Anda di halaman 1dari 29

“ RESUME TASAWUF “

Diajukan Sebagai salah Satu Syarat Guna Menyelesaikan Tugas


UAS Pada Mata Kuliah Ilmu Tasawuf

Dosen Pengampu Mata Kuliah: Zulqarnain, M.Hum., Ph.D

Disusun Oleh:
RD. Salman Aji Pranata

(NIM. 2018. 153.996)

Semester : 4 MPI D

YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM(YPI)


INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI)
NUSANTARA BATANG HARI
TAHUN 2019/2020
RESUME TASAWUF

A. Pengertian Tasawwuf

Tasawwuf adalah bersungguh-sungguh (dalam berbuat baik) dan


meninggalkan sifat-sifat tercela.

Aslinya Tasawuf (yaitu jalan tasawuf) adalah tekun beribadah,


berhubungan langsung kepada ALLAH, menjauhi diri dari kemewahan dan
hiasan duniawi, Zuhud (tidak suka) pada kelezatan, harta dan pangkat
yang diburu banyak orang, dan menyendiri dari makhluk di dalam kholwat
untuk beribadah.

Adapun batasan tasawuf adalah : Maka berkata Junaed : yaitu


bahwa kebenaran mematikanmu dari dirimu dan kebenaran tersebut
menghidupkanmu dengan kebenaran tersebut. Dan ia berkata jug : Adalah
kamu bersama ALLAH tanpa ketergantungan. Dan dikatakan : Masuk
pada segala ciptaan yang mulya dan keluar dari segala ciptaan yang hina.
Dan dikatakan : Yaitu akhlak mulia yang tampak pada zaman yang mulia
beserta kaum yang mulia. Dan dikatakan : Bahwa kamu tidak memiliki
sesuatu dan sesuatu itu tidak memiliki kamu. Dan dikatakan : Tasawuf itu
dibangun atas 3 macam :

 Berpegang dengan kefakiran dan menjadi fakir


 Kenyataan berkorban dan mementingkan orang lain
 Meninggalkan mengatur dan memilih

Menurut Ma’ruf al-Kurhi, tasawuf adalah berpegang pada apa yang hakiki
dan menjauhi sifat tamak terhadap apa yang ada di tangan manusia.

Peranan sebagai usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan


menekankan pentingnya akhlak atau sopan santun baik kepada Allah
maupun kepada sesama makhluk.

2
Ajaran tasawuf al-Junaid dikembangkan lagi oleh shufi terkenal.
Husain ibn Manshur al-Hallaj yang mati dihukum gantung oleh ulama
syari’ah tahun 309 H, karena ia mengaku dirinya telah menyatu dengan
Tuhan, sebagaimana terlihat dari ucapannya: ana Allah…ana al-Haqq (aku
adalah Allah….aku adalah yang maha benar).

Berdasarkan seluruh definisi tasawuf yang telah dikemukakan di


atas dapat disimpulkan bahwa tasawuf di samping sebagai sarana untuk
memperbaiki ahlak manusia agar jiwanya menjadi suci, sekaligus sebagai
sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya.

B. Tujuan Mempelajari Tasawwuf

Tujuannya adalah Ma’rifatullah (mengenal ALLAH secara mutlak


dan lebih jelas). Tasawwuf memiliki tujuan yang baik yaitu kebersihan diri
dan taqarrub kepada Allah. Namun tasawwuf tidak boleh melanggar apa-
apa yang telah secara jelas diatur oleh Al-Quran dan As-Sunnah, baik
dalam aqidah, pemahaman atau pun tata cara yang dilakukan.

Melihat dari situ kita dapat untuk bisa memahami betapa


pentingnya mengenal Allah secara lebih dalam dan memahaminya
dengan benar. Sama juga dengan kebersihan diri dan taqarrub, tapi kita
tak boleh melanggar apapun yang telah al-qur`an berikan.

C. Faedah Dari Mempelajari Tasawwuf

Saat kita telah memahami tassawwuf itu kita mulai dapat


membedakan mana yang baik dan tidak, Bagi tasawwuf mendidik hati
dan ma’rifah Allah Yang Maha Mengetahui, sepertimana kata Ibn `Ajibah:
Buah hasilnya ialah kelapangan (mulia) nafsu, selamat dada dan akhlak
yang mulia bersama setiap makhluk.

Faedah tasawwuf ialah membersihkan hati agar sampai kepada


ma’rifat akan terhadap Allah Ta’ala sebagai ma’rifat yang sempurna

3
untuk keselamatan di akhirat dan mendapat keridhaan Allah Ta’ala dan
mendapatkan kebahagiaan abadi.

D. SEJARAH TASAWUF DAN ALIRANNYA

Sebagai sejarahwan mengaitkan sejarah tashawuf dengan Imam


Ja’far Al-Shadiq ibn Muhammad Bagir ibn Ali’ Zainal Abidin ibn Husain
ibn Ali Ibn Abi Thalib. Imam Ja’far, meski amat dihormati dan dianggap
sebagai guru keempat-empat para imam kaum Ahlusunnah-yakni Imam
Abu Hanifah, Maliki; Syafi’i dan ibn Hanbal-adalah imam kelima dari
mazhab syi’ah Itsna Asyariah. Kenyataannya, meski tak banyak
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Syafi’i kemungkinan akibat 
kritik-kritik keras yang ditujukan kepadanya oleh kecenderungan untuk
membela ahlul bait (keluarga Nabi) ujar-ujar Imam Ja’far banyak
disebutkan oleh para sufi, seperti Fudhail ibn Iyadh Dzun Nun Al-Mishri,
Jabir bin Hayyan, dan Al-Hajj.

Dalam sejarah pemikiran dan praktik Islam, tasawuf mengalami


pasang surut. Lahir dan berkembang sebagai suatu disiplin sejak abad
ke-2 H. lewat pribadi-pribadi seperti Hasan Al-Bashri, Sufyan al-Tsauri al-
Harits ibn Asad Al Muhasibi, B Yazid Al Bustami dan sebagainya.
Tasawuf tak pernah bebas dari kritikan. Selanjutnya pertumbuhan dan
perkembangan tasawuf di dunia Islam dapat dikelompokkan ke dalam
beberapa tahap.

      1. Tahap Zuhud (Asketisme)

Tahap awal perkembangan tasawuf ini menentang mulai akhir


abad ke-1 H sampai kurang lebih abad ke-2. Gerakan zuhud ini
pertama kali muncul di Madinah, Kufah dan Bashrah, kemudian
menyebar ke Khurasan dan Mesir.

Berikut ini adalah tokoh-tokoh menurut tempat-tempat


perkembangannya:

4
Para Zahid yang tinggal di Madinah dari kalangan sahabat,
seperti Abu Ubaidah al-Jarrah (w.18 H) Abu Dzar Al Ghifari (w.22 H)
Salmah Al-Farisi (w.32 H). Abdullah ibn Mas’ud (w. 33 H). Sedangkan
dari kalangan satu generasi setelah masa Nabi (tabi’in) termasuk
diantaranya adalah Said ibn Musayyab (w. 91 H) dan Salim Ibn
Abdullah (w.106 H).

      2. Tahap Tasawuf (Abad III dan IV H)

Pada paruh pertama abad ke-3 H, wacana tentang zuhud mulai


digantikan oleh tasawuf. Ajaran para sufi ini pun tidak lagi terbatas
pada aspek praktis (amali) berupa penanaman akhlak belaka. Para
sufi dalam tahap ini mulai masuk ke aspek teoretis (nazhari) dengan
jalan memperkenalkan konsep-konsep dan terminology baru yang
sebelumnya tidak dikenal ha; maqam, hal ma’rifah, tauhid (dalam
maknanya yang khas tasawuf), fana, hulul, dan lain-lain. Tokoh-
tokohnya termasuk Ma’ruf al-Karkhi (w. 200 H), Abu Sulaiman Al-
Darani (w. 254 H) Dzul Nun Al Mishri (w. 245 H) dan Junaid Al-
Baghdadi.

      3. Tahap Tasawuf Falsafi (Abad VI H)

Tasawuf falsafi merupakan perpaduan antara pencapaian


pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis. Ibn
Arabi adalah tokoh utama aliran ini, disamping juga Al Qunawi,
muridnya. Sebagai ahli memasukkan al-Hajjaj dan Abu (Ba) Yazid Al
Busthami juga ke dalam kelompok ini. Aliran ini kadang disebut juga
dengan Irfan (Gnostisisme) karena orientasinya pada pengetahuan
(ma’rifah atau gnosis) tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu.

      4.Tahap Tarekat (Abad VII H  dan seterusnya)

Meskipun tarekat telah dikenal sejak jauh sebelumnya seperti 


Tarekat Junaidiyyah yang didirikan oleh Abu Hasan ibn Muhammad

5
Nuri (w. 298 H), baru pada masa-masa inilah tarekat berkembang
dengan pesat. Termasuk diantaranya; tarekat Qadariyah yang
didirikan oleh Abdul Qadir Al Jilani (w. 561 H) dari Jilan (termasuk
wilayah Iran sekarang). Tarekat Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad
Rifai (w. 578 H) dan Tarekat Suhrawardiyyah yang didirikan oleh Abu
Najib Al Suhrawadi (w. 563 H). Namun dari semua tarekat yang
pernah tumbuh dan berkembang dalam sejarah tasawuf, yang memiliki
pengikut paling luas adalah tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat yang
sekarang telah memiliki banyak variasi ini pada mulanya didirkan di
Bukhara, Asia Tengah oleh Muhammad ibn Muhammad Bahauddin al
Uwaisi Al Bukhari Naqsyabandi.

E. Pembagian Tasawuf Dan Faktor-Faktor Yang Melatar Belakanginya

1. Tasawuf Akhlaqi

Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-


teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan
metode-metode tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini
berupaya untuk menghindari akhlaq mazmunah dan mewujudkan
akhlaq mahmudah. Tasawuf seperi ini dikembangkan oleh ulama’ lama
sufi.[2][7]

Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk


merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak
hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal
memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan
amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah
mengusai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah
dan -bila mungkin- mematikan hawa nafsu sama sekali oleh karena itu
dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak
disusun sebagai berikut:

6
 Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh
seorang sufi.Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari
perilaku dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang
paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah
kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.
 Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan
membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji.
Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa
dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama
baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang
disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat
formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat
dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada
Tuhan.
 Tajalli, Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah
dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak
selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya
nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ
tubuh –yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan
sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur- tidak
berkurang, maka, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut.
Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa
kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan
rasa rindu kepada-Nya.

2. Tasawuf Falsafi

Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada


gabungan teori-teori tasawuf dan filsafat atau yang bermakana mistik
metafisis, karakter umum dari tasawuf ini sebagaimana yang telah
dikemukakan oleh Al-Taftazani bahwa tasawuf seperti ini: tidak dapat

7
dikatagorikan sebagai tasawuf dalam arti sesungguhnya, karena teori-
teorinya selalu dikemukakan dalam bahasa filsafat, juga tidak dapat
dikatakan sebagai filsafat dalam artian yang sebenarnya karena teori-
teorinya juga didasarkan pada rasa. Hamka menegaskan juga bahwa
tasawuf jenis tidak sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf dan begitu juga
sebaliknya. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh ahli-ahli sufi
sekaligus filosof. Oleh karena itu, mereka gemar terhadap ide-ide
spekulatif. Dari kegemaran berfilsafat itu, mereka mampu menampilkan
argumen-argumen yang kaya dan luas tentang ide-ide ketuhanan.

3.Tasawuf Syi’i

Kalau berbicara tasawuf syi’i, maka akan diikuti oleh


tasawuf sunni. Dimana dua macam tasawuf yang dibedakan
berdasarkan “kedekatan” atau “jarak” ini memiliki perbedaan. Paham
tasawuf syi’i beranggapan, bahwa manusia dapat meninggal dengan
tuhannya karena kesamaan esensi dengan Tuhannya karena ada
kesamaan esensi antara keduanya. Menurut ibnu Khaldun yang dikutip
oleh Taftazani melihat kedekatan antara tasawuf falsafi dan tasawuf
syi’i. Syi’i memilki pandangan hulul atau ketuhanan iman-iman mereka.
Menurutnya dua kelompok itu mempunyai dua kesamaan.

F. Perkembangan Tasawuf Akhlaqi, Falsafi, Syi’i

Pada mulanya tasawuf merupakan perkembangan dari pemahaman


tentang makna-makna intuisi-intuisi Islam. Sejak zaman sahabat dan
tabi’in kecenderungan orang terhadap ajaran Islm secara lebih analistis
sudah muncul. Ajaran Islam dipandanga dari dua aspek, yaitu aspek
lahiriah (seremonial) dan aspek batiniah(spritual), atau aspek “luar” dan
aspek “dalam”. Pendalaman dan aspek dalamnya mulai terlihat sebagai
hal yang paling utama, namun tanpa mengabaikankan aspek luarnya yang
dimotifasikan untk membersihkan jiwa. Tanggapan perenungan mereka

8
lebih berorientasi pada aspek dalam, yaitu cara hidup yang lebih
mengutamakan rasa, keagungan tuhan dan kebebasan egoisme.

Perkembangan tasawuf dalam Islam telah mengalami beberapa


fase: pertama, yaitu fase asketisme (zuhud) yaitu tumbuh pada abad
pertama dan kedua hijriah. Sikap asketisme (zuhud) ini banyak dipandang
sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Pada fase ini, terdapat individu-
individu dari kalangan-kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya
pada ibadah. Mereka menjalankan konsepsi asketis dalam hidupnya, yaitu
tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. Mereka
lebih banyak beramal untuk hal-hal yang berkaitan dalam kehidupan
akhirat, yang menyebabkan mereka lebih memusatkan diri pada jalur
kehidupan atau tingkah laku yang asketis. Tokoh yang sangat populer dari
kalangan mereka adalah Hasan AL-Bashri (wafat pada 110 H) dan Rabiah
Al-Adawiah (wafat pada 185 H). kedua tokoh ini sebagai zahid.

Pada abad ketiga hijriah, para sufi mulai menaruh perhatian


terhadap hal-hal yang berkaitan tentang jiwa dan tingkah laku.
Perkembangan dan doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan
upaya menegakkan moral ditengah terjadinya dekadensi moral yang
berkembang saat itu. Sehingga ditangan mereka, tasawuf pun
berkembang menjadi ilmu moral keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan.
Pembahasan mereka tentang moral, akhirnya, mendorongnya untuk
semakin mengkaji hal-hal yang berkaitan tentang akhlak.

Kajian yang berkenaan dengan akhlak ini menjadikan tasawuf


terlihat sebagai amalan yang sangat sederhana dan mudah dipraktekkan
oleh semua orang. Kesederhanaannya dilihat dari kemudahan landasan-
landasan atau alur befikirnya. Tasawuf pada alur yang sederhana ini
kelihatannya banyak ditampilkan oleh kaum salaf. Perhatian mereka lebih
tertuju pada realitas pengamalan Islam dalam praktek yang lebih
menekankan perilaku manusia yang terpuji.

9
Kaum salaf tersebut melaksanakan amalan-amalan tasawuf dengan
menampilakan akhlak atau moral yang terpuji, dengan maksud memahami
kandungan batiniah ajaran Islam yang mereka nilai benyak mengandung
muatan anjuran untuk untuk berakhlak terpuji. Kondisi ini mulai
berkembang di tengah kehidupan lahiriah yang sangat formal namun tidak
diterima sepenuhnya oleh mereka yang mendambakan konsistensi
pengamalan ajaran Islam hingga aspek terdalam. Oleh karena itu, ketika
mereka menyaksiakn ketidakberesan perilaku (akhlak) di sekitarnya.
Mereka menanamkan kembali akhlak mulia. Pada masa itu tasawuf identik
dengan akhlak.

Kondisi tersebut kurang lebih berkembang selama satu abad,


kemudian pada abad ketiga hijriah, muncul jenis tasawuf lain yang lebih
menonjol pemikiran ekslusif. Golongan ini diwakili oleh Al-Hallaj, yang
kemudian dihukum mati karena manyatakan pendapatnya
mengenai hulul (pada 309 H). Boleh jadi, Al-hallaj mengalami peristiwa
naas seperti itu karena paham hululnya ketika itu sangat kontrofersial
dengan kenyataan di masyarakat yang tengah mengarungi jenis tasawuf
akhlaqi. Untuk itu, kehadiran Al-Hallaj dianggap membahayan pemikiran
umat. Banyak pengamat menilai bahwa tasawuf jenis ini terpengaruh
unsur-unsur di luar Islam.

Pada abad kelima hijriah muncullah Imam Al-Ghazali, yang


sepenuhnya hanya menerima taswuf berdasarkan Al-Quran dan As-
Sunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa,
dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasawuf berdasarkan tasawuf
dikajinya dengan begitu mendalam. Di sisi lain, ia melancarkan kritikan
tajam terhadap para filosof, kaum Mu’tazilah dan Batiniyah. Al-Ghazali
berhasil mengenalkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang seiring
dengan aliran ahlu sunnah waljama’ah, dan bertentangan dengan tasawuf

10
Al-Hajjaj dan Abu Yazid Al-Busthami, terutama mengenai soal karakter
manusia.

Sejak abad keenam hijriah, sebagai akibat pengaruh keperibadian


Al-Ghazali yang begitu besar, pengaruh tasawuf Sunni semakin meluas ke
seluruh pelosok dunia Islam. Keadaan ini memberi peluang bagi
munculnya para tokuoh sufi yang mengembangkan tarikat-tarikat untuk
mendidik para murid mereka, seperti Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i (wafat pada
tahun 570 H) dan Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani (wafat pada tahun 651 H).

Sejak abad keenam Hijriah, muncul sekelompok tokoh tasawuf yang


memadukan tasawuf mereka dengan filsafat, dengan teori mereka yang
bersifat setengah-setengah. Artinya, tidak dapat disebut murni tasawuf,
tetapi juga juga tidak dapat disebut murni filsafat. Di antara mereka
terdapat Syukhrawadi Al-Maqtul (wafat pada tahun 549 H) penyusun kitab
Hikmah Al-Isyraqiah, syekh Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi (wafat pada tahun
638 H), penyair sufi Mesir, Ibnu Faridh wafat pada tahun 632), Abdul Haqq
Ibnu Sab’in Al-Mursi(meninggal pada tahun 669 H), serta tokoh-tokoh yang
lainnya yang sealiran. Mereka banyak menimba berbagai sumber dan
pendapat asing, seperti filsafat Yunani dan khususnya Neo-Platonisme.
Mereka pun banyak mempunyai teori mendalam mengenai jiwa, moral,
pengetahuan, wujud dan sangat bernilai baik ditinjau dari segi tasawuf
maupun filsafat, dan berdampak besar bagi para sufi mutakhir.

Dengan munculnya para sufi yang juga filosof, orang mulai


membedakannya dengan tasawuf yang mula-mula berkembang , yakni
tasawuf akhlaqi. Kemudian, tasawuf akhlaqi ini didentik dengan
tasawuf sunni. Hanya saja, titik tekan penyebutan tasawuf sunni dilihat
pada upaya yang dilakukan oleh sufi-sufi yang memegari tasawufnya
dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan demikian terbagi menjadi dua,
yaitu sunni yang lebih berorientasi pada pengokohan akhlak , dan
tasawuf falsafi, yakni aliran yang menonjolkan pemikiran-pemikiran filosofis

11
dengan ungkapan-ungkapan ganjilnya (syathahiyat) dalam ajaran-ajaran
yang dikembangkannya. Ungkapan-ungkapan syathahiyat itu bertolak dari
keadaan yang fana menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan
ataupun hulul.

Tasawuf akhlaqi(sunni), sebagaimana dituturkan Al-Qusyairi


dalam Ar-Risalah-nya, diwakili para tokoh sufi dari abad ketiga dan
keempat Hijriayah, Imam Al-Ghazali, dan para pemimpin thariqat yang
memadukan taswuf dengan filsafat, sebagaimana disebut di atas. Para sufi
yang juga seorang filosof ini banyak mendapat kecaman dari
para fuqaha akibat pernyataan-pernyataan mereka yang panteistis. Di
antara fuqaha yang paling keras kecamannya terhadap golongan sufi yang
juga filosof ini ialah Ibnu Taimiah (wafat pada tahun 728 H).

Selama abad kelima Hijriah, aliran tasawuf sunni terus tumbuh dan


berkembang. Sebaiknya, aliran tasawuf filosofis mulai tenggelam dan
muncul kembali dalam bentuk lain pada pribadi-pribadi sufi yang juga
filosof pada abad keenam hijriah dan seterusnya. Tenggelamnya aliran
kedua ini pada dasarnya merupakan imbas kejayaan aliran teologi ahlu
sunnah wal jama’ah di atas aliran-aliran lainnya. Dia antara kritik keras,
teologi ahlu sunnah wal jama’ah dialamatkan pada keekstriman tasawuf
Abu Yazid Al-Busthami, Al-Hallaj, para sufi lain yang ungkapan-
ungkapannya terkenal ganjil, termasuk kecamannya terhadap semua
bentuk berbagai penyimpangan lainnya yang mulai timbul di kalangan
tasawuf. Kejayaan taswuf Sunni diakibatkan oleh kepiawaian Abu Hasan
Al-Asy’ari (wafat 324 H) dalam menggagas pemikiran Sunninya terutama
dalam bidang ilmu kalam.

Oleh karena itu, pada abag kelima Hijriah cenderung mengalami


pembaharuan, yakni dengan mengembalikannya pada landasan Al-
Quraan dan As-Sunnah. Al-Qusyairi dan Al-Harrawi dipandang sebagai
tokoh sufi paling menonjol pada abad ini yang member bentik

12
tasawuf Sunni. Kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiah memperlihatkan dengan
jelas bagaiman Al-Qusyairi mengembalikan landasan tasawuf pada
doktrin ahlu sunnah. Dalam penilaiannya, ia menegasakan bahwa para
tokoh sufi aliran ini membina prinsip-prinsip tasawuf atas landasan tauhid
yang benar sehingga doktrin mereka terpelihara dari penyimpangan.
Selain itu mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun ahlu
sunnah yang menakjubkan. Al-Qusyairi secara implisi menolak para sufi
yang mengajarakan syahadat, yang mengucapkan ungkapan penuh kesan
tentang terjadimya perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan, terutama sifat
terdahulu-Nya, dengan sifat-sifat kemanusiaan, khususnay sifat baru-Nya.

MAQAMAT dan AHWAL

A. Pengertian Maqamat

“Maqamat dan Ahwal” adalah dua kata kunci yang


menjadi icon untuk dapat mengakses lebih khusus ke dalam inti dari
sufisme, yang pertama berupa tahapan-tahapan yang mesti dilalui oleh
calon sufi untuk mencapai tujuan tertinggi, berada sedekat-dekatnya
dengan Tuhan, dan yang kedua merupakan pengalaman mental sufi
ketika menjelajah maqamat. Dua kata ‘maqamat dan ahwal’ dapat
diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang selalu berpasangan.
Namun urutannya tidak selalu sama antara sufi satu dengan yang
lainnya. Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang secara
terminologi berarti tingkatan, posisi, stasiun, lokasi. Secara
terminologi Maqamat bermakna kedudukan spiritual atau Maqamat
adalah stasiun-stasiun yang harus dilewati oleh para pejalan spiritual
(salik) sebelum bisa mencapai ujung perjalanan.
Istilah Maqamat sebenarnya dipahami berbeda oeh para sufi. Secara
terminologis kata maqam dapat ditelusuri pengertiannya dari pendapat
para sufi, yang masing-masing pendapatnya berbeda satu sama lain

13
secara bahasa. Namun, secara substansi memiliki pemahaman yang
hampir sama.

Menurut al-Qusyairi (w. 465 Hijriah) maqam adalah tahapan adab (etika)


seorang hamba dalam rangka wushul (sampai) kepadaNya dengan
berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran
tugas. Adapun pengertian maqam dalam pandangan al-Sarraj (w. 378
H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan Allah
yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan
melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-
latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa raga semata
- mata kepada Allah.

B. Maqamat

Sebagaimana telah disebutkan diatas tingkatan-tingkatan


(Maqamat) yang harus dilalui oleh seorang salik menurut masing-
masing ahli sufi terdiri dari beberapa tahapan. Masing-masing ketujuh
maqam ini mengarah ke peningkatan secara tertib dari satu maqam ke
maqam berikutnya. Dan pada puncaknya akan tercapailah pembebasan
hati dari segala ikatan dunia. Adapun  maqamat yang dimaksud
diantaranya sebagai  berikut

1.Taubat

Dalam ajaran tasawuf  konsep taubat dikembangkan dan


memiliki berbagai macam pengertian. Secara literal taubat berarti
“kembali”. Dalam perspektif tasawuf , taubat berarti kembali dari
perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak
mengulanginya lagi dan kembali kepada Allah. Menurut para sufi
dosa merupakan pemisah antara seorang hamba dan Allah karena
dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah Maha Suci dan
menyukai orang suci. Karena itu, jika seseorang ingin berada sedekat

14
mungkin dengan Allah ia hrus membersihkan diri dari segala macam
dosa dengan jalan tobat. Tobat ini merupakan tobat yang
sebenarnya, yang tidak melakukan dosa lagi. Bahkan labih jauh lagi
kaum sufi memahami tobat dengan lupa pada segala hal kecuali
Allah

2. Wara’

Dalam perspektif tasawuf wara’ bermakna menahan diri hal-


hal yang sia-sia, yang haram dan hal-hal yang meragukan (syubhat).

Adapun makna wara’ secara rinci adalah meninggalkan segala


hal yang tidak bermanfaat berupa ucapan, penglihatan,
pendengaran, perbuatan, ide atau aktivitas lain yang dilakukan
seorang muslim. Seorang salik hendaknya tidak hidup secara
sembarangan, ia harus menjaga tingkah lakunya, berhati-hati jika
berbicara dan memilih makanan dan minuman yang dikonsumsinya.

3. Zuhud

Kata zuhud banyak dijelaskan maknanya dalam berbagai


literatur ilmu tasawuf. Karena zuhud merupakan salah satu
persyaratan yang dimiliki oleh seorang sufi untuk mencapai langkah
tertinggi dalam spiritualnya. Diantara makna kata zuhud adalah
sebagaimana yang dikemukakan oleh imam al-Gazali “mengurangi
keinginan kepada dunia dan menjauh darinya dengan penuh
kesadaran”, adapula yang mendefenisikannya dengan makna
“berpalingnya hati dari kesenangan dunia dan tidak
menginginkannya”, “kedudukan mulia yang merupakan dasar bagi
keadaan yang diridhai”, serta “martabat tinggi yang merupakan
langkah pertama bagi salik yang berkonsentrasi, ridha, dan tawakal
kepada Allah SWT”. Menurut Haidar Bagir konsep zuhud diidentikkan
dengan asketisme yang dapat melahirkan konsep lain yaitu faqr.

15
Menurut Abu Bakr Muhammad al- Warraq (w. 290/903 M ) kata
zuhud mengandung tiga hal yang mesti ditinggalkan yaitu
huruf  z berarti zinah (perhiasan atau kehormatan), huruf h berarti
hawa (keinginan), dan d menunjuk kepada dunia (materi). Dalam
perspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati terhadap
hal ihwal keduniaan padahal terdapat kesempatan untuk meraihnya
hanya karena semata-mata taat  dan mengharapkan ridha Allah
SWT.

4. Faqr

Faqr bermakna senantiasa merasa butuh kepada Allah. Sikap


faqr sangat erat hubungannya dengan sikap zuhud. Orang yang faqr
bukan berarti tidak memiliki apa-apa, namun orang faqir adalah orang
yang kaya akan dengan Allah semata, orang yang hanya
memperkaya rohaninya dengan Allah. Orang yang bersikap faqr
berarti telah membebaskan rohaninya dari ketergantungan kepada
makhluk untuk memenuhi hajat hidupnya.  Ali Uthman al-Hujwiri
dalam Kasyf al-Mahjub,  mengutip seorang sufi yang mengatakan
“Faqir bukan orang yang tak punya rezeki/penghasilan, melainkan
yang pembawaan dirinya hampa dari nafsu rendah”. Dia juga
mengutip perkataan Syekh Ruwaym bahwa “Ciri faqir ialah hatinya
terlindung dari kepentingan diri, dan jiwanya terjaga dari kecemaran
serta tetap melaksanakan kewajiban agama.”

5. Sabr

Sabar secara etimologi berarti tabah hati. Dalam Mu’jam


Maqayis al-Lughah disebutkan bahwa kata sabar memiliki tiga arti
yaitu menahan, sesuatu yang paling tinggi dan jenis bebatuan. Sabar
menurut terminologi adalah menahan jiwa dari segala apa tidak
disukai baik itu berupa kesenangan dan larangan untuk mendapatkan

16
ridha Allah. Dalam perspektif tasawuf sabar berarti menjaga menjaga
adab pada musibah yang menimpanya, selalu tabah dalam
menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya serta
tabah menghadapi segala peristiwa. Sabar merupakan kunci sukses
orang beriman. Sabar itu seperdua dari iman karena iman terdiri dari
dua bagian. Setengahnya adalah sabar dan setengahnya lagi syukur
baik itu ketika bahagia maupun dalam keadaan susah. Makna sabar
menurut ahli sufi pada dasarnya sama yaitu sikap menahan diri
terhadap apa yang menimpanya.

6.Tawakkal

Tawakkal bermakna ‘berserah diri’. Tawakkal dalam tasawuf


dijadikan washilah untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia
agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniaan serta apa
saja selain Allah. Pada dasarnya makna atau konsep tawakkal dalam
dunia tasawuf berbeda dengan konsep agama. Tawakkal menurut
para sufi bersifat fatalis, menggantungkan segala sesuatu pada takdir
dan kehendak Allah. Syekh Abdul Qadir Jailany menyebut dalam
kitabnya bahwa semua yang menjadi ketentuan Tuhan sempurna
adanya, sungguh tidak berakhlak seorang salik jika ia meminta lebih
dari yang telah ditentukan Tuhan.

7. Ridha

Pada dasarnya beberapa ulama mengemukakan konsep ridha


secara berbeda. Seperti halnya ulama Irak dan Khurasan yang
berbeda mengenai konsep ini, apakah ia termasuk bagian dari
maqam atau hal. Maqam ridha adalah ajaran untuk menanggapi dan
mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan menjadi
kegembiraan dan kenikmatan. Dalam kitab al-Risalah al-Qusyairiyah
disebutkan beberapa pendapat ulama mengenai makna ridha,

17
Menurut Imam al-Gazali ridha merupakan buah dari mahabbah.
Dalam perspektif tasawuf ridha berarti sebuah sikap menerima
dengan lapang dada dan senang terhadap apapun keputusan Allah
kepada seorang hamba, meskipun hal tersebut menyenangkan atau
tidak. Sikap ridha merupakan buah dari kesungguhan seseorang
dalam menahan hawa nafsunya.

C. Ahwal

Ahwal adalah bentuk jamak dari ‘hal’ yang biasanya diartikan


sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di
sela-sela perjalanan spiritualnya. Ibn Arabi menyebut hal sebagai setiap
sifat yang dimiliki seorang salik pada suatu waktu dan tidak pada waktu
yang lain, seperti kemabukan dan fana’. Eksistensinya bergantung pada
sebuah kondisi. Ia akan sirna manakala kondisi tersebut tidak lagi ada.
Hal tidak dapat dilihat dilihat tetapi dapat dipahami dan dirasakan oleh
orang yang mengalaminya dan karenanya sulit dilukiskan dengan
ungkapan kata.

Sebagaimana halnya dengan maqam, hal juga terdiri dari


beberapa macam. Namun, konsep pembagian atau formulasi serta
jumlah hal berbeda-beda dikalangan ahli sufi. Diantara macam-macam
hal yaitu; muraqabah, khauf, raja’, syauq, Mahabbah, tuma’ninah,
musyahadah, yaqin.

1. Muraqabah

Secara etimologi muraqabah berarti menjaga atau mengamati


tujuan. Adapun secara terminologi muraqabah adalah salah satu
sikap mental yang mengandung pengertian adanya kesadaran diri
bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan merasa diri diawasi
oleh penciptanya. Pengertian tersebut sejalan dengan pendangan al-
Qusyairi bahwa muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah

18
dan mawas diri juga berarti adanya kesadaran sang hamba bahwa
Allah senantiasa melihat dirinya.

2. Khauf

Menurut al-Qusyairi, takut kepada Allah berarti takut terhadap


hukumnya. Al-khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada
Allah karena kurang sempurna pengabdiannya atau rasa takut dan
khawatir jangan sampai Allah merasa tidak senang kepadanya. Ibn
Qayyim memandang khauf sebagai perasaan bersalah dalam setiap
tarikan nafas. Perasaan  bersalah dan adanya ketakutan dalam hati
inilah yang menyebabkan orang lari menuju Allah.

3. Raja’

Raja’ bermakna harapan. Al-Gazali memandang raja’ sebagai


senangnya hati karena menunggu sang kekasih datang kepadanya.
Sedangkan menurut al-Qusyairi raja’ adalah keterpautan hati kepada
sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa akan datang. Sementara
itu, Abu Bakar al-Warraq menerangkan bahwa raja’ adalah
kesenangan dari Allah bagi hati orang-orang yang takut, jika tidak
karena itu akan binasalah diri mereka dan hilanglah akal mereka.

4. Syauq

Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para


ahli sufi menyatakan bahwa syauq merupakan bagian dari
mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam tasawuf  adalah
suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini
memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk
menimbulkan rasa rindu kepada Allah maka seorang salik terlebih
dahulu harus memiliki pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah.

19
5. Mahabbah

Cinta (mahabbah) adalah pijakan atau dasar bagi


kemuliaan hal. Seperti halnya taubat yang menjadi dasar bagi
kemuliaan maqam. Al-Junaid menyebut mahabbah sebagai suatu
kecenderungan hati. Artinya, hati seseorang cenderung kepada Allah
dan kepada segala sesuatu yang datang dariNya tanpa usaha.

6.Tuma’ninah

Secara bahasa tuma’ninah berarti tenang dan tentram. Tidak


ada rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu
perasaan dan pikiran karena ia telah mencapai tingkat kebersihan
jiwa yang paling tinggi. Menurut al-Sarraj tuma’ninah sang hamba
berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya dan bersih
ingatannya. Seseorang yang telah mendapatkan hal ini sudah dapat
berkomunikasi langsung dengan Allah SWT.

7. Musyahadah

Dalam perspektif tasawuf  musyahadah berarti melihat Tuhan


dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat
dengan mata kepala. Hal ini berarti dalam dunia tasawuf seorang sufi
dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan dengan mata
hatinya. Musyahadah dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari
tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan
hamba dengan Allah.

8. Yaqin

Al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas


serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam pula
sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung
dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid yaqin adalah

20
tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan
tidak berubah. Menurut al-Sarraj yaqin adalah fondasi dan

G. Ajaran Tasawuf Pada Masa Awal, Tokoh, Dan Faktor Yang Melatar


belakanginya

Menurut al-Dzahabi (1987: 23), istilah sufi mulai dikenal pada abad
ke-2 Hijriyah, tepatnya tahun 150 H. Orang  pertama yang dianggap
memperkenalkan istilah ini  kepada dunia Islam adalah Abu Hasyim al-Sufi
atau akrab disebut juga Abu Hasyim al-Kufi, tetapi pendapat lain
menyebutkan bahwa tasawuf baru muncul di dunia Islam pada awal abad
ke-3 hijriyah yang dipelopori oleh al-Kurkhi, seorang masihi asal Persia.
Tokoh ini mengembangkan pemikiran bahwa cinta (mahabbah) kepada
Allah adalah sesuatu yang tidak diperoleh melalui belajar, melainkan
karena faktor pemberian (mauhibah) dan keutamaan  dari-Nya. Adapun
tasawuf baginya adalah mengambil kebenaran-kebenaran hakiki. Tesis ini
kemudian menjadi suatu asas  dalam  perkembangan  tasawuf  di  dunia
Islam   (Al Taftazani,  1979:  72). Beberapa tokoh lainnya yang muncul
pada periode ini adalah al-Suqti (w.253 H), al- Muhasibi (w. 243 H) dan
Dzunnun al-Hasri (w. 245 H).
Tasawuf kemudian semakin berkembang dan meluas ke penjuru
dunia Islam pada  abad  ke-4  H  dengan  sistem  ajaran  yang  semakin
mapan.  Belakangan,  al- Ghazali menegaskan tasawuf atau hubbullah
(cinta kepada Allah) sebagai keilmuan yang memiliki  kekhasan tersendiri
di samping filsafat dan ilmu kalam. Pada abad ke-4 dan ke-5 hijriyah  inilah
konflik pemikiran terjadi antara kaum sufi dan para fuqaha’. Umumnya,
kaum sufi  dengan berbagai tradisi dan disiplin spiritual yang
dikembangkan-nya   dipandang   oleh    para    fuqaha’   sebagai   kafir, 
zindiq   dan menyelisihi aturan aturan syari’at. Konflik ini terus berlanjut
pada abad berikutnya, terlebih  lagi  ketika  corak  falsafi  masuk  dalam

21
tradisi  keilmuan  tasawuf  dengan tokoh-tokohnya seperti Ibn al-’Arabi dan
Ibn al-Faridl pada abad ke-7 H .

Realitas inilah yang kemudian menimbulkan pembedaan dua corak


dalam dunia  tasawuf, yaitu antara tasawuf ‘amali (praktis) dan tasawuf
nazari (teoritis). Tasawuf  praktis  atau  yang  disebut  juga  tasawuf  sunni
atau  akhlaki  merupakan bentuk tasawuf  yang memagari diri dengan al-
Qur’an dan al-Hadith secara ketat dengan penekanan pada aspek amalan
dan mengaitkan antara ahwal dan maqamat.

Sedangkan   tasawuf   teoritis   atau   juga   disebut   tasawuf   


falsafi13     cenderung menekankan  pada  aspek  pemikiran  metafisik
dengan  memadukan  antara  filsafat dengan  ketasawufan  (Shihab, 2001:
120). Di antara tokoh yang dianggap sebagai pembela tasawuf sunni
adalah al-Haris al-Muhasibi (w. 243H/858 M), al-Junaid (w. 298/911), al-
Kalabadzi (385/995), Abu Talib al-Makki (386/996), Abu al-Qasim Ab al-
Karim al-Qusyaeri (465/1073), dan alGhazali (505/1112). Sedangkan tokoh
yang sering  disebut  sebagai  penganut  tasawuf  falsafi  adalah
Abu Yazid  al-Bustami (261/875), al-Hallaj  (309/992), al-Hamadani
(525/1131), al-Suhrawardi al-Maqtul (587/1191) dengan puncaknya pada
era Ibn ‘Arabi14.

Secara  mendasar  kemunculan  pemikiran  tasawuf  adalah


sebagai  reaksi terhadap  kemewahan hidup dan ketidakpastian  nilai  (Al-
Afifi,  1989:  20). Tetapi secara  umum tasawuf pada masa awal
perkembangannya mengacu pada tiga alur pemikiran: (1) gagasan tentang
kesalehan yang menunjukkan keengganan terhadap kehidupan  urban
dan   kemewahan;  (2)  masuknya  gnostisisme  Helenisme  yang
mendukung  corak  kehidupan   pertapaan  daripada  aktif  di  masyarakat;
dan  (3) masuknya pengaruh Buddhisme yang juga memberi
penghormatan pada sikap anti- dunia dan sarat dengan kehidupan
asketisme. Terdapat 3 sasaran antara dari tasawuf: (1) pembinaan aspek

22
moral; (2) ma’rifatullah melalui metode kasyf al-hijab dan (3) bahasan
tentang  sistem  pengenalan  dan  hubungan  kedekatan  antara  Tuhan
dan makhluk. Konsep kedekatan dalam hal ini dapat berarti: merasakan
kehadiran-Nya dalam hati, berjumpa dan berdialog dengan-Nya, ataupun
penyatuan makhluk dalam iradah Tuhan (Al-Afifi, 1989: 20).

H. Ajaran Tasawuf Pada Masa Berikut, Tokoh, Dan Faktor Yang


Melatarbelakanginya

Dari segi  sejarah,  sufisme  sebenarnya  dapat  dibaca  dalam  2


tingkat:  (1) sufisme  sebagai  semangat  atau  jiwa  yang  hidup  dalam
dinamika  masyarakat muslim;  (2) sufisme  yang  tampak  melekat
bersama  masyarakat  melalui  bentuk- bentuk kelembagaan termasuk
tokoh-tokohnya. Perluasan wilayah kekuasaan Islam tidak semata-mata 
berimplikasi  pada  persebaran   syiar  Islam  melainkan  juga berimbas
pada kemakmuran yang melimpah ruah. Banyak di kalangan sahabat yang
dahulunya hidup sederhana kini menjadi berkelimpahan harta benda.
Menyaksikan fenomena kemewahan tersebut  muncul  reaksi dari
beberapa sahabat seperti Abu Dzar al-Ghifari, Sa’id bin Zubair, ‘Abd Allah
bin  ‘Umar sebagai bentuk “protes” dari perilaku hedonistic yang menguat
pada masa kekuasaan Umayyah.
Disintegrasi  sosial  yang  parah  mempengaruhi  umat  mencari
pedoman doktrinal yang mampu memberi mereka ketenangan jiwa dan
sekaligus memberi kesadaran yang mengukuhkan ikatan yang damai
sesame muslim di antara mereka (Effendi, 1993: 34). Secara garis besar
perkembangan tarekat dapat dibaca melalui tiga  tahapan  berikut:  (1) 
khanaqah,  yakni  terbentuknya  komunitas  syaikh-murid dalam aturan
yang belum ketat untuk melakukan disiplin-disiplin spiritual tertentu.
Gerakan  yang  bercorak  aristokratis  ini  berkembang  sekitar  abad  ke-
10  M;  (2) tariqah,  yakni  perkembangan  lebih  lanjut  di  abad  berikutnya
dimana  formulasi ajaran-ajaran, peraturan dan metode-metode

23
ketasawufan  mulai terbentuk mapan; (3)  taifa,  yakni  masa  persebaran
ajaran  dan  pengikut  dari  suatu  tarekat  yang melestarikan ajaran syaikh
tertentu (Effendi, 1993: 67).

I. ANTARA TASAWUF DAN TAREKAT

Tarekat  adalah  lembaga  tempat  berhimpunnya  orang-orang


yang  melalui ikatan hirarkis tertentu sebagai murshid-murid, menjalani
disiplin-disiplin spiritual tertentu  untuk   menemukan   kejernihan   jiwa 
dan   hati.   Varian   tarekat   dapat disejajarkan sebagai   mazhab  dalam
bidang  tasawuf  sebagaimana  muncul  pula varian-varian mazhabi dalam
bidang pemikiran kalam dan fikih. Mengenai kelompok tasawuf ada dua
pendapat. Pertama,  mereka adalah  kelompok  spiritual  dalam umat Islam
yang berada di tengah-tengah dua kelompok  lainnya  yang  disebut 
kelompok formal  dan  kelompok  Intelektual. Kelompok intelektual ini
terdiri  dari   ulama-ulama   mutakallim   (ahli   teologi), sedangkan
kelompok grave terdiri dari ulama-ulama muhaddits dan  fuqaha.  Kedua, 
bahwa  tasawuf  itu hanyalah suatu kecenderungan  spiritual  yang
membentuk  etika  moral  dan lingkungan sosial khusus. Sehingga
seharusnya  kita  katakan seorang  muhaddttsin  sekaligus  juga  ulama
sufiyah, begitu pula seorang mutakallimin sekaligus juga ulama sufiyah.

J. KEDUDUKAN TASAWUF DALAM ISLAM

Ajaran  Tasawuf  pada   dasarnya   merupakan   bagian   dari


prinsip-prinsip  Islam  sejak  awal.  Ajaran ini tak ubahnya merupakan
upaya  mendidik  diri  dan  keluarga  untuk  hidup bersih dan sederhana,
serta patuh melaksanakan ajaran-ajaran agama   dalam   kehidupannya  
sehari-hari.   Ibnu   Khaldun mengungkapkan,   pola   dasar  tasawuf 
adalah  kedisiplinan beribadah, konsentrasi  tujuan  hidup  menuju  Allah 
(untuk mendapatkan  ridla-Nya),  dan  upaya  membebaskan  diri dari
keterikatan mutlak pada kehidupan  duniawi,  sehingga  tidak diperbudak  

24
harta   atau  tahta,  atau  kesenangan  duniawi lainnya. Kecenderungan
seperti ini secara umum terjadi  pada kalangan   kaum   muslim  angkatan 
pertama. Pada angkatan berikutnya (abad 2 H) dan seterusnya, secara
berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan 
duniawi  menjadi  lebih  berat. Ketika itulah angkatan  pertama kaum
muslim yang mempertahankan pola hidup sederhananya lebih dikenal
sebagai kaum sufiyah.

Keadaan  tersebut  berkelanjutan  hingga   mencapai   puncak


perkembangannya  pada  akhir  abad 4 H. Dalam masa tiga abad itu dunia
Islam mencapai kemakmuran yang melimpah,  sehingga di kalangan atas
dan menengah terdapat pola kehidupan mewah, seperti kita dapat simak
dalam karya sastra  “cerita  seribu satu  malam”  di masa  kejayaan 
kekhalifahan Abbasiyah. Pada masa itu gerakan tasawuf juga mengalami 
perkembangan  yang tidak terbatas hanya pada praktek hidup bersahaja
saja, tapi mulai  ditandai  juga  dengan   berkembangnya   suatu   cara
penjelasan  teoritis  yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut
ilmu Tasawuf.

Pada tingkat perkembangan inilah muncul beberapa terma  yang


dulunya tidak lazim dipakai dalam ilmu-ilmu keIslaman. Upaya penalaran
para ulama muhaddits dan fuqaha dalam  menjabarkan prinsip-prinsip 
ajaran  Islam  mengenai  penataan kehidupan pribadi dan masyarakat
yang  sudah  berkembang  selama  tiga abad dengan  munculnya  disiplin 
ilmu Tasawuf terjadilah pemisahan antara dua pola penalaran, yaitu
produk  penalaran ulama muhaddits dan fuqaha yang disebut syari’ah, dan
produk penalaran ulama tasawuf yang  disebut  haqiqah.  Selanjutnya para
fuqaha joke disebut ahli syari’ah dan para ulama tasawuf disebut ahli
haqiqah.

25
K. TASAWUF DI INDONESIA

Di Indonesia kita lebih banyak mengenal ajaran tasawuf lewat


lembaga  keagamaan  non-formal  yang  namanya “tarekat” asal kata
thariqah. Di Jawa Timur misalnya, kita  jumpai  Tarekat
Qadiriyah  yang  cukup    dikenal,   disamping   Tarekat Naqsyabandiyah,
Syadziliyah, Tijaniyah dan Sanusiyah.  Dalam satu  dasawarsa 
terakhir ini, kita melihat adanya langkah lebih  maju  dalam 
perkembangan  tarekat-tarekat   tersebut dengan  adanya  koordinasi
antara berbagai macam tarekat itu lewat  ikatan  yang  dikenal  dengan
nama Jam’iyah Ahl al-Thariqah al-Mu’tabarah.   Pada   tahun   lima 
puluhan, pemerintah  Mesir menempatkan  pembinaan   dan   koordinasi
tarekat-terekat   tersebut  di  bawah  Departemen  Bimbingan Nasional 
(Wizarah  al-Irsyad   al-Qaumi).   Pertimbangannya ialah, bagaima1napun
keberadaan penganut-penganut tarekat itu merupakan  bagian  dari 
potensi  bangsa/umat,  yang  berhak mendapatkan  perlindungan dalam
rangka tertib kemasyarakatan suatu negara.

Untuk lebih mengenal adanya tarekat itu,  ada  baiknya  kita


mempertanyakan   kapankah   munculnya   tarekat   (al-thuruq al-shufiyah)
itu dalam sejarah  perkembangan gerakan  tasawuf Dr.  Kamil  Musthafa
al-Syibi dalam tesisnya tentang gerakan tasawuf dan gerakan syi’ah
mengungkapkan, tokoh pertama yang memperkenalkan  sistem  thariqah 
(tarekat)  itu Syekh Abdul Qadir  al-Jailani  (w.  561 H/1166 M) di Baghdad.
Ajaran tarekatnya  menyebar  ke  seluruh  penjuru dunia Islam, yang
mendapat  sambutan  luas  di  Aljazair,  Ghinia  dan   Jawa. Sedangkan  di
Mesir, tarekat yang banyak pengikutnya Tarekat Rifa’iyyah yang dibangun
Sayid Ahmad al-Rifa’i.  Dan  tempat ketiga  diduduki tarekat ulama penyair
kenamaan Parsi, Jalal al-Din al-Rumi (w. 672 H/1273 M). Beliau membuat 

26
tradisi baru  dengan  menggunakan  alat-alat  musik  sebagai  sarana
dzikir. Kemudian sistem ini berkembang terus dan meluas.

Dalam  periode berikutnya muncul tarekat al-Syadziliyah yang


mendapat sambutan luas di Maroko dan Tunisia khususnya, dan dunia
Islam bagian Timur pada umumnya. Yang  juga  perlu  dicatat  di  sini ialah
munculnya Tarekat Sanusiyah yang  mempunyai  disiplin  tinggi  mirip 
disiplin militer.  Di  bawah  syeikhnya  yang  terakhir, Sayyid Ahmad al-
Syarif  al-Sanusi  berhasil  menggalang   satu   kekuatan perlawanan 
rakyat  yang  mampu memerangi kolonialis Italia, Perancis dan Inggris 
secara  berturut-turut,  dan  akhirnya membebaskan  wilayah  Libya. 
Mungkin sifat keras dari iklim yang  dibentuk  Tarekat  Sanusiyah  inilah
yang mewarnai Mu’ammar  al-Qadafi  mengambil  alih  kekuasaan dan
berkuasa sampai saat ini sebagai Kepala Negara tersebut.

L. TASAWUF DI DUNIA MODERN

tasawuf itu ke dalam dua sisi, yaitu : tasawuf sisi negatif dan
positif3, agar umat Islam tidak mengikuti gaya tasawuf para shufi yang
dalam pengertiannya harus meninggalkan kehidupan dunia. Menurut
Hamka itu semua tidak sesuai dengan harapan Islam yang harus
seimbang antara dunia dan akhirat. Dan itu tidak sesuai dengan
perkembangan zaman yang menuntut umat Islam berusaha sekuat tenaga
dan pikirannya untuk dunia sejauh tidak lebih mementingkan dunia di
banding akhirat. Dari itulah timbul pemmikiran Hamka yang sangat relevan
dengan zaman modern ini. Untuk mendefinisikan tasawuf dengan
memperbaiki budi dan men-shifa’-kan (membersihkan) batin. meninjau
kata Al-Junaid yaitu “Tasawuf adalah keluar dari budi perangai jelek dan
masuk kepada budi perangai yang terpuji” 4. Dengan adanya tawaran
seperti itu maka jelaslah pemikiran Hamka cocok sekali dengan zaman
modern ini, karena beliau tidak menyuruh untuk meninggalkan kehidupan
dunia. Bahkan Hamka menyuruh untuk kembali kepada tasawuf yang di

27
ajarkan Rasulullah yaitu “memegang sikap hidup yang hati tidak berhasil di
kuasai oleh hidup duniawi.

M.Tasawuf dan etos kerja

Pada dasarnya tasawuf itu baik dan benar, tetapi persepsi orang
terhadapnya sering keliru. Ini disebabkan oleh mentalitas masyarakat
Indonesia yang sudah rusak akibat berbagai pengalaman sejarah yang
menyakitkan selama ini. Mentalitas masyarakat yang rusak menyebabkan
persepsi terhadap ajaran agama kadang-kadang keliru, seperti persepsi
terhadap ajaran tasawuf.

Karenanya, persepsi yang keliru itu harus dilacak pada sikap


kerusakan sikap mental masyarakat. Mentalitas masyarakat Indonesia
mulai rusak ketika mengalami penjajahan ratusan tahun. Penjajahan
inilah yang menyebabkan masyarakat menderita lahir batin. Seperti hidup
miskin, kecewa, frustasi, stress, pesimistis, serta merasa tidak ada masa
depan. Ini kemudian menjungkirbalikkan tatanan masyarakat serta
merusak mentalitas dan cara berpikir. Akibatnya nilai-nilai dari budaya
dan agama sering dipersepsikan secara keliru. Inilah yang telah dialami
oleh tasawuf yang sering dipersepsikan sebagai  faktor yang
melemahkan etos kerja. Untuk memperbaiki persepsi yang keliru itu,
selain mentalitas masyarakat perlu dibangun kembali, juga ada baiknya
dilakukan reinterpretasi terhadap sikap-sikap dan ajaran tasawuf.

Menurut ajaran Islam, bekerja itu wajib, setidaknya untuk


memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga dan umat. Tasawuf pun
sejalan dengan ajaran dasar Islam, sehingga tasawuf tidak melemahkan
etos kerja, tetapi malah dapat memperkuat etos kerja.

28
1. Konsep etos kerja dalam tasawuf

Untuk meningkatkan semangat atau etos kerja dalam diri kita,


para ahli sufi telah mengajarkan kita melalui sikap yang mereka
contohkan dalam kehidupan mereka sesuai dengan ajaran dan konsep
tasawuf. Di antaranya, sikap optimisme, istiqamah, sabar, ikhlas, ridha,
qana’ah, takwa, takut, tawakal, taubat, zuhud, wara’, syukur, cinta,
rindu, shidiq, syaja’ah, takdir, malu, zikir, doa, tafakkur, uzlah,
kemiskinan, dan kematian.

29

Anda mungkin juga menyukai