Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk membahas bagaimana retorika ustadz Fadlan Fahamsyah dalam
dakwah di kota Surabaya melalui analisis teori retorika Aristoteles. Dakwah dalam Islam
merupakan hajat yang tidak bisa dinomer duakan. Dengan dengan Islam bisa langgeng dan
mempertahankan eksistensinya dari masa ke masa. Besarnya hajat Islam kepada dakwah ini,
sangatlah diperlukan pendalaman pada aspek-aspek yang mendukung dakwah yang efektif.
Diantaranya dengan memahami teknik dalam beretorika. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan studi literatur dan wawancara. Pendekatan yang digunakan adalah dengan
teori retorika Aristeles untuk menganalisa dan mengungkapkan dimensi-dimensi retorika
dalam ceramah-ceramah ustadz Fadlan Fahamsyah, yaitu ethos, pathos, dan logos. Penelitian
ini menghasilkan beberapa temuan yang menggambarkan bagaimana kredibelitas, atraksi,
dan kekuasan yang memenuhi dimensi ethos. Kemudian juga gambaran mengenai aspek
pathos tang tercermin dari pembawaan, gestur, serta bahasa yang membangkitkan gairah
komunikan. Dan logos yang terlihat dari kekuatan beliau dalam menggunakan kisah-kisah
umat terdahulu dalam menganalogikan sebuah pesan dan hikmah bagi mad’u.
Pendahuluan
Komunikasi di era ini bukanlah suatu hal yang dianggap remeh dan dinomer sekiankan.
Komunikasi dalam era modern telah menjadi bagian yang dianggap urgen untuk dipelajari
dan diteliti. Selain perkembangan dari sisi kegiatan komunikasi baik berupa media ataupun
alat, saat ini komunikasi pula telah menjadi bagian dari disiplin ilmu pengetahuan. Hal
tersebut merupakan bukti konkret bahwasanya komunikasi bukan lagi hal yang dinomer
duakan atau diakhirkan. Terlihat dari banyaknya perguruan-perguruan tinggi yang kini
mejadikan ilmu komunikasi sebagai bagian yang berdiri sendiri dalam bentuk jurusan,
fakultas atau departemen, bahkan telah banyak berdiri sekolah tinggi, institut atau
semacamnya yang khusus menyiapkan program ilmu komunikasi semata.
Melihat komunikasi telah menjadi bagian dari tubuh disiplin ilmu, maka jelas pula
bahwa kegiatan komunikasi bukanlah hal yang kecil dan mudah. Terlebih lagi kegiatan
komunikasi ini telah kita lakukan dalam sepanjanh usia kita. Akan tetapi, jikalau tiap individu
memahami tujuan dari komunikasi untuk mendapatkan komunikasi yang efektif, dalam artian
seorang komunikator mendapatkan efek dari komunikannya, maka seseorang akan berpikir
dua kali untuk mengatakan bahwa komunikasi adalah yang remeh. Banyak dari individu
merasakan kesulitan dalam menyusun kalimat agar apa yang ia maksud dipahami dengan
makna yang sama oleh komunikannya. Terlebih lagi jika dalam kegiatan komunikasinya
berhadapan dengan komunikator yang banyak dan beraneka ragam latar belakangnya.
Setidaknya komunikasi yang dilemparkan oleh seorang komunikator kepada para
komunikannya menghasilkan efek-efek perubahan (feedback) baik pengetahuan, sikap,
ataupun perilaku. Boleh jadi feedback itu bersifat langsung ataupun tidak langsung.1
Lebih khusus lagi kegiatan dakwah yang juga masuk dalam pembahasan ilmu
komunikasi. Dakwah sebagai kegiatan untuk mengkomunikasikan kebenaran ilahiah yang
diyakini oleh seorang da’i kepada pihak lain. Komunikasi tersebut dilakukan sebagai upaya
mempengaruhi orang lain agar mereka bersikap dan bertingkah laku Islami. Sebagaimana
halnya komunikasi, kegiatan dakwah juga mengharapkan hasil dakwah yang efektif. Dimana
target dakwah (mad’u) dapat terpengaruhi dan berubah ke arah yang lebih baik sesuai nilai-
nilai dakwah yang disampaikan.2
Dakwah sendiri dalam agama Islam merupakan bagian yang sangat vital. Bahkan
dakwah adalah sumber kehidupan bagi setiap agama, yang mana sebuah agama tidak akan
berdiri dan tersebar tanpa ada kegiatan dakwah di dalamnya. 3 Pentingnya dakwah Islam
dalam kehidupan masyarakat muslim juga terlihat dalam salah satu definisinya yang
digambarkan sebagai pemegang peran dalam usaha merealisasikan hakikat keberadaan
seorang manusia di dunia, yaitu agar menjadikan Islam sebagai ajaran dan pandangan hidup.4
Lebih jauh lagi, dakwah dalam sudut pandang sosial memiliki peran dalam fungsi untuk
melakukan perubahan masyarakat. Realitas sosial yang selalu membutuhkan tuntunan
spiritual yang bersumber dari Tuhan (Allah) menjadikan dakwah sebagai alat untuk
melakukan pengendalian dan perbaikan karakter masyarakat. Sehingga segala bentuk
1
Zikri Fachrul Nurhadi and Achmad Wildan Kurniawan, “Kajian Tentang Efektivitas Pesan Dalam
Komunikasi,” Jurnal Komunikasi Hasil Pemikiran Dan Penelitian 3, no. 1 (2017): 91.
2
Muqsi, “Hubungan Dakwah Dan Komunikasi,” Jurnal Peurawi 1, no. 1 (2018): 5.
3
Ramaḍān Muhammad Maṭārid, Mahrūs Muhammad Bisyūnī, and Nabīl Muhammad Darwīsh, Uṣul Al-
Da’wah Wa Manāhijuhā: Dirāsah Ta’ṣīliyyah Tahlīliyyah (Qatar: Qatar University, 2019), 14,
doi:http://hdl.handle.net/10576/4216.
4
Mubasyaroh Mubasyaroh, “Strategi Dakwah Persuasif Dalam Mengubah Perilaku Masyarakat,” Ilmu Dakwah:
Academic Journal for Homiletic Studies 11, no. 2 (2017): 312, doi:10.15575/idajhs.v11i2.2398.
perilaku masyarakat yang condong kepada pelanggaran norma dan etika yang berlaku dapat
diperbaiki melalui kegiatan dakwah.5
Besarnya hajat Islam dan kaum muslimin kepada dakwah ini menuntut besar akan
terwujudnya efektifitas dan keberhasilan dari setiap kegiatan dakwah. Keberhasilan kegiatan
dakwah tersebut dapat tertopang dengan profesionalitas dan kredibilitas dari seorang pelaku
dakwah (da’i), baik berupa individu ataupun kelompok pegiat dakwah.
Penelitan terdahulu yang penulis anggap sebagai salah satu acuan dari penelitian ini
adalah penelitian oleh Ali Fikri (2020) yang berjudul “Representasi Konsep Retorika
Persuasif Aristoteles dalam Pidato Ismail Haniyah untuk Umat Islam Indonesia” dengan
temuan 19 data yang berkaitan dengan retorika persuasive dalam pidato Ismail Haniyah untuk
umat Islam Indoensia. Dari seluruh data, 6 diantaranya berkaitan dengan jenis retorika
persuasive yang mencakup keseluruhan jenis. Sedangkan 13 sisanya berkaitan dengan konsep
Five Canon of Rethoric berdasarkan perspektif Aristoteles.6
Kedua, penelitian Rifqi Nadhmy Dhia, Jasmine Alya Pramesthi, dan Irwansyah (2021)
yang berjudul “Analisis Retorika Aristoteles pada Kajian Ilmiah Media Sosial dalam
Mempersuasi Publik”. Penelitian ini mengungkap bahwa ada dua konsep lain mengenai teori
retorika Aristoteles dalam penelitian ini, yaitu Five Canon of Rethoric ketika pembicara
menyampaikan pesan. Peneliti menyarankan penelitian selanjutnya untuk menggali konsep
retorika inartistik bukti yang berada di luar unsur retorika yang dibawa oleh pembicara,
sehingga kajian dapat dibahas lebih komprehensif.7 Ketiga, penelitian Azis Muslim (2022)
dengan judul “Retorika Dakwah Ustaz Adi Hidayat di Channel Youtube Adi Hidayat
Official: Analisis Teori Retorika Aristoteles”.8
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Mulyana dan Solatun dalam Lauape dan
Dida (2017) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penelitian yang bersifat
interpretative (menggunakan penafsiran) yang melibatkan banyak metode dalam menelaah
masalah penelitiannya. Penelitian kualitatif digunakan ketika temuan masalah yang kompleks
perlu didalami untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam dan terperinci.
5
Irzum Farihah, “Strategi Dakwah Di Tengah Konflik Masyarakat,” Addin 8, no. 2 (2014): 297.
6
Ali Fikry, “Representasi Konsep Retorika Persuasif Aristoteles Dalam Pidato Ismail Haniyah Untuk Umat Islam
Indonesia,” Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Humaniora 5, no. 3 (2020): 137–45.
7
Rifqi Nadhmy Dhia, Jasmine Alya Pramesthi, and Irwansyah, “Analisis Retorika Aristoteles Pada Kajian Ilmiah
Media Sosial Dalam Mempersuasi Publik,” Linimasa: Jurnal Ilmu Komunikasi 4, no. 1 (2021): 2021.
8
Aziz Muslim, “Retorika Dakwah Ustaz Adi Hidayat Di Channel Youtube Adi Hidayat Official: Analisis Teori
Retorika Aristoteles,” Journal of Islamic Social and Communication 1, no. 2 (2022): 135–45.
Penelitian kualitatif sangat bergantung pada kemampuan peneliti dalam melakukan
identifikasi, maping, analisis, dan mendeskripsikan objek penelitian. Di antara usaha dalam
melakukan eksplorasi tersebut adalah dengan menarik beberapa kesimpulan konspetual atau
teoritis dari pemaknaan objek yang dikaji.9
Subjek yang dianalisa adalah Ustadz Fadlan Fahamsyah yang merupakan seorang da’I di
kota Surabaya. Teori yang digunakan dalam analisis data adalah teori retorika Aristoteles.
Dengan teori ini penulis menguraikan hasil Analisa berdasarkan unsur dari dimensi retorika
Aristoteles yaotu ethos, pathos, dan logos. Sedangkan sumber data dari penelitian ini adalah
hasil-hasil penelitan ilmiah yang dikumpulkan dari sumber online seperti Google Scholar.
Untuk melengkai sumber data dari subjek penelitan, penulis juga melakukan analisis dari
video-video pengajian Islam dari Ustadz Fadlan Fahamsyah dan juga melakukan wawancara
eksklusif dengan beliau.
9
Emanuel S.Leuape and Susanne Dida, “Dialektika Etnografi Komunikasi Emik-Etik Pada Kain Tenun,” Jurnal
Kajian Komunikasi 5, no. 2 (2017): 151, doi:https://doi.org/10.24198/jkk.v5i2.8637.
10
Silvia Riskha Fabriar, “Urgensi Psikologi Dalam Aktivitas Dakwah,” An-Nida : Jurnal Komunikasi Islam 11,
no. 2 (2019): 128, doi:10.34001/an.v11i2.1027.
proses upaya manusia dalam mengenal berbagai macam stimulus atau informasi yang masuk
ke dalam alat inderanya, menyimpan, menghubung-hubungkan, menganalisis, dan
memecahkan suatu masalah berdasarkan stimulus atau informasi tersebut. Termasuk dalam
gejala pengenalan adalah penginderaan dan persepsi, asosiasi, memori, berfikir, inteligensi.11
Disimpulkan oleh Muhibbin Syah bahwa psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang
mempelajari tingkah laku terbuka dan tertutup pada manusia baik selaku individu maupun
kelompok dalam hubungannya dengan lingkungan. Adapun psikologi menurut pandangan
Dakir yakni ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubunghan dengan
lingkungan.12
Dalam sejarah perkembangannya komunikasi memang dibesarkan oleh para pakar
psikologi. Menurut George A. Miller mengatakan psikologi komunikasi adalah ilmu yang
berusaha menguraikan meramalkan dan mengendalikan peristiwa mental dan perilaku dalam
komunikasi. Sedangkan menurut Jalaluddin Rakhmat, psikologi komunikasi adalah ilmu
yang mempelajari komunikasi dari aspek psikologi. Sejatinya, psikologi komunikasi adalah
ilmu yang mempelajari kesadaran dan pengalaman manusia.13
Menurut Dance Komunikasi dalam kerangka psikologi behaviorisme diartikan sebagai
usaha menimbulkan respons melalui lambanglambang verbal ketika lambang-lambang verbal
tersebut bertindak sebagai stimuli. Psikologi menyebut komunikasi merupakan proses
penyampaian energi dari alat-alat indera ke otak (adanya sensasi), pada peristiwa penerimaan
dan pengelolaan informasi, pada proses saling pengaruh di antara berbagai sistem dalam diri
organisme dan di antara organisme. Ruang lingkup psikologi komunikasi jugameliputi
komunikasi antara manusia yang diuraikan dalam sistem komunikasi interpersonal,
komunikasi kelompok, dan komunikasi massa.14
Psikologi dalam kaitannya dengan komunikasi sangatlah erat. Dengan psikologi
komunikasi ini seseorang bisa memahami perilaku manusia dalam proses komunikasi dengan
tujuan untuk mencapai komunikasi yang efektif. Adapun komunikasi yang efektif menurut
Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss menimbulkan lima hal:
1. Pengertian (Understanding)
11
Zidni Ilman Nafia and Khafidhoh, “Perubahan Gaya Dakwah Da’i Di Bulan Ramadhan Dalam Pandemi
Covid 19 (Perspektif Psikologi Da’i),” Journal of Communication Studies 1, no. 01 (2021): 36,
doi:10.37680/jcs.v1i01.710.
12
Firdausi Nuzula, “Psikologi Dan Komunikasi,” El-Hikam 8, no. 2 (2015): 404.
13
Nairatul Anisah et al., “Psikologi Komunikasi,” Jurnal Ilmu Komputer, Ekonomi Dan Manajemen (JIKEM) 2,
no. 1 (2022): 1706.
14
Rila Setyaningsih, Psikologi Komunikasi (Suatu Pengantar Dan Perspektif Islam), ed. Ahad Hidayatullah
Zaekasyi (Ponorogo: UNIDA Gontor Press, 2019), 23–24, https://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-
mfi-results.
2. Kesenangan (Happiness)
3. Mempengaruhi sikap (Influence/change attitude)
4. Hubungan sosial yang baik (Good social relationship)
5. Tindakan (Action)
17
Cristian I. R Rengkung, Gustaaf B Tampi, and Very Y Londa, “Komunikasi Publik Pemerintah Kota Manado
Dalam Penanganan Covid-19,” Jurnal Administrasi Publik 7, no. 102 (2021): 29.
18
Wahyu Srisadono, “Komunikasi Publik Calon Gubernur Provinsi Jawa Barat 2018 Dalam Membangun
Personal Branding Menggunakan Twitter,” Jurnal Pustaka Komunikasi 1, no. 2 (2018): 214.
19
Maṭārid, Bisyūnī, and Darwīsh, Uṣul Al-Da’wah Wa Manāhijuhā: Dirāsah Ta’ṣīliyyah Tahlīliyyah, 13–14.
20
Kamal Muhammad Ubaid, “Al-Da’wah: Taṣḥīh Al-Mafhūm Wa Bayan Al-Ḥukm,” Dirasat Da’wiyyah 9
(2005): 6, http://hdl.handle.net/123456789/686.
petunjuk (hidayah) dengan menegakkan al-amru bi al-ma’rūf dan al-nahyu ‘an al-
munkar21.
Ali Mahfudz dalam kitabnya Hidāyah al-Murshidīn juga mendefinisikan dakwah
dengan ungkapannya22:
واألمر بالمعروف والنهي عن المنكر ليفوزوا بسعادة العاجل واآلجل،حث الناس على الخير والهدى
“Mengajak manusia kepada kebaikan dan petunjuk (hidayah), serta menegakkan
amar ma’ruf dan nahi munkar untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat”.
Kemudian al-Bayānuniy juga memberikan pengertian yang dianggap lebih kompleks
dan mencakupi aspek yang lebih luas dari pada dakwah itu sendiri, yaitu23:
وتطبيقه في واقع الحياة، وتعليمهم إياهم،تبليغ اإلسالم للناس
“Menyampaikan dan mengajarkan Islam kepada manusia dan mempraktikkannya
dalam kehidupan”
Penulis berasumsi definisi dari al-Bayānuniy merupakan definisi yang paling
kompleks. Asusmsi tersebut juga berkorelasi dengan apa yang dijelaskan oleh Ali
Mahfudz dalam definisi dakwahnya. Dakwah bukan hanya sekedar mengajak kepada jalan
kebaikan atau hidayah, namun kegiatan dakwah yang dilakukan oleh seorang da’I
merupakan ajakan yang berorientasi kepada amal dari nilai pesan dakwah itu sendiri.
Kemudian dengan pengamalan nilai yang terkandung dalam pesan dakwah tersebutlah
seorang da’I dan mad’unya dapat meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Pandangan ini
juga didukung oleh definisi dakwah yang ditawarkan oleh Dermawan bahwa setiap upaya
mengajak atau menyeru manusia baik secara individu ataupun kelompok untuk dapat
mengenal Islam, memahaminya, dan mengamalkan ajarannya secara konsisten serta
bertanggung jawab merupakan inti dari makna dakwah itu sendiri.24
Lebih dalam lagi, Muh. Ali Aziz memberikan perincian mengenai definisi dakwah,
yaitu dakwah sebagai kegiatan dan dakwah sebagai proses. Dakwah sebagai kegiatan
cenderung bermakna sesuatu yang mengarah pada pelaksanan semata, namun dakwah
sebagai proses lebih mementingkan hasil maksimal atau hasil akhir dari dakwah itu
sendiri. Sehingga dalam proses dakwah, kegiatannya tidak terhenti hingga tujuan dakwah
telah tercapai. Proses yang dimaksud yaitu proses peningkatan iman dalam diri manusia
21
Jamil Hashim and Masitoh Ahmad, “Mafhūm Al-Da’wah Wa Farīḍatuhā,” GJAT: Global Journal Al
Thaqafah 2, no. 1 (2012): 85, doi:10.7187/GJAT162012.02.01.
22
Ali Mahfudz, Hidāyah Al-Murshidīn Ilā Ṭuruq Al-Wa’dzi Wa Al-Khiṭābah (Kairo: Dār al-I’tiṣam, 1979), 17.
23
Muhammad Al-Fath Al-Bayānūniy, Al-Madkhal Ilā ‘Ilm Al-Da’Wah (Beirut: Muassasah Al-Risalah, 1995),
17.
24
Safrodin, “Religious Freedom in the Context of Islamic Da ’ Wa,” Jurnal Ilmu Dakwah 42, no. 1 (2022): 148,
doi:10.21580/jid.v42.1.11860.
sesuai dengan syari’at Islam. Proses ini menunjukkan kegiatan yang terus-menerus,
berkesinambungan, dan bertahap.25
Dakwah sebagai sebuah proses transformasi kepada kebaikan ditentukan oleh
berbagai elemen yang terkait dengan unsur-unsur dalam proses dakwah itu sendiri. Unsur
dakwah tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Menghilangkan
salah satunya bermakna menanggalkan semua unsur dari dakwah tersebut, diantara unsur-
unsur dakwah ialah:
1) Subjek Dakwah
Subjek dakwah yang dimakasud ialah pelaku aktivitas dakwah. Maksudnya,
seorang da’I hendaknya mengikuti cara-cara yang telah ditempuh Rasulullah dalam
aktivitas dakwahnya, sehingga hasil yang diperoleh pun bisa mendekati kesuksesan
seperti yang pernah diraih oleh Rasulullah ṣallallah ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu,
M. Natsir berpendapat bahwa kepribadian dan akhlak seorang da’i merupakan salah
satu penentu keberhasilan seorang da’i26.
2) Materi Dakwah
Materi dakwah merupakan unsur penting dalam pelaksanaan dakwah, karena
materi yang akan disampaikan da’I kepada mad’unya. Dalam hal ini yang menjadi
materi dakwah merupakan ajaran Islam itu sendiri. Jadi semua ajaran Islam bisa
dijadikan materi dakwah, diantaranya yang meliputi aqidah, syari’ah, dan akhlak.27
3) Metode Dakwah
Metode dakwah merupakan suatu cara dalam melaksanakan dakwah agar
mencapai tujuan dakwah secara efektif dan efisien. Secara teoritis juga al-Qur’an telah
menawarkan dan mengatur metode dakwah yang tepat guna dalam menegakkan
dakwah, yaitu dengan cara hikmah, al-mau’idzah al-hasanah, dan al-mujādalah. Ketiga
metode ini merupakan proses dakwah yang dapat diterapkan secara objektif
proporsional dari seorang da’I kepada mad’u yang dihadapinya.28
4) Tujuan Dakwah
25
Muh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, 6th ed. (Jakarta: Kencana, 2017), 16–17.
26
Nurwahidah Alimuddin, “Konsep Dakwah Dalam Islam,” Hunafa Studia Islamika 4, no. 1 (2007): 76,
doi:https://doi.org/10.24239/jsi.v4i1.195.73-78.
27
Novri Hardian, “Dakwah Dalam Perspektif Al-Qur’an Dan Hadits,” Al-Hikmah: Jurnal Dakwah Dan Ilmu
Komunikasi, 2018, 48, doi:10.15548/al-hikmah.v0i0.92.
28
Aliyudin, “Prinsip-Prinsip Metode Dakwah Menurut Al-Qur’an,” Jurnal Ilmu Dakwah 4, no. 15 (2010): 1011,
doi:https://doi.org/10.15575/idajhs.v5i15.431.
Secara umum tujuan dakwah adalah mendatangkan kebahagiaan dan
kesejahteraan yang diridai oleh Allah ta’ala.29 Namun M. Natsir merumuskan tujuan
dakwah setidaknya menjadi tiga tujuan utama, yiatu: pertama, memanggil manusia
kembali kepada syari’at atau hukum-hukum agama agar dapat mengatur dirinya sesuai
dengan agama. Kedua, mempertegas fungsi hidup menusia sebagai hamba Allah di
muka bumi. Ketiga, memanggil manusia untuk kembali kepada tujuan hidup yaitu
mencari keridhaan Allah.30
Bersandarkan pada konsep komunikasi publik dakwah tersebut, maka dalam hal
ini kegiatan dakwah yang dilakukan oleh seorang da’I dapat digolongkan sebagai
kegiatan komunikasi publik.
33
Salim Alatas, “Evolusi Kajian Komunikasi (Studi Terhadap Perkembangan Kajian Komunikasi),” Jurnal
Communication 5, no. 1 (2014): 3.
34
Rajiyem, “Sejarah Dan Perkembangan Retorika,” Humaniora 17, no. 2 (2005): 144.
Aristoteles dengan tegas mengatakan bahwa retorika adalah ilmu tersendiri yang
memiliki kedudukan yang sejajar dengan ilmu lain. Sebagai sebuah ilmu, retorika pun
menampilkan kebenaran dengan menata tutur secara efektif dan etis, bukan bombastis dan
kosong tanpa isi. Selanjutnya Aristoteles menegaskan bahwa retorika tidak boleh
dimasukkan ke dalam jenis ilmu yang lain, atau dianggap sebagai bagian dari ilmu lain,
jutru ilmu itulah yang memanfaatkan retorika, terutama ketika ilmu lain itu
mendeskripsikan hasil-hasil temuannya, demikian penegasan Aristoteles. Ajaran
Aristoteles tetap dipertahankan sampai masa keruntuhan kerajaan Yunani dan Romawi.
Ahli-ahli retorika sampai awal abad ke-20 telah mampu menempatkan ajaran retorika
Aristoteles sebagai tradisi studi retorika. Inilah akhirnya yang dikenal sebagai retorika
tradisional.36
Sebuah perdebatan besar terjadi antara Plato dan muridnya, Aristoteles, mengenai
retorika. Plato berpendapat bahwa retorika itu penting untuk mencapai keindahan dan
untuk tujuan hiburan, namun penggunanya harus diabaikan dalam masyarakat karena
retorika dapat menyebabkan orang menjauh dari apa yang benar dan menyebabkan mereka
untuk membuat keputusan yang buruk. Plato lebih menyukai metode filosofis yang disebut
dialektika, dimana individu dengan seksama mencari kebenaran baru berdasarkan apa
yang sudah diketahui. Sementara sang murid, Aristoteles, disisi lain berpendapat bawa
retorika adalah hal yang penting untuk membantu mereka dalam masyarakat membuat
kemungkinan kebenaran dari apa yang diketahui atau dapat disimpulkan. Retorika, dalam
pandangan Aristoteles, penting bagi substansi dalam komunikasi serta untuk gaya (style)
bagi komunikator.37
Untuk menggambarkan bagaimana gambaran umum mengenai teori retorika, maka
sebuah ilustrasi berikut bisa menjadi gambaran. Ketika seseorang pergi dengan kendaraan
roda duanya menuju ke sebuah bank untuk mengurus beberapa keperluan, tiba-tiba datang
seseorang berpakaian coklat, rapi, dan membawa peluit yang secara tiba-tiba
menghentikan ia. Dari penampilan orang tersebut kita pasti dengan spontan mengira orang
tersebut adalah seorang polisi.
Berdasarkan ilustrasi tersebut, dapat dipahami bahwa ketika kita sebagai seorang
komunikator dalam berkomunikasi dengan komunikan yang berpengaruh tidak hanya apa
yang ia katakan, tetapi juga memerlukan “penampilan” yang meyakinkan. He doesn’t
35
Kinkin Yuliaty Subarsa Putri, Teori Komunikasi, ed. Dewi Angraeni (Jakarta: Nerbitinbuku.com, 2017), 148,
https://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-mfi-results.
36
Sulistyarini and Zainal, Buku Ajar Retorika, 51:4.
37
Alatas, “Evolusi Kajian Komunikasi (Studi Terhadap Perkembangan Kajian Komunikasi),” 4.
communicate what he says, he communicates what he is. Ia tidak dapat menyuruh,
pendengar hanya memperhatikan apa yang ia katakan. Pendengar juga akan
memperhatikan siapa yang mengatakan atau menyampaikan semua pesan-pesan tersebut.
Dalam teori retorika, unsur siapa yang berbicara lebih penting dari apa yang dibicarakan.
Pesan merupakan salah satu unsur yang penting dalam berkomunikasi, sehingga makna
dari pesan itu sendiri memperlancar interaksi sosial antar manusia. Sementara tujuan dari
komunikasi akan tercapai bila makna pesan yang disampaikan komunikator sama dengan
makna yang diterima komunikan. Maka untuk mencapai tujuan itu, pesan yang
disampaikan biasanya diungkapkan melalui bahasa.38
38
Setyaningsih, Psikologi Komunikasi (Suatu Pengantar Dan Perspektif Islam), 200.
39
Rajiyem, “Sejarah Dan Perkembangan Retorika,” 144.
40
Ibid.
Kedua-duanya dipengaruhi Georgias dan Socrates. Mereka ini berpendapat
bahwa retorika berperan penting bagi persiapan seseorang untuk menjadi
pemimpin.41 Namun Plato mengecam retorika sofis sebagai suatu upaya
manipulasi opini publik dan mengabaikan kaidah-kaidah pencapaian kebenaran.
Retorika sofis tidak menjadikan kebenaran sebagai sarana untuk membentuk opini
public melainkan mereduksinya sekedar kecakapan bahasa untuk memenangkan
tujuan politik.42
4) Aristoteles
Aristoteles mengatakan bahwa retorika sebagai filsafat, sedang tokoh yang lain
menekankan sebagai seni. Menurut Aristoteles, tujuan retorika adalah
membuktikan maksud pembicaraan atau menampakkan pembuktian. Ini terdapat
pada logika. Keindahan bahasa hanya digunakan untuk membenarkan,
memerintah, mendorong, dan mempertahankan sesuatu.43
41
Suprapto, Rio Kurniawan, and Helfiana Sihaloho, “Metode Sugestopedia Sebagai Alternatif Pembelajaran
Retorika Di Perguruan Tinggi,” in Prosiding Seminar Daring Nasional: Pengembangan Kurikulum Merdeka
Belajar Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia., 2020, 170.
42
Kamaruddin Hasan, “Retorika Dan Politik,” in Handout Komunikasi Politik, 2016, 1.
43
Rajiyem, “Sejarah Dan Perkembangan Retorika,” 145.
Berdasarkan hal ini pembicara yang efektif menggunakan beberapa bukti dalam
presentasi mereka. Bukti yang dimaksud mengacu pada cara persuasi: ethos,
pathos, dan logos.44
44
Dhia, Pramesthi, and Irwansyah, “Analisis Retorika Aristoteles Pada Kajian Ilmiah Media Sosial Dalam
Mempersuasi Publik,” 85.
45
Fifi Hasmawati, “Karakteristik Komunikator Yang Efektif Dalam Komunikasi Antar Pribadi,” Jurnal
Komunikasi Islam Dan Kehumasan (JKPI) 4, no. 2 (2020): 77–78.
46
Ahmad Tamrin Sikumbang, “Kontribusi Filsafat Barat Terhadap Ilmu Komunikasi,” Analytica Islamica 2, no.
1 (2013): 30.
Ethos terdiri dari pikiran baik, akhlak yang baik, dan maksud yang baik (good
sense, good moral, character, good will). Pendapat Aristoteles ini diuji secara
ilmiah 2300 tahun kemudian oleh Carl Hovland dan Walter Weiss (1951).
Mereka melakukan eksperimen pertama tentang psikologi komunikator. Kepada
sejumlah besar subjek disampaikan pesan tentang kemungkinan membangun
kapal selam yang digerakkan oleh tenaga atom (waktu itu, menggunakan energi
atom masih merupakan impian). Hovland dan Weiss menyebut ethos ini
credibility yang terdiri dari dua unsur: Expertise (keahlian) dan trustworthiness
(dapat dipercaya). Ketika komunikator berkomunikasi, yang berpengaruh
terhadap khalayak bukan saja apa yang ia katakan (pesan), tetapi penampilannya,
keadaan dirinya, cara berpakaiannya, model sisir rambutnya juga berpengaruh
terhadap khalayak, dan sekaligus semuanya mendapat penilaian dari khalayak
pada saat itu.47
2) Dimensi Pathos
Pathos diartikan sebagai imbauan emosional yang ditunjuk oleh seorang
komunikator dengan menampilkan gaya dan bahasanya yang meningkatkan
energy dengn semangat yang tinggi pada khalayak.
3) Dimensi Logos
Logos diartikan sebagai imbauan logis yang ditunjukkan seorang komunikator
bahwa uraiannya masuk akal sehingga pantas untuk diikuti dan dilaksanakan oleh
khalayak sama juga dengan pathos, logos juga perlu dimiliki oleh seorang orator
atau rethor.48
Dalam dimensi ethos atau faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas
komunikator, yaitu:
1) Kredibilitas
Kredibilitas adalah persepsi sederhana yang dapat diartikan pandangan pendenger
terhadap komunikator akan tetapi persepsi tersebut tidak tetap melainkan berubah-
ubah bergantung kepada pelaku persepsi, topik yang dibahas. 49 Kredibilitas juga
bermakna seperangkat persepsi komunikasi tentang sifat-sifat komunikator, dalam
definisi ini terkandung dua hal:
47
Setyaningsih, Psikologi Komunikasi (Suatu Pengantar Dan Perspektif Islam), 201.
48
Winda Kustiawan et al., “Pentingnya Psikologi Komunikator,” Jurnal Ilmu Komputer, Ekonomi, Dan
Manajemen (JIKEM) 2, no. 1 (2022): 2049.
49
Nafia and Khafidhoh, “Perubahan Gaya Dakwah Da’i Di Bulan Ramadhan Dalam Pandemi Covid 19
(Perspektif Psikologi Da’i),” 37.
1. Kredibilitas adalah persepsi komunikasi jadi tidak inheren dalam diri
komunikator.
2. Kredibilitas berkenaan dengan sifat-sifat komunikator.50
Jalaludin Rakhmat juga berpendapat bahwa kredibilitas terdiri dari beberapa
komponen penting, diantaranya adalah keahlian dan kepercayaan.
1. Keahlian adalah kesan yang dibentuk komunikan tentang kemampuan
komunikator dalam hubungannya dengan topik yang dibicarakan. Indikatornya
adalah cerdas, mampu, ahli, tahu banyak, berpengalaman, atau terlatih.
2. Kepercayaan adalah kesan komunikan tentang komunikator yang berkaitan
dengan waktaknya. Aristoteles menyebutnya good moral character.51
Dalam konteks dan ruang linkup dakwah Islam, kredibilitas ini dapat dimiliki
oleh seorang da’i apabila ia secara konstan dan konsisten selalu menjaga ucapannya
selaras dengan perilaku kesehariannya. Seorang publik figur baik ustadz, guru,
ataupun kiyai yang dipandang sebelah mata oleh murid dan umatnya karena
kurangnya kredibilitas. Kurangnya konsistensi antara ucapan dan perilaku
kesehariannya.
Beberapa ayat al-Qur’an dan hadis pun menyebutkan serta mengingatkan akan
pentingnya kredibilitas seorang yang menyeru kepada agama Allah. Diantaranya
surah Fushilat ayat 33:
َصلِ ٗحا َوقَا َل ِإنَّنِي ِمنَ ۡٱل ُم ۡسلِ ِمين
َ ٰ َو َم ْن َأحْ َسنُ قَ ۡواٗل ِّم َّمن َدعَٓا ِإلَى ٱهَّلل ِ َو َع ِم َل
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada
Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang menyerah diri?”
Dalam ayat tersebut Allah memuji orang-orang yang berdakwah kepada agama
Allah sebagai orang yang memiliki perkataan terbaik. Namun dengan pujian itu pula
Allah mengharuskan kepada para penyeru dakwah ini agar mengamalkan apa yang ia
ajarkan kepada umat.
َ ٰ ” َو َع ِم َل:
Imam Ibn Kathir memberikan komentar terhadap ayat “صلِ ٗحا
أمرونžذين يžžو من الž وليس ه،يره الزم ومتعدžžه ولغžžه لنفسžž فنفع، هžا يقولžžوهو في نفسه مهتد بم
وينهون عن المنكر ويأتونه، بالمعروف وال يأتونه
“Yaitu ia turut mengajak dirinya kepada apa yang ia ucapkan (dakwahkan), sehingga
apa yang ia ajarkan pasti mendatangkan manfaat bagi dirinya dan bagi orang lain.
50
Winda Kustiawan et al., “Psikologi Komunikator,” Journal Analytica Islamica 11, no. 1 (2022): 3.
51
Setyaningsih, Psikologi Komunikasi (Suatu Pengantar Dan Perspektif Islam), 202.
Bukanlah ia termasuk orang-orang yang mengajak kepada kebaikan namun ia tidak
mengamalkannya, dan mencegah dari kemungkaran namun ia melakukan
kemungkaran tersebut”52
Begitu juga firman Allah yang menyinggung para ahlul kitab yang tidak
mengamalkan apa yang mereka serukan dalam surat Al-Baqarah ayat 44:
َ َّ۞َأت َۡأ ُمرُونَ ٱلن
َ ۚ َاس بِ ۡٱلبِ ِّر َوتَن َس ۡونَ َأنفُ َس ُكمۡ َوَأنتُمۡ ت َۡتلُونَ ۡٱل ِك ٰت
َب َأفَاَل ت َۡعقِلُون
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan
diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka
tidaklah kamu berpikir?”
Seorang da’I sebagai komunikator dalam komunikasi publik tidak boleh memiliki
konsep penerangan yang diberikan oleh lilin. Dimana lilin menerangi orang-orang
namun justru membakar dirinya sendiri. Model komunikator lilin ini yang justru akan
menjadikan hilangnya simpati dari komunikan dalam kegiatan dakwah.
2) Atraksi
Atraksi adalah daya tarik komunikator yang bersumber dari fisik. Seorang
komunikator disenangi dan dikagumi yang memungkinkan pandengar menerima
kepuasan dengan kata lain pendengar tunduk terhadap pesan yang dikomunikasi
komunikator.53 Atraksi ini disebabkan oleh adanya factor kesamaan antara
komunikator dan komunikan, sehingga memungkinkan komunikan tunduk terhadap
pesan yang dikomunikasikan komunikator. Daya tarik atau atraksi ini tercermin dalam
dua hal:
a. Daya tarik fisik, yaitu salah satu hal yang dapat menyebabkan komunikan merasa
tertarik kepada komunikator. Hal ini berkaitan dengan daya tarik fisik, ganjaran,
kesamaan, dan kemampuan. Komunikator yang menarik secara fisik akan
memiliki daya tarik tersendiri yang menungkin ia memiliki pesona persuasif.
Islam juga memberikan pengajaran akan hal ini agar menampakkan hal-hal yang
indah dalam apa yang kita kenakan. Sebagaimana perintah Allah dalam surat Al-
A’raf ayat 3154:
ۚ
َُوا َواَل تُ ۡس ِرفُ ٓو ْا ِإنَّ ۥهُ اَل يُ ِحبُّ ۡٱل ُم ۡس ِرفِين ۡ وا َو
ْ ٱش َرب ْ ُوا ِزينَتَ ُكمۡ ِعن َد ُكلِّ َم ۡس ِج ٖد َو ُكل
ْ ۞ ٰيَبَنِ ٓي َءا َد َم ُخ ُذ
52
Ibnu Kathir, “Tafsir Surah Fushilat: 33,” Al-Qur’an Li Al-Jami’, accessed December 19, 2022,
https://quran4all.net/ar/tafsir/3/41/33#:~:text=3% يقول تعالىA ( الخلق إلى الخالق تبارك وتعالى, ومن أحسن قوال.
53
Nafia and Khafidhoh, “Perubahan Gaya Dakwah Da’i Di Bulan Ramadhan Dalam Pandemi Covid 19
(Perspektif Psikologi Da’i),” 37.
54
Setyaningsih, Psikologi Komunikasi (Suatu Pengantar Dan Perspektif Islam), 208.
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid,
makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”
Begitu juga makna umum dari hadis nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang diriwayatkan oleh imam Muslim:
ِإ َّن هللاَ َج ِم ْي ٌل يُ ِحبُّ ال َج َما َل
“Sesungguhnya Allah Maha Indah, dan mencintai keindahan”
Imam Al-Munawi memberikan komentar terhadap hadis tersebut: makna Allah
Maha Indah yaitu bagi Allah lah keindahan secara (muthlaq) sempurna, Allah
Maha Indah Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, dan juga Maha Indah perbuatan-Nya.
Serta mencintai keindahan yaitu memperindah diri (secara umum) dalam segala
keadaan, dengan berusaha mengurangi dalam menampakkan dirinya butuh
kepada selain Allah, serta merasa cukup dari selain Allah.55
b. Daya tarik yang dipengaruhi oleh homophily dan heterophily. Homophily terjadi
ketika antara komunikator dan komunikan merasa ada kesamaan dalam: status
sosial ekonomi, pendidikan, sikap, dan kepercayaan. Kesamaan ini menjadi daya
tarik. Oleh karena itu, komunikator yang ingin memengaruhi orang lain sebaiknya
memulai dengan menegaskan kesamaan antara dirinya dengan komunikan. Upaya
ini dalam konteks retorika disebut “strategy of identification” ujar Kenneth
Burke, atau “establishing common grounds”. Heterophily terdapat perbedaan
status ekonomi, pendidikan, sikap, dan kepercayaan antara komunikator dan
komunikan. Namun demikian, komunikasi akan lebih efektif pada kondisi yang
memiliki homophily. Pada kondisi homophily komunikator yang dipersepsi
memiliki kesamaan dengan komunikan akan lebih efektif dalam berkomunikasi.56
3) Kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan menimbulkan ketundukan. Dimana
ketundukan yang menimbulkan dari interaksi antara komunikator dan pendengar.
Kepuasan menyebabkan seorang komunikator “memaksakan” kehendaknya kepada
orang lain. karena ia memiliki sumber daya penting. Atas dasar kekuasaan French
dan Raven menyebut beberapa jenis kekuasaan, yaitu:
55
“Hadith ‘Inna Allah Jamiilun Yuhibbu Al-Jamaal,’” Islamweb.Net, 2006,
https://www.islamweb.net/ar/fatwa/71093/الجمال-يحب-جميل-هللا-إن-حديث.
56
Setyaningsih, Psikologi Komunikasi (Suatu Pengantar Dan Perspektif Islam), 208–9.
a. Kekuasaan Koersif (Coersive Power): menunjukkan kemampuan komunikator
untuk mendatangkan ganjaran atau mendatangkan hukuman bagi komunikan.
Misalnya hukuman yang bersifat personal: benci atau kasih sayang.
b. Kekuasaan Keahlian (Expert Power): berasal dari pengetahuan, pengalaman,
keterampilan, atau kemampuan yang dimiliki komunikator. Seorang dosen
memiliki kekuasaan keahlian, sehingga ia dapat menyuruh mahasiswanya
menafsirkan suatu teori sesuai dengan pendapatnya.
c. Kekuasaan Informasional (Informational Power): berasal dari isi komunikasi
tertentu atau pengetahuan baru yang dimiliki oleh komunikan. Seorang ahli
komputer dapat menyarankan manajernya untuk membeli komputer jenis/ keluaran
baru yang lebih baik cara kerjanya.
d. Kekuasaan rujukan (Referent Power): Komunikan menjadikan komunikator
sebagai kerangka rujukan untuk menilai dirinya. Misalnya: menjadikan
komunikator sebagai teladan, karena perilakunya yang baik.
e. Kekuasaan Legal (Legitimate Power): berasal dari seperangkat aturan atau norma
yang menyebabkan komunikator berwenang untuk melakukan suatu tindakan.
Misalnya: seorang direktur bisa saja mengeluarkan pegawainya yang melanggar
aturan.57
c. Kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan menimbulkan ketundukan. Klasifikasi kekuasaan yang
dimilik ustadz Fadlan Fahamsyah meliputi jenis-jenis kekuasaan menurut French dan
Raven yaitu:
1) Kekuasaan Koersif (Coersive Power)
Kekuasaan ini dimiliki ustadz Fadlan Fahamsyah yang mana posisi beliau juga aktif
di medan dakwah pendidikan tinggi di STAI Ali bin Abi Thalib Surabaya dan Ma’had
Aly Al-Ihsan Surabaya. Dalam keseharian kegiatan pembelajaran beliau di kedua
instansi tersbut turut menampakan kekuasaan koersif ini, yaitu memberikan ganajaran
atau hukuman kepada mahasiswanya. Baik itu berupa menghafalkan hadis, nash
(wacana) berbahasa Arab, atau menyampaikan faidah-faidah dari sebuah hadis jika
melakukan sebuah pelanggaran dalam lingkungan kampus.
2) Kekuasaan Keahlian (Expert Power)
Dalam beberapa dakwah beliau, baik di masjid ataupun di luar masjid tidak jarang
didapati metode beliau dalam rangka pengajaran kepada jama’ah. Diantaranya beliau
tampak beberapa kali memberika kuis kepada jama’ah kajian agama berupa
pertanyaan-pertanyaan terkait materi kajian pekan lalu.
3) Kekuasaan Informasional (Informational Power)
Kegiatan dakwah ustadz Fadlan Fahamsyah juga tidak jarang diwarnai dengan sesi
liqa maftuh (tanya jawab) mengenai topik-topik keagamaan. Diantaranya ada yang
bertanya mengenai hukum fiqih, muamalah, dan kaifiyyah (tata cara) ibadah yang
kemudian menjadi maklumat baru bagi jamaah untuk diamalkan.
4) Kekuasaan rujukan (Referent Power)
Komunikan menjadikan mad’u sebagai kerangka rujukan untuk menilai dirinya.
Bahwa ustadz Fadlan Fahamsyah telah berhasil menanamkan pada diri-diri jama’ah
secara umum rasa simpatik agar mereka meneladani perilaku beliau. Termasuk dalam
adab-adab keseharian seperti menyebarkan salam kepada sesame muslim.
5) Kekuasaan Legal (Legitimate Power)
Kekuasaan ini jelas erat kaitannya dengan posisi beliau sebagai mudir di Ma’had Aly
Al-Ihsan Surabaya. Beliau berhak atas dasar hukum dan peraturan lembaga untuk
memberhentikan pengajar, staf, ataupun mahasantri dari lembaga tersebut jikalau
melakukan pelanggaran berat.
2. Pathos Ustadz Fadlan Fahamsyah
Kekuatan Pathos yang menitik beratkan pada gestur (gaya) dan bahasa komunikator
(da’i) yang membangkitkan kegairahan yang berkobar-kobar pada mad’u tampak pada
beberapa kegiatan dakwah beliau. Kepiawaian beliau dalam membawakan materi sirah
(sejarah) Islam menjadikan jama’ah hanyut dalam kisah, seakan-akan hadir pada persitiwa
yang dibawakan dalam kajian.
Bentuk lainnya dari kekuatan ini terlihat pada tulisan dakwah beliau di media sosial
Facebook @fadlan fahamsyah.
“Untuk semua yang merasa menjadi anak…
Hartamu tak akan mampu menahan ajal ibu bapakmu, jangan engkau mengira umur ibu-
bapakmu tidak bertambah, waktu terus berjalan, dia lalui hari² sulit di ujung usia tanpa
kehadiranmu. Uangmu tak mampu mengganti hadirmu dan senyummu.
Jangan pernah sisakan waktu untuk orang tuamu, namun sediakan waktu untuk keduanya.
jangan sampai hanya kabar kematiannya yang bisa membuatmu pulang, dan untuk apa
kamu pulang jika mereka udah pergi tak kembali??? Ibu bapakmu adalah pintu surgamu.
Jangan sampai engkau menyesal sesudah tertutupnya pintu itu.
Berbaktilah wahai para anak!!!
Jangan sampai kehadiran orangtuamu di usia senja tak membuatmu meraih surga
tuhanmu. Pulanglah!!!!”
Pesan dakwah yang beliau sampaikan cukup mengundang berbagai macam respon
dan pertanyaan fatwa dari para pengikutnya, bahkan tidak sedikit yang menyampaikan
curhatan di kolom komentar.
Kesimpulan
Kegiatan dakwah sebagai komunikasi publik merupakan hal besar dalam dunia
komunikasi khususnya komunikasi Islam. Peran dakwah dalam Islam tidak diragukan lagi,
dengan dakwah risalah Islam bisa menyebar hingga ke berbagai negara dan hingga kesekian
generasi.
Dakwah Islam menduduki tempat yang mulai dan urgen dalam agama ini. Dengan
besarnya andil dakwah dalam agama Islam, maka keberhasilan dan efektifitas kegiatan
dakwah itu sangat diharapkan. Keberhasilan dan efektifitas dakwah tersebut tidak terlepas
dari besarnya pengaruh komunikator atau da’I dalam dakwahnya. Sehingga perlunya bagi
komunikator dakwah ini untuk memperhatikan aspek-aspek retorika da’I dalam kegiatan
dakwahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bayānūniy, Muhammad Al-Fath. Al-Madkhal Ilā ‘Ilm Al-Da’Wah. Beirut: Muassasah Al-
Risalah, 1995.
Alatas, Salim. “Evolusi Kajian Komunikasi (Studi Terhadap Perkembangan Kajian
Komunikasi).” Jurnal Communication 5, no. 1 (2014): 11–22.
Alimuddin, Nurwahidah. “Konsep Dakwah Dalam Islam.” Hunafa Studia Islamika 4, no. 1
(2007): 73–78. doi:https://doi.org/10.24239/jsi.v4i1.195.73-78.
Aliyudin. “Prinsip-Prinsip Metode Dakwah Menurut Al-Qur’an.” Jurnal Ilmu Dakwah 4, no.
15 (2010): 1007–22. doi:https://doi.org/10.15575/idajhs.v5i15.431.
Anisah, Nairatul, Syindi Putri Padillah, Pahmi Barus, Refli Sepriandito, Raja Batar Hasibuan,
and Winda Kustiawan. “Psikologi Komunikasi.” Jurnal Ilmu Komputer, Ekonomi Dan
Manajemen (JIKEM) 2, no. 1 (2022): 1705–15.
Anwar. “Penelusuran Epistimologi Ilmu Komunikasi Dan Ilmu Dakwah.” At-Tanzir: Jurnal
Ilmiah Prodi Komunikasi Dan Penyiaran Islam 10, no. 1 (2019): 1–13.
Aziz, Muh. Ali. Ilmu Dakwah. 6th ed. Jakarta: Kencana, 2017.
Dhia, Rifqi Nadhmy, Jasmine Alya Pramesthi, and Irwansyah. “Analisis Retorika Aristoteles
Pada Kajian Ilmiah Media Sosial Dalam Mempersuasi Publik.” Linimasa: Jurnal Ilmu
Komunikasi 4, no. 1 (2021): 2021.
Fabriar, Silvia Riskha. “Urgensi Psikologi Dalam Aktivitas Dakwah.” An-Nida : Jurnal
Komunikasi Islam 11, no. 2 (2019). doi:10.34001/an.v11i2.1027.
Farihah, Irzum. “Strategi Dakwah Di Tengah Konflik Masyarakat.” Addin 8, no. 2 (2014):
295–318.
Fikry, Ali. “Representasi Konsep Retorika Persuasif Aristoteles Dalam Pidato Ismail Haniyah
Untuk Umat Islam Indonesia.” Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Humaniora 5, no. 3
(2020): 137–45.
Islamweb.net. “Hadith ‘Inna Allah Jamiilun Yuhibbu Al-Jamaal,’” 2006.
https://www.islamweb.net/ar/fatwa/71093/الجمال-يحب-جميل-هللا-إن-حديث.
Hardian, Novri. “Dakwah Dalam Perspektif Al-Qur’an Dan Hadits.” Al-Hikmah: Jurnal
Dakwah Dan Ilmu Komunikasi, 2018, 42–52. doi:10.15548/al-hikmah.v0i0.92.
Hasan, Kamaruddin. “Retorika Dan Politik.” In Handout Komunikasi Politik, 1–9, 2016.
Hashim, Jamil, and Masitoh Ahmad. “Mafhūm Al-Da’wah Wa Farīḍatuhā.” GJAT: Global
Journal Al Thaqafah 2, no. 1 (2012): 83–90. doi:10.7187/GJAT162012.02.01.
Hasmawati, Fifi. “Karakteristik Komunikator Yang Efektif Dalam Komunikasi Antar
Pribadi.” Jurnal Komunikasi Islam Dan Kehumasan (JKPI) 4, no. 2 (2020): 69–95.
Kathir, Ibnu. “Tafsir Surah Fushilat: 33.” Al-Qur’an Li Al-Jami’. Accessed December 19,
2022. https://quran4all.net/ar/tafsir/3/41/33#:~:text=3% يقول تعالىA ( الخلق إلى,ومن أحسن قوال
الخالق تبارك وتعالى.
Kustiawan, Winda, Laila Fitri, Ajizah Nurul Fadhilah Siddiq, Anis Sa’adah, Haris Fadhilah,
Sri Ayu Ulandari, and Muhammad Wisudawan. “Pentingnya Psikologi Komunikator.”
Jurnal Ilmu Komputer, Ekonomi, Dan Manajemen (JIKEM) 2, no. 1 (2022): 2045–50.
Kustiawan, Winda, Lily Yuniar, Diana Wulan Fitri, Julinar Arianti, and Adillah Wandasari.
“Psikologi Komunikator.” Journal Analytica Islamica 11, no. 1 (2022): 1–9.
Mahfudz, Ali. Hidāyah Al-Murshidīn Ilā Ṭuruq Al-Wa’dzi Wa Al-Khiṭābah. Kairo: Dār al-
I’tiṣam, 1979.
Maṭārid, Ramaḍān Muhammad, Mahrūs Muhammad Bisyūnī, and Nabīl Muhammad
Darwīsh. Uṣul Al-Da’wah Wa Manāhijuhā: Dirāsah Ta’ṣīliyyah Tahlīliyyah. Qatar:
Qatar University, 2019. doi:http://hdl.handle.net/10576/4216.
Mubasyaroh. “M. Natsir Dan Pandangannya Tentang Dakwah Dalam Buku Fiqhud Dakwah.”
At-Tabsyir 1, no. 2 (2013): 139–62.
Mubasyaroh, Mubasyaroh. “Strategi Dakwah Persuasif Dalam Mengubah Perilaku
Masyarakat.” Ilmu Dakwah: Academic Journal for Homiletic Studies 11, no. 2 (2017):
311–24. doi:10.15575/idajhs.v11i2.2398.
Muqsi. “Hubungan Dakwah Dan Komunikasi.” Jurnal Peurawi 1, no. 1 (2018): 1–9.
Muslim, Aziz. “Retorika Dakwah Ustaz Adi Hidayat Di Channel Youtube Adi Hidayat
Official: Analisis Teori Retorika Aristoteles.” Journal of Islamic Social and
Communication 1, no. 2 (2022): 135–45.
Nafia, Zidni Ilman, and Khafidhoh. “Perubahan Gaya Dakwah Da’i Di Bulan Ramadhan
Dalam Pandemi Covid 19 (Perspektif Psikologi Da’i).” Journal of Communication
Studies 1, no. 01 (2021): 31–47. doi:10.37680/jcs.v1i01.710.
Nurhadi, Zikri Fachrul, and Achmad Wildan Kurniawan. “Kajian Tentang Efektivitas Pesan
Dalam Komunikasi.” Jurnal Komunikasi Hasil Pemikiran Dan Penelitian 3, no. 1
(2017): 90–95.
Nuzula, Firdausi. “Psikologi Dan Komunikasi.” El-Hikam 8, no. 2 (2015): 403–20.
Oktavia, Fenny. “Upaya Komunikasi Interpersonal Kepala Desa Dalam Memediasi
Kepentingan PT. Bukit Borneo Sejahtera Dengan Masyarakat Desa Long Lunuk.” Ilmu
Komunikasi 4, no. 1 (2016): 239–53.
Putri, Kinkin Yuliaty Subarsa. Teori Komunikasi. Edited by Dewi Angraeni. Jakarta:
Nerbitinbuku.com, 2017. https://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-mfi-
results.
Rajiyem. “Sejarah Dan Perkembangan Retorika.” Humaniora 17, no. 2 (2005): 142–53.
Rengkung, Cristian I. R, Gustaaf B Tampi, and Very Y Londa. “Komunikasi Publik
Pemerintah Kota Manado Dalam Penanganan Covid-19.” Jurnal Administrasi Publik 7,
no. 102 (2021): 26–36.
S.Leuape, Emanuel, and Susanne Dida. “Dialektika Etnografi Komunikasi Emik-Etik Pada
Kain Tenun.” Jurnal Kajian Komunikasi 5, no. 2 (2017): 147–58.
doi:https://doi.org/10.24198/jkk.v5i2.8637.
Safrodin. “Religious Freedom in the Context of Islamic Da ’ Wa.” Jurnal Ilmu Dakwah 42,
no. 1 (2022): 144–59. doi:10.21580/jid.v42.1.11860.
Satria, Eri bin Sanusi, and Roslan Mohamed. “Analisis Terhadap Peranan Nasyid Dalam
Dakwah.” Jurnal Ilmiah Islam Futura 16, no. 2 (2017): 227.
doi:10.22373/jiif.v16i2.1329.
Setyaningsih, Rila. Psikologi Komunikasi (Suatu Pengantar Dan Perspektif Islam). Edited by
Ahad Hidayatullah Zaekasyi. Ponorogo: UNIDA Gontor Press, 2019.
https://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-mfi-results.
Sikumbang, Ahmad Tamrin. “Kontribusi Filsafat Barat Terhadap Ilmu Komunikasi.”
Analytica Islamica 2, no. 1 (2013): 25–35.
Srisadono, Wahyu. “Komunikasi Publik Calon Gubernur Provinsi Jawa Barat 2018 Dalam
Membangun Personal Branding Menggunakan Twitter.” Jurnal Pustaka Komunikasi 1,
no. 2 (2018): 213–27.
Sulistyarini, Dhanik, and Anna Gustiana Zainal. Buku Ajar Retorika. Edited by Khaerul
Ikhwan. CV. AA. Rizky. Vol. 51. Banten: CV. AA. Rizky, 2018.
Suprapto, Rio Kurniawan, and Helfiana Sihaloho. “Metode Sugestopedia Sebagai Alternatif
Pembelajaran Retorika Di Perguruan Tinggi.” In Prosiding Seminar Daring Nasional:
Pengembangan Kurikulum Merdeka Belajar Program Studi Pendidikan Bahasa
Indonesia., 167–72, 2020.
Ubaid, Kamal Muhammad. “Al-Da’wah: Taṣḥīh Al-Mafhūm Wa Bayan Al-Ḥukm.” Dirasat
Da’wiyyah 9 (2005): 20. http://hdl.handle.net/123456789/686.