Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

Problematika tasawuf sebenarnya tidak sejernih


pengembaraan ruhani yang dialami oleh para sufi. Dalam
prakteknya, ia seringkali memunculkan perdebatan baik
dikalangan sufi, maupun dari kelompok yang tidak setuju
atau tidak tertarik dengan tradisi tasawuf. Perdebatan ini
terus berlangsung dalam bentuk wacana sampai saat ini.
Ditandai dengan selalu berkembang dan beranekaragamnya
konsep, awal munculnya, maupun corak tasawuf. Perbedaan
tersebut tidak lain hanya saling melengkapi (M.
ZakiIbrahim., 2002: 7).
Lahirnya tasawuf merupakan sebuah kontinuitas dari
diciptakannya manusia. Secara spontanitas, manusia selalu
ingin mengetahui sesuatu yang gaib, dan ingin mengetahui
alam di balik alam semesta. Bahkan berhubungan dengan
alam gaib tersebut melalui cara yang benar. Pendapat ini
secara umum berdasar pada penetapan yang diakui oleh
semua agama. Hal itu disebabkan, semua agama telah
mengakui kenabian Adam. Derajat kenabian inilah yang
merupakan derajat tertinggi dan mendapat sorotan penting
dalam tasawuf, sehingga banyak ragam cara (setiap aliran
tasawuf mempunyai konsep dan metode tersendiri) untuk
mencapai derajat tersebut (Abdul Halim Mahmoud., t.t:
285).
Menurut M. Amin Syukur (1999: 19), terdapat
perbedaan pendapat para sarjana, baik dari Barat maupun
Islam sendiri tentang lahirnya tasawuf. Ada yang
mengatakan bahwa tasawuf lahir dari India melalui Persia,
berasal dari asketisme Nasrani, murni dari ajaran Islam
sendiri, dan berasal dari sumber yang berbeda-beda
kemudian menjelma menjadi satu konsep.

1
Masa pembentukan tasawuf terjadi pada abad I dan
1
II H. Pada abad ini belum muncul istilah tasawuf, tasawuf
lebih bersifat praktis, yaitu berupa zuhud dalam arti
menjauhkan diri dari dunia menuju akhirat yang berakar
pada nas agama, dilatarbelakangi oleh sosio-politik,
coraknya bersifat sederhana, dan tujuannya untuk
meningkatkan moral. Kemudian pada abad III dan IV H 2,
tasawuf sudah berbeda dengan abad sebelumnya. Pada abad
ini, tasawuf sudah bercorak ekstase (fana’) yang menjurus
ke persatuan hamba dengan Khalik. Selain itu tasawuf bisa
dikatakan sebagai madzhab, bahkan seolah-olah sebagai
agama tersendiri. Kemudian pada abad V H3, tasawuf
mengadakan konsolidasi dengan ditandai kompetisi dan
pertarungan antara tasawuf falsafi dengan tasawuf sunni, dan
tasawuf sunni mengalami kejayaan, sedangkan tasawuf
falsafi tenggelam. Setelah kalah dalam kompetisi pada abad
V H, maka pada abad VI H muncullah tasawuf falsafi4, yaitu
tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat. Dan pada
abad ini pula dan dilanjutkan abad VII H, muncul ordo-ordo
tarekat dan berkembang sampai sekarang (Syukur, M.
Amin., 1999: 19-40). Munculnya tarekat pada awal abad ini
masih banyak dipengaruhi oleh tasawuf falsafi, dikarenakan

1
Pada abad ini pelopornya adalah Hasan Basri (642-728 M) dan
Rabi‟ah al-„Adawiyah (w. 185 H).
2
Dipelopori oleh Abu Yazid al-Busthami (216 H) dan al-Hallaj (w.
309 H).
3
Pada abad ini tasawuf yang berkembang pesat adalah tasawuf
sunni, yaitu tasawuf yang berlandaskan pada al-Qur‟an dan al-Hadits.
Banyak tokoh yang terkenal pada tasawuf sunni, seperti: Abu al-Hasan al-
Asy‟ary (w. 324 H), al-Qusyairi (376-465 H), al-Harawi (396 H), dan al-
Ghazali (450-505 H).
4
Tokohnya adalah Ibnu Arabi dengan teori wahdat al-wujud, dan
Suhrawardi al-Maqtul dengan teori Isyraqiyah.

2
jarak yang masih dekat dengan suburnya tarekat falsafi pada
abad tersebut.
Tarekat merupakan peralihan dari tasawuf yang
bermula bersifat personal yang mengalami perkembangan
dan perluasan tasawuf itu sendiri.5 Dengan semakin
meluasnya tasawuf, maka banyak pula yang tertarik untuk
mempelajarinya yang tentunya dengan orang yang
berpengalaman luas terhadap tasawuf, yang nantinya dapat
menuntun mereka. Sebab belajar dari seorang guru dengan
metode mengajar yang disusun berdasarkan pengalamannya
dalam suatu ilmu yang bersifat praktikal, adalah suatu
keharusan. Dan di sinilah seorang guru tasawuf
memformulasikan sistem pengajaran tasawuf berdasarkan
pengalamannya sendiri. Sistem pengajaran inilah yang
menjadi ciri khas bagi satu tarekat dan yang membedakan
dari tarekat lain (Usman Said dkk., 1983: 274-275).
Tarekat tidak membicarakan filsafat tasawuf, tetapi
merupakan amalan tasawuf atau prakarsanya. Pengalaman
tarekat merupakan suatu kepatuhan secara ketat terhadap
peraturan-peraturan syariat Islam dan mengamalkannya
dengan sebaik-baiknya, baik yang bersifat ritual maupun
sosial, yaitu dengan menjalankan praktek-praktek dan
mengerjakan amalan yang bersifat sunat, baik sebelum
maupun sesudah shalat wajib, dan mempraktekkan

5
Banyak perkataan tarekat dianggap sinonim dengan istilah tasawuf,
yaitu dimensi esoteris dan aspek mendalam dari agama Islam. Sebagai istilah
khusus, perkataan tarekat sering dikaitkan dengan suatu “organisasi tarekat”,
yaitu suatu kelompok organisasi yang melakukan amalan-amalan dzikir
tertentu dan menyampaikan suatu sumpah yang formulanya telah ditentukan
oleh pimpinan organisasi tarekat tersebut (Zamakhsyari Dhofier., 1983: 135).
Begitu juga menurut Hamka, bahwa jika disebut orang nama kaum sufi itu,
terutama di Indonesia, teringatlah kepada tarekat. Bila kita pelajari tarekat
yang ada di sini, kelihatanlah mempunyai peraturan sendiri-sendiri, maka
pada asalnya tidaklah tasawuf itu mempunyai peraturan tertentu yang tidak
boleh diubah-ubah (Hamka., 2005: 12).

3
riyadhah(Hartono Ahmad Jaiz., 1999: 119). Tarekat
merupakan suatu jalan atau cara mendekatkan diri kepada
Allah, dengan mengamalkan ilmu Tauhid, ilmu Fiqih dan
Tasawuf6 (A. Fuad Said., 1999: 6) yang bertujuan tidak lain
adalah untuk memperkuat keyakinan terhadap syariat, dan
meningkatkan kepatuhan terhadap aturan-aturannya (M.
Abdul Haq Ansari., 1990: 209). Pada mulanya tarekat dilalui
oleh seorang sufi secara individual. Tetapi dalam
perjalanannya kemudian tarekat diajarkan kepada orang lain
baik secara individual maupun kolektif (M. Muhsin Jamil.,
2005: 49-51).
Dalam perkembangannya, tarekat banyak
mengalami kritikan. Mereka menganggap bahwa, tarekat
identik dengan kemiskinan. Karena syarat menjadi ahli
tarekat seseorang harus menjauhi kemewahan dan
gemerlapnya dunia, dalam keadaan demikian ahli tarekat
masih dituntut hidup sabar, qona’ah, syukur dan tawakkal.

6
Banyak batasan yang dikemukakan orang tentang tarekat, namun
secara umum dapat dikemukakan bahwa tarekat adalah suatu bentuk
pengamalan kehidupan sufisme atau tasawuf. Artinya tarekat merupakan
tuntunan hidup praktis dari pada corak konseptual yang filosofis. Jika salah
satu tujuan tasawuf adalah makrifat kepada Allah, maka tarekat adalah
metode atau cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan tasawuf tersebut
(Mahmud Sujuthi., 2001: 1-6). Ada juga yang mengartikan tarekat sebagai
jalan atau cara untuk mencapai tingkatan-tingkatan (maqamat) dalam rangka
mendekatkan diri kepada Tuhan. Melalui cara ini seorang sufi dapat
mencapai tujuan peleburan diri dengan yang nyata (al-fana’ fi al-haq). Jamil,
M. Muhsin., 2005: 47. Said Aqil Siroj (2006: 97) mengatakan tarekat
merupakan bagian kecil praktek peribadatan dan mencoba memasuki dunia
tasawuf. Artinya menjalankan ajaran Islam dengan hati-hati, teliti, dan
melaksanakan fadlail al-a’mal serta bersungguh-sungguh mengerjakan
ibadah dan riyadlah, meninggalkan perkara yang syubhat, yang remang-
remang, dan tidak jelas hukumnya. Ada yang mengatakan tarekat berarti
jalan yang mengacu pada suatu sistem latihan meditasi maupun amalan-
amalan (muraqabah, dzikir, wirid dan sebagainya) yang dihubungkan dengan
sederet guru sufi (Sri Mulyati dkk., 2006: 8). Dan masih banyak lagi
pandangan orang tentang tarekat.

4
Bahkan ada yang lebih ekstrem lagi, mereka berpendapat
bahwa praktek tarekat identik dengan bid’ah (Ihsan Ilahi
Dhahir., 2001: 44).
Tarekat berkembang mulai abad VI H lebih banyak
diformulasikan dalam bentuk organisasi atau institusi.
Dengan tarekat tersebut, pengamalan yang semula
merupakan disiplin spiritual pribadi yang dilaksanakan
secara bebas oleh segolongan kaum tertentu, akhirnya
menjadi sebuah gerakan masal kaum musliminyang
dilaksanakan dengan ketat. Oleh sebab itu, tarekat dalam
bingkai tasawuf yang mulanya disiplin spiritual-moral dan
pencerahan spiritual asli berubah menjadi rutinitas
permainan spiritual melalui cara-cara auto-hipnotis dan
penglihatan-penglihatan gaib (Fazlur Rahman., 1979: 153).
Kondisi seperti ini diperkeruh setelah para syaikh dengan
segala otoritasnya memunculkan mitos-mitos yang berakhir
pada kepercayaan adanya manusia yang mempunyai
kedudukan istimewa, terutama dalam otoritas spiritual,
keajaiban-keajaiban, pemakaman-pemakaman, hipnotis,
bahkan dukun-dukun palsu dan penindasan terang-terangan
terhadap orang muslim dan bodoh (Fazlur Rahman., 1984:
181).
Keadaan ini diperparah lagi dengan munculnya
kepercayaan tentang wilayah atau wali berikut
keistimewaanya. Dalam kenyataannya kepercayaan tersebut
adalah bagian dari konsep yang lebih luas tentang kekuasaan
wali yang disebarkan melalui jama‟ah tarekat. Kekuasaan ini
memancar dari seorang wali pemimpin spiritual yang
dipercayai dapat mempengaruhi nasib seseorang baik
spiritual maupun material. Akhirnya terjadi pemujaan-
pemujaan, penghormatan-penghormatan kepada makam-
makam dan peninggalannya. Maka, lahirlah istilah wisata
spiritual ke makam-makan wali dengan tujuan mendapatkan
barakahnya (Fazlur Rahman., 1979: 153).

5
Praktek penghormatan yang berlebihan terhadap
wali adalah menjadi pokok ajaran dalam tarekat-tarekat.
Dalam realitasnya, muncul kepercayaan tentang wali berikut
keramatnya, yang kemudian lahir wisata spiritual ke makam-
makam wali untuk “ngalap berkah”, dan terjadilah kultus
yang berlebihan sebagaimana yang dikembangkan oleh
aliran-aliran tarekat (Hamka., 1984a: 224-225). Terlebih
lagi, bahwa paham wahdat al-wujud sebagai misalnya
dibelokkan untuk kepentingan ilmu sihir. Pembelokan
paham tersebut, semakin lama tidak semakin tipis dan
hilang, akan tetapi semakin tebal dan menguasai keadaan
(Muhammad Damami., 2000: 121-122).
Demikian juga, dzikir dan wirid dari tarekat banyak
yang dibelokkan untuk tujuan magis, perdukunan, dan
digunakan sebagai sarana untuk mencapai daya tahan yang
hebat, tidak terasa sakit,dan kekebalan terhadap senjata
tajam (Martin van Bruinessen., 1996: 229-232). Selain itu,
ajaran Islam dipahami sebagai keharusan muslim sibuk
“ngurusi” Tuhan, padahal Islam diwahyukan agar manusia
“ngurusi” diri kemanusiaannya. Artinya, makna Islam
sebagai ajaran bagi perdamaian dan keselamatan umat
manusia akan berfungsi manakala ajaran itu dipahami dan
ditafsir bagi kepentingan kemanusiaan dan bukan hanya bagi
kepentingan ketuhanan saja. Karena itu, kedekatan kepada
Tuhan atau kesalehan seperti selama ini yang cenderung
tidak berhubungan dengan prestasi duniawi, patut
dipertanyakan dan dikaji ulang. Kedekatan kepada Tuhan
sudah semestinya tidak hanya diukur dari kemampuan dan
prestasi spiritual yang tidak bisa dievaluasi atau dinilai
dengan ukuran baku yang empirik, tetapi perlu dilihat dari
kemampuan prestasinya menyelesaikan berbagai persoalan
kehidupan duniawi (Abdul Munir Mulkhan., 2005: 48-81).
Misalnya, pemaknaan zuhud dalam kehidupan sosial bisa
berarti sikap seseorang terhadap dunia sebagai sikap protes

6
terhadap ketimpangan sosial, politik, dan ekonomi. Pada
suatu saat digunakan pihak tertentu untuk memobilisasi
gerakan massa. Formulasi zuhud ini bisa berbeda-beda,
dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sosial, politik, dan
ekonomi setempat (M. Amin Syukur., 1997: 104-105).
Gerakan purifikasi atau permunian diusahakan untuk
memurnikan ajaran-ajaran Islam, bersih dari pengaruh syirik,
khurafat, dan takhayyul. Gerakan ini ditempuh karena
selama terkungkung dalam penjajahan, kaum muslim
terpecah belah, hubungan salah satu dengan yang lainnya
terpisah. Dalam keadaan demikian, penyakit syirik, khurafat,
takhayyul berkembang dengan pesatnya, sehingga
menghalangi perkembangan pemikiran.7 Pengalaman
keagamaan pun dipengaruhi oleh bid’ah (M. Abdul Karim.,
2007: 62-63). Kemudian ketika Islam memasuki periode
perkembangan dan memanfaatkan kebudayaan (filsafat)
Yunani, ajaran Islam mulai dipahami dengan semangat
rasionalisme yang berbeda dengan masa awal (generasi salaf
al-shalih8), di mana Islam dipahami dan diamalkan secara
sederhana, murni, utuh, dan penuh semangat. Sejak saat
itulah berkembang berbagai macam ilmu dan kebudayaan
Islam yang sejalan dengan semangat tersebut, pemahaman

7
MenurutM. Amin Syukur (2002: 31), pada waktu itu tanda-tanda
keruntuhan tampak kian jelas, penyelewengan dan skandal melanda dan
mengancam kehancuran reputasi baik tarekat. Dengan bukti, legenda-legenda
tentang keajaiban dikaitkan dengan tokoh-tokoh sufi, masyarakat awam
segera menyambut tipu muslihat itu. Sehingga yang terjadi bukan lah
kebaktian-kebaktian sejati. Lihat juga dalam bukunya (M. Amin Syukur.,
1999: 41).
8
Mereka muncul ke permukaan dalam kondisi ketika ada sebagian
kalangan umat islam ingin memotong mata rantai (silsilah) bermadzhab.
Mereka ditandai dengan sikap tasalluf, yang selalu menampilkan atribut-
atribut salaf secara lahiriah semata, namun tidak sama sekali memahami dan
melaksanakan nilai-nilai yang diwariskan salafiyyun. (Said Aqil Siroj., 2006:
56-57).

7
dan pengamalan Islam menjadi sangat komplek dan beragam
(M. Amin Syukur dkk., 2001: 85).
Ibnu Taimiyah yang mempunyai nama lengkap
Taqiy al-Din Abu al-„Abbas Ahmad ibn „Abd al-Halim ibn
„Abd al-Salam ibn Abi al-Qasim ibn Muhammad ibn
Taimiyah al-Harrany al-Dimasyqy mengkritisi praktek
tasawuf dalam bingkai tarekat. Dalam pandangan sebagian
kalangan, Ibnu Taimiyah dan tasawuf dipandang sebagai dua
unsur yang tak mungkin bersatu. Ini tentu tidak
mengherankan, sebab Ibnu Taimiyah telah lama dianggap
sebagai salah satu tokoh yang melontarkan kritik-kritik
tajamnya terhadap tasawuf dalam bingkai tarekat. Sehingga
–bagi mereka yang tidak memahami dengan baik- setiap kali
mendengarkan kata Ibnu Taimiyah, maka opini dan image
yang tercipta adalah bahwa Ibnu Taimiyah seorang tokoh
anti tarekat, tarekat dianggap sebagai ajaran yang pesimistik,
tidak mau berkompromi dengan dunia, bersosial. Lebih
mementingkan menyendiri atau ‘uzlah.
(http://www.wahdah.or.id/wahdah- Wahdah Islamiyah
Powered by Mambo Generated: 24 March, 2008, 13:50).
Begitu juga dengan Haji Abdul Malik Karim
Amrullah yang sering disebut dengan Hamka, dia
mengkritisi praktek-praktek tarekat yang sudah keluar dari
ajaran Islam. Dzikir-dzikir dan wirid-wirid dalam ajaran
tarekat dibelokkan dan digunakan untuk ilmu sihir,
perdukunan, kekebalan tubuh. Pembelokan dan
penyalahgunaan ini semakin lama tidak berkurang dan
menipis, bahkan semakin tebal dan menguasai keadaan.
Praktek pembelokan ini semakin kuat sejak terjadi
kerusuhan sosial seperti pembangkangan terhadap peraturan
belasting di Minangkabau yang pernah diberlakukan
penjajahan Belanda pada tahun 1908. dan praktek ini terus
meluas ke dalam masyarakat dan cenderung menjadi
semacam keyakinan baru (Muhammad Damami., 2000:

8
121). Inilah yang menjadi perjuangan Hamka untuk
mengembalikan tasawuf dalam arti prakteknya ke pangkal
sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dan para
sahabatnya.
Dari kedua tokoh tersebut, penulis tertarik untuk
mengkomparasikan pemurnian tasawuf yang masing-masing
dipeloporinya. Karena kedua tokoh ini dalam melontarkan
kritikan tentang praktek tarekat hampir sama. Penulis ingin
meneliti di mana persamaan dan perbedaan dari kedua
konsep tentang pemurnian tarekat.
Dari uraian di atas dapat ditarik pokok permasalahan
yang akan dikaji lebih lanjut dalam buku ini yaitu Aspek
yang menjadi objek kritik Ibnu Taimiyah dan Hamka, dan
letak perbandingan pemurnian tarekat antara kedua tokoh
tersebut.
Untuk mencapai hal tersebut, pemikiran Ibnu
Taimiyah dan Hamka terhadap pemurnian tarekat perlu
dibahas lebih mendalam.
Dalam upaya mencermati dan menelusuri konsep
pemikiran Ibnu Taimiyah dan Hamka dalam konteks
pemurnian tarekat ini, yang menjadi sumber data primer
adalah karya Ibnu Taimiyah dan Hamka sendiri, baik tulisan
yang berbentuk buku, artikel, jurnal, ensiklopedia dan lain-
lain. Sedangkan sumber data sekunder diperoleh dari
berbagai karya tulis orang lain tentang Ibnu Taimiyah dan
Hamka, baik yang berisi tentang figur, dan pemikirannya
maupun hanya berkaitan dengan tema-tema tertentu seperti
kehidupannya yang berbentuk buku, jurnal artikel maupun
karya ilmiah.
Dengan membandingkan pemikiran kedua tokoh,
maka akan memaksa dengan tegas menentukan kesamaan
dan perbedaan, sehingga hakikat objek dipahami dengan
semakin murni (Anton Bakker dkk.,2002: 51).

9
SedangkanPendekatan sosiologisdigunakan untuk
mengetahui seberapa jauh pengaruh sosial terhadap
pemikiran kedua tokoh tersebut. Sebagaimana Stephen K.
Anderson menjelaskan dalam bukunya (2000: 575), bahwa
secara tradisional, sarjana-sarjana Barat memandang ide-ide
ilmu pengetahuan terbebas dari pengaruh sosial eksternal.
Pandangan ini disebut dengan pandangan internalis yaitu,
percaya bahwa pemikiran ilmiah mengikuti logika
perkembangan internalnya sendiri. Pandangan ini telah
mendapat tantangan dalam akhir-akhir tahun ini dari kaum
eksternalis, yang mendasarkan bahwa ilmu pengetahuan
bukan suatu bentuk kegiatan manusia yang unik. Menurut
pandangan ini, ide-ide ilmu pengetahuan sebagian besar
dibentuk oleh serangkaian pengaruh sosial. Dan kemudian
muncullah kaum baru yang berada di tengah-tengahnya bagi
salah satu kedua kaum tersebut. Kaum penengah tersebut
memandang bahwa ide-ide ilmu pengetahuan jelas tunduk
pada berbagai pengaruh sosial eksternal, tapi pada saat yang
sama juga mempunyai suatu logika internalnya sendiri yang
substansial. Dan posisi inilah posisi yang paling layak.
Penulisan buku ini akan disusun dalam beberapa bab,
dan tiap-tiap bab terdiri dari beberapa sub bab sesuai dengan
keperluan kajian yang akan dilakukan.
Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang
menjelaskan latar belakang penelitian, permasalahan.
Sebagai landasan untuk menemukan masalah penelitian
yang akan dikemukakan dalam pendahuluan ini. Selanjutnya
pada bab ini dibahas pula mengenai tujuan penelitian,
metode penelitian, kajian pustaka, serta sistematika
pembahasan.
Bab kedua akan dibahas tentang sejarah singkat
tarekat sampai pada masa Ibnu Taimiyah beserta doktrin dan
seremonialnya, dan diperlengkap dengan pembahasan akar-

10
akar tarekat yang berada di nusantara sebagai objek kritik
Hamka.
Bab ketiga mengungkapkan latar belakang sosio-
kultural Ibnu Taimiyah dan Hamka. Dalam bahasan ini akan
di angkat pengaruh-pengaruh sosial dalam berbagai
dimensinya yang berpengaruh terhadap pemikiran Ibnu
Taimiyah dan Hamka, serta dalam bab ini pula penulis akan
mencari beberapa anomali-anomali tarekat baik secara
konsep maupun praktek. Sehingga dalam pembahasan ini,
memperjelas tentang pemurnian tarekat dalam pandangan
Ibnu Taimiyah dan Hamka.
Dilanjutkan bab keempat, di dalam bab ini penulis
akan membandingkan pemurnian tarekat menurut Ibnu
Taimiyah dan Hamka, sehingga persamaan dan
perbedaannya dapat dilihat dan dianalisis secara tajam.
Sehingga karakteristiknya dapat di angkat dan dibahas di
permukaan.
Bab kelima adalah bab yang berisi kebutuhan
masyarakat modern terhadap tasawuf, dan tawaran
bertasawuf yang meliputi shalat yang diinginkan al-Qur‟an,
serta qanaah dalam pandangan psikologi sufistik.

11

Anda mungkin juga menyukai