Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

Teori Retorika

(Konspe, Sejarah, dan Asumsi)

Dipresentasikan pada Diskusi Mata Kuliah Teori-Teori Komunikasi

Semester Genap Tahun Akademik 2021/2022

Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam Kelas A

Penulis:
M. Wahyu Abdi Nugroho
NIM: 02040721025

Dosen Pengampu:
Dr. Hj.Lilik Hamidah, S.Ag

PASCASARJANA (S2)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2022

Teori Retorika
(Konsep, Sejarah, dan Asumsi)

A. Latar Belakang

Komunikasi di era ini bukanlah suatu hal yang dianggap remeh dan dinomer
sekiankan. Komunikasi dalam era modern telah menjadi bagian yang dianggap urgen
untuk dipelajari dan diteliti. Selain perkembangan dari sisi kegiatan komunikasi baik
berupa media ataupun alat, saat ini komunikasi pula telah menjadi bagian dari disiplin
ilmu pengetahuan. Hal tersebut merupakan bukti konkret bahwasanya komunikasi
bukan lagi hal yang dinomer duakan atau diakhirkan. Terlihat dari banyaknya
perguruan-perguruan tinggi yang kini mejadikan ilmu komunikasi sebagai bagian yang
berdiri sendiri dalam bentuk jurusan, fakultas atau departemen, bahkan telah banyak
berdiri sekolah tinggi, institut atau semacamnya yang khusus menyiapkan program ilmu
komunikasi semata.
Melihat komunikasi telah menjadi bagian dari tubuh disiplin ilmu, maka jelas pula
bahwa kegiatan komunikasi bukanlah hal yang kecil dan mudah. Terlebih lagi kegiatan
komunikasi ini telah kita lakukan dalam sepanjanh usia kita. Akan tetapi, jikalau tiap
individu memahami tujuan dari komunikasi untuk mendapatkan komunikasi yang
efektif, dalam artian seorang komunikator mendapatkan efek dari komunikannya, maka
seseorang akan berpikir dua kali untuk mengatakan bahwa komunikasi adalah yang
remeh.
Banyak dari individu merasakan kesulitan dalam menyusun kalimat agar apa yang
ia maksud dipahami dengan makna yang sama oleh komunikannya. Terlebih lagi jika
dalam kegiatan komunikasinya berhadapan dengan komunikator yang banyak dan
beraneka ragam latar belakangnya. Setidaknya komunikasi yang dilemparkan oleh
seorang komunikator kepada para komunikannya menghasilkan efek-efek perubahan
(feedback) baik pengetahuan, sikap, ataupun perilaku. Boleh jadi feedback itu bersifat
langsung ataupun tidak langsung.1
B. Pengertian dan Sejarah Teori Retorika
Kemampuan berbicara merupakan kemampuan berkomunikasi yang sangat
mendasar yang dimiliki oleh manusia. Sejak lahir manusia sudah berkomunikasi

1
Zikri Fachrul Nurhadi and Achmad Wildan Kurniawan, “Kajian Tentang Efektivitas Pesan Dalam
Komunikasi,” Jurnal Komunikasi Hasil Pemikiran Dan Penelitian 3, no. 1 (2017): 91.
dengan cara menangis saat bayi, selanjutnya kemampuan berkomunikasinya semakin
meningkat seiring dengan waktu. Sebagian besar komunikasi yang dilakukan oleh
manusia berupa komunikasi secara lisan, salah satunya dengan retorika. Retorika
berasal dari bahasa Inggris “rhetoric” dan bersumber dari bahasa Latin “rhetorica”
yang berarti ilmu berbicara. Retorika sebagai ilmu memiliki sifat-sifat rasional, empiris,
umum, dan akumulatif. Rasional berarti apa yang disampaikan oleh seorang pembicara
harus tersusun secara sistematis dan logis. Empiris berarti menyajikan fakta-fakta yang
dapat diverifikasi oleh panca indera. Umum artinya kebenaran yang disampaikan tidak
bersifat rahasia dan tidak dirahasikan karena memiliki nilai sosial. Akumulatif
merupakan ilmu yang mengatakan retorika sebagai public speaking atau berbicara di
depan umum. Pengertian retorika juga dapat dilihat secara sempit dan secara luas.
Secara sempit retorika hanya meliputi seni berbicara, sedangkan secara luas retorika
mengenai penggunaan bahasa, baik lisan maupun tulisan. Pengertian yang umum
diketahui di masyarakat adalah pengertian retorika secara sempit, dimana retorika
hanya meliputi seni berbicara.2
Komunikasi adalah topik yang telah menjadi perhatian banyak orang, bahkan sejak
awal-awal peradaban manusia. Jejak-jejak tertulis tentang komunikasi dapat ditemukan
pada sebagian besar peradaban-peradaban kuno di seluruh dunia. Namun demikian,
wacana paling lengkap tentang komunikasi berasal dari peradaban Yunani Kuno. Pada
saat itu di Yunani, retorika atau seni persuasi, merupakan bagian penting dari setiap
diskusi tentang bagaimana menjadi warga negara yang efektif dalam masyarat
demokratis. Dengan demikian, komunikasi memainkan peran penting dalam
masyarakat demokratis. Tema-tema tulisan mengenai komunikasi di zaman Yunani
memang cenderung fokus pada bagaimana menjadi komunikator yang lebih efektif atau
pada bagaimana peran komunikasi dalam masyarakat.3
Benar memang bahwa retorika sudah ada sejak manusia lahir. Namun, sebagai seni
yang dipelajari dimulai abad 5 sebelum Masehi (SM) ketika kaum sofis di Yunani
mengembara dari satu tempat ke tempat lain untuk mengajarkan pengetahuan tentang
politik dan pemerintahan dengan penekanan terutama pada kemampuan berpidato.
Pemerintah perlu usaha membujuk rakyat demi kemenangan dalam pemilihan.

2
Dhanik Sulistyarini and Anna Gustiana Zainal, Buku Ajar Retorika, ed. Khaerul Ikhwan, CV. AA. Rizky, vol.
51 (Banten: CV. AA. Rizky, 2018), 2.
3
Salim Alatas, “Evolusi Kajian Komunikasi (Studi Terhadap Perkembangan Kajian Komunikasi),” Jurnal
Communication 5, no. 1 (2014): 3.
Berkembanglah seni pidato yang membenarkan pemutarbalikan kenyataan demi
tercapainya tujuan. Khalayak bisa tertarik dan terbujuk. Retorika dipelajari, diawali,
dan dilaksanakan di negara-negara yang menganut demokrasi langsung, yakni Yunani
dan Romawi. Pada waktu itu, retorika memiliki beberapa fungsi, yakni untuk mencapai
kebenaran/kemenangan bagi seseorang atau golongan dalam masyarakat; untuk meraih
kekuasaan, yakni mencapai kemenangan seseorang atau kelompok dengan pemeo
‘siapa yang menang dialah yang berkuasa’; sebagai alat persuasi yang digunakan untuk
mempengaruhi manusia lainnya.4
Retorika sendiri terbagi dalam beberapa periode, yaitu klasik, pertengahan,
Renaissance, pencerahan, kontemporer, dan post-modern. Retorika abad ke 5
sebagaiamana yang telah disebutkan itulah yang menjadi mula dari munculnya tradisi
ini dalam ilmu komunikasi. Retotika pada era tersebut didominasi oleh usaha-usaha
mendefinisikan dan menyusun peraaturan dari seni retorika. guru - guru pengembara
disebut sophist mengajarkan seni berdebat di kedua sisi pada sebuah kasus instruksi
retorika paling awal di Yunani. Plato tidak menyukai pendekatan relativistik Sophist
terhadap pengetahuan yang meyakini adanya kemungkinan ideal atau kebenarann
absolut. dialog- dialog plato tentang retorika telah menyelamatkan sebagian besar
bidang retorika dari nama buruk. Aristoteles, murid Plato, mengambil pendekatan yang
lebih pragmatis lagi terhadap seni, mengaturnya dalam buku catatan kuliahnya yang
telah disusun menjadi apa yang kita kenal sebagai Rhetorika.Tulisan tentang retorika
orang Yunani telah disaring dan di perinci oleh orang romawi, termasuk Isocrates,
Quintilian, dan Cicero.5
Aristoteles dengan tegas mengatakan bahwa retorika adalah ilmu tersendiri yang
memiliki kedudukan yang sejajar dengan ilmu lain. Sebagai sebuah ilmu, retorika pun
menampilkan kebenaran dengan menata tutur secara efektif dan etis, bukan bombastis
dan kosong tanpa isi. Selanjutnya Aristoteles menegaskan bahwa retorika tidak boleh
dimasukkan ke dalam jenis ilmu yang lain, atau dianggap sebagai bagian dari ilmu lain,
jutru ilmu itulah yang memanfaatkan retorika, terutama ketika ilmu lain itu
mendeskripsikan hasil-hasil temuannya, demikian penegasan Aristoteles. Ajaran
Aristoteles tetap dipertahankan sampai masa keruntuhan kerajaan Yunani dan Romawi.
Ahli-ahli retorika sampai awal abad ke-20 telah mampu menempatkan ajaran retorika

4
Rajiyem, “Sejarah Dan Perkembangan Retorika,” Humaniora 17, no. 2 (2005): 144.
5
Kinkin Yuliaty Subarsa Putri, Teori Komunikasi, ed. Dewi Angraeni (Jakarta: Nerbitinbuku.com, 2017), 148,
https://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-mfi-results.
Aristoteles sebagai tradisi studi retorika. Inilah akhirnya yang dikenal sebagai retorika
tradisional.6
Sebuah perdebatan besar terjadi antara Plato dan muridnya, Aristoteles, mengenai
retorika. Plato berpendapat bahwa retorika itu penting untuk mencapai keindahan dan
untuk tujuan hiburan, namun penggunanya harus diabaikan dalam masyarakat karena
retorika dapat menyebabkan orang menjauh dari apa yang benar dan menyebabkan
mereka untuk membuat keputusan yang buruk. Plato lebih menyukai metode filosofis
yang disebut dialektika, dimana individu dengan seksama mencari kebenaran baru
berdasarkan apa yang sudah diketahui. Sementara sang murid, Aristoteles, disisi lain
berpendapat bawa retorika adalah hal yang penting untuk membantu mereka dalam
masyarakat membuat kemungkinan kebenaran dari apa yang diketahui atau dapat
disimpulkan. Retorika, dalam pandangan Aristoteles, penting bagi substansi dalam
komunikasi serta untuk gaya (style) bagi komunikator.7
C. Tokoh Teori Retorika
1. Georgias dan Protagoras (Koum Sofisme)
Georgias (dari kaum sofisme). Dia yang mengatakan bahwa kebenaran suatu
pendapat hanya dapat dibuktikan jika tercapai kemenangan dalam pembicaraan.
Georgias ini merupakan guru retorika yang pertama. Ia membuka sekolah retorika
yang mengajarkan dimensi bahasa yang puitis dan teknik berbicara impromptu
(berbicara tanpa persiapan). Ia meminta bayaran mahal, sekitar 10.000 dollar per
mahasiswa. Georgias bersama Protagoras menjadi ‘dosen terbang’ yang mengajar
berpindah dari satu kota ke kota lain (Rakhmat, 1994:4). Sekolah tersebut dibuka
dalam rangka memenuhi ‘pasar’ akan kemampuan berpikir yang jernih dan logis
serta berbicara yang jelas dan persuasive. Protagoras, Dia menyatakan bahwa
kemahiran berbicara bukan untuk kemenangan melainkan demi keindahan bahasa.8
2. Sokrates
Sokrates menyatakan bahwa retorika adalah demi kebenaran. Dialog adalah
tekniknya, karena dengan dialog kebenaran akan timbul dengan sendirinya. Teknik
dialog Sokrates mengikuti jalan deduksi, yaitu menarik kesimpulan-kesimpulan

6
Sulistyarini and Zainal, Buku Ajar Retorika, 51:4.
7
Alatas, “Evolusi Kajian Komunikasi (Studi Terhadap Perkembangan Kajian Komunikasi),” 4.
8
Rajiyem, “Sejarah Dan Perkembangan Retorika,” 144.
untuk hal-hal yang khusus setelah menyelidiki hal-hal yang berlaku pada
umumnya.9
3. Isokrates dan Plato
Kedua-duanya dipengaruhi Georgias dan Socrates. Mereka ini berpendapat
bahwa retorika berperan penting bagi persiapan seseorang untuk menjadi
pemimpin.10 Namun Plato mengecam retorika sofis sebagai suatu upaya manipulasi
opini publik dan mengabaikan kaidah-kaidah pencapaian kebenaran. Retorika sofis
tidak menjadikan kebenaran sebagai sarana untuk membentuk opini public
melainkan mereduksinya sekedar kecakapan bahasa untuk memenangkan tujuan
politik.11
4. Aristoteles
Aristoteles mengatakan bahwa retorika sebagai filsafat, sedang tokoh yang lain
menekankan sebagai seni. Menurut Aristoteles, tujuan retorika adalah
membuktikan maksud pembicaraan atau menampakkan pembuktian. Ini terdapat
pada logika. Keindahan bahasa hanya digunakan untuk membenarkan, memerintah,
mendorong, dan mempertahankan sesuatu.12
D. Asumsi Teori Retorika
Teori Aristoteles mengenai retorika dipandu oleh dua asumsi dasar, yaitu:
1. Pembicara publik yang efektif harus mempertimbangkan audiens mereka dan
pembicara publik yang efektif menggunakan sejumlah bukti dalam presentasi
mereka. Dalam konteks berbicara di depan umum, Aristoteles menyarankan bahwa
hubungan antara pembicara dengan audiens harus diakui. Bukti inartistik atau
eksternal adalah yang tidak dibuat oleh pembicara. Mereka akan menyertakan
kesaksian saksi atau dokumen yang ada. Dimana bukti-bukti adalah mereka yang
"sudah ada sebelumnya" karena mereka ada di luar konstruksi retor individu.
Sebagai pembicara, dengan kata lain, telah ditemukan bukti artistik sementara bukti
inartistik ada di luar upaya penemuan. Dengan cara ini, bukti inartistik tidak begitu
banyak kondisi sebelumnya di mana retorika harus menavigasi upaya persuasif
mereka karena mereka adalah bahan yang dapat dipilih dalam konstruksi kasus

9
Ibid.
10
Suprapto, Rio Kurniawan, and Helfiana Sihaloho, “Metode Sugestopedia Sebagai Alternatif Pembelajaran
Retorika Di Perguruan Tinggi,” in Prosiding Seminar Daring Nasional: Pengembangan Kurikulum Merdeka
Belajar Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia., 2020, 170.
11
Kamaruddin Hasan, “Retorika Dan Politik,” in Handout Komunikasi Politik, 2016, 1.
12
Rajiyem, “Sejarah Dan Perkembangan Retorika,” 145.
2. Asumsi kedua yang mendasari teori Aristoteles berkaitan dengan pertimbangan
tiga bukti retoris: logika (logos), emosi (pathos) dan etika atau kredibilitas (ethos).
Berdasarkan hal ini pembicara yang efektif menggunakan beberapa bukti dalam
presentasi mereka. Bukti yang dimaksud mengacu pada cara persuasi: ethos,
pathos, dan logos.13
E. Dimensi dalam Teori Retorika
Jalaludin Rakhmat dalam bukunya Psikologi Komunikasi menuturkan:
“Lebih dari 2000 tahun lalu Aristoteles menulis: Persuasi tercapai karena karakteristik
personal pembicara, yang ketika ia menyampaikan pembicaraannya kita
menganggapnya dapat dipercaya. Kita lebih penuh dan lebih cepat percaya pada
orang-orang baik daripada orang lain: Ini berlaku umumnya pada masalah apa saja
dan secara mutlak berlaku ketika tidak mungkin ada kepastian dan pendapat terbagi.
Tidak benar, anggapan sementara penulis retorika bahwa kebaikan personal yang
diungkapkan pembicara tidak berpengaruh apa-apa pada kekuatan persuasinya;
sebaliknya karakternya hampir bisa disebut sebagai alat yang palng efektif yang
dimiliknya”14
Banyaknya konsep retorika dari berbagai tokonya, maka pada bahasan ini akan
lebih difokuskan pada pembahasan teori retorika Aristoteles. Aristoteles banyak
belajar dari Plato. Aristoteles menulis buku sebagai pegangan dalam ilmu retorika
yang berjudul De Arte Rhetorica, yang terdiri dari tiga jilid. Pokok-pokok pikiran
Aristoteles ini kemudian dikembangkan lagi oleh ahli retorika klasik. Mereka
menyusun lima tahap penyusunan pidato yang terkenal sebagai lima hukum retorika
(The five Canons of Rhetoric)15:
1) Inventio (penemuan), pada tahap ini pembicara menggali topik dan meneliti khalayak
untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat. Bagi Aristoteles, retorika tidak lain
daripada “kemampuan untuk menentukan, dalam kejadian tertentu dan situasi tertentu,
metode persuasi yang ada”. Dalam tahap ini juga, pembicara merumuskan tujuan dan
mengumpulkan bahan (argumen) yang sesuai dengan kebutuhan khalayak.
2) Dispesitio (penyusunan), pada tahap ini pembicara menyusun pidato atau
mengorganisasikan pesan. Aristoteles menyebutnya taxis, yang berarti pembagian. Pesan

13
Rifqi Nadhmy Dhia, Jasmine Alya Pramesthi, and Irwansyah, “Analisis Retorika Aristoteles Pada Kajian Ilmiah
Media Sosial Dalam Mempersuasi Publik,” Linimasa: Jurnal Ilmu Komunikasi 4, no. 1 (2021): 85.
14
Fifi Hasmawati, “Karakteristik Komunikator Yang Efektif Dalam Komunikasi Antar Pribadi,” Jurnal
Komunikasi Islam Dan Kehumasan (JKPI) 4, no. 2 (2020): 77–78.
15
Ahmad Tamrin Sikumbang, “Kontribusi Filsafat Barat Terhadap Ilmu Komunikasi,” Analytica Islamica 2, no. 1
(2013): 30.
harus dibagi ke dalam beberapa bagian yang berkaitan secara logis. Susunan berikut ini
mengikuti kebiasaan berpikir manusia: pengantar, pernyataan, argumen, dan epilog.
Menurut Aristoteles, pengantar bergungsi menarik perhatian, menumbuhkan kredibilitas
(ethos), dan menjelaskan tujuan.
3) Eloqutio (gaya bahasa), pada tahap ini, pembicara memilih kata-kata dan menggunakan
bahasa yang tepat untuk “mengemas” pesannya. Aristoteles memberikan nasihat ini:
gunakan bahasa ang tepat, benar, dan dapat diterima; pilih katakata yang jelas dan
langsung; sampaikan kalimat yang indah, mulia, dan hidup; dan sesuaikan bahasa dengan
pesan, khalayak, dan pembicara.
4) Memoria (ingatan), pada tahap ini pembicara harus mengingat apa yang ingin
disampaikannya, dengan mengatur bahan-bahan pembicaraannya. Aristoteles
menyarankan “jembatan keledai” untuk memudahkan ingatan. Di antara semua
peninggalan retorika klasik, memori adalah yang paling kurang mendapat perhatian para
ahli retorika modern.
5) Pronuntiatio (cara penyampaian pesan), pada tahap ini pembicara menyampaikan
pesannya secara lisan. Di sini, akting sangat berperan. Demosthenes menyebutnya dengan
hypocrisis. Pembicara harus memperhatikan olah suara (vocis) dan gerakan-gerakan
anggota badan. 16
Hukum retorika yang menjadi bahasan pada tulisan ini berfokus pada tahap awal
yakni Inventio (penemuan). Aristoteles merumuskan kembali tiga dimensi yang
mempengaruhi efisiensi komunikator:
1) Dimensi Ethos
Ethos terdiri dari pikiran baik, akhlak yang baik, dan maksud yang baik (good
sense, good moral, character, good will). Pendapat Aristoteles ini diuji secara
ilmiah 2300 tahun kemudian oleh Carl Hovland dan Walter Weiss (1951). Mereka
melakukan eksperimen pertama tentang psikologi komunikator. Kepada sejumlah
besar subjek disampaikan pesan tentang kemungkinan membangun kapal selam
yang digerakkan oleh tenaga atom (waktu itu, menggunakan energi atom masih
merupakan impian). Hovland dan Weiss menyebut ethos ini credibility yang
terdiri dari dua unsur: Expertise (keahlian) dan trustworthiness (dapat dipercaya).
Ketika komunikator berkomunikasi, yang berpengaruh terhadap khalayak bukan
saja apa yang ia katakan (pesan), tetapi penampilannya, keadaan dirinya, cara

16
Sulistyarini and Zainal, Buku Ajar Retorika, 51:24–26.
berpakaiannya, model sisir rambutnya juga berpengaruh terhadap khalayak, dan
sekaligus semuanya mendapat penilaian dari khalayak pada saat itu.17
2) Dimensi Pathos
Pathos diartikan sebagai imbauan emosional yang ditunjuk oleh seorang
komunikator dengan menampilkan gaya dan bahasanya yang meningkatkan
energy dengn semangat yang tinggi pada khalayak.
3) Dimensi Logos
Logos diartikan sebagai imbauan logis yang ditunjukkan seorang komunikator
bahwa uraiannya masuk akal sehingga pantas untuk diikuti dan dilaksanakan oleh
khalayak sama juga dengan pathos, logos juga perlu dimiliki oleh seorang orator
atau rethor.18
Dalam dimensi ethos atau faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas
komunikator, yaitu:
1) Kredibilitas
Kredibilitas adalah persepsi sederhana yang dapat diartikan pandangan
pendenger terhadap komunikator akan tetapi persepsi tersebut tidak tetap
melainkan berubah-ubah bergantung kepada pelaku persepsi, topik yang
dibahas.19 Kredibilitas juga bermakna seperangkat persepsi komunikasi tentang
sifat-sifat komunikator, dalam definisi ini terkandung dua hal:
1. Kredibilitas adalah persepsi komunikasi jadi tidak inheren dalam diri
komunikator.
2. Kredibilitas berkenaan dengan sifat-sifat komunikator.20
Jalaludin Rakhmat juga berpendapat bahwa kredibilitas terdiri dari beberapa
komponen penting, diantaranya adalah keahlian dan kepercayaan.
1. Keahlian adalah kesan yang dibentuk komunikan tentang kemampuan
komunikator dalam hubungannya dengan topik yang dibicarakan.
Indikatornya adalah cerdas, mampu, ahli, tahu banyak, berpengalaman,
atau terlatih.

17
Rila Setyaningsih, Psikologi Komunikasi (Suatu Pengantar Dan Perspektif Islam), ed. Ahad Hidayatullah
Zaekasyi (Ponorogo: UNIDA Gontor Press, 2019), 201, https://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-
mfi-results.
18
Winda Kustiawan et al., “Pentingnya Psikologi Komunikator,” Jurnal Ilmu Komputer, Ekonomi, Dan
Manajemen (JIKEM) 2, no. 1 (2022): 2049.
19
Zidni Ilman Nafia and Khafidhoh, “Perubahan Gaya Dakwah Da’i Di Bulan Ramadhan Dalam Pandemi
Covid 19 (Perspektif Psikologi Da’i),” Journal of Communication Studies 1, no. 01 (2021): 37,
doi:10.37680/jcs.v1i01.710.
20
Winda Kustiawan et al., “Psikologi Komunikator,” Journal Analytica Islamica 11, no. 1 (2022): 3.
2. Kepercayaan adalah kesan komunikan tentang komunikator yang
berkaitan dengan waktaknya. Aristoteles menyebutnya good moral
character.21
2) Atraksi
Atraksi adalah daya tarik komunikator yang bersumber dari fisik. Seorang
komunikator disenangi dan dikagumi yang memungkinkan pandengar menerima
kepuasan dengan kata lain pendengar tunduk terhadap pesan yang dikomunikasi
komunikator. Atraksi ini disebabkan oleh adanya factor kesamaan antara
komunikator dan komunikan, sehingga memungkinkan komunikan tunduk
terhadap pesan yang dikomunikasikan komunikator. Daya tarik atau atraksi ini
tercermin dalam dua hal:
a. Daya tarik fisik, yaitu salah satu hal yang dapat menyebabkan komunikan
merasa tertarik kepada komunikator. Hal ini berkaitan dengan daya tarik fisik,
ganjaran, kesamaan, dan kemampuan. Komunikator yang menarik secara fisik
akan memiliki daya tarik tersendiri yang menungkin ia memiliki pesona
persuasif.
b. Daya tarik yang dipengaruhi oleh homophily dan heterophily. Homophily
terjadi ketika antara komunikator dan komunikan merasa ada kesamaan dalam:
status sosial ekonomi, pendidikan, sikap, dan kepercayaan. Kesamaan ini
menjadi daya tarik. Oleh karena itu, komunikator yang ingin memengaruhi
orang lain sebaiknya memulai dengan menegaskan kesamaan antara dirinya
dengan komunikan. Upaya ini dalam konteks retorika disebut “strategy of
identification” ujar Kenneth Burke, atau “establishing common grounds”.
Heterophily terdapat perbedaan status ekonomi, pendidikan, sikap, dan
kepercayaan antara komunikator dan komunikan. Namun demikian,
komunikasi akan lebih efektif pada kondisi yang memiliki homophily. Pada
kondisi homophily komunikator yang dipersepsi memiliki kesamaan dengan
komunikan akan lebih efektif dalam berkomunikasi.22
3) Kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan menimbulkan ketundukan. Dimana
ketundukan yang menimbulkan dari interaksi antara komunikator dan

21
Setyaningsih, Psikologi Komunikasi (Suatu Pengantar Dan Perspektif Islam), 202.
22
Ibid., 208–9.
pendengar. Kepuasan menyebabkan seorang komunikator “memaksakan”
kehendaknya kepada orang lain. karena ia memiliki sumber daya penting.
Atas dasar kekuasaan French dan Raven menyebut beberapa jenis kekuasaan,
yaitu:
a. Kekuasaan Koersif (Coersive Power): menunjukkan kemampuan komunikator
untuk mendatangkan ganjaran atau mendatangkan hukuman bagi komunikan.
Misalnya hukuman yang bersifat personal: benci atau kasih sayang.
b. Kekuasaan Keahlian (Expert Power): berasal dari pengetahuan, pengalaman,
keterampilan, atau kemampuan yang dimiliki komunikator. Seorang dosen
memiliki kekuasaan keahlian, sehingga ia dapat menyuruh mahasiswanya
menafsirkan suatu teori sesuai dengan pendapatnya.
c. Kekuasaan Informasional (Informational Power): berasal dari isi komunikasi
tertentu atau pengetahuan baru yang dimiliki oleh komunikan. Seorang ahli
komputer dapat menyarankan manajernya untuk membeli komputer jenis/
keluaran baru yang lebih baik cara kerjanya.
d. Kekuasaan rujukan (Referent Power): Komunikan menjadikan komunikator
sebagai kerangka rujukan untuk menilai dirinya. Misalnya: menjadikan
komunikator sebagai teladan, karena perilakunya yang baik.
2) Kekuasaan Legal (Legitimate Power): berasal dari seperangkat aturan atau
norma yang menyebabkan komunikator berwenang untuk melakukan suatu
tindakan. Misalnya: seorang direktur bisa saja mengeluarkan pegawainya
yang melanggar aturan.23

23
Ibid., 210.
DAFTAR PUSTAKA

Alatas, Salim. “Evolusi Kajian Komunikasi (Studi Terhadap Perkembangan Kajian


Komunikasi).” Jurnal Communication 5, no. 1 (2014): 11–22.

Dhia, Rifqi Nadhmy, Jasmine Alya Pramesthi, and Irwansyah. “Analisis Retorika Aristoteles
Pada Kajian Ilmiah Media Sosial Dalam Mempersuasi Publik.” Linimasa: Jurnal Ilmu
Komunikasi 4, no. 1 (2021): 2021.

Hasan, Kamaruddin. “Retorika Dan Politik.” In Handout Komunikasi Politik, 1–9, 2016.

Hasmawati, Fifi. “Karakteristik Komunikator Yang Efektif Dalam Komunikasi Antar Pribadi.”
Jurnal Komunikasi Islam Dan Kehumasan (JKPI) 4, no. 2 (2020): 69–95.

Kustiawan, Winda, Laila Fitri, Ajizah Nurul Fadhilah Siddiq, Anis Sa’adah, Haris Fadhilah,
Sri Ayu Ulandari, and Muhammad Wisudawan. “Pentingnya Psikologi Komunikator.”
Jurnal Ilmu Komputer, Ekonomi, Dan Manajemen (JIKEM) 2, no. 1 (2022): 2045–50.

Kustiawan, Winda, Lily Yuniar, Diana Wulan Fitri, Julinar Arianti, and Adillah Wandasari.
“Psikologi Komunikator.” Journal Analytica Islamica 11, no. 1 (2022): 1–9.

Nafia, Zidni Ilman, and Khafidhoh. “Perubahan Gaya Dakwah Da’i Di Bulan Ramadhan
Dalam Pandemi Covid 19 (Perspektif Psikologi Da’i).” Journal of Communication
Studies 1, no. 01 (2021): 31–47. doi:10.37680/jcs.v1i01.710.

Nurhadi, Zikri Fachrul, and Achmad Wildan Kurniawan. “Kajian Tentang Efektivitas Pesan
Dalam Komunikasi.” Jurnal Komunikasi Hasil Pemikiran Dan Penelitian 3, no. 1 (2017):
90–95.

Putri, Kinkin Yuliaty Subarsa. Teori Komunikasi. Edited by Dewi Angraeni. Jakarta:
Nerbitinbuku.com, 2017. https://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-mfi-
results.

Rajiyem. “Sejarah Dan Perkembangan Retorika.” Humaniora 17, no. 2 (2005): 142–53.

Setyaningsih, Rila. Psikologi Komunikasi (Suatu Pengantar Dan Perspektif Islam). Edited by
Ahad Hidayatullah Zaekasyi. Ponorogo: UNIDA Gontor Press, 2019.
https://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-mfi-results.

Sikumbang, Ahmad Tamrin. “Kontribusi Filsafat Barat Terhadap Ilmu Komunikasi.” Analytica
Islamica 2, no. 1 (2013): 25–35.
Sulistyarini, Dhanik, and Anna Gustiana Zainal. Buku Ajar Retorika. Edited by Khaerul
Ikhwan. CV. AA. Rizky. Vol. 51. Banten: CV. AA. Rizky, 2018.

Suprapto, Rio Kurniawan, and Helfiana Sihaloho. “Metode Sugestopedia Sebagai Alternatif
Pembelajaran Retorika Di Perguruan Tinggi.” In Prosiding Seminar Daring Nasional:
Pengembangan Kurikulum Merdeka Belajar Program Studi Pendidikan Bahasa
Indonesia., 167–72, 2020.

Anda mungkin juga menyukai