tokohnya antara lain Abu Hamid Al Ghazaly
yang digelari dengan Hujjatul Islam menulis kitab Ihya’ Ulum al-Din.
Kemudian juga banyak diwarnai pemikiran tasawuf Abdul Qadir ibn
Musa al-Jilani (470 H.-561 H.) Al-Jilani (di Indonesia lebih sering
disebut al-Jailani) banyak merujuk kepada al-Qur’an dan Hadits dan
pengalaman spiritual individualnya.
9
Abdullah menegaskan bahwa kalau mau meneliti secara jujur, kita akan
berkesimpulan bahwa pada tahun-tahun pertamanya masuk Islam ke
Nusantara, para sufi lah yang paling banyak jasanya, hampir yang
pertama memeluk Islam bersedia menukar kepercayaan asalnya dari
Animisme, Dinamisme, Budhanisme, dan Hindunisme, kepada ajaran
tasawuf. Jalur ini terbukti efektif untuk penduduk kepulauan Nusantara.
Dengan pendekatan tasawuf ini, Islam lebih mudah dikenal dan
disebarkan kepada penduduk pribumi Nusantara. Jalur metafisika sufi,
terbukti lebih mudah ‘menembus’ benak penduduk Nusantara. Jadi,
tasawwuf berhasil mengubah pandangan alam pribumi Nusantara. Dari
mitologis diubah menjadi rasionalis. Dari animistis digeser menjadi
Islamis.
10
Prof. Syed Naquib al-Attas memberi pengertian bahwa tasawuf
merupakan pengamalan syariah dalam bentuk yang sempurna dan berasaskan
ilmu; ilmu tentang syariah yang hendak diamalkan dan ilmu tentang kepada
siapa dan karena siapa amal ibadah diamalkan, serta di dalamnya terdapat
aspek ilmu dan amal yang berkualitas ihsan. (Wan Suhami Wan Abdullah,
Beberapa Wajah dan Faham Dasar Tasawuf Menurut al-Attas Berdasarkan
Karyanya ‘The Positive Aspects of Tasawuf’, hal. 204).
Bahkan terdapat kaidah umum di kalangan ulama tasawuf, bahwa
perkara makruh itu bagaikan sesuatu yang haram. Sedangkan amalan sunnah
seperti menjadi kewajiban (fardhu). Yakni ulama tasawuf jangankan
meninggalkan perkara haram, amalan yang dihukumi makruh ditinggalkan jauh
oleh para sufi. Mereka sangat membenci sesuatu yang dimakruhkan. Lebih-
lebih perkara yang haram. Inilah bentuk kecintaan ulama tasawuf terhadap
syariah Allah Subhahu Wata’ala.
Ketaatan sempurna kaum sufi melaksanakan kewajiban syariah tersebut
dimaksudkan ketaatan secara dzahir dan batin. Aspek lahiriyah meliputi seperti
shalat, puasa, haji, zakat, jihad di jalan Allah Subhahu Wata’ala dan lain-lain.
Dua aspek ini dipadu menjadi ibadah yang berkualitas ihsan. Aspek batiniyah
meliputi keyakinan akan pertemuan dengan Allah, muraqabah (merasa selalu
diawasi), ikhlas, tawadhu, dan lain-lain. Ibnu Athoillah mengatakan: “Jika
kamu beribadah seperti mendirikan shalat dan membaca al-Qur’an, tetapi kamu
tidak bisa merasakan kehadiran Allah dan tidak bisa bertadabbur, berarti dirimu
telah dijangkiti penyakit batin, baik itu kesombongan, ujub atau sejenisnya.”
Islam memang mengandung dua unsur dzahir dan batin. Jika dzahir saja
yang diamalkan, akan menjadi fasik. Dan jika hanya mengamalkan batin saja
tanpa dzahir akan menjadi zindiq. Islam menjadi tidak sempurna jika salah satu
diabaikan atau dibuang. Sedangkan kita diperintah untuk memasuki Islam
secara sempurna (Udkhulu fi al-silmi kaafah). Dan tasawuf yang oleh imam
Ghazali disebut palsu adalah yang menghilangkan sisi dzahir itu. Sehingga
melahirkan unsur-unsur kebatilan.
11
Jadi syarat untuk mendalami ilmu tasawuf (tentang ihsan) terlebih
dahulu harus mengetahui ilmu fiqih (tentang Islam) dan ilmu tauhid/ushuluddin
(tentang Iman). Karena ketiga ilmu itu adalah ajaran pokok Islam yang terdapat
dalam hadits shohih Muslim yang diriwayatakan oleh Umar bin Khoththob
rodhiyallahu ‘anhu.
Maka dalam meningkatkan derajat/kualitas ketakwaan kita. Dimulai dari
sebagai Muslim, lalu menjadi mukmin dan kemudian muhsin atau yang kita
ketahui sebagai implementasi Islam, Iman dan Ihsan.
12
mendustakan dan merendahkan al-Qur’an yang agung (istihza anil Qur’anil
‘adzim).
Dengan pemahaman ini, tidak ada perbedaan antara seorang murid
(pengikut tariqah) dengan mursyid (pemimpin tariqah), antara wali dan yang
bukan wali, seluruhnya menanggung kewajiban syari’at.
Al-Imam Junaid al-Baghdadi, imam para sufi berkata: “semua jalan
telah tertutup bagi makhluk kecuali mereka yang mengikuti jejak Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wassalam, Sunnahnya, dan setia pada jalan yang ditempuh
beliau. Karena semua jalan kebaikan terbuka untuk beliau dan mereka yang
mengikutinya.” (Al-Hafidz Abi Ahmad bin Abdillah al-Ishhafani, Hilyahal-
Auliya’wa Thaqat al-Ashfiya’)
Syeikh Dzunnun al-Mishri berkata: “Pokok pembicaraan tasawwuf ada
empat yaitu, cinta kepada Allah yang Maha Agung, benci kepada dunia,
mengikuti al-Qur’an, khawatir menjadi manusia tercelaka dan takut menjadi
kafir”.
Abu yazid al-Bustami berkata: “Jika engkau memandang seseorang
diberi kelebihan hingga mampu terbang ke udara, janganlah engkau tertipu
sampai engkau melihat bagaimana sikapnya kepada perintah dan larangan
Allah, menjaga batas-batas yang digariskan Allah dan pelaksanaan terhadap
syariah.” Inti tasawwuf ialah istiqamah pada adab syariah dengan dalil yang
shahih (istiqamah ‘alaadabi al-syariah al-tsabitati bi al-adillati al-shahihati).
(Syaikh Hasyim Asy’ari, “al-Duraru al-Muntatsiru fi al-Masaail al-tis’a
‘asyarah”, hal. 06)
Kiai Hasyim juga menegaskan bahwa jalan kaum sufi adalah
membersihkan jiwa, menjaga nafsu, dan melepaskan diri dari berbagai sifat
buruk, seperti ujub, takabur, riya’ dan cinta dunia. Serta menjalankan budi
pekerti yang bersifat kerohanian, seperti ikhlas, tawadhu’, tawakal dan
memperkenankan hati kepada setiap orang lain dan setiap kejadian ridha, serta
memperoleh ma’rifat dari Allah.
Dari beberapa pernyataan para ulama sufi di atas dapat disimpulkan;
bahwa hakikat sufisme adalah sebuah metode beribadah kepada Allah dalam
13
rangka menuju ridho Allah, dengan meningkatkan kwalitas tuntunan syariah
yang ada. Menurut Dr. Ugi Suharto (Pendiri INSIST), mereka (para sufi)
berusaha menerapkan ajaran syariah sesuai dengan apa yang dilakukan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam baik dhohir maupun bathinnya.
14
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Menurut hemat kami, masih terdengar di kalangan kaum muslimin bahwa
Ilmu Tasawuf adalah bid’ah atau sesat. Dikarenakan ilmu ini, di akhir zaman
sekarang ini, lebih banyak yang diketahui paham yang sesatnya atau pseudo sufi
(sufi palsu), dibandingkan dengan hakikat sufi yang sesungguhnya. Jika kita lebih
menela’ah kembali, ternyata ilmu ini mengandung nilai-nilai yang terdapat dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah dan pemahaman dari tokoh-tokoh sufi yang sunni. Ilmu
Tasawuf itu sendiri singkatnya adalah suatu ilmu untuk memperbaiki hati dan
mentarbiyyahnya serta mengkhususkannya kepada Allah ‘azza wajalla, dalam
menjalankan ibadah atau syari’at yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
beserta pemahaman ulama, sehingga kita beramal dengan standart Ihsan kepada
Allah azza wa jalla.
Intinya ilmu Tasawuf ini baik untuk kita pelajari, dan hukumnya tidak
wajib untuk dipelajari. Hakikat Ilmu Tasawuf itu tidak sesat akan tetapi ada
oknum yang sesat dalam mendalami hakikat Tasawuf. Jika mengikuti tarekat
shufiyyah ini masih membawa diri kepada syari’at Allah dan Rasul-Nya serta
pemahaman Ulama Salaf, maka seharusnya tak perlu takut berada di thoriqoh
yang haq. Di Akhir zaman saat ini tentu banyak fitnah, oleh karena itu dalam
berguru untuk mempelajari Ilmu Tasawuf yang memiliki banyak thoriqoh ini, kita
sebagai seorang muslim harus berhati-hati agar tidak terbawa oleh pemahaman
yang sesat yang keluar dari manhaj Aswaja.
15
B. SARAN
Dalam penyusuan makalah ini diharapkan dapat membuka pikiran kita
untuk tidak langsung menanggapi buruk atau baik suatu issue yang beredar,
sebelum kita tabayyun atau check and recheck tentang kebenarannya.
Diharapkan pula makalah ini dapat mendorong dan memotivasi agar kita
lebih memperdalam dan membuka wawasan tentang aliran aliran tasawuf, serta
lebih mempelajari Al-Quran dan As-Sunnah beserta pemahaman ulama salaf yang
merupakan sumber utama ilmu. Penyusun juga menyadari, dalam penyusunan ini
masih banyak kekurangan yang butuh akan kritikan sebagai wasilah penyempurna
dan penambah pengetahuan.
16
DAFTAR PUSTAKA
17