Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Keberadaan dakwah dalam agama Islam, secara garis besar dapat

diklasifikasikan dalam dua hal yaitu normative (syar’i) dan materil (fungsional).

Secara normative baik al-Qur’an maupun hadis nabi saw berulang-ulang

menekankan, bahwa agama Islam adalah agama dakwah dan umat Islam adalah

umat Da’i. Agama Islam menuntut didakwahkan secara intensif dan kontiniyu

dengan mendudukkan umat Islam sebagai penanggung jawabnya baik secara

individual maupun secara kolektif. Dengan kata lain, dakwah menjadi tanggung

jawab besar diseluruh umat Islam dari generasi ke genarasi. Tugas dan tanggung

jawab dakwah telah dilaksanakan Rasulullah saw, sahabat, para tabi’in dan para

tabi’ tabi’in dengan baik dan sempurna. 1 Meskipun melihat zaman sekarang tidak

semua orang menerima dirinya sebagai da’i yakni penyeruh kepada kebaikan.
Secara teknis, dengan menimbang karakteristik masyarakat, dakwah

sejatinya tetap menjadi wujud aktifitas sosial yang fleksibel, tidak bisa

dipaksakan, baik para aspek substansi, pesan maupun pendekatan. Dakwah

idealnya selalu berpihak pada kebutuhan dasar manusia, sebagai individu sebagai

komunitas yang syarat ruang psikologis.2

1
Nasri Hamang Najed, Dakwah Efektif, Cet. I, (Sulawesi Selatan: Lembah Harapan Press), h. 1
2
Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Dakwah, Cet. I (Bandung: Simbiosa Rekatama Media), h. 31
2
2

1.2 Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam proses penyusunan makalah

ini adalah “Antisipasi Konflik dengan Komunikasi Islam”. Untuk memberikan

kejelasan makna serta menghindari meluasnya pembahasan, maka dalam makalah

ini masalahnya dibatasi pada :

1. Bagaimana hubungan konflik dengan komunikasi Islam dalam interaksi

sosial?

2. Bagaimana epistemologi komunikasi Islam?

3. Bagaimana prinsip-prinsip pendekatan komunikasi dalam Al-Qur’an?


3

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Hubungan Konflik dengan Komunikasi dalam Interaksi Sosial

Pada dasarnya, manusia adalah makhluk yang bergantung. Oleh karena itu,

manusia tidak bisa hidup secara mandiri dan pasti membutuhkan orang lain untuk

mengatasi kendala yang ada dalam kehidupannya. Tidak berlebihan jika manusia

biasa disebut makhluk sosial. dalam menjalani kehidupan sosial tersebut,

seseorang memerlukan sebuah fasilitas serta cara untuk membantunya

mempermudah dirinya untuk masuk pada ranah sosial tersebut. Interaksi dan

komunikasi merupakan ungkapan yang kemudian dapat menggambarkan cara

serta komunikasi tersebut. Secara umum, interaksi merupakan kegiatan yang

memungkinkan terjadinya sebuah hubungan antara seseorang dan orang lain, yang

kemudian diaktualisasikan melalui praktek komunikasi. 3 Dalam interaksi yang

terjadi, ketika komunikasi tidak berjalan sesuai dengan tujuan maka bisa
menyebabkan munculnya konflik.

Konflik yang disebabkan oleh persoalan yang abstrak, seperti nilai dan

norma, dan ideologi cenderung mengarah pada bentuk kekerasan dan sulit

melahirkan integrasi. Sebaliknya konflik yang didasarkan pada masalah-masalah

yang riil akan melahirkan konsensus. Durasi konflik menjadi panjang atau pendek

sangat tergantung pada sejauh mana tujuan-tujuan dari masing-masing kelompok

didefinisikan terutama oleh para pemimpin masing-masing. Sedangkan dari segi

fungsi, konflik mengandung manfaat sekaligus hambatan bagi keseimbangan atau

stabilitas struktur maupun sistem sosial, tergantung sejauh mana intensitas

3
Wahyu Illaihi, Komunikasi Dakwah, Cet. I, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h . 131
4
4

komunikasi dan konformitas para anggota kelompok-kelompok yang berkonflik. 4

Misalnya miscommunication merupakan salah satu yang dapat memicu konflik

karena adanya kesalahpahaman dalam memahami makna (isi pesan) antara

komunikator dan komunikan.

Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada berbagai faktor,

antara lain: faktor imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati. Faktor-faktor tersebut

dapat bergerak sendiri-sendiri secara terpisah maupun dalam keadaan tergabung.

Imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai

yang berlaku. Namun demikian imitasi mungkin pula mengakibatkan terjadinya

hal-hal negative.5 Misalnya tindakan peniruan yang menyimpang.

Jadi suatu konflik berkaitan dengan bagaimana cara seseorang

berkomunikasi dengan orang lain dalam suatu interaksi. Selain itu salah satu

syarat interaksi selain kontak sosial adalah komunikasi.

2.2 Epistemologi Komunikasi Islam

Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata,
yaitu episteme yang berarti pengetahuan, dan logos yang berarti pikiran, teori atau

ilmu. Jadi, epistemology berarti pikiran atau teori tentang pengetahuan atau ilmu

pengetahuan. Istilah lain juga biasa digunakan yaitu teori pengetahuan (theory of

knowledge) atau filsafat pengetahuan (philosophy of knowledge). Menurut

Poedjiadi (2001) epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang

pengetahuan.6 Sederhananya epistemology adalah how to get? Bagaimana

mendapatkannya.

4
Ambo Upe, Tradisi Aliran dalam Sosiologi, ( Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 2010), h. 162.
5
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, ( Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1982), h. 57
6
Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2014), h. 136
5

Kajian epistemologi merupakan bagian dari kajian filsafat ilmu yang

mencakup sumber, metode, esensi, dan validitas kebenaran pengetahuan. Ini sama

halnya dengan suatu tata cara, proses dan prosedur yang memungkinkan

pencapaian pengetahuan berupa ilmu, dan segala hal menjadi aspek perhatian atau

konsistensi dalam mendapatkan pengetahuan yang benar. Jika alur pikir dan

penjelasan ini dapat kita pahami, maka epistemology ilmu komunikasi Islam

berarti berupa kajian secara filosofis tentang sumber, metode, esensi, dan validitas

ilmu komunikasi Islam. Sumber menjelaskan asal-usul ilmu komunikasi Islam,

sedangkan metode menguraikan tentang cara mendapatkan ilmu tersebut dari

sumbernya. Sementara itu, esensi memaparkan tentang hal-hal yang menjadi

karakteristik ilmu komunikasi Islam, dan validitasnya menjadi verifikasi

komunikasi Islam dari segi keilmuan.7 Memang komunikasi yang dikembangkan

oleh orang-orang barat masih memiliki kesamaan dengan komunikasi Islam.

Tetapi yang membedakannya filosofisnya.

Komunikasi didefinisikan oleh DeVito (1986) sebagai proses atau tindakan

mengirimkan suatu pesan dari seorang pengirim kepada penerima, melalui satu

saluran yang diselingi oleh gangguan. Sementara itu, Gozali (2003) merumuskan

komunikasi sebagai berlangsungnya aliran informasi, pertukaran gagasan, atau

proses saling berbagi makna diantara pengirim dan penerima. 8 Dalam komunikasi

ini juga ada dikenal istilah encoding dan decoding artinya sebelum mengirim

pesan ada proses kognitif dan penerima melakukan penafsiran terhadap pesan

yang disampaikan kemudian memberikan efek atau pengaruh sehingga ada timbal

balik antara komunikator dan komunikan.

7
Darta Sitepu. 2012. Jurnal Komunikasi dalam Perspektif Islam. Diakses dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=252543&val=6804&title=KOMUNIKASI
%20DALAM%20PERSPEKTIF%20ISLAM, pada tanggal
8
Bambang Ma’arif, Komunikasi Dakwah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), h. 33
6

Menurut Yusuf Husain, komunikasi Islam adalah proses menyampaikan

atau bertukar perutusan dan maklumat dengan menggunakan prinsip dan kaedah

yang terdapat dalam Al- Qur’an dan hadis. Terekam dengan jelas bahwa tindakan

komunikasi tidak hanya dilakukan terhadap sesama manusia dan lingkungan

hidupnya saja, melainkan juga dengan Tuhannya. Dalam Al-Qur’an banyak sekali

ayat yang menggambarkan tentang proses komunikasi. Salah satu diantaranya

adalah dialog yang terjadi pertama kali diantara Allah Swt., malaikat, dan

manusia. Dialog tersebut sekaligus menggambarkan salah satu potensi manusia

yang dianugerahkan Allah Swt. Potensi tersebut dapat dilihat dalam Qs. Al-

Baqarah (2) 31-33:

“Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama benda seluruhnya,


kemudian mengemukakannyakepada malaikat lalu berfirman: ‘Sebutkanlah
kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu orang-orang yang benar!’ Mereka
menjawab :’Maha suci Engkau, tidak ada yang Engkau ketahui selain apa yang
telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.’ Allah berfirman: ‘Hai Adam, beritahukanlah
nama-nama benda itu.’ Allah berfirman; ‘Bukankah sudah Kukatakan kepadamu
bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui
apa yang kamu lahirkan dan yang kamu sembunyikan.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 31-
33)9
Dalam komunikasi terdapat istilah retorika. Jika istilah retorika

dihubungkan dengan Islam. Yusuf Al-Qaradhawi menjelaskan retorika agama

Islam adalah penjelasan yang disampaikan atas nama Islam, untuk mengajak

mereka kepada Islam, atau mengajarkan keislaman, dan mendidik mereka secara

akidah dan syariah, ibadah dan muamalah, serta pemikiran dan tingkah laku. 10

Meski pengertian retorika terkadang dianggap negative, seolah-olah retorika

merupakan propoganda seni dengan kata-kata yang indah tetapi mengabaikan

kebenaran isinya. Padahal retorika yang baik adalah dimana pesannya

mengandung unsur kebenaran.

9
Wahyu Illahi, Komunikasi Dakwah, Cet. I, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 1
10
Yusuf Al-Qaradhwi, Retorika Islam, (Jakarta Timur: Khalifah, 2004), h. 1
7

Rancangan epistemik ilmu komunikasi Islam, dari segi sumber, metode, dan

kevalidan kegunaan akan kebenaran sudah tidak diragukan lagi. Ilmu komunikasi

Islam diharapkan sangat banyak bermanfaat bagi kesejahteraan hidup manusia,

karena ia terkait dengan nilai normatifitas, yakni komunikasi yang menggunakan

prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah komunikasi yang terdapat dalam Al- Qur’an

dan hadis. Prinsip komunikasi Islam bukan hanya sekedar penyampaian pesan dan

mengubah sikap dan perilaku komunikan, namun yang terpenting kemaslahatan

dan kemuliaan antara komunikator dan komunikan.11 Maka inilah yang

membedakan konsep komunikasi Islam dengan komunikasi Barat.

2.3 Prinsip- Prinsip Komunikasi dalam Al-Qur’an

Prinsip-prinsip pendekatan komunikasi yang terkandung dalam qawl/kata

dalam Al-Qur’an beserta tafsirannya meliputi:

2.3.1 Qawlan Adhima

Kata-kata yang mengandung qawlan adhima terekam dalam al-Quran pada

Qs. Al-Isra : 40

“Maka apakah patut Tuhan memilihkan bagimu anak-anak laki-laki sedang dia

sendiri mengambil anak-anak perempuan di antara para malaikat? Sesungguhnya

kamu benar-benar mengucapkan kata-kata yang besar (dosanya).” Qs. Al-Isra : 40

“Sesungguhnya kamu mengucapkan kata-kata yang besar”, dalam ayat

tersebut diartikan sebagai “kata-kata” atau “ucapan yang banyak mengandung


11
Darta Sitepu. 2012. Jurnal Komunikasi dalam Perspektif Islam. Diakses dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=252543&val=6804&title=KOMUNIKASI
%20DALAM%20PERSPEKTIF%20ISLAM, pada tanggal
8

kesalahan dan kebohongan atau tidak memiliki dasar sama sekali”. 12 Penafsiran

ayat tersebut bahwa kita tidak boleh berbohong dalam menyampaikan suatu pesan

(berkomunikasi dengan orang lain) karena kata-kata yang mengandung

kebohongan dan tuduhan sangatlah dibenci oleh Allah Swt. Perkataan yang keluar

dari mulut kita haruslah selalu mengandung kebenaran.

2.3.2 Qawlam Baligha (Ucapan yang Fasih)

Kata qawlam baligha tersebut dalam al- Qur’an hanya disebut satu kali, yaitu

dalam Qs. Al- Nisa (4) : 63 sebagaimana berikut:

“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati

mereka. Karena itu berpalinglah dari mereka, dan berilah mereka pelajaran dan

katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwa mereka”.

Menurut M. Quraisy Syihab, ayat tersebut mengibaratkan hati mereka

(orang-orang munafik dan yang cenderung kepada kekafiran) sebagai wadah

ucapan yang harus diperhatikan sehingga apa yang dimaksukkan ke dalamnya

sesuai, bukan saja dalam segi jumlahnya, tetapi juga dengan sifat wadah itu. Ada

jiwa yang harus diasah dengan ucapan-ucapan halus dan ada yang harus

dihentakkan dengan kalimat-kalimat keras atau ancaman yang menakutkan. 13

Perlu diperhatikan cara dan waktu penyampaian pesan kepada orang lain.

Misalnya perhatikan suasana hatinya atau dengan menggunakan intonasi (nada

suara) dalam situasi yang tepat.

12
Wahyu Illahi, Komunikasi Dakwah, Cet. I, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 171
13
Nasri Hamang Najed, Dakwah Efektif, Cet. I, (Sulawesi Selatan: Lembah Harapan Press), h. 22
9

2.3.3 Qawlan Karima (Ucapan Mulia)

Ungkapan qawlan karima ini terindentifikasi dalam Qs. Al- Isra’ (17) : 23,

seperti berikut:

“Dan Tuhamu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain

(diri-Nya) dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-

baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai

berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka jangan sekali-kali kamu mengatakan

kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan

ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.

Ayat di atas menuntut agar apapun yang disampaikan kepada orangtua

bukan saja yang benar dan tepat, bukan saja yang sesuai dengan adat dan

kebiasaan yang baik dalam masyarakat, tetapi juga yang diiringi dengan terbaik
dan yang termulia. Dan kalaupun seandainya orangtua melakukan “kesalahan”

terhadap anak maka kesalahan tersebut harus dianggap taka da atau dimaafkan

( dalam arti dianggap tidak pernah ada dan terhapus dengan sendirinya),

bagaimanapun juga, tidak ada orangtua yang bermaksud buruk pada anaknya.

Demikianlah, makna “kariman” yang dipesankan kepada anak dalam menghadapi

orangtuanya.14 Seperti yang diketahui, konflik bisa saja muncul dengan orang

yang terdekat termasuk keluarga. Misalnya seorang anak yang berkonflik dengan

orang tuanya seperti yang pernah terjadi di dunia entertainment Arumi Bachin

(artis) yang sempat berkonflik dengan ibundanya.

14
Wahyu Illahi, Komunikasi Dakwah, Cet. I, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 176
10

2.3.4 Qawlan Layyina (Ucapan yang Lemah Lembut)

Qawlan layyina tersebut terdapat dalam Qs. Thaha : 44 seperti berikut:

“Maka berbicaralah kamu kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah

lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”.

M. Quraisy Syihab mengemukakan, layyina berarti lemah lembut, tidak

mengandung antipasti atau amarah. Dengan dasar itu, al-Maragi memaknakan

dengan perkataan yang tidak keras dan kasar. Qawlan Layyina sebenarnya

merupakan sebuah bentuk perkataan yang bermotif dakwah. 15 Berbicara kepada

orang lain dengan lemah lembut akan memberikan rasa kenyamanan dan saling

memahami. Sehingga kita dapat terhindar dari konflik yang dapat berujung

dengan pertikaian.

2.3.5 Qawlam Maysura (Ucapan yang Pantas)

Allah berfirman dalam Qs. Al- Isra : 28, seperti berikut ini:

“Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu

yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas”.

Qawlam Maysura digunakan apabila yang menjadi sasaran atau lawan

berbicara adalah kaum kerabat, orang-orang miskin dan ibnu sabil yang suatu

ketika berbicara dengan mereka, sementara tidak memiliki kemampuan untuk

memberikan hak-haknya berupa materi yang karenanya, hak-hak itu diganti

dengannya (ucapan-ucapan yang pantas). Qawlam Masyura dapat dimaknakan

15
Nasri Hamang Najed, Dakwah Efektif, Cet. I, (Sulawesi Selatan: Lembah Harapan Press), h. 21
11

sebagai ucapan-ucapan yang secara psikis dan logika, mampu memberi spirit dan

semangat yang menggembirakan terhadap seseorang untuk suatu waktu dapat

hidup lebih makmur dan sejahtera. Ucapan-ucapan seprti itulah yang pantas

senantiasa harus diuntaikan, teristimewa antar para pihak yang mempunyai

hubungan kekeluargaan, yang secara tingkat kehidupan ekonomi tampak berbeda,

ada yang yang tergolong berkemampuan da nada yang tergolong kurang

berkemampuan.16 Misalnya antara orang kaya dan miskin. Si kaya yang

memberikan semangat agar giat bekerja keras dalam mencari rezeki tanpa

menghina si miskin.

2.3.6 Qawlam Ma’rufan (Ucapan yang Baik)

Ungkapan qawlam ma’rufan dalam Al-Qur’an terungkap dalam beberapa

ayat seperti Qs. Al-Baqarah:235, Qs. Al- Nisa’:5 dan Qs. Al-Nisa’: 8. Tetapi yang

berkaitan dengan antisipasi konflik dapat dilihat dalam Qs. Al-Nisa’ : 5, seperti

berikut ini:

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna

akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah

sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta

itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”.

Ayat tersebut diatas, lebih berkonotasi pada pembicaraan-pembicaraan

yang pantas bagi seseorang yang belum dewasa atau cukup akalnya atau orang-

orang dewasa, tetapi tergolong bodoh. Karena jika dilihat secara psikologis tipe

orang tersebut lebih menggunakan perasaan emosi daripada logika dan


16
Nasri Hamang Najed, Dakwah Efektif, Cet. I, (Sulawesi Selatan: Lembah Harapan Press), h. 20
12

pikirannya. Juga sekaligus menempatkan manusia pada posisi yang tertinggi dan

terhormat, karena selalu mengingatkan tentang pentingnya sebuah komunikasi

yang baik untuk memelihara hubungan yang harmonis antar sesama. 17 Maka dari

itu, akan lebih baik jika dalam berkomunikasi dengan orang lain senantiasa

mencupkan kata-kata yang baik yang tidak menyinggung perasaan orang lain.

2.3.7 Qawlan Saddidan (Ucapan yang Benar)

Kata qawlan saddidan tersebut dalam al-Qur’an sebanyak dua kali, yaitu

dalam Qs. Al- Ahzab: 70 danQs. Al- Nisa: 9.

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya

meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir

terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa

kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (Qs. Al-

Nisa: 9).

Menurut M. Quraisy Syihab, kata Sadidan dalam ayat tersebut tidak sekedar

berarti benar, tetapi juga berarti tepat sasaran. Dalam konteks ini, keadaan sebagai

kanak-kanak yang lemah (anak yatim) pada hakikatnya berbeda dengan anak-anak

kandung sendiri, yang hal itu menjadikan mereka selalu dalam keadaan kondisi

psikis peka dan sensitive, sehingga membutuhkan perlakuan yang lebih berhati-

hati dan kalimat-kalimat yang lebih terpilih, bukan saja kandungannya yang

benar, tetapi juga yang tepat. Karena itu kalau menegur atau memberi informasi

kepada mereka, jangan sampai teguran atau informasi itu menimbulkan kekeruhan

dalam hati mereka. Dengan kata lain, bahwa hendaknya informasi atau teguran

yang disampaikan sekaligus bersifat meluruskan kesalahan dan bersifat membina

mereka.18 Misalnya dalam kehidupan sosial, ketika ada masalah yang muncul,

17
Wahyu Illahi, Komunikasi Dakwah, Cet. I, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 184
18
Nasri Hamang Najed, Dakwah Efektif, Cet. I, (Sulawesi Selatan: Lembah Harapan Press), h. 18
13

seorang tokoh masyarakat (tokoh agama) memberikan solusi atau membina

mereka agar masalah dapat dihadapi dengan cara yang baik dan benar tanpa

menimbulkan konflik.

2.3.8 Qawlan Salama (Ucapan yang Menentramkan)

Manifestasi kata salam digambarkan dalam Qs. Al- Furqan: 63, sebagai

berikut:

“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu (ialah) orang-orang

yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil

menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik”.

Menurut Mujahid, yang dituju kata salam ialah sadidum minal qawl

(perkataan yang benar, tepat, pantas dan sedap). Karena itu menurutnya, hamba-

hamba Tuhan Yang Maha Pengasih yang dimaksudkan dalam ayat tersebut ialah
yang selalu tampil dengan perlakuan hulama (pribadi-pribadi yang murah hati),

yang menurut al- Hasan, yaitu mereka yang walaupun orang-orang jahiliah

menyapanya, tetap menyambutnya dengan ucapan yang baik, benar dan sedap. 19

Misalnya dalam sebuah desa, tidak semua warga desanya beragama Islam.

Namun, meski berbeda agama, kita harus tetap berkomunikasi dengan mereka

tentunya dengan ucapan yang baik dan benar (sopan).

19
Nasri Hamang Najed, Dakwah Efektif, Cet. I, (Sulawesi Selatan: Lembah Harapan Press), h. 8
14

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Setelah membahas pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan, sebagai

berikut:

3.1.1 Konflik yang disebabkan oleh persoalan yang abstrak, seperti nilai

dan norma, dan ideologi cenderung mengarah pada bentuk kekerasan dan
15

sulit melahirkan integrasi. Sebaliknya konflik yang didasarkan pada

masalah-masalah yang riil akan melahirkan konsensus. Durasi konflik

menjadi panjang atau pendek sangat tergantung pada sejauh mana tujuan-

tujuan dari masing-masing kelompok didefinisikan terutama oleh para

pemimpin masing-masing. Sedangkan dari segi fungsi, konflik mengandung

manfaat sekaligus hambatan bagi keseimbangan atau stabilitas struktur

maupun sistem sosial, tergantung sejauh mana intensitas komunikasi dan

konformitas para anggota kelompok-kelompok yang berkonflik. Misalnya

miscommunication merupakan salah satu yang dapat memicu konflik karena

adanya kesalahpahaman dalam memahami makna (isi pesan) antara

komunikator dan komunikan.

3.1.2 epistemology ilmu komunikasi Islam berarti berupa kajian secara

filosofis tentang sumber, metode, esensi, dan validitas ilmu komunikasi

Islam. Sumber menjelaskan asal-usul ilmu komunikasi Islam, sedangkan

metode menguraikan tentang cara mendapatkan ilmu tersebut dari

sumbernya. Sementara itu, esensi memaparkan tentang hal-hal yang menjadi

karakteristik ilmu komunikasi Islam, dan validitasnya menjadi verifikasi

komunikasi Islam dari segi keilmuan.

3.1.3 Prinsip-prinsip pendekatan komunikasi yang terkandung dalam


16
qawl/kata dalam Al-Qur’an, diantaranya: qawlan adhima, qawlam baligha

(ucapan yang fasih), qawlan karima (ucapan mulia), qawlan layyina (ucapan

yang lemah lembut), qawlam maysura (ucapan yang pantas), qawlam

ma’rufan (ucapan yang baik), qawlan saddidan (ucapan yang benar), qawlan

salama dan (ucapan yang menentramkan).

3.2 Saran
16

Komunikasi Islam masih membutuhkan pembahasan yang lebih mendalam

dan pengaplikasian secara nyata dalam kehidupan sehar-hari. Melihat dari dampak

negative yang ditimbulkan oleh suatu konflik, maka dengan melakukan penerapan

komunikasi Islam dalam interaksi sosial dapat meminimalisir konflik yang

terjadi. Sehingga hidup penuh dengan kedamaian antara sesame umat manusia.

Daftar Pustaka

Ambo Upe, Tradisi Aliran dalam Sosiologi, ( Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada,
2010), h. 162.

Bambang Ma’arif, Komunikasi Dakwah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010),


h. 33

George Ritzer Douglas, Teori Sosiologi Modern ,( Jakarta: Kencana, 2007), h.


153

Nasri Hamang Najed, Dakwah Efektif, Cet. I, (Sulawesi Selatan: Lembah


Harapan Press), h. 22
17

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, ( Jakarta: PT Rajagrafindo


Persada, 1982), h. 57

Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2014), h. 136

Wahyu Illaihi, Komunikasi Dakwah, Cet. I, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,


2010), h . 131

Yusuf Al-Qaradhwi, Retorika Islam, (Jakarta Timur: Khalifah, 2004), h. 1

Darta Sitepu. 2012. Jurnal Komunikasi dalam Perspektif Islam. Diakses dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=252543&val=6804&title=KOMUNIKASI%20DALAM
%20PERSPEKTIF%20ISLAM, pada tanggal

http://www.kompasiana.com/jayuputrapratama/indonesia-darurat-
konflik_552965436ea834ac128b458f

https://www.facebook.com/permalink.php?
story_fbid=242294729266618&id=232586356904122

18

Anda mungkin juga menyukai