Anda di halaman 1dari 10

RESUME

SUMBER DAN ASAL USUL AKHLAK


TASAWUF

Doesen Pengajar : H.REZA FAHLEPI,M.PD.I

Mata Kuliah: Akhlak Tasawuf

Tim Penyusun:
1. ANNISA DILA PUSPITA NIM : 22862080100
2. DWI AHADA NIM : 2286208026

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BATURAJA

0
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Tahun Ajaran 2023/2024
Kata Pengantar

Segala puji hanya bagi Allah semata Rabb seluruh alam, Yang telah
menyempurnakan agama ini dan nikmat-Nya untuk kita, Yang telah meridhai
Islam sebagai agama kita dan Yang memerintahkan kita untuk berpegang
teguh kepada Kitabullah dan Sunnah hingga kematian. Semoga Sholawat dan
salam terlimpah curahkan dari Allah SWT kepada hamba dan rasul-Nya, nabi
kita Muhammad Saw, kepada segenap keluarga, sahabat beliau dan seluruh
orang shalih.

Alhamdulillah makalah dengan tema “Pengertian Tasawuf dan Teori Asal


Usulnya”, telah kami selesaikan untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah
Akhlaq Tasawuf semester I.

Kami, kelompok ke dua dari kelas PAI B, menyadari bahwa dalam


penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan. Kami berharap dari para
pembaca untuk memberikan kritik dan saran agar dapat memberikan
perbaikan yang lebih menambah wawasan ilmu kedepan.

BATURAJA,SEPTEMBER,15

1
Tim Penyusu

PENDAHULUAN
Manusia diciptakan oleh Allah Ta’ala di dalam perut seorang ibu
berupa nuthfah (air mani), kemudian menjadi ‘alaqoh (segumpal darah),
kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging), lalu ditiupkan ruh ke
dalamnya. Kemudian Allah menyempurnakan ciptaannya, lalu Allah
mengilhamkan kepada manusia jalan kejahatan dan ketakwaan. Maka
sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan alangkah ruginya
orang yang mengotori jiwanya. (QS Asy-Syams :7-10)
Bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
tentu jiwanya dituntut untuk mencondongkan diri terhadap ketakwaan. Salah
satu cara untuk mencapai ketakwaan adalah dengan menyucikan jiwa.
Bagaimana cara menyucikan jiwa ? Bagimana cara agar kita dapat
mendekatkan diri kepada Allah? Ternyata dalam hal ini ada ilmunya. Ilmu
untuk mendekatkan diri kepada Rabb semesta alam adalah ilmu Tasawuf.
Apa itu ilmu tasawuf? Kata tasawuf hampir tidak asing bagi telinga
masyarakat menengah ke atas di dunia, hingga ke Indonesia. Ilmu tasawuf
bisa dibilang ilmu yang menjelaskan tata cara untuk beribadah dengan tujuan
menjernihkan hati, membangun ketenangan dalam beribadah, dan cara
mendekatkan diri kepada Allah. Jika demikian, apakah ilmu Tasawuf sesuai
dengan manhaj Ahlussunnah wal jama’ah?
Di kalangan kaum muslimin, telah tersebar issue-issue yang
mendukung dan ada pula yang menentang. Kami akan membahas
ilmu/paham ini dengan barometer sesuai atau tidaknya dengan Al-Qur’an
dan As-sunnah serta menurut apa yang dipahami ulama Salafush Sholih. Ilmu
tasawuf ini berkaitan dengan ibadah seorang muslim. Dan berdasarkan
hukum ushul fiqih, “Hukum asal ibadah adalah tawaqquf (diam sampai
datang dalil).” Maka dari itu kami akan mencoba membahas tema ini agar
dapat mengarah pada kebenaran yang haq.

2
Definisi Tasawuf berdasarkan etimologi:

Sufi berasal dari kata ahlissuffah/ ash-shuffah, julukan yang diberikan


kepada para shahabat yang tinggal di masjid Nabawi untuk mendapatkan
ilmu dari Rasulullah, yang ada pada masa awal-awal islam sesudah
hijrah. Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah barisan
(shaf) terdepan di hadapan Allah, barisan dalam pelaksanaan ibadah
shalat yang dilakukan secara berjamaah. Alasan pengambilan kata ini
adalah karena kaum sufi yang memilliki iman yang kokoh dan jiwa yang
bersih, selalu memilih shaf yang terdepan dalam pelaksanaan shalat
berjamaah.

Kata tasawuf berasal dari kata shafa yang artinya suci, bersih dan jernih.
Lafaz shafa ini, bersama lafaz shufi, telah digunakan pada abad 8 Masehi
dengan berbagai literatur seperti digunakan untuk tauriyah dengan arti
‘al-munassik labis al-shuf’. Kesucian, kebersihan dan kejernihan
merupakan simbol dari hati yang dimilki oleh para sufi. Dalam konteks
ini Bisyr ibn al-Harits (w. 227 H) menyebutkan bahwa seorang sufia
adalah orang yang menjernihkan hatinya demi Allah (al-shufi man shafa
qalbahu lillah).

Kata “Shufi” berasal dari bahasa Yunani “Shufiya ” yang artinya:


hikmah.
Pemikir tasawuf dan para sufi sendiri lebih cenderung pada teori yang
mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata al-shuf, yang berarti bulu
domba atau wol kasar. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Harun
Nasution bahwa yang banyak diterima dari seluruh teori yang ada adalah

3
Dari perbedaan definisi secara bahasa, penganut tasawuf pun berbeda
pendapat mengenai ini. Dalam definisi tasawuf secara terminology pun
memiliki berbagai makna yang dijelaskan oleh ulama sufi. Namun,
melihat keberadaan tasawuf dari zaman ke zaman dapat diketahui bahwa
yang dimaksud dengan tasawuf ketika pertama kali muncul adalah
mengikhlaskan amal hanya untuk Allah Ta’ala, zuhud terhadap dunia,
meninggalkan ajakan-ajakan syahawat dan condong kepada sifat
tawadhu’, lemah lembut dan menyingkirkan syahwat dari jiwa.

Tasawwuf sendiri menurut Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad adalah


hijarahnya seorang hamba dari akhlak tercela menuju akhlak mulia.
Seorang sufi kamil (sempurna) adalah orang yang membersihkan amal,
perkataan, niat dan akhlak dari riya’, dan segala yang dapat menimbulkan
murka Allah, pun pula pendekatan dhohir dan bathin kepada Allah. (Imam
Abdullah bin Alwi al-Haddad, Nafaisu al-uluwiyyah fi al-masail al-
shufiyyah wat takhafu al-saail bi jawab al-masaail, hal 103),

Asal Mula Tasawuf

Sufi atau Tasawuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal di zaman
para sahabat radhiyallahu ‘anhum bahkan tidak dikenal di zaman tiga
generasi yang utama (generasi sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in, yaitu
sejak pada permulaan abad pertama hingga kedua dimulai dari masa
Rasulullah hijrah, lalu Khulafaur Rosyidin hingga wafatnya Hasan Al
Bashri (110 H/728 M)). Ajaran ini baru muncul sesudah zaman tiga
generasi ini. (Lihat Haqiqat Ash Shufiyyah karya Muhammad bin Rabi' Al
Madkhali, hal. 14).

4
Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwasannya ajaran ini pertama kali muncul
di kota Bashrah, Iraq, yang dimulai dengan timbulnya sikap berlebih-
lebihan dalam zuhud dan ibadah yang tidak terdapat di kota-kota (islam)
lainnya ( Majmu’ Al Fatawa, 11/6).

Ilmu tasawwuf menurut Ibn Khaldun merupakan ilmu yang lahir


kemudian dalam Islam, karena sejak masa awalnya para sahabat dan
tabi’in serta generasi berikutnya telah memilih jalan hidayah (berpegang
kepada ajaran Al-Quran dan Sunnah Nabi) dalam kehidupannya, gemar
beribadah, berdzikir dan aktifitas rohani lainnya dalam hidupnya. Akan
tetapi setelah banyak orang islam berkecimpung dalam mengejar
kemewahan hidup duniawi pada abad kedua dan sesudahnya, maka orang-
orang mengarahkan hidupnya kepada ibadat disebut suffiyyah dan
mutasawwifin. Insan pilihan inilah kemudian yang mengembangkan dan
mengamalkan tasawwuf sehingga diadopsi pemikirannya sampai sekarang
ini.
Pernyataan dari ulama di atas, bisa menjadi acuan bagi kita.
Bahwa memang benar, tidak ada istilah tasawuf pada zaman Rasulullah
saw dan para Shahabat radhiyallahu anhum ajmain. Namun, realitasnya
ada dalam Al-Qur’an dan suri tauladan kita, dalam kehidupan Rasulullah
saw, seperti sikap Zuhud, Wara’ , Qona'ah, Taubat, Ridho, Ikhlas, Sabar,
khusyu’ dst. Kumpulan dari sikap-sikap mulia seperti ini dirangkum
dalam sebuah nama yaitu Tasawuf.

Perkembangan Ilmu Tasawuf

Sekitar abad ketiga atau keempat Hijriyah, awal kemunculan tasawuf


relative lebih moderat dan belum banyak mengalami penyimpangan.
Tasawuf dalam periode ini telah berkembang menjadi mistisisme dalam
Islam. Tasawuf coba disandarkan pada teks-teks al-Qur’an dan Sunnah

5
Nabi Muhammad. Para sufi menyadari bahwa ketekunan dalam
beribadah, tak cinta pada kenikmatan dunia, pasrah hanya kepada Allah,
cinta penuh kepada Allah adalah jalan-jalan menuju pemerolehan ridha
Allah dan tersingkapnya hijab-tirai yang memisahkan manusia dengan
Allah. Kehidupan sufi saat itu dipenuhi dengan kedisiplinan dalam
menjalankan ibadah wajib dan kedisiplinan dalam melaksanakan ibadah
sunnah seperti shalat tahajjud, membaca al-Qur’an, puasa Senin-Kamis,
dan sebagainya.
Pada abad ketiga Hijriyah mulai bermunculan sejumlah tokoh sufi
yang menulis buku. Di antaranya adalah Haris al-Muhasibi (w. 243
H./857 M.) yang menulis buku al-Ri’ayah li Huquq Allah, Abu Sa’id al-
Kharraz (w. 277 H.) dengan bukunya al-Thariq ila Allah aw Kitab al-
Shidq, Dzun Nun al-Mishri dengan bukunya, al-Mujarrabat, dan Junaid
al-Baghdadi dengan kitab Rasa’il al-Junaid.
Dan pada awal abad keenam Hijriyah sebagai abad berakhirnya
peletakan pokok-pokok ajaran tasawuf yang berperan besar dalam
marhalah ini, muncul tokoh-tokohnya antara lain Abu Hamid Al Ghazaly
yang digelari dengan Hujjatul Islam menulis kitab Ihya’ Ulum al-Din.
Kemudian juga banyak diwarnai pemikiran tasawuf Abdul Qadir ibn
Musa al-Jilani (470 H.-561 H.) Al-Jilani (di Indonesia lebih sering
disebut al-Jailani) banyak merujuk kepada al-Qur’an dan Hadits dan
pengalaman spiritual individualnya.

Islam Datang ke Nusantara Dipengaruhi oleh Ajaran Sufistik


Dalam sejarah, telah tercatat bahwa islam telah masuk ke Nusantara
Indonesia sejak abad ke-7 Masehi oleh muslim yang berlatar belakang
sebagai pedagang dari jazirah Arab, India dan Persia. Dan perkembangan
Islam yang ditandai oleh kerajaan Samudra Pasai (1275M) di abad 13 M.

Hawash Abdullah menyebutkan beberapa bukti tentang besarnya peranan


para sufi dalam penyebaran Islam pertama kalinya di Nusantara. Ia

6
menyebutkan tokoh sufi syaikh Abdullah Arif yang menyebarkan Islam
untuk pertama kalinya di Aceh sekitar abad ke 12 M. Ia adalah seorang
pendatang ke Nusantara bersama para mubalig lainya yang diantaranya
bernama Syekh Ismail Zaffi. Lebih jauh lagi, Hawasha Abdullah
menegaskan bahwa kalau mau meneliti secara jujur, kita akan
berkesimpulan bahwa pada tahun-tahun pertamanya masuk Islam ke
Nusantara, para sufi lah yang paling banyak jasanya, hampir yang pertama
memeluk Islam bersedia menukar kepercayaan asalnya dari Animisme,
Dinamisme, Budhanisme, dan Hindunisme, kepada ajaran tasawuf. Jalur
ini terbukti efektif untuk penduduk kepulauan Nusantara.

Dengan pendekatan tasawuf ini, Islam lebih mudah dikenal dan disebarkan
kepada penduduk pribumi Nusantara. Jalur metafisika sufi, terbukti lebih
mudah ‘menembus’ benak penduduk Nusantara. Jadi, tasawwuf berhasil
mengubah pandangan alam pribumi Nusantara. Dari mitologis diubah
menjadi rasionalis. Dari animistis digeser menjadi Islamis.

Konsep Dasar Ajaran Tasawuf


Syeikh Hasyim Asy’ari, pendiri NU, pun menukil bahwa kebanyakan para
sufi itu beraliran Sunni. Dalam anggaran dasar NU, bahwa dalam aspek
tasawwuf NU mengikuti Syeikh al-Junaid al-Baghdadi dan Imam al-
Ghazali. Pemikiran sufi Syeikh Hasyim banyak dipengaruhi dua ulama
sufi tersebut.
Kaidah utama kaum sufi adalah taat kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.
Seperti dijelaskan oleh imam al-Junaid: ‘Tariqah kami, yakni tariqah ahli
tasawuf itu selalu terikat dengan aturan al-Qur’an dan al-Sunnah.
Barangsiapa yang tidak mengamalkan al-Qur’an dan tidak menjaga al-
Sunnah dengan memahami isinya maka tariqahnya tidak sah untuk
diikuti’(Abdul Wahhab al-Sya’rani, Tanbih al-Mughtarin, hal. 19).
Syeikh Ali al-Khawwas, pembesar sufi dan guru imam al-Sya’rani,
mengatakan: ‘Sesungguhnya tariqah kaum sufi merupakan tariqah yang berhias

7
al-Qur’an dan al-Hadis. Sebagaimana hiasan emas dan mutiara. Karena, dalam
setiap gerak, diam dan nafas mereka, mengandung niat yang benar demi
mengikuti syariat. Tidak diketahui di antara mereka kecuali mereka sangat
mendalami ilmu-ilmu syariat’.
Prof. Syed Naquib al-Attas memberi pengertian bahwa tasawuf
merupakan pengamalan syariah dalam bentuk yang sempurna dan berasaskan
ilmu; ilmu tentang syariah yang hendak diamalkan dan ilmu tentang kepada
siapa dan karena siapa amal ibadah diamalkan, serta di dalamnya terdapat
aspek ilmu dan amal yang berkualitas ihsan. (Wan Suhami Wan Abdullah,
Beberapa Wajah dan Faham Dasar Tasawuf Menurut al-Attas Berdasarkan
Karyanya ‘The Positive Aspects of Tasawuf’, hal. 204).
Bahkan terdapat kaidah umum di kalangan ulama tasawuf, bahwa
perkara makruh itu bagaikan sesuatu yang haram. Sedangkan amalan sunnah
seperti menjadi kewajiban (fardhu). Yakni ulama tasawuf jangankan
meninggalkan perkara haram, amalan yang dihukumi makruh ditinggalkan jauh
oleh para sufi. Mereka sangat membenci sesuatu yang dimakruhkan. Lebih-
lebih perkara yang haram. Inilah bentuk kecintaan ulama tasawuf terhadap
syariah Allah Subhahu Wata’ala.
Ketaatan sempurna kaum sufi melaksanakan kewajiban syariah tersebut
dimaksudkan ketaatan secara dzahir dan batin. Aspek lahiriyah meliputi seperti
shalat, puasa, haji, zakat, jihad di jalan Allah Subhahu Wata’ala dan lain-lain.
Dua aspek ini dipadu menjadi ibadah yang berkualitas ihsan. Aspek batiniyah
meliputi keyakinan akan pertemuan dengan Allah, muraqabah (merasa selalu
diawasi), ikhlas, tawadhu, dan lain-lain. Ibnu Athoillah mengatakan: “Jika
kamu beribadah seperti mendirikan shalat dan membaca al-Qur’an, tetapi kamu
tidak bisa merasakan kehadiran Allah dan tidak bisa bertadabbur, berarti dirimu
telah dijangkiti penyakit batin, baik itu kesombongan, ujub atau sejenisnya.”
Islam memang mengandung dua unsur dzahir dan batin. Jika dzahir saja
yang diamalkan, akan menjadi fasik. Dan jika hanya mengamalkan batin saja
tanpa dzahir akan menjadi zindiq. Islam menjadi tidak sempurna jika salah satu
diabaikan atau dibuang. Sedangkan kita diperintah untuk memasuki Islam

8
secara sempurna (Udkhulu fi al-silmi kaafah). Dan tasawuf yang oleh imam
Ghazali disebut palsu adalah yang menghilangkan sisi dzahir itu. Sehingga
melahirkan unsur-unsur kebatilan.
Jadi syarat untuk mendalami ilmu tasawuf (tentang ihsan) terlebih
dahulu harus mengetahui ilmu fiqih (tentang Islam) dan ilmu tauhid/ushuluddin
(tentang Iman). Karena ketiga ilmu itu adalah ajaran pokok Islam yang terdapat
dalam hadits shohih Muslim yang diriwayatakan oleh Umar bin Khoththob
rodhiyallahu ‘anhu.
Maka dalam meningkatkan derajat/kualitas ketakwaan kita. Dimulai dari
sebagai Muslim, lalu menjadi mukmin dan kemudian muhsin atau yang kita
ketahui sebagai implementasi Islam, Iman dan Ihsan.

Anda mungkin juga menyukai