A. PENGERTIAN TASAWUF
Dari segi kebahasaan (linguistik) terdapat sejumlah kata atau istilah yang
dihubungkan orang dengan tasawuf. Harun Nasution misalnya menyebutkan lima istilah yang
berhubungan dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahl al-suffah) yaitu orang yang ikut pindah
dengan Nabi dari Makkah ke Madinah, saf, yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan
shalat berjamaah, sufi yaitu bersih dan suci, sophos (bahasa Yunani:hikmah), dan suf (kain
wol kasar). (Abuddin Nata, 2008:286) Jika diperhatikan secara seksama, tampak kelima
istilah tersebut bertemakan tentang sifat-sifat dan keadaan yang terpuji, kesederhanaan, dan
kedekatan dengan Tuhan. Kata ahl al-suffah misalnya menggambarkan keadaan orang yang
mencurahkan jiwa raganya, harta benda dan lainnya sebagai hanya untuk Allah. Mereka rela
meninggalkan kampong halamannya, rumah, kekayaan, harta benda dan sebagainya yang ada
di Makkah untuk ditinggalkan karena ikut hijrah bersama Nabi ke Madinah. Tanpa ada unsur
iman dan keinginan untuk mendekatkan diri kepada Allah, tidaklah mungkin hal demikian
mereka lakukan. (Abuddin Nata,2008:286-287)
Berbagai pendapat muncul ketika para ahli bahasa mencari asal kata tasawuf.
Sebagian berkata, tasauf berasal dari kata “shifa” artinya suci bersih. Sebagian yang lain
berpendapat tasauf berasal dari kata “shuf” artinya bulu binatang. Disebut demikian, karena
konon dulu para sufi biasanya memakai baju binatang. Bahkan ada ahli bahasa yang
menyatakan bahwa “shufi” itu bukanlah berasal dari bahasa Arab, tetapi bahasa Yunani kuno
yang telah diarabkan. Asalnya “theo-safie”, artinya ilmu ketuhanan, kemudian diarabkan dan
diucapkan dengan lidah orang Arab sehingga berubah menjadi tasawuf. (Endang Saifuddin
Anshari, 1986: 156)
Tasawuf adalah ajaran tentang kehidupan rohani dalam Islam. Tasawuf sebagai ajaran
tentang kehidupan rohani itu timbul dalam sejarah, yang diawali dengan timbulnya para
zahid, selanjutnya timbul gagasan pengalaman rohani. Gagasan ini kemudian dipandang
sebagai intisari ajaran tasawuf. Ajaran dan praktek tasawuf sebagai gejala kehidupan rohani
dalam Islam terkadang menunjukkan adanya kesamaan dengan kehidupan rohani pada agama
di luar Islam.
Persoalan ini telah dikaji oleh banyak peneliti, baik ulama Islam maupun orientalis.
Dalam kajiannya itu terdapat teori yang mengatakan bahwa tasawuf timbul dalam Islam
karena adanya pengaruh yang berasal dari luar Islam. (Hamka, 1993: 43) Sebenarnya
mengatakan adanya pengaruh dari luar Islam itu sulit dibuktikan. Terlepas dari ada tatau tidak
ada pengaruh dari luar Islam itu, sesungguhnya di dalam Islam terdapat ajaran-ajaran yang
dapat dikatakan sebagai sumber ajaran tasawuf. Dengan kata lain, tasawuf dapat timbul
dalam Islam, tanpa dipengaruhi oleh faktor luar, tetapi dengan inspirasi dengan Alquran dan
hadits serta perbuatan yang dicontohkan Rasulullah kepada umatnya. Pendapat yang dapat
diterima dalam soal ini ialah bahwa sumber ajaran tasawuf tidak lain adalah ajaran Islam itu
sendiri, yakni Alquran dan as-Sunnah. Bahkan dikatakan bahwa kaum sufi berkata
bahwasanya pokok ambilan hidup kerohanian itu ialah agama Islam sendiri. Pertama Qur’an,
kedua Hadits Rasulullah Saw. Ditambah dengan kehidupan para sahabat-sahabatnya.
(Hamka,1993: 37)
Dalam Alquran terdapat ayat-ayat yang mengandung pengertian bahwa Allah dekat
dengan hamba-Nya. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah:186, yang artinya: “Jika hamba-
Ku bertanya kepadamu tentang aku maka katakanlah bahwa aku dekat”. Aku mengabulkan
permintaan orang yang meminta jika ia meminta kepada-Ku. Ayat tersebut mengandung
pengertian, bahwa Allah dekat dengan hamba-Nya. Apa yang dilakukan oleh seorang hamba
hendaknya merasakan kedekatan itu, merasakan kehadiran Allah dalam hati sanubari, itulah
hakikat ajaran tasawuf.
Ajaran tasawuf dalam Islam memang tidak sama kedudukan hukumnya dengan
rukun-rukun iman dan Islam yang sifatnya wajib. Maka ulama sering menamakan ajarannya
dengan istilah ”Fadhailul A’maal” (amalan-amalan yang hukumnya lebih afdhol).
(Hamka,1993:144) Ketika muncul gerakkan pembaharuan pemikiran Islam ini langsung
maupun tidak langsung juga menyudutkan ajaran Tasawuf, yang umumnya mereka nilai
sebagai penyebab kemunduran pemikiran Islam. Pembaharuan di Turki misalnya melarang
tarekat karena dinilai menyebabkan kemunduran dan kebodohan pada rakyatnya. (Simuh,
1997:270)
Tasawuf merupakan suatu ilmu pengetahuan. Tasawuf atau mistisisme adalah jalan
bagi seorang muslim agar dapat sedekat mungkin dengan Allah (Nasution,1973:56).
Sedangkan menurut Syeh Muhammad Amin al-Khudry tasawuf adalah ilmu yang dengannya
diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa (Mahyuddin, 1999:44). Tasawuf mengupas
tata cara menyucikan hati, mendekatkan diri kepada Allah, dan merasakan kehadiran Allah
dalam kehidupan sehari-hari. Tasawuf kini menjadi kebutuhan orang modern untuk
memenuhi salah satu kebutuhannya yang hilang yaitu spiritualitas (Solihin, 2006:303)
Alquran sendiri memuat berbagai firman yang merujuk kepada pengalaman spiritual Nabi.
Misalnya, lukisan tentang dua kali pengalaman Nabi bertemu dan berhadapan dengan
Malaikat Jibril dan Allah. Yang pertama ialah pengalaman beliau ketika menerima wahyu
pertama di gua Hira’, di atas Bukit Cahaya (Jabal Nur). Dan yang kedua ialah pengalaman
beliau dengan perjalanan malam (isra’) dan naik ke langit (mi’raj) yang terkenal itu.
Bagi kaum sufi, pengalaman Nabi dalam Isra’-Mi’raj itu adalah sebuah contoh puncak
pengalaman ruhani. Justru ia adalah pengalaman ruhani yang tertinggi, yang bisa dipunyai
oleh seorang Nabi. Namun kaum Sufi berusaha untuk meniru dan mengulanginya bagi diri
mereka sendiri, dalam dimensi, skala dan format yang sepadan dengan kemampuan mereka.
Sebab inti pengalaman itu ialah penghayatan yang pekat akan situasi diri yang sedang berada
di hadapan Tuhan, dan bagaimana ia ”bertemu” dengan Dzat Yang Maha Tinggi itu.
”Pertemuan” dengan Tuhan adalah dengan sendirinya juga merupakan puncak kebahagiaan,
yang dilukiskan dalam sebuah hadits sebagai ”sesuatu yang tak pernah terlihat oleh mata, tak
terdengar oleh telinga, dan tak terbetik dalam hati manusia”. Sebab dalam ”pertemuan” itu,
segala rahasia kebenaran ”tersingkap” (kasyf) untuk sang hamba, dan sang hamba pun lebur
dan sirna (fana’) dalam Kebenaran. Maka Ibn ’Arabi, misalnya, melukiskan ”metode” atau
thariqah-nya sebagai perjalanan ke arah penyingkapan Cahaya Ilahi, melalui pengunduran
diri (khalwah) dari kehidupan ramai. (Nurcholish Madjid, 1992:262)
Terdapat juga pandangan yang mengatakan bahwa tasawuf muncul sebagai gerakan
melawan rezim yang kurang religious. Dalam hal ini Nurcholish Madjid mengatakan
(1992:256) sebagai berikut: Maka demikian pula gerakan oposisi terhadap praktek-praktek
regimenter pemerintahan kaum Umawi di Damaskus. Sebagian bentuk oposisi itu terjadi
karena dorongan politik semata, seperti gerakan oposisi orang-orang Arab Irak, karena para
penguasa Damaskus lebih mendahukukan orang-orang Arab Syria. Tetapi sebagian lagi,
justru yang lebih umum,oposisi itu timbul karena pandangan bahwa kaum Umawi kurang
”religious”. Tokoh Hasan dari Basrah yang telah disebutkan di atas mewakili kelompok
gerakan oposisi jenis ini. Ketokohan Hasan cukup hebat, sehingga kelompok-kelompok
penentang rezim Umayyah banyak yang mengambil ilham dan semangatnya dari Hasan,
termasuk kaum Mu’tazilah (Washil ibn ”Atha’, yang dianggap pendiri Mu’tazilah, asalnya
adalah murid Hasan), begitu pula para ’ulama’ dengan orientasi Sunni, dan orang-orang
Muslim dengan kecenderungan hidup zuhud (asketik). Mereka yang tersebut terakhir inilah,
sejak munculnya di Basrah, yang disebut kaum Sufi (Shufi), konon karena pakaian mereka
yang terdiri dari bahan wol (Arab: shuf) yang kasar sebagai lambang kezuhudan mereka. Dari
kata-kata shuf itu pula terbentuk kata-kata tashawwuf (tasawuf), yaitu, kurang lebih, ajaran
kaum Sufi.
Dalam perkembangannya lebih lanjut, Tasawwuf tidak lagi bersifat terutama sebagai
gerakan oposisi politik. Meskipun semangat melawan atau mengimbangi susunan mapan
dalam masyarakat selalu merupakan ciri yang segera dapat dikenali dari tingkah laku kaum
Sufi, tetapi itu terjadi pada dasarnya karena dinamika perkembangan gagasan kesufian
sendiri, yaitu setelah secara sadar sepenuhnya berkembang menjadi mistisme. Tingkat
perkembangan ini dicapai sebagai hasil pematangan dan pemuncakan rasa kesalehan pribadi,
yaitu perkembangan ketika perhatian paling utama diberikan kepada kesadaran yang bersifat
dan menjurus ke dalam diri sendiri, yang membuat masalah historis dan politis umat hanya
secara minimal saja. (Nurcholish,1992:256) Bahkan menurut Kauzar azhari Noor (1999:64)
berdasarkan penelitian, kaum sufi adalah adalah kelompok Islam yang paling terbuka,
toleran, paling simpati terhadap agama lain.
D. KESIMPULAN
Tasawuf adalah dimensi esoteric dalam Islam yang berhubungan dengan cara
menngolah batin supaya senantiasa dekat dengan Allah. Terdapat beberapa model penelitian
tasawuf antara lain model Sayyed Husein Nasr, Model Mustafa Zahri , Model harun Nasution
dan model J. Arberry.
وهللا اعلم بالصواب