Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PENGERTIAN TASAWUF, DASAR TASAWUF, CIRI UMUM TASAWUF.

Tugas ini disusun guna memenuhi mata kuliah ilmu tasawuf

Dosen Pengampu : Khoirul Basyar, H. Dr. M.Si

Disusun Oleh :

1. Khoerun Nissa (3121031)


2. Muhammad Ghufron Zaidul HAq (3121032)

Kelas B

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN

2021

1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Tasawuf adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan
dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat dengan
Allah SWT. Indikator bahwa akhlak yang berdasar pada Al Qur‟an merupakan penuntun bagi
umat manusia untuk memiliki sikap mental dan kepribadian yang paripurna. Maka, pembinaan,
pendidikan, dan penanaman nilai nilai akhlak yang baik sangat tepat bagi anak remaja agar
tidak mengalami penyimpangan seperti yang rentan terjadi akhir- akhir ini.

Akhlak bersumber pada Alquran yang tidak diragukan lagi keasliannya dan
kebenarannya dengan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai The Living
Quran.1 Akhlak Islam adalah sebagai alat untuk mengontrol semua perbuatan manusia dan
setiap perbuatan manusia diukur dengan suatu sumber yaitu Alquran dan as-sunnah.Dengan
demikian, manusia harus selalu mendasarkan pada Al Qur‟an dan as- sunnah sebagai sumber
akhlak.2 Alquran ini merupakan ensiklopedi konsep normatif umum.Untuk memperjelas,
memperluas, dan menjabarkannya, baik secara konseptual maupun praktis, sumber kedua
dipakai yaitu as- sunnah.

Alquran adalah kitab petunjuk mengenai akhlak yang murni menerangkan norma,
keagamaan dan kesusilaan yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupan secara individu
dan kolektif, sebagaimana firman Allah SWT, dalam kisah Surah Al Isra ayat 9 . Ayat ini
menjelaskan bahwa tujuan Al qur‟an adalah memberikan petunjuk kepada manusia. Tujuan ini
akan tercapai dengan memperbaiki hati dan akal manusia dengan aqidah-aqidah yang benar dan
akhlak yang mulia, serta mengarahkan tingkah laku mereka kepada perbuatan yang baik,
3
sehingga aktualisasi nilai-nilai Al qur‟an menjadi sangat penting, karena tanpa aktualisasi kitab
suci ini, umat Islam akan menghadapi kendala dalam upaya internalisasi nilai-nilai Qurani
sebagai upaya pembentukan pribadi umat yang beriman, bertaqwa berakhlak mulia, cerdas,
maju dan mandiri.4

1
Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2005),hlm,224
2
Senada dengan hal itu tepat yang dikatakan oleh Mali Badri "The Holy Qur'an and the Hadith explixity speak of
number of spesific explanatory concepts or couses for individual and collective behavior of man. In the Holy
Qur'an these causes are on fact considered pyscho-spiritual and sosial natural lawas, sunnat-Allah". Lihat Badri the
Dilema of Muslim Pschologists. (London:MWH London Publisher,1979).hlm.100-101
3
Aly, Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta:Logos,1999),hlm. 32
4
Munawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur'ani dalam Sistem Pendidikan Islam. (Jakarta: Ciputat Pres,2003),hlm. 7
2. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian Tasawuf?
b. Apa dasar Tasawuf?
c. Sebutkan ciri umum Tasawuf?

3. Tujuan

a. Dapat mengetahui pengertian Tasawuf


b. Dapat mengetahui dasar Tasawuf
c. Dapat mengetahui ciri umum Tasawuf
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Tasawuf

Istilah tasawuf tidak dikenal pada masa kehidupan Nabi dan Khulafaur Rasyidin.
Istilah itu baru muncul ketika Abu Hasyim alKufy (w. 250 H) meletakkan kata al-Sufi
dibelakang namannya pada abad ke 3 Hijriyah. Menurut Nicholson, sebagaimana yang
dikutip oleh Amin Syukur, sebelum Abu Hasyim al-Kufy telah ada ahli yang
mendahuluinya dalam zuhud, tawakkal, dan dalam mahabbah, namun mereka tidak
menggunakan atau mencantumkan kata al-sufi. Jadi tetap Abu Hasyim orang yang pertama
memunculkan istilah itu. 5
Secara etimologi, para ahli berbeda pendapat tentang akar kata tasawuf. Setidaknya ada
ada enam pendapat dalam hal itu, yakni: (1) kata suffah yang berarti emperan masjid
Nabawi yang didiami oleh sebagian sahabat Anshar. Hal ini karena amaliah ahli tasawuf
hampir sama dengan apa yang diamalkan oleh para sahabat tersebut, yakni mendekatkan
diri kepada Allah Swt., dan hidup dalam kesederhanaan. 6(2) kata Shaf yang berarti barisan.
Istilah ini dianggap oleh sebagian ahli sebagai akar kata tasawuf karena ahli tasawuf ialah
seorang atau sekelompok orang yang membersihkan hati, sehingga mereka diharapkan
berada pada barisan (shaf) pertama di sisi Allah Swt. (3) kata shafa yang berarti bersih,
karena ahli tasawuf berusaha untuk membersihkan jiwa mereka guna mendekatkan diri
kepada Allah Swt. (4) kata shufanah, nama sebuah kayu yang bertahan tumbuh di padang
pasir. Hal ini karena ajaran tasawuf mampu bertahan dalam situasi yang penuh pergolakan
ketika itu, ketika umat muslim terbuai oleh materialisme dan kekuasaan, sebagaimana kayu
shufanah yang tahan hidup ditengah-tengah padang pasir yang tandus. (5) Kata Teoshofi,
bahasa Yunani yang berarti ilmu ketuhanan, karena tasawuf banyak membahas tentang
ketuhanan. (6) kata shuf yang berarti bulu domba, karena para ahli tasawuf pada masa awal
memakai pakaian sederhana yang terbuat dari kulit atau bulu domba (wol).7
Perbedaan pendapat ini, jika diteliti muncul karena adanya perbedaan sudut
pandang yang dipakai. Bagi penulis, perbedaan tersebut tidak menjadi problem, sebab ciri-
ciri yang dijadikan landasan pengkaitan akar kata tasawuf di atas semuanya terdapat pada
5
HM. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), h. 7-8.
6
Julian Baldick, Islam Mistik: Mengantar Anda ke Dunia Tasawuf, trej. Satrio Wahono, (Jakarta: Serambi, 2002.) ,
h. 42.
7
Syukur, Menggugat Tasawuf, h. 8-10 dan Baldick, Islam Mistik, h. 44-46.
4
tasawuf itu sendiri. Meski demikian, penulis lebih setuju dengan pendapat yang ke-enam,
yakni tasawuf berakar dari kata shuf (wol). Hal ini karena kata tersebut lebih tepat baik
dilihat dari konteks kebahasaan, sikap kesederhanaan, maupun aspek kesejarahan.
Tasawuf adalah pelatihan dengan kesungguhan untuk dapat membersihkan,
memperdalam, mensucikan jiwa atau rohani manusia. Hal ini dilakukan untuk melakukan
pendekatan atau taqarub kepada Allah dan dengannya segala hidup dan fokus yang
dilakukan hanya untuk Allah semata. Untuk itu, tasawuf tentu berkaitan dengan pembinaan
akhlak, pembangunan rohani, sikap sederhana dalam hidup, dan menjauhi hal-hal dunia
yang dapat melenakan. Tentu hal ini bisa membantu manusia dalam mencapai tujuannya
dalam hidup. Untuk itu, praktik tasawuf ini dapat dilakukan oleh siapapun yang ingin
membangun akhlak yang baik, sikap terpuji, kesucian jiwa, dan kembalinya pada Illahi
dalam kondisi yang suci.

Secara umum, tentu ajaran tasawuf jika dikembangkan tidak boleh bertentangan dan
juga bersebrangan dengan ajaran yang berasal dari Wahyu Al Quran dan Sunnah
Rasulullah. Sebagai bentuk kecintaan manusia kepada Rasulullah tentunya juga harus tetap
melaksanakan ibadah sebagaimana Rasul ajarkan.

2. Dasar Tasawuf

Sejarah Perkembangan Tasawuf Dr. Ahmad Alwasy berkata, "Banyak kalangan


bertanya-tanya mengapa dakwah kepada tasawuf tidak berkembang di awal era Islam, dan
baru muncuI setelah era sahabat dan tabi'in. Jawabannya, pada awal Islam dakwah kepada
tasawuf belum diperlukan. Sebab, pada era itu semua orang adalah ahli takwa, ahli wara
dan ahli ibadah, berdasarkan panggilan fitrah mereka dan kedekatan mereka dengan
Rasulullah. Mereka semua berlomba untuk mengikuti dan meneladani Rasul dalam .tiap
aspek. Oleh karena itu, mereka tidak membutuhkan ilmu yang membimbing mereka kepada
sesuatu yang benar-benar telah mereka kerjakan. Kondisi mereka ibarat seorang Arab
murmi yang mengetahui bahasa Arab melalui warisan dari generasi pendahulu. Dia dapat
menciptakan syair yang fasih tanpa sedikit pun memiliki pengetahuan tentang gramatika
bahasa Arab dan ilmu mencipta syair. Orang seperti ini tidak harus mempelajari nahwu dan
balaghah. Nahwu, balaghah dan ilmu tentang syair diperlukan dan harus dipelajari oleh
orang yang banyak melakukan kesalahan berbahasa dan lemah dalam menyusun kalimat,
atau bagi orang non-Arab yang hendak memahami dan mengetahui bahasa Arab, atau pada

5
saat ilmu-ilmu tersebut menjadi kebutuhan masyarakat, sebagaimana kebutuhan mereka
terhadap ilmu-ilmu lainnya.

Meskipun para sahabat dan tabi'in tidak menggunakan kata tasawuf, akan tetapi secara
praktis mereka adalah para sufi yang sesungguhnya. Yang dimaksud dengan tasawuf tidak
lain adalah bahwa seseorang hidup hanya untuk Tuhannya, bukan untuk dirinya. Dia
menghiasi dirinya dengan zuhud, tekun melaksanakan ibadah, berkomunikasi dengan Allah
dengan roh dan jiwanya di setiap waktu dan berusaha mencapai berbagai kesempurnaan,
sebagaimana telah dicapai oleh para sahabat dan tabi'in yang telah sampai ke tingkat
spiritualitas yang paling tinggi. Para sahabat tidak hanya sekadar mengikrarkan iman dan
menjalankan kewajiban-kewajiban. Akan tetapi, mereka menyertai ikrar iman tersebut
dengan perasaan, menambah kewajiban-kewajiban dengan amal-amal sunnah dan
menghindari yang makruh di samping yang haram, sehingga mata hati mereka bersinar,
butiran-butiran hikmah terpancar dari nurani mereka dan rahasia-rahasia ketuhanan
melimpah dalam jiwa mereka. Begitu pula kondisi para tabiin dan pengikut tabiin. Ketiga
masa tersebut adalah masa keemasan dan sebaik-baik masa dalam Islam. Nabi bersabda,

ِ‫ بَلِ ْي ِه َو ٰالّ ِذى بَلِيْه‬T‫ي ٰه َذا فَالَّ ِذى‬


ْ ِ‫ َخ ْي ُر ْالقُرُوْ ِن قَرْ ن‬.
"Sebaik-baik masa adalah masaku ini lalu masa sesudahnya, lalu masa sesudahnya."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Setelah era itu, beragam bangsa mulai memeluk Islam. Bidang ilmu pengetahuan juga
semakin meluas dan terbagi-bagi di antara para spesialis. Setiap kelompok berusaha
mengkodikasihkan ilmu yang mereka geluti dan mereka kuasai. Setelah pengkodifikasian
nahwu di awal era Islam, muncul lah ilmu fikih, ilmu tauhid, ilmu hadis, ilmu usul fikih,
ilmu faraid (ilmu waris) dan ilmu-ilmu lainnya.

Setelah fase ini, pengaruh spiritualitas Islam sedikit demi sedikit melemah. Manusia
mulai lupa akan pentingnya bertakarub kepada Allah melalui ibadah, hati dan tekad. Hal
inilah yang mendorong ahli zuhud untuk mengkodifikasikan ilmu tasawuf, serta
menerangkan kemuliaan dan keutamaannya di antara ilmu-ilmu lainnya. Para Zuhud tidak
melakukan itu sebagai reaksi atas apa yang dilakukan oleh kalangan ulama lain terhadap
ilmu-ilmu mereka, sebagimana diasumsikan oleh sebagian kalangan orientalis. Namun,
mereka melakukan itu untuk menutupi kekurangan dan menyempurnakan agama dari

6
segala aspeknya. Dan hal tersebut adalah suatu keharusan demi terwujudnya sikap saling
menolong dalam kebajikan dan ketaqwaan.8
Para sufi generasi pertama telah membangun pondasi tarekat mereka berdasarkan ilmu
yang mereka ambil dari para ulama yang terpercaya, sebagaimana terdapat dalam sejarah
Islam.
Sejarah perkembangan tasawuf dapat dilihat dengan jelas dalam sebuah fatwa
yang disampaikan oleh Muhammad Shadiq al-Ghumari, seorang pakar dalam bidang
Hadits. Pada suatu hari, dia ditanya oleh seseorang tentang siapa yang pertama kali
mendirikan tasawuf, dan apakah tasawuf berlandaskan pada wahyu samawi. Dia menjawab
bahwa asas dari tarekat adalah wahyu samawi yang merupakan bagian dari ajaran nabi
Muhammad. Tidak diragukan lagi bahwa tarekat atau tasawuf adalah maqam ihsan. Dan
ihsan adalah salah satu dari tiga elemen dasar agama, sebagaimana diterangkan oleh
Rasulullah dalam sebuah sabdanya setelah menjelaskan ketiga dasar elemen tersebut, “ini
adalah jibril yang datang untuk mengajari kalian tentang agama kalian”. 9Ketiga elemen
dasar agama tersebut adalah Islam,Iman dan Ihsan.

3. Ciri umum Tasawuf

Karena sulitnya memberikan definisi yang lengkap tentang tasawuf, Abu Al-Wafa' Al-
Ghanimi At-Taftazani (peneliti tasawuf) tidak merumuskan definisi tasawuf dalam
bukunya Madkhal ila At-Tasawwuf Al-Islami (Pengantar ke Tasawuf Islam). Menurutnya
secara umum, tasawuf mempunyai lima ciri umum, yaitu : (1) Peningkatan Moral; (2)
Pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak; (3) Pengetahuan intuitif langsung; (4)
Timbulnya rasa kebahagiaan sebagai karunia Allah dalam diri seorang sufi karena
tercapainya maqamat (maqam-maqam atau beberapa tingkatan); dan (5) Penggunaan
simbol-simbol pengungkapan yang biasanya mengandung pengertian harfiah dan tersirat.10

Sebagian penelitian lain berusaha mendefinisikan karakteristik umum yang sama


diantara berbagai kecenderungan tasawuf atau mistisme. William James, misalnya seorang
8
Ahmad Ahwasy, at-Tashawwuf min al-Wijhah at-Tarikhiyyah, dalam majalah al-'Asyirah al-Muhammadiyah.
Ahmad Alwasy adalah salah seorang cendekiawan Muslim yang berusaha mentransformasikan hakikat tasawuf ke
dalam bahasa asing. Dia telah mengarang sebuah buku tentang tasawuf Islam dalam bahasa Inggris, yang memiliki
pengaruh sangat besar dalam gerakan pemurnian ajaran tasawuf dan usaha membantah tuduhan-tuduhan para
orientalis terhadap tasawuf dan Islam.
9
Bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Muslim.
10
Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi At-Taftazani, Sufi dari zaman ke zaman, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, Pustaka,
Bandung, 1985, hlm. 4-5.
7
ahli peneliti ilmu jiwa Amerika mengatakan bahwa kondisi-kondisi mistisme selalu
ditandai empat karakteristik sebagai berikut:
1. Ia merupakan suatu kondisi pemahaman (noetic). Sebab, bagi para penempuhnya,
ia merupakan kondisi pengetahuan yang dalam kondisi tersebut, tersingkaplah
hakikat realitas yang baginya merupakan ilham, dan bukan merupakan pengetahuan
demonstrative.
2. Ia merupakan suatu kondisi yang mustahil dapat dideskripsikan atau dijabarkan.
Sebab, ia semacam kondisi perasaan (state of feeling) yang sulit diterangkan pada
orang lain dalam detail kata-kata seteliti apapun.
3. Ia merupakan suatu kondisi yang cepat sirna (transiency). Dengan kata lain, ia tidak
berlangsung lama tinggal pada sang sufi atau mistikus, tapi ia menimbulkan kesan-
kesan sangat kuat dalam ingatan.
4. Ia merupakan kondisi pasif (passivity). Dengan kata lain, seseorang tidak mungin
menumbuhkan kondisi tersebut dengan kehendak sendiri. Sebab, dalam
pengalaman mistisnya, justru dia tampak seolah-olah tunduk di bawah suatu
kekuatan supernatural yang begitu menguasainya.11

Adapun menurut R.M. Buckle, terdapat tujuh karakteristik di dalam kondisi mistisme,
yaitu:
1. Pancaran diri subjektif (subjective light).
2. Peningkatan moral (moral elevation).
3. Kecemerlang intelektual (intellectual illumination).
4. Perasaan hidup kekal (sense of immortality).
5. Hilangnya perasaan takut mati (loss of fear of death).
6. Hilangnya perasaan dosa (loss of sense of sin).
7. Ketiba-tibaan (suddenness).12

Sementara itu, Betrand Russell, setelah menganalisis kondisi-kondisi tasawuf atau


mistisme, berusaha untuk membatasi filosofis tasawuf dan mistisme ke dalam empat
karakteristik yang menurutnya akan membedakan tasawuf atau mistisme dari filsafat lainnya,
pada semua kurun-masa dan di seluruh penjuru dunia. Empat karakteristik itu ialah sebagai
berikut:
1. Keyakinan atas intuisi (intuition) dan pemahaman batin (insight) sebagai metode
11
Ibid.,hlm 2-3.
12
Ibid, hlm. 3.
8
pengetahuan, sebagai kebalikan dari pengetahuan rasional analitis.
2. Keyakinan atas ketunggalan (wujud), serta pengingkaran atas kontradiksi dan
diferensasi, bagaimana pun bentuknya.
3. Pengingkaran atas realitas zaman.
4. Keyakinan atas kejahatan sebagai sesuatu yang hanya lahiriyah dan ilusi saja, yang
dikenakan pada kontradiksi dan diferensiasi, yang dikendalikan rasio anifitis13

13
Ibid,hlm, 3-4.
9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, terutama pengertian yang diungkapkan


Al-Junaidi, kita dapat meringkas pengertian tasawuf sebagai berikut: Ilmu tasawuf
adalah ilmu yang mempelajari usaha-usaha membersihkan diri, berjuang
memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan makrifat menuju
keabadian, saling mengingatkan antarmanusia, serta berpegang teguh pada janji
Allah dan mengikuti syariat Rasulullah dalam mendekatkan diri dan mencapai
keridhaan-Nya.
2. Untuk melihat dasar-dasar tentang tasawuf, selain dilandaskan oleh naqli tasawuf.
Landasan Naqli yang dimaksud adalah landasan Al-Qur’an dan Hadits. Yaitu
perilaku Rasulullah sendiri. Sebagaimana telah diketahui, beliau di dalam ber-
taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) tidak jarang pergi meninggalkan
keramaian dan hidup menyepi untuk merenung di Gua Hira.
3. Menurut Abu Al-Wafa’ AL-Ghanimmi At-Taftazani (peneliti tasawuf) mempunyai
lima ciri umum yaitu: (1) Peningkatan Moral; (2) Pemenuhan fana (sirna) dalam
realitas mutlak; (3) Pengetahuan intuitif langsung; (4) Timbulnya rasa kebahagiaan
sebagai karunia Allah dalam diri seorang sufi karena tercapainya maqamat
(maqam-maqam atau beberapa tingkatan); dan (5) Penggunaan simbol-simbol
pengungkapan yang biasanya mengandung pengertian harfiah dan tersirat.

B. Saran

Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penyusun dan


pembaca semuanya. Serta diharapkan dengan diselesaikan makalah ini, baik pembaca
maupun penyusun dapat menerapkan akhlak yang baik dan sesuai dengan ajaran islam
dengan kehidupan sehari-hari. Walaupun tidak sesemprna Nabi Muhammad SAW,
setidaknya kita termasuk ke dalam golongan kaumnya, Aamiin. Penyusun juga tak
lupa mengzizinkan pembaca untuk memberi saran tentang makalah ini, agar
kedepannya bisa menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

http://bilikedu.blogspot.com/2015/04/pengertian-dan-ciri-umum-tasawuf.html

https://iiq.ac.id/artikel/details/569/Dasar-Dasar-Islami-Tasawuf

https://kumparan.com/berita-update/pengertian-tasawuf-dan-sejarahnya-dalam-ajaran-islam-
1vQNTRBDCL1

http://sir-narasatv.blogspot.com/2013/08/ciri-ciri-umum-tasawuf.html

https://www.orami.co.id/magazine/ilmu-tasawuf/

https://www.republika.co.id/berita/q6ceye320/pengertian-sederhana-tasawuf-menurut-bahasa-
dan-istilah

Anda mungkin juga menyukai