Abstrak
Dalam perjalanan kehidupan kelompok orang-orang sufi, mereka lebih
mengkhususkan diri untuk beribadah secara sistematis di bawah bimbingan seorang
mursyid. Pola hidup kesalehan yang demikian merupakan awal pertumbuhan
tasawuf, berikutnya muncul metode pembinaannya dan perbincangan tentang masalah
konsep-konsep tasawuf. Tindak lanjut dari perbincangan ini, muncullah berbagai teori
tentang jenjang-jenjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi (al-maqomat) serta
ciri-ciri yang dimiliki seorang sufi pada tingkat tertentu (al-hal). Demikian juga pada
periode ini sudah mulai berkembang pembahasan tentang al-ma’rifat serta perangkat
metodenya sampai pada tingkat fana dan untuk ittihad. Sejak keduanya muncul
terjadi pergeseran paradigm dan muncul sikap pro kontra terhadap kedua konsep
tersebut.
Di Indonesia khususnya di Aceh muncul pemaduan antara tasawuf al-Ghazali
dengan al-Fansyuri, atau antara paham kesatuan wujud dengan transendentalisme.
Tasawuf berkembang di Indonesia dan terkelompok kepada tiga aliran induk, yaitu:
tasawuf akhlaki, tasawuf amali dan tasawuf falsafi, selanjutnya membentuk
lembaga pendidikan yang terformulasi dalam bentuk tarekat.
A. Pendahuluan
Istilah tasawuf dikenal secara luas di dunia Islam sejak penghujung
abad kedua hijrah1 sebagai perkembangan lebih lanjut dari kesalehan
asketis atau para zahid yang mengelompok di serambi masjid Madinah.
Dalam perjalanannya, kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk
beribadah dan mengembangkan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan
kenikmatan duniawi. Pola hidup kesalehan yang demikian merupakan awal
pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang dengan pesat. Fase ini
dapat disebut sebagai fase asketisme dan merupakan fase pertama
perkembangan tasawuf, yang ditandai dengan munculnya individu-
individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat sehingga perhatiannya
terpusat untuk beribadah dan mengabaikan keasyikan duniawi. Fase
asketisme ini setidaknya sampai pada abad kedua hijrah dan memasuki
*
Dosen Fakultas Tarbiyah dan Pendidikan UIN Suska Riau
1Al-Qusyairi, al-Tasawwuf al-Islami wa Tarikhihi, (Kairo: Jannati al-Ta'lif wa al-
Tarjamah wa al-Nasyr, 1956), p. 138.
abad ketiga hijriah sudah terlihat adanya peralihan konkrit dari asketisme
Islam ke sufisme. Fase ini dapat disebut sebagai fase kedua, yang ditandai
oleh antara lain peralihan sebutan zahid menjadi sufi.
Di sisi lain, pada kurun waktu ini percakapan para zahid sudah
sampai pada persoalan hakikat jiwa yang bersih, moral dan metode
pembinaannya serta perbincangan tentang masalah teoretis lainnya.
Tindak lanjut dari perbincangan ini, maka bermunculanlah berbagai teori
tentang jenjang-jenjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi (al-
maqomat) serta ciri-ciri yang dimiliki seorang sufi pada tingkat tertentu (al-
hal). Demikian juga pada periode ini sudah mulai berkembang
pembahasan tentang al-ma’rifat serta perangkat metodenya sampai pada
tingkat fana dan untuk ittihad. Bersamaan itu pula tampil para penulis
tasawuf seperti al- Muhasibi (w. 243 H.), al-Kharraj (w. 277 H.) dan al-
Junaid (w. 297 H.) dan penulis lainnya. Fase ini ditandai dengan muncul
dan berkembangnya ilmu tasawuf yang tadinya hanya berupa pengetahuan
praktis atau semacam langgam keberagaman menjadi metodik dan ilmiah.
Selama kurun waktu itu, tasawuf berkembang terus ke arah yang lebih
spesifik, seperti konsep intuisi, al-kasyf dan dzauq.2
Kepesatan perkembangan tasawuf sebagai salah satu kultur
keislaman, nampaknya memperoleh infuse atau motivasi dari tiga faktor,
infuse ini kemudian memberikan gambaran tentang tipe gerakan yang
muncul: Pertama adalah karena corak kehidupan yang profan dan hidup
kepelesiran yang diperagakan oleh umat Islam terutama para pembesar
negeri dan para hartawan. Dari aspek ini, dorongan yang paling deras
adalah sebagai reaksi terhadap sikap hidup yang sekular dan glamour dari
kelompok elit dinasti penguasa di istana. Protes tersamar itu mereka
lakukan dengan gaya murni etis, pendalaman kehidupan spiritual dengan
motivasi etika. Tokoh popular yang dapat mewakili aliran ini dapat
ditunjuk Hasan al-Bashri (w. 110 H.) yang mempunyai pengaruh kuat
dalam kesejarahan spiritual Islam, melalui doktrin al-zuhd dan khouf–al-roja,
Rabiah al-Adawiyah (w. 185 H.) dengan ajaran al-hubb atau mahabbah serta
Ma’ruf al-Kharki (w. 200 H.) dengan konsepsi al-syauq sebagai ajarannya.3
Nampaknya, pada awal munculnya, gerakan ini menjadi semacam gerakan
sektarian yang introversionis, pemisahan dari trend kehidupan eksklusif
dan tegas pendirian dalam upaya penyucian diri tanpa memperdulikan
alam sekitar.
2Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftzani, Madkhal Ila Tasawuf al-Islam, (Kairo: Dar al-
Saqafah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1979), pp. 80-82, Kitab karangan al-Muhasibi, al-Ri’ayah
li al-Huquq al-Insan; al-Kharraj, al-Thariq ila Allah; al-Junaid, Dawa’ al-Aiwah.
3 R.A. Nicholson, The Mistic of Islam, (Routledge and Kegan Paul, London, 1974),
p. 4.
4 Fazlur Rahman, Islam, terj. Senoaji Saleh, (Jakarta: Bina Aksara, 1979).
mungkin dicapai oleh manusia di dunia ini. Kondisi ini hanya dapat
dicapai sesudah mencintai (al-hubb) Allah dengan segenap ekspresinya.
Berdasarkan kualitas-kualitas yang demikian, maka gerakan ini dapat
dikatakan sebagai gerakan gnostisisme (ilmu ladunni, al-ma’rifat) atau
barangkali dapat disejajarkan dengan manipulationist dalam filsafat.
Kelompok ini kemudian mengklaim memiliki ilmu yang khusus dan tidak
dapat diberikan kepada sembarang orang. Untuk memiliki kualitas ilmu
yang seperti itu harus melalui proses inisiasi yang panjang dan bertingkat-
tingkat. Pada abad itu juga, tampil Dzu al-Nun al-Mishri (w.245 H.)
dengan konsep lain mengenai metodologi spiritual menuju Tuhan al-
maqomat yang secara paralel berjalan bersama teori al-hal yang bersifat
psiko-gnostik.
Sejak diterimanya secara luas doktrin al-maqomat dan al-hal,
perkembangan tasawuf telah sampai pada tingkat kejelasan perbedaan
dengan kesalehan asketis, baik dalam tujuan maupun dalam ajaran. Di sisi
lain, sejak periode ini kelihatannya untuk menjadi seorang sufi semakin
berat dan sulit, hampir sama halnya dengan kelahiran kembali seorang
manusia, bahkan jauh lebih berat dari kelahiran pertama. Karena kalau
kelahiran pertama justru menyongsong kehidupan duniawi yang
mengasyikkan, tetapi pada kelahiran kedua ini, justru melepas dan
membuang kehidupan materi yang menyenangkan, untuk kembali ke alam
rohaniyah, pengabdian dan kecintaan serta kesatuan dengan alam malakut.
Sementara itu, pada abad ketiga Abu Yazid al-Bisthomi (w. 260 H.) juga
melangkah lebih maju dengan doktrin al-ittihad melalui al-fana, yakni
beralihnya sifat kemanusiaan seseorang ke dalam sifat ke-Ilahi-an sehingga
terjadi penyatuan manusia dengan Tuhan.5
Sejak munculnya doktrin fana dan itihad, terjadilah pergeseran tujuan
akhir dari kehidupan spiritual. Kalau mulanya tasawuf bertujuan hanya
untuk mencintai dan selalu dekat dengan-Nya sehingga dapat
berkomunikasi langsung, maka tujuan itu telah menaik lagi pada tingkat
penyatuan diri dengan Tuhan. Konsep ini berangkat dari paradigma,
bahwa manusia secara biologis adalah jenis makhluk yang mampu
melaksanakan transformasi atau transendensi melalui mi’raj spiritual ke
alam ilahiyat. Berbarengan dengan itu, terjadi pula sikap pro dan kontra
terhadap konsepsi al-ittihad yang menjadi salah satu sebab terjadinya
konflik dalam dunia pemikiran Islam, baik intern sufisme maupun dengan
teologi dan fiqh. Dua kelompok terakhir menuduh sufisme sebagai
gerakan sempalan yang sesat.
5 Ibid., p. 186.
Apabila dilihat dari sisi tasawuf sebagai ilmu, maka fase ini
merupakan fase ketiga yang ditandai dengan mulainya unsur-unsur di luar
Islam berakulturasi dengan tasawuf. Ciri lain yang penting pada fase ini
adalah timbulnya ketegangan antara kaum ortodoks dengan kelompok sufi
berpaham ittihad di pihak lain. Akibat lanjut dari perbenturan pemikiran
itu, maka sekitar akhir abad ketiga hijriyah tampil al-Karraj (w. 277 H.)
bersama al-Junaid (w. 297 H.) menawarkan konsep-konsep tasawuf yang
kompromistis antara sufisme dan ortodoksi. Tujuan gerakan ini adalah
untuk menjembatani dan mengintegrasikan antara kesadaran mistik
dengan syari’at Islam. Jasa mereka yang paling bernilai adalah lahirnya
doktrin al-baqa atau subsistensi sebagai imbangan dan legalitas al-fana.
Hasil keseluruhan dari usaha pemaduan itu, doktrin sufi membuahkan
sejumlah besar pasangan-pasangan kategori dengan tujuan memadukan
kesadaran mistik dengan syari’at sebagai suatu lembaga.
Upaya tajdid itu mendapatkan sambutan luas dengan tampilnya
penulis-penulis tasawuf tipologi ini, seperti al-Sarraj dengan al-Luma, al
Kalabazi dengan al-Ta’arruf li Mazhab Ahl al- tasawuf dan al-Qusyairi
dengan al-Risalah.6 Sesudah masa ketiga tokoh sufi ini, muncul jenis
tasawuf yang berbeda, yaitu tasawuf yang merupakan perpaduan antara
sufisme dan filsafat sebagai hasil pikir Ibn Munzir (w. 381 H.) dengan
konsepsinya ma’rifat sejati, sebagai gabungan dari sufisme dan teori
emanasi. Gerakan ortodoksi sufisme mencapai puncaknya pada abad
kelima hijrah melalui tokoh monumental al-Ghazali (w. 503 H.), dengan
upayanya mengikis semua ajaran tasawuf yang menurutnya tidak Islami.
Sufisme hasil rekayasanya itu yang sudah merupakan corak baru,
mendapat tempat yang terhormat dalam kesejahteraan pemikiran umat
Islam.
Cara yang ditempuhnya untuk menyelesaikan pertikaian itu adalah
dengan penegasan bahwa ucapan eksatik berasal dari orang arif yang
sedang dalam kondisi sakr atau terkesima, mutlak itu menampakkan diri
dalam citra keterbatasan.7 Paham ini kembali menimbulkan suasana
ketegangan yang sebelumnya pernah meliputi kaum sufi, karena paham ini
dipahami sebagai panteisme yang tidak bisa disesuaikan dengan akidah
Islam. Agaknya karena itu pula sebagian ulama menuduhnya kafir. Sampai
pada segmen kesejahteraan sufi fase keempat ini telah memperlihatkan
adanya keterpengaruhan tasawuf dari unsur-unsur di luar Islam, setidaknya
di kawasan tertentu telah mulai mempergunakan terminilogi filsafat.
Namun, dari sudut pertumbuhan awalnya tetap bercorak Islam. Masalah
6 Ibid., p. 187.
7 Ibn Arabi, Futuhat al-Makkiyah, Vol 1, (Kairo: t.p., 1977), p. 90.
pp. 16-55.
11 R.A. Nicholson, Studies in Islamic Mysticim, (London: University Press, 1921), p.
vi.
12 Titus Burckhard, An Introduction to Sufi Doctrine, (Lahore: t.p., 1973), pp. 4-5.
13 Khan Sahib Khaja Khan, Studies in Tasawuf, (New Delhi: Darah-i Adabiyat-i,
p. 11.
15 Ibrahim Madkur, Fi al-Falsafat al-Islamiyah, (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1976), p. 66.
‘Arabiah, 1979), p. 1.
20Harun Nasution, Falsafat dan Misitis Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983),
pp. 56-57.
Tipe tasawuf ini kemudian disebut tasawuf Syi’i dan tipe pertama di
sebut tasawuf Sunni penggolongan ini didasarkan kepada sumber atau
landasan ajaran tasawuf itu. Apabila konsepnya dipandang telah
menyimpang dari prinsip-prinsip Islam,22 maka ia dikelompokkan kepada
tasawuf Syi’i. Sebaliknya, apabila ajaran tasawuf itu masih berada dalam
garis-garis Islam dikelompokkan ke dalam tasawuf Sunni, dan corak
terakhir yang mewarnai tasawuf yang berkembang di Indonesia.
Alternatif ketiga dalam upaya pembidangan tasawuf dapat ditempuh
melalui pendekatan geografis, yaitu melihat daerah asal munculnya tasawuf
itu. Berdasarkan pendekatan ini, tasawuf dapat dicirikan kepada aliran
Khurasan atau Persia yang didominasi konsep al-fana ajaran Abu Yazid al-
Busthami dan tasawuf aliran Mesopotamia atau Iraq yang bermula dari
ajaran al-Junaidi dan kemudian diperluas oleh al-Ghazali.23 Tetapi ternyata
Fazlur Rahman—cendekiawan Muslim kontemporer—menempatkan
tarekat sebagai aliran atau orde tasawuf 24 Kesimpulan Rahman itu dapat
diterima apabila tarekat diartikan sebagai metode, tetapi kalau tarekat
dimaksudkan sebagai lembaga, maka pendapat ini masih perlu di
pertanyakan atau diteliti lebih lanjut.
Dalam ilmu tasawuf, terminologi tarekat tidak hanya berarti sebagai
metode tertentu atau jalan yang dapat mengantarkan seseorang agar
berada sedekat mungkin dengan Tuhan, tetapi ia juga bermakna segenap
ajaran Islam adalah tarekat menuju perjumpaan dengan Tuhan. Dengan
kata lain, tarekat dalam terminologi tasawuf adalah gaya yang ditempuh
seorang sufi dalam memahami, menghayati dan mengamalkan seluruh
aspek ajaran Islam agar ia selalu berada dekat dengan Tuhan, keberadaan
ini akan mendatangkan kepuasan spiritual yang tidak terucapkan. Tarekat
sebagai lembaga atau pranata keagamaan adalah suatu sistem atau satu
jalinan yang integral dari berbagai unsur.
Unsur-unsur dimaksud tidak berbeda jauh dari apa yang terdapat
dalam sistem pendidikan formal: kecuali dalam hal kurikulum atau
silabusnya serta metode belajar-mengajar yang dianut dan seluruhnya
bersumber dari kiprah seorang guru tasawuf. Yang dimaksud dengan
22Adanya anggapan bahwa kesatuan wujud sudah menyimpang dari ajaran Islam,
umumnya berasal dari ulama Ahlusunnah dan kelompok tasawuf Sunni, yang hampir
dalam segala hal berbeda pendapat dengan kaum Syi’ah. Oleh karena itu, nampaknya
anggapan itu ada hubungannya dengan sikap anti Syiah itu, Sebab dalam kenyataannya
penganut paham kesatuan wujud adalah pengikut Syi’ah. Ini pulalah salah satu alasan
utama mengapa tasawuf yang berpaham kesatuan wujud disebut juga tasawuf Syi’i di
samping tasawuf filsafi yang identik dengan tasawuf yang sesat
23 J.S. Trimingham, The Sufi Orders in Islam, (London: Oxford University Press,
1971), p. 31.
24 Fazlur Rahman, Islam, p. 217.
D. Penutup
Apabila dibandingkan antara konsep-konsep tasawuf Sunni dengan
tasawuf Falsafi, ditemukan sejumlah persamaan yang prinsipil di samping
perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar. Kedua aliran sama-sama
mengakui ajarannya bersumber dari al-Quran dan Sunnah serta sama-sama
mengamalkan Islam secara konsisten. Memang semua sufi—yang benar-
benar sufi—dari aliran manapun, adalah orang-orang yang zahid dan ‘abid
serta mementingkan kesucian rohani dan moralitas. Demikian juga dalam
proses perjalanan menuju arah yang ingin dicapai, kedua aliran ini sama-
sama berjalan pada prinsip-prinsip al-maqomat dan al-ahwal. Perbedaan
yang jelas di antara kedua aliran ini nampaknya terletak pada tujuan
"antara" yakni maqom tertinggi yang dapat dicapai seorang sufi, sedangkan
pada aspek tujuan akhirnya, kedua aliran tersebut sama-sama ingin
memperoleh kebahagiaan yang bersifat spiritual. Yang dimaksud dengan
tujuan “antara”adalah terciptanya komunikasi langsung antara sufi dengan
Tuhan dalam posisi seakan-akan tidak ada jarak lagi antara keduanya.
Dalam memberi makna terhadap posisi “dekat tanpa jarak” inilah
terdapat perbedaan mendasar antara kedua aliran ini. Tasawuf Sunni
berpendapat bahwa antara makhluk dengan Khaliq tetap ada jarak yang
tidak terjembatani sehingga tidak mungkin tumbuh karena keduanya tidak
Daftar Pustaka
’Arabi, Ibn, Fusus al-Hikam, edisi syekh Abd Razaq al-Kasyani, Cairo:
Mustafa al-babi al-Halabi wa auladih, t.t.
_______, Futuhat al-Makkiyah, Vol 1, Kairo: t.p., 1977.
al-Gazali, Imam, Mukasyafah al-Qulub, Cairo: Abdul Hamid Ahmad Hanafi,
t.t.
al-Gazali, Muhammad, Khuluq al-Muslim, Kuwait: Dar al-Bayan, 1970.
al-Jilli, Abd al-Karim, Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakhir wa al-Awail,
Juz I, Beirut: Dar al-Fikr, 1975.
al-Qusyairi, al-Tasawwuf al-Islami wa Tarikhihi, Kairo: Jannati al-Ta'lif wa al-
Tarjamah wa al-Nasyr, 1956.
al-Taftazani, Abu al-Wafa’, Madkhal Ila Tasawuf al-Islam, Cairo: Dar al-
Saqafah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1979.
al-Tusi, Abu Nasr al-Sarraj, Al-luma’, Mesir: Dar al-Kutub al-Hadisah,
1960.
Arberry, A.J., Sufism, An Account of The Mystics of Islam, London: Unwin
Paper Backs, 1979.
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: Bulan
Bintang, 1977.
Atjeh, Aboebakar, Pengantar Sejarah Sufi & Tasawuf, Solo: Ramadhani,
1994.
Badi, Luthfi ‘Abd, Islam fi Isbaniya, Cairo: al-Nahdah al-Misriyah, 1996.
Burckhard, Titus, An Introduction to Sufi Doctrine, trans. By D.M. Matheson,
Lahore: SH. Muhammad Asharf, 1973.
Fazlur Rahman, Islam, terj. Senoaji Saleh, (Jakarta: Bina Aksara, 1979).
Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurnianya, Jakarta: Pustaka Panjimas,
1984.
Hasan, Hasan Ibrahim, Tarikh al- Islam, Juz I, Cairo: Maktab al-Nahdah al-
Misriah, 1979.
Hilal, Ibrahim, al-Tasawuf al-Islami Baina al-Falsafah, Cairo: Dar Nahdiah al-
‘Arabiah, 1979.