Anda di halaman 1dari 25

KOMUNIKASI ORGANISASI BERDASARKAN PANDANGAN MAZHAB

FILSAFAT DIALEKTIKA

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Tugas Ujian Tengah


Semester Manajemen Sumber Daya Manusia Madya
Program Magister Manajemen

Disusun Oleh :
Ratu Dintha Insyani Zukhruf FS
1706953

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2017
DAFTAR ISI
KONSEP KOMUNIKASI ORGANISASI
Komunikasi
Istilah komunikasi berasal dari bahasa latin, yaitu Communicatio, dan perkataan ini
bersumber pada kata Communis. Arti communis disini adalah sama, dalam arti kata sama
makna, yaitu sama makna mengenai suatu hal. Artinya, komunikasi berlangsung apabila
antara orang-orang yang terlibat terdapat kesamaan makna mengenai suatu hal yang
dikomunikasikan.

Komunikasi diartikan sebagai proses penyampaian dan penerimaan informasi yang


menjadi salah satu sumber daya untuk menjaga, memelihara, memajukan dan
mengembangkan organisasi secara dinamis sesuai dengan tujuannya. Di samping itu
komunikasi dapat juga diartikan sebagai proses penyampaian informasi berupa gagasan,
pendapat, penjelasan, saran-saran dan lain-lain dari sumbernya kepada dan untuk
memperoleh, mempengaruhi atau merubah respon sesuai dengan yang diinginkan sumber
informasi (Nawawi, 2000:99). Mondy dan Premeaux (1995: 375), mengemukakan bahwa
Communication as the tranfer of information, ideas, understanding or feeling among
people.

Proses komunikasi dapat diartikan sebagai transfer komunikasi atau pesanpesan


(message) dari pengirim pesan sebagai komunikator dan kepada penerima pesan sebagai
komunikan. Tujuan dari proses komunikasi tersebut adalah tercapainya saling pengertian
(mutual understanding) antara kedua belah pihak. Sebelum pesanpesan tersebut dikirim
kepada komunikan, komunikator memberikan maknamakna dalam pesan tersebut (decode)
yang kemudian ditangkap oleh komunikan dan diberikan makna sesuai dengan yang
dimilikinya (encode).

Dari pemyatan-pernyataan tentang komunikasi yang dikemukakan oleh para ahli di atas,
dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam komunikasi adanya suatu penyampaian
informasi. Salah satu respon yang penting dalam penyampaian informasi adalah kesediaan
bekerjaan atau pemberian dukungan dari penerima informasi sesuai dengan harapan sumber
informasi dalam melaksanakan suatu pekerjaan atau menyelesaikan suatu masalah di
lingkungan suatu organisasi. Untuk itu komunikasi sangat penting artinya dalam
menciptakan dan mengembangkan jaringan kerja (network) baik internal maupun eksternal
yang berpengaruh pada kinerja organisasi dalam mewujudkan eksistensi organisasi tersebut
(Hermana & Barlian, 2010).

Fungsi komunikasi itu sendiri begitu penting, yang mana telah menyadarkan kita bahwa
sebenarnya komunikasilah yang menyebabkan terjadinya perubahan peradaban dari satu
kurun waktu ke kurun waktu selanjutnya, di samping komunikasi memberikan kesempatan
kepada manusia untuk dapat mengemukakan gagasan serta keinginannya kepada orang lain.
Apalagi jika dilihat proses terjadi komunikasi, dimana proses tersebut tidak hanya melibatkan
antara penyampai dengan penerima. tetapi menggunakan berbagai instrumen yang
dimaksudkan agar pesan yang disampaikan berhasi secara efektif.

Komunikasi Sebagai Ilmu


Ilmu pada dasarnya adalah pengetahuan tentang sesuatu hal atau fenomena, baik yang
menyangkut alam atau sosial (kehidupan masyarakat), yang diperoleh manusia melalui
proses berfikir. Itu artinya bahwa setiap ilmu merupakan pengetahun tentang sesuatu yang
menjadi objek kajian dari ilmu terkait. Pengertian ilmu identik dengan dunia ilmiah,
karenanya ilmu mengindikasikan tiga ciri, yaitu 1) Ilmu harus merupakan suatu pengetahuan
yang didasarkan pada logika; 2) Ilmu harus terorganisasikan secara sistematis; dan 3) Ilmu
harus berlaku umum.

Komunikasi sebagai bentuk keterampilan dapat menjelma sebagai ilmu melalui


beberapa persyaratan tertentu persyaratan ini disebut ilmiah. Salah satu sifat ilmiah itu adalah
memiliki metode. Metode itu berarti bahwa penelitian tersenut berlangsung menurut suatu
rencana tertentu. Secara umum, tujuan sebuah pengetahuan ilmiah adalah untuk deskriptif,
eksplanatif, dan prediktif. Deskriptif berarti suatu ilmu akan menjelaskan gejala-gejala yang
menjadi objek formalnya, eksplanatif berarti seluruh gejala-gejala yang teramati itu dapat
dihubungkan satu sama lain secara kausal (sebab-akibat), dan setelah itu dapat dilakukan
prediksi akan gejala-gejala yang akan muncul (prdiktif). Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Poedjawawijatma (1983), Hatta (1987), Suriasumantri (2001), dalam Vardiansyah
(2005; 8), bahwa persyaratan suatu keterampilan menjadi ilmu itu ialah objketif, metodis,
sistematis dan universal.
1. Objektif, ilmu harus mempunyai objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah
yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun dari dalam.
2. Metodis, dalam upaya mencari kebenaran, selalu terdapat kemungkinan
penyimpangan, yang harus diminimalisasi. Konsekuensinya harus terdapat cara
tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Cara ini disebut metode.
3. Sistematis, karena mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus
terurai dan terumuskan dalam hubungn yang teratur dan logis sehingga membentuk
suatu sistem. Yang berarti utuh menyeluruh, terpadu, menjelaskan rangkaian sebab
akibat menyangkut objeknya.
4. Universal, kebenaran yang hendak dicapai bukan yang tertentu, melainkan bersifat
umum.

Jika ditinjau bagaimana komunikasi yang semula hanya keterampilan kemudian


menjelma sebagai ilmu. Maka penjelasan terhadap syarat-syarat diatas adalah sebagai berkut,
yaitu :

Objektif, sebagai sebuah ilmu apakah komunikasi memiliki objek tertentu? Ada dua objek
material komunikasi, Menurut Abrar, seperti ilmu-ilmu lainnya ilmu komunikasi memiliki
objek material yaitu masyarakat. Dalam perkembangannya, ilmu komunikasi mengenal
objek material yang lain yaitu media. Setelah menjadikan media sebagai objek material
kedua, maka ilmu komunikasi memiliki objek kajian yang konkret dibanding objek kajian
ilmu sosial yang lebih tua. Sementara menurut Hamijoyo (2005) objek material komunikasi
ialah prilaku manusia, yang dapat merangkum prilaku individu, kelompok dan masyarakat.
Selain objek material komunikasi juga memiliki objek formal, yaitu situasi komunikasi yang
mengarah pada perubahan sosial termasuk perubahan pikiran, perasaan, sikap dan prilaku
individu, kelompok, masyarakat dan pengaturan kelembagaan.

Metodis, sebagai sebuah ilmu, apakah komunikasi mempunyai metode tertentu? Ada
sejumlah metode penelitian yang dimiliki komunikasi. Secara umum, ilmu ini menggunakan
metode penelitian ilmu sosial. Ini dapat dipahami karena pada awalnya ilmu komunikasi
merupakan bagian dari paradigma ilmu sosial.
Sistematis, dari objek ilmu ini kemudian ditari garis yang teratur berupa penataan, sehingga
ia benar-benar merupakan suatu unit yang utuh, yang kemudian dapat dirinci secara
sistematis. Pengertiannya harus jelas, perbedaannya dengan ilmy-ilmu yang lainpun harus
jelas. Begitu pula strukturnya, hierarkinya, urutan-urutannya harus sedemikian rupa,
sehingga makin kebawah pengertiannya semakin khusus. Kini pengertian-pengertian dalam
bidang ilmu komunikasi pada prinsipnya sudah mencapai kesepakatan.

Universal, telah ada kesepakatan bahwa ilmu ini mempelajari pernyataan antarmanusia,
kendatipun nama-nama yang berbeda masih mewarnai ilmu ini.

Pengertian mengenai ilmu komunikasi, pada dasarnya mempunyai ciri yang sama
dengan pengertian ilmu secara umum. Yang membedakan adalah objek kajiannya, di mana
perhatian dan telaah difokuskan pada peristiwa-peristiwa komunikasi antar manusia.
Mengenai hal itu Berger & Chafee (1987) menyatakan bahwa Ilmu komunikasi adalah suatu
pengamatan terhadap produksi, proses dan pengaruh dari sistem-sistem tanda dan lambang
melalui pengembangan teori-teori yang dapat diuji dan digeneralisasikan dengan tujuan
menjelaskan fenomena yang berkaitan dengan produksi, proses dan pengaruh dari sistem-
sistem tanda dan lambang. Pengertian di atas memberikan tiga pokok pikiran:
1. Objek pengamatan yang jadi fokus perhatian dalam ilmu komunikasi adalah
produksi, proses danpengaruh dari sistem-sistem tanda dan lambang dalam konteks
kehidupan manusia
2. Ilmu komunikasi bersifat ilmiah empiris (scientific) dalam arti pokok-pokok pikiran
dalam ilmu komunikasi (dalam bentuk teori-teori) harus berlaku umum.
3. Ilmu komunikasi bertujuan menjelaskan fenomena sosial yang berkaitan dengan
produksi, proses dan pengaruh dari sistem tanda dan lambang. Sehingga secara umum
ilmu komunikasi adalah pengetahuan tentang peristiwa komunikasi yang diperoleh
melalui suatu penelitian tentang sistem, proses, dan pengaruhnya yang dapat
dilakukan secara rasional dan sistematis, serta kebenarannya dapat diuji dan
digeneralisasikan.

Pawito (2007: 2) membagi lima cakupan bidang ilmu komunikasi: komunikasi


antarpribadi (interpersonal communications), komunikasi kelompok (group
communications), komunikasi organisasi (organizational communications), yaitu
komunikasi yang berlangsung dalam jaringan antarpribadi dan/atau antarkelompok dalam
sebuah organisasi, komunikasi massa (mass communications), dan komunikasi budaya
(cultural communications). Komunikasi organisasi sebagai salah satu bidang ilmu
komunikasi didefinisikan sebagai komunikasi yang berlangsung dalam jaringan antarpribadi
dan/atau antarkelompok dalam sebuah organisasi.

Komunikasi Organisasi
Pentingnya komunikasi dalam kehidupan manusia sebagaimana yang dikemukakan pada
bagian terdahulu tidaklah dapat dipungkiri demikian pula halnya dalam suatu organisasi.
Dengan adanya komunikasi yang baik akan membantu kelancaran organisasi, demikian pula
sebaliknya Komunikasi yang efektif adalah merupakan bagian yang penting bagi semua
organisasi. Hal ini karena, dalam setiap organisasi yang diisi oleh sumber daya manusia, ada
yang berperan sebagai pemimpin, dan sebagian besar lainnya berperan sebagai
anggota/karyawan. Semua orang yang terlibat dalam organisasi tersebut akan melakukan
komunikasi. Tidak ada organisasi tanpa komunikasi, karena komunikasi merupakan bagian
integral dari organisasi. Komunikasi ibarat sistem yang menghubungkan antar orang, antar
bagian dalam organisasi, atau sebagai aliran yang mampu membangkitkan kinerja
orangorang yang terlibat di dalam organisasi tersebut.

Everet M. Rogers dalam bukunya Communication in Organization, mendefinisikan


organisasi sebagai suatu sistem yang mapan dari mereka yang bekerja sama untuk mencapai
tujuan bersama, melalui jenjang kepangkatan, dan pembagian tugas. Robert Bonnington
dalam buku Modern Business: A Systems Approach, mendefinisikan organisasi sebagai
sarana dimana manajemen mengkoordinasikan sumber bahan dan sumber daya manusia
melalui pola struktur formal dari tugas-tugas dan wewenang.

Komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan berbagai pesan organisasi di


dalam kelompok formal maupun informal dari suatu organisasi (Wiryanto, 2005).
Komunikasi dalam organisasi dibagi menjadi dua bagian yaitu komunikasi formal dan
informal. Komunikasi formal adalah komunikasi yang disetujui oleh organisasi itu sendiri
dan sifatnya berorientasi kepentingan organisasi. Isinya berupa cara kerja di dalam
organisasi, produktivitas, dan berbagai pekerjaan yang harus dilakukan dalam organisasi.
Misalnya: memo, kebijakan, pernyataan, jumpa pers, dan surat-surat resmi. Adapun
komunikasi informal adalah komunikasi yang disetujui secara sosial. Orientasinya bukan
pada organisasi, tetapi lebih kepada anggotanya secara individual. Conrad (dalam Tubbs dan
Moss, 2005) mengidentifikasikan tiga komunikasi organisasi sebagai berikut: fungsi
perintah; fungsi relasional; fungsi manajemen ambigu.

1. Fungsi perintah berkenaan dengan angota-anggota organisasi mempunyai hak dan


kewajiban membicarakan, menerima, menafsirkan dan bertindak atas suatu perintah.
Tujuan dari fungsi perintah adalah koordinasi diantara sejumlah anggota yang
bergantung dalam organisasi tersebut.
2. Fungsi relasional berkenaan dengan komunikasi memperbolehkan anggota-anggota
menciptakan dan mempertahankan bisnis produktif hubungan personal dengan
anggota organisasi lain. Hubungan dalam pekerjaan mempengaruhi kenirja pekerjaan
(job performance) dalam berbagai cara. Misal: kepuasan kerja; aliran komunikasi ke
bawah maupun ke atas dalam hirarkhi organisasional, dan tingkat pelaksanaan
perintah. Pentingnya dalam hubungan antarpersona yang baik lebih terasa dalam
pekerjaan ketika anda merasa bahwa banyak hubungan yang perlu dlakukan tidak
anda pilih, tetapi diharuskan oleh lingkungan organisasi, sehingga hubungan menjadi
kurang stabil, lebih memacu konflik, kurang ditaati, dsb.
3. Fungsi manajemen ambigu berkenaan dengan pilihan dalam situasi organisasi sering
dibuat dalam keadaan yang sangat ambigu. Misal: motivasi berganda muncul karena
pilihan yang diambil akan mempengaruhi rekan kerja dan organisasi, demikian juga
diri sendiri; tujuan organisasi tidak jelas dan konteks yang mengharuskan adanya
pilihan tersebut adanya pilihan tersebut mungkin tidak jelas. Komunikasi adalah alat
untuk mengatasi dan mengurangi ketidakjelasan (ambiguity) yang melekat dalam
organisasi. Anggota berbicara satu dengan lainnya untuk membangun lingkungan dan
memahami situasi baru, yang membutuhkan perolehan informasi bersama.

Komunikasi merupakan aktivitas yang menghubungkan antar manusia dan antar


kelompok dalam sebuah organisasi. Kalau berbicara tentang komunikasi organisasi maka
yang terbayang adalah peranan dan status dari setiap orang dalam organisasi, karena peranan
dan status itu juga menentukan cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain. Dalam
masyarakat luas kita mengenali seseorang karena peran dan status yang beragam. Dalam
organisasi keragaman tersebut dapat dilihat melalui pembagian kerja berdasarkan bakat dan
kemampuan masing-masing orang dalam organisasi tersebut. Jika jenis dan pembagian
pekerjaan demikian banyak, beragam, dan berbeda-beda, maka dibutuhkan sebuah jalinan.
Jalinan yang dimaksud di sini adalah komunikasi. Komunikasi antara seorang pimpinan
dengan bawahan, antara bawahan dengan atasan, atau komunikasi sesama bawahan. Dalam
komunikasi organisasi ini dikenal dengan istilah downward communication, upward
communication, dan horizontal communication (Lubis, 2008).

Pendapat lainnya dikemukakan oleh Redding dan Sanborn (Muhammad, 2009: 65) yang
mengatakan bahwa komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan informasi
dalam sebuah organisasi yang kompleks. Terdapat empat arah aliran informasi dalam
komunikasi formal. Pertama, komunikasi ke bawah (downward communications), terjadi
ketika informasi mengalir dari jabatan berotoritas lebih tinggi kepada jabatan dengan otoritas
lebih rendah (Pace dan Faules, 2010: 184), yang mana informasi yang biasa disampaikan
oleh atasan kepada bawahan, yaitu informasi bagaimana melakukan pekerjaan, dasar pikiran
untuk melakukan pekerjaan, kebijakan dan praktik organisasi, serta informasi untuk
mengembangkan rasa memiliki tugas (Katz & Kahn dalam Pace dan Faules, 2010: 195).

Kedua, komunikasi ke atas (upward communications), ketika informasi mengalir dari


orang dengan otoritas jabatan lebih rendah (bawahan) ke yang lebih tinggi (atasan).
Komunikasi ke atas merupakan cara terbaik bagi top management untuk menganalisa
efektivitas komunikasi ke bawah yang mereka lakukan dan komunikasi organisasi secara
keseluruhan (Miljkovic dan Rijavec, dalam Spaho, 2013: 105).

Ketiga, komunikasi horizontal (horizontal communications), ketika penyampaian


informasi terjadi di antara rekan sejawat dalam satu unit kerja yang sama. Pada komunikasi
horizontal, terdapat koordinasi dan integrasi aktivitas dalam sebuah departemen, sehingga
dapat saling berhubungan meski pada tugasnya masing-masing (Miljkovic dan Rijavec dalam
Spaho, 2013: 105).
Keempat, komunikasi lintas saluran (diagonal communications), terjadi ketika muncul
keinginan seseorang utnuk melewati batas fungsional dengan individu lain yang tidak
menduduki posisi atasan maupun bawahan mereka. Mengingat adanya banyak kemungkinan
komunikasi yang dilakukan oleh staff kepada rantai perintah yang lain, maka diperlukan
kebijakan organisasi untuk membimbing komunikasi lintas saluran (Pace dan Faules, 2010:
198).

Organisasi menempatkan komunikasi sebagai salah satu unsur administrasi, padahal


fungsi komunikasi dalam organisasi jauh lebih dari itu dan mempunyai banyak sekali
manfaat yang dapat dicapai, dengan demikian sangatlah jelas bahwa dengan kegiatan
komunikasi sangat penting dalam kehidupan berorganisasi (Rahmato, 2004). Oleh karena
itu, efektivitas organisasi terletak pada efektivitas komunikasinya, sebab komunikasi itu
penting untuk menghasilkan pemahaman yang sama antara pengirim informasi dengan
penerima informasi pada semua tingkatan/level dalam organisasi. Selain itu komunikasi juga
berperan untuk membangun iklim organisasi yang pada akhirnya dapat mempengaruhi
efisiensi dan produktivitas organisasi (Lubis, 2008).

Proses Komunikasi dalam Organisasi


Istilah proses dalam komunikasi pada dasarnya menjelaskan tentang bagaimana
komunikasi itu berlangsung melalui berbagai tahapan yang dilakukan secara terus menerus,
berubah-ubah, dan tidak ada henti-hentinya dalam rangka penyampaian pesan. Proses
komunikasi merupakan proses yang timbal balik karena antara si pengirim dan si penerima
pesan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Dengan demikian akan terjadinya perubahan
tingkah laku di dalam diri individu, baik pada aspek kognitif, afektif, atau psikomotor.

Proses komunikasi adalah proses yang menggambarkan kegiatan komunikasi antar


manusia yang bersifat interaktif, relasional, dan transaksional dimana komunikator
mengirimkan pesan kepada komunikan melalui media tertentu dengan maksud dan tujuan
tertentu. Sejalan dengan pendapat Gibson (1994) proses komunikasi terdiri dari lima unsur
yakni: Komunikator, pesan, perantara, penerima, dan balikan. Adapun Lasswell (1984), yaitu
orang pertama yang mengajukan model proses komunikasi membuat formula sebagai
berikut: Siapa, mengatakan apa, bagaimana caranya, kepada siapa, dan apa hasilnya.
Sedangkan Robbine (1984:369), Communication process (1) the communication source, (2)
the messege, (3) encording, (4) the channel, (5) decoding, (6) the receiver, and (7) feedback.

Melalui proses komunikasi akan dapat ditentukan keputusan apa yang akan dilakukan
oleh setiap individu atau kelompok tentang bagaimana menentukan langkah atau hasil yang
akan diperoleh ke depan, karena dengan komunikasi akan dapat dijadikan pedoman dalam
menentukan apakah kerjasama dapat dilanjutkan atau tidak dapat dilanjutkan. Komunikasi
sangat berperan dalam menjaga kebutuhan manusia, karena komunikasi dibangun sebagai
sebuah mekanisme penyesuaian diri untuk manusia. Mekanisme penyesuaian diri adalah alat
bagi manusia yang digunakan untuk menolong mereka mengenali dan merespon yang
mengancam eksistensinya. Komunikasi menolong orang tetap selamat karena mereka
diberikan informasi tentang ancaman yang akan datang dan menolong mereka menghindari
atau mengatasi ancaman-ancaman ini (Kreps 1986:170).

Apa yang dikemukakan di atas menjelaskan bahwa komunikasi memang sangat berperan
dalam memenuhi kebutuhan manusia sebaaai mahluk sosial yang satu sama lainnya akan
berinteraksi agar mereka tetap eksis baik sebagai individu maupun sebagai anggota
kelompok dalam suatu masyarakat yang lebih luas. Sementara itu seorane ahli komunikasi.
Ross (1997: 110) mengatakan bahwa komunikasi sebagai Proses di dalamnya mencakup
pengertian, pemilihan dan pengiriman simbol-simbol dalam suatu cara untuk membantu
seorang pendengar untuk merasa dan melukiskan kembali pikirannya yang berisikan
pemahaman dari pemikiran si pengirim pesan.

Penjelasan ini menunjukkan bahwa komunikasi merupakan simbol aktivitas yang


menggunakan orang dalam menolong mereka menginterpretasikan suatu pesan. Melalui
proses tersebut diupayakan agar adanya data menjadikan informasi yang disampaikan akan
menghasilkan penafsiran dan akan membantu untuk menolong predikat ke depan terhadap
suatu rencana, dengan demikian komunikasi tersebut dapat merespon pesan dengan
pemahaman yang kreatif.

Dalam proses komunikasi akan ditemukan berbagai elemen-elemen, elemen inilah yang
membuat komunikasi berjalan secara efektif dan efisien. Jika elemen-elemen ini tidak
digunakan maka komunikasi tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Menurut Djatmiko
(2002:57), elemen-elemen yang dibutuhkan dalam suatu proses komunikasi dapat dijelaskan
menjadi berikut:
1. Pengirim (Sender) yang memulai komunikasi. Dalam suatu organisasi, pengirim
adalah orang mengkomunikasikannya kepada satu atau lebih orang lain.
2. Pengkodean (Encoding) adalah pengirim pengkodean informasi yang akan
disampaikan dengan cara menerjemahkan ke dalam serangkaian simbol atau isyarat.
3. Pesan (Message) adalah bentuk fisik yang digunakan oleh pengirim untuk
mengkodekan informasi. Pesan dapat berupa segala bentuk yang dapat dirasakan atau
diterima oleh satu atau lebih indra penerima.
4. Saluran (Channel) atau kanal ialah media yang digunakan untuk menyampaikan
pesan, misalnya udara untuk pesan yang disampaikan dengan kata-kata, atau kertas
untuk pesan yang disampaikan dalam bentuk tulisan.
5. Penafsiran kode (Decoding) adalah proses di mana penerima menafsirkan pesan dan
menerjemahkanya menjadi informasi yang berarti baginya.
6. Penerima (Receiver) adalah orang yang menafsirkan pesan dari pengirim.
7. Gangguan (Noise) adalah semua faktor yang mengganggu, membingungkan atau
mengacaukan proses komunikasi.
8. Umpan balik (Feedback) adalah kebalikan dari proses komunikasi yang menyatakan
reaksi terhadap komunikasi dari pengirim.
Dengan elemen-elemen tersebut di atas, maka gagasan atau ide-ide yang disampaikan
diharapkan akan menemui sasarannya dengan baik. Walaupun dalam kenyataannya banyak
orang berbeda dalam mendefinisikannya, seperti yang dikemukakan Preston (1979:11)
bahwa Komunikasi adalah gagasan sederhana setiap orang melaksanakannya. Untuk orang-
orang tertentu, komunikasi adalah telepon, telegram atay hanya sebagai penerima gosip. Bagi
yang lainnya komunikasi berhubungan dengan media, seperti film dan juga telepon yang
merupakan bagian-bagian yang terpenting dalam berkomunikasi.
FILSAFAT ALISAN KONTRUKTIVISTME
Kontruktivisme
Konstruktivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme. Konstruktiv berarti bersifat
membina, memperbaiki, dan membangun. Sedangkan Isme dalam kamus Bahasa Inonesia
berarti paham atau aliran. Konstruktivisme adalah salah satu aliran filsafat pengetahuan yang
berpendapat bahwa pengetahuan itu merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang
sedang belajar.

Para konstruktivis menjelaskan bahwa satu-satunya alat/sarana yang tersedia bagi seseorang
untuk mengetahui sesuatu adalah indranya. Seseorang berinteraksi dengan objek dan
lingkungan dengan melihat, mendengar, menjamah, mencium, dan merasakannya. Dari
sentuhan indrawi itu seseorang membangun gambaran dunianya. Misalnya, dengan
mengamati air, bermain dengan air, mengecap air, dan menimbang air, seseorang
membangun gambaran pengetahuan tentang air. Para konstruktivis percaya bahwa
pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat
dipindahkan begitu saja dari otak seorang (pendidik) ke kepala orang lain (peserta didik).
Peserta didik sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan
menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka (lorsbach & tobin, dalam suparno,
1997: 19).

Berkenaan dengan asal-usul konstruktivisme, Von Glasersfeld (1988) dalam Paul Suparno
(2008), pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin
yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun sebenarnya gagasan
pokok konstruktivisme sudah dimulai oleh Gimbatissta Vico, epistemology dari Italia. Dialah
cikal bakal konstruktivisme. Pada tahun 1970, Vico dalam De Antiquissima Italorum
Sapientia mengungkapkan filsafatnya dengan berkata, Tuhan adalah pencipta alam semesta
dan manusia adalah tuan dari ciptaan. Dia menjelaskan bahwa mengetahui berarti
mengetahui bagaimana membuat sesuatu. Bagi Vico pengetahuan lebih menekankan pada
struktur konsep yang dibentuk. Lain halnya dengan para empirisme yang menyatakan bahwa
pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan luar. Namun menurut banyak pengamat,
Vico tidak membuktikan teorinya (Suparno: 2008). Sekian lama gagasannya tidak dikenal
orang dan seakan hilang. Kemudian Jean Piagetlah yang mencoba meneruskan estafet
gagasan konstruktivisme, terutama dalam proses belajar. Gagasan Piaget ini lebih cepat
tersebar dan berkembang melebihi gagasan Vico.

Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang memiliki anggapan bahwa


pengetahuan adalah hasil dari konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri. Manusia
menkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena,
pengalaman dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan
itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan yang sesuai (Suparno,
2008:28). Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja
dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh tiap-tiap orang.
Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi melainkan suatu proses yang berkembang terus-
menerus. Dan dalam proses itulah keaktivan dan kesungguhan seseorang dalam mengejar
ilmu akan sangat berperan dalam perkembangan pengetahuannya.

Glasersfeld (1987) konstruktivisme sebagai "teori pengetahuan dengan akar dalam filosofi,
psikologi dan cybernetics". Von Glasersfeld mendefinisikan konstruktivisme radikal selalu
membentuk konsepsi pengetahuan. Ia melihat pengetahuan sebagai sesuatu hal yang dengan
aktif menerima yang apapun melalui pikiran sehat atau melalui komunikasi. Hal itu secara
aktif terutama dengan membangun pengetahuan. Kognisi adalah adaptif dan membiarkan
sesuatu untuk mengorganisir pengalaman dunia itu, bukan untuk menemukan suatu tujuan
kenyataan (von Glasersfeld, 1989).

Pengertian tersebut sesuai dengan pendapat Poedjiadi (2005:70) dalam Adisusilo (2006:1),
bahwa konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan pengetahuan dan rekonstruksi
pengetahuan. Rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang dimiliki
sebelumnya setelah berinteraksi dengan lingkungannya.

Konstruktivisme Adalah Teori Komunikasi Yang Berusaha Untuk Menjelaskan Perbedaan


Individu Dalam Kemampuannya untuk Berkomunikasi Terampil Dalam Situasi
Sosial. (Jesse Delia (1982)).Anggapan inti dari constructivism adalah bahwa seseorang akan
mengambarkan dunia melalui sistem dari gagasan mereka sendiri. Gagasan-gagasan berupa
komponen-komponen kognitif yang dilengkapi atas realita-realita yang ada.
Ilmu sosial interpretif atau pandangan secara konstruktivisme menekankan pada aksi sosial
yang bermakna dimana makna ini terbentuk secara sosial dan memiliki relativisme nilai. Aksi
sosial yang bermakna (meaningful social action) yaitu, berbagai perspektif dengan subjek
penelitian, mempelajari aksi sosial yang bermakna, bukannya suatu perilaku nyata dari beragam
orang. Jadi, melalui pendekatan konstruktivisme kita melihat aksi-aksi atau kejadian atau
fenomena sosial yang terjadi sebagai suatu yang bermakna dan juga memili makna bagi subjek-
subjek yang melakukannya. Bagaimana cara kita mmelihat suatu fenomena sosial dengan
memahaminya dan ikut merasakan atau berempati dengan subjek sosial yang melakukannya.
Aksi sosial yang bermakna, misalnya mengedepikan mata terjadi karena refleks, tapi saat
tertentu mengedipkan mata yang disengaja menjadi suatu aksi sosial yang memiliki motivasi
dimana dalam hal ini terdapat suaut makna yang subjektif terhadap aksi tersebut.
Interpretif-konstruktivisme berorientasi secara konstruktionis, yaitu orang membentuk realitas
dari interaksi dan keyakinan mereka. Berbagai hal yang dilihat dan dialami seseorang dalam
dunia sosial dikonstruksi secara sosial dimana bahasa dan kebiasaan berpikir mendikte hal-hal
yang seseorang lihat. Jika, peneliti positivis mengukur detail kuantitatif yang terpilih mengenai
ribuan orang dan menggunakan statistika, peneliti interpretif hidup selama setahun dengan
selusin orang untuk mengumpulkan data kualitatif untuk memperoleh pemahaman mendalam-
menggali makna.

Catatan-catatan mengenai pandangan secara konstruktivisme, antara lain :

Berasumsi bahwa setiap orang mendapat pengalaman dunia dalam cara yang sama.
Secara interpretif mempertanyakan apakah orang mengalai realitas sosial atau fisik dalam cara
yang sama. Orang melihat, mendengar, atau bahkan menyentuh benda fisik yang sama, tetapi
memaknai atau menginterpretasinya secara berbeda.
Pendekatan interpretif dilakukan dengan dasar dalam penelitian sosial yang bersifat
sensitif terhadap konteks, yang menyelami cara-cara orang melihat dunia, dan yang lebih
pedulli untuk meraih pemahaman tegas dibandingkan menguji hukum seperti berbagai teori
perilaku manusia.
Tujuan ilmu sosial menurut pandangan interpretif adalah memahami makna sosial
dalam konteksnya.
Memandang secara konstruksionis, yaitu realitas yang ada diciptakan secara sosial.
Manusia adalah mahluk sosial yang berinteraksi yang menciptakan dan menguatkan
makna bersama.
Penjelasan bersifat idiografis (representasi secara simbolis atau deskriptif) dan
berkembang melalui penalaran induktif.

Tokoh Filsafat Kontruktivisme


Konstruktivisme Menurut J. Piaget
Teori perkembangan kognitif Piaget menyatakan bahwa kecakapan kognitif atau intelektual
anak dan orang dewasa mengalami kemajuan melalui empat tahap (dalam Hudojo, 2003),
yaitu sensori-motor (lahir sampai 2 tahun); pra-operasional (2 sampai 7 tahun): operasi
konkret (7 sampai 11 atau 12 tahun), dan operasi formal (lebih dari 11 atau 12 tahun). Dalam
pandangan Piaget pengetahuan didapat dari pengalaman, dan perkembangan mental siswa
bergantung pada keaktifannya berinteraksi dengan lingkungan (Slavin, 2000).

Pada tahap pra-operasional karakteristiknya merupakan gerakan- gerakan sebagai akibat


langsung. Pada tahap operasi konkret siswa didalam berpikirnya tidak didasarkan pada
keputusan yang logis melainkan didasarkan kepada keputusan yang dapat dilihat seketika.
Pada tahap operasi konkret ditandai dengan siswa mulai berpikir matematis logis berdasar
pada manipulasi fisik dari obyek-obyek. Pada tahap operasi formal siswa dapat memberikan
alasan-alasan dengan menggunakan simbol-simbol atau ide daripada obyek-obyek yang
berkaitan dengan benda-benda di dalam cara berpikirnya. (Hudojo, 2003).

Piaget meyakini bahwa kecenderungan siswa berinteraksi dengan lingkungan adalah bawaan
sejak lahir. Siswa memproses dan mengatur informasi dalam benaknya dalam bentuk skema
(scheme). Hudojo (2003: 59) menyatakan skema adalah pola tingkah laku yang dapat
berulang kembali. Slavin (2000: 30) menyatakan siswa mendemonstrasikan pola tingkah
laku dan pemikiran yang disebut skema. Jadi mengacu pada kedua pendapat Hudojo dan
Slavin, skema adalah pola tingkah laku dan pemikiran yang dapat berulang kembali. Dengan
demikian, skema adalah struktur kognitif yang digunakan oleh siswa untuk menyesuaikan
dengan lingkungan dan mengorganisasikannya. Penguasaan terhadap suatu skema baru
mengindikasikan adanya perubahan di dalam struktur mental siswa.

Adaptasi berkaitan dengan penyesuaian skema yang sudah dimiliki siswa ketika berinteraksi
dengan lingkungan. Menurut Piaget adaptasi adalah suatu proses penyesuaian skema dalam
merespon lingkungan melalui asimilasi atau akomodasi. Asimilasi adalah proses menyerap
pengalaman baru berdasar pada skema yang sudah dimiliki dan akomodasi adalah proses
menyerap pengalaman baru dengan cara memodifikasi skema yang sudah ada atau bahkan
membentuk skema yang benar-benar baru (Hudojo, 2003: 60).

Perkembangan struktur mental siswa bergantung pada proses asimilasi dan akomodasi.
Masuknya skema baru dalam struktur mental siswa terutama tergantung pada proses
akomodasi dalam menyerap pengalaman-pengalaman baru dengan cara siswa sendiri.
Melalui adaptasi ini siswa memperoleh pengalaman-pengalaman matematika yang baru
berdasarkan pengalaman-pengalaman matematika yang telah dimilikinya
Konstruktivisme Menurut Von Glasersfeld
Von Glasersfeld berpendapat bahwa pengetahuan dan realitas tidak memiliki nilai mutlak,
dan pengetahuan diperoleh secara aktif dan dikonstruksi melalui indera atau melalui
komunikasi. Von Glasersfeld mengemukakan bahwa konstruktivisme radikal untuk tidak
diinterpretasikan sebagai gambaran dari realitas secara mutlak tetapi sebagai model
pengetahuan (model of knowing) dan kemungkinan memperoleh pengetahuan dalam kognisi
dengan cara mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman sendiri.

Berkaitan dengan pembelajaran, Von Glasersfeld (dalam Yackel, Cobb, Wood, dan Merkel;
2002) menyatakan pandangannya sebagai berikut. Jika mempercayai bahwa pengetahuan
harus dikonstruksi oleh setiap individu yang belajar, maka pembelajaran menjadi sangat
berbeda dengan pembelajaran tradisional yang meyakini pengetahuan ada di kepala guru dan
guru harus mencari cara untuk mentransfer pengetahuan tersebut kepada siswa. Pembelajaran
menurut konstruktivisme radikal memandang bahwa pengetahuan harus dikonstruksi oleh
individu. Jadi berdasar informasi yang masuk ke diri siswa, siswa aktif belajar
mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman sendiri. Hal ini, pada awal penyerapan
pengetahuan, dimungkinkan terjadinya perbedaan konsepsi antar siswa terhadap hasil
pengamatan.

Apa yang disampaikan guru belum tentu diterima siswa sebagaimana apa yang diharapkan
guru. Tugas guru utamanya bukan mentransfer pengetahuan tetapi memfasilitasi kegiatan
pembelajaran sehingga siswa memiliki kesempatan aktif belajar dengan cara mengkonstruksi
pengetahuan berdasar pengalaman siswa sendiri. Dalam kegiatan pembelajaran guru perlu
mempertimbang adanya perbedaan tingkat konsepsi siswa terhadap apa yang yang diamati.
Dalam memahami suatu konsep sering terjadi konflik kognitif disebabkan oleh adanya
problematika perbedaan tingkat konsepsi akibat beragamnya pengalaman siswa. Dalam hal
seperti ini, guru perlu membuat kesepakatan-kesepakatan konseptual misalnya melalui

Konstruktivisme Menurut Tran Vui


Suatu filsafat belajar yang dibangun atas anggapan bahwa dengan memfreksikan
pengalaman-pengalaman sendiri. sedangkan teori Konstruktivisme adalah sebuah teori yang
memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya
dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut denga bantuan
fasilitasi orang lain.

Konstruktivisme Menurut Vygotsky


Bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik.
Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya
seseorang. Dalam penjelasan lainmengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah
interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam
belajar.

Konstruktivisme Menurut John Dewey


John Dewey menguatkan lagi teori konstruktivisme ini mengatakan bahwa pendidik yang
cakap harus melaksanakan pengajaran dan pembelajaran sebagai proses menyusun atau
membina pengalaman secara berterusan. Beliau juga menekankan kepentingan penyertaan
murid di dalam setiap aktivitas pengajaran dan pembelajaran.

Asumsi Konstruktivisme
Asumsi Konstruktivisme
Orang memahami dunia melalui sistem konstruksi pribadi;
Konstruksi adalah konsep yang berlokasi di pikiran kita;
Role Category Questionaire (RCQ) dibuat sebagai sample gagasan-gagasan interpersonal
untuk menjelaskan suatu makna.

Kompleksitas Kognitif Yaitu variabel pengolahan informasi


Diferensiasi yaitu ada banyaknya gagasan mengenai kepribadian yang terpisah-pisah
digunakan untuk mendeskripsikan seseorang
Abstraksi yaitu derajat yang melihat pada tingkah laku yang tampak dalam kaitannya dengan
sifat internal, motivasi, dan disposisi
Integrasi yaitu berkenaan dengan pengakuan dan perdamaian pada kesan-kesan konflik.

Person-Centered Message
Jesse Delia mengungkapkan bahwa Person-Centered Message sebagai pesan yang secara
reflek dan adaptasi pada subyek, afeksi dan aspek hubungan dari konteks komunikasi.
Constructivist mengungkapkan bahwa Person-Centered Message ditujukan pada
kompleksitas kognitif.

Desain Pesan Logis


Expresive Desain Logic, yaitu bahwa bahasa merupakan media untuk mengekspresikan
pikiran dan perasaan. Mereka hanya berpikir dan meraakan yang lainnya akan mengetahui
apa yang mereka pikirkan dan rasakan.
Conventional Design Logic, yaitu bahwa komuniasi merupakan permainan secara bersama,
sesuai pada hukum-hukum dan prosedur sosial konvensional.
Rhetorical Design Logic, yaitu komunikasi merupakan kreasi dan negosiasi dari pribadi
sosial dan situasi yang ada. Artinya ketika seseorang menyempaikan gagasannya mereka
mengungkapkn kenyataan-kenyataan sosial yang ada.

Rhetorical Design Logic


Orang-orang ini dapat menggunakan desain logika ekspresif ketika mereka percaya hal itu
akan mencapai tujuan mereka;
Orang-orang ini dapat menggunakan desain konvensional dan beradaptasi dengan
adat; Mereka memiliki kemampuan tambahan untuk mendefinisikan situasi dengan cara yang
meredakan konflik;
Mereka proaktif dalam mencari konsensus, meski turun bermain penggunaan baku
kekuasaan;

TIGA MACAM KONSTRUKTIVISME


Konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita.
Bentuk itu tidak selalu representasi dunia nyata. Kaum konstruktivisme radikal
mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria
kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksi suatu realitas ontologism obyektif,
namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang
Realisme hipotesis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang
mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki.
Konstruktivisme biasa mengambil semua konsekuensi konstruktivisme dan memahami
pengetahuan sebagai gambaran dari realitas itu. Kemudian pengetahuan individu dipandang
sebagai gambaran yang dibentuk dari realitas objektif dalam dirinya sendiri.
KOMUNIKASI ORGANISASI DALAM PANDANGAN KONSTRUKTIVISME
Filsafat dapat menyajikan belbagai kemungkinan untuk membangun ilmu pengetahuan
dengan berusaha menjawab pertanyaan dasar seperti apakah ilmu pengetahuan itu dan
bagaimana ia mengembangkan metodenya dalam rangka mendapat pengetahuan ilmiah yang
logis dan benar (Dua, 2007;9) Filsafat suatu ilmu merupakan landasan pemikiran dari ilmu
yang bersangkutan, titik tolak bagaimana ilmu itu bermaksud mencapai tujuannya yaitu
kebenaran. Sebenarnya setiap ilmu ditujukan pada mencapai kebenaran serta pengabdiannya
kepada umat manusia, dengan cara ataupun jalan bagaimna masing-masing ilmu untuk
mencapai tujuan ini adalah berbeda-beda.

Dalam rangka pemikiran ini, maka setiap ilmu mempunyai obyek formalnya maupun
obyek materinya. Didalam obyek materinya beberapa ilmu dapat mempunyai obyek yang
sama, akan tetapi demi penjelasan pemisahan ilmu satu dengan yang lain, maka obyek
formalnya berbeda-beda. Objek formal inilah merupakan pandangan khas dari masing-
masing ilmu berdasarkan apa yang dianggap benar, terutama benar menurut norma-norma
dan ukuran masyarakat saat itu. Demikianlah, maka setiap filsafat ilmu, juga memperlihatkan
fisafat masyarakatnya seperti mencerminkan juga tingkat perkembangan ilmu yang
bersangkutan (Anisti, 2010).

Pada dasarnya setiap ilmu pengetahuan, tak terkecuali ilmu komunikasi, mempunyai
filsafatnya. Hal ini disebabkan oleh perkembangan ilmu-ilmu pada umumnya, yang pada
masa lampau berpangkal pada filsafat. Filsafat sendiri sudah sejak lama menaruh perhatian
terhadap ilmu komunikasi. Setidaknya, sejak kelompok Sophis yang menjual retorika pada
orang-orang Yunani. Aristoteles misalnya, pernah menulis tiga jilid buku yang berjudul De
Arte Rhetorica, yang oleh para komunikolog disebut-sebut sebagai buku pertama tentang
retorika yang paling sistematis dan paling lengkap.

Namun demikian, filsafat tidak melihat komunikasi sebagai alat untuk memperkokoh
tujuan suatu kelompok, seperti halnya pandangan sosiologi. Filsafat meneliti komunikasi
secara kritis dan dialektis. Disebut kritis dalam arti bahwa filsafat tidak pernah puas diri,
tidak pernah membiarkan sesuatu sebagai sudah selesai, selalu bersedia, bahkan senang,
membuka kembali perdebatan. Dialektis berarti bahwa setiap kebenaran menjadi lebih benar
dengan setiap putaran tesisantitesis dan antitesisnya antitesis.

Bahkan di Indonesia pendekatan konstruktivis ini masuk pada tahun 1990-an. Dan menjadi
populer pada tahun 2000-an. Walaupun sebenarnya, setelah pendekatan konstruktivis ini
masih ada lagi pendekatan yang mencoba berebut nafas yaitu pendekatan Post
modernisme yang banyak dikembangkan oleh Jean Baudrilliard.
Pendekatan konstruktivis banyak disemai oleh akademisi yang justru bukanlah akademisi
ilmu komunikasi tulen. Adalah Peter Berger seseorang sosiolog , bersama Thomas Luckman
mereka mengembangkan pendekatan ini secara konsisten. Asumsi dasar dalam pendekatan
konstruktivis ini adalah realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, namun tidak juga, turun
karena campur tangan Tuhan. Tapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan
demikian, realitas yang sama bisa ditanggapi, dimaknai dan dikonstruksi secara berbeda-
beda oleh semua orang. Karena, setiap orang mempunyai pengalaman, prefrensi, Pendidikan
tertentu dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu, dimana kesemua itu suatu saat akan
digunakan untuk menafsirkan realitas sosial yang ada disekelilingnya dengan konstruksinya
masing-masing.
Selain itu, mereka melihat bahwa realitas merupakan suatu bentukan secara simbolik melalui
interaksi sosial. Keberadaan simbol atau bahasa menjadi penting dalam membentuk realitas.
Berbagai kelompok dengan identitas, pemaknaan, pengalamaan, kepentingan, dan
sebagainya mencoba mengungkapkan diri dan selanjutnya akan memberi sumbangan dalam
membentuk realitas secara simbolik. Interaksi sosial menjadi penting dalam proses ini.
Realitas secara simbolik merupakan hasil bersama secara sosial.
Pendekatan ini secara tidak langsung lebih terfokus pada sebuah scope khusus. Dalam artian
hanya melihat bagaimana bahasa dan simbol diproduksi dan direproduksi dihasilkan lewat
berbagai hubungan yang terbatas antara sumber dan narasumber yang menyertai proses
hubungan tersebut. Dalam bahasa sederhananya hanya menyetuh level mikro (konsepsi diri
sumber) dan level meso (lingkungan dimana sumber itu berada) dan tidak menyetuh hingga
level makro( sistem politik, budaya, ekonomi dll).
Dalam aplikasi metodologis pendekatan konstruktivis ini bisa kita lihat dari analisis framing.
Salah satu tokoh yang berjasa besar panda pengembangan analisis framing ini adalah
William Gamson dia konsisten mewacanakan hingga menelurkan seperangkat metodologi
analisis framing. Selain Gamson, masih banyak lagi tokoh yang berjasa pada
analisis framing ini, misalnya Robert Entman, Murray Edelman hingga Zon Pan dan
Konsicky.
Paradigma konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang
natural, tetapi terbentuk dari hasil konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis pada
paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut
dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma
konstruksionis ini sering sekali disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna.
Ia sering dilawankan dengan paradigma positivis atau paradigma transmisi.

Paradigma Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahlkan subjek


dengan objek komunikasi. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat
sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai
penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek (komunikan/decoder) sebagai
faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosial.

Adabeberapa teori yang terdapat dalam lingkup paradigma Kontruktivisme ini, diantaranya
yaitu Teori Kegunaan dan Kepuasan (Uses And Grafications Theory) dan Teori
Interaksionisme Simbolik.

Teori Kegunaan dan Kepuasan


Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kepuasan (Uses And Grafications Theory) pada awalnya
muncul ditahun 1940 dan mengalami kemunculan kembali dan penguatan di tahun 1970an
dan 1980an. Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz
(1974). Teori ini mengatakan bahwa pengguna media memainkan peran aktif untuk memilih
dan menggunakan media tersebut.

Dengan kata lain, pengguna media adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi.
Pengguna media berusaha mencari sumber media yang paling baik di dalam usaha memenhi
kebutuhannya. Artinya pengguna media mempunyai pilihan alternatif untuk memuaskan
kebutuhannya.

Misalnya, seseorang merupakan sekelompok konsumen aktif yang secara sadar


menggunakan media dengan memilih media yang tepat untuk memenuhi
kebutuhannya dalah hal informasi atau yang lainnya, baik personal maupun sosial yang
diubah menjadi motif-motif tertentu.

Teori Interaksi Simbolik /Symbolic Interaction - George Herbert Mead (1969)


Orang bergerak untuk bertindak berdasarkan makna yang diberikan pada orang , benda, dan
peristiwa. Makna-makna ini diciptakan dalam bahasa yang digunakan orang baik untuk
berkomunikasi dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri, atau pikiran pribadinya. Bahasa
memungkinkan orang untuk mengembangkan perasaan mengenai diri dan untuk berinteraksi
dengan orang lainnya dalam sebuah komunitas.

Asumsi dasar :
Asumsi teori ini adalah seseorang akan bertindak sesuai dengan apa yang dia terima berdasarkan
makna yang diberikan orang lain kepadanya. Terkadang seseorang akan menciptakan makna dari
suatu benda atau lambang, simbol melalui proses komunikasi baik pesan verbal (seperti kata-kata,
suara, bunyi, dll) maupun nonverbal (seperti body language, gerak fisik, baju status sosial, dll).

Contoh :
Misalnya seorang dosen wanita yang telah bergelar Profesor dalam bidang pendidikan.
Beliau akan bertindak sebagaimana apa yang melekat pada dirinya. Mulai dari cara
berpakaian sampai pada cara berkomunikasi pasti sangat dijaga karena atribut yang
dimilikinya saat berada pada wilayah akademisi atau lingkungan kampus. Akan tetapi jika
Beliau berada pada lingkungan keluarga maka beliau akan bertindak sebagai seorang ibu
rumah tangga dan tidak lagi sebagai profesor dalam bidang akademisi.

Catatan-catatan mengenai pandangan secara konstruktivisme, antara lain :

Berasumsi bahwa setiap orang mendapat pengalaman dunia dalam cara yang sama. Secara
interpretif mempertanyakan apakah orang mengalai realitas sosial atau fisik dalam cara yang
sama. Orang melihat, mendengar, atau bahkan menyentuh benda fisik yang sama, tetapi
memaknai atau menginterpretasinya secara berbeda.
Pendekatan interpretif dilakukan dengan dasar dalam penelitian sosial yang bersifat sensitif
terhadap konteks, yang menyelami cara-cara orang melihat dunia, dan yang lebih pedulli untuk
meraih pemahaman tegas dibandingkan menguji hukum seperti berbagai teori perilaku
manusia.
Tujuan ilmu sosial menurut pandangan interpretif adalah memahami makna sosial dalam
konteksnya.
Memandang secara konstruksionis, yaitu realitas yang ada diciptakan secara sosial.
Manusia adalah mahluk sosial yang berinteraksi yang menciptakan dan menguatkan makna
bersama.
Penjelasan bersifat idiografis (representasi secara simbolis atau deskriptif) dan berkembang
melalui penalaran induktif.
DAFTAR PUSTAKA
Anisti. (2010). Fenomenologi Pengetahuan Dan Ilmu Pengetahuan Serta Perannya Dalam
Ilmu Komunikasi. Jurnal Komunikasi, VOL. I NO. 1, pp 1-10.
Dua, Mikhael. 2007. Filsafat Ilmu Pengetahuan Telaah Analitis, Dinamis, dan Dialektis,
Ledalero Maumere : Univ. Atma Jaya.
Karimah, Kismiyati El dan Wahyudin, Uud. 2010. Filsafat dan Etika Komunikasi, Aspek
Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis dalam Memandang Ilmu Komunikasi. Bandung:
Widya Padjadjaran
Sutikna, Nana. (NA). PENCITRAAN: SEBUAH TINJAUAN FILSAFAT KOMUNIKASI.
Rahmato, Aris Febri. (2004). Peranan Komunikasi dalam Suatu Organisasi. Jurnal
Komunikologi Vol. 1 No. 2, pp 1-17.
Lubis, Fatma Wardy. (2008). PERANAN KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI. Jurnal
Harmoni Sosial, Januari 2008, Volume II, No. 2
Hermana, Dody., Barlian, Ujang Cepi. (2010). KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI.
Jurnal Komunikasi, Volume 2, No 4, pp 20-32.
Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar populer, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 2001
Suparno, Paul. 2008. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Muhammad, Arni. (2009). Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara. Morissan. (2009).
Teori Komunikasi Organisasi. Jakarta: Ghalia Indonesia. Mulyana, Deddy. (2009). Ilmu
Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Pawito. (2007). Penelitian
Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LkiS. Pace, R. W. & Faules, F. D. (2001). Komunikasi
Organisasi: Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
AIESEC International. (2008). 60 Years of Activating Youth Leadership. Rotterdam:
AIESEC International. Wibowo. (2014). Perilaku dalam Organisasi. Jakarta: Rajagrafindo
Persada. Spaho, Keenan. (2013). Organizational Communication and Conflict Management.
Management Journal, Vol. 18, No. 1, Hal. 103-118.
Abdurrachman, 1975. Human Relation dalam Mana-gement LAN. Jakarta Albrecht, Kari.
1985. Pengembangan Organisasi. Angkasa. Bandung. Atmosudirjo, Prajudi. 1986. Dasar-
dasar Ilmu Administrasi. Ghalia. Jakarta. Bennis, Warren, G, Benne, Kenneth. D & Chin,
Robert. 1990. Merencanakan Perubahan. Alih Bahasa. Intermedia. Jakarta. Burhanuddin.
1995. Analisis Administrasi Manajemen dan Kepemimpinan. Bumi Aksara. Jakarta.
Daryanto. 1998. Administrasi Pendidikan. Rineka Cipta. Solo. Davis, Keith. 1977. Human
Behavior at work. Organizational Behavior. MsGraw-Hill Publishing Company. Ltd. New
Delhi. Effendi, Onong Uchyana. 1985. Hubungan Insani. Remadja Karya. Bandung. Gaffar,
Mohammad Fakry. 1991.Komunikasi Organisasi Teori dan Proses. IKIP. Bandung.
Dimension of Organizational Behavior. McMllan Publishing Co, Inc. New York.. Hoy K,
Wayne & Miskel G, Cecil. 1987. Educational Administration Theory Re-search and Practice.
Third Edition. Random House. New York. Hick, Herbert. G, Gulett, C. Ray. 1967.
Organization: Theory and Behavior. Auckland. McGraw- Hill. Inc. Kreps, Gary L. 1986.
Organizational Communication Theory and Practice. Logman Inc. New York. Lewis, Philip
V. 1987. Organizational Communication Theory and Practice. John Wiley & Sons Inc. New
York. Koeler, Jerry W, et.al. 1976. Organizational Communication. Holt, Rinehart and
Winston. New York. Mondy, R. Wayne & Premeaux, Shane R. 1995. Management. Prentice.
New Jersey. Muhyadi. 1989. Organisasi, Teori, Struktur dan Proses. Dirjen Dikti Depdikbud.
Jakarta. Muhammad, Ami. 1989. Komunikasi Organisasi. Depdikbud Dirjen Pendidikan
Tinggi PLPTK. Jakarta. 5 1995. Komunikasi Organisasi. Bumi Aksara. Jakarta. Myers &
Myers. 1987. Teori- Teori Manajemen Ko-munikasi. Bahana Aksara Jakarta.. Nawawi,
Hadadi. 2000. Manajemen Strategik Organisasi Non Profit Bidang Pemerintah dengan
Ilustrasi di Bidang Pendidikan. Gadjah Mada Univer-sitas Press. Yogyakarta. 1985.
Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas. Gunung Agung. Jakarta. Rahmat, Jalaluddin,
1996. Psikologi Komunikasi. PT. Remadja Rosda- karya. Bandung. Robbins, Steppen P.
1979. Organized Behavior. Concept, Controversies, Applications. By Prentice Hall. Inc. A
Simon & Schuster Company. Robert Kreitner & Angelo Kinicki. 1989, Organizational
Behavior. Irwin McGraw-Hill Companies. America. Sutisna, Oteng, 1989. Administrasi
Pendidikan Dasar Teoritis untuk Praktek Profesional. Angkasa. Bandung. pinan dan Perilaku
A dministrasi. Gunung Agung. Jakarta. Taylor et.al., 1977. Communicating. Prentice Hall.
Inc. New Jersey. Thoha, Miftah, 1996. Perilaku Organisasi. Rineka Cipta. Jakarta. Wirawan,
2002. Kapita Selekta Teori Kepemimpinan Pengantar untuk Praktek dan Penelitian. Yayasan
Bangun Indonesia & Uhamka Press Jakarta. Yayat, Hayati, Djatmiko. 2002. Perilaku
Organisasi. Alfabeta. Bandung. Drs. H. Dody Hermana, MBA., M.Si., dan Ujang Cepi
Barlian, S.E., M.Si. ( Keduanya adalah mahasiswa PPs (S3) Prodi: Administrasi Pendidikan
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan Dosen Universitas Garut)

Anda mungkin juga menyukai