Anda di halaman 1dari 25

TASAWUF DILIHAT DARI FILSAFAT ILMU

(PRESPEKTIF EPISTEMOLOGI, ONTOLOGI DAN AKSIOLOGI)


(Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat Ilmu)
Dosen Pengampu: Dr. Sumadi, M.Ag.

Disusun Oleh:

Agus Santika

NIM. 2111000939

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM

2021
ABSTRAK
Dalam mendefinisikan ilmu tasawuf, para ahli mengemukakan beragam pendapat
sehingga mereka menemukan kesulitan untuk menentukan definis dan batasan tegas mengenai
ilmu tasawuf itu sendiri. Secara umum, kita dapat mendefinisikan tasawuf sebagai sebuah ilmu
berupa pandangan hidup filosofis yang bertujuan untuk mengembangkan moralitas jiwa
manusia, yang dapat diwujudkan melalui latihan-latihan praktis tertentu yang mengarah pada
pelenyapan perasaan di alam transendental. Epistemologi ilmu tasawuf sebagai disiplin ilmu
yang mapan dan berkembang dari waktu ke waktu, pembagian tasawuf adalah tasawuf Akhlaqi,
Tasawuf Amali, dan Tasawuf Falsafi.
Sedangkan sumber ilmu tasawuf menitikberatkan pada intuisi atau qalb (hati), tahapan
yang harus dilalui adalah Tahalli, Takhalli, dan Tajalli. Aksiologi Ilmu tasawuf sangat beragam
dan menjadi ruh ajaran Islam. Ajaran tasawuf dapat dijadikan sebagai etika profesi para
ilmuwan muslim, dan menurut Sayyid Houssen Nasr dapat dijadikan sebagai alternatif dalam
mengimbangi kapitalisme global.
Keyword : Ilmu Tasawuf, Ontologis, Epistemologis, Aksiologis.
PENDAHULUAN
Istilah epistemologi berasal dari bahsa Yunani, episteme yang bermakna pengetahuan,
dan logos yang bermakna ilmu atau eksplanasi, sehingga epistemologi berarti teori
pengetahuan. Epistemologi dimaknai sebagai cabang filsafat yang membahas pengetahuan dan
pembenaran dan kajian pokok epistemologi adalah makna pengetahuan, kemungkinan manusia
meraih pengetahuan, dan hal-hal yang dapat diketahui.
Kajian-kajiann ilmu-ilmu alam mengandalkan metode observasi dan eksprimen yang
disebut dalam epistemologi Islam sebagai metode tajribi yang biasa disebut metode tazkiyah
al-nafs. Meskipun ada perbedaan metode, tetapi kedua metode bisa melengkapi dan mendukung
satu sama lain. Meskipun lebih banyak mengedepankan metode tajribi (observasi dan
eksprimen) dalam mengembangkan ilmu-ilmu alam, tetapi perlu mengambil metode tasawuf
dalam menemukan ilmu dan kebenaran, dimana kaum sufi mengutamakan metode tazkiyah al-
nafs (penyucian jiwa) dengan melaksanakan berbagai ritual ibadah (al-ibadah) termasuk dzikir,
serta melakukan praktik riyadhah dan mujahaddah.
Oleh karena itu, penulis tertarik mengkaji Ilmu Tasawuf dalam kajian Ontologis,
Epistemologis dan Aksiologis. Ilmu tasawuf sebagai jiwa dari ilmu fiqh, fiqh tanpa bertasawuf
maka akan menjadi kering. Demikian ibarat mayoritas ulama’ dalam memandang ilmu
tasawuf.

1
ONTOLOGI ILMU TASAWUF
Hampir-hampir terdapat kesepakatan para ahli dalam bidang tasawuf tentang sulitnya
merumuskan definisi dan batasan tegas berkaitan dengan pengertian tasawuf. Hal ini
disebabkan terutama karena kecenderungan spiritual terdapat pada setiap agama, aliran filsafat,
dan peradaban.1 Selain itu, istilah tasawuf sendiri tidak pernah dipakai dalam al-Qur’an
ataupun hadis Nabi. Sehingga tidak mengeherankan jika sufi atau atau tasawuf dikaitkan
dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci.
Pada masa Nabi saw dan Khulafaur rasyidin ra., sebutan atau istilah tasawuf tidak pernah
dikenal. Para pengikut nabi diberi panggilan shahabat, dan masa berikutnya, yaitu pada masa
shahabat, orang-orang muslim yang tidak berjumpa dengan beliau, disebut tabi’in, dan
seterusnya disebut tabi’it tabi’in.2
Salah satu pendapat mengatakan bahwa kata al-Tasawuf adalah bahasa Arab dari kata suf
‫ صوف‬atau bulu domba. Orang sufi biasanya memakai pakaian domba sebagai simbol

kesederhanaan dan kesucian. Dalam sejarah disebutkan, bahwa orang yang pertama kali
menggunakan kata sufi adalah seorang zahid yang bernama Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.
150 H)3. Al-Zahabi memberi makna tasawuf sebagai sikap menyerahkan diri kepada Allah (dan
berserah diri) sesuai yang Allah kehendaki.4 Definisi Tasawuf dari sudut al-Bidayah, antara lain
dikemukan oleh Ma’ruf al-Karkhy (w. 200 H), bahwa tasawuf adalah “Mencari yang hakikat
dan putus asa terhadap apa yang ada di tangan makhluk. Barang siapa yang belum bersungguh-
sungguh dengan kefakiran, maka berarti belum sesungguh-sungguh dalam bertasawuf”.5
Al-Nuri juga menyatakan bahwa tasawuf adalah: “Bukanlah yang disebut tasawuf itu
sekedar tulisan dan ilmu, tetapi ia adalah akhlak yang mulia. Sekiranya ia hanya sekedar tulisan,
maka dapat diusahakan dengan sungguh-sungguh, seandainya ilmu tentu akan boleh dengan
belajar, namun ia adalah berakhlak dengan akhlak Allah. Keadaan ini tidak bisa diperoleh
dengan tulisan dan ilmu”6
Abu al-Wafa al-Taftazani mengajukan definisi yang hampir mencakup seluruh unsur
substansi tasawuf yakni “sebuah pandangan filosofis kehidupan yang bertujuan
mengembangkan moralitas jiwa manusia, yang dapat direalisasikan melalui latihan-latihan

1
Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi Akar Tasawuf di Indonesia, Depok: Pustaka Iman,
2009, hlm. 43.
2
H.M Amin Syukur dan H. Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 11.
3
Lenni Lestari, Epistemologi Corak Tafsir Sufistik, Jurnal Syahadah: Ilmu al-Qur’an dan KeIslaman Vol.2 No.1
April 2014, hlm. 8.
4
Ibid, hlm. 8.
5
H.M Amin Syukur dan H. Masyharuddin, Intelektualisme…, hlm. 15.
6
Ibid, hlm. 15.
2
praktis tertentu yang membuahkan larutnya perasaan dalam hakikat transcendental”.
Pendekatan yang digunakan adalah zauq (cita rasa) yang menghasilkan kebahagiaan spiritual.
Pengalaman seperti ini tak kuasa diekspresikan melalui bahasa biasa karena bersifat emosional
dan personal.7
Dengan pengertian seperti itu, maka dapat dikatakan, bahwa tasawuf adalah bagian
ajaran Islam, karena ia membina akhlak manusia (sebagaimana Islam juga diturunkan dalam
rangka membina akhlak umat manusia) diatas bumi ini, agar tercapai kebahagiaan dan
kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akhirat.
EPISTEMOLOGI ILMU TASAWUF
1. Sejarah Perkembangan Ilmu Tasawuf
Timbulnya tasawuf dalam Islam adalah karena adanya segolongan umat Islam yang
belum merasa puas dengan pendekatan diri kepadaTuhan melalui ibadah puasa dan haji.
Mereka merasa ingin lebih dekat lagi dengan Tuhan dengan cara hidup menuju Allah dan
membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi. Sehingga, tidak diperbudak
harta atau tahta atau kesenangan dunia lainnya.8
Al-Zahabi membenarkan bahwa praktik tasawuf semacam di atas telah dikenal sejak masa
awal Islam, Nabi Muhammad merupakan orang yang pertama kali mencontohkan praktik
kehidupan sederhana.9 Banyak diantara sahabat yang melakukan praktik tasawuf yaitu hidup
dalam zuhud dan ibadah lainnya, tetapi mereka belum mengenal istilah tasawuf sampai kurun
abad kedua Hijriah.10
Pada angkatan berikutnya (abad ke-2 H dan seterusnya), secara berangsur- angsur terjadi
pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan dunia menjadi lebih berat. Ketika itulah angkatan
pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup sederhana lebih dikenal dengan kaum
sufiah. Pada masa ini pulalah istilah tasawuf mulai dikenal.11
a. Masa Pembentukan12
Dalam abad I Hijriah bagian kedua, muncul Hasan Basri (w. 110 H) dengan ajaran Khauf,
mempertebal takut kepada Allah. Begitu juga tampilnya guru-guru yang lain, yang dinamakan
qari’, mengadakan gerakan memperbaharui hidup kerohanian di kalangan kaum muslimin.

7
Alwi Shihab, Antara Tasawuf…, hlm. 46-47.
8
Lenni Lestari, Epistemologi…, hlm. 9-10.
9
UIN Sunan Kalijaga. Akhlak Tasawuf, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005, hlm. 41.
10
Asep Nurdin, Karakteristik Tafsir Sufi: Telaah Atas Metodologi Penafsiran al-Quran Ulama Sufi, Jurnal Studi
Ilmu-ilmu AlQuran dan Hadis, Vol.3, No.2, Januari 2003, hlm. 149.
11
Muhammad Husain al-Zahabi. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun. Jilid IV. (T. Tp: T.th), hlm. 302.
12
H.M Amin Syukur dan H. Masyharuddin, Intelektualisme…, hlm. 19.
3
Sebenarnya bibit Tasawuf sudah ada sejak itu, garis-garis besar mengenai Thariq atau jalan
beribadah sudah kelihatan disusun, dalam ajaran-ajaran yang dikemukakan sudah mulai
dianjurkan mengurangi makan (ju’), menjauhkan diri dari keramaian duniawi (zuhud), mencela
dunia (dzammu al-dunya) seperti harta, keluarga, dan kedudukan. Di berbagai daerah terdapat
pemuka-pemuka agama, baik di Irak, Kufah, dan Basrah, maupun Syam, mempelajari cara-cara
meresapkan unsur agama dalam kalangan Hindu dan Kristen, untuk mereka jadikan suri
tauladan dan memperbesar hasil dakwah Islamiah, yang adakalanya sampai berlebih-lebihan.
Dari I’tikaf menjadi Khalwat, dari pakaian tenun kapas sampai ke baju tenun bulu domba, dan
dari dzikir yang sederhana menjadi dzikir yang hiruk-pikuk. 13
Kemudian pada akhir abad I Hijriah, Hasan Basri diikuti oleh Rabi’ah Adawiyah (w
185 H), seorang sufi wanita yang terkenal dengan ajaran cintanya (hub al-ilah).14 Selanjutnya
abad II Hijriah, tasawuf tidak banyak berbeda dengan abad sebelumnya, yakni sama dalam
corak kezuhudan, meskipun penyebabnya berbeda. Penyebab pada abad ini ialah adanya
kenyataan pendangkalan ajaran agama dan formalisme dalam melaksanakan syari’at agama
(lebih bercorak fiqh). Hal tersebut menyebabkan sebagian orang tidak puas dengan kehidupan
seperti itu. Sebagaian ada yang lari kepada istilah-istilah yang pelik mengenai kebersihan jiwa
(thaharatun nafs), kemurnian hati (naqyu al-qalb), hidup ikhlas, menolak pemberian orang,
bekerja mencari makan dengan usaha sendiri, berdiam diri, seperti yang dianjurkan oleh Ali
Syaqiq al-Bakhy, Ma’ruf al-Kharkhy, dan sebagainya. Demikian juga menyedikitkan makan,
memerangi hawa nafsu dengan Khalwat, melakukan perjalanan (Safar), berpuasa, mengurangi
tidur (sahar), serta memperbayak dzikir dan riyadlah, seperti yang dianjurkan oleh Ibrahim ibn
Adham15.
b. Masa Pengembangan16
Tasawuf pada abad III dan IV Hijriah sudah mempunyai corak yang berbeda sama sekali
dengan tasawuf abad sebelumnya. Pada abad ini tasawuf sudah bercorak ke-fana’-an (ekstase)
yang menjurus ke persatuan hamba dengan khalik. Orang sudah ramai membicarakan tentang
lenyap dalam kecintaan (fana fi al-mahbub), bersatu dengan kecintaan (ittihad bi al-mahbub),
kekal dengan Tuhan (baqa bi al-mahbub), menyaksikan Tuhan (musyahadah), bertemu
dengannya (liqa’) dan menjadi satu dengan-Nya (‘ainul al-jama’), seperti yang diungkapkan
Abu Yazid al-Busthami (261 H). Dia adalah seorang sufi dari Persia yang pertama kali

13
Ibid
14
Ibid… hlm. 20.
15
Ibid
16
H.M Amin Syukur dan H. Masyharuddin, Intelektualisme…, hlm. 21.
4
menggunakan istilah fana’ (lebur atau hancurnya perasaan) sehingga dia dikatakan sebagai
peletak batu pertama dalam aliran ini.
Pada akhir abad III orang berlomba-lomba pula menyatakan dan mempertajam
pemikirannya tentang kesatuan kesaksian (wahdat al-syuhud), kesatuan kejadian (wahda al-
wujud), kesatuan agama-agama (wahdat al-adyan), berhubungan dengan Tuhan (ittishal),
keindahan dan kesempurnaan Tuhan (jamal dan kamal), manusia sempurna (insan kamil), yang
kesemuanya itu tak mungkin dicapai oleh para sufi kecuali dengan latihan yang teratur
(Riyadlah). Kemudian Junaidi al-Baghdady meletakkan dasar-dasar ajaran Tasawuf dan
thariqah (tarekat), cara mengajar dan belajar ilmu tasawuf, syekh, mursyid, murid, dan murad,
sehingga dia dinamakan Syekh al-Thai-fah (ketua rombongan suci).
Pada masa ini tasawuf telah mengalami percampuran dengan filsafat dan kalam,
sehingga muncullah apa yang dikenal dengan tasawuf falsafi nazari dan tasawuf amali.
Tasawuf nazari yaitu yang menjadikan tasawuf sebagai kajian dan pembahasan. Adapun
tasawuf ‘amali yaitu tasawuf yang dibangun dengan praktik-praktik zuhud taat kepada Allah
SWT.17
Pada abad III dan IV hijriah, terdapat dua aliran. Pertama, aliran tasawuf sunni yaitu
bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan al-Qur’an dan al-hadist secara ketat, serta
mengaitkan ahwal (keadaan) dan maqamat (tingkatan rohaniah) mereka kepada kedua sumber
tersebut. Kedua, aliran tasawuf semi falsafi, dimana para pengikutnya cenderung pada
ungkapan-ungkapan ganjil (syathahiyat) serta bertolak dari keadaan fana’ menuju pernyataan
tentang terjadinya penyatuan (ittihaad atau hulul).
c. Masa Konsolidasi18
Tasawuf pada abad V hijriah mengadakan konsolidasi. Pada masa ini ditandai kompetisi
dan pertarungan antara tasawuf semi falsafi dengan tasawuf sunni. Tasawuf sunni memenagkan
pertarungan dan berkembang sedemikian rupa. Sedangkan tasawuf semi falsafi tenggelam dan
akan muncul muncul lagi pada abad VI Hijriah dalam bentuknya yang lain. Kemenangan
tasawuf sunni ini dikarenakan menangnya teologi Ahl Sunnah wa al-Jama’ah yang dipelopori
oleh Abu al-Hasan al-Asy’ary (w. 324 H) yang mengadakan kritik pedas terhadap teori Abu
Yazid al-Busthami dan al-Hallaj, sebagimana tertuang dalam syathahiyat-nya yang dianggap
bertentangan dengan kaidah dan akidah Islam. Oleh Karena itu, tasawuf pada abad tersebut

17
Ali Yafie. Syariah, Thariqah, Haqiqah, dan Ma’rifah, dalam Budi Munawar Rachman (e.d), Kontekstualisasi
Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995, hlm. 181. Dikutip oleh Asep Nurdin, Karakteristik Tafsir
Sufi…, hlm. 149.
18
H.M Amin Syukur dan H. Masyharuddin, Intelektualisme…, hlm. 25.
5
cenderung mengadakan pembaharuan, atau menurut Annemarie Schimmel merupakan periode
konsilidasi. Yakni periode yang ditandai pemantapan dan pengembalian tasawuf ke
landasannya, al-Qur’an dan al-Hadist. Tokoh-Tokohnya ialah al-Qusyairy (376-465 H), al-
Harawi (196 H), dan al-Ghazali (450-505 H).
d. Masa Falsafi19
Setelah tasawuf falsafi mendapat hambatan dari tasawuf Sunni tersebut, maka pada abad
VI hijriah, tampillah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat,
kompromi dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf.
Oleh karena itu, tasawuf yang berbau filsafat ini tidak sepenuhnya bisa dikatakan tasawuf dan
juga tidak bisa dikatakan sebagai filsafat, sebut saja tasawuf falsafi, karena di satu pihak
memakai term-term filsafat, namun di lain pihak pendekatan terhadap Tuhan memakai metode
zauq/intuisi/wujdan (rasa).
Ibn Khaldun dalam muqaddimahnya, menyimpulkan bahwa tasawuf falsafi mempunyai
empat obyek utama dan menurut abul al-wafa bisa dijadikan karakter sufi falsasi, yaitu :
1) Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi serta introspeksi yang timbul darinya.
2) Illuminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam ghaib.
3) Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos berpengaruh terhadap berbagai
bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
4) Pemakaian ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar
(syathahiyat).
Tokoh-tokohnya ialah Suhrawardi al-Maqtul (yang terbunuh) dengan teori Isyraqiyah-
nya (pancaran), Ibn ‘Arabi dengan teori Wahdat al-Wujud-nya, Ibn Sabi’in dengan teori Ittihad-
nya, Ibn Faridl dengan teori Cinta, fana’ dan Wahdat at-Syuhud-nya.
Pada abad VI dan dilanjutkan abad VII hijriah, muncul cikal-bakal orde-orde (tarekat)
sufi kenamaan. Tarekat terkenal yang lahir dan berkembang sampai dengan sekarang antara
lain, Tarekat Qadariah yang dikaitkan kepada Abd. Qadir al-Jailani (471-561 H), Tarekat
Suhrawardiyah yang dicetuskan Syihabu al-Din Umar ibn Abdillah al-Suhrawardy (539-631
H), Tarekat Rifa’iyah yang dikaitkan dengan kepada Ahmad Rifa’I (512 H), Tarekat
Syadziliyah yang dikaitkan kepada Abu al-Hasan al-Syadzily (592-656 H), Tarekat Badawiyah
yang dikaitkan kepada Ahmad al-Badawy (596-675 H), Tarekat Naqsyabndiyah yang dikaitkan
kepada Muhammad ibn Baha-u al-Din al-Uwaisi al-Bukhary (717-791 H), dan sebagainya.20

19
H.M Amin Syukur dan H. Masyharuddin, Intelektualisme…, hlm. 29.
20
A.J Arberry, Sufism: An Account of The Mystic of Islam, London:Unwin Paperboche, 1978, hlm. 84.
6
e. Masa Pemurnian
A.J. Arberry menyatakan bahwa pada masa Ibn Arabi, Ibn Faridl, dan al-Rumy adalah
masa keemasan gerakan tasawuf secara teoritis ataupun praktis. Pengaruh dan praktek-praktek
tasawuf kian tersebar luas melalui tarekat-tarekat dan para sultan serta pengeran yang tak segan-
segan pula mengeluarkan perlindungan dan kesetiaan pribadi mereka. Contoh paling menonjol
ialah figur terhormat, Dharma Syekh, putra Kaisar Moghul, Syekh Johan, yang menulis
sejumlah kitab, di antaranya al-Majma’u al-Bahrain, di dalamnya ia mencoba merujukkan teori
tasawuf Verdania. Tanda-tanda keruntuhan tampak kian jelas, penyelewengan dan skndal
melanda dan mengancam kehancuran reputasi baiknya.21 Kemudian tasawuf pada waktu itu
ditandai bid’ah, khurafat, mengabaikan syari’at dan hukum-hukum moral dan penghinaan
terhadap ilmu pengetahuan, berbentangkan diri dari dukungan awam untuk menghindarkan diri
dari rasionalitas dengan menampilkan amalan irrasional. Azimat dan ramalan serta kekuatan
ghaib ditonjolkan.
Bersamaan dengan itu, muncullah pendekar orthodox, Ibn Taimiyah yang dengan
lantang menyerang penyelewengan-penyelewengan para sufi tersebut. Dia terkenal kritis, peka
terhadap lingkungan sosialnya, polemis dan tegas berusaha meluruskan ajaran Islam yang telah
diselewengkan para sufi tersebut, untuk kembali kepada sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan al-
Sunnah. Kepercayaan yang menyimpang diluruskan, seperti kepercayaan kepada wali,
Khufarat dan bentuk-bentuk bid’ah pada umumnya. Menurut Ibn Taimiyah yang disebut Wali
(Kekasih Allah) ialah orang yang berperilaku baik (shalih), konsisten dengan Syari’at
islamiyah. Sebutan yang tepat diberikan kepada orang tersebut ialah Muttaqin. (Q.S. Yunus:
62-63).
Ibn Taimiyah lebih cenderung bertasawuf sebagaimana yang pernah diajarkan oleh
Rasulullah saw., yakni menjelaskan dan menghayati ajaran Islam, tanpa embel-embel lain,
tanpa mengikuti aliran tarekat tertentu, dan tetap melibatkan diri dalam kegiatan social,
sebagaimana manusia pada umumnya.
2. Pembagian Ilmu Tasawuf
Secara Umum Ilmu tasawuf dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni tasawuf ilmi atau
nadhari, yaitu tasawuf yang bersifat teoritis. Tasawuf yang tercakup dalam bagian ini ialah
sejarah lahirnya tasawuf dan perkembangannya sehingga menjelma menjadi ilmu yang berdiri

21
A.J Arberry, Sufism…, hlm. 119.
7
sendiri. Termasuk di dalamnya teori-teori tasawuf menurut berbagai tokoh tasawuf dan tokoh
luar tasawuf yang berwujud ungkapan sistematis dan filosofis.22
Kedua adalah tasawuf Amali atau tathbiqi yaitu tasawuf terapan, yakni ajaran tasawuf
yang praktis. Tidak hanya teori belaka, tetapi menuntut adanya praktik atau pengalaman dalam
rangka mencapai tujuan tasawuf. Orang yang menjalankan ajaran tasawuf ini akan mendapat
keseimbangan dalam kehidupannya, antara material dan spiritual, dunia dan akhirat.23
Sementara ada lagi yang membagi tasawuf menjadi tiga bagian, yakni :
a. Tasawuf Akhlaqi
b. Tasawuf Amali
c. Tasawuf Falsafi
Tasawuf Akhlaqi adalah tasawuf yang menitikberatkan pada pembinaan akhlak al-
karimah. Akhlak adalah keadaan keadaan yang tertanam dalam jiwa yang menumbuhkan
perbuatan, dilakukan dengan mudah, tanpa dipikir dan direnungkan terlebih dahulu. Dengan
demikian, maka Nampak adanya perbuatan itu di dorong oleh jiwa, ada motivasi (niat) kuat dan
tulus ikhlas, dilakukan dengan gampang tanpa dipikir dan direnungkan sehingga perbuatan itu
dilakukan secara otomatis.
Tasawuf Amali ialah tasawuf yang menitikberatkan pada amalan lahiriyah yang didorong
oleh qalb (hati). Dalam bentuk wirid, hizib, dan doa. Selanjutnya tasawuf ini dikenal dengan
tariqah, jalan menuju Allah. Selanjutnya tasawuf Falsafi, yakni tasawuf yang dipadukan
dengan filsafat. Dari cara memperoleh ilmu tersebut menggunakan rasa sedangkan
menguraikannya menggunakan rasio, ia tidak bisa dikatakan tasawuf secara total dan tidak bisa
pula disebut filsafat, tetapi perpaduan antara keduanya, selanjutnya dikenal tasawuf Falsafi.
Abd al-kadir Mahmud sebagimana dikutif oleh M. Amin Syukur dan H. Masyaruddin,
mengelompokkan aliran/madzhab tasawuf ke dalam tiga aliran: tasawuf Salafi, tasawuf Sunni,
tasawuf Falsafi.24 Tasawuf Salafi adalah tasawuf yang ajaran dan metodenya berdasarkan al-
Quran dan al-Sunnah nabi serta praktek-praktek kerohanian generasi salaf. Tasawuf Sunni
merupakan tasawuf yang berusaha memadukan aspek syari’ah dan hakekat namun diberi
interpretasi dan metode baru yang belum dikenal pada masa salaf al-Shalihin. Sedangkan

22 H.M. Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, hlm. 224.
23
H.M. Amin Syukur dan Hj. Fatimah Ustman, Insan Kamil Paket Pelatihan Seni Menata Hati (SMH), Semarang:
CV Bima Sejati, bekerja sama dengan bimbingan dan konsultasi Tasawuf (LEMKOTA) dan yayasan al-
Muhsisinin, 2004, hlm. 4.
24 H.M. Amin Syukur dan Abdul Muhayya, Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, (Anggota IKAPI)

bekerja sama dengan IAIN Walisongo, 2001, hlm. 86-87.


8
tasawuf Falsafi adalah jenis taswuf yang ajarannya berusaha memadukan anatara visi tasawuf
dan filsafat, sehingga cenderung melampui batas-batas syari’ah.25
Selanjutnya tasawuf Akhlaqi adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang
kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengetuaran sikap mental dan
pendisiplinan tingkah laku yang ketat. Guna mencapai kebahagiaan yang optimum manusia
harus lebih dahulu mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui
pensucian jiwa raga, bermula dari pembentukan pribadi bermoral dan berakhlak.26
3. Sumber Pengetahuan Tasawuf
a. Qalb
Berbeda dengan tradisi intelektual Barat yang banyak di dominasi oleh rasionalisme dan
empirisme, maka dalam tradisi intelektual Timur Islam terdapat dua kecenderungan. Pertama
pengetahunan rasional yang bersumber pada logika rasional dan bersifat dicorsif. Beberapa
tokohnya dapat disebutkan seperti: Al-Kindi (185-265 H), Al-Farabi (258-339 H), Ibn Sina
(370-428 H), dan seterusnya. Kedua, pengetahuan intuitif yang bersumber pada intuisi, dzauq,
atau ilham. Terdapat banyak nama untuk jenis pengetahuan ini. Misalnya: Al-Ghazali
menyebutnya dengan Cahaya Kenabian, Ibn Arabi menyebutnya dengan al-Ma’rifah,
Suhrawardi menamakan Hikmah Israqiyah, Muhammad Ghallab memberi nama Ma’rifah
Tanassukiyah. Filsafat Profetik, menurut Roger Garaudy, Filsafat Intuisi, menurut Hendri
Bergson dan seterusnya. Bahkan Ibn Arabi selanjutnya memberi sebutan-sebutan lain bagi
pengetahuan intuitif, misalnya pengetahuan illahi (laduni), pengetahuan rahasia (ilmu asror),
dan pengetahuan Ghaib (ilmu ghaib).
Al-Ghazali dalam karya-karyanya, terutama Ihya’ Ulum al-Din telah banyak
menyinggung perihal pengetahuan intuitif dari segi pencapaian metode, obyek, dan tujuannya
serta perbandingannya dengan pengetahuan teoritis rasional. Dia mengatakan bahwa sarana
pengetahuan intuitif atau Ma’rifah adalah Qalb, bukan indra atau akal. Qalb menurutnya bukan
bagian tubuh yang terletak pada bagian kiri dada seorang manusia melainkan merupakan
realitas manusia serta menjadi percikan rohaniah ketuhanan yang merupakan hakikat realitas
manusia menjadi sasaran perintah, cela, hukuman, dan tuntutan dari Tuhan.27
Al-Ghazali dalam menggambarkan posisi qalb sebagai sarana ma’rifah ibarat cermin,
pengetahuan yang muncul merupakan pantulan dari gambaran realitas yang terdapat di
dalamnya. Dengan demikian, jika cermin qalb tidak bersih, maka ia tidak akan memantulkan

25
H.M. Amin Syukur dan Abdul Muhayya, Tasawuf…, hlm. 87.
26
H.M. Amin Syukur dan H. Masyharuddin, Intelektualisme…, hlm. 45.
27
Ibid, hlm. 45
9
realias-realitas pengetahuan. Menurutnya, yang membuat cermin qalb tidak bening adalah
hawa nafsu tubuh (nafsu biologis), sementara ketaatan kepada Allah dan keterpalingan dari
tuntutan hawa nafsu, justru akan membuat qalb menjadi bening dan terang.
Pengetahuan intuitif secara epistemologi berasal dari intuisi. Ia diperoleh melalui
pengamatan langsung, tidak mengenai obyek lahir melainkan mengenai kebenaran dan hakikat
barang sesuatu. Para sufi menyebut pengetahuan ini sebagai rasa yang mendalam (dzauq) yang
bertalian dengan persepsi batin. Dengan demikian pengetahuan intuitif sejenis pengetahuan
yang dikaruniakan Tuhan kepada seseorang dan dipatrikan pada kalbunya sehingga tersingkap
olehnya sebagaian rahasia dan tampak olehnya sebagian realitas.
Ibn Arabi membagi pengetahuan kepada dua tipe. Pertama, al-Ma’rifah yang
digambarkan sebagai pengetahuan dengan pengenalan langsung. Kedua, Al-‘Ilm yang
digambarkannya sebagai pengetahuan intelek atau pemahaman lepas. Pengetahuan pertama
secara eksklusif termasuk dalam jiwa, kalbu (soul), sedangkan tipe kedua termasuk ke dalam
intelek (mind).
Lebih jauh Ibn ‘Arabi menunjukkan ciri-ciri pengetahuan intuitif yang membedakannya
dengan pengetahuan intelek sebagai berikut:28
1) Pengetahuan intuitif bersifat bawaan (innate) karena merupakan limpahan Tuhan (al-
Faidl al-Illah), sebagai kebalikan dari intelek yang bersifat perolehan (muktasab).
Pengetahuan intuitif mengejewantahkan dalam diri manusia dibawah kondisi-kondisi
mistik tertentu, seperti ketika batin seseorang dalam keadaan bening dan bersih dari
pengaruh pikiran.
2) Pengetahuan intuitif berada di luar sebab-sebab rasional dan tak terjangkau oleh akal
pikiran dan karenanya akal pikiran tidak dapat menguji validitasnya.
3) Pengetahuna intuitif menyatakan diri dalam bentuk cahaya yang menyinari setiap hati
sufi ketika ia mencapai derajat penyucian (purifikasi) spiritual tertentu.
4) Pengetahauan intuitif menyatakan diri pada manusia tertentu, Karena pengetahuan
tersebut sangat bergantung pada anugerah Tuhan.
5) Tak seperti pengetahuan intelek yang mengandung nilai kemungkinan atau spekulatif
maka pengetahuan intuitif bersifat pasti (certain), sebab merupakan pemahaman yang
langsung terhadap realitas sesuatu.

28
Toshihiko Izutsu, Sufisme, Yogyakarta: Mizan, 2015, hlm. 45.
10
6) Pengetahuan intuitif memiliki kemiripan dengan pengetahuan Tuhan. Oleh karena itu
tak seorangpun akan dapat memperolehnya, kecuali ia benar-benar mencapai maqam
tertentu, dimana pengetahuan itu layak diilhamkan Tuhan kepadanya.
7) Pengetahuan intuitif merupakan pengetahuan yang sempurna tentang kodrat realitas
yang diperoleh seorang sufi.
b. Hubungan Akal dan Qalb
Untuk mengetahui hubungan akal dan qalb yang pada hakekatnya selalu dalam kondisi
interaktif, terlebih dahulu dilihat jenis-jenis pengetahuan yang dapat ditangkap manusia.
Menurut Al-Ghazali ada empat macam tingkatan eksistensi (wujud). Pertama wujud metafisik,
menurutnya terangkum dalam al-Lauh al-Mahfudh, kedua, wujud empiris dalam dunia kongkrit
(alam syahadah). Ketiga, wujud khayali (imajinatif) dan keempat, wujud rassional (al-
ma’qulat). Wujud pertama adalah realitas-realitas abstrak yang bersifat idea-idea dalam al-
Lauh al-Mahfudh dan merupakan model (kaun nushah) bagi alam konkrit. Wujud kedua adalah
realitas-realitas objektif dan konkrit dari hakikat-hakikat wujud pertama. Sehingga alam
objektif ibaray copy dari wujud pertama. Wujud ketiga adalah gambar-gambar realitas objektif
dan empiris yang bisa di indera dan selanjutnya akan dipersepsi oleh imajinasi (khayal) di otak.
Sedangkan wujud keempat adalah kesan-kesan dari gambar-gambar realitas objektif dan
empirik yang dapat ditangkap rasio/ akal.
Mengenai kaitan tasawuf dengan akal, al-Ghazali menyatakan bahwa paling tidak akal
mempunyai dua fungsi yang dibutuhkan oleh tasawuf. Pertama, akal sebagai prasarana bagi
jalan tasawuf yang berfungsi untuk:29
1) Memperoleh pengetahuan yang benar dan dibutuhkan bagi jalan tasawuf,;
2) Mengarahkan latihan-latihan batin (riyadlah) yang benar bagi jalan tasawuf;
3) Berfikir benar dan lurus sebagai persiapan memperoleh pengalaman dan
pengetahuan sufistik pada jalan tasawuf.
Kedua, akal sebagai sarana dan alat evaluasi yang berfungsi untuk melakukan pengujian
dan penilaian kritis terhadap pengalaman-pengalaman sufistik serta perluasannya. Karena
dalam kondisi ekstase (Fana’) yang dialami para sufi dapat membawanya pada ucapan-ucapan
yang subyektif, sebab ucapan mereka dalam kondisi fana’ selamanya terbatas dan subyektif.
Bahkan telah menjadi kebiasaan di kalangan mereka ketika berada dalam situasi fana’, mereka
hanya mengemukakan perasaan yang dialami dirinya sendiri.

29 H.M. Amin Syukur dan H. Masyharuddin, Intelektualisme…, hlm. 84.


11
Dalam memerjelas hubungan akal dan intuisi, al-Ghazali membuat perumpamaan orang
yang memperoleh pengetahuan dengan akal (al-aql) diibaratkan sebagai anak kecil (al-thifl)
dan orang yang memperoleh pengetahuan dengan intuisi (al-wali) diibaratkan sebagai (al-
mumayyiz). Perumapamaan di atas mengisyaratkan adanya tingkatan antara keduanya dan tidak
berarti adanya keterpisahan antara masing-masing.30
Jika hal ini dihubungkan dengan teori jiwa rasional manusia ( al-nafs al-natiqah )
sesudah mampu menangkap pengetahuan-pengetahuan a prior atau dharuriyat, pada gilirannya
memperlihatkan dua kemampuan yaitu, kemampuan memproduksi pengetahuan lewat
pemahaman (olah) pikir dan lewat pemahaman (olah) rasa. Yang pertama, bersifat kreatif-
metodis-sistematis, sedangkan yang kedua bersifat kreatif-nonmetodis-sistematis. Dengan
demikian, jelaslah bahwa hakikat kedua pengetahuan tersebut berasal dari sumber yang sama
sebagai derivate jiwa dan karena itu keduanya termuat dalam intelektualitass manusia.
Namun selanjutnya al-Ghazali menjelaskan pengetahuan yang diperoleh melalui
pemahaman (olah) pikir yang juga disebut al-Qiyas adalah menggunakan sarana al-mufakirah
yang bertempat di otak. Sedangkan yang diperoleh melalui pemahaman olah rasa yang juga
disebut dengan al-wujdan adalah menggunakan sarana atau daya al-iradat yang berpusat di
hati. Jadi, otak berhubungan dengan akal, sedang hati berhubungan dengan intuisi. Kelebihan
dari intuisi dibandingkan dengan daya akal adalah dari segi tangkapannya. Jika akal terbatas
pada obyek-obyek rasional (ma’qulat) sedangkan intuisi (al-dzauq) mampu menjangkau pada
obyek-obyek yang meta/suprarasional (mabda’ al-ma’qulat).
4. Tingkatan dalm ilmu Tasawuf
a. Maqam
Pembicaraan tasawuf tidak terlepas juga dengan pembicaraan tentang derajat-derajat
kedekatan seseorang sufi kepada Tuhannya. Tingkatan atau derajat dimaksud dalam kalangan
sufi diistilahkan dengan maqam. Semakin tinggi jenjang kesufian maka semakin dekat pula
sufi tersebut kepada Allah Swt. Namun demikian, para sufi juga memiliki perbedaan pendapat
tentang maqam tersebut, terutama mengenai yang mana maqam yang lebih tinggi dan yang
mana maqam yang lebih rendah. Hal ini terjadi karena tidak didapati dalil yang jelas tentang
hal ini, baik dari nash Alquran maupun Sunnah.
Istilah maqam di kalangan para sufi kadang kala disebut dengan ungkapan jamaknya
yaitu maqamat. Menurut al-Qusyairi yang dimaksud dengan maqam adalah hasil usaha

30
H.M. Amin Syukur dan H. Masyharuddin, Intelektualisme…, hlm. 85.
12
manusia dengan kerja keras dan keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Tuhan yang
dapat membawanya kepada usaha dan tuntunan dari segala kewajiban.31
Sedangkan al-Thusi memberikan pengertian yang berbeda sebagai berikut:
“Kedudukan hamba di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras dalam ibadah,
kesungguhan melawan hawa nafsu\, latihan-latihan kerohanian serta menyerahkan seluruh
jiwa dan raga semata-mata untuk berbakti kepada-Nya”.
Dari kedua pendapat di atas, dapat dipahami bahwa maqam adalah kedudukan
seseorang yang menunjukkan kedekatannya kepada Allah Swt. Posisi tersebut tidak diperoleh
begitu saja, tetapi harus melalui proses yang sungguh-sungguh. Dengan kata lain, dapat juga
dipahami bahwa proses yang dilalui oleh para sufi untuk mencapai derajat tertinggi harus
melalui maqam –maqam yang banyak, dari maqam paling rendah sampai tertinggi.
Para ulama sufi berbeda pendapat tentang jenjang-jenjang dalam tasawuf tersebut.
Begitu juga tentang berapa jumlah maqam. Menurut al-Qusyairi, ada 7 (tujuh) maqam, yang
jenjangnya adalah: Taubat, Wara’, Zuhud, Tawakkal, Shabar, dan terakhir Ridha.32 Al-
Thusi memiliki format lain, yaitu: Taubat, Wara’, Zuhud, Faqr, Shabar, Tawakkal dan
Ridha.33 Sedangkan al-Ghazali memiliki urutan berikut: Taubat, Shabar, Syukur, Raja’,
Khauf, Zuhud, Mahabbah, Asyiq, Unas, Ridha. 34
Dari tiga pendapat di atas, dapat dipahami bahwa tidak ada jenjang yang dapat
dikatakan maqam yang baku. Dengan kata lain, pendapat -pendapat tersebut merupakan
pendapat yang bukan sifatnya jumhur ulama. Menurut Harun Nasution, maqam-maqam yang
paling popular terdiri dari: Taubat, Zuhud, Shabar, Tawakkal dan Ridha.35
Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa maqam adalah sebuah posisi tertentu yang
memiliki karakteristik yang saling berbeda antara satu tingkatan dan tingkatan lainnya.
Karakter maqam taubat merupakan sikap penyesalan terhadap segala dosa. Maqam ini
menunjukkan betapa pentingnya taubat, karena dengan taubat tersebut, seseorang akan dapat
melangkah kepada maqam -maqam lainnya dala level yang lebih tinggi. Sedangkan ridha
adalah level tertinggi, yang dapat dimaknai tercapainya kondisi ideal bagi seorang

31
M. Jamil, Cakrawala Tasawuf; Sejarah, Pemikiran dan Kontekstualitas, Ciputat: Gaung Persada Press, 2004,
hlm. 35.
32
Asnawiyah, Maqam dan Ahwal:Makna dan Hakikat dalam pendakiannya menuju Tuhan, Jurnal Substantia Vol
16 No. 1 April 2014, hlm. 82.
33
Ibid
34 I
bid
35
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hlm. 63.

13
Muslim. Hal ini baru dapat tercapai apabila telah melewati maqam-maqam lainnya seperti
zuhud, shabar, dan tawakkal.
b. Ahwal
Ada ulama yang berpendapat bahwa ilmu-ilmu sufi itu adalah ilmu-ilmu mengenal
keadaan-keadaan ruhani, dan bahwa keadaan-keadaan ini merupakan warisan dari tindakan-
tindakan, dan hanya dialami oleh orang-orang yang tindakan-tindakannya benar. Langkah
pertama menuju perbuatan yang benar adalah mengetahui ilmu yang menyangkut dengan
masalah itu yaitu peraturan-peraturan yang sah yang terdiri atas prinsip-prinsip
hukum (fiqih) yang mengatur cara-cara shalat, berpuasa dan tugas-tugas keagamaan lainnya,
juga mengetahui ilmu-ilmu sosial yang mengatur perkawinan, perceraian, transaksi-transaksi
dagang, dan masalah-masalah lain yang mempengaruhi kehidupan manusia, yang oleh Tuhan
telah ditetapkan dan ditentukan sebagai hal-hal yang diwajibkan. Semua itu merupakan ilmu-
ilmu yang bisa didapatkan dengan jalan mempelajarinya; dan sudah menjadi kewajiban
manusia untuk berusaha mencari ilmu ini dan aturan-aturannya, sepanjang dia mampu mencari
hingga batas kemampuan akalnya sebagai manusia, setelah dia mendapat dasar yang dalam
agama dan cara-cara memahami al-Qur’an dan sunnah.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa ahwal adalah suatu kondisi jiwa
yang diperoleh melalui kesucian jiwa. Hal merupakan sebuah pemberian dari Allah Swt.
Bukan sesuatu yang dihasilkan oleh usaha manusia, berbeda dengan yang disebut dengan
maqamat. Berbeda dengan al-Thusi, al-Qusyairy memberikan makna ahwal adalah anugerah
Allah atau keadaan yang datang tanpa wujud kerja.36
Seperti halnya maqamat, dalam ahwal juga terjadi perbedaan di kalangan para ulama
sufi tentang jumlah dan urutannya. Hal ini mengingat Nabi sendiri sejauh ini, tidak
memberikan suatu sinyalemen tentang macam-macam dan tingkatan-tingkatan ahwal
tersebut dalam hadis-hadis Beliau. Dengan kata lain, ahwal secara umum dapat ditemukan
dalam ungkapan ayat Alquran maupun hadis Nabi, namun tidak dijelaskan secara rinci mana
peringkat tertinggi dan terendah dari ahwal tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa peringkat
ahwal adalah hasil ijtihad dan pemikiran para ulama sufi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa antara maqamat dan ahwal memiliki
perbedaan. Jika maqamat merupakan tingkatan seorang hamba di hadapan Tuhannya dalam
hal ibadah dan latihan-latihan jiwa yang dilakukannya, artinya maqamat merupakan hasil

Al-Qusyairy. Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf, tahqiq ma’ruf Zuraiq d a n Ali Abd al-Hamid
36

Balthaja, Mesir: Dar al-Khair, t.t., hlm. 56.


14
usaha manusia. Sedangkan ahwal adalah suatu kondisi atau keadaan jiwa yang diberikan
oleh Allah kepada seseorang hamba, tanpa harus dilakukan suatu latihan oleh orang tersebut.
Meskipun jika ditelusuri terus bahwa pemberian Tuhan tersebut ada hubungannya dengan
upaya-upaya yang telah dilakukan oleh seorang hamba sebelumnya. 37
Sedangkan maqamat adalah keadaan jiwa seorang hamba sebagai buah usaha latihan
jiwa yang dilakukan seorang hamba. Seperti halnya maqamat, Ahwal juga memiliki macam-
macam bentuknya. Antara yang satu dengan yang lain, memiliki karakteristik yang berbeda.
Misalnya Muraqabah, memiliki makna yang sama dengan istilah ihsan, yaitu keyakinan yang
mendalam bahwa Allah terus menerus mengamati seluruh aktivitas baik lahir maupun batin.
Kisah yang selalu dikemukakan dalam hal muraqabah ini adalah kisah ibn Umar yang
mencoba membujuk penggembala agar mau menjual satu ekor kambing gembalaannya dan
menyuruh melaporkan kepada pemiliknya bahwa kambing tersebut sudah dimakan serigala.
Pengembala itu tidak bersedia bahkan menjawab fa aina Allah (di mana Allah? Allah
selalu mengawasi). Kisah lain ialah kisah seorang guru yang diprotes oleh murid-muridnya
karena mengistimewakan salah seorang murid. Para murid menanyakan kelebihan apa yang
dimiliki murid tersebut. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sang guru memberikan kepada
setiap murid seekor ayam dan menyuruh menyembelihnya di suatu tempat yang tidak
diketahui oleh siapapun. Semua murid kembali dengan ayam yang telah mereka
sembelih, kecuali murid yang dikasih tersebut membawa kembali ayamnya dalam keadaan
hidup (tidak disembelih). Waktu sang guru menanyakan mengapa tidak disembelih, ia
menjawab tidak menemukan satu tempatpun yang tidak diketahui oleh Tuhan. Inilah
kelebihan murid tersebut yang telah sampai kepada muraqabah.
Muraqabah juga diartikan di kalangan para sufi sebagai mawas diri. Artinya meneliti
dan merenung apakah tindak tanduk setiap harinya telah sesuai dengan apa yang dikehendaki
oleh Allah atau bahkan menyimpang dari yang dikehendaki-Nya.38
Muraqabah terbagi kepada tiga tingkatan yaitu:39
1) Muraqabah al-qalbi, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap hati, agar tidak
keluar dari pada kehadirannya dengan Allah.

37
M. Jamil, Cakrawala Tasawuf; Sejarah, Pemikiran dan Kontekstualitas, Ciputat: Gaung Persada Press, 2004,
hlm. 56.
38
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Jilid IV, Mesir: Mathba’ah al-Amirat al-Syarfiyyah, 1909, hlm. 322.
39
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Jakarta: Bina Ilmu, 1998, hlm. 218.
15
2) Muraqabah al-ruhi, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap ruh, agar selalu
merasa dalam pengawasan dan pengintaian Allah. (Rahasia) agar selalu meningkatkan
amal ibadahnya dan memperbaiki adabnya.
3) Ungkapan sufi tentang muraqabah:.“Barangsiapa yang muraqabah dengan Allah
dalam hatinya, maka Allah akan memeliharanya dari berbuat dosa pada anggota
tubuhnya”.40
5. Tahapan atau langkah-langkah dalam bertasawuf
a. Takhalli41
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi. Takhalli
adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela
yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan
kepada urusan duniawi. Takhalli juga dapat diartikan mengosongkan diri dari sifat
ketergantungan terhadap kelezatan duniawi. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan
menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan
hawa nafsu jahat.
Takhalli, berarti mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan
kehidupan duniawi. Dalam hal ini manusia tidak diminta secara total melarikan diri dari
masalah dunia dan tidak pula menyuruh menghilangkan hawa nafsu. Tetapi, tetap memanfaatkan
duniawi sekedar sebagai kebutuhannya dengan menekan dorongan nafsu yang dapat mengganggu
stabilitas akal dan perasaan. Ia tidak menyerah kepada setiap keinginan, tidak mengumbar nafsu,
tetapi juga tidak mematikannya. Ia menempatkan segala sesuatu sesuai dengan proporsinya,
sehingga tidak memburu dunia dan tidak terlalu benci kepada dunia.
Jika hati telah dihinggapi penyakit atau sifat-sifat tercela, maka ia harus diobati. Obatnya
adalah dengan melatih membersihkannya terlebih dahulu, yaitu melepaskan diri dari sifat-sifat
tercela agar dapat mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji untuk memperoleh kebahagiaan yang
hakiki.
Menurut kalangan sufi, kemksiatan dapat dibagi dua ; pertama maksiat lahir yaitu sifat
tercela yang dikerjakan oleh anggota lahir seperti tangan, mulut dan mata. Sedangkan maksiat
batin ialah segala sifat tercela yang diperbuat anggota batin yaitu hati. Menurut al-Ghazali moral
adalah setiap hal yang mengangkat jiwa dan kehidupan menuju cahaya dan kesucian.
Sedangakan kejelekan adalah semua hal yang merusak tubuh jiwa serta akal dan menjauhkan ruh

40
Ibid., hlm. 217.
41
Ismail Hasan, Tasawuf: Jalan Rumpil Menuju Tuhan, Jurnal An-Nuha Vol 1 No. 1 Juli 2014, hlm. 54.
16
dari cahaya dan kesucian. Al-Ghazali mengajak untuk tidak menjilat dalam mencari rezeki,
menghilangkan keinginan kuat untuk meraih kenikmatan hidup dan membawa jiwa untuk
menuju keindahan- keindahan hidup. Al-Ghazali meremehkan harta, pangkat dan kedudukan
jika dalam membela sikap yang demikian terdapat sifat yang menggerogoti moral yang lurus. Al-
Ghazali menyerukan untuk menahan jiwa, akal dan tangan dari ketamakan-ketamakan hidup,
kenikmatan-kenikmatan hina, kemuliaan palsu dan pertarungan yang batil.42
Ada beberapa sifat yang perlu dibersihkan ketika seorang salik ingin mempraktekkan
tingkatan takhalli ini, yaitu :
1). Hasud : iri/dengki;
2). Hiqd : benci/mendengus;
3). Su’udzan : buruk sangka;
4). Takabbur : sombong/ pongah;
5). ‘Ujub : berbangga diri;
6). Riya’ : suka pamer kemewahan;
7). Sum’ah : mencari kemasyhuran;
8). Bakhil : kikir;
9). Hubb al-mal : materialistis;
10). Tafakhur : bersaing dalam kebanggaan diri;
11). Ghadab : marah;
12). Namimah : menyebar fitnah;
13). Kidzib : berbohong;
14). Khianat : tidak jujur/ tidak amanah;
15). Ghibah : membicarakan kejelekan orang lain.43
b. Tahalli
Setelah melalui tahap pembersihan diri dari segala sifat dan sikap mental yang tidak baik
dapat dilalui, usaha itu harus berlanjut terus ke tahap kedua yang disebut tahalli. Yakni,
mengisi diri dengan sifat- sifat terpuji, dengan taat lahir dan bathin.44 Dalam hal ini Allah SWT
berfirman: “ Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS.
16 : 90)

42
Usman Said, dkk, Pengantar Ilmu Tasawuf, Medan : Naspar Djaja, 1981, hlm. 185.
43
Ismail Hasan, Tasawuf: Jalan Rumpil Menuju Tuhan, Jurnal An-Nuha Vol 1 No. 1 Juli 2014, hlm. 54.
44
Asmaran As, MA, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 69.
17
Dengan demikian, tahap tahalli ini merupakan tahap pengisian jiwa yang telah
dikosongkan tadi. Sebab, apabila satu kebiasaan telah dilepaskan tetapi tidak segera ada
penggantinya maka kekosongan itu bisa menimbulkan prustasi. Oleh karena itu, setiap satu
kebiasaan lama ditinggalkan, harus segera diisi dengan satu kebiasaan baru yang baik. Dari satu
latihan akan menjadi kebiasaan dan dari kebiasaan akan menghasilkan kepribadian. Jiwa manusia,
kata Al-Gazali, dapat dilatih, dapat dikuasai, bisa diubah dan dapat di bentuk sesuai dengan
kehendak manusia itu sendiri.45
Sikap mental dan perbuatan luhur yang sangat penting diisikan ke dalam jiwa seseorang
dan dibiasakan dalam kehidupannya adalah taubah, sabar, kefakiran, zuhud, tawakkal, cinta,
ma’rifah, dan kerelaan.46 Apabila manusia mampu mengisi hatinya dengan sifat-sifat terpuji,
maka ia akan menjadi cerah dan terang.
Manusia yang mampu mengosongkan hatinya dari sifat-sifat yang tercela (takhalli) dan
mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji (tahalli), segala perbuatan dan tindakannya sehari-
sehari selalu berdasarkan niat yang ikhlas. Seluruh hidup dan gerak kehidupannya diikhlaskan
untuk mencari keridhoan Allah semata. Karena itulah manusia yang seperti ini dapat
mendekatkan diri kepada-Nya.
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan
sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan
jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat
eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban- kewajiban
yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat dalam adalah seperti
keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan. artinya membersihkan diri dari sifat-sifat
tercela, dari maksiat lahir dan batin. Di antara sifat-sifat tercela itu menurut Imam al-Ghazali
adalah pemarah, dendam, hasad, kikir, ria, takabbur, dan lain-lain.
Sifat-sifat yangmenyinari hati atau jiwa, setelahmanusia itu melakukan pembersihan hati,
harus dibarengi pula penyinaran hati agar hati yang kotor dan gelap menjadi bersih dan terang.
Karena hati yang demikian itulah yang dapat menerima pancaran nur cahaya Tuhan. 47
Sifat-sifat yang menyinari hati itu oleh kaum sufi dinamakan sifat-sifat terpuji (akhlaq
mahmudah), di antaranya adalah :
1) Taubat : menyesali dari perbuatan tercela
2) Khauf/taqwa : perasaan takut kepada Allah

45
Asmaran As, MA, Pengantar…, hlm. 102.
46
Ibid
47
Ismail Hasan, Tasawuf: Jalan…, hlm. 57
18
3) Ikhlas : niat dan amal yang tulus dan suci
4) Syukur : rasa terima kasih atas segala nikmah
5) Zuhud : hidup sederhana, apa adanya
6) Sabar : tahan dari segala kesukaran
7) Ridho : rela dalam menerima taqdir Allah
8) Tawakkal : berserah diri pada Allah
9) Mahabbah : perasaan cinta hanya kepada Allah
10) Dzikrul maut : selalu ingat akan mati.
Apabila manusia telah membersihkan hatinya dari sifat-sifat tercela dan mengisi dengan
sifat-sifat terpuji itu, maka hatinya menjadi cerah dan terang dan hati itu dapat menerima cahaya
dari sifat-sifat terpuji tadi. Hati yang belum dibersihkan tak akan dapat menerima cahaya dari
sifat-sifat terpuji itu.48
c. Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka
rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya
nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh yang telah terisi dengan
butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur- tidak
berkurang, maka, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan
dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan
menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya. sebagai tahap kedua berikutnya, adalah upaya pengisian
hati yang telah dikosongkan dengan isi yang lain, yaitu Allah.
Pada tahap ini, hati harus selalu disibukkan dengan dzikir dan mengingat Allah. Dengan
mengingat Allah, melepas selain-Nya akan mendatangkan kedamaian. Tidak ada yang
ditakutakan selain lepasnya Allah dari dalam hatinya. Hilangnya dunia bagi hati yang telah
tahalli tidak akan mengecewakan. Waktunya sibuk hanya untuk Allah, bersenandung dalam
dzikir. Pada saat Tahalli, lantaran kesibukan dengan mengingat dan berdzikir kepada Allah
dalam hatinya, anggota tubuh lainnya tergerak dengan sendirinya ikut bersenandung dzikir.
Lidahnya basah dengan lafadz kebesaran Allah yang tidak henti-hentinya di dengungkan setiap
saat. Tangannya berdzikir untuk kebesaran Tuhannya dalam berbuat. Begitu pula, mata, kaki,
dan nggota tubuh yang lain.49

48
Ismail Hasan, Tasawuf: Jalan…, hlm. 57
49
Rosihon Anwar, Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, hlm.56
19
Pada tahap ini, hati akan merasa ketenangan. Kegelisahannya bukan lagi pada dunia
yang menimpa. Kesedihannya bukan pada anak dan istri yang tidak akan menyertainya kita saat
maut menjemput. Kepedihannya bukan pada syahwat badani yang seringkali memperosokkan
pada kebinatangan. Tapi hanya kepada Allah. Hatinya sedih jika tidak mengingat Allah dalam
setiap detik.50
Bagi Ibn Arabi pengertian tajalli tidak sebatas pada penampakan Tuhan bagi orang-
orang yang mengalami Kasyf (keterbukaan tabir dari mata batin mereka), tapi lebih dati itu.
Menurutnya, pengetahuan Kasyf memberi informasi bahwa alam adalah tajalli Tuhan dalam
bentuk yang beraneka ragam, sesuai ide-ide tetap (tentang alam) dalam ilmu Tuhan. Bentuk
tajalli dengan tajalli yang lain tidak pernah persisi sama, bentuk suatu tajalli tidak pernah
berulang, dan tajalli itu akan berlangsung terus tanpa henti. Ajaran Ibn Arabi tentang alam
sebagai tajalli Tuhan, bila dikaitkan dengan pengajarannya tentang tasybih dan tanzih, niscaya
tidak bisa dipahami dengan pengertian bahwa Tuhan menampakkan diri-Nya secara langsung
atau dengan pengertian bahwa Dia berkembang sedemikian rupa sehingga mengaktual menjadi
alam dengan bentuk-bentuknya yang beraneka ragam. Pengertian seperti ini bertentangan dengan
ajaran tasybih dan tanzih.51
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka
tahapan pendidikan mental itu disempurnakan pada fase tajalli. Tajalli berarti terungkapnya nur
gaib untuk hati. Dalam hal ini kaum sufi mendasarkan pendapatnya pada firman Allah SWT :
Allah adalah nur (cahaya) langit dan bumi (QS. 24:35 ).52
Para sufi sependapat bahwa untuk mencapai tingkat kesempurnaan kesucian jiwa itu
hanya dengan satu jalan, yaitu cinta kepada Allah dan memperdalam rasa kecintaan itu. Dengan
kesucian jiwa ini, barulah akan terbuka jalan untuk mencapai Tuhan. Tanpa jalan ini
tidak ada kemungkinan terlaksananya tujuan itu dan perbuatan yang dilakukan tidak dianggap
perbuatan yang baik.53
Pada tingkat ini hati hamba itu bercahaya terang benderang, dadanya terbuka luas dan
lapang, terangkatlah tabir rahasia malakut dengan karunia dan rahmat Allah, tatkala itu jelaslah
segala hakikat ketuhanan yang selama ini terhijab atau terhalangi. Imam Ghozali berkata, ”Di
dunia ini tak ada cahaya yang lebih dari pada cahaya Kenabian”.54

50
Ibid, hlm.57
51
Rosihon Anwar, Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, hlm.58
52
Ibid, hlm 71.
53
Usman Said, dkk, Pengantar…, hlm. 111.
54
Rosihon Anwar, Mukhtar Solihin, Ilmu…, hlm 71.
20
Dalam menempuh jalan (tarekat) untuk memperoleh kenyataan Tuhan (tajalli), kaum
sufi berusaha melalui riyadloh (latihan-latihan) dan mujahadah dengan menempuh jalan, antara
lain melalui suatu dasar pendidikan tiga tingkat: takholli, tahalli dan tajalli.
Ada pula menempuh jalan suluk dengan sistem yang dinamakan : murotabatu al-thariqah
yang terdiri dari empat tingkat.(seperti sistem yang dipakai oleh Tarekat Naqsabandiyah):
1) Taubat : kembali kepada Allah SWT.
2) Istiqomah : taat lahir dan batin.
3) Tahdzib : yang terdiri dari beberapa latihan (Riyadlah), seperti puasa, mengurangi
tidur dan menyendiri
4) Taqarrub : mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan berkhalwat, dzikir terus
menerus.55
AKSIOLOGI ILMU TASAWUF
Setiap tradisi religious mempunyai bentuk spiritualitas unik. Spiritualitasnya bukanlah
sesuatu yang berada secara peripheral, malah ia merupakan esensi dan substansi setiap agama.
Bahkan, sebuah agama bisa hidup hanya karena ia mempunyai esensi spiritualitas. Dan
spiritualitas yang dimaksud adalah satu kesadaran jeluk terhaadap yang ilahi. Dan kesadaran
ini sekaligus merupakan keberadaan.
Dalam tradisi Kristen, kesadaran terhadap sang ilahi pada dasarnya tampil dalam bentuk
cinta. Maka, spiritualitas Kristen lebih terlihat sebagai suatu spiritualitas kecintaan, sementara
tradisi Islam tampil dengan kesadaran terhadap kebenaran dalam bentuk makrifat. Berdasar
pada hal itu, spiritualitas Islam bisa dikatakan sebagai spiritualitas kearifan. Tetapi, penampilan
ini adalah satu aspek a prior dan lahiriah yang tidak pernah menolak kehadiran unsur selainnya.
Walaupun penampilan spiritualitas Kristen adalah kecintaan, ia tetap mengandung unsur
kearifan. Begitu juga dengan Islam, meski tampil dalam bentuk kearifan, ia tetap mengandunga
unsur kecintaan.
Unsur esoteris tasawuf dapat memenuhi kebutuhan ruhani manusia dan melaksanakan
ajaran syari;at dengan lebih memaknai kehadiran sang pencipta. Syari’at yang dilaksanakan
bukan semata-mata dilaksanakan selayaknya ritual biasa tapi bernilai dan mampu menghayati
sang pencipta. Selain itu dengan latihan tasawuf manusia dapat menghapus unsur
“kebinatangannya”. Manusia yang telah mencapai batas akhir kebinatangan, lalu terus
menekuni latihan spiritualnya, bisa sampai pada intelek murni.56

55
Ismail Hasan, Tasawuf: Jalan…, hlm. 57. Dikuti dari ftalhah, Hasan, Mukhtashar Ilmu Tasawuf, hal. 27
56
Tosihiko Izutsu, Sufisme, hlm. 18.
21
Sebagaimana taupik pasiak mengatakan dalam otak manusia terdapat God Spot,
kesadaran bertuhan dan pengahayatan terhadap nilai-nilai luhur tasawuf dapat meningkatan
dominasi God Spot atau otak bawah sadar manusia. Penelitian terakhir, hal ini dapat
meningkatkan kecerdasan emosional dan spiritual.57
Dalam pandangan yang berbeda, Sayyed Hossein Nasr mengatakan kehidupan manusia
harus dilandasi oleh prinsip keseimbangan, yaitu keseimbangan pemenuhan kebutuhan jasmani
dan ruhani. Kebahagiaan hakiki tidak pernah dirasakan jika yang dipenuhi hanya kebutuhan
jasmani semata, sebaliknya kehidupan tidak dapat dikatakn layak jika manusia hanya
mengutamakan kebutuhan ruhani seraya mengabaikan kebutuhan jasmani. Mengamalkan nilai-
nilai sufisme dalam kehidupan posmoderisme merupakan sebuah alternatif dalam mengimbangi
kehidupan kapitalisme global yang menawarkan ruang yang di dalamnya hasrat dapat mengalir
dengan bebas.58
Dalam ruang lingkup akademisi atau ilmuan, prinsip tasawuf sabar, tawadhu’, dapat
meningkatkan motivasi dan kekuatan mental dalam mengembangkan karya-karyanya. Salein
itu konsep maqamat dapat dijadikan sebagai etika profesi ilmuan muslim.59
SIMPULAN
Dalam pengertian Ilmu Tasawuf hampir-hampir terdapat kesepakatan para ahli dalam
bidang tasawuf tentang sulitnya merumuskan definisi dan batasan tegas berkaitan dengan
pengertian tasawuf. Abu al-Wafa al-Taftazani mengajukan definisi yang hampir mencakup
seluruh unsur substansi tasawuf yakni “sebuah pandangan filosofis kehidupan yang bertujuan
mengembangkan moralitas jiwa manusia, yang dapat direalisasikan melalui latihan-latihan
praktis tertentu yang membuahkan larutnya perasaan dalam hakikat transcendental”.
Epistimologi ilmu tasawuf sebagai disiplin ilmu yang sudah mapan dan berkembang
seiring berjalannya waktu, pembagian ilmu tasawuf yaitu Tasawuf Akhlaqi, Tasawuf Amali,
dan Tasawuf Falsafi. Sedangkan sumber pengetahuan tasawuf menitik beratkan pada intuisi
atau Qalb (hati), tahapan yang harus dilalui yaitu Tahalli, Takhalli, dan Tajalli.
Aksiologi Ilmu Tasawuf yaitu sangat beragam dan menjadi jiwa ajaran Islam. Ajaran
tasawuf dapat dijadikan sebagai etika profesi ilmuan muslim, dan menurut Sayyed Houssen
Nasr dapat dijadikan alternatif dalam mengimbangi kapitalisme global.

57
Taufik Pasiak, Manajemen Kecerdasan, Yogyakarta: Mizan, 2012, hlm. 30.
58
Sayyid Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man, Chicago: Kazi, 1975. hlm. 110.
59
Ja’far, Gerbang Tasawuf: Dimensi Teoritis dan Praktis Ajaran Kaum Sufi, Medan: Perdana Publishing, 2016,
hlm. 110.

22
Daftar Pustaka
 Buku
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Jilid IV, Mesir: Mathba’ah al-Amirat al-Syarfiyyah, 1909.
Al-Qusyairy. Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf, tahqiq ma’ruf Zuraiq dan Ali Abd
al-Hamid Balthaja, Mesir: Dar al-Khair, t.t.
A.J Arberry, Sufism: An Account of The Mystic of Islam, London:Unwin Paperboche, 1978.
Asmaran As, MA, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Syukur, Amin dan Masyharuddin. Intelektualisme Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Syukur, Amin. Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Syukur, Amin dan Muhayya, Abdul. Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
(Anggota IKAPI) bekerja sama dengan IAIN Walisongo, 2001.
Syukur, Amin dan Ustman, Fatimah. Insan Kamil Paket Pelatihan Seni Menata Hati (SMH),
Semarang: CV Bima Sejati, bekerja sama dengan bimbingan dan konsultasi Tasawuf
(LEMKOTA) dan yayasan al-Muhsisinin, 2004.
Hossein Nasr Sayyid, Islam and the Plight of Modern Man, Chicago: Kazi, 1975.
Izutsu Toshihiko, Sufisme, Yogyakarta: Mizan, 2015.
Ja’far, Gerbang Tasawuf: Dimensi Teoritis dan Praktis Ajaran Kaum Sufi, Medan: Perdana
Publishing, 2016.
Jamil, M. Cakrawala Tasawuf; Sejarah, Pemikiran dan Kontekstualitas, Ciputat: Gaung
Persada Press, 2004
Muhammad Husain al-Zahabi. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun. Jilid IV. (T. Tp: T.th).
Munawar Rachman, Budi (e.d). Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta:
Paramadina, 1995.
Nashr Al-Sarraj Al-Thusi, Abu. Al-Luma’, tahqiq Abdul halim Mahmud dan Abd a l - B a q i ’
Surur, Mesir: Dar al-Haditsah, 1960.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Pasiak, Taufik. Manajemen Kecerdasan, Yogyakarta: Mizan, 2012.
Said, Usman dkk. Pengantar Ilmu Tasawuf, Medan : Naspar Djaja, 1981.
Shihab, Alwi. Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi Akar Tasawuf di Indonesia, Depok:
Pustaka Iman, 2009.
UIN Sunan Kalijaga. Akhlak Tasawuf, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga,
2005.
Zahri, Mustafa. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Jakarta: Bina Ilmu, 1998.

23
 Jurnal
Asep Nurdin, Karakteristik Tafsir Sufi: Telaah Atas Metodologi Penafsiran al-Quran Ulama
Sufi, Jurnal Studi Ilmu-ilmu AlQuran dan Hadis,Vol.3, No.2, Januari 2003, Vol.3, No.2,Januari
2003.
Asnawiyah, Maqam dan Ahwal:Makna dan Hakikat dalam pendakiannya menuju Tuhan,
Jurnal Substantia Vol 16 No. 1 April 2014.
Lenni Lestari, Epistemologi Corak Tafsir Sufistik, Jurnal Syahadah: Ilmu al-Qur’an dan
KeIslaman Vol.2 No.1 April 2014.
Ismail Hasan, Tasawuf: Jalan Rumpil Menuju Tuhan, Jurnal An-Nuha Vol 1 No. 1 Juli 2014.

24

Anda mungkin juga menyukai