Anda di halaman 1dari 18

Melacak Corak Tasawuf di Indonesia

Oleh: Asmal May*

Abstrak
Dalam perjalanan kehidupan kelompok orang-orang sufi, mereka lebih
mengkhususkan diri untuk beribadah secara sistematis di bawah bimbingan seorang
mursyid. Pola hidup kesalehan yang demikian merupakan awal pertumbuhan
tasawuf, berikutnya muncul metode pembinaannya dan perbincangan tentang masalah
konsep-konsep tasawuf. Tindak lanjut dari perbincangan ini, muncullah berbagai teori
tentang jenjang-jenjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi (al-maqomat) serta
ciri-ciri yang dimiliki seorang sufi pada tingkat tertentu (al-hal). Demikian juga pada
periode ini sudah mulai berkembang pembahasan tentang al-ma’rifat serta perangkat
metodenya sampai pada tingkat fana dan untuk ittihad. Sejak keduanya muncul
terjadi pergeseran paradigm dan muncul sikap pro kontra terhadap kedua konsep
tersebut.
Di Indonesia khususnya di Aceh muncul pemaduan antara tasawuf al-Ghazali
dengan al-Fansyuri, atau antara paham kesatuan wujud dengan transendentalisme.
Tasawuf berkembang di Indonesia dan terkelompok kepada tiga aliran induk, yaitu:
tasawuf akhlaki, tasawuf amali dan tasawuf falsafi, selanjutnya membentuk
lembaga pendidikan yang terformulasi dalam bentuk tarekat.

Kata kunci: corak tasawuf, akhlaki, amali, falsafi, Indonesia.

A. Pendahuluan
Istilah tasawuf dikenal secara luas di dunia Islam sejak penghujung
abad kedua hijrah1 sebagai perkembangan lebih lanjut dari kesalehan
asketis atau para zahid yang mengelompok di serambi masjid Madinah.
Dalam perjalanannya, kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk
beribadah dan mengembangkan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan
kenikmatan duniawi. Pola hidup kesalehan yang demikian merupakan awal
pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang dengan pesat. Fase ini
dapat disebut sebagai fase asketisme dan merupakan fase pertama
perkembangan tasawuf, yang ditandai dengan munculnya individu-
individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat sehingga perhatiannya
terpusat untuk beribadah dan mengabaikan keasyikan duniawi. Fase
asketisme ini setidaknya sampai pada abad kedua hijrah dan memasuki

*
Dosen Fakultas Tarbiyah dan Pendidikan UIN Suska Riau
1Al-Qusyairi, al-Tasawwuf al-Islami wa Tarikhihi, (Kairo: Jannati al-Ta'lif wa al-
Tarjamah wa al-Nasyr, 1956), p. 138.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


640 Asmal May: Melacak Corak Tasawuf di Indonesia

abad ketiga hijriah sudah terlihat adanya peralihan konkrit dari asketisme
Islam ke sufisme. Fase ini dapat disebut sebagai fase kedua, yang ditandai
oleh antara lain peralihan sebutan zahid menjadi sufi.
Di sisi lain, pada kurun waktu ini percakapan para zahid sudah
sampai pada persoalan hakikat jiwa yang bersih, moral dan metode
pembinaannya serta perbincangan tentang masalah teoretis lainnya.
Tindak lanjut dari perbincangan ini, maka bermunculanlah berbagai teori
tentang jenjang-jenjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi (al-
maqomat) serta ciri-ciri yang dimiliki seorang sufi pada tingkat tertentu (al-
hal). Demikian juga pada periode ini sudah mulai berkembang
pembahasan tentang al-ma’rifat serta perangkat metodenya sampai pada
tingkat fana dan untuk ittihad. Bersamaan itu pula tampil para penulis
tasawuf seperti al- Muhasibi (w. 243 H.), al-Kharraj (w. 277 H.) dan al-
Junaid (w. 297 H.) dan penulis lainnya. Fase ini ditandai dengan muncul
dan berkembangnya ilmu tasawuf yang tadinya hanya berupa pengetahuan
praktis atau semacam langgam keberagaman menjadi metodik dan ilmiah.
Selama kurun waktu itu, tasawuf berkembang terus ke arah yang lebih
spesifik, seperti konsep intuisi, al-kasyf dan dzauq.2
Kepesatan perkembangan tasawuf sebagai salah satu kultur
keislaman, nampaknya memperoleh infuse atau motivasi dari tiga faktor,
infuse ini kemudian memberikan gambaran tentang tipe gerakan yang
muncul: Pertama adalah karena corak kehidupan yang profan dan hidup
kepelesiran yang diperagakan oleh umat Islam terutama para pembesar
negeri dan para hartawan. Dari aspek ini, dorongan yang paling deras
adalah sebagai reaksi terhadap sikap hidup yang sekular dan glamour dari
kelompok elit dinasti penguasa di istana. Protes tersamar itu mereka
lakukan dengan gaya murni etis, pendalaman kehidupan spiritual dengan
motivasi etika. Tokoh popular yang dapat mewakili aliran ini dapat
ditunjuk Hasan al-Bashri (w. 110 H.) yang mempunyai pengaruh kuat
dalam kesejarahan spiritual Islam, melalui doktrin al-zuhd dan khouf–al-roja,
Rabiah al-Adawiyah (w. 185 H.) dengan ajaran al-hubb atau mahabbah serta
Ma’ruf al-Kharki (w. 200 H.) dengan konsepsi al-syauq sebagai ajarannya.3
Nampaknya, pada awal munculnya, gerakan ini menjadi semacam gerakan
sektarian yang introversionis, pemisahan dari trend kehidupan eksklusif
dan tegas pendirian dalam upaya penyucian diri tanpa memperdulikan
alam sekitar.

2Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftzani, Madkhal Ila Tasawuf al-Islam, (Kairo: Dar al-

Saqafah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1979), pp. 80-82, Kitab karangan al-Muhasibi, al-Ri’ayah
li al-Huquq al-Insan; al-Kharraj, al-Thariq ila Allah; al-Junaid, Dawa’ al-Aiwah.
3 R.A. Nicholson, The Mistic of Islam, (Routledge and Kegan Paul, London, 1974),

p. 4.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


Asmal May: Melacak Corak Tasawuf di Indonesia 641

Kedua timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal kepada


radikalisme kaum Khawarij dan polarisasi politik yang ditimbulkannya.
Kekerasan pergulatan politik pada masa itu menyebabkan orang-orang
yang ingin mempertahankan kesalehan dan ketenangan rohaniah, terpaksa
mengambil sikap menjauhi kehidupan masyarakat ramai untuk menyepi
dan sekaligus menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam
pertentangan politik. Sikap yang demikian itu melahirkan ajaran ‘uzlah
yang dipelopori oleh Surri al-Saqathi (w.253 H).4 Apabila diukur dari
kriteria sosiologi, nampaknya kelompok ini dapat dikategorikan sebagai
gerakan “sempalan”, satu kelompok umat yang sengaja mengambil sikap
‘uzlah kolektif yang cenderung eksklusif dan kritis terhadap penguasa.
Dalam pandangan ini, kecenderungan memilih kehidupan rohaniah mistis,
sepertinya merupakan pelarian, atau mencari konpensasi untuk menang
dalam medan perjuangan duniawi. Ketika dunia yang penuh tipu daya ini
sudah kering dari siraman cinta sesama, mereka bangun dunia baru,
realitas baru yang bebas dari kekejaman dan keserakahan, dunia spiritual
yang penuh dengan salju cinta.
Ketiga adalah corak kondifikasi hukum Islam dan perumusan ilmu
kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etika yang menyebabkan
kehilangan moralitas menjadikannya semacam wahana tiada isi atau
semacam bentuk tanpa jiwa. Formalitas paham keagamaan dirasakan
semakin kering dan menyesakkan ruhuddin dan menyebabkan terputusnya
komunikasi langsung suasana keakraban personal antara hamba dan
penciptannya. Kondisi hukum dan teologi yang kering tanpa jiwa itu,
karena dominannya posisi moral dalam agama, para zuhhad tergugah untuk
mencurahkan perhatian terhadap moralitas sehingga memacu pergeseran
asketisme kesalehan kepada tasawuf.
Doktrin al-zuhd misalnya, yang tadinya sebagai dorongan untuk
meningkatkan ibadah semata-mata karena rasa takut kepada siksa neraka,
bergeser kepada demi kecintaan dan semata-mata karena Allah agar selalu
dapat berkomunikasi dengan-Nya. Konsep tawakkal yang tadinya
berkonotasi kesalehan yang etis, kemudian secara diametral dihadapkan
kepada pengingkaran kehidupan yang profanistik di satu pihak dan konsep
sentral tentang hubungan manusia dengan tuhan, yang kemudian popular
dengan doktrin al-hubb. Doktrin al-hubb adalah tingkat akhir sebelum
ma’rifat yang berati mengenal Allah s.w.t. secara langsung melalui
pandangan batin. Menurut sebagian sufi, ma’rifat Allah s.w.t. adalah tujuan
akhir dan sekaligus merupakan tingkat kebahagian paripurna yang

4 Fazlur Rahman, Islam, terj. Senoaji Saleh, (Jakarta: Bina Aksara, 1979).

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


642 Asmal May: Melacak Corak Tasawuf di Indonesia

mungkin dicapai oleh manusia di dunia ini. Kondisi ini hanya dapat
dicapai sesudah mencintai (al-hubb) Allah dengan segenap ekspresinya.
Berdasarkan kualitas-kualitas yang demikian, maka gerakan ini dapat
dikatakan sebagai gerakan gnostisisme (ilmu ladunni, al-ma’rifat) atau
barangkali dapat disejajarkan dengan manipulationist dalam filsafat.
Kelompok ini kemudian mengklaim memiliki ilmu yang khusus dan tidak
dapat diberikan kepada sembarang orang. Untuk memiliki kualitas ilmu
yang seperti itu harus melalui proses inisiasi yang panjang dan bertingkat-
tingkat. Pada abad itu juga, tampil Dzu al-Nun al-Mishri (w.245 H.)
dengan konsep lain mengenai metodologi spiritual menuju Tuhan al-
maqomat yang secara paralel berjalan bersama teori al-hal yang bersifat
psiko-gnostik.
Sejak diterimanya secara luas doktrin al-maqomat dan al-hal,
perkembangan tasawuf telah sampai pada tingkat kejelasan perbedaan
dengan kesalehan asketis, baik dalam tujuan maupun dalam ajaran. Di sisi
lain, sejak periode ini kelihatannya untuk menjadi seorang sufi semakin
berat dan sulit, hampir sama halnya dengan kelahiran kembali seorang
manusia, bahkan jauh lebih berat dari kelahiran pertama. Karena kalau
kelahiran pertama justru menyongsong kehidupan duniawi yang
mengasyikkan, tetapi pada kelahiran kedua ini, justru melepas dan
membuang kehidupan materi yang menyenangkan, untuk kembali ke alam
rohaniyah, pengabdian dan kecintaan serta kesatuan dengan alam malakut.
Sementara itu, pada abad ketiga Abu Yazid al-Bisthomi (w. 260 H.) juga
melangkah lebih maju dengan doktrin al-ittihad melalui al-fana, yakni
beralihnya sifat kemanusiaan seseorang ke dalam sifat ke-Ilahi-an sehingga
terjadi penyatuan manusia dengan Tuhan.5
Sejak munculnya doktrin fana dan itihad, terjadilah pergeseran tujuan
akhir dari kehidupan spiritual. Kalau mulanya tasawuf bertujuan hanya
untuk mencintai dan selalu dekat dengan-Nya sehingga dapat
berkomunikasi langsung, maka tujuan itu telah menaik lagi pada tingkat
penyatuan diri dengan Tuhan. Konsep ini berangkat dari paradigma,
bahwa manusia secara biologis adalah jenis makhluk yang mampu
melaksanakan transformasi atau transendensi melalui mi’raj spiritual ke
alam ilahiyat. Berbarengan dengan itu, terjadi pula sikap pro dan kontra
terhadap konsepsi al-ittihad yang menjadi salah satu sebab terjadinya
konflik dalam dunia pemikiran Islam, baik intern sufisme maupun dengan
teologi dan fiqh. Dua kelompok terakhir menuduh sufisme sebagai
gerakan sempalan yang sesat.

5 Ibid., p. 186.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


Asmal May: Melacak Corak Tasawuf di Indonesia 643

Apabila dilihat dari sisi tasawuf sebagai ilmu, maka fase ini
merupakan fase ketiga yang ditandai dengan mulainya unsur-unsur di luar
Islam berakulturasi dengan tasawuf. Ciri lain yang penting pada fase ini
adalah timbulnya ketegangan antara kaum ortodoks dengan kelompok sufi
berpaham ittihad di pihak lain. Akibat lanjut dari perbenturan pemikiran
itu, maka sekitar akhir abad ketiga hijriyah tampil al-Karraj (w. 277 H.)
bersama al-Junaid (w. 297 H.) menawarkan konsep-konsep tasawuf yang
kompromistis antara sufisme dan ortodoksi. Tujuan gerakan ini adalah
untuk menjembatani dan mengintegrasikan antara kesadaran mistik
dengan syari’at Islam. Jasa mereka yang paling bernilai adalah lahirnya
doktrin al-baqa atau subsistensi sebagai imbangan dan legalitas al-fana.
Hasil keseluruhan dari usaha pemaduan itu, doktrin sufi membuahkan
sejumlah besar pasangan-pasangan kategori dengan tujuan memadukan
kesadaran mistik dengan syari’at sebagai suatu lembaga.
Upaya tajdid itu mendapatkan sambutan luas dengan tampilnya
penulis-penulis tasawuf tipologi ini, seperti al-Sarraj dengan al-Luma, al
Kalabazi dengan al-Ta’arruf li Mazhab Ahl al- tasawuf dan al-Qusyairi
dengan al-Risalah.6 Sesudah masa ketiga tokoh sufi ini, muncul jenis
tasawuf yang berbeda, yaitu tasawuf yang merupakan perpaduan antara
sufisme dan filsafat sebagai hasil pikir Ibn Munzir (w. 381 H.) dengan
konsepsinya ma’rifat sejati, sebagai gabungan dari sufisme dan teori
emanasi. Gerakan ortodoksi sufisme mencapai puncaknya pada abad
kelima hijrah melalui tokoh monumental al-Ghazali (w. 503 H.), dengan
upayanya mengikis semua ajaran tasawuf yang menurutnya tidak Islami.
Sufisme hasil rekayasanya itu yang sudah merupakan corak baru,
mendapat tempat yang terhormat dalam kesejahteraan pemikiran umat
Islam.
Cara yang ditempuhnya untuk menyelesaikan pertikaian itu adalah
dengan penegasan bahwa ucapan eksatik berasal dari orang arif yang
sedang dalam kondisi sakr atau terkesima, mutlak itu menampakkan diri
dalam citra keterbatasan.7 Paham ini kembali menimbulkan suasana
ketegangan yang sebelumnya pernah meliputi kaum sufi, karena paham ini
dipahami sebagai panteisme yang tidak bisa disesuaikan dengan akidah
Islam. Agaknya karena itu pula sebagian ulama menuduhnya kafir. Sampai
pada segmen kesejahteraan sufi fase keempat ini telah memperlihatkan
adanya keterpengaruhan tasawuf dari unsur-unsur di luar Islam, setidaknya
di kawasan tertentu telah mulai mempergunakan terminilogi filsafat.
Namun, dari sudut pertumbuhan awalnya tetap bercorak Islam. Masalah

6 Ibid., p. 187.
7 Ibn Arabi, Futuhat al-Makkiyah, Vol 1, (Kairo: t.p., 1977), p. 90.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


644 Asmal May: Melacak Corak Tasawuf di Indonesia

ini penting diingat, karena banyak pendapat yang mengatakan tasawuf


merujuk kepada sumber-sumber yang bukan ajaran Islam. Pendapat ini
sebenarnya keliru.
Inti ajaran Ibn Arabi yang dikenal dengan sebutan wahdatul wujud
berkembang pula ke mana-mana pada abad ketujuh hijrah, ajaran ini
berkembang di Mesir melalui sufi penyair Ibn al-Faridh (w. 633 H.) dan
Ibn Saba’in (w. 699 H.) di Andalusia, serta meluas di Persia lewat syair-
syair Jalaludin Rumi (w. 672 H.) seperti dinyatakan oleh Ibn Arabi bahwa
doktrin wahdatul wujud tidak sama dengan inti ajaran ma’rifat. Menurut
ajaran ini, Tuhan sebagai esensi mutlak yang menurut al-Ghazali dapat
dikenal tidak mungkin dikenal oleh siapapun, walau oleh Nabi sekalipun.
Menurut Ibn Arabi, Tuhan sebagai dzat mutlak hanya bisa dikenal melalui
nama dan sifat-sifat-Nya yang mutlak itu. Unsur-unsur ajaran ini,
sebenarnya sudah ditemukan dalam konsep tasawuf Abu Yazid al-
Busthomi dan Hallaj, tetapi dalam bentuk yang sempurna ditemukan
pertama kali di dunia Islam dalam tulisan Ibn Arabi.
Dari uraian ringkas di atas terlihat bahwa lima ciri arau karakteristik
tasawuf yang dikemukakan terdahulu, ternyata tidak pernah tampil secara
utuh pada satu fase dan di semua kawasan. Barangkali, kemunculan
tasawuf yang hampir utuh dengan kelima cirinya itu hanyalah pada abad
ketiga hijriah, periode di mana tasawuf mengikat menjadi ilmu tentang
moralitas. Fase kejayaan dan kematangan tasawuf berlangsung sampai
abad ketujuh hijiriah, sebab sejak abad kedelapan nampaknya tasawuf
mulai mengalami kemunduran dan bahkan stagnasi karena sejak abad ini
tidak ada lagi konsep-konsep tasawuf yang baru. Yang tertinggal hanyalah
sekedar komentar-komentar dan resensi-resensi terhadap karya-karya
lama.
Di sisi lain, para pengikut tasawuf sudah lebih cenderung kepada
penekanan perhatian terhadap berbagai bentuk ritus dan formalisme yang
tidak terdapat dalam substansi ajaran. Kemandekan tasawuf sebagai ilmu
moralitas nampaknya seiring dengan situasi global yang menyelimuti dunia
pemikiran Islam pada masa itu. Perkembangan tasawuf selanjutnya sudah
berganti baju, yaitu dalam bentuk tarikat sufi, yang lebih menonjolkan
perkembangan pada aspek substansi ajarannya. Namun bagaimanapun,
tasawuf bukanlah ilmu yang statis dan penampilannya adalah dalam cara-
cara tertentu yang mencerminkan masanya. Dalam tulisan Abdul Karim
al-Jili (w. 832 H.) dalam bukunya al-Insan al-Kamil yang cukup popular di
Indonesia sekitar abad keenam belas masehi, ternyata ajarannya sudah
mengalami perubahan-perubahan tertentu, dan yang menjadi persoalan
dalam tulisan ini adalah corak tasawuf setelah berkembang di Indonesia?

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


Asmal May: Melacak Corak Tasawuf di Indonesia 645

B. Tasawuf Masuk ke Indonesia


Banyak sarjana yang mengungkapkan bahwa tersebarnya Islam di
Indonesia tidak terlepas dari pendekatan tasawuf. Sarjana yang dimaksud
adalah tokoh-tokoh yang meneliti perkembangan Islam berhubungan
dengan pendekatan tasawuf. Mereka antara lain: A. H. Johns. Dalam
teorinya, A. H. Johns mengakui bahwa Islam datang ke Indonesia kecil
sekali kemungkinannya dilakukan dengan pendekatan dagang. Ia
mengajukan teori bahwa para sufi pengembaralah yang telah berhasil
melakukan penyiaran Islam di kawasan ini. Para sufi ini berhasil
mengislamkan sejumlah besar penduduk Nusantara setidaknya sejak Abad
ke-13. Faktor utama keberhasilan itu adalah kemampuan sufi mengajukan
Islam dalam kemasan yang atraktif, khususnya dengan menekankan
kesesuaian dengan Islam atau kontinuitas, daripada perubahan dalam
kepercayaan dan praktik agama lokal.
Teori ini juga didasarkan pada referensi-referensi lokal yang
mengaitkan pengenalan Islam kekawasan ini dengan guru-guru
pengembara dengan karakteristik sufi yang kental, misalkan kesukarelaan
hidup dalam kemiskinan dan membawa tarekat yang mereka anut. Johns
berkesimpulan, sebelum para sufi menyebarkan Islam, maka Islam belum
dapat menancapkan akarnya yang kuat di Nusantara. Ia mencatat setelah
kelanjutan kekhalifahan Baghdad ke tangan Mongol pada 656/1258, kaum
sufi memerankan perananya dalam memelihara keutuhan dunia Muslim.
Pada masa inilah, tarekat sufi secara bertahap menjadi instuisi yang stabil
dan disiplin, dan mengembangkan apliasi dengan kelompok-kelompok
dagang dan kerajinan tangan (thawa’if), yang turut membentuk masyarakat
urban.
Tokoh lain yang melihat pentingnya pendekatan tasawuf dalam
penyebaran Islam di Nusantara adalah Uka Tjandrasasmita. Menurutnya,
sejak abad ke-13, penyebaran Islam di Indonesia melalui tasawuf termasuk
kategori yang berfungsi dan membentuk kehidupan sosial bangsa
Indonesia, karena sifat sfesifik tasawuf yang memudahkan penerimaan
masyarakat yang belum Islam kepada lingkunganya. H.A.R. Gibb
mengatakan bahwa penyebaran Islam yang spektakuler di negara-negara
Asia Tenggara adalah berkat sikap sufi yang dalam banyak hal cenderung
kompromis dengan adat istiadat dan tradisi kebudayaan setempat. Di
samping itu juga, dicatat bahwa faktor lain yang memudahkan tugas para
da’i sufi adalah bahwa orang-orang Indonesia sendiri memiliki
kecenderungan spiritualitas yang tinggi.
Aplikasi ini memungkinkan para guru dan murid sufi memperoleh
sarana pendukung untuk melakukan perjalanan dari pusat-pusat dunia

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


646 Asmal May: Melacak Corak Tasawuf di Indonesia

Muslim ke wilayah periferi, membawa ajaran Islam melintasi batas-batas


bahasa, dan mempercepat ekspansi Islam. Dengan latar belakang semacam
inilah, maka sumber-sumber lokal memberi informasi tentang kedatangan
berbagai syeikh, sayyid, makhdum, guru dan semacamnya dari Timur Tengah
atau tempat-tempat lain kewilayah-wilayah mereka.
Teori sufi di atas cukup beralasan, hal ini bisa dilihat, mengapa
pemikiran keislaman yang berkembang di Aceh pada Abad ke-17-18 lebih
berbau pemikiran tasawuf. Bahkan kebanyakan di seluruh Nusantara
sampai sekarang dipelajari kitab-kitab tasawuf. Di samping itu, acara-acara
tahlilan, syukuran, ratiban, marhaban, sakaten, dan yang lainnya banyak
dipraktikkan di beberapa wilayah di Indonesia. Acara-acara ini cenderung
mengikuti tradisi kesufian dan ketarekatan yang ditinggalkan oleh tokoh
sufi terdahulu.
Menurut Reynold A.Nicholson, kata mistik berasal dari agama
Yunani, yang kemudian merembes ke dalam kepustakaan Eropa; dan ke
dalam bahasa-bahasa Arab, Persia dan Turki, yang merupakan bahasa
utama dalam Islam disebut dengan istilah sufi. Istilah ini sedikit berbeda
makna, karena istilah sufi memiliki konotasi religius yang lebih khusus dan
biasa digunakan secara terbatas hanya untuk menyebut mistik bagi para
penganut ajaran Islam. Kata dalam bahasa Arab tersebut, meskipun ketika
memperkenalkan pertama kalinya harus berhadapan dengan istilah Yunani
yang untuk mengucapkanya, lidah terselubungi oleh misteri suci, mata
tertutup, dengan pandangan yang memukau, namun ternyata mengandung
makna yang lebih luhur dan memancarkan kebersahajaan.8
Secara umum, sufi adalah filsafah hidup dan cara tertentu dalam
tingkah laku manusia dalam upayanya merealisasikan kesempurnaan
moral, pemahaman tentang hakikat realitas dan kebahagiaan rohaniah.9
Meskipun tasawuf sudah begitu terkenal, namun bersamaan dengan itu,
pengertian pada kata ini masih kabur dalam makna yang beragam, ada
kalanya malah bertentangan. Ini disebabkan karena tasawuf atau
mistisisme telah menjadi milik bersama berbagai agama, filsafat dan
kebudayaan dalam berbagai kurun waktu.
Bertrand Russel menerangkan bahwa di antara para filosof pun ada
yang mampu memadukan kecenderungan mistis dan kecenderungan
intelektual. Menurutnya, perpaduan kedua kecenderungan itu merupakan
pendakian akal, sehingga orang yang melakukannya pun dipandang
sebagai filosof dalam pengertian yang sebenarnya. Para filosof
8 R.A. Nicholson, The Mistic of Islam, (London: Routledge and Kegan Paul, 1974),
hlm. 3.
9
Abu al-Wafa’ al-Taftazani, Madkhal Ila Tasawuf al-Islam, (Cairo: Dar al-Saqafah li
al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1979), p. 3.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


Asmal May: Melacak Corak Tasawuf di Indonesia 647

memerlukan ilmu pengetahuan dan mistisisme, sebab intuisi mistis adalah


semacam pemberian ilham dari berbagai problema besar yang terdapat
pada setiap manusia, sebagai contoh tokoh-tokohnya ia menyebut:
Heraclitus, Plato dan Paramenides.10
Tasawuf, seperti kata Reynold A.Nicholson, merupakan salah satu
unsur yang vital dalam Islam sehingga tanpa adanya pemahaman dari
gagasan dan bentuk-bentuk sufistik yang mereka kembangkan, sangat
susah ditelusuri kehidupan keagamaan Muhammad yang tampak di
permukaanya saja.11 Titus Burckhardt mengatakan bahwa tasawuf sebagai
sesuatu yang ditambah-tambahkan kepada Islam, karena yang demikian
akan bersifat sesuatu yang bersifat pinggiran (pheriferal) dengan
hubunganya dengan sarana-sarana rohani Islam.12
Khan Sahib Khaja Khan menegaskan, kalau Islam dipisahkan dari
aspek esoterismenya (tasawuf), maka ia hanya menjadi rangka formalitas
saja yang akhirnya akan menghilangkan keindahan Islam itu sendiri.13
Menurut Max Weber, citra umum tasawuf yang dimiliki Islam melahirkan
pertanyaan tentang hidup yang secara sufi berarti ”melepaskan diri dari
dunia”? Menurutnya, orang-orang sufi memang mempunyai orientasi ke
arah dunia lain, bukan dunia sekarang ini, inilah yang disebut asketisme
yang mendunia. Jawaban terhadap pertanyaan ini secara implisit dapat
diambil dari peryataan Nasr pada uraianya tentang kedudukan tasawuf
dalam Islam. Antara lain dia mengatakan bahwa tasawuf serupa dengan
nafas yang memberikan hidup. Tasawuf telah memberikan semangatnya
kepada struktur Islam, baik dalam perwujudan sosial maupun intelektual.14
Ibrahim Madkur dengan nada antusias mengungkapkan bahwa tasawuf
adalah hubungan perimbangan antara kecederungan duniawi dan ukhrawi.
Islam katanya, tidak melapangkan dada bagi kependetaan Masehi dan
kesederhanaan Hindu. Islam selalu mengajak berkarya demi meraih dunia
dan menikmati segala kenikmatan hidup yang memang diperbolehkan.15
Tasawuf, menurut Abu al-Wafa’ al-Taftanzani, tidak berarti suatu
tindak pelarian dari kenyataan hidup sebagaimana telah dituduhkan
kepada mereka yang anti, tetapi ia adalah yang akan mensenjatai diri
10 Bertrand Russell, Mysticism and Logic, (New York: The Modern Library, 1927),

pp. 16-55.
11 R.A. Nicholson, Studies in Islamic Mysticim, (London: University Press, 1921), p.

vi.
12 Titus Burckhard, An Introduction to Sufi Doctrine, (Lahore: t.p., 1973), pp. 4-5.
13 Khan Sahib Khaja Khan, Studies in Tasawuf, (New Delhi: Darah-i Adabiyat-i,

1978), pp. ix-x.


14 Sayyid Husein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991),

p. 11.
15 Ibrahim Madkur, Fi al-Falsafat al-Islamiyah, (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1976), p. 66.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


648 Asmal May: Melacak Corak Tasawuf di Indonesia

(manusia) dengan nilai-nilai rohaniah baru yang akan menegakkannya saat


menghadapi kehidupan untuk merealisasikan keseimbangan jiwa, sehingga
timbul kemampuanya dalam menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan
hidup.16
Dalam tasawuf, terdapat prinsip-prinsip positif yang mampu
mampu menumbuhkan perkembangan masa depan masyarakat. Antara
lain manusia dituntut selalu mawas diri demi meluruskan kesalahan-
kesalahan serta menyempurnakan keutamaan-keutamaanya. Bahkan
tasawuf mendorong wawasan hidup menjadi moderat. Ia juga membuat
manusia tidak terjerat hawa nafsunya ataupun lupa pada diri dan
Tuhannya, yang akan membuatnya terjerumus dalam penderitaan yang
amat berat. Dalam tasawuf, diajarkan bahwa kehidupan ini adalah sekedar
sarana, bukan tujuan; dan hendaklah seseorang sekedar mengambil apa
yang diperlukannya serta jangan terperangkap dalam perbudakan cinta
harta ataupun pangkat; dan hendaklah tidak menyombongkan diri pada
orang lain. Dengan semua itu, barulah manusia dapat sepenuhnya bebas
dari nafsu dan syahwatnya.17
Ibrahim Hilal mendefinisikan tasawuf sebagai memilih jalan hidup
secara zuhud, menjauhkan diri dari segala perhiasan hidup dalam segala
bentuknya. Tasawuf itu adalah bermacam-macam ibadah, wird dan lapar,
berjaga di waktu malam dengan memperbanyak sholat dan wirid, sehingga
lemahnya unsur jasmaniyah dalam diri seseorang dan semakin kuatnya
unsur rohaniyahnya. Tasawuf dengan kata lain, menundukkan rohani
dengan jalan yang disebutkan di atas sebagai usaha mencapai hakikat
kesempurnaan rohani dan mengenal zat Tuhan dengan segala
kesempurnaanya.18
Ibrahim Basyuni telah memilih 40 defenisi tasawuf yang diambil dari
rumusan-rumusan ahli sufi yang hidup pada abad III, yaitu antara tahun
200-334 H. Meskipun demikian, banyaknya defenisi tersebut belumlah
mendapat sebuah definisi yang mencakup pengertian tasawuf secara
menyeluruh. Hal ini, kata Basyuni, disebabkan karena para ahli tasawuf
tidak ada memberikan definisi tentang ilmunya sebagaimana para ahli
filsafat. Ahli tasawuf hanya mengambarkan tentang suatu keadaan yang
dialaminya dalam kehidupan rohaninya pada waktu tertentu.

16 Abu al-Wafa' Al-Taftazani, Madkhal, p. 7.


17 Ibid.
18 Ibrahim Hilal, Al-Tasawuf al-Islami Baina al-Falsafah, (Cairo: Dar Nahdiah al-

‘Arabiah, 1979), p. 1.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


Asmal May: Melacak Corak Tasawuf di Indonesia 649

C. Corak Tasawuf Indonesia


Tujuan mempelajari tasawuf pada dasarnya adalah mengajarkan cara
menyembah Tuhan dalam suatu kesadaran penuh dan merasa berada di
dekat-Nya sehingga dapat melihat-Nya atau bahwa Dia senantiasa
mengawasi manusia dan manusia senantiasa berdiri di hadapan-Nya.19
Tasawuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan mistisisme di luar Islam,
mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan
Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan.
Intisari dari mistisisme, termasuk di dalam sufisme, ialah kesadaran akan
adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dan Tuhan dengan
mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Tasawuf secara umum merupakan falsafah hidup, yaitu tingkah laku
manusia dalam upayanya merealisasikan kesempurnaan moral,
pemahaman tentang hakikat realitas dan kebahagiaan rohaniah. Meskipun
tasawuf sudah begitu terkenal namun bersamaan dengan hal itu pengertian
terhadap hal ini kabur dalam beragam makna yang kadang-kadang
bertentangan. Hal ini terjadi karena tasawuf telah menjadi semacam milik
bersama berbagai agama, filsafat, dan kebudayaan dalam berbagai kurun
waktu yang masa. Dalam kenyataanya, setiap sufi selalu berusaha
mengungkapkan pengalamanya dalam kerangka ideologi dan pemikiran
yang berkembang di tengah masyarakat. Dari sini, seorang sufi dapat
menarik kesimpulan bahwa pada dasarnya pengalaman para sufi adalah
sama. Perbedaan di antara mereka hanyalah karena ketidaksamaan
interpretasi atas pengalaman itu sendiri, karena pengaruh kebudayan pada
masa seorang sufi berafiliasi. Menurut berbagai pandangan, terdapat dua
bentuk tasawuf:
1. Bercorak religius. Tasawuf relegius adalah semacam gejala yang sama
dalam semua agama baik dalam agama langit dan agama bumi. Tasawuf
religius adakalanya terpadu dengan filsafat. Hal ini dapat dilihat pada
beberapa sufi Muslim atau banyak mistikus Kristen. Karena itu, pada
diri seorang terjadi perpaduan antara kencenderungan intelektual dan
kecenderungan mistis dan hal itu adalah suatu yang tidak asing.
2. Bercorak filosofis. Tasawuf sejak lama telah dikenal di Timur sebagai
warisan filsafat orang-orang Yunani. Di Eropa modern yang
mempunyai kecenderungan mistik ialah Bradley di Inggris dan
Bergeson di Perancis.
Bertrand Russel dalam bukunya Mistiscism and Logic, mengatakan
bahwa di antara para filosof ada yang mampu memadukan kecenderungan

19 Nurcholis Madjid, “Pasantern dan Tasawuf”, dalam Pasantren dan Pembangunan,


(Jakarta: LP3ES, 1985), p. 98.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


650 Asmal May: Melacak Corak Tasawuf di Indonesia

mistis dan intelektual. Menurutnya, pemaduan mistis dan intelektual


merupakan pendakian akal, sehingga orang yang mampu melakukannya
dipandang sebagai seorang filosof dalam pengertian sebenar-benarnya.
Para tokoh besar filosof sangat memerlukannya, baik itu ilmu
pengetahuan maupun mistisisme, sebab intuisi mistis adalah semacam
pemberi ilham bagi berbagai problem besar yang terdapat pada setiap
manusia.
Berbeda dengan ragam tasawuf yang berkembang di Indonesia.
Tasawuf oleh kaum Orientalis Barat disebut sufisme, dalam istilah
Orientalis khusus dipakai untuk mistisisme Islam. Tasawuf mempunyai
tujuan memperoleh hubungan langsung dengan Allah, sehingga seseorang
berada di hadirat Allah. Intisarinya merupakan kesadaran adanya
komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Allah. Kesadaran
berada dekat dengan Allah dapat mengambil bentuk ittihad yaitu bersatu
dengan Allah s.w.t.
Harun Nasution menggambarkan bahwa orang sufi adalah orang
yang rela mencurahkan jiwa raganya hanya untuk Allah.20 Ia
menambahkan bahwa aliran tasawuf dapat juga berakibat baik dan
berakibat sesat. Baik dan sesat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Aliran tasawuf adakalanya membawa orang jadi sesat, dan musyrik bila
seseorang bertasawuf tanpa bertauhid dan bersyariat. Tauhid
menimbulkan Iman. Syariat menimbulkan taat. Dengan tauhid dapat
mengetahui bahwa Allah itu ada. Dengan syariat dapat menuruti
peraturan-peraturan dalam ibadat. Tasawuf dapat merasa dan mengenal
Allah, untuk siapa dipersembahkan amal ibadat ini.
2. Aliran tasawuf dapat juga membawa orang jadi fanatik buta. Dia
menganggap bahwa wali-wali itu lebih mulia dari Rasulullah. Orang-
orang miring otaknya disangka wali. Seorang sufi, bila memulai
menyatukan ingat (tawajjuh) dalam berzikir atau beribadah, lebih dahulu
menghubungkan diri dengan guru tarekatnya. Hal ini sangat
bertentangan dangan ajaran Islam, sebab menyembah Allah tidak boleh
berperentara.
3. Aliran tasawuf juga merupakan dasar pokok kekuatan batin, pembersih
jiwa, memupuk iman, penyubur amal shaleh semata-mata mencari
keridhaan Allah, memperkuat daya juang dalam latihan jiwa dan kunci
untuk mengenal Allah.
4. Aliran tasawuf dapat juga membina tata hidup dan penghidupan atas
dasar-dasar tauhid, maka Islam dapat lebih mampu membangun

20Harun Nasution, Falsafat dan Misitis Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983),
pp. 56-57.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


Asmal May: Melacak Corak Tasawuf di Indonesia 651

kemajuan dunia untuk kebahagian umat manusia di dunia dan di


akhirat.
Jika dilihat lebih dalam, tasawuf mempunyai segi-segi perbedaan
yang sangat mendasar perkembangannya di Indonesia. Oleh sebab itu,
untuk mendekati makna itu, tasawuf diharapkan dapat menjelaskan secara
utuh dan menyeluruh. Misteri tasawuf di Indonesia memang tidak jauh
berbeda. Karena sama-sama berasal dari Islam. Namun demikian, berbeda
jika dibandingkan dengan tasawuf di luar Indonesia. Dalam arti luas,
tasawuf sebagai kesadaran terhadap kenyataan tunggal yang disebut
kearifan, cahaya, cinta atau nihil.21
Demikian pula dengan konsep-konsep tasawuf di Indonesia
khususnya di Aceh abad ketujuh belas masehi sebagaimana terlihat dalam
tasawuf al-Raniri, adalah pemaduan antara tasawuf al-Ghazali dengan al-
Fansyuri, atau antara paham wahdatul wujud dengan transendentalisme. Hal
ini berarti, tasawuf selalu dalam kesejahteraannya, karena memang ia
bersifat dinamik, bukan statis. Akan tetapi satu hal perlu diingat, bahwa
tidak setiap orang yang mengerti tasawuf dapat disebut sufi, karena
seseorang tidak mungkin dapat disebut sufi, kalau ia tidak benar-benar
memahami dan merasakan apa yang dilihat dan dirasakan oleh seorang
sufi dalam mi’raj spritualnya. Menjadi seorang sufi berati menjadikan
ajaran itu sebagai penggerak hidupnya, it is to become and not to learn second
hand. Manusia sempurna adalah idola sufi, manusia yang telah dapat
melepaskan ke-aku-annya sehingga ia adalah cermin yang merefleksi
setiap aspek Realitas Absolut.
Berdasarkan penjelasan di atas, tasawuf berkembang di Indonesia
terkelompok kepada tiga aliran induk, yaitu: tasawuf akhlaki yang lebih
berorientasi etis, tasawuf amali yang lebih mengutamakan intensitas dan
ekstensitas ibadah agar diperoleh penghayatan spiritual dalam beribadah,
dan tasawuf falsafi yang bermakna mistik metafisik. Apabila tasawuf
diartikan sebagai upaya agar berada sedekat mungkin dengan Tuhan, maka
tasawuf dapat dibedakan berdasarkan “kedekatan” atau ”jarak” antara
manusia dengan Tuhan, maka muncullah apa yang disebut tasawuf
transendentalisme, dan tasawuf union mistisisme. Aliran pertama masih
memberikan garis pemisah atau pembeda antara manusia dan Tuhan,
sedangkan aliran kedua berpendapat bahwa garis pemisah itu dapat
dihilangkan sehingga manusia dapat mengenal dengan Tuhan karena ada
kesamaan esensi antara keduanya.

21 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus,


1986), pp. 1-2.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


652 Asmal May: Melacak Corak Tasawuf di Indonesia

Tipe tasawuf ini kemudian disebut tasawuf Syi’i dan tipe pertama di
sebut tasawuf Sunni penggolongan ini didasarkan kepada sumber atau
landasan ajaran tasawuf itu. Apabila konsepnya dipandang telah
menyimpang dari prinsip-prinsip Islam,22 maka ia dikelompokkan kepada
tasawuf Syi’i. Sebaliknya, apabila ajaran tasawuf itu masih berada dalam
garis-garis Islam dikelompokkan ke dalam tasawuf Sunni, dan corak
terakhir yang mewarnai tasawuf yang berkembang di Indonesia.
Alternatif ketiga dalam upaya pembidangan tasawuf dapat ditempuh
melalui pendekatan geografis, yaitu melihat daerah asal munculnya tasawuf
itu. Berdasarkan pendekatan ini, tasawuf dapat dicirikan kepada aliran
Khurasan atau Persia yang didominasi konsep al-fana ajaran Abu Yazid al-
Busthami dan tasawuf aliran Mesopotamia atau Iraq yang bermula dari
ajaran al-Junaidi dan kemudian diperluas oleh al-Ghazali.23 Tetapi ternyata
Fazlur Rahman—cendekiawan Muslim kontemporer—menempatkan
tarekat sebagai aliran atau orde tasawuf 24 Kesimpulan Rahman itu dapat
diterima apabila tarekat diartikan sebagai metode, tetapi kalau tarekat
dimaksudkan sebagai lembaga, maka pendapat ini masih perlu di
pertanyakan atau diteliti lebih lanjut.
Dalam ilmu tasawuf, terminologi tarekat tidak hanya berarti sebagai
metode tertentu atau jalan yang dapat mengantarkan seseorang agar
berada sedekat mungkin dengan Tuhan, tetapi ia juga bermakna segenap
ajaran Islam adalah tarekat menuju perjumpaan dengan Tuhan. Dengan
kata lain, tarekat dalam terminologi tasawuf adalah gaya yang ditempuh
seorang sufi dalam memahami, menghayati dan mengamalkan seluruh
aspek ajaran Islam agar ia selalu berada dekat dengan Tuhan, keberadaan
ini akan mendatangkan kepuasan spiritual yang tidak terucapkan. Tarekat
sebagai lembaga atau pranata keagamaan adalah suatu sistem atau satu
jalinan yang integral dari berbagai unsur.
Unsur-unsur dimaksud tidak berbeda jauh dari apa yang terdapat
dalam sistem pendidikan formal: kecuali dalam hal kurikulum atau
silabusnya serta metode belajar-mengajar yang dianut dan seluruhnya
bersumber dari kiprah seorang guru tasawuf. Yang dimaksud dengan
22Adanya anggapan bahwa kesatuan wujud sudah menyimpang dari ajaran Islam,

umumnya berasal dari ulama Ahlusunnah dan kelompok tasawuf Sunni, yang hampir
dalam segala hal berbeda pendapat dengan kaum Syi’ah. Oleh karena itu, nampaknya
anggapan itu ada hubungannya dengan sikap anti Syiah itu, Sebab dalam kenyataannya
penganut paham kesatuan wujud adalah pengikut Syi’ah. Ini pulalah salah satu alasan
utama mengapa tasawuf yang berpaham kesatuan wujud disebut juga tasawuf Syi’i di
samping tasawuf filsafi yang identik dengan tasawuf yang sesat
23 J.S. Trimingham, The Sufi Orders in Islam, (London: Oxford University Press,

1971), p. 31.
24 Fazlur Rahman, Islam, p. 217.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


Asmal May: Melacak Corak Tasawuf di Indonesia 653

kiprah adalah kristalisasi dari pemahaman, penghayatan, pengamalan, dan


pengalaman seorang guru tasawuf dalam mengajarkan tasawuf kepada
peserta didiknya. Kiprah seorang syeikh sufi merupakan trade merk bagi
suatu tarekat dan hak patennya mutlak milik guru tasawuf itu.
Dengan demikian, maka unsur kiprah syeikh sufi sangat dominan
dalam kelembagaan tarekat sehingga penamaannya didasarkan pada nama
penemu sistem itu dan ia disebut syeikh tarekat. Tumbuhnya berbagai
nama tarekat di berbagai kawasan adalah akibat logis dari tingginya
otoritas syekh dalam lembaga tarekat. Sebab setiap alumnus yang
memperoleh sertifikat guru yang disebut khalifah membuka padepokan di
daerah yang berbeda dengan nama yang berbeda pula (sesuai dengan nama
pendirinya). Dalam kenyataan, dapat dilihat betapa banyaknya nama-nama
tarekat yang pada mulanya hanya ada dua induk, yaitu dari Mesopotamia
dan Khurasan.25 Berdasarkan kode etik keilmuan dan penyajian yang lebih
bersifat akademik, maka penulis membedakan tasawuf kepada dua aliran,
yaitu tasawuf Sunni dan tasawuf Falsafi, karena tulisan ini tidak bermaksud
mengadakan penilaian secara normatif terhadap konsep-konsep tasawuf
yang ada.

D. Penutup
Apabila dibandingkan antara konsep-konsep tasawuf Sunni dengan
tasawuf Falsafi, ditemukan sejumlah persamaan yang prinsipil di samping
perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar. Kedua aliran sama-sama
mengakui ajarannya bersumber dari al-Quran dan Sunnah serta sama-sama
mengamalkan Islam secara konsisten. Memang semua sufi—yang benar-
benar sufi—dari aliran manapun, adalah orang-orang yang zahid dan ‘abid
serta mementingkan kesucian rohani dan moralitas. Demikian juga dalam
proses perjalanan menuju arah yang ingin dicapai, kedua aliran ini sama-
sama berjalan pada prinsip-prinsip al-maqomat dan al-ahwal. Perbedaan
yang jelas di antara kedua aliran ini nampaknya terletak pada tujuan
"antara" yakni maqom tertinggi yang dapat dicapai seorang sufi, sedangkan
pada aspek tujuan akhirnya, kedua aliran tersebut sama-sama ingin
memperoleh kebahagiaan yang bersifat spiritual. Yang dimaksud dengan
tujuan “antara”adalah terciptanya komunikasi langsung antara sufi dengan
Tuhan dalam posisi seakan-akan tidak ada jarak lagi antara keduanya.
Dalam memberi makna terhadap posisi “dekat tanpa jarak” inilah
terdapat perbedaan mendasar antara kedua aliran ini. Tasawuf Sunni
berpendapat bahwa antara makhluk dengan Khaliq tetap ada jarak yang
tidak terjembatani sehingga tidak mungkin tumbuh karena keduanya tidak

25 J.S. Trimingham, The Sufi, pp. 32-33.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


654 Asmal May: Melacak Corak Tasawuf di Indonesia

seesensi. Lain halnya dengan tasawuf Falsafi, dengan tegas mengatakan


manusia seesensi dengan Tuhan karena manusia tercipta dari esensi-Nya.
Oleh karenanya, keduanya dapat berpadu apabila kondisi untuk itu telah
tercipta.
Untuk lebih memperjelas pengertian tentang tasawuf sebagai ilmu
kerohanian maupun sebagai mistisisme dalam Islam nampaknya masih
perlu dilihat dari tipe-tipenya atau mazhab-mazhab tasawuf. Apabila
merujuk pada literatur tasawuf yang berasal dari Timur Tengah, ternyata
masih ditemui keragaman pola yang ditempuh untuk menentukan aliran-
aliran tasawuf, karena terjadinya keragaman itu bermula dari perbedaan
dasar pengklasifikasiannya. Salah satu cara yang telah dilakukan adalah
berdasarkan objek, dan sasaran dari tasawuf itu.
Nampaknya, terjadinya perbedaan itu bersumber dari perbedaan
kecenderungan dan minat terhadap pemikiran-pemikiran spekulatif
filsafat. Tasawuf Sunni kurang memperhatikan ide-ide spekulatif karena
mereka sudah merasa puas dengan argumentasi yang bersifat naqli
agamawi. Barangkali karena sikap ortodoksi dan kesederhanaan berpikir
kelompok ini, kehadirannya dapat diterima oleh umumnya ulama Ahlus
Sunnah, hal ini menjadi salah satu sebab penamaan aliran ini dengan
tasawuf Sunni. Apabila dilihat dari aspek materi kajian dan proses
pencapaian sasaran antara, tasawuf Sunni dapat dibedakan kepada tasawuf
akhlaki, tasawuf amali, dan tasawuf falsafi ketiga corak inilah yang
berkembang di Indonesia.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


Asmal May: Melacak Corak Tasawuf di Indonesia 655

Daftar Pustaka

’Arabi, Ibn, Fusus al-Hikam, edisi syekh Abd Razaq al-Kasyani, Cairo:
Mustafa al-babi al-Halabi wa auladih, t.t.
_______, Futuhat al-Makkiyah, Vol 1, Kairo: t.p., 1977.
al-Gazali, Imam, Mukasyafah al-Qulub, Cairo: Abdul Hamid Ahmad Hanafi,
t.t.
al-Gazali, Muhammad, Khuluq al-Muslim, Kuwait: Dar al-Bayan, 1970.
al-Jilli, Abd al-Karim, Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakhir wa al-Awail,
Juz I, Beirut: Dar al-Fikr, 1975.
al-Qusyairi, al-Tasawwuf al-Islami wa Tarikhihi, Kairo: Jannati al-Ta'lif wa al-
Tarjamah wa al-Nasyr, 1956.
al-Taftazani, Abu al-Wafa’, Madkhal Ila Tasawuf al-Islam, Cairo: Dar al-
Saqafah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1979.
al-Tusi, Abu Nasr al-Sarraj, Al-luma’, Mesir: Dar al-Kutub al-Hadisah,
1960.
Arberry, A.J., Sufism, An Account of The Mystics of Islam, London: Unwin
Paper Backs, 1979.
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: Bulan
Bintang, 1977.
Atjeh, Aboebakar, Pengantar Sejarah Sufi & Tasawuf, Solo: Ramadhani,
1994.
Badi, Luthfi ‘Abd, Islam fi Isbaniya, Cairo: al-Nahdah al-Misriyah, 1996.
Burckhard, Titus, An Introduction to Sufi Doctrine, trans. By D.M. Matheson,
Lahore: SH. Muhammad Asharf, 1973.
Fazlur Rahman, Islam, terj. Senoaji Saleh, (Jakarta: Bina Aksara, 1979).
Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurnianya, Jakarta: Pustaka Panjimas,
1984.
Hasan, Hasan Ibrahim, Tarikh al- Islam, Juz I, Cairo: Maktab al-Nahdah al-
Misriah, 1979.
Hilal, Ibrahim, al-Tasawuf al-Islami Baina al-Falsafah, Cairo: Dar Nahdiah al-
‘Arabiah, 1979.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


656 Asmal May: Melacak Corak Tasawuf di Indonesia

James Hastings, ED.,”Mysticism” dalam encylopaedia of relegion and ethics, vol.


IX, New York: Charles Scribner’s, t.t.
James, William, TheVarieties of Religious Experience, New York: The New
American Library, 1958.
Khaja Khan, Khan Sahib, Studies in Tasawuf, New Delhi: Darah-i Adabiyat-
i, 1978.
Lewis, B., et.al (Eds.), The Encyclopedia of Islam, vol. III, Leiden: E.J. Brill,
1971.
Madjid, Nurcholis, “Pasantren dan Tasawuf”, Pesantren dan Pembangunan,
Jakarta: LP3ES, 1985.
Madkur, Ibrahim, Fi al-Falsafat al-Islamiyah, I, Cairo: Dar al-Ma’arif, 1976.
Nasr, Sayyid Husein, Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj. Abdul Hadi WM.,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Nasution, Harun, Falsafat & Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1973.
Nicholson, R.A., Studies in Islamic Mysticism, London: University Press,
1921.
_______, The Mistic of Islam, London: Routledge and Kegan Paul, 1974.
Russell, Bertrand, Mysticism and Logic, New York: the Modern Library,
1927.
Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj. Sapardi Djoko
Damono, et.al., Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Solihin, KamusTasawuf, Pengantar: Ahmad Tafsir, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2002.
Syarif, Muhammad Jalal, al-Tasawuf al-Islami Wamadarisuhu, Iskandariah:
Dar Matba’ah Al- Jamiah, 1974.
Trimingham, J.S., The Sufi Orders in Islam, London: Oxford University
Press, 1971.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

Anda mungkin juga menyukai