Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH STUDI ISLAM

ASPEK TASAWUF DALAM ISLAM

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS


MATA KULIAH STUDI ISLAM

Disusun Oleh :

Akbar Rahmatullah (11190511000087)

Evi Sopyanti (11190511000100)

Nabila Riyadi (11190511000103)

JURNALISTIK C 2019

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


1.1. Latar Belakang

Agama Islam merupakan agama yang dipeluk oleh mayoritas warga Indonesia. Indonesia
menjadi negara terbesar seperti negara Arab dengan pengikut Muslim terbanyak. Tasawuf
adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dari
Islam. Spiritualis ini dapat mengambil bentuk yang beraneka di dalamnya. Tasawuf lebih
menekankan aspek rohaninya dibandingkan dengan aspek jasmaninya.

Dalam kehidupan yang nyata ini, tasawuf menekankan kehidupan akhirat daripada
kehidupan dunia yang fana. Tasawuf juga biasanya disebut dengan penyucian diri. Kajian
tasawuf tidak bisa dilepaskan dari kajian Islam di Indonesia dan sampai saat ini pun kajian
mengenai tasawuf dan marak dibicarakan. Menurut Dr. Alwi Shihab, tasawuf adalah faktor
terpenting bagi tersebarnya Islam secara luas di Asia Tenggara.

Secara historis tasawuf telah mengalami perkembangan melalui beberapa tahap sejak
pertumbuhan hingga keadaannya sekarang. Pada tahap awal kemunculannya, tasawuf telah
membawa angin segar dalam kancah ke-Islaman lantaran ajaran maupun amalan yang
dilakukan oleh para sufi. Kata seorang sufir besar, “engkau selalu bersama Allah atau beserta
Allah tanpa penghalang.” Ini merupakan definisi tasawuf yang mudah. Tasawuf perlu
dilakukan oleh kita sebagai umat Muslim.

“Akar dari mengapa kita sebagai umat Muslim jauh dari Allah SWT yaitu dengan maksiat
dan cinta duniawi.” Kurang lebih seperti itu yang dikatakan oleh imam besar yaitu Imam
Syafi’i dan merupakan salah satu faktor mengapa kita perlu melakukan tasawuf. Selama ini
muncul berbagai pertanyaan di benak kita sebagai umat manusia seputar tasawuf. Seperti apa
itu tasawuf?, darimana asal kata itu?, apa saja aspek yang mencangkup tasawuf dalam Islam?
kurang lebih seperti itu. Itulah sebabnya makalah ini kami akan membahas mengenai aspek
tasawuf dalam Islam.
1.2. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang terurai diatas maka dapat disimpulkan beberapa rumusan
masalah sebagai berikut :

1. Apa definisi dari tasawuf dalam Islam?


2. Bagaimana sejarah kemunculan tasawuf dalam Islam?
3. Siapa saja tokoh-tokoh sufi dan sejarawan tasawuf?
4. Bagaimana pendapat mereka mengenai tasawuf?
5. Apa saja yang menjadi tujuan tasawuf?
6. Apa itu Esensi Tasawuf?

2.1. Definisi Tasawuf

Berbagai teori dimajukan tentang asal-usul kata tasawuf. Sudah disebutkan bahwa ada
segolongan umat Islam yang belum merasa puas dengan pendekatan diri kepada Tuhan
melalui ibadah, salat, puasa dan haji. Mereka ingin merasa lebih dekat lagi dengan
Tuhan.Jalan untuk itu diberikan oleh al-tasawwuf. Al-tasawwuf atau Sufisme ialah istilah
yang khusus dipakai untuk menggambarkan mistisme dalam Islam.

Teori yang banyak diterima ialah bahwa istilah itu berasal dari kata suf yaitu wol.
Yang dimaksud bukanlah wol dalam arti modern, wol yang dipakai orang-orang kaya, tetapi
wol primitif dan kasar yang dipakai di zaman dahulu oleh orang-orang miskin di Timur
Tengah. Di zaman itu pakaian kemewahaan ialah sutra. Orang sufi ingin hidup sederhana dan
menjauhi hidup keduniawian dan kesenangan jasmani dan untuk itu mereka hidup sebagai
orang-orang miskin dengan memakai wol kasar tersebut. Mereka hidup sederhana dan miskin
tetapi berhati mulia.

Dari segi linguistik (kebahasaan) dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental
yang selalu memelihar kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk
kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk
mensucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sejingga
kehadiran-Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan.

Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubungkan untuk
menjelaskan tasawuf. Tasawuf muncul dari kata Ahl Al-Suffah yaitu penghuni serambi.
Sebutan ini ditujukan bagi orang-orang yang pada zaman Rasulullah SAW yang hidup di
sebuah gubuk yang dibangun oleh Rasulullah SAW di sekitar masjid Madinah. Mereka ikut
nabi saat hijrah dari Mekah ke Madinah karena hijrah dengan meninggalkan harta benda
mereka, mereka hidup miskin dan pada akhirnya mereka bertawakkal dan mengabdikan
hidupnya untuk beribadah kepada Allah SWT. Mereka tinggal di sekitar masjid nabi dan tidur
diatas bangku yang terbuat dari batu dan pelana yang disebut suffah sebagai bantalnya. Kata
sofa dalam bahasa Eropa berasal dari kata suffah. Mereka Ahl Al-Suffah berhati dan
berakhlak mulia walaupun miskin.

Saf yang berarti barisan, Shafi yang berarti suci. Yaitu sekelompok orang yang
menyucikan hati dan jiwanya karena Allah. Sufi berarti orang-orang yang hati dan jiwanya
suci bersih dan disinari cahaya hikmah, tauhid, dan kesatuan dengan Allah SWT. Lalu dari
bahasa Yunani, berasal dari kata Sophos yang artinya hikmah atau kebijaksanaan. Tasawuf
juga berarti penyucian diri.1 Tasawuf juga berasal dari kata tafa’ala dalam ilmu tafsir bahasa
Arab yaitu tafa’alayatafa’alu-tafa’ulan , kata tasawuf nerasal dari mauzun
“tashawafayatashawwafu-tashawwufan”.

2.2. Sejarah kemunculan tasawuf

Timbulnya tasawuf dalam Islam tidak bisa dipisahkan dengan kelahiran Islam itu
sendiri yaitu semenjak Nabi Muhammad diutus menjadi Rasul untuk segenap umat manusia
dan alam semesta. Fakta sejarah menemukan bahwa pribadi Muhammad sebelum diangkat
menjadi Rasul telah berulang kali melakukan tahanuts dan khalawat di gua Hira’ disamping
untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang mabuk memperturutkan
hawa nafsu keduniaan.2

Di sisi lain, Muhammad juga berusaha mencari jalan untuk membersihkan hati dan
mensucikan noda-noda yang menghinggapi masyarakat pada masa itu. Tahanuts dan
khalawat yang dilakukan oleh Muhammad SAW bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa
dan keberhasilan hati dalam problema kehidupan yang beraneka ragam, berusaha untuk
memperoleh petunjuk dan hidayah serta mencari hakikat kebenaran, dalam situasi yang
demikianlah Muhammad menerima wahyu dari Allah SWT yang berisi ajaran-ajaran dan

1
PROF.DR. HARUN NASUTION, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya JILID II, (Penerbit Universitas Indonesia,
Jakarta, 2018), hal. 68
2
http://ryzchacha.blogspot.com/2014/11/aspek-tasawuf-dalam-islam.html?m=1 diakses pada hari Minggu, 22
Maret 2020 pukul 13:28 WIB
peraturan-peraturan sebagai pedoman dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat.

Pada abad pertama dan kedua Hijriyah, para sahabat Rasulullah mencontohi
kehidupan Rasulullah yang serba sederhana dimana hidupnya hanya semata-mata diabdikan
kepada Tuhannya. Beberapa sahabat yang tergolong sufi di abad pertama dan berfungsi
sebagai maha guru bagi pendatang dari luar kota Madinah yang tertarik kepada kehidupan
sufi. Para sahabat tersebut ialah Khulafaurrasyidin, Salman Al-Farisiy, Abu Dzarr Al
3
Ghifarry, dll.

Perkemangan tasawuf pada masa tabi’in, ulama-ulama sufi dari kalangan tabi’in
adalah murid dari ulama-ulama sufi dari kalangan sahabat. Kalau berbicara tasawuf dan
perkembangannya pada abad pertama, dengan mengemukakan tokoh-tokohnya dari kalangan
sahabat. Tokoh-tokoh tersebut ialah Al-Hasan, Al-Bashry, Rabi’ah Al-adawiyah, Sufyaan bin
Sa’id Ats-Tsaury, Daud Ath-Thaaiy.

Pada abad ketiga Hijriyah, mengalami perkembangan yang pesat hal ini ditandai
dengan adanya segolongan ahli tasawuf yang mencoba menyelidiki inti ajaran tasawuf yang
berkembang pada masa itu sehingga mereka membaginya ke dalam tiga macam, yakni :
Tasawuf yang berintikan ilmu jiwa, ilmu akhlaq dan metafisika. Tokoh-tokoh sufi pada masa
ini ialah Abu Sulaiman, Ad-Daaraany, Ahmad bin Al-Hawaary Ad-Damasqiy, Abul Faidh
Dzuun Nun bin Ibrahim Al-Mishry.

Pada abad keempat Hijriyah, ditandai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat
sibandingkan dengana bad ketiga. Karena usaha maksimal para ulama tasawuf untuk
mengembangkan ajaran tasawufnya. Tokoh-tokoh pada abad ini yiatu Musa Al-Anshaary,
Abu Hamid bin Muhammad, Abu Zaid Al-Adany, Abu Ali Muhammad bin Abdil Wahhab.
Sedangkan pada abad kelima Hijriyah, adanya pertentangan turun-temurun antara ulama sufi
dengan fiqih, berkembangnya mazhab Syi’ah ismaa’iliyah yang dimana mengembalikan
kekuasaan pemerintahan kepada keturunan Ali bin Abi Thalib. Mereka beranggapan bahwa
dunia ini harus diatur oleh imam, karena dialah yang langsung menerima petunjuk dari
Rasulullah SAW.

Pada abad keenam, ketujuh dan kedelapan Hijriyah, para ulama sangat berpengaruh
pada zaman ini adalah Syihabuddin Abul Futu As-Suhrawardy, Al-Ghaznawy. Pada abad

3
https://www.academia.edu/19443683/SEJARAH_TASAWUF diakses pada hari Minggu, 22 Maret 2020 pukul
13:55 WIB
kesembilan, kesepuluh Hijriyah dan sesudahnya, betul-betul ajaran ini tasawuf sangat sunyi
di dunia Islam yang artinya nasibnya lebih baik lagi dari keadaanya pada abad keenam,
ketujuh, dan kedelapan Hijriyah. Faktor yang menyebabkan runtuhnya ajaran tasawuf ini
antara lain ahli tasawuf sudah kehilangan kepercayaan di kalangan masyarakat Islam serta
adanya penjajah bangsa eropa yang beragama Nasrani yang menguasai seluruh negeri Islam.

2.3. Tokoh-Tokoh Sufi dan Sejarawan Tasawuf

Yang pertama ialah Syirat At-Thusi. Menurut beliau tasawuf dibangun dengan
pemahaman (dirayah). Kontribusi beliau dalam hal tasawuf adalah upayanya dalam
menyatukan fiqih dengan tasawuf. “Dengan menganggap keduanya sebagai ilmu yang satu.
Ia mengembalikan tasawuf dan fiqih pada ilmu syariat yang satu.” (Syaraf, 2014: 6). Oleh
karena itu tidaklah benar pembagian ilmu menjadi ilmu dhahir dan batin. Sebab ketika ilmu
sudah bersemayam dalam hati maka ilmu tersebut merupakan batin dalam hati lantas
mengalir pada lisan dan kemudian menampak. Ketika ilmu tersebut telah mengalir pada lisan
maka ia adalah ilmu yang dhahir. Thusi beranggapan ilmu tasawuf didirikan oleh hati (batin).
Tiap-tiap perbuatan anggota badan (dhahir) tersebut memiliki ilmu, tata-cara, penjelasan,
pemahaman, hakikat dan nulari tersendiri. Namun demikian, dhahir tidak bisa sendiri tanpa
batin dan batin pun tidak bisa sendiri tanpa dhahir.

Tokoh selanjutnya adalah Sya’rani yang juga mengemukakan apa yang telah
disampaikan oleh Siraj Ath- Thusi. Menurut Sya’rani imu tasawuf dibangun atas dasar al-
Qur’an dan Sunnah atas dasar akhlak perbuatan para Nabi dan orang-orang yang terpilih oleh
karena itu tasawuf tidaklah tercela selagi tidak bersebrangan dengan Al-Qur’an, Sunnah dan
ijma (kesepakatan ulama). “Selagi tidak bersebrangan dengan semua itu, maka sebaiknya
seseorang memahami apa yang disampaikan oleh seorang sufi.” (Syaraf, 2014: 7)

Seperti yang dikatakan oleh Sya’rani berkata dalam buku Tasawuf Islam Mazhab
Baghdad, beliau mengatakan :

Ilmu tasawuf tak lain merupakan sebuah keilmuan yang terpercik dalam hati para wali ketika
hati tersebut diterangi oleh pengalaman-pengalaman terhadap al-Qur’an dan sunnah, maka
akan terpancar dalam hatinya keilmuan-keilmuan, adab-adab, kerahasiaan-kerahasiaan, dan
hakikat-hakikat yang tak bisa diungkapkan oleh lisan. Ini sama halnya dengan hukum-hukum
yang terbesit pada diri ulama syariah ketika mengamalkan hukum-hukum/ aturan-aturan yang
telah mereka ketahui. Tasawuf tak lain merupakan inti sari pengamalan seorang hamba
terhadap hukum-hukum syariat, yaitu ketika amal perbuatannya itu bersih dari penyakit-
penyakit dalam jiwa. Itu seperti halnya ilmu ma’ani dan bayan yang merupakan inti sari dari
ilmu nahwu. Sehingga tidaklah salah jika ada seseorang yang menganggap ilmu ma’ani dan
bayan sebagai ilmu nahwu. (Syaraf, 2014: 8)

Sya’rani berpendapat bahwa barang siapa yang menyelami ilmu syriah hingga sampai
ujungnya maka ia akan merasakan bahwa ilmu tasawuf memang berasal dari syariah itu
sendiri. Jika seseorang memasuki dan menyelami jalan para sufi maka Allah akan
memberikan kepadanya kekuataan mengambil kesimpulan (Al-Qur’an dan Sunnah) yang
sepadan dengan hukum-hukum dhahir.

Dalam jalannya itu, ia mengambil kesimpulan bahwa segala sesuatu yang diwajibkan,
diharamkan, adab-adab, keharaman-keharaman, dan kemakruhan-kemaruhan. Sehingga
seseorang yang memperdalam pandangannya akan menemukan bahwa tidak ada keilmuan
yang berasal dari sufi yang keluar dari syariah. Bagaimana mungkin keilmuan mereka keluar
dari syariah, sedangkan syariah sendiri merupakan pengantar mereka menuju Allah pada tiap-
tiap langkah. Sehingga seorang yang menganggap aneh ilmu tasawuf dan menganggapnya
sebagai suatu keluar dari syariah, tak lain adalah seorang yang tidak memahami syariah itu
sendiri.4

Tak diragukan lagi bahwa memperhatikan syariah, aturan-aturannya, dan


mengamalaknnya merupakan batas pemisah antara keimanan dan kezindikan di jalan menuju
Allah bagi para sufi. Yang pertama kali dituduhkan oleh musuh-musuh tasawuf kepada para
sufi adalah bahwasanya mereka dianggap telah keluar dari batasan-batasan syariat, merasa
diri mereka telah terbebas dari tuntutan-tuntutan syariat (taklif) atau pemikir Islam
dinamakan sebagai Ibahah (menghalalkan segala sesuatu yang diharamkan).

Namun sebenarnya, para sufi dan sejarahwan mereka sendiri telah menyatakan
dengan sangat jelas bahwa mereka berpegang teguh kepads pada syariat. Syariat bagi mereka
adalah pintu yan menghantarkan pada hakikat dalam halnya firman Allah “Datanglah kalian
pada pintu-pintunya.” Oleh karena itu tidak ada batin tanpa adanya dhahir, dan tidak ada
hakikat tanpa ada syariat. 5

Selanjutnya tokoh ketuga ialah al-Kalabadzi. Beliau mengisyaratkan adanya berbagai


macam keilmuan dalam Islam dan menjadikan tasawuf sebagai sebuah keilmuan tersendiri
yang berbeda dengan ilmu-ilmu Islam lainnya. Menurut al-Kalabadzi, tasawuf merupakan

4
PROF.DR. MUHAMMAD JALAL SYARAF, TASAWUF ISLAM MAZHAB BAGHDAD, (GAYA MEDIA PRATAMA,
TANGERANG SELATAN, 2014), hal. 8
5
PROF.DR. MUHAMMAD JALAL SYARAF, TASAWUF ISLAM MAZHAB BAGHDAD, (GAYA MEDIA PRATAMA,
TANGERANG SELATAN, 2014), hal. 10
ilmu mukasyafat (ketersingkapan hati), ilmu musyahadat (persaksian-persaksian terhadap
alam ghaib), dan ilmu muamalat (tingkah laku/berinterkasi antar manusia). 6

Dalam konteks ini, al-Kalabadzi beranggapan bahwa ilmu tasawuf adalah ilmu ahwal
(tentang kondisi jiwa) sedangkan ahwal adalah kondisi-kondisi merupakan warisan dari amal
perbuatan. Ahwal tidak akan terwarisi dari amal perbuatan yang benar. Sedangkan jalan yang
harus ditempuh untuk meluruskan amal perbuatan adalah mengetahui imu-imu terdahulu
seperti ilmu tentang aturan-aturan yang adalam syariah baik ushul fikih : shalat, puasa, dan
kefarduan-farduan lainnya.

Al-Kalabadzi membagi tiga jalan para sufi yaitu ilmu hikmah, mari’fah dan isyarat.

Untuk hikmah, ini merupakan ilmu yang pertama kali harus dipegang teguh oleh seorang
hamba. Dimana ilmu ini membahas tentang penyakit jiwa, mencerdaskan, melatih, mendidik
akhlak, melawan musuh-musuh, fitnah dunia dan cara menjaga diri dari fitnah tersebut.

Untuk mari’fah, ketika jiwa sudah cenderung untuk melakukan segala sesuatu yang
diwajibkan, sudah bersih perwatakannya dan sudah dididik dengan adab adab Allah, dari
pengaturan anggota badan, menjaga lirikan-lirikan dan menyatukan panca indera, maka
mudahlah memperbaiki akhlak, mensucikan dhahir dari hawa nafsu, menjauhkan dan
memalingkannya dari dunia. Apabila demikian, maka seorang hamba sudah bisa mengontrol
bisikan-bsikan hatinya, dan membersihkan kerahasiaan-rahasiaannya.

Sedangkan isyarat, yaitu berkumpulnya ilmu tentang bisikan-bisikan hati dengan


mukasyafah (ktersingkapan hati). Ini merupakan sebuah keilmuan yang hanya bisa dimiliki
oleh soerang sufi, setelah mereka mengumpulkan ilmu-ilmu di atas. Dinamakan sebagai ilmu
syariat adalah karena segala persaksian hati dan tersingkapnya segala kerahasiaan-rahasiaan
tidaklah mungkin untuk diungkapkan secara rinci.

Selanjutnya menurut tokoh keempat yaitu Abu Naim al-Ashfahani, ia mengikuti apa
yang telah dikemukakan oleh al-Kalabadzi. Ia membangun keilmuan diatas empat pondasi
yaitu pertama, mengetahui Allah dari nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatanNya.
Kedua, mengetahui jiwa, keburukan-keburukan, dan seruan-seruannya. Ketiga, mengetahui
godaan-godaan musuh (setan), tipu daya, dan sifat-sifatnya dan yang terakhir yaitu keempat
mengetahui dunia, kebohongan-kebohongannya, fitnah-fitnahnya, tipuan-tipuannya, dan
bagaimana menjaga dan menjauhkan diri dari semua itu.
6
PROF.DR. MUHAMMAD JALAL SYARAF, TASAWUF ISLAM MAZHAB BAGHDAD, (GAYA MEDIA PRATAMA,
TANGERANG SELATAN, 2014), hal. 11
Setelah menanamkan dasar-dasar tersebut, mereka lantas selalu melakukan
mujahadah (memerangi hawa nafsu), pengekangan terhadap hawa nafsu, menjaga waktu,
selalu melakukan ketaatan, menajuhkan diri dari kesenangan dan kenikmatan, menjaga
karamah (kelebihan-kelebihan yang diberikan oleh Allah kepada para sufi), dan tidak
memutuskan diri dari berinterkasi dengan menausia dan menjauhkan diri dari pentakwilan-
pentakwilan yang memabi buta.

Selanjutnya tokoh kelima, yaitu Abu Qasim al-Qusyairi. Dianggap sebagai


sejarahwan tasawuf yang paling penting dalam membela kedudukan dan posisi tasawuf
dalam pemikiran Islam. Risalahnya tentang ilmu tasawuf tak lain merupakan bantahan
terhadap musuh-musuh tasawuf dan sekaligus penjelasan tentang prinsip-prinsip dalam
tasawuf, pondasi, keberasalannya dari dasar-dasar yang dianut oleh sufi-sufi masa pertama
namun dikemudian hari terjadi penyelewengan terhadap dasar-dasar tersebut. Qusyairi lantas
meletakkan dasar-dasar dan prinsip-prinsip ilmu tasawuf yang semua itu berasal dari
perjalanan hidup dan perkataan para sufi yang sangat mengagungkan syariat. Dan kemudian
beliau juga menjadikan para sufi sebagai kelompok tertentu dari aliran Ahli Sunnah saja.

Tokoh keenam yaitu Ibnu Khaldun. Ia berbicara tentang urgensi tasawuf,


perkembangan, dan begitu pula metode dan prinsipnya. Menurutnya ilmu tasawuf merupakan
salah satu ilmu yang berasal dari ilmu syariah yang ada dalam agama. Pada dasarnya tasawuf
dalah memfokuskan diri untuk melakukan ibadah dan senantiasa menghadap Allah,
memalingkan diri dari kesenangan dan perhiasan dunia, menjauhkan diri dari segala
kenikmatan, harta benda, dan kedudukan yang digemari oleh manusia, mengasingkan diri
dari mansuia dalam sebuah khalwat karena untuk melakukan ibadah. Ia mengukuhkan
pondasi tasawuf tak lain adalah meneliti perkataan dan perbuatan jiwa dalam sebuah intuisi
dan perasaan hati yang dihasilkan dari mujahadah (memerangi hawa nafsu). Dalam
melakukan itu memiliki adab-adab tertentu.

Tokoh selanjutnya yaitu Fakhrudin ar-Razi yang dianggap sebagai satu-satunya


sejarahwan tasawuf yang menganggap tasawuf senagai suatu sekte tersendiri sebagaimana
perkataannya tentang dirinya sendiri. Alasannya ialah bahwa pondasi-pondasi yang ada
dalam tasawuf sangatlah berbeda dengan sekte-sekte Islam lainnya.

Tokoh yang terakhir ialah Ibnu Sina. Beliau membagi ahli tasawuf menjadi tiga
bagian dengan mengatakan, seorang memalingkan diri dari esenangan-kesenangan dunia.
Orang ini disebut ahli zuhud. Seorang yang selalu melaksanakan ibadah seperti shalat, puasa
dan semisalnya. Orang semacam ini disebut al-Arif. Menurut beliau orang yang memilki sifat
al-Arif tentu akan melatih jiwa dan menguatkannya agar terhindar dari tipuan-tipuan.

2.4. Tujuan Tasawuf

Pada dasarnya tujuan terpenting dari tasawuf itu adalah agar berada sedekat mungkin
dengan Allah. Adapun tujuan tasawuf lainnya yaitu membersihkan hati dari segala keinginan
dan kecenderungan yang buruk dan dari kotoran yang menumpuk akibat dosa dan kesalahan.
Tasawuf bertujuan pula untuk menyingkirkan perilaku buruk dan perbuatan dosa,
menyucikan diri dan menghiasi hati dengan perilaku yang baik dan terpuji sebagaimana
dituntut oleh Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW.

Lalu, tasawuf bertujuan juga membantu kaum beriman untuk mencapai ihsan atau
tingkat kesempurnaan akhlak dengan menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai teladan
sempurna dan tujuan yang berusaha keras untuk dicapai oleh para sahabat. 7

2.5 KARAKTERISTIK PENDEKATAN TASAWUF DALAM KAJIAN ISLAM

Dalam pendekatan tasawuf sendiri mempunyai prinsip atau tujuan, yaitu :

1. Mensucikan hati dari perbuatan yang tercela


2. Memegang teguh syara’
3. Besikap zuhud terhadap urusan keduniaan
4. Membebaskan diri dari belunggu syahwat
5. Menapak dan naik ke jenjang maqamat dan ahwal, hingga mencapai fana’ dari
segala sesuatu selain Allah swt.
6. Memperoleh makrifat sempurna dari Allah melalui jalan khasyf atau lham.

Karakteristik dalam pendekatan tasawuf setidaknya dapat dilihat dari tiga pokok
ajaran tasawuf yang dikembangkan dalam kajian ilmu keislaman, yaitu:

a. Tasawuf Akhlaqi Dalam pandangan kaum sufi, manusia cenderung mengikuti hawa
nafsunya, daripada manusia mengendalikan hawa nafsunya. Keinginan untuk
menguasai dunia atau berusaha agar berkuasa di dunia sangatlah besar. Cara hidup

7
Hasan basri Salim dan Abd. Rojak, Studi Islam 2, (Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat,
Desember 2010), hal. 176
seperti ini menurut Al-Ghazali, akan membawa manusia ke jurang kehancuran moral.
Dalam hal ini rehabilitas kondisi mental yang tidak baik adalah bila terapinya hanya
di dasarkan pada aspek lahiriah saja. Itu sebabnya pada tahap awal kehidupan tasawuf
diharuskan melakukan amalan-amalan atau latihan-latihan rohani yang cukup,
tujuannya tidak lain adalah untuk membersihkan jiwa dari nafsu yang tidak baik untuk
menuju kehadirat Illahi (Asmaran, 2002: 67).

b. Tasawuf Amali Pada dasarnya tasawuf amali adalah kelanjutan dari tasawuf akhlaki,
karena seseorang tidak dapat hidup disisi-Nya dengan hanya mengandalkan amalan
yang dikerjakan sebelum ia membersihkan dirinya. Jiwa yang bersih merupakan
syarat utama untuk bisa kembali kepada Tuhan, karena Dia adalah Maha Bersih dan
Maha Suci dan hanya menginginkan atau menerima orang-orang yang bersih. Dengan
demikian, manusia diharapkan mampu mengisi hatinya (setelah dibersihkan dari sifat-
sifat tercela) dengan cara memahami dan mengamalkan sifat-sifat terpuji melalui
aspek lahir dan batin, yang mana kedua aspek tersebut dalam agama dibagi menjadi 4
(empat) bagian: Pertama, syari’at, adalah undang-undang atau garis-garis yang telah
ditentukan yang termasuk di dalamnya hukum-hukum halal dan haram, yang
diperintah dan yang dilarang, yang sunnah, makruh, mubah, dan lain sebagaonya.
Dengan kata lain ini merupakan peraturan. Kedua, thariqat, adalah tata cara dalam
melaksanakan syari’at yang telah digariskan dalam agama dan dilakukan hanya
karena penghambaan diri kepada Allah. Dengan kata lain ini merupakan pelaksanaan
Ketiga, hakekat, adalah aspek lain dari syari’ah yang bersifat lahiriyah, yaitu aspek
bathiniyah. Dapat juga diartikan sebagai rahasia yang paling dalam dalam dari segala
amal atau inti syari’ah. Dengan kata lain ini merupakan keadaan yang sebenarnya atau
kebenaran sejati. Keempat, ma’rifat, adalah pengetahuan mengenai Tuhan melalui
hati (qalb). Dengan kata lain ini merupakan pengenalan Tuhan dari dekat. (Asmaran,
2002: 95-104) Sedangkan untuk berada dekat pada Allah SWT, seorang sufi harus
menempuh jalan panjang yang berisi station-station yang disebut dengan maqamat.
Beberapa urutan maqamat yang disebutkan oleh Harun Nasution adalah; taubat,
zuhud, sabar, tawakal, dan rida’. Di atas maqamat ini ada lagi; mahabbah, ma’rifat,
fana’ baqa’, serta ittihad. (Asmaran, 2002: 109)
Selain istilah maqamat, ada juga istilah ahwal yang merupakan kondisi mental. Dalam
hal ini ada beberapa tingkah yang sudah mashur, yaitu; khauf, raja’, syauq, uns, dan
yaqin. (Asmaran, 2002: 140-149)
c. Tasawuf Falsafi Adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis
dengan visi rasional. Hal ini berbeda dengan tasawuf akhlaki dan amali, yang masih
berada pada ruang lingkup tasawuf suni seperti tasawufnya al-Ghazali, tasawuf ini
menggunakan terminologi falsafi dalam pengungkapan ajarannya. Ciri umum tasawuf
falsafi adalah kesamaran-kesamaran ajarannya yang diakibatkan banyaknya ungkapan
dan peristilahan khusus yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang memahami
ajaran tasawuf jenis ini. Kemudian tasawuf ini tidak dapat dipandang sebagai filsafat,
karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq). Beberapa paham tipe ini
antara lain adalah; fana’ dan baqa’, ittihad, hulul, wahdah al-wujud, dan isyraq.
(Asmaran, 2002: 153-177)

2.6. ESENSI TASAWUF

Pada hakikatnya tasawuf membersihkan hati dari sifat-sifat yang tercela. Oleh karena itu
yang menjadi sasaran tasawuf adalah hati, jiwa, rohani, atau batin yang menjadi sumber
segala sikap dan tingkah laku manusia untuk menuju kebersihan hati agar memperoleh
keridhaan Tuhan. (Prof. Dr. HM. Amin Syukur, MA., dkk : 170.)

Tasawuf meliputi dua macam bentuk, yaitu: tasaawuf ‘ammah (yang umum) dan tasawuf
khashshah (yang khusus). Yang pertama berupa semua bentuk kegiatan dalam usaha
peningkatan moral dan akhlak, yaitu meliputi segala perbuatan baik yang dilakukan dengan
istiqamah. Yang kedua berupa semua kegiatan tata wirid yang dipraktekan secara istiqamah,
yang diterima dari guru-guru tertentu yang berkesinambungan secara berangkai (bersanad
muttasil) sampai kepada rasulullah saw. (Prof. Dr. HM. Amin Syukur, MA., dkk : 171)

Menurut prof. Dr. Simuh, pada dasarnya terdapat dua pandangan yang berbeda, yaitu
pertama, memandang esensi tasawuf padamajaran zuhud, yaitu ajaran untuk bertekun dalam
beribadah serta membelakangi kemewahan dan perhiasan duniawi. Kedua, memandang
esensi tasawuf pada upaya untuk memperoleh penghayatan fana’ dan ma’rifat secara
langsung terhadap dzat Tuhan, yakni mencapai penghayatan face to face atau bahkan bersatu
dengan Tuhan di dalam suasana extasy fana’ dan ma’rifat).( Prof. Dr. HM. Amin Syukur,
MA., dkk : 172)
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa esensi tasawuf terletak pada pengejawantahan al-
insan, zuhud dan penghayatan fana’ dan ma’rifat.

3.1. Kesimpulan
Pada dasarmya tasawuf merupakan ajaran yang membicarakan kedekatan antara sufi
(manusia) dengan Allah, dan berkosentrasi pada kehidupan ruhaniyah, mendekatkan diri
kepada Tuhan melalui berbagai kegiatan kerohanian seperti pembersihan hati dan dzikir.

Tasawuf juga mempunyai identitas sendiri di mana orang-orang yang menekuninya


tidak menaruh perhatian yang besar pada kehidupan dunia bahkan memutuskan hubungan
dengannya

Daftar Pustaka
Isa, H.Ahmadi. AJARAN TASAWUF MUHAMMAD NAFIS dalam PERBANDINGAN. PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta. Maret, 2001.

Syaraf, PROF.DR.MUHAMMAD JALAL. TASAWUF ISLAM MAZHAB BAGHDAD.


GAYA MEDIA PRATAMA, TANGERANG SELATAN, 2014.

Hasan basri Salim dan Abd. Rojak, Studi Islam 2, Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Ciputat, Desember 2010.

NASUTION, PROF.DR. Harun. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya JILID II, Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta, 2018), hal. 68

http://ryzchacha.blogspot.com/2014/11/aspek-tasawuf-dalam-islam.html?m=1 diakses pada


hari Minggu, 22 Maret 2020 pukul 13:28 WIB

https://www.academia.edu/19443683/SEJARAH_TASAWUF diakses pada hari Minggu, 22


Maret 2020 pukul 13:55 WIB

(2013),Tasawuf Islam & Akhlaq, Jakarta: Amzah Prof. Dr. HM. Amin Syukur, MA, DR. Abdul
Muhayya, MA,

Anda mungkin juga menyukai