Anda di halaman 1dari 9

A.

Asal Usul Tasawuf

Tasawuf merupakan salah satu dimensi spiritual dari ajaran Islam. Kaum orientalis menyebutnya sufisme
atau mistisme, suatu istilah yang sebenarnya tidak tepat, karena istilah itu tidak menggambarkan hakikat
tasawuf yang sebenarnya. (Alda Imtihana, dkk, 2009: 91)

Tasawuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal di zaman para sahabat r.a., bahkan tidak dikenal di
zaman tiga generasi yang utama (generasi sahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in). Ajaran ini baru muncul
sesudah zaman tiga generasi ini. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa secara keilmuan,
tasawuf adalah disiplin ilmu yang baru dalam syariat Islam. Adapun asal-usul tasawuf menurutnya
adalah konsentrasi ibadah kepada Allah SWT, meninggalkan kemewahan dan keindahan dunia dan
menjauhkan diri dari makhluk. Ketika kehidupan materialistik mulai mencuat dalam peri kehidupan
masyarakat muslim pada abad kedua dan ketiga hijriyah sebagai akibat dari kemajuan ekonomi di dunia
Islam, orang-orang yang konsentrasi beribadah dan menjauhkan diri dari hiruk pikuknya kehidupan
dunia. Dari kerangka ini muncul orang-orang yang disebut sebagai kaum sufi. (Noothaibah, 2014: 81)

Kata tasawuf ialah bentuk masdar dari kata suf yang artinya wol (bulu kambing). Istilah ini timbul karena
ahlii tasawuf biasanya memakai baju (jubah) dari bulu domba. Orang-orang yang menjalankan
kehidupan tasawuf disebut sufi. (Nugroho Notosusanto, 1981: 33)

Pendapat lain mengatakan bahwa kata tasawuf berasal dari kata shuffah, yang berarti serambi mesjif

Tasawuf sering dihubungkan dengan pengertian suluk yang juga berasal dari bahasa Arab yang berarti
perjalanan. Oleh ahli-ahli tasawuf pengertian suluk dipergunakan untuk menggambarkan perjalanan
mistik, yaitu perjalanan menuju Tuhan yang dimulai dengan memasuki tarika atau perjalanan di bawah
pimpinan seorang syekh dan akhirnya dengan usaha mencapai tingkat kejiwaan yang tertinggi menurut
kemampuannya. (Marwati Djoened Poesponegoro, 2010: 183)

Dalam konsepsi etika atau akhlak, dikenal istilah "tasawuf", yang mulai populer ketika umat Islam di
pimpin oleh Dinasti Muawiyah pada abad ke-8 Masehi, konsepsi baru etika ini tidak dikenal siapa
pencetusnya. (Azyumardi Azra, 2002: 112)

Menurut sebagian pakar, Imam Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang memunculkan istilah
tasawuf. Menurut yang lain Salman al-farisi. Menurut pendapat yang lain ialah Hudzaefah bin al-Yaman,
sebab al-Hasan Bashri (tokoh sufi di abad kedua Hijriyah) berguru kepada. Hudzaefah. (Noorthaibah,
2014: 82)

Ada pun asal-usul aliran sufisme, atau asal timbul dan munculnya aliran ini dalam Islam, memiliki
beberapa versi, di antaranya:

1. Ada yang berpendapat bahwa tasawuf dalam Islam banyak dipengaruhi Kristen. Diantara buktinya,
ada pertalian kehidupan antara orang Arab dan Nasrani sejak zaman sebelum Islam. Banyak rahib
Kristen yang datang ke jazirah Arabia mengajarkan dasar-dasar hidup kerohanian. Dilihat dari segi
ajaran-ajarannya, latihan rohaninya, khalwatnya, bahkan pakaiannya banyak kesamaan antara para
rahib kristen dan kaum sufi Islam. (Supiana, 2003: 223)
2. Ada juga yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari filsafat mistik Phytagoras dengan ajarannya
yang meninggalkan kehidupan material dan memasuki kehidupan kontemplasi. (Supiana, 2003: 223)

Filsafat mistik Pytagoras yang berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia
sebagai orang asing. Badan jasmani merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh yang sebenarnya ialah
alam samawi. Untuk memperoleh kehidupan yang bahagia di alam samawi, manusia harus
membersihkan roh dengan meninggalkan hidup materi, yaitu zuhud, untuk selanjutnya berkontemplasi.
(Noorthaibah, 2014: 82)

3. Dikatakan pula bahwa tasawuf masuk ke dalam Islam karena pengaruh filsafat Emanasi Plotinus.
(Supiana, 2003: 224)

Plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancar zat Tuhan. Roh berasal dari Tuhan dan akan
kembali kepadNya. Akan tetapi dengan masuknya ke alam materi, roh menjadi kotor, untuk kembali ke
tempat asalnya roh harus terlebih dahulu dibersihkan. Persucian roh adalah dengan cara meninggalkan
dunia dan mendekati Tuhan sedekat mungkin, kalau bisa bersatu dengan-Nya. (Noorthaibah, 2014: 83)

4. Aliran Budha dengan paham nirwananya. Untuk mencapai nirwana orang harus meninggalkan dunia
dan memasuki hidup kontemplasi. Paham fana' yang terdapat dalam sufisme hampir serupa dengan
faham nirwana. (Noorthaibah, 2014: 83)

5. Ajaran-ajaran Hinduisme yang juga mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati
Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahma. (Noorthaibah, 2014: 83)

Terlepas dari ada tidaknya pengaruh dari ajaran Islam, yang jelas dalam Islam sendiri banyak ayat Al-
Quran dan hadis yang membawa kepada timbulnya tasawuf (mendekatkan diri kepada Allah). Ajaran
yang mengatakan bahwa Tuhan dekat dengan manusia, misalnya, dapat dilihat dalam surat Al-Baqarah
ayat 186. "Jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diriku, (jawablah bahwa) Aku ini sungguh
dekat. Aku mengabulkan seruan yang memanggil jika ia dipanggil Aku." (Supiana, 2003: 224)

Kata do'a yang terdapat dalam ayat tersebut tidak diartikan "berdoa", sebagaimana lazimnya, tetapi
"diseru" atau "dipanggil". Tuhan mereka panggil, dan Tuhan memperlihatkan diri-Nya kepada mereka.
Pemahaman mereka itu didasarkan pada kenyataannya bahwa Tuhan, menurut mereka, begitu dekat
dan, karena dekatnya itu, mereka memanggil-Nya. (Supiana, 2003: 224)

B. Sejarah Perkembangan Tasawuf di Timur Tengah

Ada beberapa fase dalam sejarah perkembangan tasawuf yaitu :

1. Abad I dan II Hijriyah

Menurut Abd al-Hakim Hassan, abad pertama hijriyah terdapat dua corak kehidupan spiritual. Pertama,
kehidupan spiritual sebelum terbunuhnya Usman. dan kedua, kehidupan spiritual pasca terbunuhnya
Usman. Maka aspek ini yang menjadi embrionikal lahirnya gerakan-gerakan kezuhudan baca tasawuf-
sebagai bentuk protes terhadap sistem kehidupan pemerintahan pada waktu itu, sebagaimana yang
akan dijelaskan pada deskripsi berikut: (Noorthaibah, 2014: 90)

1) Fase sebelum Terbunuhnya Khalifah Usman Ibn Affan

Kehidupan spiritual Islam sebelum terbunuhnya Usman terhitung sejak masa Rasul SAW dan masa dua
khalifah sesudahnya yaitu khalifah Abu Bakar dan Umar. Kehidupan spiritual pada masa ini termasuk
Islam murni. Ciri utamanya adalah amal untuk merealisasikan dua kebahagian dunia dan akhirat.
(Noorthaibah, 2014: 94)

Nabi sendiri langsung memberi contoh aktif memimpin negara dan ummat Islam. Berjihad dan aktif
membangun manyatukan umat yang baru dibentuknya di pusat kota Madinah, yang terdiri dari berbagai
macam suku bangsa, baik dari kaum muhajirin ataupun anshar. Hal ini kemudian diteruskan oleh para
penggantinya, yakni para Khalifah al-Rasyidin. Mereka memandang kedudukan dan jabatan-jabatan
kenegaraan sebagai medan yang paling mulia untuk beribadah (amal saleh) dalam mengabdi bagi
kepentingan pribadi, golongan ataupun keluarga. Mereka meletakkan kepentingan kesucian agama dan
umat manusia di atas segalanya. Jadi konsep etika sosial Islam jauh berlawanan dengan konsep kejawen
yang memandang kedudukan (pangkat) sebagai kamukten bagi diri dan keluarganya. Oleh karena itu
wajar dan bisa dibayangkan bahwa Nabi bersama para sahabat dekatnya sanggup membina umat yang
baru dengan mentalitas jihaf yang tegar, tak bisa dipatahkan oleh kaum musyrikin yang memusihi dan
membencinya. (Simuh, 1997: 21)

Pada masa ini terdapat fenomena kehidupan spiritual yang cukup menonjol yang dilakukan oleh
sekelompok sahabat Rasul SAW yang di sebut dengan ahl al-suffah. (Noorthaibah, 2014: 90)

Karena mereka memanggil tempat di serambi masjid itu, maka kelompok itu disebut ahl al-suffah. Cara
hidup saleh dalam kesederhanaan yang di peragakan oleh kelompok itu, kemudian menjadi pola
panutan sebagian ummat Islam yang kemudian disebut sufi dan ajarannya dinamai tasawuf. (A. Rivay
Siregar, 2002: 32)

Nabi SAW sendiri sangat menyayangi mereka dan bergaul bersama bersama mereka. Pekerjaan merka
hanya jihad dan tekun beribadah di masjid seperti belajar, memahami dan membaca Al-Qur'an,
berdzikir, berdoa dan lain sebagainya. (Noorthaibah, 2014: 90)

Kesederhanaan kehidupan Nabi SAW juga diklaim sebagai panutan jalan para sufi. Banyak ucapan dan
tindakan Rasul yang mencerminkan kehidupan zuhud dan kesederhanaan baik dari segi pakaian ataupun
makanan, meskipun makanan yang enak dan pakaian yang bagus dapat terpenuhi. Hal ini berlangsung
hingga akhir hayat Rasulullah SAW. Secara logikapun tidak masuk akal seandai kata Rasul SAW yang
menganjurkan untuk hidup zuhud dan sederhana sementara dirinya sendiri tidak melakukannya.
(Noorthaibah, 2002: 90)

2) Fase Pasca Terbunuhnya Khalifah Usman

Term tasawuf dikenal secara luas di kawasan Islam sejak penghujung abad dua hijriah, sebagai
perkembangan lanjut dari kesalehan asketis atau para zahid yang mengelempok di serambi Masjid
Madinah. Dalam perjalanan kehidupan kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan
pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan duniawi. Pola hidup kesalehan
yang demikian merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang dengan pesatnya.
Fase ini dapat disebut sebagai fase asketisme dan merupakan fase pertama perkembangan tasawuf,
yang ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat sehingga
perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan keasikan duniawi. Fase asketisme ini
setidaknya sampai pada abad dua hijriah dan memasuki abaf tiga hijriah sudah terlihat adanya peralihan
konkrit dari asketisme Islam ke sufisme. (A Rivay Siregar, 2002: 36)

2. Fase Abad III dan IV Hijriyah

Apabila abad pertama dan kedua hijriyah disebut fase aksetisisme (kezuhudan), maka abad ketiga dan
keempat disebut sebagai fase tasawuf. Praktisi kerohanian yang pada masa sebelumnya digelari dengan
berbagai sebutan seperti zahid, abid, nasik, qari' dan sebagainya. Permulaan abad ketiga hijriyah mereka
mendapat sebutan sufi. (Noorthaibah, 2014: 92)

Sejak abad IX M atau abad III H berawal dari Ma'ruf ak-Karkhi (w.815M/200H) tasawuf mengambil
bentuk misticisme (paham mengenai hal-hal gaib yang tidak terjangkau oleh akal manusia biasa) seperti
yang terdapat dalam agama-agama lain. Sejak abad IX M (III H) muncul ide makrifatullah (mengenal
Allah) dengan hati nurani, melalui mata batin yang suci. Orang yang sedang berjuang dan belum
mencapai tujuan, seperti telah disebut di atas, dinamakan mutasawif, sedangkan mereka telah
mencapai makrifatullah atau diyakini sudah mencapai disebut sufi. Pada abad IX M (III H) dan abad-abad
berikutnya tasawuf mengalami masa keemasannya. (Mohammad Daud Ali, 2006: 158)

Tujuan utama kegiatan rohani mereka tidak semata-mata kebahagian akhirat yang ditandai dengan
pencapaian pahala dan penghindaran siksa, akan tetapi untuk menikmati hubungan langsung dengan
Tuhan yang didasari dengan cinta. Cinta Tuhan membawa konsekuensi pada kondisi tenggelam dan
mabuk kedalam yang dicintai (fana fi al-mahbub). Kondisi ini tentu akan mendorong ke persatuan
dengan yang dicintai (al-ittihad). Kondisi ini tentu akan mendorong ke persatuan dengan yang dicintai
(al-ittihad). Di sini telah terjadi perbedaan tujuan ibadah orang-orang syariat dan ahli hakikat.
(Noorthaibah, 2014: 92),

Pada fase ini muncul istilah fana', ittihad dan hulul. Fana adalah suatu kondisi dimana seseorang sufi
kehilangan kesadaran terhadap hal-hal fisik (al-hissiyat). Ittihad adalah kondisi dimana seseorang sufi
merasa bersatu dengan Allah SWT sehingga masing-masing bisa memanggil dengan kata aku (ana). Hulul
adalah masukbya Allah SWT kedalam tubuh manusia yang dipiih. (Noorthaibah, 2014: 92)

Di antara tokoh pada fase ini adalah Abu yazid al-Busthami (w.263 H) dengan konsep ittihadnya, Abu al-
Mughits al-Husain Abu Manshur al-Hallaj (244-309 H) yang lebih dikenal dengan al-Hallaj dengan ajaran
hululnya. (Noorthaibah, 2014: 92)

Abu yazid Thaifur bin Isa adalah nama lengkap dari Abu Yazid, karena beliau di lahirkan di kota Bisthami
Khurasan, akhirnya namanya di beri nama akhiran dari Kota kelahirannya Abu Yazid Al Bisthami. Beliau
dilahirkan pada tahun 188 Hijriyah. (Labib, 2000: 24)
Baginya, Zahid adalah seseorang yang telah menyediakan dirinya untuk hidup zuhud demi mendekatkan
diri kepada Allah. Halu ini ia kerjakan dalam tiga fase: zuhud terhadap dunia, zuhud terhadap akhirat,
dan zuhud terhadap selain Allah. Dalam fase terakhir ini, timbul suatu kondisi mental yang menjadikan
dirinya tidak mengingat apa-apa lagi kecuali Allah, atau fana' al-nafs, yaitu hilangnya kesadaran akan
eksistensi diri sehingga ia tidak menyadari lagi akan jasad kasarnya sebagai manusia karena
kesadarannya telah menyatu dengan iradah Tuhan (al-ittihad). Dengan demikian, Abu Yazid telah
membawa paham tasawuf yang dicapai melalui pintu al-fana yang diikuti al-baqa' (tetap, terus hidup).
(Supiana, 2003: 241)

Tokoh selanjutnya yaitu Abu al-Mughits al-Husain Abu Manshur al-Hallaj (244-309 H) yang lebih dikenal
dengan al-Hallaj dengan ajaran hululnya.

Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughit Al-Husain ibnu Mansur ibnu Muhammad Al-Baidhawi. Ia
seorang tokoh sufi abad ke-3 Hijriyah. Dia digelari Al-Hallaj karena penghidupannya diperoleh dari
meminta wol. Sebelum masuk Islam, ia beragama Majusi yang dibawa oleh Abu Ayub, seorang
keturunan sahabat Nabi. Ia lahir sekitar tahun 224 H di Bailda, Persia. Kemudian ia menetap di Bagdad
dan meninggal pada tahun 922 M karena dihukum bunuh. (Supiana, 2003: 242)

Paham tasawufnya dikenal dengan al-hulul yang merupakan perkembangan dan bentuk lain dari al-
ittihad yang dikemukakan oleh Abu Yazid. Hulul berasal dari bajasa Arab, halla-yahullu-hulul, yang
berarti menempati atau gambaran dari kesatuan dua badan, yang salah satunya menjadi petunjuk
baginya. Jadi, hulul, dalam pandangan sufi, adalah keyakinan para sufi bahwa Tuhan bersatu dengan
manusia sehingga dia menganggap dirinya Tuhan dengan sifat ketuhanan lebih banyak ketimbang sifat
kemanusiaan. (Supiana, 2003: 243)

Tokoh lainnya adalah Dzun nun al-Mishri (w. 245) yang dikenal dengan pencetus ma'rifat. Dia pernah
belajar ilmu Kimia dari Jabir bin Hayyan. Dia juga dianggap orang yang berbicara pertama kali tentang
maqamat dan ahwal di Mesir, al-Hakim al-Tirmidzi (w.320 H) dengan konsep kewalian, Abu Bakar al-Sibli
(w.334 H). (Noorthaibah, 2014: 93)

Nama lengkap Dzun Al-Nun Al-Mishri adalah Abd Al-Farid Dzun Al-Nun Al-Mishri, yang sering disebut
juga Tsaubun bin Ibrahim. Ia lahir di Naubah pada tahun 156 H, daerah yang terletak di antara Sudan
dan Mesir. Ia mengembangkannya di Mesir hingga wafatnya tahub 245 H. (Supiana, 2003: 238)

Dzun Nun Al Misri sejak kecil selalu hidup dalam bergelimang dengan bermacam-macam ilmu
pengetahuan, lebih-lebih dengam ilmu Tasawuf, dengan Ilmu Tasawuf tersebut mendorong dirinya
memiliki sifat-sifat wara', zuhud dan akhlakul karimah yang mendukung teori-teori tasawuf yang sedang
di kembangkan. (Labib, 2000: 14)

Ajaran tasawuf yang dibawanya dikenal dengan ma'rifat. Menurut kalangan Sunni, tingkat tertinggi yang
dicapai sufi dalam perjalanan rohaninya adalah ma'rifat. Sedangkan menurut kalangan Syiah, puncak
tertinggi adalah ketika sufi sudah sampai pada tahap menyatu dengan Tuhan yang disebut ittihad dan
hulul. (Supiana, 2003: 238)
Dalam ilmu tasawuf, ma'rifat adalah melihat Tuhan dari dekat melalui hati sanubari seorang sufi yang
diperolehnya dari Tuhan sendiri. Al-Kalabadzi menjelaskan, ma'rifat hanya diperoleh orang-orang
tertentu yang telah mendapat anugerah dari Tuhan. Karena itu, orang yang telah mendapatkannya akan
merasakan dalam dirinya suatu keunikan dalam pertemuannya dengan Tuhan. (Supiana, 2003: 238)

3. Fase Abad V Hijriyah

Fase ini disebut sebagai fase konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan dasarnya yang asli yaitu al-
Qur'an dan al-Hadist atau yang sering disebut dengan tasawuf sunny yakni tasawuf yang sesuai dengan
tradisi (sunnah) Nabi SAW dan para sahabatnya. Fase ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap fase
sebelumnya yang mulai melenceng dari koridor syariah atau tradisi (sunnah) Nabi SAW dan para
sahabatnya. (Noorthaibah, 2014: 93)

Tasawuf sunni kurang memperhatikan ide-ide spekulatif karena mereka sudah merasa puas dengan
argumentasi yang bersifat naqli agamawi. Barangkali karena sikap ortodoksi dan kesederhanaan berpikir
kelompok ini, maka kehadirannya dapat diterima oleh umumnya ulama Ahlus Sunnah, hal ini menjadi
salah satu sebab penamaan aliran ini dengan tasawuf sunni. Apabila dilihat dari aspek materi kajian dan
proses pencapaian sasaran antara tasawuf sunni dapat dibedakan kepada tasawuf akhlak dan tasawuf
amali. (A. Rivay Siregar, 2002: 56)

Tokoh Tasawuf pada fase ini adalah Abu Hamid al-Ghazali (w.505 H) atau yang lebih dikenal dengan al-
Ghazali. Ia dilahirkan di Thus Khurasan. Ia hidup dalam lingkungan pemikiran maupun mahzab kasyf
dalam makrifat. (Noorthaibah, 2014: 93)

Al Ghazali yang lahir di kalanga keluarga yang ta'at menjalankan perintah agama membuat dirinya
terdorong untuk mempelajari, mendalami dan memahami lebih jauh tentang keislaman. (Labib, 1998:
172)

Keinginannya yang besar untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman membuat dirinya beraungguh-sungguh
belajar ilmu agama kepada para ulama terkenal, diantaranya kepada Ahmad Ibnu Muhammad al Razkani
al Thusi. (Labib, 1998: 172)

4. Fase Abad VI Hijriyah

Fase ini ditandai dengan munculnya tasawuf falsafi yakni tasawuf yang memadukan antara rasa (zauq)
dan rasio (akal), tasawuf bercampur dengan filsafat terutama filsafat Yunani. Pengalaman-pengalaman
yang diklaim sebagai persatuan antara Tuhan dan hamba kemudian diteoritiskan dalam bentuk
pemikiran seperti konsep wahdad al-wujud yakni bahwa wujud yang sebenarnya adalah Allah SWT
sedangkan selain Allah SWT hanya gambar yang bisa hilang dan sekedar sangkaan dan khayali.
(Noorthaibah, 2014: 94)

Kelompok ini justru sangat gemar terhadap ide-ide spekulatif karena kebanyaka sufi aliran ini memiliki
pengetahuan yang cukup dalam tentang lapangan filsafat. Dengan kegemaran berfilsafat itu, mereka
mampu menampilkan argumen-argumen yang kaya dan luas terhadap ide-ide ke-Tuhan-an dan alam
metafisis yang menurut keyakinan mereka masih relevan dengan nilai-nilai al-Qur'an dan Sunnah.
Dengan demikian, nampaknya perbedaan dan sebab penamaan itu tidak terletak pada menyimpang
atau tidaknya dari ajaran Islam atau karena perbedaan nilai, tetapi perbedaan itu hanyalah bersifat
instrumental belaka, yakni sistem pemecahan masalahnya. (A Rivay Siregar, 2002: 56)

Tokoh-tokoh pada fase ini adalah Muhyiddin Ibn Arabi atau yang lebih dikenal dengan Ibn Arabi atau
yang lebih dikenal dengan Ibnu Arabi (560-638) dengan konsep wahdah al-Wujud. (Noorthaibah, 2014:
94)

Nama lengkap Ibnu Arabi adalah Muhammad Ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Abdullah Al-Hatimi.
Ia lahir pada tahun 560 H di kota Murcia, spanyol. Ayahnya, Ali ibn Muhammad, salah seorang yang alim
dalam bidang fikih dan hadis dan terkenal kezuhudannya. (Supiana, 2003: 246)

Ketika berusia delapan tahun, ayahnya pindah ke Sevila dan saat itulah ia mulai memasuki pendidikan
formal. Setelah di Sevila itulah ia memasuki dunia sufi. Perjalanan hidupnya dihabiskan untuk
melanglang buana ke berbagai negeri. (Supiana, 2003: 246)

Di masa mudanya, ia pernah menjadi sekretaris hakim tingkat wilayah. Sakit keras yang pernah dialami
mengubah sikap yang sangat drastis. Dia menjadi seorang zahid dan abid. Dia menghabiskan waktunya
di beberapa kota Andalusia dan Afrika Utara untuk bertemu para guru sufi. Umur tiga puluh tahun
pindah ke Tunis kemudian ke Fas. Disini, Ibnu Arabi menulis buku berjudul al-Isra Ila Maqam al-asra.
Kemudian pergi ke Kairo dan al-Quds yang kemudian diteruskan ke Mekkah dan disini ia menyusun kitab
Taj al-Rasail dan Ruh al-Quds pada tahun 598 H. Mulai menulis kitab yang sangat terkenal al-Futuhat al
Fusus al-Hikam. (Noorthaibah, 2014: 94)

Ajaran tasawufnya dikenal dengan wahdatul wujud (unity of existance/kesatuan wujud). Dalam paham
ini nasut yang ada dalam hulul diubah oleh Ibnu 'Arabi menjadi al-khalq (mahluk) dan lahut menjadi Al-
Haq (Tuhan). Khalq dan haq merupakan dua aspek bagi setiap sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut
khalq, sedangkan aspek sebelah dalam disebut haq. Kata haq dan Khalq merupakan sinonim dari
al-'aradh (accident) dan al-jauhar (substance) dan dari al-zahir dan al-batin. Menurut paham ini, setiap
yang ada mempunyai dua aspek. Pertama, aspek luar yang merupakan 'aradh dan khalq yang
mempunyai sifat kemakhlukan. Kedua, aspek dalan yang merupakan jauhar dan haq yang mempunyai
sifat ketuhanan. Dengan kata lain, setiap yang berwujud terdapat sifat ketuhanan (haq) dan sifat
kemakhlukan (khalq). (Supiana, 2003: 246)

Ibn al-Arabi telah mengajarkan bahwa semua benda di alam semesta ini harus terpancar (emanasi) dari
pra-pengetahuan ke-Ilahi-an: mereka telah ada terlebih dahulu di dalam bentuk ide dan pancaran itu
berlangsung sebagai aliran yang berkembang dalam lima tahap. Di dalam diri manusia, yang merupakan
tahap keenam, evolusi dapat terlepas, karena jiwa dapat bersatu kembali dengan esensi ke-Ilahi-an
dengan melihat tembus bentuk luar pluralitas yang palsu ini. Manusia telah menyadari kebenaran asasi
bahwa wujud semua makhluk tidak lain adalah sebenar-benar esensi Khaliknya, maka itu doktrin ini
dinamai wujudiyyah. (Marwati Djoened Poesponegoro, 2010: 184)

Inti ajaran Ibn Arabi yang dikenal dengan sebutan wahdatul wujud berkembang pula kemana-mana.
Pada abad tujuh hijriah, ajaran ini berkembang di Mesir melalui sufi penyair Ibn al-Faridh (w.633 H) dan
Ibn Saba'in (w.669 H) di Andalusia, serta meluas di Persia lewat syair-syair Jalaluddin Rumi (w.672 H).
Seperti dinyatakan oleh Ibn Arabi, bahwa doktrin wahdatul wujud tidak sama dengan inti ajaran ma'rifat.
Menurut ajaran itu, Tuhan sebagai esensi mutlak - yang menurut al-Ghazali dapat dikenal - tidak
mungkin dikenal oleh siapapun, walau oleh Nabi sekalipun. Menurut Ibn Arabi, Tuhan sebagai dzat
mutlak hanya bisa dikenal melalui nama dan sifat-sifat - Nya, yakni melalui penampakan lalur dari esensi
dzat-Nya yang mutlak itu. Unsur-unsur ajaran ini, sebenarnya sudah ditemukan dalam konsep tasawuf
Abu Yazud al-Busthomi dan al Hallaj, tetapi dalam bentuk yang sempurna ditemukan pertama kali di
dunia Islam dalam tulisan Ibn Arabi. (A. Rivay Siregar, 2002: 44)

Sejak muncul paham wahdatul wujud, tasawuf pecah mebjadi dua aliran. Aliran pertama, aliran rasawuf
yang didasarkan pada ajaran al-Quran dan al-Hadis, sedangkan yang kedua aliran fana, yang disebut
sebagai tasawuf falsafi, karena teori-teori yang dikemukakannya banyak mengandung unsur-unsur
filsafat. (Mohammad Daud Ali, 2006: 161)

Tokoh lainnya adalah al-syuhrawardi (549-587 H) dengan konsep Isyraqiyahnya. Ia dihukum bunuh
dengan tuduhan telah melakukan kekufuran dan kezindikan pada masa pemerintahan Shalahuddin al-
Ayubi. Diantara kitabnya adalah hikmat al-Israq. Tokoh berikutnya adalah ibnu sab'in (667 H) dan Ibn al-
Faridl (632 H). (Noorthaibah, 2014: 95)

Pada abad VI juga ditandai dengan munculnya tariqat yakni madrasah sufi yang bertujuan membimbing
calon sufi menuju pengalaman ilahi melalui teknik zikir tertentu. Oleh sebagian orang dikatakan bahwa
munculnya tariqat adalah untuk membantu orang-orang awam agar ikut mencicipi tasawuf karena
selama ini pengalaman tasawuf hanya dialami oleh orang-orang tertentu saja (khawas). Disamping itu
kehadiran tariqat juga untuk memagari tasawuf agar senantiasa berada dalam koridor syariat. Itulah
sebabnya sistem thariqat sangat ketat. (Noorthaibah, 2014: 95)

Tambahi madrasah

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad Daud. 2006. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Azra, Azyumardi, dkk. 2002. Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum.
Imtinaha, Alda, dkk. 2009. Mata kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) Pendidikan Agama Islam.
Indralaya: Universitas Sriwijaya.

Labib. 1998. Rahasia Kehidupan Orang Sufi. Surabaya: Bintang Usaha Jaya.

Labib. 2000. Kisah Perjalanan Hidup Tokoh Sufi Terkemuka. Gresik: Tiga Saudara.

Noorthaibah. 2014. Pemikiran Sufistik K.H. Dja'far Sabran. Jakarta: Mitra Wacana Media.

Notosusanto, Nugroho dan Yusmar Basri. 1981. Sejarah Nasional Indonesia untuk SMA II. Bandung:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2010. Sejarah Nasional Indonesia III.
Jakarta: Balai Pustaka.

Simuh. 1997. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Siregar, A. Rivay. 2002. Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Supiana dan M.Karman. 2003. Materi Pendidika Agama Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai