ABSTRAK
Tarekat secara etimologis bermakna antara lain jalan, cara, metode, haluan, tiang teduhan.
Sedangkan menurut istilah tasawuf berarti perjalanan seorang salik (pengikut tarekat) menuju
Tuhan dengan cara menyucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang
untuk dapat mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan. Dalam kitab Jami’ al-Ushul
fi al-Awliya’ tarekat bermakna laku tertentu bagi orang-orang yang menempuh jalan kepada
Allah, berupa memutus atau meninggalkan tempat-tempat hunian dan naik ke maqom atau
tempat-tempat mulia. Menurut al-Jurjany dalam al-Ta’rifat tarekat adalah metode khusus
yang dipakai oleh salik menuju Allah melalui tahapan-tahapan atau maqamat.Istilah tarekat
terkadang kemudian digunakan untuk menyebut suatu pembimbingan pribadi dan perilaku
yang dilakukan oleh seorang mursyid kepada muridnya. Pengertian terakhir inilah yang lebih
banyak banyak difahami oleh banyak kalangan ketika mendengar kata tarekat. Dengan
demikian tarekat memiliki dua pengertian. Pertama, ia berarti metode pemberian bimbingan
spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan dengan
Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi yang ditandai dengan adanya
lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.
PENDAHULUAN
Secara bahasa kata tarekat sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu طريقةyang merupakan
bentuk mashdar (kata benda) dari kata طريقة- يطرق- طرقyang memiliki arti ( )لكيفية
)السلوبmetode,sistem) ( )املذهبmadzhab, aliran, haluan), dan ()احللة
jalan, cara), (
keadaan). Sedangkan Abu Bakar Aceh mendefinisikan tarekat sebagai bentuk jalan atau
petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah yang seperti telah dicontohkan oleh nabi dan telah
dikerjakan oleh para sahabat hingga turun menurun sampai guru-guru tarekat yang telah
memberikan pentunjuk amalan tersebut (Rahmawati, 2014). Mengutip kitab Maraqi al-
‘Ubudiyah dikatakan bahwa tarekat bermakna melaksanakan kewajiban dan kesunnahan,
meninggalkan larangan, menghindari perbuatan mubah yang tidak bermanfaat, sangat
berhati-hati dalam menjaga diri dari syubhat, apalagi dari keharaman, sebagaimana orang
yang wara’I, dan menjalani riyadlah, misalnya beribadah sunat pada malam hari, berpuasa
sunat, dan tidak mengucapkan kata-kata yang tanpa guna. (dalam buku, Permasalahan
Thariqah Hasil Kesepakatan Muktamar dan Musyawarah Besar Jam’iyyah Ahlith Thariqah
Al-Mu’tabarah Nahdlatul Ulama 1957-2005, suntingan KH. A. Aziz Masyhuri).
PEMBAHASAN
I. PERKEMBANGAN TAREKAT
Kembali ke sejarah, Tarekat dimulai pada abad ke-3 dan ke-4, seperti Tarekat
Malamtiyah didirikan oleh Ahmadun Al Qahar atau Tarifiyah, mengacu pada Abu
Yazid Al Bustomi tetapi tarekatnya masih dalam bentuk yang sangat sederhana,
belum ada Tarekat seperti yang kita kenal sekarang adalah tarekat, tetapi mursyid
ada di mana-mana. Kembali Pada abad ke-1 Hijriah sudah ada diskusi teologis ini
diikuti oleh formalisasi hukum Syariah. Kemudian pada abad ke-2 Sufi mulai
Muncul. Selama abad ini, tasawuf terus berkembang sedemikian rupa sehingga
dipengaruhi oleh pengaruh luar dalam pendahuluan Filsafat, apakah Yunani atau
asalnya di Persia dan India. abad kemudianPada Hijriah Kedua muncul tasawuf
dengan amalan-amalan tertentu sebagai bentuk metodenyaUntuk menyucikan
jiwa dan mendekatkan diri kepada Tuhan, para sufi membedakannya antara
konsep syraiah, tarekat, haqiqat dan ma'rifat. Pada akhir abad ke-5 atau bisa
disebut awal abad ke-6, muncullah tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syakh
Abdul Qadir Al Jilani yang menjadi cikal bakal tarekat mu tabaroh. Pada abad ini
lambang tarekat adalah garis keturunan yang selalu dikaitkan dengan pendiri
tarekat. Kemudian muncul tarekat Rifa'iyah. Dari situ, tarekat mulai berkembang
pesat melalui para santrinya. Namun pada abad ke-6 dan ke-7, tarekat
berkembang dan berkembang pesat hingga menyebar ke negara lain (Anieg &
Kendal, 2021). Inilah akar sejarah terbentuknya tarekat selama ini, yang akan
dijelaskan lebih detail nanti:
Maka atas dasar tersebut dapat diambil ada dua tingkatan atau derajat yaitu :
2
juga hubungan apa yang dia miliki dengan kita. ) dan rumus syariah. Tasawuf
pada masa ini lebih berorientasi pada moralitas yaitu taswuf yang lebih
ditujukan pada pendidikan moral dan psikologis.
Beratnya derajat Su’ul Khatimah adalah ketika munculnya keraguan atau
bahkan penyangkalan (kekafiran), yang mendominasi pikiran seseorang pada
saat kematian. Ketika hati seseorang dipenuhi dengan ketidakpercayaan atau
keraguan, Ketika nyawa seorang insan dicabut. Maksud dari hal tersebut
adalah Ketika nyawa mulai dicabut dari jasad yang fana ini dalam hati terbesit
rasa penyangkalan terhadap Keesaan Allah, tidak meyakini bahwa Allah
Subhanahuwata’ala-lah pemilik dari segalanya yang selama ini ia temui, ia
gunakan, bahkan dirinya sendiri pada hakikatnya adalah milik Sang penguasa
kematian tersebut. Kebulatan dalam hati dalam keingkaran (kekufuran)
menjadi penutup antara insan tersebut dengan Allah selamanya. Hal ini
membuatnya jauh selamanya dari Allah Sang Pemilik Surga dan mendapatan
siksaan yang kekal didalam Neraka.
3
4. Periode keempat ( abad ke 6 H dan seterusnya )
Pada awal abad keenam Sufisme, Falasfi, yang telah menghilang pada abad
sebelumnya, mengalami kebangkitan kembali. Di sini tasawuf filosofis dalam
prakteknya cukup detail baik dari segi doktrin maupun gagasan (pemikiran).
Hal ini terlihat dari tulisan-tulisan yang ditulis Ibnu Arabi dalam salah satu
bukunya yaitu Futuhat al Makiyyah. Pengaruh perkembangan tasawuf sendiri
berpengaruh pada tarekat, karena asal muasal tarekat juga merupakan tasawuf
itu sendiri, mengingat pada abad ini juga terjadi perubahan arah
perkembangan tarekat, dengan munculnya beberapa tarekat, yang diawali
dengan tarekat qadiriyah yang dibawakan oleh syekh abdul qadir al jaylan dan
juga merupakan tarekat pertama yang bisa disebut orang lain. 'tabarah tarekat.
Tarekat yang dibawa oleh Syekh Abdul Qodir Al Jilan juga menjadi alasan
didirikannya tarekat lain seperti organisasi Rifaiyah, Kubrawiyah dan
Syatariyah.
4
terasa di mana-mana. Dalam situasi seperti itu wajarlah kalau umat Islam
berusaha mempertahankan agamanya dengan berpegang pada doktrinnya yang
dapat menentramkan jiwa, dan menjalin hubungan yang damai dengan sesama
muslim. Di antara ulama sufi yang kemudian memberikan pengayoman kepada
masyarakat umum untuk mengamalkan tasawuf secara praktis (tasawuf ‘amali),
adalah Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (w. 505 H./1111 M.). Kemudian
menurut Al-Taftazani diikuti oleh ulama’ sufi berikutnya seperti syekh Abd.
Qadir al - Jailani dan Syekh Ahmad ibn Ali al-Rifa’i. Kedua tokoh sufi tersebut
kemudian dianggap sebagai pendiri Tarekat Qadiriyah dan Rifa’iyah yang tetap
berkembang sampai sekarang. Menurut Harun Nasution sejarah perkembangan
tarekat secara garis besar melalui tiga tahap yaitu : tahap khanaqah, tahap thariqah
dan tahap tha’ifah.
a.Tahap khanaqah
Tahap khanaqah (pusat pertemuan sufi), dimana syekh mempunyai sejumlah
murid yang hidup bersama-sama dibawah peraturan yang tidak ketat, syekh
menjadi mursyid yang dipatuhi. Kontemplasi dan latihan-latihan spiritual
dilakukan secara individual dan secara kolektif. Ini terjadi sekitar abad X M.
Gerakan ini mempunyai masa keemasan tasawuf.
b. Tahap thariqah
Sekitar abad XIII M. di sini sudah terbentuk ajaran-ajaran, peraturan dan
metode tasawuf. Pada masa inilah muncul pusat-pusat yang mengajarkan
tasawuf dengan silsilahnya masing-masing. Berkembanglah metode-metode
kolektif baru untuk mencapai kedekatan diri kepada Tuhan. Disini tasawuf
telah mencapai kedekatan diri kepada Tuhan, dan disini pula tasawuf telah
mengambil bentuk kelas menengah.
c. Tahap tha’ifah
Terjadinya pada sekitar abad XV M. Di sini terjadi transisi misi ajaran dan
peraturan kepada pengikut. Pada masa ini muncul organisasi tasawuf yang
mempunyai cabang di tempat lain. Pada tahap tha’ifah inilah tarekat
mengandung arti lain, yaitu organisasi sufi yang melestarikan ajaran syekh
tertentu. Terdapatlah tarekat-tarekat seperti Tarekat Qadiriyah, Tarekat
Naqsyabandiyah, Tarekat Syadziliyah dan lain-lain.
5
figh juga berkembang banyak firqah yang disebut dengan madzhab seperti
madzhab Hanafi, Maliki, Hanbali, Syafi’i, Zhahiri dan Syi’i. Di dalam tasawuf
juga berkembang banyak madzhab, yang disebut dengan thariqah. Thariqah
dalam tasawuf jumlahnya jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan
perkembangan madzhab dan firqah dalam fiqh dan kalam, oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa tarekat juga memiliki kedudukan atau posisi sebagaimana
madzhab dan firqah-firqah tersebut di dalam syari’at Islam.
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya, Maka dapat dikatakan bahwa
Sejarah Islam menyebutkan bahwa perjalanan tarekat dimulai dengan lahirnya Tasawwuf
pada tahun 3 atau 4 Masehi. abad dimulai, meskipun hanya dipraktikkan secara pribadi dan
tanpa hubungan satu sama lain. Namun pada tanggal 6/7 Pada abad ke-1 tasawuf mulai
memiliki metode dan aturan tertentu. Misalnya, sekelompok murid dengan seorang syekh
biasanya bertemu secara teratur pada acara-acara tertentu (dzikir, khalwat) dalam sebuah
khanqah, dan sejak saat itu tasawuf berubah bentuk. menjadi organisasi yang lebih
terorganisir yang disebut Tarekat. Tarekat sebagai salah satu aliran Islam tidak lepas dari
kritik.
6
DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1973, h.64.
Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafat al-Islamiyah: Manhaj wa Tathiquhu, diterjemahkan oleh
Yudian Wahyudi Asmin dengan judul; Aliran Teologi dan Filsafat Islam , Jakarta :
Bumi Aksara, 1995, h. 101.
Ibid., h. 103.
Ahmad Tafsir, “Tarekat dan Hubungannya dengan Tasawuf”, dalam Harun Nasution (ed.),
Thoriqot Qadiriyah Naqsyabandiyah : Sejarah, Asal-usul dan Perkembangannya,
Tasikmalaya: IAIIM, 1990, h. 28.
K. Ali, A Study of Islamic History, Delhi : Idarat Adabi. 1990, h. 273).
Hasan Ibrahim Hasan, Islamic History and Culture From 632 – 1968 M, diterjemahkan oleh
Djahdan Human (ed) dengan judul : Sejarah dan Kebudayaan Islam , Yogyakarta :
Kota Kembang, 1989, h. 245 – 266.
Harun Nasution, Islam ditinjau, jilid I, op. cit, h. 79.
K. Ali, op. cit, h. 134-135.
Mereka banyak berkumpul dengan para al-’ulama al Shalihin banyak puasa, membaca Al-
Quran, dan dzikir serta mengasingkan diri dari keramaian duniawi yang diyakini
sebagi obat penentram jiwa. Baca Abu Bakar al-Makky, Kifayat al-Atqiya’ wa
Minhaj al-Ashfiya’ ,Surabaya : Sahabat Ilmu, t.h. 49-51.
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, jilid III, Kairo : Mustafa al-Bab al
Halabi, 1334 .H., h. 16-20, dan baca karya-karya yang lain.
Al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Bandung : Pustaka, 1974, h. 234.
]Saifulah Muzani (Ed), Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution
, Bandung : Mizan, 1996, h. 366.
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI-Press, 1982, h. 35.
M. Th. Houstma, A.J. Weinsinck, et al. (ed), Encyclopaedia of Islam, Leiden : E.J. Brill,
1987, h. 669.