Anda di halaman 1dari 14

“ RESUME MATA KULIAH TASAWUF “

Diajukan Sebagai salah Satu Syarat Guna Menyelesaikan Tugas UAS


Pada Mata Kuliah Ilmu Tasawuf

Dosen Pengampu Mata Kuliah: Zulqarnain, M.Hum., Ph.D

Disusun Oleh:

M. ARDIANSYAH

(NIM. 2018. 153.1115)

Semester : 4 MPI D

YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM(YPI)


INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI)
NUSANTARA BATANG HARI
TAHUN 2019/2020
RESUME TASAWUF

A. Sejarah Munculnya Tasawuf

Timbulnya tasawuf dalam islam tidak bisa dipisahkan dengan


kelahiran islam itu sendiri, yaitu semenjak Muhammad diutus menjadi Rasul
untuk segenap umat manusia dan alam semesta. Fakta sejarah menunjukan
bahwa pribadi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali
melakukan tahanuts dan khalawat di gua Hira’ disamping untuk mengasingkan
diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang mabuk memperturutkan hawa
nafsu keduniaan. Di sisi lain Muhammad juga berusaha mencari jalan untuk
membersihkan hati dan mensucikan noda- noda yang menghinggapi
masyarakat pada masa itu. Tahanuts dan khalawat yang dilakukan Muhammad
SAW bertujuan untuk mencari ketenagan jiwa dan keberhasilan hati dalam
menempuh liku- liku probelma kehidupan yang beraneka ragam , berusaha
untuk memperoleh petunjuk dan hidayah serta mencari hakikat kebenaran ,
dalam situasi yang demikianlah Muhammad menerima Wahyu dari Allah
SWT, yang berisi ajaran- ajaran dan peraturan- peraturan sebagai pedoman
dalam mencapai kebahagiaan hidup didunia dan diakhirat.

Dalam sejarah islam sebelum munculnya aliran tasawuf, terlebih dahulu


muncul aliran zuhud pada akhir abad ke I (permulaan abad ke II). Pada abad I
Hijriyah lahirlah Hasan Basri seorang zahid pertama yang termashur dalam
sejarah tasawuf. Beliau lahir di Mekkah tahun 642 M, dan meninggal di Basrah
tahun 728M. ajaran Hasan Basri yang pertama adalah  Khauf dan Rajah’
mempertebal takut dan harap kepada Tuhan, setelah itu muncul guru- guru
yang lain, yang dinamakan qari’ , mengadakan gerakan pembaharuan hidup
kerohanian di kalangan umat muslim. Sebenarnya bibit tasawuf sudah ada
sejak itu, garis- garis mengenai tariq atau jalan beribadah sudah kelihatan
disusun, dalam ajaran- ajaran yang dikemukakan disana sini sudah mulai
mengurangi makna (ju’), menjauhkan diri dari keramaian dunia ( zuhud ).

Abu al- Wafa menyimpulkan, bahwa zuhud islam pada abad I dan II
Hijriyah mempunyai karakter sebagai berikut:

2
Menjaukan diri dari dunia menuju akhirat yang berakar pada nas
agama, yang dilator belakangi oleh sosipolitik, coraknya bersifat sederhana,
praktis (belum berwujud dalam sistematika dan teori tertentu), tujuanya untuk
meningkatkan moral.

Masih bersifat praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian


untuk menyusun prinsip- prinsip teoritis atas kezuhudannya itu. Sementara
sarana- saranapraktisnya adalah hidup dalam ketenangan dan kesederhanaan
secara penuh, sedikit makan maupun minum, banyak beribadah dan mengingat
Allah SWT. Dan berlebih- lebihan dalam merasa berdosa, tunduk mutlak
kepada kehendak Nya., dan berserah diri kepada Nya. Dengan demikian
tasawuf pada masa itu mengarah pada tujuan moral.

Motif zuhudnya ialah rasa takut yaitu rasa takut, yaitu rasa takut yang
muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh- sungguh. Sementara
pada akhir abad II Hijriyah, ditangan Rabi’ah al- Adawiyah muncul motif rasa
cinta, yang bebas dari rasa takut trhadap adhab- Nya maupun harapan terhadap
pahala Nya. Hal ini dicerminkan lewat penyucian diri dan abstraksinya dalam
hubungan antara manusia dengan Tuhan.

Ahkir abad II Hijriyah, sebagian zahid, khususnyadi Khurasan, dan


Rabi’ah al- Adawiyah ditandai kedalaman membuat analisa, yang bias
dipandang sebagai masa pendahuluan tasawuf, atau cikal bakal para pendiri
tasawuf falsafati abad ke- III dan IV Hijriyah. Abu al- Wafa lebih sependapat
kalau mereka dinamakan zahid, qari’, dan nasik (bukan sufi) (Abu alo- Wafa,
1970). Sejalan dengan pemikiran ini, sebelum Abu al- Wafa, al- Qusyairi tidak
memasukkan Hasan al- Basri dan Rabi’ah al-Adawiyyah dalam deretan guru
tasawuf.

Sedangkan zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang
mendahului tasawuf. Menurut Harun Nasution, station yang terpenting bagi
seorang calon sufi ialah zuhd yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup
kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu menjadi
zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan

3
demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap zahid merupakan
sufi.

Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu,


artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-
dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah[2].

Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis menurut Prof. Dr.


Amin Syukur, tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak)
Islam dan gerakan protes[3]. Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan
komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan,
maka zuhud merupakan suatu station (maqam) menuju tercapainya
“perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya. Dalam posisi ini menurut A. Mukti
Ali, zuhud berarti menghindar dari berkehendak terhadap hal – hal yang
bersifat duniawi atau ma siwa Allah. Berkaitan dengan ini al-Hakim Hasan
menjelaskan bahwa zuhud adalah “berpaling dari dunia dan menghadapkan diri
untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya
dengan semedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan dan
memperbanyak dzikir”.

 Jadi zuhud merupakan hal yang tidak bisa terpisahkan dengan tasawuf
sebagai seorang zahid yang menjauhkan diri dari kelezatan duniaserta
mengingkarinya serta lebih mengutamakan kehidupan yang kekal
dengan mendekatkan diri untuk supaya tercapai keridhoan dan makrifat
perjumpaan dengan-Nya. Hal ini agar lebih mendekatkan diri sebagai
makhluk dengan Kholik sehingga dapat meraih keuntungan akhirat.
 Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes yaitu
sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam
menatap dunia fana ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah dan
untuk meraih keridlaan Allah swt., bukan tujuan tujuan hidup, dan di
sadari bahwa mencintai dunia akan membawa sifat – sifat mazmumah
(tercela). Keadaan seperti ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para
sahabatnya.

4
Zuhud disini mengandung makna tidak berbangga atas kemewahan
dunia dan tidak membuat ingkar terhadap Allah SWT serta tetap berusaha
bekerja. Hal ini hanyalah sebagai sarana ibadah meraih keridhoan-Nya, bukan
sebagai tujuan akhir hidup.

Sifat zuhud inilah yang menjadi salah satu akibat suatu peristiwa dan
lanjutan munculnya tasawuf, yaitu sebagai reaksi kaum muslimin terhadap
sistem social politik dan ekonomi di kalangan islam sendiri. Ketika islam mulai
tersebar ke berbagai penjuru dunia, setelah tempo sahabat (zaman tabiin abad
ke I dan II) baik pada masa Kholifah maupun masa daulah-daulah setelahnya
banyak terjadi pertikaian politik ataupun kemakmuran satu pihak, sudah mulai
beubah kondisinya dari masa sebelumnya. Sehingga menimbulkan pula
peperangan saudara antara Ali bin Abi Tholib dengan Mu’awiyah yang
bermula fitnah pada Utsman bin Affan. Dengan adanya peristiwa tersebut
membuat masyarakat dan ulama tidak ingin terlibat terhadap pergolakan yang
ada serta tidak mau kemewahan dunia. Mereka lebih memilih untuk
mengasingkan diri agar bisa mengembalikan kondisi lingkungan kehidupan
islam seperti dahulu, yaitu seperti masa Nabi SAW, para sahabat serta para
pengikutnya yang sesuai dengan berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Hadist pada
jalan yang benar menuju Rabb Yang Maha Esa.

B. Definisi Tasawuf

Akhlak tasawuf merupakan salah satu khazanah intelektual Muslim


yang kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan. Secara historis dan
teologis Akhlak Tasawuf tampil mengawal dan memandu perjalanan hidup
umat agar selamat dunia dan akhirat. Tidaklah berlebihan jika misi utama
kerasulan Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak yang
mulia, dan sejarah mencatat bahwa faktor pendukung keberhasilan dakwah
beliau itu antara lain karena dukungan akhlaknya yang prima, hingga hal ini
dinyatakan oleh Allah di dalam Al-quran.

Karya-karya modern dalam bidang tasawuf telah mendiskusikan asal


usul kata tasawuf, meskipun karya-karya klasik harus lebih diutamakan untuk

5
dimanfaatkan sebagai upaya memahaminya secara baik berdasarkan data
otentik. Dalam kitab Kasyfal-Mahjub, al-Hujwiri telah menjelaskan asal-usul
kata tasawuf. Pertama, istilah tasawuf berasal dari kata al-shuf yaitu wol.
Disebut sufi karena sufi mengenakan jubah yang terbuat dari bulu domba.
Kedua, istilah tasawuf berasal dari kata al-shaf, yaitu barisan pertama yang
bermakna bahwa kaum sufi berada pada barisn pertama di depan Tuhan, karena
besarnya keinginan mereka terhadap Tuhan, kecenderungan hati mereka
terhadap-Nya dan tinggalnya bagian-bagian rahasia dalam diri mereka di
hadapan-Nya. Ketiga, istilah tasawuf berasal dari kata ahl-alsuffah karena para
sufi mengaku sebagai golongan ahl al-shuffah yang diridai Allah. Mereke
disebut sufi karena sifat-sifat mereka menyamai sifat orang-orang yang tinggal
di serambi masjid(shuffah) yang hidup pada masa Nabi Muhammad Saw.
Keempat, istilah tasawuf berasal dari kata al-shafa yang artinya kesuacian,
sebagai makna bahwa para sufi telah menyucikan akhlak mereka dari noda-
noda bawaan, dan karena kemurnian hati dan kebersihan tindakan mereka.
Kaum sufi menjaga moral dan menyucikan diri mereka dari kejahatan dan
keinginan duniawi, sebab itulah mereka disebut sufi.

Menurut ‘Abd al-Qadir al-jailani yang cukup dikenal sebagai pendiri


tarekat Qadiriyah meyatakan bahwa seseorang dikatakan sebagai sufi karena
tiga alasan :

1. Terjadinya proses penjernihan terhadap hati mereka berkat cahaya


makrifat.
2. Ia dinisbahkan kepada ashhab al-shuffah, yakni para sahabat yang
meninggalkan segala sesuatu karena cinta kepada Allah dan rasul-
Nya.
3. Ia memakai shuf(pakaian dari bulu), di mana untuk sufi tingkat
pemula mengenakan pakaian daru bulu biri-biri, sedangkan untuk sufi
tingkat pertengahan dari bulu kambing, sedangkan sufi untuk tingkat
puncak dari bulu mir’izza(bulu halus kambing).

Al-jailani menambahkan bahwa kata thasawwuf terdiri atas empat huruf,


yakni ta’, shad, waw, dan fa’. Kata ta’ bermakna taubah, kata shad bermakna

6
shafa’ kata waw bermakna wilayah(kewalian), dan kata fa’ bermakna fana’ fi
Allah.

Berdasarkan pendapat sejumlah sufi di atas, dapat dipahami bahwa


tasawuf merupakan disiplin ilmu yang berkaitan dengan penyucian jiwa
manusia dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt.

C. Tasawuf dalam Hierarki ilmu-ilmu Islam

Dalam tradisi intelektual islam, para ulama telah membuat klasifikasi


ilmu berdasarkan sudut pandang islam. Diantara mereka, pendapat Ibn
Khaldun cukup penting diutarakan. Dalam muqaddimah Ibn Khaldun membagi
ilmu menjadi dua jenis. Dapat ditegaskan bahwa para ulama menempatkan
tasawuf sebagai sebagian dari ilmu-ilmu agama, meskipun sebagian ahli
menyebutkan bahwa tasawuf dalam bentuk tasawuf falsafi dipengaruhi oleh
agama dan aliran filsafat tertentu. Ibn Khaldun telah mengulas tasawuf sebagai
sebuah disiplin ilmu dalam kitab muqaddimahnya.

Maqam adalah tingkatan dari seseorang hamba di hadapan-Nya tidak lain


merupakan kualitas kejiwaan yang bersifat tetap. Maqam ini bertujuan untuk
melihat seberapa besar amal ibadah seorang manusia dihadapan Allah SWT.
Sehingga manusia tersebut dapat mencapai kesempurnaan dalam beribadah dan
beramal. Maqa terbagi menjadi tujuh, yaitu :

1. Maqam Tobat
2. Maqam Wara’
3. Maqam Zuhud
4. Maqam Fakir
5. Maqam Sabar
6. Maqam Ridha
7. Maqam Tawakal

Seseorang tidak dapat beranjak dari satu maqam ke maqam lain


sebelum ia memenuhi semua persyaratan yang ada pada maqam tersebut.
Sebagaimana digambarkan oleh Al-Qusyairia bahwa seorang yang belum

7
sepenuhnya qanaah tidak bias mencapai tawakal dan barang siapa yang belum
sepenuhnya tawakal tidak bisa sampai pada taslim. Barag siapa yang belum
sepenuhnya taubat tidak bisa sampai inabat dan barang siapa yang belum
sepenuhnya wara’ tidak bisa mencapai zuhud dan begitu seterusnya.

Dari aspek tujuan pelajar sufi (al-murid) harus terus meningkatkan


kualitas ibadahnya dan beranjak dri tingkatan rendah sampai tingkat tertinggi
(al-maqamat) sampai mencapai kemantapan tauhid (al-tauhid) dan makrifat
(al-ma’rifah). Dari aspek pembahasan tasawuf membicarakan empat pokok
persoalan, yakni:

1. Pembahasan tentang mujahadah (al-mujahadah) , zauq (al-dzawk),


introspeksi diri (muhasabah al-nafs), dan tingkatan-tingkatan spiritual
(al-maqamat).
2. Penyingkapan spiritual (al-kasyf), dan hakikat-hakikat (al-haqiqah)
alam gaib (alam al-gayb).
3. Keramat wali (al-qaramat).
4. Istilah-istilah kaum sufi yang diungkap pasca ‘mabuk’ spiritual (al-
syathahat).

Menurut Ibn Khaldun, kebanayakan fukaha menolah ajaran kaum sufi


tentang tasawuf. Penolakan fukaha (sunni) tidak serta merta ditujukan kepada
semua jenis tasawuf. Menurut al-Taftazani, dari abad ke tiga sampai abad
keempat hijriah aliran tasawuf terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Tasawuf Sunni
2. Tasawuf Falsafi

Diantara sufi yang masuk kedalam kelompok ini adalah Suhrawardi al-
Maqtul (w.1191),Ibn’Arabi (w.1240), dan Mulla Shadra (w.1640). Para fukaha
dari mazhab sunni menolak banyak teori tasawuf yang dikembangkan oleh
sufi-sufi dari mazhab tasawuf falsafi yang ternyata yang lebih diterima dan
berkembang di dunia Syiah.

8
D. Tujuan Tasawuf

Alquran menegaskan bahwa manusia diciptakan dala suatu tujuan


tertentu seperti syahadah, ibadah, khalifah, dan hasanah. Para sufi telah
merumuskan tujuan dari tasawuf. Sekedar dari pemetaan, Ibn Khaldun
menjelaskan bahwa puncak perjalanan spiritual para penempuh jalan tasawuf
setelah melewati beragam tingkatan spiritual (al-maqamat) adalah kemantapan
tauhid dan makrifat. Sebagaimana telah pernah diungkap, pernyataan kaum
sufi menegaskan bahwa tasawuf menghendaki pelajar sufi mampu
mendekatkan diri kepada Allah, dan memiliki akhlak mulia.

Pendapat kaum sufi tentang makna ketauhidan sebagai tujuan utama


dari mazhab tasawuf dapat dilihat dari pendapat mereka dari tingkatan (al-
maqam) tertinggi yang mungkin dicapai oleh seorang sufi. Mereka melahirkan
sejumlah teori mengenai al-maqam tertinggi tersebut sebagai dampak dari
perbedaan mazhab di antara mereka. Paling tidak, tasawuf dibagi menjadi dua
mazhab, yakni tasawuf akhlaki/amali (berkembang di dunia sunni) dan tasawuf
falsafi (berkembang di dunia syiah). Mayoritas sufi dari kalangan sunni
menegaskan bahwa al-maqam tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang sufi
hanyalah tingkatan rida (al-ridha). Sejumlah sufi dari aliran tasawuf falsafi
memiliki interpretasi berbeda dari mazhab tasawuf yang berhaluan sunni.

E. Kedudukan Tasawuf Dalam Syari`at Islam

Keteladan Rosulullah Saw yang telah mendapatkan penilaian super cum


laude dari Allah, adalah target yang ingin dicapai atau setidaknya didekati
oleh/dengan tasawuf keteladanan itu. Sufisme atau tasawuf atau mistisisme
Islam, adalah suatu situasi pengalaman spiritual yang pararel dengan aliran
utama kesadaran Islam yang diurunakan dari wahyu profetis dan yang
dipahami dalam syai1ah dan teologi. Dalam madzhab sufi mengatakan
mistisisme adalah metode tertentu dalam penghampiran kepada realitas dengan
memamfaatkan fakultas-fakultas spiritual intuitif dan emosional yang
umumnya tidak aktif dan terpendam.

9
Sufisme adalah bunga atau getah dari pohon Islam. Atau dapat pula
dikatakan bahwa sufisme adalah permata diatas mahkota Islam. Ketika kita
berbicara sufisme, maka sebenarnya kita sedang berbicara mengenai aspek
tradisi Islam yang paling dalam dan universal. Kenyataan bahwa pada saat ini
di Barat banyak sekali perhatian yang tertuju kepada metafisika dan
spiritualitas Timur. Apa lagi di era modern seperti saat ini kebutuhan terhadaf
tasaawuf sangat dibutuhkan, karena manusia modern sangat haus dan dahaga
akan kebutuhan-kebutuhan spiritual untuk memperoleh kepastian
((yakin). Oleh sebab itu, dalam tasawuf ditunjukan tahapa-tahapan menuju
kesempurnaan spiritual untuk mendapatkan kepastian itu berdasarkan kata-kata
Al-Quran, yaitu : sains atau ilmu mengenai kepastian, mata kepastian, dan
kebenaran mengenai kepastian.

Ketiga tingkatan ini merupkan tahapan-tahapan utama didalam proses


inisiasi, yaitu tahap pengetahuan mental, tahap penyaksian dan tahap realisasi
terhadap hal-hal suci di dalam diri. Kehidupan sosial manusia modern yang
semakin komplek menuntut adanya pencerahan spiritual, ketajaman mata batin
disamping kecerdasan rasio. Semakain manusia mampu menyadari pentingnya
pesan sufisme dengan segala kandungan spiritual dalam kehidupannya, maka ia
akan semakin cerdas secara spiritual. Manusia modern juga perlu
mengembalikan aktivitas perenungan kehidupannya. Setiap perenungan yang
dilakukan dan diinternalisasikan dalam diri manusia dapat memberikan
semacam petunjuk karena adanya proses evaluasi dan intropeksi di dalamnya.
Dengan berkontemplasi, manusia akan semakin tahu siapa dirinya, sehingga
dengan demikian juga niscaya mengetahui siapa Tuhannya. Dengan demikian,
tasawuf benar-benar merupakan kebutuhan spiritual bagi manusia modrn.
[6]  jadi kedudukan tasawuf dalam syari`at Islam

 Pertama, sebagai metode atau jalan untuk mendapatkan kelezatan dalam


beribadah, karena tasawuf dipandang sebagai salah satu metode untuk
mendapatkan hal tersebut, sehingga kelezatan ibadah tidak akan didapat
apabila orang-orang muslim tidak bertasawuf.

10
 Kedua, sebagai metode untuk mencapai derajat ihsan, karena tasawuf
mempunyai sumber dan landasan yang kokoh, kuat dari ajaran Islam.
 Ketiga, tasawuf sebagai sarana memperkuat mental, ketabahan dalam
beribadah.
 Keempat, tasawuf sebagai landasan dalam mengaplikasikan rasa syukur
baik syukur secara lisan, tingkah laku atau kemantapan hati dalam
melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah.
 Kelima, tasawuf sebagai ruang untuk menilai dan mempelajari serta
menelaah kelemahan diri didalam melaksanakan kewajiban atau perbuatan
baik dan kesukaran dalam menjauhi serta meninggalkan apa-apa yang
dilarang oleh Islam.
F. TASAWUF DI INDONESIA

Di Indonesia kita lebih banyak mengenal ajaran tasawuf lewat lembaga 


keagamaan  non-formal  yang  namanya “tarekat” asal kata thariqah. Di Jawa
Timur misalnya, kita  jumpai  Tarekat Qadiriyah  yang  cukup    dikenal,  
disamping   Tarekat Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Tijaniyah dan Sanusiyah. 
Dalam satu  dasawarsa  terakhir ini, kita melihat adanya langkah lebih  maju 
dalam  perkembangan  tarekat-tarekat   tersebut dengan  adanya  koordinasi
antara berbagai macam tarekat itu lewat  ikatan  yang  dikenal  dengan nama
Jam’iyah Ahl al-Thariqah al-Mu’tabarah.   Pada   tahun   lima  puluhan,
pemerintah  Mesir menempatkan  pembinaan   dan   koordinasi tarekat-terekat  
tersebut  di  bawah  Departemen  Bimbingan Nasional  (Wizarah  al-Irsyad   al-
Qaumi).   Pertimbangannya ialah, bagaima1napun keberadaan penganut-
penganut tarekat itu merupakan  bagian  dari  potensi  bangsa/umat,  yang 
berhak mendapatkan  perlindungan dalam rangka tertib kemasyarakatan suatu
negara.

Untuk lebih mengenal adanya tarekat itu,  ada  baiknya  kita


mempertanyakan   kapankah   munculnya   tarekat   (al-thuruq al-shufiyah) itu
dalam sejarah  perkembangan gerakan  tasawuf Dr.  Kamil  Musthafa al-Syibi
dalam tesisnya tentang gerakan tasawuf dan gerakan syi’ah mengungkapkan,
tokoh pertama yang memperkenalkan  sistem  thariqah  (tarekat)  itu Syekh

11
Abdul Qadir  al-Jailani  (w.  561 H/1166 M) di Baghdad. Ajaran tarekatnya 
menyebar  ke  seluruh  penjuru dunia Islam, yang mendapat  sambutan  luas  di 
Aljazair,  Ghinia  dan   Jawa. Sedangkan  di Mesir, tarekat yang banyak
pengikutnya Tarekat Rifa’iyyah yang dibangun Sayid Ahmad al-Rifa’i.  Dan 
tempat ketiga  diduduki tarekat ulama penyair kenamaan Parsi, Jalal al-Din al-
Rumi (w. 672 H/1273 M). Beliau membuat  tradisi baru  dengan 
menggunakan  alat-alat  musik  sebagai  sarana dzikir. Kemudian sistem ini
berkembang terus dan meluas.

Dalam  periode berikutnya muncul tarekat al-Syadziliyah yang


mendapat sambutan luas di Maroko dan Tunisia khususnya, dan dunia Islam
bagian Timur pada umumnya. Yang  juga  perlu  dicatat  di  sini ialah
munculnya Tarekat Sanusiyah yang  mempunyai  disiplin  tinggi  mirip 
disiplin militer.  Di  bawah  syeikhnya  yang  terakhir, Sayyid Ahmad al-Syarif 
al-Sanusi  berhasil  menggalang   satu   kekuatan perlawanan  rakyat  yang 
mampu memerangi kolonialis Italia, Perancis dan Inggris  secara  berturut-
turut,  dan  akhirnya membebaskan  wilayah  Libya.  Mungkin sifat keras dari
iklim yang  dibentuk  Tarekat  Sanusiyah  inilah yang mewarnai Mu’ammar 
al-Qadafi  mengambil  alih  kekuasaan dan berkuasa sampai saat ini sebagai
Kepala Negara tersebut.

G. TASAWUF DI DUNIA MODERN

tasawuf itu ke dalam dua sisi, yaitu : tasawuf sisi negatif dan positif3,
agar umat Islam tidak mengikuti gaya tasawuf para shufi yang dalam
pengertiannya harus meninggalkan kehidupan dunia. Menurut Hamka itu
semua tidak sesuai dengan harapan Islam yang harus seimbang antara dunia
dan akhirat. Dan itu tidak sesuai dengan perkembangan zaman yang menuntut
umat Islam berusaha sekuat tenaga dan pikirannya untuk dunia sejauh tidak
lebih mementingkan dunia di banding akhirat. Dari itulah timbul pemmikiran
Hamka yang sangat relevan dengan zaman modern ini. Untuk mendefinisikan
tasawuf dengan memperbaiki budi dan men-shifa’-kan (membersihkan) batin.
meninjau kata Al-Junaid yaitu “Tasawuf adalah keluar dari budi perangai jelek
dan masuk kepada budi perangai yang terpuji” 4. Dengan adanya tawaran

12
seperti itu maka jelaslah pemikiran Hamka cocok sekali dengan zaman modern
ini, karena beliau tidak menyuruh untuk meninggalkan kehidupan dunia.
Bahkan Hamka menyuruh untuk kembali kepada tasawuf yang di ajarkan
Rasulullah yaitu “memegang sikap hidup yang hati tidak berhasil di kuasai
oleh hidup keduniaan”.

H. Tasawuf dan etos kerja

Pada dasarnya tasawuf itu baik dan benar, tetapi persepsi orang
terhadapnya sering keliru. Ini disebabkan oleh mentalitas masyarakat
Indonesia yang sudah rusak akibat berbagai pengalaman sejarah yang
menyakitkan selama ini. Mentalitas masyarakat yang rusak menyebabkan
persepsi terhadap ajaran agama kadang-kadang keliru, seperti persepsi
terhadap ajaran tasawuf.

Karenanya, persepsi yang keliru itu harus dilacak pada sikap


kerusakan sikap mental masyarakat. Mentalitas masyarakat Indonesia mulai
rusak ketika mengalami penjajahan ratusan tahun. Penjajahan inilah yang
menyebabkan masyarakat menderita lahir batin. Seperti hidup miskin,
kecewa, frustasi, stress, pesimistis, serta merasa tidak ada masa depan. Ini
kemudian menjungkirbalikkan tatanan masyarakat serta merusak mentalitas
dan cara berpikir. Akibatnya nilai-nilai dari budaya dan agama sering
dipersepsikan secara keliru. Inilah yang telah dialami oleh tasawuf yang
sering dipersepsikan sebagai  faktor yang melemahkan etos kerja. Untuk
memperbaiki persepsi yang keliru itu, selain mentalitas masyarakat perlu
dibangun kembali, juga ada baiknya dilakukan reinterpretasi terhadap sikap-
sikap dan ajaran tasawuf.

Menurut ajaran Islam, bekerja itu wajib, setidaknya untuk memenuhi


kebutuhan diri sendiri, keluarga dan umat. Tasawuf pun sejalan dengan ajaran
dasar Islam, sehingga tasawuf tidak melemahkan etos kerja, tetapi malah
dapat memperkuat etos kerja.

13
1. Konsep etos kerja dalam tasawuf

Untuk meningkatkan semangat atau etos kerja dalam diri kita, para
ahli sufi telah mengajarkan kita melalui sikap yang mereka contohkan
dalam kehidupan mereka sesuai dengan ajaran dan konsep tasawuf. Di
antaranya, sikap optimisme, istiqamah, sabar, ikhlas, ridha, qana’ah,
takwa, takut, tawakal, taubat, zuhud, wara’, syukur, cinta, rindu, shidiq,
syaja’ah, takdir, malu, zikir, doa, tafakkur, uzlah, kemiskinan, dan
kematian.

14

Anda mungkin juga menyukai