Anda di halaman 1dari 30

Retorika Dai dalam Komunikasi Publik

(Analisis Retorika Ustadz Fadlan Fahamsyah dalam Kegiatan Dakwah di Kota


Surabaya)
M. Wahyu Abdi Nugroho1, Lilik Hamidah2
02040721025@student.uinsby.ac.id 1, lilikhamidah89@gmail.com 2

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk membahas bagaimana retorika ustadz Fadlan Fahamsyah dalam
dakwah di kota Surabaya melalui analisis teori retorika Aristoteles. Dakwah dalam Islam
merupakan hajat yang tidak bisa dinomer duakan. Dengan dengan Islam bisa langgeng dan
mempertahankan eksistensinya dari masa ke masa. Besarnya hajat Islam kepada dakwah ini,
sangatlah diperlukan pendalaman pada aspek-aspek yang mendukung dakwah yang efektif.
Diantaranya dengan memahami teknik dalam beretorika. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan studi literatur dan wawancara. Pendekatan yang digunakan adalah dengan
teori retorika Aristeles untuk menganalisa dan mengungkapkan dimensi-dimensi retorika
dalam ceramah-ceramah ustadz Fadlan Fahamsyah, yaitu ethos, pathos, dan logos. Penelitian
ini menghasilkan beberapa temuan yang menggambarkan bagaimana kredibelitas, atraksi,
dan kekuasan yang memenuhi dimensi ethos. Kemudian juga gambaran mengenai aspek
pathos tang tercermin dari pembawaan, gestur, serta bahasa yang membangkitkan gairah
komunikan. Dan logos yang terlihat dari kekuatan beliau dalam menggunakan kisah-kisah
umat terdahulu dalam menganalogikan sebuah pesan dan hikmah bagi mad’u.

Pendahuluan
Komunikasi di era ini bukanlah suatu hal yang dianggap remeh dan dinomer sekiankan.
Komunikasi dalam era modern telah menjadi bagian yang dianggap urgen untuk dipelajari
dan diteliti. Selain perkembangan dari sisi kegiatan komunikasi baik berupa media ataupun
alat, saat ini komunikasi pula telah menjadi bagian dari disiplin ilmu pengetahuan. Hal
tersebut merupakan bukti konkret bahwasanya komunikasi bukan lagi hal yang dinomer
duakan atau diakhirkan. Terlihat dari banyaknya perguruan-perguruan tinggi yang kini
mejadikan ilmu komunikasi sebagai bagian yang berdiri sendiri dalam bentuk jurusan,
fakultas atau departemen, bahkan telah banyak berdiri sekolah tinggi, institut atau
semacamnya yang khusus menyiapkan program ilmu komunikasi semata.
Melihat komunikasi telah menjadi bagian dari tubuh disiplin ilmu, maka jelas pula
bahwa kegiatan komunikasi bukanlah hal yang kecil dan mudah. Terlebih lagi kegiatan
komunikasi ini telah kita lakukan dalam sepanjanh usia kita. Akan tetapi, jikalau tiap individu
memahami tujuan dari komunikasi untuk mendapatkan komunikasi yang efektif, dalam artian
seorang komunikator mendapatkan efek dari komunikannya, maka seseorang akan berpikir
dua kali untuk mengatakan bahwa komunikasi adalah yang remeh. Banyak dari individu
merasakan kesulitan dalam menyusun kalimat agar apa yang ia maksud dipahami dengan
makna yang sama oleh komunikannya. Terlebih lagi jika dalam kegiatan komunikasinya
berhadapan dengan komunikator yang banyak dan beraneka ragam latar belakangnya.
Setidaknya komunikasi yang dilemparkan oleh seorang komunikator kepada para
komunikannya menghasilkan efek-efek perubahan (feedback) baik pengetahuan, sikap,
ataupun perilaku. Boleh jadi feedback itu bersifat langsung ataupun tidak langsung.1
Lebih khusus lagi kegiatan dakwah yang juga masuk dalam pembahasan ilmu
komunikasi. Dakwah sebagai kegiatan untuk mengkomunikasikan kebenaran ilahiah yang
diyakini oleh seorang da’i kepada pihak lain. Komunikasi tersebut dilakukan sebagai upaya
mempengaruhi orang lain agar mereka bersikap dan bertingkah laku Islami. Sebagaimana
halnya komunikasi, kegiatan dakwah juga mengharapkan hasil dakwah yang efektif. Dimana
target dakwah (mad’u) dapat terpengaruhi dan berubah ke arah yang lebih baik sesuai nilai-
nilai dakwah yang disampaikan.2
Dakwah sendiri dalam agama Islam merupakan bagian yang sangat vital. Bahkan
dakwah adalah sumber kehidupan bagi setiap agama, yang mana sebuah agama tidak akan
berdiri dan tersebar tanpa ada kegiatan dakwah di dalamnya. 3 Pentingnya dakwah Islam
dalam kehidupan masyarakat muslim juga terlihat dalam salah satu definisinya yang
digambarkan sebagai pemegang peran dalam usaha merealisasikan hakikat keberadaan
seorang manusia di dunia, yaitu agar menjadikan Islam sebagai ajaran dan pandangan hidup.4
Lebih jauh lagi, dakwah dalam sudut pandang sosial memiliki peran dalam fungsi untuk
melakukan perubahan masyarakat. Realitas sosial yang selalu membutuhkan tuntunan
spiritual yang bersumber dari Tuhan (Allah) menjadikan dakwah sebagai alat untuk
melakukan pengendalian dan perbaikan karakter masyarakat. Sehingga segala bentuk
1
Zikri Fachrul Nurhadi and Achmad Wildan Kurniawan, “Kajian Tentang Efektivitas Pesan Dalam
Komunikasi,” Jurnal Komunikasi Hasil Pemikiran Dan Penelitian 3, no. 1 (2017): 91.
2
Muqsi, “Hubungan Dakwah Dan Komunikasi,” Jurnal Peurawi 1, no. 1 (2018): 5.
3
Ramaḍān Muhammad Maṭārid, Mahrūs Muhammad Bisyūnī, and Nabīl Muhammad Darwīsh, Uṣul Al-
Da’wah Wa Manāhijuhā: Dirāsah Ta’ṣīliyyah Tahlīliyyah (Qatar: Qatar University, 2019), 14,
doi:http://hdl.handle.net/10576/4216.
4
Mubasyaroh Mubasyaroh, “Strategi Dakwah Persuasif Dalam Mengubah Perilaku Masyarakat,” Ilmu Dakwah:
Academic Journal for Homiletic Studies 11, no. 2 (2017): 312, doi:10.15575/idajhs.v11i2.2398.
perilaku masyarakat yang condong kepada pelanggaran norma dan etika yang berlaku dapat
diperbaiki melalui kegiatan dakwah.5
Besarnya hajat Islam dan kaum muslimin kepada dakwah ini menuntut besar akan
terwujudnya efektifitas dan keberhasilan dari setiap kegiatan dakwah. Keberhasilan kegiatan
dakwah tersebut dapat tertopang dengan profesionalitas dan kredibilitas dari seorang pelaku
dakwah (da’i), baik berupa individu ataupun kelompok pegiat dakwah.
Penelitan terdahulu yang penulis anggap sebagai salah satu acuan dari penelitian ini
adalah penelitian oleh Ali Fikri (2020) yang berjudul “Representasi Konsep Retorika
Persuasif Aristoteles dalam Pidato Ismail Haniyah untuk Umat Islam Indonesia” dengan
temuan 19 data yang berkaitan dengan retorika persuasive dalam pidato Ismail Haniyah untuk
umat Islam Indoensia. Dari seluruh data, 6 diantaranya berkaitan dengan jenis retorika
persuasive yang mencakup keseluruhan jenis. Sedangkan 13 sisanya berkaitan dengan konsep
Five Canon of Rethoric berdasarkan perspektif Aristoteles.6
Kedua, penelitian Rifqi Nadhmy Dhia, Jasmine Alya Pramesthi, dan Irwansyah (2021)
yang berjudul “Analisis Retorika Aristoteles pada Kajian Ilmiah Media Sosial dalam
Mempersuasi Publik”. Penelitian ini mengungkap bahwa ada dua konsep lain mengenai teori
retorika Aristoteles dalam penelitian ini, yaitu Five Canon of Rethoric ketika pembicara
menyampaikan pesan. Peneliti menyarankan penelitian selanjutnya untuk menggali konsep
retorika inartistik bukti yang berada di luar unsur retorika yang dibawa oleh pembicara,
sehingga kajian dapat dibahas lebih komprehensif.7 Ketiga, penelitian Azis Muslim (2022)
dengan judul “Retorika Dakwah Ustaz Adi Hidayat di Channel Youtube Adi Hidayat
Official: Analisis Teori Retorika Aristoteles”.8

Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Mulyana dan Solatun dalam Lauape dan
Dida (2017) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penelitian yang bersifat
interpretative (menggunakan penafsiran) yang melibatkan banyak metode dalam menelaah
masalah penelitiannya. Penelitian kualitatif digunakan ketika temuan masalah yang kompleks
perlu didalami untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam dan terperinci.

5
Irzum Farihah, “Strategi Dakwah Di Tengah Konflik Masyarakat,” Addin 8, no. 2 (2014): 297.
6
Ali Fikry, “Representasi Konsep Retorika Persuasif Aristoteles Dalam Pidato Ismail Haniyah Untuk Umat Islam
Indonesia,” Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Humaniora 5, no. 3 (2020): 137–45.
7
Rifqi Nadhmy Dhia, Jasmine Alya Pramesthi, and Irwansyah, “Analisis Retorika Aristoteles Pada Kajian Ilmiah
Media Sosial Dalam Mempersuasi Publik,” Linimasa: Jurnal Ilmu Komunikasi 4, no. 1 (2021): 2021.
8
Aziz Muslim, “Retorika Dakwah Ustaz Adi Hidayat Di Channel Youtube Adi Hidayat Official: Analisis Teori
Retorika Aristoteles,” Journal of Islamic Social and Communication 1, no. 2 (2022): 135–45.
Penelitian kualitatif sangat bergantung pada kemampuan peneliti dalam melakukan
identifikasi, maping, analisis, dan mendeskripsikan objek penelitian. Di antara usaha dalam
melakukan eksplorasi tersebut adalah dengan menarik beberapa kesimpulan konspetual atau
teoritis dari pemaknaan objek yang dikaji.9

Subjek yang dianalisa adalah Ustadz Fadlan Fahamsyah yang merupakan seorang da’I di
kota Surabaya. Teori yang digunakan dalam analisis data adalah teori retorika Aristoteles.
Dengan teori ini penulis menguraikan hasil Analisa berdasarkan unsur dari dimensi retorika
Aristoteles yaotu ethos, pathos, dan logos. Sedangkan sumber data dari penelitian ini adalah
hasil-hasil penelitan ilmiah yang dikumpulkan dari sumber online seperti Google Scholar.
Untuk melengkai sumber data dari subjek penelitan, penulis juga melakukan analisis dari
video-video pengajian Islam dari Ustadz Fadlan Fahamsyah dan juga melakukan wawancara
eksklusif dengan beliau.

Hasil dan Diskusi Teori


Pengertian Psikologi Komunikasi
Psikologi merupakan bagian dari ilmu yang tidak pernah habis untuk
diperbincangkan, karena psikologi mengkaji aspek kejiwaan manusia. Psikologi menurut
bahasa berasal dari kata Yunani, yang terdiri dari dua kata, psyche (jiwa) dan logos (ilmu).
Jadi, psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang tingkah laku dan kehidupan psikis
(kejiwaan) manusia. Namun, pengertian ilmu jiwa itu sendiri masih dianggap kabur dan
belum jelas. Menurut Sarlito Wirawan tidak seorang pun yang tahu apa sesungguhnya yang
dimaksud dengan jiwa itu sendiri, karena jiwa adalah suatu kekuatan yang abstrak yang tidak
tampak oleh panca indera wujud dan zatnya, melainkan yang tampak hanya gejala-
gejalanya.10
Berkaitan dengan argumentasi Wirawan tersebut, setelah beberapa dasawarsa istilah
jiwa sudah jarang dipakai dan diganti dengan istilah psikis. Beberapa ahli mempelajari jiwa
atau psikis manusia dari gejala-gejala yang diakibatkan oleh keberadaan psikis tersebut.
Menurut pandangan Dimyati manusia menghayati kehidupan kejiwaan berupa kegiatan
berfikir, berfantasi, sugesti, sedih dan senang, berkemauan dan sebagainya. Gejala jiwa pada
manusia dibedakan menjadi gejala pengenalan (kognisi), gejala perasaan (afeksi), gejala
kehendak (konasi), dan gejala campuran (psikomotorik). Gejala konasi merupakan suatu

9
Emanuel S.Leuape and Susanne Dida, “Dialektika Etnografi Komunikasi Emik-Etik Pada Kain Tenun,” Jurnal
Kajian Komunikasi 5, no. 2 (2017): 151, doi:https://doi.org/10.24198/jkk.v5i2.8637.
10
Silvia Riskha Fabriar, “Urgensi Psikologi Dalam Aktivitas Dakwah,” An-Nida : Jurnal Komunikasi Islam 11,
no. 2 (2019): 128, doi:10.34001/an.v11i2.1027.
proses upaya manusia dalam mengenal berbagai macam stimulus atau informasi yang masuk
ke dalam alat inderanya, menyimpan, menghubung-hubungkan, menganalisis, dan
memecahkan suatu masalah berdasarkan stimulus atau informasi tersebut. Termasuk dalam
gejala pengenalan adalah penginderaan dan persepsi, asosiasi, memori, berfikir, inteligensi.11
Disimpulkan oleh Muhibbin Syah bahwa psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang
mempelajari tingkah laku terbuka dan tertutup pada manusia baik selaku individu maupun
kelompok dalam hubungannya dengan lingkungan. Adapun psikologi menurut pandangan
Dakir yakni ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubunghan dengan
lingkungan.12
Dalam sejarah perkembangannya komunikasi memang dibesarkan oleh para pakar
psikologi. Menurut George A. Miller mengatakan psikologi komunikasi adalah ilmu yang
berusaha menguraikan meramalkan dan mengendalikan peristiwa mental dan perilaku dalam
komunikasi. Sedangkan menurut Jalaluddin Rakhmat, psikologi komunikasi adalah ilmu
yang mempelajari komunikasi dari aspek psikologi. Sejatinya, psikologi komunikasi adalah
ilmu yang mempelajari kesadaran dan pengalaman manusia.13
Menurut Dance Komunikasi dalam kerangka psikologi behaviorisme diartikan sebagai
usaha menimbulkan respons melalui lambanglambang verbal ketika lambang-lambang verbal
tersebut bertindak sebagai stimuli. Psikologi menyebut komunikasi merupakan proses
penyampaian energi dari alat-alat indera ke otak (adanya sensasi), pada peristiwa penerimaan
dan pengelolaan informasi, pada proses saling pengaruh di antara berbagai sistem dalam diri
organisme dan di antara organisme. Ruang lingkup psikologi komunikasi jugameliputi
komunikasi antara manusia yang diuraikan dalam sistem komunikasi interpersonal,
komunikasi kelompok, dan komunikasi massa.14
Psikologi dalam kaitannya dengan komunikasi sangatlah erat. Dengan psikologi
komunikasi ini seseorang bisa memahami perilaku manusia dalam proses komunikasi dengan
tujuan untuk mencapai komunikasi yang efektif. Adapun komunikasi yang efektif menurut
Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss menimbulkan lima hal:
1. Pengertian (Understanding)

11
Zidni Ilman Nafia and Khafidhoh, “Perubahan Gaya Dakwah Da’i Di Bulan Ramadhan Dalam Pandemi
Covid 19 (Perspektif Psikologi Da’i),” Journal of Communication Studies 1, no. 01 (2021): 36,
doi:10.37680/jcs.v1i01.710.
12
Firdausi Nuzula, “Psikologi Dan Komunikasi,” El-Hikam 8, no. 2 (2015): 404.
13
Nairatul Anisah et al., “Psikologi Komunikasi,” Jurnal Ilmu Komputer, Ekonomi Dan Manajemen (JIKEM) 2,
no. 1 (2022): 1706.
14
Rila Setyaningsih, Psikologi Komunikasi (Suatu Pengantar Dan Perspektif Islam), ed. Ahad Hidayatullah
Zaekasyi (Ponorogo: UNIDA Gontor Press, 2019), 23–24, https://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-
mfi-results.
2. Kesenangan (Happiness)
3. Mempengaruhi sikap (Influence/change attitude)
4. Hubungan sosial yang baik (Good social relationship)
5. Tindakan (Action)

Retorika Dai dalam Komuniksi Publik


1. Komunikasi Publik dan Dakwah
Secara etimologis, kata komunikasi berasal dari bahasa latin “comunicatio” yang
berarti “sama”, maksudnya orang yang menyampaikan dan yang menerima mempunyai
persepsi yang sama tentang apa yang disampaikan.15
Sedangkan secara terminologi, para pakar komunikasi antara lain: Onong Uchjana
Effendy, berpendapat bahwa komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh
komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Wilbur
Schramm, menjelaskan bahwa komunikasi adalah proses saling berbagi atau
menggunakan informasi secara bersama dan pertalian antara para peserta dalam proses
informasi. A.W. Widjaja, berpendapat bahwa Komunikasi adalah penyampaian informasi
dan pengertian dari seseorang kepada orang lain. Sementara Harold Lasswell, profesor di
bidang ilmu hukum pada Universitas Yale Amerika Serikat yang dikutip oleh Djamalul
Abidin Ass, dalam buku Komunikasi dan Bahasa Dakwah merumuskan bahwa
komunikasi itu merupakan jawaban terhadap who says what to whom in which channel to
whom with what effect (siapa berkata apa dalam media apa kepada siapa dengan dampak
apa). Jadi menurut Lasswell, ada lima unsur yang harus ada agar komunikasi berjalan
lancar, yakni: 1) Who (siapa); yang kemudian disebut komunikator atau sender (pengirim
komunikasi); 2) What (apa) yang kemudian disebut message atau pesan komunikasi. 3)
Whom (siapa) yang kemudian disebut komunikan atau receiver (khalayak); 4) Channel
(media apa) yang kemudian disebut sarana atau media- Effect (dampak komunikasi) yang
kemudian disebut dampak atau efek komunikasi yang diimplikasikan dalam umpan balik
(feed back).16
Terdapat beberapa tingkatan komunikasi. Musi, dkk (2020) menyebutkan tingkatan
komunikasi yaitu: komunikasi antarpribadi; komunikasi kelompok kecil; komunikasi
organisasi; komunikasi massa; komunikasi publik. Komunikasi publik adalah pertukaran
pesan dengan sejumlah orang yang berada dalam sebuah organisasi atau yang di luar
15
Anwar, “Penelusuran Epistimologi Ilmu Komunikasi Dan Ilmu Dakwah,” At-Tanzir: Jurnal Ilmiah Prodi
Komunikasi Dan Penyiaran Islam 10, no. 1 (2019): 6.
16
Ibid., 7.
organisasi, secara tatap muka atau melalui media. Heinrichs dan Peters mendefinisikan
komunikasi publik berdasarkan kontribusi terhadap tujuan perubahan yang diharapkan
yakni:
1. Proses komunikasi yang berlangsung di ruang publik
2. Komunikasi publik membantu menciptakan isu spesifik sesuai konteks budaya
3. Komunikasi publik memiliki hubungan dengan proses politik dalam pelaksanaan
kebijakan.17
Menurut Dennis Dijkzeul dan Markus Moke, komunikasi publik didefinisikan sebagai
kegiatan dan strategi komunikasi yang ditujukan kepada khalayak sasaran. Adapun tujuan
komunikasi publik adalah untuk menyediakan informasi kepada khalayak sasaran dan
untuk meningkatkan kepedualian dan mempengaruhi sikap atau perilaku khalayak sasaran.
Sementara itu, Judy Pearson dan Paul Nelson mendefinisikan komunikasi publik atau
public speaking sebagai proses menggunakan pesan untuk menimbulkan kesamaan makna
dalam sebuah situasi dimana seorang sumber mentransmisikan sebuah pesan ke sejumlah
penerima pesan yang memberikan umpan balik berupa pesan atau komunikasi non-verbal
dan terkadang berupa tanya jawab. Dalam komunikasi publik, sumber menyesuaikan
pesan yang dikirimkan kepada penerima pesan dalam rangka untuk mencapai pemahaman
yang maksimal. Terkadang, secara virtual penerima pesan dapat memahami pesan yang
disampaikan oleh sumber pesan atau bahkan tidak mengerti sama sekali.18
Berkaitan dengan konsep dakwah, eksistensi agama Islam yang hingga kini menjadi
salah satu agama yang terbesar di dunia tidak terlepas dari peran dakwah dalam prosesnya.
Dakwah merupakan asas dan pondasi dari tersebarnya Islam dan ajarannya, bahkan dapat
dikatakan menanggalkan dakwah dari Islam sama artinya menanggalkan Islam itu
sendiri.19 Ibnu Taimiyyah memberikan definisi mengenai dakwah yaitu segala usaha
berupa mengajak dan memerintahkan kepada apa yang Allah ta’ala perintahkan dan
melarang serta mencegah dari segala yang Allah larang.20 Definisi senada juga
diungkapkan oleh Muhammad Sayyid Malik, menurutnya dakwah adalah usaha untuk
mengumpulkan dan mengajak manusia menuju kebaikan dan membimbing mereka kepada

17
Cristian I. R Rengkung, Gustaaf B Tampi, and Very Y Londa, “Komunikasi Publik Pemerintah Kota Manado
Dalam Penanganan Covid-19,” Jurnal Administrasi Publik 7, no. 102 (2021): 29.
18
Wahyu Srisadono, “Komunikasi Publik Calon Gubernur Provinsi Jawa Barat 2018 Dalam Membangun
Personal Branding Menggunakan Twitter,” Jurnal Pustaka Komunikasi 1, no. 2 (2018): 214.
19
Maṭārid, Bisyūnī, and Darwīsh, Uṣul Al-Da’wah Wa Manāhijuhā: Dirāsah Ta’ṣīliyyah Tahlīliyyah, 13–14.
20
Kamal Muhammad Ubaid, “Al-Da’wah: Taṣḥīh Al-Mafhūm Wa Bayan Al-Ḥukm,” Dirasat Da’wiyyah 9
(2005): 6, http://hdl.handle.net/123456789/686.
petunjuk (hidayah) dengan menegakkan al-amru bi al-ma’rūf dan al-nahyu ‘an al-
munkar21.
Ali Mahfudz dalam kitabnya Hidāyah al-Murshidīn juga mendefinisikan dakwah
dengan ungkapannya22:
‫ واألمر بالمعروف والنهي عن المنكر ليفوزوا بسعادة العاجل واآلجل‬،‫حث الناس على الخير والهدى‬
“Mengajak manusia kepada kebaikan dan petunjuk (hidayah), serta menegakkan
amar ma’ruf dan nahi munkar untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat”.
Kemudian al-Bayānuniy juga memberikan pengertian yang dianggap lebih kompleks
dan mencakupi aspek yang lebih luas dari pada dakwah itu sendiri, yaitu23:
‫ وتطبيقه في واقع الحياة‬،‫ وتعليمهم إياهم‬،‫تبليغ اإلسالم للناس‬
“Menyampaikan dan mengajarkan Islam kepada manusia dan mempraktikkannya
dalam kehidupan”
Penulis berasumsi definisi dari al-Bayānuniy merupakan definisi yang paling
kompleks. Asusmsi tersebut juga berkorelasi dengan apa yang dijelaskan oleh Ali
Mahfudz dalam definisi dakwahnya. Dakwah bukan hanya sekedar mengajak kepada jalan
kebaikan atau hidayah, namun kegiatan dakwah yang dilakukan oleh seorang da’I
merupakan ajakan yang berorientasi kepada amal dari nilai pesan dakwah itu sendiri.
Kemudian dengan pengamalan nilai yang terkandung dalam pesan dakwah tersebutlah
seorang da’I dan mad’unya dapat meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Pandangan ini
juga didukung oleh definisi dakwah yang ditawarkan oleh Dermawan bahwa setiap upaya
mengajak atau menyeru manusia baik secara individu ataupun kelompok untuk dapat
mengenal Islam, memahaminya, dan mengamalkan ajarannya secara konsisten serta
bertanggung jawab merupakan inti dari makna dakwah itu sendiri.24
Lebih dalam lagi, Muh. Ali Aziz memberikan perincian mengenai definisi dakwah,
yaitu dakwah sebagai kegiatan dan dakwah sebagai proses. Dakwah sebagai kegiatan
cenderung bermakna sesuatu yang mengarah pada pelaksanan semata, namun dakwah
sebagai proses lebih mementingkan hasil maksimal atau hasil akhir dari dakwah itu
sendiri. Sehingga dalam proses dakwah, kegiatannya tidak terhenti hingga tujuan dakwah
telah tercapai. Proses yang dimaksud yaitu proses peningkatan iman dalam diri manusia

21
Jamil Hashim and Masitoh Ahmad, “Mafhūm Al-Da’wah Wa Farīḍatuhā,” GJAT: Global Journal Al
Thaqafah 2, no. 1 (2012): 85, doi:10.7187/GJAT162012.02.01.
22
Ali Mahfudz, Hidāyah Al-Murshidīn Ilā Ṭuruq Al-Wa’dzi Wa Al-Khiṭābah (Kairo: Dār al-I’tiṣam, 1979), 17.
23
Muhammad Al-Fath Al-Bayānūniy, Al-Madkhal Ilā ‘Ilm Al-Da’Wah (Beirut: Muassasah Al-Risalah, 1995),
17.
24
Safrodin, “Religious Freedom in the Context of Islamic Da ’ Wa,” Jurnal Ilmu Dakwah 42, no. 1 (2022): 148,
doi:10.21580/jid.v42.1.11860.
sesuai dengan syari’at Islam. Proses ini menunjukkan kegiatan yang terus-menerus,
berkesinambungan, dan bertahap.25
Dakwah sebagai sebuah proses transformasi kepada kebaikan ditentukan oleh
berbagai elemen yang terkait dengan unsur-unsur dalam proses dakwah itu sendiri. Unsur
dakwah tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Menghilangkan
salah satunya bermakna menanggalkan semua unsur dari dakwah tersebut, diantara unsur-
unsur dakwah ialah:
1) Subjek Dakwah
Subjek dakwah yang dimakasud ialah pelaku aktivitas dakwah. Maksudnya,
seorang da’I hendaknya mengikuti cara-cara yang telah ditempuh Rasulullah dalam
aktivitas dakwahnya, sehingga hasil yang diperoleh pun bisa mendekati kesuksesan
seperti yang pernah diraih oleh Rasulullah ṣallallah ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu,
M. Natsir berpendapat bahwa kepribadian dan akhlak seorang da’i merupakan salah
satu penentu keberhasilan seorang da’i26.
2) Materi Dakwah
Materi dakwah merupakan unsur penting dalam pelaksanaan dakwah, karena
materi yang akan disampaikan da’I kepada mad’unya. Dalam hal ini yang menjadi
materi dakwah merupakan ajaran Islam itu sendiri. Jadi semua ajaran Islam bisa
dijadikan materi dakwah, diantaranya yang meliputi aqidah, syari’ah, dan akhlak.27
3) Metode Dakwah
Metode dakwah merupakan suatu cara dalam melaksanakan dakwah agar
mencapai tujuan dakwah secara efektif dan efisien. Secara teoritis juga al-Qur’an telah
menawarkan dan mengatur metode dakwah yang tepat guna dalam menegakkan
dakwah, yaitu dengan cara hikmah, al-mau’idzah al-hasanah, dan al-mujādalah. Ketiga
metode ini merupakan proses dakwah yang dapat diterapkan secara objektif
proporsional dari seorang da’I kepada mad’u yang dihadapinya.28
4) Tujuan Dakwah

25
Muh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, 6th ed. (Jakarta: Kencana, 2017), 16–17.
26
Nurwahidah Alimuddin, “Konsep Dakwah Dalam Islam,” Hunafa Studia Islamika 4, no. 1 (2007): 76,
doi:https://doi.org/10.24239/jsi.v4i1.195.73-78.
27
Novri Hardian, “Dakwah Dalam Perspektif Al-Qur’an Dan Hadits,” Al-Hikmah: Jurnal Dakwah Dan Ilmu
Komunikasi, 2018, 48, doi:10.15548/al-hikmah.v0i0.92.
28
Aliyudin, “Prinsip-Prinsip Metode Dakwah Menurut Al-Qur’an,” Jurnal Ilmu Dakwah 4, no. 15 (2010): 1011,
doi:https://doi.org/10.15575/idajhs.v5i15.431.
Secara umum tujuan dakwah adalah mendatangkan kebahagiaan dan
kesejahteraan yang diridai oleh Allah ta’ala.29 Namun M. Natsir merumuskan tujuan
dakwah setidaknya menjadi tiga tujuan utama, yiatu: pertama, memanggil manusia
kembali kepada syari’at atau hukum-hukum agama agar dapat mengatur dirinya sesuai
dengan agama. Kedua, mempertegas fungsi hidup menusia sebagai hamba Allah di
muka bumi. Ketiga, memanggil manusia untuk kembali kepada tujuan hidup yaitu
mencari keridhaan Allah.30
Bersandarkan pada konsep komunikasi publik dakwah tersebut, maka dalam hal
ini kegiatan dakwah yang dilakukan oleh seorang da’I dapat digolongkan sebagai
kegiatan komunikasi publik.

2. Posisi Dai dalam Komunikasi Publik


Untuk mengetahui bagaimana posisi da’i dalam komunikasi publik, maka perlu
diketahui dahulu unsur-unsur yang menyusun komunikasi publik itu sendiri, diantara
unsur-unsur dari komunikasi itu sendiri ialah:
1) Sumber (Source)
Semua peristiwa komunikasi akan melibatkan sumber sebagai pembuat atau pengirim
informasi. Dalam komunikasi antarmanusia, sumber bisa terdiri dari satu orang, tetapi bisa
juga dalam bentuk kelompok misalnya partai, organisasi atau lembaga. Sumber sering juga
disebut pengirim, komunikator atau dalam bahasa Inggrisnya disebut source, sender atau
encode.
2) Pesan (Message)
Pesan yang dimaksud dalam proses komunikasi adalah sesuatu yang disampaikan
pengirim kepada penerima. Pesan dapat disampaikan dengan cara tatap muka atau melalui
media komunikasi. Isinya bisa berupa ilmu pengetahuan, hiburan, informasi, nasihat atau
propaganda. Dalam bahasa Inggris pesan biasanya diterjemahkan dengan kata message,
content atau information.
3) Media (Channel)
Media yang dimaksud di sini adalah alat yang digunakan untuk memindahkan pesan dari
sumber kepada penerima. Terdapat beberapa pendapat mengenai saluran atau media. Ada
yang menilai bahwa media bisa bermacammacam bentuknya, misalnya dalam komunikasi
29
Eri bin Sanusi Satria and Roslan Mohamed, “Analisis Terhadap Peranan Nasyid Dalam Dakwah,” Jurnal
Ilmiah Islam Futura 16, no. 2 (2017): 231, doi:10.22373/jiif.v16i2.1329.
30
Mubasyaroh, “M. Natsir Dan Pandangannya Tentang Dakwah Dalam Buku Fiqhud Dakwah,” At-Tabsyir 1,
no. 2 (2013): 155.
antarpribadi pancaindera dianggap sebagai media komunikasi. Dalam komunikasi massa,
media adalah alat yang dapat menghubungkan antara sumber dan penerima yang sifatnya
terbuka, dimana setiap orang dapat melihat, membaca dan mendengarnya. Media dalam
komunikasi massa dapat dibedakan kedalam dua kategori, yakni media cetak dan media
elektronik. Media cetak seperti halnya surat kabar, majalah, buku, leaflet, brosur, stiker,
buletin, hand out, poster, spanduk, dan sebagainya. Sedangkan media elektronik antara
lain: radio, film, televisi, video recording, komputer, electronic board, audio cassette dan
sebagainya.
4) Penerima (Receiver)
Penerima adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber. Penerima
bisa saja satu orang atau lebih, bisa dalam bentuk kelompok, partai atau negara. Penerima
biasa disebut dengan berbagai macam istilah, seperti khalayak, sasaran, komunikan, atau
dalam bahasa Inggrisnya disebut audience atau receiver. Dalam proses komunikasi telah
dipahami bahwa keberadaan penerima adalah akibat karena adanya sumber. Tidak ada
penerima jika tidak ada sumber. Penerima adalah elemen penting dalam proses
komunikasi, karena dialah yang menjadi sasaran dari komunikasi. Jika suatu pesan tidak
diterima oleh penerima, akan menimbulkan berbagai macam masalah yang seringkali
menuntut perubahan, apakah pada sumber, pesan atau saluran.
5) Efek
Pengaruh atau efek adalah perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan
oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan. Pengaruh ini bisa terjadi pada
pengetahuan, sikap dan tingkah laku seseorang, karena pengaruh juga bisa diartikan
perubahan atau penguatan keyakinan pada pengetahuan, sikap dan tindakan seseorang
sebagai akibat penerimaan pesan.
6) Umpan Balik
Ada yang beranggapan bahwa umpan balik sebenarnya adalah salah satu bentuk daripada
pengaruh yang berasal dari penerima. Akan tetapi, sebenarnya umpan balik bisa juga
berasal dari unsur lain seperti pesan dan media, meski pesan belum sampai pada penerima.
Misalnya, sebuah konsep surat yang memerlukan perubahan sebelum dikirim, atau alat
yang digunakan untuk menyampaikan pesan itu mengalami gangguan sebelum ke tujuan.
Hal-hal seperti ini menjadi tanggapan balik yang diterima oleh sumber.
7) Lingkungan
Lingkungan atau situasi adalah faktor-faktor tertentu yang dapat mempengaruhi jalannya
komunikasi. Faktor ini dapat digolongkan atas empat macam, yakni lingkungan fisik,
lingkungan sosial budaya, lingkungan psikologis, dan dimensi waktu.31
Berdasarkan unsur-unsur dari komunikasi tersebut. Jikalau dipadankan dengan yang
tertera pada unsur-unsur dakwah, maka dapat ditarik benang merah bahwa posisi da’I
dalam komunikasi publik adalah sebagai sumber (source) komunikasi itu sendiri atau
disebut sebagai komunikator.

3. Seputar Teori Retorika


a. Pengertian dan Sejarahnya
Kemampuan berbicara merupakan kemampuan berkomunikasi yang sangat mendasar
yang dimiliki oleh manusia. Sejak lahir manusia sudah berkomunikasi dengan cara
menangis saat bayi, selanjutnya kemampuan berkomunikasinya semakin meningkat
seiring dengan waktu. Sebagian besar komunikasi yang dilakukan oleh manusia berupa
komunikasi secara lisan, salah satunya dengan retorika. Retorika berasal dari bahasa
Inggris “rhetoric” dan bersumber dari bahasa Latin “rhetorica” yang berarti ilmu
berbicara. Retorika sebagai ilmu memiliki sifat-sifat rasional, empiris, umum, dan
akumulatif. Rasional berarti apa yang disampaikan oleh seorang pembicara harus tersusun
secara sistematis dan logis. Empiris berarti menyajikan fakta-fakta yang dapat diverifikasi
oleh panca indera. Umum artinya kebenaran yang disampaikan tidak bersifat rahasia dan
tidak dirahasikan karena memiliki nilai sosial. Akumulatif merupakan ilmu yang
mengatakan retorika sebagai public speaking atau berbicara di depan umum. Pengertian
retorika juga dapat dilihat secara sempit dan secara luas. Secara sempit retorika hanya
meliputi seni berbicara, sedangkan secara luas retorika mengenai penggunaan bahasa, baik
lisan maupun tulisan. Pengertian yang umum diketahui di masyarakat adalah pengertian
retorika secara sempit, dimana retorika hanya meliputi seni berbicara.32
Komunikasi adalah topik yang telah menjadi perhatian banyak orang, bahkan sejak
awal-awal peradaban manusia. Jejak-jejak tertulis tentang komunikasi dapat ditemukan
pada sebagian besar peradaban-peradaban kuno di seluruh dunia. Namun demikian,
wacana paling lengkap tentang komunikasi berasal dari peradaban Yunani Kuno. Pada
saat itu di Yunani, retorika atau seni persuasi, merupakan bagian penting dari setiap
31
Fenny Oktavia, “Upaya Komunikasi Interpersonal Kepala Desa Dalam Memediasi Kepentingan PT. Bukit
Borneo Sejahtera Dengan Masyarakat Desa Long Lunuk,” Ilmu Komunikasi 4, no. 1 (2016): 241–43.
32
Dhanik Sulistyarini and Anna Gustiana Zainal, Buku Ajar Retorika, ed. Khaerul Ikhwan, CV. AA. Rizky, vol.
51 (Banten: CV. AA. Rizky, 2018), 2.
diskusi tentang bagaimana menjadi warga negara yang efektif dalam masyarat demokratis.
Dengan demikian, komunikasi memainkan peran penting dalam masyarakat demokratis.
Tema-tema tulisan mengenai komunikasi di zaman Yunani memang cenderung fokus pada
bagaimana menjadi komunikator yang lebih efektif atau pada bagaimana peran
komunikasi dalam masyarakat.33
Benar memang bahwa retorika sudah ada sejak manusia lahir. Namun, sebagai seni
yang dipelajari dimulai abad 5 sebelum Masehi (SM) ketika kaum sofis di Yunani
mengembara dari satu tempat ke tempat lain untuk mengajarkan pengetahuan tentang
politik dan pemerintahan dengan penekanan terutama pada kemampuan berpidato.
Pemerintah perlu usaha membujuk rakyat demi kemenangan dalam pemilihan.
Berkembanglah seni pidato yang membenarkan pemutarbalikan kenyataan demi
tercapainya tujuan. Khalayak bisa tertarik dan terbujuk. Retorika dipelajari, diawali, dan
dilaksanakan di negara-negara yang menganut demokrasi langsung, yakni Yunani dan
Romawi. Pada waktu itu, retorika memiliki beberapa fungsi, yakni untuk mencapai
kebenaran/kemenangan bagi seseorang atau golongan dalam masyarakat; untuk meraih
kekuasaan, yakni mencapai kemenangan seseorang atau kelompok dengan pemeo ‘siapa
yang menang dialah yang berkuasa’; sebagai alat persuasi yang digunakan untuk
mempengaruhi manusia lainnya.34
Retorika sendiri terbagi dalam beberapa periode, yaitu klasik, pertengahan,
Renaissance, pencerahan, kontemporer, dan post-modern. Retorika abad ke 5
sebagaiamana yang telah disebutkan itulah yang menjadi mula dari munculnya tradisi ini
dalam ilmu komunikasi. Retotika pada era tersebut didominasi oleh usaha-usaha
mendefinisikan dan menyusun peraaturan dari seni retorika. guru - guru pengembara
disebut sophist mengajarkan seni berdebat di kedua sisi pada sebuah kasus instruksi
retorika paling awal di Yunani. Plato tidak menyukai pendekatan relativistik Sophist
terhadap pengetahuan yang meyakini adanya kemungkinan ideal atau kebenarann absolut.
dialog- dialog plato tentang retorika telah menyelamatkan sebagian besar bidang retorika
dari nama buruk. Aristoteles, murid Plato, mengambil pendekatan yang lebih pragmatis
lagi terhadap seni, mengaturnya dalam buku catatan kuliahnya yang telah disusun menjadi
apa yang kita kenal sebagai Rhetorika.Tulisan tentang retorika orang Yunani telah disaring
dan di perinci oleh orang romawi, termasuk Isocrates, Quintilian, dan Cicero.35

33
Salim Alatas, “Evolusi Kajian Komunikasi (Studi Terhadap Perkembangan Kajian Komunikasi),” Jurnal
Communication 5, no. 1 (2014): 3.
34
Rajiyem, “Sejarah Dan Perkembangan Retorika,” Humaniora 17, no. 2 (2005): 144.
Aristoteles dengan tegas mengatakan bahwa retorika adalah ilmu tersendiri yang
memiliki kedudukan yang sejajar dengan ilmu lain. Sebagai sebuah ilmu, retorika pun
menampilkan kebenaran dengan menata tutur secara efektif dan etis, bukan bombastis dan
kosong tanpa isi. Selanjutnya Aristoteles menegaskan bahwa retorika tidak boleh
dimasukkan ke dalam jenis ilmu yang lain, atau dianggap sebagai bagian dari ilmu lain,
jutru ilmu itulah yang memanfaatkan retorika, terutama ketika ilmu lain itu
mendeskripsikan hasil-hasil temuannya, demikian penegasan Aristoteles. Ajaran
Aristoteles tetap dipertahankan sampai masa keruntuhan kerajaan Yunani dan Romawi.
Ahli-ahli retorika sampai awal abad ke-20 telah mampu menempatkan ajaran retorika
Aristoteles sebagai tradisi studi retorika. Inilah akhirnya yang dikenal sebagai retorika
tradisional.36
Sebuah perdebatan besar terjadi antara Plato dan muridnya, Aristoteles, mengenai
retorika. Plato berpendapat bahwa retorika itu penting untuk mencapai keindahan dan
untuk tujuan hiburan, namun penggunanya harus diabaikan dalam masyarakat karena
retorika dapat menyebabkan orang menjauh dari apa yang benar dan menyebabkan mereka
untuk membuat keputusan yang buruk. Plato lebih menyukai metode filosofis yang disebut
dialektika, dimana individu dengan seksama mencari kebenaran baru berdasarkan apa
yang sudah diketahui. Sementara sang murid, Aristoteles, disisi lain berpendapat bawa
retorika adalah hal yang penting untuk membantu mereka dalam masyarakat membuat
kemungkinan kebenaran dari apa yang diketahui atau dapat disimpulkan. Retorika, dalam
pandangan Aristoteles, penting bagi substansi dalam komunikasi serta untuk gaya (style)
bagi komunikator.37
Untuk menggambarkan bagaimana gambaran umum mengenai teori retorika, maka
sebuah ilustrasi berikut bisa menjadi gambaran. Ketika seseorang pergi dengan kendaraan
roda duanya menuju ke sebuah bank untuk mengurus beberapa keperluan, tiba-tiba datang
seseorang berpakaian coklat, rapi, dan membawa peluit yang secara tiba-tiba
menghentikan ia. Dari penampilan orang tersebut kita pasti dengan spontan mengira orang
tersebut adalah seorang polisi.
Berdasarkan ilustrasi tersebut, dapat dipahami bahwa ketika kita sebagai seorang
komunikator dalam berkomunikasi dengan komunikan yang berpengaruh tidak hanya apa
yang ia katakan, tetapi juga memerlukan “penampilan” yang meyakinkan. He doesn’t
35
Kinkin Yuliaty Subarsa Putri, Teori Komunikasi, ed. Dewi Angraeni (Jakarta: Nerbitinbuku.com, 2017), 148,
https://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-mfi-results.
36
Sulistyarini and Zainal, Buku Ajar Retorika, 51:4.
37
Alatas, “Evolusi Kajian Komunikasi (Studi Terhadap Perkembangan Kajian Komunikasi),” 4.
communicate what he says, he communicates what he is. Ia tidak dapat menyuruh,
pendengar hanya memperhatikan apa yang ia katakan. Pendengar juga akan
memperhatikan siapa yang mengatakan atau menyampaikan semua pesan-pesan tersebut.
Dalam teori retorika, unsur siapa yang berbicara lebih penting dari apa yang dibicarakan.
Pesan merupakan salah satu unsur yang penting dalam berkomunikasi, sehingga makna
dari pesan itu sendiri memperlancar interaksi sosial antar manusia. Sementara tujuan dari
komunikasi akan tercapai bila makna pesan yang disampaikan komunikator sama dengan
makna yang diterima komunikan. Maka untuk mencapai tujuan itu, pesan yang
disampaikan biasanya diungkapkan melalui bahasa.38

b. Tokoh Teori Retorika


1) Georgias dan Protagoras (Koum Sofisme)
Georgias (dari kaum sofisme). Dia yang mengatakan bahwa kebenaran suatu
pendapat hanya dapat dibuktikan jika tercapai kemenangan dalam pembicaraan.
Georgias ini merupakan guru retorika yang pertama. Ia membuka sekolah retorika
yang mengajarkan dimensi bahasa yang puitis dan teknik berbicara impromptu
(berbicara tanpa persiapan). Ia meminta bayaran mahal, sekitar 10.000 dollar per
mahasiswa. Georgias bersama Protagoras menjadi ‘dosen terbang’ yang mengajar
berpindah dari satu kota ke kota lain (Rakhmat, 1994:4). Sekolah tersebut dibuka
dalam rangka memenuhi ‘pasar’ akan kemampuan berpikir yang jernih dan logis
serta berbicara yang jelas dan persuasive. Protagoras, Dia menyatakan bahwa
kemahiran berbicara bukan untuk kemenangan melainkan demi keindahan
bahasa.39
2) Sokrates
Sokrates menyatakan bahwa retorika adalah demi kebenaran. Dialog adalah
tekniknya, karena dengan dialog kebenaran akan timbul dengan sendirinya.
Teknik dialog Sokrates mengikuti jalan deduksi, yaitu menarik kesimpulan-
kesimpulan untuk hal-hal yang khusus setelah menyelidiki hal-hal yang berlaku
pada umumnya.40
3) Isokrates dan Plato

38
Setyaningsih, Psikologi Komunikasi (Suatu Pengantar Dan Perspektif Islam), 200.
39
Rajiyem, “Sejarah Dan Perkembangan Retorika,” 144.
40
Ibid.
Kedua-duanya dipengaruhi Georgias dan Socrates. Mereka ini berpendapat
bahwa retorika berperan penting bagi persiapan seseorang untuk menjadi
pemimpin.41 Namun Plato mengecam retorika sofis sebagai suatu upaya
manipulasi opini publik dan mengabaikan kaidah-kaidah pencapaian kebenaran.
Retorika sofis tidak menjadikan kebenaran sebagai sarana untuk membentuk opini
public melainkan mereduksinya sekedar kecakapan bahasa untuk memenangkan
tujuan politik.42
4) Aristoteles
Aristoteles mengatakan bahwa retorika sebagai filsafat, sedang tokoh yang lain
menekankan sebagai seni. Menurut Aristoteles, tujuan retorika adalah
membuktikan maksud pembicaraan atau menampakkan pembuktian. Ini terdapat
pada logika. Keindahan bahasa hanya digunakan untuk membenarkan,
memerintah, mendorong, dan mempertahankan sesuatu.43

c. Asumsi Teori Retorika


Teori Aristoteles mengenai retorika dipandu oleh dua asumsi dasar, yaitu:
1) Pembicara publik yang efektif harus mempertimbangkan audiens mereka dan
pembicara publik yang efektif menggunakan sejumlah bukti dalam presentasi
mereka. Dalam konteks berbicara di depan umum, Aristoteles menyarankan bahwa
hubungan antara pembicara dengan audiens harus diakui. Bukti inartistik atau
eksternal adalah yang tidak dibuat oleh pembicara. Mereka akan menyertakan
kesaksian saksi atau dokumen yang ada. Dimana bukti-bukti adalah mereka yang
"sudah ada sebelumnya" karena mereka ada di luar konstruksi retor individu.
Sebagai pembicara, dengan kata lain, telah ditemukan bukti artistik sementara
bukti inartistik ada di luar upaya penemuan. Dengan cara ini, bukti inartistik tidak
begitu banyak kondisi sebelumnya di mana retorika harus menavigasi upaya
persuasif mereka karena mereka adalah bahan yang dapat dipilih dalam konstruksi
kasus
2) Asumsi kedua yang mendasari teori Aristoteles berkaitan dengan pertimbangan
tiga bukti retoris: logika (logos), emosi (pathos) dan etika atau kredibilitas (ethos).

41
Suprapto, Rio Kurniawan, and Helfiana Sihaloho, “Metode Sugestopedia Sebagai Alternatif Pembelajaran
Retorika Di Perguruan Tinggi,” in Prosiding Seminar Daring Nasional: Pengembangan Kurikulum Merdeka
Belajar Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia., 2020, 170.
42
Kamaruddin Hasan, “Retorika Dan Politik,” in Handout Komunikasi Politik, 2016, 1.
43
Rajiyem, “Sejarah Dan Perkembangan Retorika,” 145.
Berdasarkan hal ini pembicara yang efektif menggunakan beberapa bukti dalam
presentasi mereka. Bukti yang dimaksud mengacu pada cara persuasi: ethos,
pathos, dan logos.44

d. Dimensi Teori Retorika


Jalaludin Rakhmat dalam bukunya Psikologi Komunikasi menuturkan:
“Lebih dari 2000 tahun lalu Aristoteles menulis: Persuasi tercapai karena
karakteristik personal pembicara, yang ketika ia menyampaikan pembicaraannya kita
menganggapnya dapat dipercaya. Kita lebih penuh dan lebih cepat percaya pada
orang-orang baik daripada orang lain: Ini berlaku umumnya pada masalah apa saja
dan secara mutlak berlaku ketika tidak mungkin ada kepastian dan pendapat terbagi.
Tidak benar, anggapan sementara penulis retorika bahwa kebaikan personal yang
diungkapkan pembicara tidak berpengaruh apa-apa pada kekuatan persuasinya;
sebaliknya karakternya hampir bisa disebut sebagai alat yang palng efektif yang
dimiliknya”45
Aristoteles banyak belajar dari Plato. Aristoteles menulis buku sebagai pegangan
dalam ilmu retorika yang berjudul De Arte Rhetorica, yang terdiri dari tiga jilid.
Pokok-pokok pikiran Aristoteles ini kemudian dikembangkan lagi oleh ahli retorika
klasik. Mereka menyusun lima tahap penyusunan pidato yang terkenal sebagai lima
hukum retorika (The five Canons of Rhetoric):
1) Inventio (penemuan)
2) Dispesitio (penyusunan)
3) Eloqutio (gaya bahasa)
4) Memoria (ingatan)
5) Pronuntiatio (cara penyampaian pesan)46
Hukum retorika yang menjadi bahasan pada tulisan ini berfokus pada tahap awal
yakni Inventio (penemuan). Aristoteles merumuskan kembali tiga dimensi yang
mempengaruhi efisiensi komunikator:
1) Dimensi Ethos

44
Dhia, Pramesthi, and Irwansyah, “Analisis Retorika Aristoteles Pada Kajian Ilmiah Media Sosial Dalam
Mempersuasi Publik,” 85.
45
Fifi Hasmawati, “Karakteristik Komunikator Yang Efektif Dalam Komunikasi Antar Pribadi,” Jurnal
Komunikasi Islam Dan Kehumasan (JKPI) 4, no. 2 (2020): 77–78.
46
Ahmad Tamrin Sikumbang, “Kontribusi Filsafat Barat Terhadap Ilmu Komunikasi,” Analytica Islamica 2, no.
1 (2013): 30.
Ethos terdiri dari pikiran baik, akhlak yang baik, dan maksud yang baik (good
sense, good moral, character, good will). Pendapat Aristoteles ini diuji secara
ilmiah 2300 tahun kemudian oleh Carl Hovland dan Walter Weiss (1951).
Mereka melakukan eksperimen pertama tentang psikologi komunikator. Kepada
sejumlah besar subjek disampaikan pesan tentang kemungkinan membangun
kapal selam yang digerakkan oleh tenaga atom (waktu itu, menggunakan energi
atom masih merupakan impian). Hovland dan Weiss menyebut ethos ini
credibility yang terdiri dari dua unsur: Expertise (keahlian) dan trustworthiness
(dapat dipercaya). Ketika komunikator berkomunikasi, yang berpengaruh
terhadap khalayak bukan saja apa yang ia katakan (pesan), tetapi penampilannya,
keadaan dirinya, cara berpakaiannya, model sisir rambutnya juga berpengaruh
terhadap khalayak, dan sekaligus semuanya mendapat penilaian dari khalayak
pada saat itu.47
2) Dimensi Pathos
Pathos diartikan sebagai imbauan emosional yang ditunjuk oleh seorang
komunikator dengan menampilkan gaya dan bahasanya yang meningkatkan
energy dengn semangat yang tinggi pada khalayak.
3) Dimensi Logos
Logos diartikan sebagai imbauan logis yang ditunjukkan seorang komunikator
bahwa uraiannya masuk akal sehingga pantas untuk diikuti dan dilaksanakan oleh
khalayak sama juga dengan pathos, logos juga perlu dimiliki oleh seorang orator
atau rethor.48
Dalam dimensi ethos atau faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas
komunikator, yaitu:
1) Kredibilitas
Kredibilitas adalah persepsi sederhana yang dapat diartikan pandangan pendenger
terhadap komunikator akan tetapi persepsi tersebut tidak tetap melainkan berubah-
ubah bergantung kepada pelaku persepsi, topik yang dibahas. 49 Kredibilitas juga
bermakna seperangkat persepsi komunikasi tentang sifat-sifat komunikator, dalam
definisi ini terkandung dua hal:

47
Setyaningsih, Psikologi Komunikasi (Suatu Pengantar Dan Perspektif Islam), 201.
48
Winda Kustiawan et al., “Pentingnya Psikologi Komunikator,” Jurnal Ilmu Komputer, Ekonomi, Dan
Manajemen (JIKEM) 2, no. 1 (2022): 2049.
49
Nafia and Khafidhoh, “Perubahan Gaya Dakwah Da’i Di Bulan Ramadhan Dalam Pandemi Covid 19
(Perspektif Psikologi Da’i),” 37.
1. Kredibilitas adalah persepsi komunikasi jadi tidak inheren dalam diri
komunikator.
2. Kredibilitas berkenaan dengan sifat-sifat komunikator.50
Jalaludin Rakhmat juga berpendapat bahwa kredibilitas terdiri dari beberapa
komponen penting, diantaranya adalah keahlian dan kepercayaan.
1. Keahlian adalah kesan yang dibentuk komunikan tentang kemampuan
komunikator dalam hubungannya dengan topik yang dibicarakan. Indikatornya
adalah cerdas, mampu, ahli, tahu banyak, berpengalaman, atau terlatih.
2. Kepercayaan adalah kesan komunikan tentang komunikator yang berkaitan
dengan waktaknya. Aristoteles menyebutnya good moral character.51
Dalam konteks dan ruang linkup dakwah Islam, kredibilitas ini dapat dimiliki
oleh seorang da’i apabila ia secara konstan dan konsisten selalu menjaga ucapannya
selaras dengan perilaku kesehariannya. Seorang publik figur baik ustadz, guru,
ataupun kiyai yang dipandang sebelah mata oleh murid dan umatnya karena
kurangnya kredibilitas. Kurangnya konsistensi antara ucapan dan perilaku
kesehariannya.
Beberapa ayat al-Qur’an dan hadis pun menyebutkan serta mengingatkan akan
pentingnya kredibilitas seorang yang menyeru kepada agama Allah. Diantaranya
surah Fushilat ayat 33:
َ‫صلِ ٗحا َوقَا َل ِإنَّنِي ِمنَ ۡٱل ُم ۡسلِ ِمين‬
َ ٰ ‫َو َم ْن َأحْ َسنُ قَ ۡواٗل ِّم َّمن َدعَٓا ِإلَى ٱهَّلل ِ َو َع ِم َل‬
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada
Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang menyerah diri?”
Dalam ayat tersebut Allah memuji orang-orang yang berdakwah kepada agama
Allah sebagai orang yang memiliki perkataan terbaik. Namun dengan pujian itu pula
Allah mengharuskan kepada para penyeru dakwah ini agar mengamalkan apa yang ia
ajarkan kepada umat.
َ ٰ ‫” َو َع ِم َل‬:
Imam Ibn Kathir memberikan komentar terhadap ayat “‫صلِ ٗحا‬
‫أمرون‬ž‫ذين ي‬žž‫و من ال‬ž‫ وليس ه‬،‫يره الزم ومتعد‬žž‫ه ولغ‬žž‫ه لنفس‬žž‫ فنفع‬، ‫ه‬ž‫ا يقول‬žž‫وهو في نفسه مهتد بم‬
‫ وينهون عن المنكر ويأتونه‬، ‫بالمعروف وال يأتونه‬
“Yaitu ia turut mengajak dirinya kepada apa yang ia ucapkan (dakwahkan), sehingga
apa yang ia ajarkan pasti mendatangkan manfaat bagi dirinya dan bagi orang lain.

50
Winda Kustiawan et al., “Psikologi Komunikator,” Journal Analytica Islamica 11, no. 1 (2022): 3.
51
Setyaningsih, Psikologi Komunikasi (Suatu Pengantar Dan Perspektif Islam), 202.
Bukanlah ia termasuk orang-orang yang mengajak kepada kebaikan namun ia tidak
mengamalkannya, dan mencegah dari kemungkaran namun ia melakukan
kemungkaran tersebut”52
Begitu juga firman Allah yang menyinggung para ahlul kitab yang tidak
mengamalkan apa yang mereka serukan dalam surat Al-Baqarah ayat 44:
َ َّ‫۞َأت َۡأ ُمرُونَ ٱلن‬
َ ۚ َ‫اس بِ ۡٱلبِ ِّر َوتَن َس ۡونَ َأنفُ َس ُكمۡ َوَأنتُمۡ ت َۡتلُونَ ۡٱل ِك ٰت‬
َ‫ب َأفَاَل ت َۡعقِلُون‬
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan
diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka
tidaklah kamu berpikir?”
Seorang da’I sebagai komunikator dalam komunikasi publik tidak boleh memiliki
konsep penerangan yang diberikan oleh lilin. Dimana lilin menerangi orang-orang
namun justru membakar dirinya sendiri. Model komunikator lilin ini yang justru akan
menjadikan hilangnya simpati dari komunikan dalam kegiatan dakwah.
2) Atraksi
Atraksi adalah daya tarik komunikator yang bersumber dari fisik. Seorang
komunikator disenangi dan dikagumi yang memungkinkan pandengar menerima
kepuasan dengan kata lain pendengar tunduk terhadap pesan yang dikomunikasi
komunikator.53 Atraksi ini disebabkan oleh adanya factor kesamaan antara
komunikator dan komunikan, sehingga memungkinkan komunikan tunduk terhadap
pesan yang dikomunikasikan komunikator. Daya tarik atau atraksi ini tercermin dalam
dua hal:
a. Daya tarik fisik, yaitu salah satu hal yang dapat menyebabkan komunikan merasa
tertarik kepada komunikator. Hal ini berkaitan dengan daya tarik fisik, ganjaran,
kesamaan, dan kemampuan. Komunikator yang menarik secara fisik akan
memiliki daya tarik tersendiri yang menungkin ia memiliki pesona persuasif.
Islam juga memberikan pengajaran akan hal ini agar menampakkan hal-hal yang
indah dalam apa yang kita kenakan. Sebagaimana perintah Allah dalam surat Al-
A’raf ayat 3154:
ۚ
َ‫ُوا َواَل تُ ۡس ِرفُ ٓو ْا ِإنَّ ۥهُ اَل يُ ِحبُّ ۡٱل ُم ۡس ِرفِين‬ ۡ ‫وا َو‬
ْ ‫ٱش َرب‬ ْ ُ‫وا ِزينَتَ ُكمۡ ِعن َد ُكلِّ َم ۡس ِج ٖد َو ُكل‬
ْ ‫۞ ٰيَبَنِ ٓي َءا َد َم ُخ ُذ‬

52
Ibnu Kathir, “Tafsir Surah Fushilat: 33,” Al-Qur’an Li Al-Jami’, accessed December 19, 2022,
https://quran4all.net/ar/tafsir/3/41/33#:~:text=3% ‫يقول تعالى‬A ( ‫الخلق إلى الخالق تبارك وتعالى‬,‫ ومن أحسن قوال‬.
53
Nafia and Khafidhoh, “Perubahan Gaya Dakwah Da’i Di Bulan Ramadhan Dalam Pandemi Covid 19
(Perspektif Psikologi Da’i),” 37.
54
Setyaningsih, Psikologi Komunikasi (Suatu Pengantar Dan Perspektif Islam), 208.
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid,
makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”
Begitu juga makna umum dari hadis nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang diriwayatkan oleh imam Muslim:
‫ِإ َّن هللاَ َج ِم ْي ٌل يُ ِحبُّ ال َج َما َل‬
“Sesungguhnya Allah Maha Indah, dan mencintai keindahan”
Imam Al-Munawi memberikan komentar terhadap hadis tersebut: makna Allah
Maha Indah yaitu bagi Allah lah keindahan secara (muthlaq) sempurna, Allah
Maha Indah Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, dan juga Maha Indah perbuatan-Nya.
Serta mencintai keindahan yaitu memperindah diri (secara umum) dalam segala
keadaan, dengan berusaha mengurangi dalam menampakkan dirinya butuh
kepada selain Allah, serta merasa cukup dari selain Allah.55
b. Daya tarik yang dipengaruhi oleh homophily dan heterophily. Homophily terjadi
ketika antara komunikator dan komunikan merasa ada kesamaan dalam: status
sosial ekonomi, pendidikan, sikap, dan kepercayaan. Kesamaan ini menjadi daya
tarik. Oleh karena itu, komunikator yang ingin memengaruhi orang lain sebaiknya
memulai dengan menegaskan kesamaan antara dirinya dengan komunikan. Upaya
ini dalam konteks retorika disebut “strategy of identification” ujar Kenneth
Burke, atau “establishing common grounds”. Heterophily terdapat perbedaan
status ekonomi, pendidikan, sikap, dan kepercayaan antara komunikator dan
komunikan. Namun demikian, komunikasi akan lebih efektif pada kondisi yang
memiliki homophily. Pada kondisi homophily komunikator yang dipersepsi
memiliki kesamaan dengan komunikan akan lebih efektif dalam berkomunikasi.56
3) Kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan menimbulkan ketundukan. Dimana
ketundukan yang menimbulkan dari interaksi antara komunikator dan pendengar.
Kepuasan menyebabkan seorang komunikator “memaksakan” kehendaknya kepada
orang lain. karena ia memiliki sumber daya penting. Atas dasar kekuasaan French
dan Raven menyebut beberapa jenis kekuasaan, yaitu:

55
“Hadith ‘Inna Allah Jamiilun Yuhibbu Al-Jamaal,’” Islamweb.Net, 2006,
https://www.islamweb.net/ar/fatwa/71093/‫الجمال‬-‫يحب‬-‫جميل‬-‫هللا‬-‫إن‬-‫حديث‬.
56
Setyaningsih, Psikologi Komunikasi (Suatu Pengantar Dan Perspektif Islam), 208–9.
a. Kekuasaan Koersif (Coersive Power): menunjukkan kemampuan komunikator
untuk mendatangkan ganjaran atau mendatangkan hukuman bagi komunikan.
Misalnya hukuman yang bersifat personal: benci atau kasih sayang.
b. Kekuasaan Keahlian (Expert Power): berasal dari pengetahuan, pengalaman,
keterampilan, atau kemampuan yang dimiliki komunikator. Seorang dosen
memiliki kekuasaan keahlian, sehingga ia dapat menyuruh mahasiswanya
menafsirkan suatu teori sesuai dengan pendapatnya.
c. Kekuasaan Informasional (Informational Power): berasal dari isi komunikasi
tertentu atau pengetahuan baru yang dimiliki oleh komunikan. Seorang ahli
komputer dapat menyarankan manajernya untuk membeli komputer jenis/ keluaran
baru yang lebih baik cara kerjanya.
d. Kekuasaan rujukan (Referent Power): Komunikan menjadikan komunikator
sebagai kerangka rujukan untuk menilai dirinya. Misalnya: menjadikan
komunikator sebagai teladan, karena perilakunya yang baik.
e. Kekuasaan Legal (Legitimate Power): berasal dari seperangkat aturan atau norma
yang menyebabkan komunikator berwenang untuk melakukan suatu tindakan.
Misalnya: seorang direktur bisa saja mengeluarkan pegawainya yang melanggar
aturan.57

Biografi Ustadz Fadlan Fahamsyah


Ustadz Fadlan Fahamsya merupakan da’I kelahiran Lamongan pada tanggal 30 Maret
1984. Riwayat pendidikan beliau sarat dengan nuansa Islami dan Religius. Hal tersebut
terlihat dari jenjang pendidikan menengah pertama dan atas yang beliau tempuh di madrasah
yang kental dengan pembelajaran Islam dan implementasinya. Jenjang SMP beliau tempuh di
MTsN Lamongan 1 dan lulus pada tahun 1999. Jenjang SMA beliau tempuh di MA 01
Paciran, Lamongan yang kental dengan nuansa Muhammadiyah dan lulus pada tahun 2002.
Pendidikan tingga strata 1 beliau tempuh di LIPIA Jakarta dan lulus tahun 2010 sebagai
lulusan terbaik pada jurusan Syari’ah. Tingkat magister beliau selesaikan pada tahun 2013 di
UIN Sunan Ampel Surabaya, dan tingkat doktoral yang baru saja menyelesaikan siding
tertutup di kampus yang sama pada tahun 2022 dengan judul disertasi “Konsep Takfir Kaum
Salafi Surabaya”.
Ustadz Fadlan Fahamsyah aktif di dunia dakwah, baik secara virtual ataupun secara
non-virtual. Kegiatan dakwah beliau aktif di masjid kampus STAI Ali bin Abi Thalib
57
Ibid., 210.
Surabaya membahas kitab Ushul al-Sunnah Imam Ahmad. Beliau juga aktif mengisi kajian di
masjid-masjid yang berada di kota Surabaya, Sidoarjo, hingga Lamongan. Bahkan beliau
tergabung dalam gerakan dakwah yang bertajuk “Senyum Dakwah” yang rutin dilakukan
setiap bulannya di desa terpencil kabupaten Pasuruan.
Selain di dunia dakwah, ustadz Fadlan Fahamsyah juga aktif sebagai dosen tetap di
STAI Ali bin Abi Thalib Surabaya, dan termasuk dosen senior di lembaga tersebut. Beliau
juga aktif sebagai mudir (ketua) di Ma’had Aly Al-Ihsan Surabaya.

Retorika Ustadz Fadlan Fahamsyah dalam Komunikasi Publik di Surabaya


1. Ethos Ustadz Fadlan Fahamsyah
a. Kredibilitas
Kredibilitas sebagaimana perumusan di atas berkaitan dengan keahlian dan kepercayaan.
Kredibilitas yang tertanam dalam diri Ustadz Fadlan Fahamsyah yaitu:
1) Ustadz Fadlan Fahamsyah merupakan salah satu lulusan terbaik dari LIPIA Jakarta pada
tahun 2010.
2) Bidang keahlian beliau dalam dakwah meliputi permasalahan aqidah ahlu sunnah wal
jama’ah atas pemahaman salaf al-shalih, sejarah Islam, dan permasalahan fiqih. Hal
tersebut ditandai dari jenjang pendidikan dan karya tulisnya. Yang mana jejang S1
berfokus pada fiqih dan syari’ah, S2 pada hukum Islam, dan S3 berfokus pada studi
Islam. Disertasi beliau pun kuat kaitannya dengan aqidah yang berfokus pada konsep
takfir kaum Salafi Jawa Timur.
3) Dari segi keaktifan beliau dalam dunia pendidikan, ustadz Fadlan Fahamsyah merupakan
salah satu dosen aktif bersertifikat keahlian di STAI Ali bin Abi Thalib Surabaya,
sekaligus menjadi mudir di Ma’had Aly Al-Ihsan Surabaya.
4) Da’I harus memenuhi prinsip-prinsip profesionalisme dalam bidang keilmuannya.
Dengan kata lain da’I harus menguasai tiga bidang ilmu dalam konteks dakwah; ilmu
terhadap konten/materi dakwah, ilmu terhadap kondisi objek dakwah, dan ilmu yang
berkaitan dengan metode dakwah yang tepat.
5) Da’I harus mencerminkan sebagai seorang yang berilmu secara hakiki. Yaitu
sebagaimana yang dikabarkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala mengenai karakteristik
orang yang berilmu yaitu menjadi sosok yang paling takut kepada Allah.
ْ ۗ ‫ِإنَّ َما يَ ۡخ َشى ٱهَّلل َ ِم ۡن ِعبَا ِد ِه ۡٱل ُعلَ ٰ َٓم‬
ِ ‫ُؤا ِإ َّن ٱهَّلل َ ع‬
‫َزي ٌز َغفُو ٌر‬
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”
6) Sebagai orang yang berilmu, da’i harus menjadi orang yang paling bersemangat dalam
mengerjakan apa yang ia anjurkan, dan paling bersemangat pula dalam menjauhi apa
yang ia larang.
7) Seorang da’i harus mencerminkan akhlaqul karimah dalam muamalah keseharinnya, baik
kepada keluar, kerabat, dan masyarakat sekitarnya.
b. Atraksi
Atraksi yang merupakan daya tarik seorang da’i tercermin dalam dua aspek yaitu daya
tarik fisik dan daya tarik yang dipengaruhi oleh homophily dan heterophily. Faktor daya
tarik fisik ini nampak dari kondisi fisiologis beliau. Postur tubuh yang terbilang tinggi dan
gagah, serta selalu mengenakan pakaian yang fashionable menjadi salah satu daya tarik
beliau dalam berdakwah. Gestur tubuh yang interaktif dan menarik ketika membawakan
meteri dakwah menjadikan audien tertarik dan fokus mendengarkan ceramah beliau.

c. Kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan menimbulkan ketundukan. Klasifikasi kekuasaan yang
dimilik ustadz Fadlan Fahamsyah meliputi jenis-jenis kekuasaan menurut French dan
Raven yaitu:
1) Kekuasaan Koersif (Coersive Power)
Kekuasaan ini dimiliki ustadz Fadlan Fahamsyah yang mana posisi beliau juga aktif
di medan dakwah pendidikan tinggi di STAI Ali bin Abi Thalib Surabaya dan Ma’had
Aly Al-Ihsan Surabaya. Dalam keseharian kegiatan pembelajaran beliau di kedua
instansi tersbut turut menampakan kekuasaan koersif ini, yaitu memberikan ganajaran
atau hukuman kepada mahasiswanya. Baik itu berupa menghafalkan hadis, nash
(wacana) berbahasa Arab, atau menyampaikan faidah-faidah dari sebuah hadis jika
melakukan sebuah pelanggaran dalam lingkungan kampus.
2) Kekuasaan Keahlian (Expert Power)
Dalam beberapa dakwah beliau, baik di masjid ataupun di luar masjid tidak jarang
didapati metode beliau dalam rangka pengajaran kepada jama’ah. Diantaranya beliau
tampak beberapa kali memberika kuis kepada jama’ah kajian agama berupa
pertanyaan-pertanyaan terkait materi kajian pekan lalu.
3) Kekuasaan Informasional (Informational Power)
Kegiatan dakwah ustadz Fadlan Fahamsyah juga tidak jarang diwarnai dengan sesi
liqa maftuh (tanya jawab) mengenai topik-topik keagamaan. Diantaranya ada yang
bertanya mengenai hukum fiqih, muamalah, dan kaifiyyah (tata cara) ibadah yang
kemudian menjadi maklumat baru bagi jamaah untuk diamalkan.
4) Kekuasaan rujukan (Referent Power)
Komunikan menjadikan mad’u sebagai kerangka rujukan untuk menilai dirinya.
Bahwa ustadz Fadlan Fahamsyah telah berhasil menanamkan pada diri-diri jama’ah
secara umum rasa simpatik agar mereka meneladani perilaku beliau. Termasuk dalam
adab-adab keseharian seperti menyebarkan salam kepada sesame muslim.
5) Kekuasaan Legal (Legitimate Power)
Kekuasaan ini jelas erat kaitannya dengan posisi beliau sebagai mudir di Ma’had Aly
Al-Ihsan Surabaya. Beliau berhak atas dasar hukum dan peraturan lembaga untuk
memberhentikan pengajar, staf, ataupun mahasantri dari lembaga tersebut jikalau
melakukan pelanggaran berat.
2. Pathos Ustadz Fadlan Fahamsyah
Kekuatan Pathos yang menitik beratkan pada gestur (gaya) dan bahasa komunikator
(da’i) yang membangkitkan kegairahan yang berkobar-kobar pada mad’u tampak pada
beberapa kegiatan dakwah beliau. Kepiawaian beliau dalam membawakan materi sirah
(sejarah) Islam menjadikan jama’ah hanyut dalam kisah, seakan-akan hadir pada persitiwa
yang dibawakan dalam kajian.
Bentuk lainnya dari kekuatan ini terlihat pada tulisan dakwah beliau di media sosial
Facebook @fadlan fahamsyah.
“Untuk semua yang merasa menjadi anak…
Hartamu tak akan mampu menahan ajal ibu bapakmu, jangan engkau mengira umur ibu-
bapakmu tidak bertambah, waktu terus berjalan, dia lalui hari² sulit di ujung usia tanpa
kehadiranmu. Uangmu tak mampu mengganti hadirmu dan senyummu.
Jangan pernah sisakan waktu untuk orang tuamu, namun sediakan waktu untuk keduanya.
jangan sampai hanya kabar kematiannya yang bisa membuatmu pulang, dan untuk apa
kamu pulang jika mereka udah pergi tak kembali??? Ibu bapakmu adalah pintu surgamu.
Jangan sampai engkau menyesal sesudah tertutupnya pintu itu.
Berbaktilah wahai para anak!!!
Jangan sampai kehadiran orangtuamu di usia senja tak membuatmu meraih surga
tuhanmu. Pulanglah!!!!”
Pesan dakwah yang beliau sampaikan cukup mengundang berbagai macam respon
dan pertanyaan fatwa dari para pengikutnya, bahkan tidak sedikit yang menyampaikan
curhatan di kolom komentar.

3. Logos Ustadz Fadlan Fahamsyah


Logos diartikan sebagai imbauan logis yang ditunjukkan seorang komunikator bahwa
uraiannya masuk akal sehingga pantas untuk diikuti dan dilaksanakan oleh khalayak sama
juga dengan pathos. Kekuatan ini Nampak pada kajian-kajian beliau yang hingga kini dapat
disimak di kanal youtube beliau. Diantaranya kisah dari hadis Ummu Zar’in yang beliau
ceritakan pada kajiannya.

“Aku kepadamu wahai ‘Aisyah seperti Abu Zar’in


kepada Ummu Zar’in. Hanya saja -dalam riwayat yang
lain- Abu Za’rin menceraikan istrinya sedangkan aku
tidak menceraikan dirimu.
Jadi Rasulullah ‫ ﷺ‬di akhir cerita mengatakan ‘aku
kepadamu wahai ‘Aisyah seperti Abu Zar’in kepada
Ummu Zar’in, hanya saja aku tidak menceraikanmu’.
Berbeda dengan Abu Zar’in yang menceraikan Ummu
Zar’in. Hdis ini terkenal, hadis yang masyhur dijuluki hadis Ummu Zar’in. Hadis ini
menunjukkan Ummu Zar’in adalah wanita baik, dia menceritakan kebaikan-kebaikan
suaminya, padahal sudah dicerai loh dia, dia kan dicerai sama Abu Zar’in. Tetapi tetap
diceritakan yang baik-baik, tidak ada sedikitpun diceritakan kejelekannya. Ini juga dalil
bahwa kemungkinan besar Abu Zar’in ini cinta pertamanya Ummu Zar’in. Makanya
meskipun dia punya suami yang baru, dan suaminya pun baik. Tapi tetap ia tidak bisa
melupakan kebaikan suami pertamanya”
Cerita romansa antara Abu Zar’in dan Ummu Zar’in dikisahkan dengan bahasa yang
menarik, lugas, dan sarat dengan hikmah. Terkandung didalamnya bagaiamana seharusnya
seorang istri mengingat kebaikan-kebaikan suaminya, dan hal tersebut merupakan salah satu
tanda kebaikan dari seorang istri. Dengan penggunaan gestur, gaya bahasa, dan analogi
kepada inti pesan tepat. Maka pesan yang disampaikan pun dapat diterima dengan baik oleh
mad’u.

Kesimpulan
Kegiatan dakwah sebagai komunikasi publik merupakan hal besar dalam dunia
komunikasi khususnya komunikasi Islam. Peran dakwah dalam Islam tidak diragukan lagi,
dengan dakwah risalah Islam bisa menyebar hingga ke berbagai negara dan hingga kesekian
generasi.
Dakwah Islam menduduki tempat yang mulai dan urgen dalam agama ini. Dengan
besarnya andil dakwah dalam agama Islam, maka keberhasilan dan efektifitas kegiatan
dakwah itu sangat diharapkan. Keberhasilan dan efektifitas dakwah tersebut tidak terlepas
dari besarnya pengaruh komunikator atau da’I dalam dakwahnya. Sehingga perlunya bagi
komunikator dakwah ini untuk memperhatikan aspek-aspek retorika da’I dalam kegiatan
dakwahnya.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Bayānūniy, Muhammad Al-Fath. Al-Madkhal Ilā ‘Ilm Al-Da’Wah. Beirut: Muassasah Al-
Risalah, 1995.
Alatas, Salim. “Evolusi Kajian Komunikasi (Studi Terhadap Perkembangan Kajian
Komunikasi).” Jurnal Communication 5, no. 1 (2014): 11–22.
Alimuddin, Nurwahidah. “Konsep Dakwah Dalam Islam.” Hunafa Studia Islamika 4, no. 1
(2007): 73–78. doi:https://doi.org/10.24239/jsi.v4i1.195.73-78.
Aliyudin. “Prinsip-Prinsip Metode Dakwah Menurut Al-Qur’an.” Jurnal Ilmu Dakwah 4, no.
15 (2010): 1007–22. doi:https://doi.org/10.15575/idajhs.v5i15.431.
Anisah, Nairatul, Syindi Putri Padillah, Pahmi Barus, Refli Sepriandito, Raja Batar Hasibuan,
and Winda Kustiawan. “Psikologi Komunikasi.” Jurnal Ilmu Komputer, Ekonomi Dan
Manajemen (JIKEM) 2, no. 1 (2022): 1705–15.
Anwar. “Penelusuran Epistimologi Ilmu Komunikasi Dan Ilmu Dakwah.” At-Tanzir: Jurnal
Ilmiah Prodi Komunikasi Dan Penyiaran Islam 10, no. 1 (2019): 1–13.
Aziz, Muh. Ali. Ilmu Dakwah. 6th ed. Jakarta: Kencana, 2017.
Dhia, Rifqi Nadhmy, Jasmine Alya Pramesthi, and Irwansyah. “Analisis Retorika Aristoteles
Pada Kajian Ilmiah Media Sosial Dalam Mempersuasi Publik.” Linimasa: Jurnal Ilmu
Komunikasi 4, no. 1 (2021): 2021.
Fabriar, Silvia Riskha. “Urgensi Psikologi Dalam Aktivitas Dakwah.” An-Nida : Jurnal
Komunikasi Islam 11, no. 2 (2019). doi:10.34001/an.v11i2.1027.
Farihah, Irzum. “Strategi Dakwah Di Tengah Konflik Masyarakat.” Addin 8, no. 2 (2014):
295–318.
Fikry, Ali. “Representasi Konsep Retorika Persuasif Aristoteles Dalam Pidato Ismail Haniyah
Untuk Umat Islam Indonesia.” Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Humaniora 5, no. 3
(2020): 137–45.
Islamweb.net. “Hadith ‘Inna Allah Jamiilun Yuhibbu Al-Jamaal,’” 2006.
https://www.islamweb.net/ar/fatwa/71093/‫الجمال‬-‫يحب‬-‫جميل‬-‫هللا‬-‫إن‬-‫حديث‬.
Hardian, Novri. “Dakwah Dalam Perspektif Al-Qur’an Dan Hadits.” Al-Hikmah: Jurnal
Dakwah Dan Ilmu Komunikasi, 2018, 42–52. doi:10.15548/al-hikmah.v0i0.92.
Hasan, Kamaruddin. “Retorika Dan Politik.” In Handout Komunikasi Politik, 1–9, 2016.
Hashim, Jamil, and Masitoh Ahmad. “Mafhūm Al-Da’wah Wa Farīḍatuhā.” GJAT: Global
Journal Al Thaqafah 2, no. 1 (2012): 83–90. doi:10.7187/GJAT162012.02.01.
Hasmawati, Fifi. “Karakteristik Komunikator Yang Efektif Dalam Komunikasi Antar
Pribadi.” Jurnal Komunikasi Islam Dan Kehumasan (JKPI) 4, no. 2 (2020): 69–95.
Kathir, Ibnu. “Tafsir Surah Fushilat: 33.” Al-Qur’an Li Al-Jami’. Accessed December 19,
2022. https://quran4all.net/ar/tafsir/3/41/33#:~:text=3% ‫يقول تعالى‬A ( ‫الخلق إلى‬,‫ومن أحسن قوال‬
‫ الخالق تبارك وتعالى‬.
Kustiawan, Winda, Laila Fitri, Ajizah Nurul Fadhilah Siddiq, Anis Sa’adah, Haris Fadhilah,
Sri Ayu Ulandari, and Muhammad Wisudawan. “Pentingnya Psikologi Komunikator.”
Jurnal Ilmu Komputer, Ekonomi, Dan Manajemen (JIKEM) 2, no. 1 (2022): 2045–50.
Kustiawan, Winda, Lily Yuniar, Diana Wulan Fitri, Julinar Arianti, and Adillah Wandasari.
“Psikologi Komunikator.” Journal Analytica Islamica 11, no. 1 (2022): 1–9.
Mahfudz, Ali. Hidāyah Al-Murshidīn Ilā Ṭuruq Al-Wa’dzi Wa Al-Khiṭābah. Kairo: Dār al-
I’tiṣam, 1979.
Maṭārid, Ramaḍān Muhammad, Mahrūs Muhammad Bisyūnī, and Nabīl Muhammad
Darwīsh. Uṣul Al-Da’wah Wa Manāhijuhā: Dirāsah Ta’ṣīliyyah Tahlīliyyah. Qatar:
Qatar University, 2019. doi:http://hdl.handle.net/10576/4216.
Mubasyaroh. “M. Natsir Dan Pandangannya Tentang Dakwah Dalam Buku Fiqhud Dakwah.”
At-Tabsyir 1, no. 2 (2013): 139–62.
Mubasyaroh, Mubasyaroh. “Strategi Dakwah Persuasif Dalam Mengubah Perilaku
Masyarakat.” Ilmu Dakwah: Academic Journal for Homiletic Studies 11, no. 2 (2017):
311–24. doi:10.15575/idajhs.v11i2.2398.
Muqsi. “Hubungan Dakwah Dan Komunikasi.” Jurnal Peurawi 1, no. 1 (2018): 1–9.
Muslim, Aziz. “Retorika Dakwah Ustaz Adi Hidayat Di Channel Youtube Adi Hidayat
Official: Analisis Teori Retorika Aristoteles.” Journal of Islamic Social and
Communication 1, no. 2 (2022): 135–45.
Nafia, Zidni Ilman, and Khafidhoh. “Perubahan Gaya Dakwah Da’i Di Bulan Ramadhan
Dalam Pandemi Covid 19 (Perspektif Psikologi Da’i).” Journal of Communication
Studies 1, no. 01 (2021): 31–47. doi:10.37680/jcs.v1i01.710.
Nurhadi, Zikri Fachrul, and Achmad Wildan Kurniawan. “Kajian Tentang Efektivitas Pesan
Dalam Komunikasi.” Jurnal Komunikasi Hasil Pemikiran Dan Penelitian 3, no. 1
(2017): 90–95.
Nuzula, Firdausi. “Psikologi Dan Komunikasi.” El-Hikam 8, no. 2 (2015): 403–20.
Oktavia, Fenny. “Upaya Komunikasi Interpersonal Kepala Desa Dalam Memediasi
Kepentingan PT. Bukit Borneo Sejahtera Dengan Masyarakat Desa Long Lunuk.” Ilmu
Komunikasi 4, no. 1 (2016): 239–53.
Putri, Kinkin Yuliaty Subarsa. Teori Komunikasi. Edited by Dewi Angraeni. Jakarta:
Nerbitinbuku.com, 2017. https://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-mfi-
results.
Rajiyem. “Sejarah Dan Perkembangan Retorika.” Humaniora 17, no. 2 (2005): 142–53.
Rengkung, Cristian I. R, Gustaaf B Tampi, and Very Y Londa. “Komunikasi Publik
Pemerintah Kota Manado Dalam Penanganan Covid-19.” Jurnal Administrasi Publik 7,
no. 102 (2021): 26–36.
S.Leuape, Emanuel, and Susanne Dida. “Dialektika Etnografi Komunikasi Emik-Etik Pada
Kain Tenun.” Jurnal Kajian Komunikasi 5, no. 2 (2017): 147–58.
doi:https://doi.org/10.24198/jkk.v5i2.8637.
Safrodin. “Religious Freedom in the Context of Islamic Da ’ Wa.” Jurnal Ilmu Dakwah 42,
no. 1 (2022): 144–59. doi:10.21580/jid.v42.1.11860.
Satria, Eri bin Sanusi, and Roslan Mohamed. “Analisis Terhadap Peranan Nasyid Dalam
Dakwah.” Jurnal Ilmiah Islam Futura 16, no. 2 (2017): 227.
doi:10.22373/jiif.v16i2.1329.
Setyaningsih, Rila. Psikologi Komunikasi (Suatu Pengantar Dan Perspektif Islam). Edited by
Ahad Hidayatullah Zaekasyi. Ponorogo: UNIDA Gontor Press, 2019.
https://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-mfi-results.
Sikumbang, Ahmad Tamrin. “Kontribusi Filsafat Barat Terhadap Ilmu Komunikasi.”
Analytica Islamica 2, no. 1 (2013): 25–35.
Srisadono, Wahyu. “Komunikasi Publik Calon Gubernur Provinsi Jawa Barat 2018 Dalam
Membangun Personal Branding Menggunakan Twitter.” Jurnal Pustaka Komunikasi 1,
no. 2 (2018): 213–27.
Sulistyarini, Dhanik, and Anna Gustiana Zainal. Buku Ajar Retorika. Edited by Khaerul
Ikhwan. CV. AA. Rizky. Vol. 51. Banten: CV. AA. Rizky, 2018.
Suprapto, Rio Kurniawan, and Helfiana Sihaloho. “Metode Sugestopedia Sebagai Alternatif
Pembelajaran Retorika Di Perguruan Tinggi.” In Prosiding Seminar Daring Nasional:
Pengembangan Kurikulum Merdeka Belajar Program Studi Pendidikan Bahasa
Indonesia., 167–72, 2020.
Ubaid, Kamal Muhammad. “Al-Da’wah: Taṣḥīh Al-Mafhūm Wa Bayan Al-Ḥukm.” Dirasat
Da’wiyyah 9 (2005): 20. http://hdl.handle.net/123456789/686.

Anda mungkin juga menyukai