Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PARADIGMA DAKWAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah: Sosiologi Dakwah
Dosen Pengampu : Suprihatiningsih, S.Ag., M.Si

Disusun Oleh :
1. Imro`atul Karimah (2001016077)
2. Jauharotun Najmiya (2001016097)
3. Mutiara Hikmah (2001016098)
4. Salsabila (2001016099)
5. Siti Nur Kholifah (2001026022)
6. Muna Ukhtufiyatun N (2001036078)

BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Paradigma adalah pandangan paling mendasar dari ilmuan tentang apa yang
menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu
pengetahuan. Paradigma memegang peranan penting dalam perkembangan suatu
disiplin ilmu. Perkembangan dakwah sebagai suatu disiplin ilmu menurut
Azyumardi Azra relatif lambat bila dibandingkan dengan perkembangan ilmu
keislaman lainnya. Paradigma ini harus diubah dengan menempatkan da’i sebagai
fasilitator pertukaran dan didukung oleh pola gerakan yang memadukan apresiasi
dan penguatan terhadap antara nilai-nilai Islam dan nilai-nilai budaya serta
mewaspadai perkembangan dunia yang terus berlangsung secara dinamis.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari paradigma dakwah?
2. Apa saja macam-macam paradigma dakwah?

C. Tujuan
1. Memahami pengertian paradigma dakwah
2. Memahami macam-macam paradigma dakwah

I
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Paradigma Dakwah


Ilmu dakwah, sebagai bagian dari ilmu agama tentu juga memiliki paradigma, di
mana para ahli menemukan dan mengkaji sasaran kajian (subject matter of science).
Setidaknya terdapat lima paradigma keilmuan dakwah, yaitu: paradigma faktor,
paradigma sistem, paradigma developmentalisme, paradigma interpretif dan
paradigma partisipatoris. Semua ini merupakan pengkategorian terhadap apa yang
menjadi sasaran kajian dan kecenderungan penelitian yang dilakukan oleh para
ahlinya.1
Pertama, Paradigma faktor adalah paradigma ilmu dakwah yang sangat
dipengaruhi oleh ilmu komunikasi, bahkan ada yang menyatakan bahwa secara
struktural ilmu dakwah adalah bagian dari ilmu komunikasi. Hanya secara
substansial yang membedakannya adalah pada message yang digunakannya. Jika
ilmu komunikasi bersifat umum, sedangkan ilmu dakwah bersifat khusus. Sehingga,
definisi ilmu dakwah adalah “proses penyampaian pesan dari da’i, melalui media dan
metode tertentu untuk memperoleh perubahan perilaku mad’u.”2 Bandingkan
definisi ini dengan definisi ilmu komunikasi, “who says in what channel to whom
and with what effect.”3 Secara proposisional dapat dinyatakan bahwa “da’i melalui
pesan yang disampaikannya dengan metode dan media tertentu memiliki relasi
terhadap perubahan perilaku keberagamaan pada mad’u”. Konsep relasi bisa terkait
dengan pengaruh, dampak positif, korelasi dan bahkan perbandingan. Jadi kajian
ilmu dakwah bisa bercorak pengaruh, hasil, korelasi atau perbandingan.
Jika dicermati, maka paradigma faktor dakwah adalah Da’i (komunikator atau
subjek dakwah), pesan (message), metode, media, dan effek dakwah. Pesan
keagamaan berbeda dengan pesan agama, yaitu terkait dengan relasi antara agama

1
Nur Syam, “Re-Assesing The Development of Dakwah Science: Dakwah Study in Academic Work
Discourse”, Proceeding International Conference of Dakwah and Communications by Dakwah and
Communications Faculty UIN Sunan Ampel Surabaya, 24-26 September 2019.
22
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Prenada, 2015). hlm. 356
3
Communication Science, “Teori Komunikasi Lasswell”, diunduh 23 Desember 2019.

1
dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, hukum, dan bahkan kebangsaan. Sedangkan
pesan agama merupakan pesan yang bercorak khusus agama sebagai ajaran
ketuhanan (theology), peribadahan (ritual) dan performance agama tersebut.
Di dalam praktik penyelenggaraan penelitiannya, maka masing-masing faktor
dapat memiliki relasi dengan keberagamaan sasaran dakwah (mad’u) dan masing-
masing faktor dapat dijadikan variabel-variabel yang sangat banyak sesuai dengan
fakta empirisnya. Disebut sebagai fakta lapangan sebab yang dijadikan sebagai
subject matter ilmu dakwah ialah fakta dakwah. Fakta dakwah adalah “something
external and coercive to the object of da’wah”. Yang disebut sebagai something
external and coercive to adalah faktor-faktor dakwah dimaksud. 4
Yang tergolong faktor eksternal dan berpengaruh adalah da’i, pesan, media dan
metode dakwah terhadap perilaku keberagamaan obyek dakwah. Disebut perilaku
sebab bersifat mekanis dan ‘ajeg’ atau sesuatu yang terjadi atau dilakukan berulang-
ulang. Sedangkan yang termasuk kajian korelasional, misalnya adalah korelasi antara
pemahaman obyek dakwah dengan perilaku keberagamaannya. Bisa dinyatakan
“pemahaman beragama belum tentu berhubungan dengan perilaku
keberagamaannya” atau sebaliknya.
Kedua, paradigma sistem dakwah. 5 Sistem dakwah adalah keterkaitan antar sub-
sistem dakwah yang membentuk jaringan integral dan sistemik, sehingga antara satu
sub-sistem dengan yang lain tidak bisa dipisahkan. Coba dicermati definisi tersebut
yang membedakan antara paradigma faktor dengan system terletak pada kaitan
integral dan sistemik atau tidak. Bisa memisahkan antara satu faktor dengan lainnya
atau tidak. Jika bisa memisahkan satu faktor dalam variabel-variabel, maka
dipastikan studi tersebut masuk dalam ranah paradigma faktor dakwah. Namun jika
tidak bisa memisahkannya maka disebut sebagai paradigm sistem dakwah. 6

4
Konsep fakta dakwah diilhami oleh fakta sosial dalam konsep sosiologis. Periksa, George Ritzer,
Sosiologi…, hlm. 26-28.
5
Amrullah Ahmad, Eds., Dakwah dan Perubahan Sosial, (Jogyakarta: Bima Putra, 1993).
6
Salah satu tulisan yang dapat dikategorikan sebagai berparadigma sistem adalah karya disertasi
Abdullah Sattar, “Dakwah Inovatif pada Masyarakat Urban: Analisis Konsep dan Praktik Terapi
Shalat Bahagia”, PPs UIN Sunan Ampel Surabaya, disertasi tidak diterbitkan, 2019.
2
Antar sub-sistem atau antar faktor dakwah tersebut menyatu dalam proses, maka
hal inilah yang termasuk dalam kajian dalam paradigma sistem dakwah. Yang
menjadi ciri khas lainnya ialah bersifat problem solving, yaitu upaya untuk
memecahkan problem keagamaan pada masyarakat atau juga individu. Problem
tersebut bisa relasi antara agama, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. Dengan
demikian, ciri dari paradigma sistem dakwah ialah kekuatan proses dan upaya
problem solving.
Sebagai contoh studi-studi behavioralistik (perubahan perilaku) yang
disebabkan oleh faktor eksternal yang berbasis proses terpaan integralisik subsistem
dapat dikategorikan sebagai studi dalam paradigma sistem dakwah. Lebih
kongkrit, misalnya studi proses perubahan perilaku kaum Abangan Pesisiran
menjadi NU karena keberadaan lokasi budaya yang sama merupakan studi kasus
yang menarik. 7 Disebut kasus karena di dalamnya ada problem solvingnya. Kasus
tersebut bisa dikaitkan dengan substansi atau lokusnya.
Ketiga, Paradigma developmentalisme merupakan paradigma yang sasaran
kajiannya adalah pengembangan model dari suatu kegiatan dakwah. Pengembangan
model tersebut bisa berasal dari sesuatu yang belum ada atau mengembangkan model
yang sudah ada untuk diperkuat atau dikembangkan lebih lanjut. Dengan demikian,
developmentalisme dakwah adalah upaya untuk menghasilkan inovasi yang memiliki
manfaat bagi kehidupan masyarakat.
Menurut penulis ada dua ciri khas di dalam paradigma developmentalisme ini,
yaitu: model dan hasil atau produk. Jadi harus terkait dengan penemuan atau
pengembangan model dan kemudian memiliki sejumlah pengaruh bagi perbaikan
atau pengembangan masyarakat atau komunitas. Posisi peneliti adalah sebagai
pengamat dan pelaku terhadap model yang sudah ada dan diperlukan
pengembangannya. Kemudian, menjadi pelaku jika yang bersangkutan ingin
merumuskan model yang dianggap tepat dalam dimensi sosio kultural komunitas
atau masyarakat sasarannya.

7
Untuk uraian mendalam mengenai medan budaya dalam kaitannya dengan perubahan perilaku
kaum Abangan menjadi NU, periksa Nur Syam, Islam Pesisir, (Jogyakarta: LKiS, 2005).

3
Penelitian tentang Manajemen Masjid Jogokaryan Yogyakarta yang menjadi
model bagi pengembangan manajemen kemasjidan pada wilayah lainnya yang
memiliki corak yang sama adalah contoh tentang penelitian developmentalistik.
Demikian pula tentang Model Desa Zakat di Malang juga merupakan contoh temuan
model atau inovasi yang begitu bermanfaat bagi masyarakat.8
Keempat, paradigma interpretative adalah pemikiran mendasar dari para ahli
bahwa yang menjadi sasaran dakwah adalah realitas dakwah yang memiliki makna.
Disebut realitas sebab yang dikaji adalah sesuatu dibalik tindakan. Makna diperoleh
melalui memahami sesuatu dibalik tindakan individu. Jadi yang digali adalah ide,
gagasan dan tindakan individu dalam kaitannya dengan pesan-pesan dakwah yang
diterimanya atau yang dialaminya. Termasuk juga pesan dakwah yang disampaikan
oleh da’i kepada umat Islam. 9
Realitas adalah hasil konstruksi manusia. 10 Realitas lebih merupakan peristiwa
mendalam atau pemaknaan individu tetapi bukan realitas psikologis. Jika realitas
atau fakta psikologis lebih merupakan fenomena kejiwaan, tetapi dalam realitas
dakwah ini yang dikaji adalah pemikiran, ide atau gagasan yang menjadi basis bagi
tindakannya. Jadi bukan perasaan senang, sedih, menderita, bahagia dan sebagainya
sebagai akibat terpaan dakwah, akan tetapi merupakan peristiwa yang melingkupi
pemikiran dibalik tindakan dakwah dan keberagamaannya.
Di dalam praktik penelitian, maka studi tentang makna dakwah dapat dilakukan
dari subyek dakwah atau obyek dakwah. Dakwah dan tarekat, misalnya bisa dikaji
dari dimensi pemaknaannya. Apakah dakwah yang dilakukan di kalangan penganut
tarekat tersebut memiliki keunikan dan makna yang khusus berbeda dengan
pemaknaan umat atau individu lainnya yang non-tarekat. Studi-studi interpretif lebih
menekankan pada dimensi keunikan dan kekhususan atau ada pola khusus yang
berlaku mendalam. Berbeda dengan studi-studi fakta sosial atau dakwah yang lebih
terfokus pada pola umum berlaku mendasar.

8
Nur Syam, “Manajemen Masjid : dari yang kecil menuju yang besar”dalam
http://www.nursyam.uinsby.ac.id
9
Nur Syam, “Mencermati Paradigma Ilmu Dakwah” dalam http://www.nursyam.uinsby.ac.id
10
George Ritzer, Sosiologi Ilmu…, hlm. 43-44

4
Sebagai contoh lain, dakwah di kalangan komunitas pedalaman. Di dalam
konteks ini adakah keunikan dan kekhususan dakwah tersebut, lalu adakah makna
yang khas pedalaman. Kajian ini dapat menggunakan studi interpretatif atau studi
pemaknaan. Ada beberapa konsep penting di dalam studi interpretif yaitu from the
native’s points of view,11 atau pandangan aktor atau agen dan interpretative
understanding atau peneliti memahami atas pemahaman aktor atau agen.
Berdasarkan cara yang digunakan oleh beberapa ahli antropologi, maka harus
memisahkan antara data dengan analisis, sebab data adalah pemahaman aktor atau
agen12 dan analisis adalah pemahaman peneliti atas data yang diperolehnya. Analisis
dikaitkan dengan perspektif teori apa yang digunakan.
Kelima, paradigma partisipatori13 adalah pemikiran mendasar dari para ahli
tentang apa yang menjadi sasaran dakwah, yaitu perilaku partisipatif warga dalam
kegiatan dakwah. Bedanya dengan developmentalisme adalah pada fokus
keterlibatan sasaran dakwah di dalam proyek-proyek pemberdayaan masyarakat.
Dengan demikian yang dikaji adalah program pemberdayaan masyarakat yang
berbasis pada program dakwah yang dirancang, dirumuskan, ditetapkan secara
bersama-sama oleh subyek dakwah dan obyek dakwah untuk penguatan atau
pemberdayaan di dalam berbagai aspek kehidupannya.
Beberapa contoh studi misalnya dakwah dan pemberdayaan ekonomi
masyarakat pesisiran. Studi ini menggunakan model penelitian partisipatoris,
sebagaimana yang biasa dilakukan oleh kawan-kawan di Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) atau Non Govermental Organization (NGO). Dahulu, penulis
pernah terlibat di dalam pemberdayaan masyarakat Pantai Popoh dan Muncar untuk
pengembangan Masyarakat Kawasan Pesisir Berbasis Komunitas. Pola yang
dilakukan adalah dengan melibatkan masyarakat di dalam proses perencanaan
pemberdayaan, penyusunan alternatif pemberdayaan, pemilihan pemberdayaan,

11
Clifford Geertz, “Religion as a Cultural System” dalam Michael Banton, Anthropological
Approaches To The Study of Religion. (London: Tavistock Publication, 1985). hlm. 1-39. Periksa juga
Nur Syam, Madzab-Maadzab Antropologi. (Jogyakarta: LKiS, 2009).
12
Nur Syam, Model Analisis Teori Sosial. (Surabaya: PNM, 2010). hlm. 37
13
Rajesh Tandon, Riset Partisipatoris Riset Pembebasan. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993).

5
pelaksanaan pemberdayaan dan evaluasi untuk menilai tingkat keberhasilan dan
tindak lanjut.
Setiap disiplin ilmu pengetahuan dipastikan berkembang sesuai dengan prinsip
pendekatan antar bidang atau lintas bidang dan bahkan multi-bidang. Para ahli ilmu
itulah yang memiliki tugas dan tanggungjawab untuk mengembangkannya. Jadi ilmu
dakwah juga bisa berkembang, jika semua ahli ilmu dakwah terlibat di dalam proyek
pengembangan ilmu dakwah. Menurut penulis, dosen-dosen Fakultas Dakwah dan
Komunikasi memiliki tugas dan kewajiban ini.

B. Macam-Macam Paradigma Dakwah


Ilyas Ismail mengklasifikasikan paradigma dakwah berdasar gerakan yang
dilakukan pelakunya menjadi tiga paradigma, yaitu paradigma tablig, paradigma
pengembangan masyarakat, paradigma harakah dan paradigma kultural.
a. Paradigma Tabligh
Dikutip dalam buku Filsafat Dakwah karya Ilyas Ismail, Tabligh menurut bahasa
Indonesia berarti adalah pidato atau ceramah. Tabligh merupakan bagian penting dari
dakwah. Meskipun seperti itu, tabligh sebenarnya tidak diidentikkan dengan dakwah.
Hal ini karena tabligh memiliki cakupan pengertian yang sempit dan praktiknya yang
terbatas. Namun demikian, tabligh sebagai suatu proses penyampaian ajaran Islam
merupakan bagian integral yang tidak mungkin untuk dilampaui. Karena
bagaimanapun juga dakwah dengan cakupan garapannya yang luas itu, tidak
mungkin dilakukan tanpa tabligh.
Kata tabligh itu sendiri sejatinya terkandung makna proses, yakni proses untuk
mengusahakan sesuatu agar bisa sampai kepada tujuan akhir, baik dalam wujud
tempo, ruang maupun keadaan. Walupun begitu, belakangan ini, istilah tabligh
mengalami pereduksian makna. Tabligh tidak dipandang sebagai suatu proses dari
tahapan panjang dakwah, tetapai justru menggeser posisi dakwah itu sendiri. Pola
pikir ini hanya memandang dakwah tak lebih dari sekedar tabligh, yaitu : kegiatan
penyampaian ajaran agama kepada khalayak ( public). Dari sini penyebutan dakwah
menjadi akrab dikenal dengan sebutan tabligh.

6
Perkembangan berikutnya dakwah dipandang tidak berbeda, alias identik dengan
ceramah dan khotbah –khotbah. Penentuan kriteria da’I,mengikuti pola piker ini.
Menjadi dibatasi hanya terhadap mereka yang aktif berceramah lewat mimar –
mimbar, dan bukan kepada selainnya walupun tergolong aktif mewujudkan Islam
lewat pemikiran atau tinndakan. Paradigm dakwah yang demikian, lebih lanjut
dikenal dengan madzhab dakwah tabligh14
Fenomena yang terlihat, kebanyakan praktik dakwah di dunia muslim boleh
dibilang berada dalam kategori madzhab tabligh. Kenyataan ini diamini, terutama
oleh mindset umat muslim yang masih sulit membedakan antara dakwah dan tabligh.
Di Indonesia sendiri, pola piker demikian, dapai dilihat misalnya dalam penggunaan
label dakwah untuk mewakili untuk penyebutan ceramah atau khotbah. Dalam
implementasinya, dakwah madzhab tabligh memang tidak selalu sewarna. Misalkan
pada level dunia Islam dikenal gerakan jamaah tabligh sebagai salah satu varian dari
madzhab ini. Seperti namanya, gerakan ini boleh dibilang memiliki warna tabligh
yang sangat kental.
Secara historis, gerakan dakwah dengan paradigm tabligh diprakarsai oleh
seorang ulama dari India bernama Muhammad Ibn Ilyas Ibn Muhammad Ismail al-
Khandalawy (1882-1943). Tokoh ini merupakan penganut akidah Maturidiyyah,
fikih madzhab Hanafi dan pengikit tarekat sufi al-jisty sebuah tarekat tasawuf yang
didirikan oleh Mu’inuddin al-Jisty.
Menurut para pendukung paradigma tabligh, umat muslim dibebani kewajiban
untuk menyampaikan risalah Islam dan mengorbankan harta dan jiwa meeraka. Bagi
mereka, tugas utama umat Islam adalah untuk berdakwah, mengajak ke jalan Allah
dan menyebarkan agama, hidayah dan perdamaian dengan niat bekerja demi agama
melampaui kerja demi kebendaan dan duniawi. Lebih dari itu, dakwah Islam
membutuhkan orang –orang seperti para sahabat Rasulullah yang rela keluar dari
rumahnya dan bertebaran di muka bumi untuk mengajak manusia menuju Islam yang
kafah.

14
Dr. A. Ilyas Ismail, M.A, Prio Hotman, M.A, 2011,FILSAFAT DAKWAH, Jakarta : KENCANA
PRENADA MEDIA GROUP, hal.215

7
Pendekatan dakwah yang mesti dilakukan menurut paradigma ini adalah
mengajak masyarakat melalui nasehat–nasehat dan membujuk mereka untuk berjihad
dari lingkungan yang melalaikan kepada lingkungan masjid, mengembalikan mereka
dari lembah maksiat kepada ketaatan Allah dan menjalani kehidupan mereka seari –
hari sesuai dengan syariat Allah dan sunnah Rasul-Nya, baik hubungan mereka
dengan Allah maupun makhluknya, baik dalam menunaikan perkara-perkara fardhu,
sunnah, hingga kebiasaan sehari –hari. Dalam peristilahan paradigm tabligh,
pendekatan dakwah yang berupa ajakan dan nasihat –nasehat tersebut dikenal dengan
sebutan bayan/penjelasan.15
Dalam bingkai pemikiran dakwah tabligh mubaligh mesti mengenal pokok –
pokok dakwah yang enam (ushul al-da’wah al-sittah). Adapun pokok dakwah .16
Yang petama adalah kembali kepada komitmen tauhid,yaitu kembali berusaha
memahami hakikat pernyataan tauhid dan mengaplikasikannya dalam kehidupan
kaum muslimin, dengan cara menaati dan mengikuti semua perintah-Nya, menjauhi
semua larangan-Nya, serta berserah diri hanya kepada Allah dan mengikuti semua
sunnah Rasulullah baik berupa ibadah mahdhah maupun ghairu mahdhah.
Pokok yang kedua adalah khudu’ dan khusyu’, maksudnya berusaha segenap
kemampuan untuk melakukan shalat dengan konsentrasi batin disertai dengan sikap
tunduk dan rendah hati mengikuti cara yang dicontohkan Rasulullah. Sedangkan
pokok yang ketiga adalah ilmu serta dzikir. Dalam hal ini, ilmu yang dimaksud
bukanlah pengetahua tentang hokum-hukum agama, melainkan pengetahuan tentang
keutamaan amalan –amalan. Pokok keempat adalah memuliakan kaum muslim,
maksudnya adalah berusaha bergaul dengan baik dengan sesame muslim.
Pokok kelima dari dakwah tabligh adalah membersihkan niat, artinya
meluruskan komitmen semula dengan mengembalikan semua amalan kepada tujuan
awal, senantiasa mengoreksinya dari unsure-unsur keinginan duniawi seperti riya,
sombong, dan lain-lain. Pokok terakhir dari paradigma dakwah tabligh adalah

15
Dr. A. Ilyas Ismail, M.A, Prio Hotman, M.A, 2011,FILSAFAT DAKWAH, Jakarta : KENCANA
PRENADA MEDIA GROUP, hal.218
16
Dr. A. Ilyas Ismail, M.A, Prio Hotman, M.A, 2011,FILSAFAT DAKWAH, Jakarta : KENCANA
PRENADA MEDIA GROUP, hal.219-220

8
bepergian di jalan Allah. Maksudnya keluar dari rutinitas sehari–hari dan
memfokuskan diri dan mencurahkan harta untuk tabligh.
b. Paradigma Pengembangan Masyarakat
Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia pengembangan masyarakat
dimaknai sebagai usaha untuk membangun masyarakat dari segenap aspeknya secara
bertahap dan teratur menjurus kea rah atau tujuan yang dikehendaki. Jika pengertian
ini dikaitkan dengan dakwah sebagai sosialisasi Islam, maka sekurangnya didapati
17
dua hubungan mutualisme.
Pertama, dari segi tujuan, dakwah dan perkembangan masyarakat memiliki
keterkaitan yang mana memperkuat satu sama lain. Dakwah dimaksudkan untuk
mewujudkan kebaikan dan kemajuan hidup di dunia dan akhirat. Hal itu pula
sesungguhnya yang ingin dicapai oleh setiap usaha pengembangan masyarakat. Jadi,
kalau seperti itu, dakwah sejatinya adalah jalan untuk mengembangkan masyarakat.
Kedua, dari segi metode dan pendekatan, dan pengembangan masyarakat
memiliki hubungan yang saling melengkapi. Membangun masyarakat tidak cukup
hanya pada satu aspek saja, dengan melupakan aspek yang lain. Lebih dari itu,
membangun masyarakat harus dilakukan secara komprehensif.
Terkait dengan perspektif ini, dakwah sebagai wahana sosialisasi Islam
berkepentingan untuk menjaga sisi moralitas dan spiritualitas masyarakat, di samping
ikut mendorong aksi pembangunan masyarakat dari sisi material. Demikian itu
karena Islam sebagai tema sentral dakwah memahami manusia sebagai satu kesatuan
yang utuh terdiri dari unsure materiil dan spiritual.Konsekuensi logis pendekatan ini
menilai bahwa pembangunan masyarakat dari aspek materiil saja dengan melupakan
spiritualitas masyarakat sebagi usaha yang sia-sia belaka.
Dakwah paradigma pengembangan masyarakat lebih mengutamakan aksi dari
pada wacana atau retorika (tabligh). Karena itu pemikiran dakwah ini tidak
terkonsolidasi dalam sebuah madzhab formal tertentu yang sistematik dan dapat
ditelaah sebagai rujukan. Kegiatan dakwah paradigma pengembangan masyarakat

17
Dr. A. Ilyas Ismail, M.A, Prio Hotman, M.A, 2011,FILSAFAT DAKWAH, Jakarta : KENCANA
PRENADA MEDIA GROUP, hal.226

9
biasanya beraksi dalam bidang-bidang sosial, ekonomi dan pendidikan seperti
penyuluhan –penyuluhan, pengembangan ekonomi mikro dan menengah.
Dari segi metode dakwahnya, paradigma dakwah pengembangan masyarakat
berusaha mewujudkan dengan cara menjadikan Islam sebagai pijakan pengembangan
dan perubahan sosial yang bersifat transformative-emansipatoris. Demikian itu
karena menurut cara pandang dakwah pengembangan masyarakat, Islam adalah
agama kemanusiaan-profetik. Dikatakan demikian karena Islam dilahirkan demi
kepentingan kelangsungan hidup manusia dan untuk memberdayakan manusia
dengan segenap potensinya sebagai wakil Allah di bumi.
Menurut Komarudin Hidayat, yang telah dikutip dalam buku karya Ilyas Ismail,
agama itu dihadirkan untuk membantu mengembangkan seseorang dan
masyarakat.demikian itu, sebab agama itu pada dasarnya adalah kemanusiaan dan
profetik. Gerakan dakwah paradigma pengembangan masyarakat bekerja secara
independen di luar institusi kenegaraan dan berusaha memperkuat civil society yang
menjadi motor penggerak transformasi sosial.
Sebagai suatu pemikiran dan gerakan, madzhab dakwah pengembangan
masyarakat ini memiliki kekuatan dan keunggulan. Setidaknya, madzhab ini telah
berperan dalam memperbaiki paham masyarakat bahwa dakwah, sejatinya tidak
hanya pidato (tabligh), tetapi jga transformasi sosial dan cultural menuju kualitas
khaira ummah.
Sasaran utama dakwah paradigma ini, adalah perbaikan kehidupan masyarakat
dalam segala lini kehidupan dengan memanfaatkan dan pengembangan potensi-
potensi yang ada pada masyarakat itu sendiri. Sebagai gerakan sosial, gerakan
dakwah paradigma ini, menjaga jarak dan memelihara independensinya, dengan
pemerintah dan kekuatan politik yang ada.
c. Paradigma Harakah
Dakwah harakah bermakna dakwah dengan atau melalui sistem pergerakan.
Sesuai dengan namanya, aliran dakwah yang satu ini lebih menenkankan aspek
tindakan (aksi) ketimbang wacana (teoretisasi). Menurut Hasan al-Qattani, yang
dimaksud dakwah harakah adalah dakwah yang berorientasi padapengembangan
masyarakat Islam, dengan melakukan reformasi total islah terhadap seluruh aspek

10
kehidupan sosial, baik terkait dengan individu islah al-fard, keluarga islah al usrah,
masyarakat islah al-mujtama, hingga negara islah al-dawlah. Karena dakwah
pengembangan masyarakat membatasi diri dari unsur politik, sedangkan paradigma
harakah justru menilai politik sebagai salah satu bagian tak terpisahkan dari sistem
Islam, sehingga dakwah tidak bisa dipisahkan dari politik. Dalam pandangan mereka,
Islam disimbolkan dengan 3 D, din (agama), dawlah(negara) dan dunya (dunia).
Adapun dari latar belakang, kemunculan dakwah harakah tidak hanya karena doktrin
profetik Islam, seperti doktrin rah}matan li al-‘alamin atau ikhraj min al-zulumat ila
al-nur saja. Tapi juga karena faktor historis, yaitu keterpurukan umat Islam
pascakolonialisme di satu sisi dan kebangkitan Islam di sisi lain.
Menurut Ibrahim al-Ja‟bari, dakwah harakah sebagai sebuah paradigma
memadukan dimensi pemikiran dan pergerakan mulai eksis bermunculan di negeri-
negeri Islam sejak permulaan abad 20. Dari sudut pandang metode dakwah,
pendekatan yang diterapkan dakwah harakah dalam beberapa hal memiliki kesamaan
dengan paradigma pengembangan masyarakat. Misalnya, tentang sosialisasi tauhid
sebagai asas pembangunan masyarakat, kebangkitan intelektual dan ekonomi atau
kritik keduanya terhadap mazhab dakwah tablig. Akan tetapi, mazhab harakah
berangkat lebih jauh ketika mengusulkan dakwah juga harus mencakup perbaikan
negara atau pemerintahan. Untuk mewujudkan hal ini mereka melakukanpendekatan
dakwah massif. Contoh dakwah paradigma harakah adalah al-Ikhwan al-Muslimun.
d. Paradigma Kultural
Dakwah paradigma kultural merupakan turunan dari penafsiran Islam yang
bercorak kultural dan dinamis-dialogis. Menurut paradigma Islam kultural, Islam
sebagai agama universal, terbuka untuk ditafsirkan sesuai dengan konteks budaya
lokal tanpa takut kehilangan orisinalitasnya. Pandangan ini membedakan antara
Islam dan budaya, termasuk budaya yang lahir pertama kali ketika persentuhan Islam
dengan masyarakat Arab. Mereka menganggap pensakralan budaya Islam awal sama
saja mencederai karakteristik universalisme Islam. Ketika pensakralan itu
dilanjutkan sebagai sebuah idealisme dakwah, maka yang terjadi adalah normativitas
dan formalitas beragama.

11
Paradigma kultural berpendapat sejarah Islam dari pertama kelahirannya hingga
saat ini selalu diwarnai dengan proses akulturasi timbal balik. Pada saat islam hadir
dalam suatu pola budaya tertentu, terkadang ia memberikan corak dominan dalam
budaya tersebut, pada saat yang lain Islam hanya memberi sentuhan warna saja
Pendukung dakwah ini berpendapat bahwa dakwah semua rasul tidak pernah lepas
dari proses dialog dengan kultur setempat dimana mereka diutus. Dakwah paradigma
ini memiliki beberapa keuntungan dibanding dakwah harakah. Pertama, kehadiran
dakwah Islam tidak dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi budaya lokal. Kedua,
dengan menerima dakwah Islam tidak berarti suatu kaum terputus dari masa
lampaunya. Ketiga, universalisme Islam tidak hanya dianggap sebagai wacana,
karena kehadiran Islam tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing, namun bagian
yang integral dari budaya lokal. 18

18
Marwantika istya asna, 2018 “Pemetaan Aliran Pemikiran Dakwh Ditinjau Dari Periodisasi
Gerakan Dakwah Dan Konsep Keilmuan”
https://ejournal.insuriponorogo.ac.id/index.php/qalamuna/article/download/364/228/#:~:text=Ily
as%20Ismail%20mengklasifikasikan%20paradigma%20dakwah,paradigma%20harakah%20dan%20
paradigma%20kultural.&text=Tablig%20(pidato%20atau%20ceramah)%20merupakan%20bagian%
20penting%20dari%20dakwah
12
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ilyas Ismail mengklasifikasikan paradigma dakwah berdasar gerakan yang
dilakukan pelakunya, yaitu paradigma tablig [kata tablig itu sendiri sejatinya
terkandung makna proses, yakni proses untuk mengusahakan sesuatu agar bisa
sampai kepada tujuan akhir, baik dalam wujud tempo, dan ruang maupun keadaan],
paradigma pengembangan masyarakat [berusaha mewujudkan Islam dengan cara
atau jalan menjadikan Islam sebagai pijakan pengembangan dan perubahan sosial
yang bersifat transformatif-emansipatoris], paradigma harakah [Menurut Ibrahim al-
Ja‟bari, dakwah harakah sebagai sebuah paradigma memadukan dimensi pemikiran
dan pergerakan mulai eksis bermunculan di negeri-negeri Islam sejak permulaan
abad 20], dan paradigma kultural [merupakan turunan dari penafsiran Islam yang
bercorak kultural dan dinamis-dialogis].
Terdapat lima paradigma keilmuan dakwah, yaitu: paradigma faktor [paradigma
ilmu dakwah yang sangat dipengaruhi oleh ilmu komunikasi. Hanya secara
substansial yang membedakannya adalah pada message yang digunakannya. Jika
ilmu komunikasi bersifat umum, sedangkan ilmu dakwah bersifat khusus.],
paradigma sistem [adalah keterkaitan antar sub-sistem dakwah yang membentuk
jaringan integral dan sistemik, sehingga antara satu sub-sistem dengan yang lain tidak
bisa dipisahkan. Antar sub-sistem atau antar faktor dakwah tersebut menyatu dalam
proses, maka hal inilah yang termasuk dalam kajian dalam paradigma sistem
dakwah], paradigma developmentalisme [paradigma yang sasaran kajiannya adalah
pengembangan model dari suatu kegiatan dakwah dengan upaya untuk menghasilkan
inovasi yang memiliki manfaat bagi kehidupan masyarakat], paradigma interpretif
[adalah pemikiran mendasar dari para ahli bahwa yang menjadi sasaran dakwah
adalah realitas dakwah yang memiliki makna], dan paradigma partisipatoris [adalah
pemikiran mendasar dari para ahli tentang apa yang menjadi sasaran dakwah, yaitu
perilaku partisipatif warga dalam kegiatan dakwah].

13
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad,Amrullah. eds., 1993, Dakwah dan Perubahan Sosial, (Jogyakarta: Bima


Putra).
Aziz, Moh. Ali.2015.Ilmu Dakwah.(Jakarta: Prenada).
Dr. A. Ilyas Ismail, M.A, Prio Hotman, M.A, 2011, Filsafat Dakwah, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
Geertz, Clifford. 1985,“Religion as a Cultural System” dalam Michael Banton,
Anthropological Approaches To The Study of Religion” hlm 1-39, (London:
Tavistock Publication)
Proceeding International Conference of Dakwah and Communications by Dakwah
and Communications Faculty.
Ritzer, George. Sosiologi Ilmu.
Ritzer, George. Konsep fakta dakwah diilhami oleh fakta sosial dalam konsep
sosiologis.
Sattar, Abdullah. 2019, “Dakwah Inovatif pada Masyarakat Urban: Analisis Konsep
dan Praktik Terapi Shalat Bahagia”, PPs UIN Sunan Ampel Surabaya
Science, Communication. 2019, “Teori Komunikasi Lasswell”,
Science: Dakwah Study in Academic Work Discourse”, UIN Sunan Ampel
Surabaya
Syam, Nur. 2005. medan budaya dalam kaitannya dengan perubahan perilaku kaum
Abangan menjadi NU, Islam Pesisir, (Jogyakarta: LKiS).
Syam, Nur. 24-26 September 2019, “Re-Assesing The Development of Dakwah
Syam, Nur “Manajemen Masjid : dari yang kecil menuju yang besar”dalam
http://www.nursyam.uinsby.ac.id
Syam, Nur “Mencermati Paradigma Ilmu Dakwah” dalam
http://www.nursyam.uinsby.ac.id
Syam, Nur.2009, Madzab-Maadzab Antropologi hlm 1-39, (Jogyakarta: LKiS).
Syam, Nur. 2010, Model Analisis Teori Sosial.(Surabaya: PNM)
Tandon, Rajesh 1993, Riset Partisipatoris Riset Pembebasan, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama)

14

Anda mungkin juga menyukai