Anda di halaman 1dari 61

Dosen pengajar: Cici Yusnayani, S.Kep,Ns,.M.

Kes

MAKALAH

KOMUNIKASI DALAM KEPERAWATAN I

OLEH:

NAMA: SULISTIANA

NIM : P201901018

KELAS : T1 KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MANDALA WALUYA

2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan sehingga
saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-
Nya tentunya saya tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta
kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat
nanti. Saya mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga saya mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas awal dari mata kuliah
Komunikasi Dalam Keperawatan.

Saya tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, saya
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah
ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila
terdapat banyak kesalahan pada makalah ini saya mohon maaf yang sebesar-
besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Kendari 11 januari

2021
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB IPENGARUH LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA DALAM


BERKOMUNIKASI

A. KOMINUKASI
B. KOMNIKASI ANTAR BUDAYA
C. IDENTITA ETNIS
D. TEORI INTERAKSI SIMBOLIK
E. KERANGKA KONSEP
F. OPERASIONALLISASI KONSEP
G. DEFINISI OPERASIONALISASI KONSEP
H. KOMNIKASI ANTAR BUDAYA
I. PERILAKU KOMNIKASI
J. ADAPTASI
K. BUDAYA
L. ADAPTASI BUDAYA
BAB IIKONSEP KOMNIKASI DALAM KONTEKS PELAYANAN
KESEHATAN KHUSUSNYA KOMNIKASI MULTIDISIPLIN

A. KOMNIKASI MULTIDISIPLIN
B. CARA KOMNIKASI MULTIDISIPLIN DALAM KEPERAWATAN
C. PENDEKATAN MULTIDISIPLIN
D. CARA KOMNIKASI MULTIDISIPLIN DALAM KEPERAWATAN
YANG BERLAKU
E. KOLABORASI
F. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGETAHUAN
G. MEDIA SOSIAL DAN DMPAKNYA TERDAPAT KESEHATAN FISIK
DAN MENTAL
H. PENDIDIKAN KESEHATAN DENGNAN PENDEKATAN PEER
GROUP (KELOMPOK SEBAYA)

BAB III TREND DAN ISSUE DALAM KOMNIKASI KESEHATAN

A. DEFINISI TREND DAN ISSUE DALAM PELAYANAN KESEHATAN


B. FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TREND DAN ISSUE
C. KONSEP TREND DAN ISSUE DALAM KEPERAWATAN
D. NILAI – NILAI TREND DAN ISSUE
E. PENTINGNYA KOMUNIKASI DALAM PELAYANAN KESEHATAN
F. FAKTOR –FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOMUNIKASI
G. TREND DAN ISSUE KOMUNIKASI DALAM KEPERAWATAN
H. ANGGOTA TIM INTERDISIPLIN
BAB I

PENGARUH LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA DALAM


BERKOMUNIKASI

A. Komunikasi
Istilah komunikasi berpangkal pada perkataan latin Communis
yang artinya membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan anatar
dua orang atau lebih. Komunikasi juga berasal dari akar kata dalam
Bahasa Latin Communico yang artinya membagi (Cangara, 2005: 18).
Dalam hidup bermasyarakat, orang yang tidak pernah
berkomunikasi dengan orang lain niscaya akan terisolasi dari masyarakat.
Pengaruh keterisolasian ini akan menimbulkan depresi mental yang pada
akhirnya membawa orang kehilangan keseimbangan jiwa. Oleh sebab itu,
menurut Dr Everett Kleinjan dari East West Center Hawaii, komunikasi
sudah merupakan bagian kekal dari kehidupan manusia seperti halnya
bernafas (Cangara, 2005: 1). Sedangkan Thomas M. Scheidel
mengemukakan bahwa kita berkomunikasi terutama untuk menyatakan
dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial dengan
orang di sekitar kita, dan untuk mempengaruhi orang lainuntuk merasa,
berpikir, atau berperilaku seperti yang kita inginkan (Mulyana, 2007: 4).
Gordon I Zimmerman merumuskan bahwa kita dapat membagi
tujuan komunikasi menjadi dua kategori besar. Pertama, kita
berkomunikasi untuk menyelesaikan tuigas-tugas yang penting bagi
kebutuhan kita. Kedua, kita berkomunikasi untuk menciptakan dan
memupuk hubungan dengan orang lain. Jadi komunikasi mempunyai
fungsi isi, yang melibatkan pertukaran informasi yang kita perlukan untuk
menyelesaikan tugas, dan fungsi hubungan yang melibatkan pertukaran
informasi mengenai bagaimana hubungan kita dengan orang lain
(Mulyana, 2007: 4). Sedangkan William I. Gorden merumuskan 4 fungsi
komunikasi yaitu; komunikasi sosial, komunikasi ekspresif, komunikasi
ritual, dan komunikasi instrumental, tidak saling meniadakan (Mulyana,
2007: 5).
Berbagai pakar komunikasi mencoba merumuskan definisi
komunikasi. Sebagaimana dikemukakan John R Wenburg dan Wiliam W.
Wilmot juga Kenneth K. Sereno dan Edward M. Bodaken setidaknya ada
tiga kerangka pemahaman mengenai komunikasi, yakni komunikasi
sebagai tindakan satu arah, komunikasi sebagai interaksi dan komunikasi
sebagai transaksi. Definisi yang sesuai dengan konsep komunikasi sebagai
tindakan satu arah misalnya adalah pendapat Carl I. Hovland yang
meyatakan proses yang memungkinkan seseorang (komunikator)
menyampaikan rangsangan (biasanya lambang-lambang verbal) untuk
mengubah perilaku orang lain (komunikan) (Mulyana, 2007: 68).
Sedangkan definisi komunikasi sebagai konsep transaksi, misalnya,
pendapat Judy C.Pearson dan Paul E. Nelson yang merumuskan
komunikasi sebagai proses memahami dan berbagi makna (Mulyana,
2007: 76).
Esensi komunikasi terletak pada proses, yakni suatu aktivitas yang
‘’melayani’’ hubungan antara pengirim dan penerima pesan melampaui
ruang dan waktu (Liliweri, 2004: 5).

B. Komunikasi Antar Budaya


Komunikasi antarbudaya sendiri dapat dipahami sebagai
pernyataan diri antar pribadi yang paling efektif antara dua orang yang
saling berbeda latar belakang budaya (Liliweri, 2004: 9). Dalam rangka
memahami kajian komunikasi antar budaya maka kita mengenal beberapa
asumsi, yaitu:
1. komunikasi antar budaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada
perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan.
2. dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi
3. gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi
4. komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian
5. komunikasi berpusat pada kebudayaan
6. efektivitas antarbudaya merupakan tujaun komunikasi antarbudaya
(Liliweri, 2004: 15).

Proses komunikasi antarbudaya sama seperti proses komunikasi


lainnya, yakni suatu proses yang interaktif dan transaksional serta dinamis
(Liliweri, 2004: 24).

Dalam kenyataan sosial disebutkan bahwa manusia tidak dapat


dikatakan berinteraksi sosial kalau tidak berkomunikasi. Demikian pula
dapat dikatakan bahwa interaksi antarbudaya yang efektif sangat
tergantung dari komunikasi antarbudaya. Konsep ini sekaligus
menerangkan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya akan tercapai
(komunikasi yang sukses) bila bentuk-bentuk hubunganantarbudaya
menggambarkan upaya yang sadar dari peserta komunikasi untuk
memperbaharui relasi antara komunikator dengan komunikan,
menciptakan dan memperbaharui sebuah manajemen komunikasi yang
efektif, lahirnya semangat kesetiakawanan, persahabatan, hingga kepada
berhasilnya pembagian teknologi dan mengurangi konflik.

Mengutip pendapat Habermas, bahwa dalam setiap proses


komunikasi (apapun bentuknya) selalu ada fakta dari semua situasi yang
tersembunyi di balik para partisipan komunikasi. Menurutnya, beberapa
kunci iklim komunikasi dapat ditunjukkan oleh karakteristik antara lain;
suasana yang menggambarkan derajat kebebasan, suasana di mana tidak
ada lagi tekanan kekuasaan terhadap peserta komunikasi, prinsip
keterbukaan bagi semua, suasana yang mampu memberikan komunikator
dan komunikan untuk dapat membedakan antara minat pribadi dan minat
kelompok. Dari sini bisa disimpulkan bahwa iklim komunikasi antara
budaya tergantung pada 3 dimensi, yakni perasaan positif, pengetahuan
tentang komunikan, dan perilaku komunikator (Liliweri, 2004: 48).

Pada komunikasi antarbudaya penting untuk megetahui tentang


identifikasi bersama (homofili). Prinsip homofili dalam komunikasi
antarbudaya setidaknya akan membantu komunikator dan komunikan
untuk memperoleh semacam persamaan yang nantinya akan mendorong
proses komunikasi. Atau dapat juga dikatakan bahwa berdasarkan prinsip
homofili, orang cenderung untuk berinteraksi dengan individu-individu
lain yang serupa dalam hal karakteristikkarakteristik sosial dengannya.
Misalanya homofili dalam penampilan, latar belakang, sikap, nilai dan
kepribadian. Namun perbedaan-perbedaan dalam.komunikasi antar budaya
juga bisa menjadi kerangka atau matriks dimana komunikasi terjadi.
Dengan adanya derajat perbedaan (heterofili), orang-orang yang
berkomunikasi tadi akan menerima hal-hal yang baru, yang informasional
justru melalui ikatan yang lemah tadi.

Maka bila perbedaan-perbedaan disadari atau diakui potensi


pengaruhnya terhadap komunikasi, masalahnya kemudian mungkin
terletak pada cara-cara, strategi atau teknik komunikasi yang dipakai.
Dalam komunikasi antar budaya, perbedaan-perbedaan individu dapat
diperbesar oleh perbedaan-perbedaan kebudayaan. Persepsi tentang
kebudayaan-kebudayaan ini adalah titik tolak dari asumsi yang paling
dasar dari komunikasi antar budaya, yaitu kebutuhan untuk menyadari dan
mengakui perbedaan-perbedaan untuk menjembataninya melalui
komunikasi (Lubis, 2008:26-27). Perbedaan kebudayaan dan gaya
komunikasi berpotensi untuk menimbulkan masalah-masalah dalam
Komunikasi antar budaya. Tetapi tidak saja perbedaan, melainkan juga
yang lebih penting lagi adalah kesulitan dalam mengakui perbedaan itu
sendiri.

Seperti hal nya dalam proses komuniksi dalam bentuk lain,


komunikasi antar budaya juga menuntut adanya kesediaan orang-orang
yang terlibat dalm komunikasi tersebut untuk membuka diri. Dengan
didorong homofili dan ketertarikan antarpribadi setidaknya komunikasi
antarbudaya akan berlangsung lancar.

C. Identitas Etnis

Identitas etnis secara substansial bermakna sama dengan etnisitas


atau rasial. Istilah-istilah ini kadang-kadang digunakan identik atau punya
makna sama oleh para ahli (Mulyana & Jalaludin Rahmat, 2005: 151).

Dalam konteks identitas etnis, Mead dalam Mulyana berpendapat


bahwa konsep diri seseorang bersumber dari partisipasinya dalam budaya
di mana ia dilahirkan atau yang ia terima. Budaya diperoleh individu lewat
simbol-simbol dan simbol-simbol ini bermakna baginya lewat
eksperimentasi dan akhirnya Familiarity dengan berbagai situasi. Identitas
etnis juga merupakan suatu proses. Ia berbentuk lewat interpretasi realitas
fisik dan sosial sebagai memiliki atributatribut etnis. Identitas etnis
berkembang melalui internalisasi pengkhasan diri oleh orang lain yang
dianggap penting, tentang siapa aku dan siapa orang lain berdasarkan latar
belakang etnis mereka (Mulyana, 2001: 231)

Identitas etnis berhubungan pada latar belakang etnis mereka yang


dianggap sebagai inti diri mereka. Diri yang berkonteks etnis inilah yang
disebut identitas etnis (Mulyana & Jalaludin Rahmat, 2005: 152).

Phinney mendefinisikan bahwa identitas etnis merupakan sense


tentang self individu sebagai anggota atau bagian dari suatu kelompok
etnis tertentu dan sikap maupun perilakunya juga berhubungan dengan
sense tersebut. Mereka juga menyatakan bahwa perkembangan identitas
etnis merupakan suatu proses eksplorasi dari identitas yang tidak terseleksi
sampai identitas etnis yang dicapai. Dari definisi tersebut di atas
menunjukkan bahwa dalam diri individu terdapat sense tentang diri dalam
kaitannya sebagai bagian dari kelompok etnis tertentudan proses inilah
yang menyebabkan identitas etnis terbentuk.

Menurut Phinney dan Alipora identitas etnis adalah sebuah


konstruksi kompleks yang mengandung sebuah komitmen dan rasa
kepemilikan (sense of belonging) pada kelompok etnis, evaluasi positif
pada kelompok, berminat didalam dan berpengetahuan tentang kelompok,
dan turut serta terlibat dalam aktivitas sosial kelompok. Identitas itu
berkaitan dengan masa lalu dan aspirasi masa depan yang berhubungan
dengan etnisitas. Jadi, identitas etnis akan membuat seseorang memiliki
harapan akan masa depan yang berkait dengan etnisnya. Weinreich juga
menyebutkan bahwa identitas sosial, termasuk identitas etnik merupakan
penggabungan ide-ide, perilaku, sikap, dan simbol-simbol bahasa yang
ditransfer dari generasi ke generasi melalui sosialisasi.

Freedman, Peplau & Sears berpendapat, salah satu yang


mendorong terbentuknya identitas etnis adalah kesamaan-kesamaan
sesama anggota etnis yang terbentuk melalui kesamaan proses belajar,
kesamaan pengalaman, dan kesamaan latar belakang, hal mana membuat
mereka memiliki kesamaan adat dan perilaku. Kesamaan-kesamaan itu
menumbuhkan perasaan seidentitas.

Kesamaan dalam kelompok belum cukup untuk menebalkan


identitas etnis. Dalam proses untuk mengalami perasaan seidentitas,
mereka juga memerlukan kehadiran entitas atau etnis lain sebagai
komparasi dan penegas identitas tersebut. Identitas etnis merupakan hasil
dari interaksi sosial. Kelompok yang tidak berinteraksi dengan kelompok
lain mungkin tidak akan menyadari bahwa mereka memiliki kesamaan-
kesamaan yang besar. Hanya dengan interaksi dengan kelompok lain
identitas etnis mereka terbangun, dan semakin intens interaksi itu, semakin
berkembang pula identitas etnisnya.

Status identitas etnis atau derajat identifikasi etnis yang dimiliki


seseorang tergantung pada banyak hal. Dua yang terpenting adalah derajat
dari homogenitas dan heterogenitas kehidupan lingkungan tempat tinggal.
Semakin homogen masyarakat yang ada di lingkungan tempat tinggal
maka identifikasi terhadap kelompok etnisnya juga semakin rendah dan
semakin heterogen masyarakat di lingkungan tempat tinggal maka
identifikasi terhadap kelompok etnis semakin tinggi. Dalam masyarakat
yang homogen, dalam hal ini satu etnis, tidak ada kebutuhan untuk
menunjukkan identitas kelompok etnisnya pada orang lain hal mana
membuat kurang kuatnya identifikasi terhadap kelompok etnis.

Menurut Keefe identitas etnis terdiri dari dua elemen, yaitu: 1)


Identifikasi etnik sendiri vs kelompok etnik lain melalui proses kognitif, 2)
Derajat keterikatan pada kelompok dan kebudayaannya yang merupakan
elemen afektif. Tatkala seseorang merasa memiliki identitas etnis, maka ia
mengidentifikasi siapa yang menjadi anggota kelompok etnis sendiri dan
siapa yang menjadi anggota kelompok etnis lain. Ia pun mengidentifikasi
perbedaan-perbedaan yang ada antara kelompok etnis sendiri dan
kelompok lain. Ia juga memiliki keterikatan emosional tertentu terhadap
etnisnya.

Elemen diatas menggambarkan bahwa identitas etnis merupakan


fenomena objektif dan subjektif. Fenomena objektif manakala seseorang
menegaskan identitas etnisnya melalui kriteria-kriteria tertentu yang pasti.
Fenomena subjektif karena terkandung derajat perasaan kepemilikan
(sense of belonging) akan kelompok etnisnya.

Menurut Phinney dalam Steinberg yang dikutip dari


smartpsikologi.blogspot.com, ada empat hal yang mungkin dilakukan
remaja etnis minoritas dalam upaya hidup bersama kelompok mayoritas:
o Asimilasi (mencoba mengadopsi norma-norma budaya
mayoritas dan standar mereka, namun sementara itu tetap
menganggap mayoritas bukan sebagai kelompoknya
o Marginality (hidup bersama budaya mayoritas tetapi
sebagai orang asing dan tidak diterima)
o Separation (memisahkan diri dari budaya mayoritas dan
tetap memakai budaya sendiri)
o Bikulturalisme (mengadopsi nilai-nilai mayoritas dan
minoritas secara berbarengan). Marcia
mengkategorisasikan identitas status etnis dalam empat
kategoriyang berbeda. Bila telah mengeksplorasi etnisnya
dan akhirnya ada komitmen terhadap etnis maka individu
akan mencapai identitas status achievement. Bila ada
eksplorasi terhadap etnisnya tetapi tidak memiliki
komitmen terhadap etnis maka individu mencapai identitas
status moratorium. Bila tidak ada eksplorasi atau
pengetahuan mengenai etnisnya tetapi memiliki komitmen
terhadap etnis maka disebut memiliki identitas status
foreclosure. Dan terakhir bila tidak mengeksplorasi
terhadap etnisnya dan juga tidak meiliki komitmen terhadap
etnis maka individu disebut memiliki identitas
diffusion.Jadi, persepsi identitas etnis bisa disimpulkan
sebagai proses menafsirkan informasi indrawi seputar etnis.

D. Teori Interaksi Simbolik


Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung
perspektif yang lebih besar yang sering disebut perspektif fenomenologis
atau perspektif interpretif. Maurice Natanson menggunakan istilah
fenomenologis sebagai suatu istilah generik untuk merujuk kepada semua
pandangan ilmu sosial yang menganggap kesadaran manusia dan makna
subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Selanjutnya
pandangan fenomenologis atas realitas sosial menganggap dunia
intersubjektif sebagai terbentuk dalam aktivitas kesadaran yang salah satu
hasilnya adalah ilmu alam. Interaksionisme simbolik mempelajari sifat
interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi
perspektif ini, individu bersifat aktif , reflektif dan kreatif, menafsirkan,
menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini
menolak gagasan bahwa individu adalah organisme pasif yang perilakunya
ditentukan oleh kekuatan-kekauatan atau struktur yang ada di luar dirinya.
Oleh karena individu terus berubah maka masyarakat pun berubah melalui
interaksi. Jadi interaksilah yang dianggap variabel penting yang
menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat. Struktur itu
sendiri tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika
individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat
objek yang sama. (Mulyana, 2001:59-61)
Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan
ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi
makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku
manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa
perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan
manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan
mempertimbangkan ekspetasi orang lain yang menjadi mitra interaksi
mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek
dan bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka.
Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas
objek-objek di sekeliling mereka. Dalam pandangan interaksi simbolik,
sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan
kelompoklah yang menciptakan dan menegakkan aturan-aturan, bukan
sebaliknya. Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses
interaksi dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang
memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya melainkan
justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan
sosial. (Mulyana, 2001:68-70)]
Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada
dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol.
Secara ringkas, interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis
berikut: pertama, individu merespons suatu situasi simbolik. Mereka
merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna
yang dikandung komponenkomponen lingkungan tersebut bagi mereka.
Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak
melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan
bahasa. Ketiga, makna diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu
ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam
interaksi social.

E. Kerangka Konsep
Dari beberapa teori yang telah diuraikan pada kerangka teori maka
langkah selanjutnya merumuskan kerangka konsep sebagai hasil dari suatu
pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan
kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai (Nawawi, 1995:40).
Konsep adalah penggambaran fenomena yang hendak diteliti, yakni istilah
dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak
kejadian, keadaan, kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian
ilmu sosial (Singarimbun, 1995:33).
Maka konsep operasional yang akan diteliti adalah
- Identitas Etnis
- Komunikasi Antarbudaya

F. Operasionalisasi Konsep

Berdasarkan kerangka konsep yang telah diuraikan di atas, maka


konsep operasional tersebut dijadikan acuan untuk memecahkan masalah.
Agar konsep operasional tersebut dapat membentuk kesamaan dan
kesesuaian dalam penelitian, maka dioperasionalkan sebagai berikut:

Konsep Operasional Operasionalalisasi Konsep


Identitas Etnis 1. Identitas etnis sendiri dan kelompok etnis
lain:
a. identifikasi etnisnya sendiri
b. identifikasi terhadap etnis lain
c. mengidentifikasi perbedaan-perbedaan
yang ada antara kelompok etnis sendiri
dan kelompok lain.
2. Derajat keterikatan pada kelompok dan
kebudayaannya:
a. Membentuk kelompok
kecil/perkumpulan
b. Komitmen
c. evaluasi positif pada kelompok/etnis
d. berminat di dalam dan berpengetahuan
tentang kelompok/etnis
e. turut serta terlibat dalam aktivitas sosial
kelompok
f. Sense ofbelonging
g. Pemahaman akan rasa cinta pada
kelompok &budaya
h. harapan akan masa depan yang berkait
dengan etnisnya
Komunikasi 1. Pertukan pesan antar budaya
Antarbudaya 2. Komponen dari kompetensi komunikasi:
a. Motivasi
b. Pengetahuan
c. Kemampuan
3. Masalah potensial dalam Komunikasi
Antarbudaya:
a. pencarian kesamaan
b. penarikan diri
c. kecemasan
d. pengurangan ketidakpastian
e. sterotip
f. prasangka
g. etnosentrisme
h. culture shock

G. Definisi Operasionalisasi Konsep


Definisi operasional merupakan penjabaran lebih lanjut tentang
konsep yang telah dikelompokkan dalam kerangka konsep. Definisi
operasional adalah suatu petunjuk pelaksanaan mengenai cara-cara untuk
mengukur suatu variabel. Dengan kata lain, definisi operasional adalah
suatu informasi ilmiah yang amat membantu peneliti lain yang ingin
menggunakan variabel yang sama (Singarimbun, 1995: 46)
Maka variabel yang terdapat dalam penelitian ini perlu didefinisikan
sebagai berikut:
1. Identitas etnis sendiri dan kelompok lain, yaitu
a. identifikasi etnisnya sendiri: identifikasi/mengeksplorasi
pengetahuan seputar etnisnya
b. identifikasi terhadap etnis lain: identifikasi/mengeksplorasi
pengetahuan seputar etnis lain
c. mengidentifikasi perbedaan-perbedaan yang ada antara kelompok
etnis sendiri dan kelompok lain: memiliki identifikasi/ekspolrasi
pengetahuan tentang perbedaan yang ada antara kelompok etnisya
sendiri dengan kelompok etnis lain.
2. Derajat keterikatan pada kelompok dan kebudayaannya: bagaimana ia
mempersepsi keterikatan emosional tertentu terhadap etnisnya yang
berhubungan dengan:
a. a. Membentuk kelompok kecil/perkumpulan : tindakan membentuk
suatu perkumpulan dengan anggota etnis yang sama
b. komitmen: memiliki loyalitas atau perasaan terikat terhadap
kelompok etnisnya.
c. evaluasi positif pada kelompok/etnis: tindakan pelabelan positif
pada etnisnya.
d. berminat di dalam dan berpengetahuan tentang kelompok/etnis:
selalu berminat dalam kelompok dan berminat mengeksplorasikan
pengetahuan seputar etnisnya.
e. . turut serta terlibat dalam aktivitas sosial kelompok: terlibat dalam
aktivitas kelompok etnisnya.
f. Sense of belonging: perasaan memiliki kelompok etnisnya.
g. Pemahaman akan rasa cinta pada kelompok dan budaya : memiliki
kecintaan pada kelompok dan budayanya.
h. harapan akan masa depan yang berkait dengan etnisnya: harapan
yang dibangun terkait etnisnya

H. Komunikasi antar Budaya:


1. Pertukaran pesan antar budaya yang mungkin terjadi baik pesan verbal
mapuna non verbal
2. Komponen dari kompetensi komunikasi:
a. motivasi: hasrat kita untuk berkomunikasi secara tepat dan efektif
deengn orang lain.
b. pengetahuan: kesadaran kita atau pemahaman kita akan apa yang
kita butuhkan untuk dilakukan agara komunikasi berjalan secara
efektif dan tepat.
c. .kemampuan : kemampuan kita dalam mengolah perilaku yang
perlu dalam berkomuniksi secara tepat dan efektif (Gundykunst &
Young, 2003: 275)
3. Masalah potensial dalam Komunikasi Antarbudaya:
a. pencarian kesamaan : usaha untuk mencarai orang yang memiliki
kesamaan budaya, etnis dan lainnya lalu berkumpul dalam satu
kelompok.
b. penarikan diri : penarikan diri dari interaksi tatap muka, atau dari
suatu komunitas
c. kecemasan : perasaan psikologis yang secara tiba-tiba
menghasilkan sebauh situasi baru yang kurang aman/nyaman.
d. pengurangan ketidakpastian: usaha untuk mengurangi
ketidakpastian atau dengan berusaha memprediksi perilaku apa
yang akan dilakukan lawan bicara saat berinteraksi.
e. stereotip: Penggeneralisasian orang-orang (kelompok etnis lain)
berdasarkan sedikit info dan membentuk asumsi mengenai mereka
berdasarkan keanggotaan mereka dalam satu kelompok.
f. prasangka : keyakinan yang didasarkan pada gagasan yang terlebih
dahulu disederhanakan, digeneralisasi atau dilebih-lebihkan pada
sekolompok orang.
g. etnosentrisme: mengangap kempok budaya/ etnisnya yang lebih
baik (superior) hingga bisa menimbulkan rasisme yaitu
pengkategorisasian individu berdasarkan warna kulit, rambut, dan
lainnya.
h. culture shock: kecemasan yang dihasilkan dari perasaan kehilangan
tanda keluarga dan simbol dari pergaulan sosial, gegar budaya
terjadi ketika kita memasuaki lingkungsn baru yang berbeda
budaya.
I. Perilaku Komunikasi
Dalam proses komunikasi selalu ada yang namanya pengharapan
(expectation). Jika expectation menjadi lebih positif, maka ketidakpastian
dan kecemasan akan berkurang atau rendah (Gudykunst & Gueverro,
1990). Pengharapan kita mempunyai konsekuensi yang sanagt besar
dengan komunikasi yang kita lakukan dengan orang lain
Misalkan saja, ketika kita sudah mengenal seseorang dengan baik
maka kita akan cenderung memiliki harapan dalam proses komunikasi
kita. Semenjak pertama kali bertemu dan berkenalan mungkin kita masih
setengah ragu dengan pengharapan kita, apakah akan sesuai dengan
pengharapan kita atau tidak. Akan tetapi setelah komunikasi antara kita
dengan dia sudah berjalan lama dan kita telah mengetahui karakternya,
maka pengharapan kita terhadapnya akan cenderung tinggi. Akan tetapi,
jika dalam pertengahan jalan ternyata orang yang kita kenal itu melakukan
kesalahan pada diri kita dan menyebabkan kita sakit hati, maka
pengaharapan kita pada seseorang itu akan berkurang atau mungkin bisa
hilang dan tidak ada sama sekali.
Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan. Dengan kata lain,
perilaku pada umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh
tujuan tertentu. Tujuan spesifik tidak selamanya diketahui dengan sadar
oleh yang bersangkutan. Dorongan yang memotivasi pola perilaku
individu yang nyata dalam kadar tertentu berada dalam alam bawah sadar
(Hersey& Blanch 2004), sedangkan Rogers menyatakan bahwa perilaku
komunikasi merupakan suatu kebiasaan dari individu atau kelompok di
dalam menerima atau menyampaikan pesan yang diindikasikan dengan
adanya partisipasi, hubungan dengan sisitem sosial, kekosmopolitan,
hubungan dengan agen pembaharu, keterdedahan dengan media massa,
keaktifan mencari informasi, pengetahuan mengenai hal-hal baru.
Gould dan Kolb yang dikutip oleh Ichwanudin (1998), perilaku
komunikasi adalah segala aktivitas yang bertujuan untuk mencari dan
memperoleh informasi dari berbagai sumber dan untuk menyebarluaskan
informasi kepada pihak manapun yang memerlukan. Perilaku komunikasi
pada dasarnya berorientasi pada tujuan dalam arti perilaku seseorang pada
umumnya dimotivasi dengan keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu.
Berdasarkan pada definisi perilaku yang telah diungkapkan
sebelumnya, perilaku komunikasi diartikan sebagai tindakan atau respon
dalam lingkungan dan situasi komunikasi yang ada, atau dengan kata lain
perilaku komunikasi adalah cara berfikir, berpengetahuan dan
berwawasan, berperasaan dan bertindak atau melakukan tindakan yang
dianut seseorang, keluarga atau masyarakat dalam mencari dan
menyampaikan informasi melalui berbagai saluran yang ada di dalam
jaringan komunikasi masyarakat setempat (Hapsari 2007).
Berlo (1960) mendeskripsikan level komunikasi adalah mengukur
derajat kedalaman mencari dan menyampaikan informasi yang meliputi:
(1) sekedar bicara ringan, (2) saling ketergantungan (independen), (3)
tenggang rasa (empaty), (4) saling interaksi (interaktif). Berlo juga
mengungkapkan bahwa perilaku komunikasi seseorang dapat dilihat dari
kebiasaan berkomunikasi. Berdasarkan definisi perilaku komunikasi, maka
hal-hal yang sedengan kebutuhannya. Halim (1992) mengungkapkan
bahwa komunikasi, kognisi, sikap, dan perilaku dapat dijelaskan secara
lebih baik melalui pendekatan situasional, khususnya mengenai kapan dan
bagaimana orang berkomunkasi tentang masalah tertentu.baiknya perlu
dipertimbangkan adalah bahwa seseorang akan melakukan komunikasi
sesuai.

J. Adaptasi
Manusia adalah makhluk sosio-budaya yang memperoleh
perilakunya lewat belajar. Apa yang kita pelajaripada umumnya
dipengaruhi oleh kekuata – kekuatan sosial budaya. Dari semua aspek
belajar manusia, komunikasi merupakan aspek yang terpenting dan paling
mendasar. Kita belajar banyak hal lewat respon- respon komunikasi
terhadap rangsangan lingkungan. Kita harus menyandi dan menyandi balik
pesan - pesan sehingga pesan - pesan tersebut akan dikenali, diterima dan
direspon oleh individu - individu yang berinteraksi dengan kita. Kegiatan-
kegiatan komunikasi berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan lingkungan
fisik dan sosial kita (Mulyana dan Rakhmat, 2005:137).
Ellingsworth dalam dykunst (1983), mengemukakan bahwa setiap
individu dianugerahi kemampuan untuk beradaptasi antarpribadi. Oleh
karena itu maka setiap individu memiliki kemampuan untuk menyaring
manakah perilaku yang harus atau yang tidak harus dia lakukan. Adaptasi
nilai dan norma antarpribadi termasuk antarbudaya sangat ditentukan oleh
dua faktor, yakni pilihan untuk mengadaptasikan nilai dan norma yang
fungsional atau mendukung hubungan antarpribadi. Atau nilai dan norma
yang disfungsionalkan atau tidak mendukung hubungan antarpribadi.
Dalam realitas komunikasi antarbudaya, pendekatan adaptasi selalu
digunakan dalam komunikasi antarbudaya di negara – negara berkembang.
Jawaban atas beberapa pertanyaaan yang menentukan proses adaptasi nilai
dan norma antarpribadi; (1) bagaimana individu mengadakan musyawarah
untuk menerima kaidah peran yang berasal dari kebudayaan pihak ketiga;
(2) bagaimana kebudayaan pihak ketiga mempengaruhi perilaku verbal
maupun nonverbal masyarakat tuan rumah?
Istilah akulturasi atau acculturation atau culture contact, adalah
konsep mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia
dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari
suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur
kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam
kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian
kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat, 1990: 248). Di dalam ilmu
sosial dipahami bahwa akulturasi merupakan proses pertemuan unsur-
unsur kebudayaan yang berbeda yang diikuti dengan percampuran unsur-
unsur tersebut namun perbedaan di antara unsur-unsur asing dengan yang
asli masih tampak.
Proses komunikasi mendasari proses akulturasi seorang imigran.
Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang
masyarakat pribumi yang signifikan. Sebagaimana orang-orang pribumi
memperoleh polapola budaya pribumi lewat komunikasi seorang imigran
pun memperoleh pola-pola budaya pribumi lewat komunikasi. Seorang
imigran akan mengatur dirinya untuk mengetahui dan diketahui dalam
berhubungan dengan orang lain dan itu dilakukan lewat komunikasi.
Proses selama akulturasi sering mengecewakan dan menyakitkan. Dalam
banyak kasus, bahasa asli imigran sangat berbeda dengan bahasa asli
masyarakat pribumi. Masalah-masalah komunikasi lainnya meliputi
masalah komunikasi nonverbal, seperti perbedaan-perbedaan dalam
penggunaan dan pengaturan ruang, jarak antarpribadi, ekspresi wajah,
gerak mata, gerakan tubuh lainnya dan persepsi tentang penting tidaknya
perilaku nonverbal. Oleh karena itu, proses akulturasi adalah suatu proses
yang interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan
melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya
yang baru (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 137-140).
Salah satu kerangka konseptual yang paling komprehensif dan
bermanfaat dalam menganalisis akulturasi seorang imigran dari perspektif
komunikasi terdapat pada perspektif sistem yang dielaborasi oleh Ruben
(1975). Dalam perspektif sistem, unsur dasar suatu sistem komunikasi
manusia teramati ketika seseorang secara aktif sedang berkomunikasi,
berusaha untuk dan mengharapkan berkomunikasi dengan lingkungan.
Sebagai suatu sistem komunikasi terbuka, seseorang berinteraksi dengan
lingkungan melalui tiga proses yang saling berhubungan, yakni
komunikasi persona, komunikasi sosial dan lingkungan komunikasi.
1. komunikasi persona atau intrapersona mengacu kepada proses mental
yang dilakukan orang untuk mengatur dirinya sendiri dalam dan
dengan lingkungan sosio-budayanya, mengembangkan cara-cara
melihat, mendengar, memahami dan merespons lingkungan. Salah satu
variabel komunikasi persona terpenting dalam akulturasi adalah
kompleksitas struktur kognitif imigran dalam mempersepsi lingkungan
pribumi. Faktor yang erat berhubungan dengan kompleksitas kognitif
adalah pengetahuan imigran tentang pola-pola dan sistem-sistem
komunikasi pribumi. Bukti empiris yang memadai menunjang fungsi
penting pengetahuan tersebut, terutama pengetahuan tentang bahasa
dalam memudahkan aspek-aspek akulturasi lainnya. Suatu variabel
persona lainnya dalam akulturasi adalah citra diri (self image) imigran
yang berhubungan dengan citra-citra imigran tentang lingkungannya.
Selain itu, motivasi akulturasi seorang imigran juga dapat
memudahkan proses akulturasi. Motivasi akulturasi mengacu kepada
kemauan imigran untuk belajar tentang, berpartisipasi dalam dan
diarahkan menuju sistem sosio-budaya pribumi.
2. komunikasi sosial. Komunikasi sosial ditandai ketika individu-individu
mengatur perasaan, pikiran dan perilaku antara yang satu dengan yang
lainnya. Komunikasi sosial dilakukan melalui komunikasi
antarpersona. Komunikasi antarpersona seorang imigran dapat diamati
melalui derajat partisipasinya dalam hubungan-hubungan antarpersona
dengan anggota masyarakat pribumi.
3. lingkungan komunikasi. Komunikasi persona dan komunikasi sosial
seorang imigran dan fungsi komunikasi tersebut tidak dapat
sepenuhnya dipahami tanpa dihubungkan dengan lingkungan
komunikasi masyarakat pribumi. Suatu kondisi lingkungan yang
sangat berpengaruh pada komunikasi dan akulturasi imigran adalah
adanya komunitas etniknya di daerah setempat. Derajat pengaruh
komunitas etnik atas perilaku imigran sangat bergantung pada derajat
kelengkapan kelembagaan komunitas tersebut dan kekuatannya untuk
memelihara budayanya yang khas bagi anggota-anggotanya.
Lembagalembaga etnik yang ada dapat mengatasi tekanan-tekanan
situasi antarbudaya dan memudahkan akulturasi (Mulyana dan
Rakhmat, 2005: 141-144).
K. Budaya
Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan simbol,
pemaknaan, penggambaran (image), struktur aturan, kebiasaan, nilai,
pemprosesan informasi dan pengalihan pola – pola konvensi pikiran,
perkataan dan perbuata/tindakan yang dibagiakn diantara para anggota
suatu sistem sosial dan kelompok sosial dalam suatu masyarakat.
Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara
formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman,
kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan,
hubungan ruang, konsep alam semesta, objek – objek materi dan milik
yang diperoleh sekelompok besar orang lain dari generasi ke generasi
melalui usaha individu dan kelompok.
Budaya menampakan diri dalam pola – pola bahasa dan dalam
bentuk – bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model –
model dan tindakan – tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi
yang memungkinkan orang – orang tinggal dalam suatu masyarakat di
suatu lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat perkembangan
teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu.
Berdasarkan pemikiran tersebut, komunikasi antarbudaya
merupakan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh komunikator dan
komunikan yang berbeda, bahkan dalam suatu bangsa sekalipun.
Dari beberapa defenisi yang telah diuraikan maka langkah
selanjutnya merumuskan kerangka konsep sebagai hasil dari suatu
pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan hasil
penelitian yang akan dicapai (Nawawi, 1991:40). Maka komponen
penelitian yang akan diteliti adalah:
1. Komunikasi Antarbudaya
a. Pertukaran pesan antarbudaya yang mungkin terjadi baik pesan verbal
maupun non verbal
b. Komponen dari komponen komunikasi
 Motivasi : hasrat kita untuk berkomunikasi secara tepat dan efektif
dengan orang lain.
 Pengetahuan : kesadaran kita atau pemahaman kita akan apa yang
kita butuhkan untuk dilakukan agar komunikasi berjalan secara
efektif dan tepat.
 Kemampuan : kemampuan kita dalam mengolah perilaku yang
perlu dalam berkomunikasi secara tepat dan efektif (Gudykunst
dan Kim 2003: 275)
c. Masalah potensial dalam komunikasi antarbudaya
 Pencarian kesamaan usaha untuk mencari orang yang memiliki
kesamaan budaya, etnis dan lainnya lalu berkumpul dalam satu
kelompok.
 Kecemasan: perasaan psikologis yang secara tiba-tiba
menghasilkan sebuah situasi baru yang kurang aman/nyaman.
 Pengurangan ketidakpastian: usaha untuk mengurangi
ketidakpastian atau dengan berusaha memprediksi perilaku apa
yang akan dilakukan lawan bicara saat berinteraksi.
 Culture Shock: kecemasan yang dihasilkan dari perasaan
kehilangan tanda keluarga dan simbol dari pergaulan sosial,
gegar budaya terjadi ketika kita memasuki lingkungan baru
yang berbeda budaya.
2. Adaptasi Budaya
a) Bagaimana individu mengadakan musyawarah untuk menerima kaidah
peran yang berasal dari kebudayaan pihak ketiga
b) Bagaimana kebudayaan pihak ketiga mempengaruhi perilaku verbal
maupun non verbal masyarakat tuan rumah.

L. Adaptasi Budaya
Ellingsworth dalam dykunst (1983), mengemukakan bahwa setiap
individu dianugerahi kemampuan untuk beradaptasi antarpribadi. Oleh
karena itu maka setiap individu memiliki kemampuan untuk menyaring
manakah perilaku yang harus atau yang tidak harus dia lakukan. Adaptasi
nilai dan norma antarpribadi termasuk antarbudaya sangat ditentukan oleh
dua faktor, yakni pilihan untuk mengadaptasikan nilai dan norma yang
fungsional atau mendukung hubungan antarpribadi. Atau nilai dan norma
yang disfungsionalkan atau tidak mendukung hubungan antarpribadi.
Dalam realitas komunikasi antarbudaya, pendekatan adaptasi selalu
digunakan dalam komunikasi antarbudaya di negara – negara berkembang.
Jawaban atas beberapa pertanyaaan yang menentukan proses adaptasi nilai
dan norma antarpribadi; (1) bagaimana individu mengadakan musyawarah
untuk menerima kaidah peran yang berasal dari kebudayaan pihak ketiga;
(2) bagaimana kebudayaan pihak ketiga mempengaruhi perilaku verbal
maupun nonverbal masyarakat tuan rumah?
Adaptasi antarbudaya merupakan suatu proses panjang
penyesuaian diri untuk memperoleh „kenyamanan berada dalam suatu
lingkungan yang baru. Dalam “Intercultural Communication Theories”,
Gudykunst (2002:183) memaparkan bahwa teori adaptasi budaya termasuk
ke dalam kelompok teori akomodasi dan adaptasi. Salah satu teori yang
dikemukakan dalam paparan itu adalah teori adaptasi antarbudaya dari
Ellingsworth.
Ellingsworth (1988: 271) mengemukakan, perilaku adaptasi dalam
interkultural diadik terkait antara lain dengan unsur adaptasi dalam gaya
komunikasi. Gaya adalah tingkah laku atau perilaku komunikasi. Menurut
Gudykunst dan Kim (1997:337), adaptasi dapat terjadi dalam dimensi
kognitif. Dalam dimensi kognitif, terjadi penyesuaian bahasa verbal dan
nonverbal. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa adaptasi dapat terjadi
dalam dimensi perseptual, kognitif, dan perilaku.
Teori yang berfokus pada akomodasi dan adaptasi lainnya
dikemukakan Gile. Teorinya disebut teori akomodasi komunikasi atau
communication accomodation theory (CAT). Teori ini bertolak dari teori
akomodasi percakapan. Menurut teori ini, pembicara menggunakan
strategi linguistik untuk mencapai persetujuan atau untuk menunjukkan
perbedaan dalam interaksinya dengan orang lain
Adaptasi budaya merupakan sebuah proses yang berjalan secara
alamiah dan tidak dapat dihindari dimana seorang individu berusaha untuk
mengetahui segala sesuatu tentang budaya dan lingkungannya yang baru
sekaligus memahaminya. Le vine (1973) menyatakan bahwa budaya
sebagai seperangkat aturan terorganisasikan mengenai cara – cara yang
dilakukan individu – individu dalam masyarakat berkomunikasi satu sama
lain dan cara mereka berfikir tentang diri mereka dan lingkungan mereka
Akulturasi merupakan sebuah proses yang dilakukan manusia
untuk menyesuaikan diri dan pada akhirnya akan mengarah kepada
asimilasi. Asimilasi merupakan derajat tertinggi akulturasi yang secara
teoritis mungkin terjadi. Proses komunikasi mendasari proses akulturasi
seseorang. Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi
lambing-lambang masyarakat yang signifikan. Seseorng akan mengatur
dirinya untuk mengetahui dan diketahui dalam berhubungan dengan orang
lain. Dan itu dilakukan lewat komunikasi. Proses trial and eror selama
akulturasi sering mengecewakan dan menyakitkan.
Namun, proses ini tidak dapat sepenuhnya berjalan dengan mulus,
bahkan dapat membuat individu merasa terganggu karenanya. Budaya
yang baru biasanya dapat menimbulkan tekanan, karena memahami dan
menerima nilai – nilai budaya tersebut sangat berbeda dengan nilai – nilai
budaya yang kita miliki. Biasanya seseorang akan melalui beberapa tahap
sampai dia akhirnya bisa bertahan dan menerima budaya dan
lingkungannya yang baru.
BAB II

KONSEP KOMUNIKASI DALAM KONTEKS PELAYANAN KESEHATAN


KHUSUSNYA KOMUNIKASI MULTI DISPLIN

A.Komunikasi multidisiplin

dalam keperawatan adalah komunikasi yang melingkupi seluruh


aspek jalur komunikasi penanganandan
perawatanpasien. Dalam bidang komunikasikesehatan, komunikasi
multidisiplin terjadi antara sesama anggota tim multidisiplin dan antara
anggota tim multidisiplin dengan pasien serta anggota.
 Komunikasi multidisiplin dalam keperawatan adalah komunikasi
yang melingkupi seluruh aspek jalur komunikasi penanganan dan
perawatan pasien. Dalam bidang komnikasih kesehatan nikasi
multidisiplin terjadi antara sesama anggota tim multidisiplin dan antara
anggota tim multidisiplin dengan pasien serta anggota keluarga pasien
dalam rangka penanganan dan perawatan pasien.
Komunikasi multidispilin yang baik sangat penting bagi
keberhasilan tim dalam menangani dan merawat pasien. Karena itu, setiap
anggota tim hendaknya dibekali dengan pelatihan komunikasi agar setiap
anggota tim memiliki keterampilan komunikasi sebagai bagian dari upaya
penanganan dan perawatan pasien.

Menurut Wywialowski (2004 : 135), multidisiplin atau


multidisipliner mengacu pada tim dimana sejumlah orang atau individu
dari berbagai disiplin ilmu terlibat dalam suatu proyek namun masing-
masing individu bekerja secara mandiri. Setiap individu dalam tim
multidisiplin memiliki keterampilan dan keahlian yang berbeda namun
saling melengkapi satu sama lain. Pengalaman yang dimiliki masing-
masing individu memberikan kontribusi yang besar bagi keseluruhan
upaya yang dilakukan.Tim multidisiplin dapat kita temui di bidang
kesehatan atau medis. Di lingkungan kesehatan atau medis, tim
multidisiplin adalah sebuah kelompok pekerja kesehatan atau pekerja
medis yang terdiri dari anggota-anggota dengan latar belakang ilmu atau
profesi yang berbeda dan masing-masing anggota tim memberikan
pelayanan kesehatan kepada pasien.

Masing-masing anggota tim bekerja secara mandiri dalam


menangani berbagai permasalahan yang dihadapi pasien dan mereka hanya
menitikberatkan pada permasalahan yang menjadi spesialisasinya.

Permasalahan yang ditangani dapat berkaitan ataupun tidak


berkaitan dengan permasalahan lain yang dihadapi oleh individu anggota
tim.Keberhasilan tim multidiplin dalam menangani dan merawat pasien
ditentukan oleh beberapa hal salah satunya adalah komnikasih efektif. Tim
multidisiplin yang baik adalah tim yang saling berbagi ide atau gagasan
dan informasi dengan cepat dan dilakukan secara teratur.

Setiap catatan penting disimpan secara tertulis sebagai salah satu


cara bagi tim untuk merefleksikan diri. Terkait dengan penanganan dan
perawatan pasien, keterampilan komunikasi yang baik yang dimiliki oleh
anggota tim merupakan inti bagi keselamatan pasien dan kerja tim yang
efektif.

Komunikasi yang dilakukan pun hendaknya berpusat pada pasien.


Hal ini dimaksudkan untuk mendukung perawatan yang berpusat pada
pasien dan keselamatan pasien.Untuk itu, hendaknya pasien dan keluarga
pasien dianggap sebagai anggota aktif dari tim multidisiplin. Melibatkan
pasien sebagai anggota tim dapat meningkatkan keamanan dan kualitas
perawatan pasien karena pasien berperan sebagai sumber informasi utama
dan satu-satunya anggota tim yang selalu ada selama penanganan dan
perawatan pasien.
Dengan menggunakan pendekatan komunikasi yang berpusat pada
pasien maka pasien akan merasa dilibatkan dalam keseluruhan proses
penanganan dan perawatan.

Selain itu, perawat sebagai bagian dari anggota tim juga dapat
memahami apa yang menjadi permasalahan pasien seperti rasa cemas, rasa
sakit, dan kesulitan untuk tidur. Karena itu, perawat perlu berbagi persepsi
dengan pasien, menjelaskan pemahaman perawat tentang apa yang ingin
dikomunikasikan oleh pasien. Dengan kata lain, perawat perlu mengetahui
dan memahami cara komnikasi dengan baik atau cara komnikasi efekti
dengan pasien.

B. Cara komunikasih mulltidisiplin dalam keperawatan


Terdapat beberapa cara komunikasi multidisiplin dalam
keperawatan yang dapat diterapkan ketika berkomunikasi dengan pasien,

yaitu:
1. Menciptakan hubungan interpersonal yang baik
Menciptakan dan memelihara hubungan yang baik adalah
penting dalam upaya penanganan dan perawatan pasien. Hasil studi
menunjukkan bahwa komunikasi dan hubungan baik antara pasien dan
anggota tim memberikan dampak positif pada kepuasan pasien,
pengetahuan dan pemahaman, kepatuhan terhadap program
pengobatan, dan hasil kesehatan yang terukur.
2. Bertukar informasi
Anggota tim yakni dokter perlu memperoleh sebanyak
mungkin informasi dari pasien agar dapat mendiagnosa dengan tepat
jenis penyakit yang diderita pasien dan merumuskan rencana
penanganan dan perawatan. Bagi pasien, pasien perlu mengetahui,
memahami, merasa dikenal, dan dipahami oleh anggota tim. Untuk itu,
kedua belah pihak sangat perlu melakukan komnikasi dua arah sebagai
upaya untuk saling bertukar informasi.
3. Mendengarkan secara aktif dan penuh perhatian

Mendengarkan secara aktif dan penuh perhatian adalah


salah satu penyebab keberhasial dalam komnikasih. Perawat sebagai
anggota tim bertanggung jawab dalam memberikan perhatian dan
memobilisasi semua indera untuk mempersespi semua pesan verbal
maupun pesan nonverbal yang diberikan oleh pasien.

Dengan mendengarkan secara aktif dan penuh perhatian,


perawat dapat menilai situasi dan masalah yang dialami pasien. Selain
itu perawat juga dapat meningkatkan harga diri pasien dan
mengintergrasikan diagnosa keperawatan dan proses perawatan.

4. Penggunaan bahasa yang tepat


Informasi yang diberikan selama proses konsultasi,
penanganan, dan perawatan pasien perlu dilakukan dengan
menggunakan bahasa yang dapat dipahami oleh pasien dan anggota
pasien. Bahasa sebagai alat komnikasi dalam proses konsultasi,
penanganan, dan perawatan pasien hendaknya tidak menggunakan
jargon dan istilah teknis kesehatan kecuali dijelaskan secara
komprehensif. Yang harus dihindari juga adalah penggunaan

eufemisme karena dapat mengarah pada ambigu.

5.  Bahasa tubuh dan penampilan


Bahasa tubuh dalam komnikasi dan penampilan juga
hendaknya menjadi bahan pertimbangan dan perlu diperhatikan
dengan baik. Berbagai komnikasi non verbal yang ditampilkan seperti
postur tubuh, gaya, dan perilaku dapat berdampak pada kemajuan dan
hasil konsultasi antara pasien dan anggoa tim. Untuk itu, bahasa tubuh
yang ditampilkan selama proses konsultasi harus ditampilkan secara
lengkap dan fokus pada pasien.
6. Bersikap jujur
Bersikap jujur merupakan salah satu komnikasi moral dan
komnikasi keperawatan. Anggota tim seperti perawat harus bersikap
jujur agar diskusi atau konsultasi yang dilakukan tidak menimbulkan
kecurigaan, keraguan, dan kesalahpahaman. Jika ada kebutuhan untuk
diskusi yang terpisah dengan anggota keluarga pasien maka harus
dilakukan dengan mengunakan teknik komnikasi terapeutik seperti
hati-hati, memperhatikan tempat diskusi, dan waktu yang tepat.
7. Memperhatikan kebutuhan pasien
Anggota tim seperti pasien perlu mengetahui apa yang
menjadi kebutuhan komunikasi pasien. Beberapa orang pasien hanya
ingin didengar tanpa banyak penjelasan dan beberapa pasien lainnya
ingin mengetahui penjelasan yang lengkap tentang penyakit yang
diderita. Perawat harus dapat mendeteksi setiap apa yang diinginkan
pasien.
8. Mengembangkan sikap empati

Empati merupakan salah satu karakterriktis komnikasi


rerapeutik. Yang dimaksud dengan empati adalah perawat dapat
merasakan apa yang dirasakan oleh pasien. Dalam artian, perawat
hendaknya dapat memposisikan dirinya pada posisi pasien Demikianlah
ulasan singkat tentang cara komunikasi multidisiplin dalam
keperawatan. Semoga dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita
tentang komunikasi multidisiplin dan penerapannya dalam
keperawatan.

C. Pendekatan Multidisiplin
Pendekatan multidisiplin dalam kajian permukiman dimaksudkan
untuk mencapai keseimbangan antar elemen perencanaan permukiman
pada unit ekistik seperti transportasi, komunikasi, zonasi, dapat diperbaiki
[6]. Pendekatan multidisiplin mempunyai keunggulan dalam hal
sinkronisasi dan koordinasi sehingga akan menghasilkan perencanaan dan
implementasinya yang efektif dan efisien. Kunci utama keberhasilan
pendekatan multidisiplin adalah terjadinya dialog yang intensif antar
disiplin ilmu yang terlibat, integrasi rencana dan kegiatan. Kerja sama
secara multidisipliner yang baik akan menghasilkan pemahaman yang baru
terhadap suatu masalah.
Diawali dengan pelibatan empat disiplin ilmu yakni ahli arsitektur,
sosial, struktur dan konstruksi, perencanaan wilayah terbentuk suatu
persepsi bahwa rumah tradisional Bajo dalam kondisi asli berlokasi di atas
air laut, karena dari sejarahnya memang masyarakat Bajo merupakan
masyarakat yang berada pada “pengungsian” akibat terusir dari daratan
[2]. Oleh karena itu, ahli arsitektur dan perencanaan wilayah memahami
bahwa desain rumah panggunglah yang mereka pilih karena
menghindarkan permukiman mereka dari genangan air laut, gangguan
binatang, serta mendapatkan rasa nyaman yang cukup baik
Menurut ahli sosial, persebaran suku Bajo terbentang dari
Kepulauan Palawan sebelah timur, Kepulauan Samar pantai utara
Mindanau, sepanjang Kepulauan Sulu negara Philipina, hingga ke pantai
timur Kalimantan, sekitar Selat Makassar, dan ke arah timur wilayah
Indonesia. Di perairan Sulawesi, konsentrasi masyarakat Bajo yang
mempunyai rumah panggung di atas air terbesar terdapat di Kepulauan
Togian, khususnya Kecamatan Kabalutan [15]. Oleh karena itu kawasan
perumahan tradisional Bajo di Kecamatan Kabalutan tersebut yang pilih
sebagai “daerah penelitian”.
Pada tahap kedua, pemahaman yang konstruktif didapatkan dari
komunikasi ahli arsitektur dan perencanaan wilayah yakni bahwa ekologi
terumbu karang akan tumbuh dengan baik jika sirkulasi air laut terjamin
dan sinar matahari dapat menembus dasar laut yang memungkinkan
terjadinya fotosintesa oleh biota laut. Oleh karena itu, rumah pamerupakan
warisan tradisional etnis Bajo yang tepat untuk dipertahankan bahkan jika
memungkinkan dikembangkan. Namun demikian kedua bidang kajian
tersebut menyadari bahwa untuk mencapai kondisi konservatif banyak
tantangan yang dihadapi, yaitu kepadatan bangunan yang tinggi,
pengelolaan sanitasi dan persampahan yang kurang, serta penggunaan
karang sebagai bahan bangunan yang berlebihan. Kepadatan bangunan
terkait dengan terganggunya sirkulasi air laut dan tertahannya sinar
matahari yang mestinya dapat menembus badan air hingga kedalaman
tertentu, yang menjadi syarat tumbuhnya biota laut. Lemahnya aspek
pengelolaan sanitasi dan persampahan akan menyebabkan
terkontaminasinya air laut oleh limbah domestik. Pengerusakan terumbu
karang jelas akan mempengaruhi ekosistem pantai dan tentunya berakibat
pada terganggunya kehidupan biota laut yang menjadi sumber
penghidupan mereka [16].
Usulan penataan kawasan berdasarkan analisa di atas adalah
pengaturan jarak antar hunian dan pola penataan “grid”. Pola grid
merupakan mekanisme yang cukup universal dalam mengatur lingkungan,
dimana pola ini terbentuk karena adanya kebutuhan suatu sistem yang
berbentuk segi empat (grid iron) guna memberikan suatu bentuk geometri
pada kawasan permukiman. Pemilihan pola grid didasarkan pada
kemudahan akses bangunan yang satu dengan yang lain. Sistem ini
mengutamakan efisiensi dan nilai ekonomis, serta memberikan tingkat
kerawanan yang rendah terhadap kekuatan angin dan ombak yang dapat
merusak.
Pada tahap kedua, ahli arsitektur melakukan pengukuran luasan
rumah tradisional dan melakukan pengamatan terhadap material bangunan,
khususnya atap dan dinding. Selanjutnya dibuatkan tipologinya
berdasarkan kedua kriteria tersebut (ukuran rumah dan material yang
digunakan). Berdasarkan tipologi tersebut diketahui bahwa tempat tinggal
masyarakat Bajo dapat dikelompokkan ke dalam tiga tipe, yaitu tipe kecil
yang hanya mempunyai 2 – 3 ruangan dengan bahan penutup atap terbuat
dari daun nipah atau rumbia, sedangkan dindingnya terbuat dari pelepah
daun silar. Tipe medium pada umumnya mempunyai 3-4 kamar dimana
dindingnya terbuat dari papan kayu. Tipe besar secara umum mempunyai
jumlah kamar lebih dari 4, atap terbuat dari material metal (zinc dan
alluminium), dan dinding terbuat dari kayu olahan.
Langkah ini memotivasi ahli sains bangunan untuk melakukan
pengukuran termal dengan variasi material bangunan dan posisi
pengukuran. Diperoleh hasil bahwa penggunaan material organik pada
dinding dan atap memberikan perbedaan temperatur yang signifikan, yaitu
terdapat respon termal yang lebih baik untuk rumah-rumah yang
menggunakan bahan lokal dibandingkan dengan bangunan yang
menggunakan bahan lokal yang dipadu dengan bahan modern. Hasil
pengukuran temperatur dalam bangunan membuktikan bahwa bangunan
yang berdinding dari daun silar (bahan selulosa), beratap rumbia, dan
berlantai kayu memiliki temperatur sekitar 210 C - 270 C, sedang
bangunan dengan atap seng (metal), lantai keramik, dan dinding papan
memiliki temperatur yang lebih tinggi berkisar 280 C - 350 C [2].
Bahan lokal memiliki spesifikasi tertentu seperti berporous, ringan,
dan mengandung bahan selulosa yang tinggi, sehingga karakter termalnya
memiliki sifat mudah/cepat melepaskan panas/dingin yang diterima dari
sekitarnya. Karena material tersebut berporous, maka akan menyimpan
uap air didalam pori-porinya sehingga sangat membantu proses
pendinginan udara dalam bangunan. Namun demikian hal tersebut harus
ditunjang oleh pergerakan udara/angin untuk membantu terjadinya
pertukaran udara dalam ruang sehingga tidak terjadi kegerahan. Tentu saja
kondisi tersebut sangat ditunjang oleh desain bukaaAhli struktur membuat
tipologi sistem struktur rumah panggung yang memiliki karakteristik unik
yakni sistem strukturnya ditunjang oleh pondasi tiang kayu yang
kedalamannya mencapai 9 meter di bawah permukaan laut hingga
ujungnya terjepit secara lateral oleh material tanah dasar laut. Kondisi
struktur sedemikian sangat rentan menerima pembebanan dinamis yang
ekstrim, baik akibat angin ataupun oleh gelombang. Keunikan lainnya
terdapat pada sambungan antara struktur atas (badan rumah) dengan
struktur bawah (tiang penyokong) yang memungkinkan terjadinya
pergeseran lateral pada satu arah serta sambungan antar elemen struktur
dengan kekangan yang terbatas.
Ahli struktur dan bahan bangunan menemukan bahwa tiang
struktur dari kayu “pingsan” (nama lokal) atau teridentifikasi dengan
klasifikasi famili Verbenacea, spesies Teysmanniodendron sp termasuk
dalam kategori kekuatan klas I. Dari aspek kelangkaannya, kayu pingsan
termasuk dalam kayu endemik “lesser known”, yakni kayu langka yang
hanya tumbuh pada kawasan tertentu. Karena jenis kayu ini merupakan
material klas tinggi, maka cukup kuat menahan gaya lateral dan vertikal,
serta menahan serangan serangga laut.
Kerjasama antara disiplin sosial dan perencanaan wilayah
menyimpulkan bahwa kebiasaan hidup berkelompok, bergotong royong,
pembagian kerja secara gender terjadi di masyarakat Bajo. Oleh karena itu
pola ini akan dimanfaatkan pada pengembangan permukiman di kawasan
ini. Secara keseluruhan, usulan penataan kawasan hasil kajian multidisipin
yang disepakati adalah: pengaturan jarak antar hunian dan pola penataan
“grid” akan mengurangi tekanan terhadap ekosistem pantai; teknologi
tradisional dinding dengan daun “silar” dan atap dengan “rumbai” tetap
dipertahankan dengan memberikan inovasi ketebalan, aestetik, dan metode
pemasangan. Tiang struktur kayu “pingsan” dipertahankan namun untuk
diameter tertentu diperkuat dengan brezing. Bukaan rumah perlu ditambah
untuk meningkatkan kenyamanan termal. Pembuangan limbah harus
ditangani secara memadai. Pembentukan kelompok sosial dengan
melibatkan peran gender perlu dilakukan agar dapat memobilisasi sumber
daya Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa dalam kajian multidisiplin,
komunikasi antara ahli yang satu dengan yang lain, baik dalam relasi yang
terjadi secara paralel ataupun berjenjang. Dicontohkan pada kasus diatas
bahwa ahli komunikasi antara bahan bangunan khususnya kayu
(kehutanan) dengan ahli struktur bangunan tidak bisa dihindarkan lagi.
Ahli struktur harus memahami sifat dasar kayu, misalnya klas kayu,
kekuatan kayu, keawetan kayu, yang nota bene menjadi domain disiplin
ahli kayu; sedangkan ahli kayu juga harus memahami persyaratan kayu
untuk komponen struktural bangunan yang diatur dalam peraturan
konstruksi. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan apakah kayu yang ada
diperbolehkan digunakan untuk komponen struktural. Sudah barang tentu
disiplin ini merupakan domain ahli struktur dan konstruksi. Dengan
komunikasi yang intensif, maka diperoleh pemahaman yang baru terhadap
permasalahan yang sama oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Penerapan pendekatan multidisiplin dimaksudkan untuk menggali
pemahaman atau persepsi yang lebih baik terhadap suatu permasalahan
dari kaca mata berbagai disiplin ilmu. Dalam konteks perumahan
tradisional, pendekatan multidisiplin dimaksudkan untuk menggali
kearifan lokal yang terdapat dalam permukiman tradisional dengan
melibatkan bidang perencanaan wilayah, arsitektur, struktur, bahan
bangunan, sains bangunan, teknik lingkungan, serta sosial budaya. Kajian
kearifan lokal bidang arsitektural dan perencanaan wilayah menyimpulkan
bahwa bangunan rumah panggung dimaksudkan menghindari genangan air
laut, memberikan efek “comfort” serta menjaga kondisi ekologi perairan.
Kajian bahan dan sains bangunan mengindikasikan bahwa penggunaan
daun “silar” untuk dinding rumah dan “rumbai” untuk atap memberikan
efek termal yang rendah. Ahli struktur dan bahan bangunan memahami
bahwa tiang struktur dari kayu “pingsan” merupakan material klas tinggi,
sehingga cukup kuat menahan gaya lateral dan vertikal, serta menahan
serangan serangga laut. Kajian sanitasi menyimpulkan bahwa dampak
pembuangan limbah domestik di perairan mengganggu ekologi pantai.
Disiplin sosial menyimpulkan bahwa kebiasaan hidup berkelompok,
bergotong royong, pembagian kerja secara gender terjadi di masyarakat
Bajo. Usulan penataan kawasan hasil kajian multidisipin yaitu: pengaturan
jarak antar hunian dan pola penataan “grid” akan mengurangi tekanan
terhadap ekosistem pantai; teknologi tradisional dinding dengan daun
“silar” dan atap dengan “rumbai” tetap dipertahankan dengan memberikan
inovasi ketebalan, aestetik, dan metode pemasangan. Tiang struktur kayu
“pingsan” dipertahankan namun untuk diameter tertentu diperkuat dengan
brezing. Bukaan rumah perlu ditambah untuk meningkatkan kenyamanan
termal. Pembuangan limbah harus ditangani secara memadai.
Pembentukan kelompok sosial dengan melibatkan peran gender perlu
dilakukan agar dapat memobilisasi sumber daya.

D. Cara Komunikasi Multidisiplin Dalam Keperawatan yang berlaku


Dalam ilmu kesehatan, komunikasi tidak bisa dipisahkan dengan
peranan perawat sebagai petugas kesehatan.Dalam kehidupan sehari-hari
kita tidak bisa lepas dari kegiatan komunikasi.Sehingga sekarang ilmu
komunikasi berkembang pesat. Salah satu kajian ilmu komunikasi ialah
komunikasi kesehatan yang merupakan hubungan timbal balik antara
tingkah laku manusia masa lalu dan masa sekarang dengan derajat
kesehatan dan penyakit, tanpa mengutamakan perhatian pada penggunaan
praktis dari pengetahuan tersebut atau partisipasi profesional dalam
program-program yang bertujuan memperbaiki derajat kesehatan.Melaui
pemahaman yang lebih besar tentang hubungan timbal balik melalui
perubahan tingkah laku sehat ke arah yang diyakini akan meningkatkan
kesehatan yang lebih baik.Kenyataaanya memang komunikasi secara
mutlak merupakan bagian integral dari kehidupan kita, tidak terkecuali
perawat, yang tugas sehari-harinya selalu berhubungan dengan orang lain.
Entah itu pasien, sesama teman, dengan atasan, dokter dan sebagainya.
Maka komunikasi sangatlah penting sebagai sarana yang sangat efektif
dalam memudahkan perawat melaksanakan peran dan fungsinya dengan
baik.
Komunikasi merupakan alat untuk membina hubungan dan teknik
komnikasi terapeutik karena komunikasi mencakup pencapaian informasi,
pertukaran pikiran dan perasaan. Proses komunikasi terapeutik sering kali
meliputi kemampuan dan komitmen yang tulus pada pihak perawat untuk
membantuk klien mencapai keberhasilan keperawatan bersama.
Komunikasi yang berlangsung di tatanan kelompok ataupun komunitas
biasanya lebih efektif dalam mengkomunikasikan tentang kesehatan oleh
petugas kesehatan seperti perawat salah satunya. Tentunya diperlukan cara
untuk menciptakan komunikasi yang harmonis seperti 12  cara komnikasi
multidisiplin dalam keperawatan di Indonesia.
1. Membentuk Komunikasi Interpersonal yang Baik
Menciptakan dan memelihara hubungan yang baik adalah
penting dalam upaya penanganan dan perawatan pasien. Hasil studi
menunjukkan bahwa komunikasi dan hubungan baik antara pasien dan
anggota tim memberikan dampak positif pada kepuasan pasien,
pengetahuan dan pemahaman, kepatuhan terhadap program
pengobatan, dan hasil kesehatan yang terukur. Komunikasi
interpersonal yang terjalin baik juga akan memberikan dampak positif
tidak hanya bagi kinerja namun juga bagi hubungan antara perawat dan
pasien sebagai cara berkomunikasi yang baik.
2. Menjadi Pendengar yang Baik
Dalam sebuah komunikasi sangat penting untuk menjadi
pendengar yang baik, sebab tentunya dengan mndengarkan pasien
maka tentu perawat akan lebih mudah mngetahu kluhan. Tentunya hal
ini merupakan hal yang baik dala upaya memberikan pelayanan yang
tepat terhadap pasien. Tentunya hal ini menjadi salah satu upaya yang
baik dalam menjadikan komunikasi yang efektif dalam multidisiplin
keperawatan.
3. Pertukaran Informasi yang Efektif
Anggota tim yakni dokter perlu memperoleh sebanyak
mungkin informasi dari pasien agar dapat mendiagnosa dengan tepat
jenis penyakit yang diderita pasien dan merumuskan rencana
penanganan dan perawatan. Bagi pasien, pasien perlu mengetahui,
memahami, merasa dikenal, dan dipahami oleh anggota tim. Untuk itu,
kedua belah pihak sangat perlu melakukan komunikasi dua
arahsebagai upaya untuk saling bertukar informasi. Informasi yang
tepat tentu akan memberikan penangganan yang tepat sehingga
kesalahan dalam upaya penanganan kesehatan akan diminimalisir.
4. Menggunakan Komunikasi Nonverbal
Komunikasi nonverbal merupakan salah satu cara yang
digunakan untuk melakukan Komunikasi Multidisiplin Dalam dunia
Keperawatan. Komunikasi nonverbal adalah upaya untuk dapat lebih
mengefektifkan komunkasi dan merupakan upaya untuk lebih sedikit
menggunakan kata kata. Bahasa nonverbal juga dapat menjadikan
komunikasi berlangsung lebih akrab dan kondusif. Terlebih lagi jika
dilakukan dengan pasien yang tidak diharuskan banyak bicara.
Sehingga hal ini akan sangat memudahkan dalam komunikasi itu
sendiri sebagaimana cara komunikasi efektif dengan pasien.
5. Membentuk Persepsi Positif
Dalam membangun komunikasi multidisplin, bagi perawat
dangatlah penting untuk dalam membentu persepsi yang poditif. Sebab
memberikan pelayanan terhadap banyak psien dengan karakteristik
yang berbeda beda bukanlah merupakan hal yang mudah. Oleh
karenanya dalam hal ini maka tentu persepsi positif dalam komunikasi
harus dikedepankan sebab bagaimanapun juga persepsi positif akan
dapat memberikan hal yang secara tidak langsung berpengaruh positif
dala sebuah komunikasi.
6. Memberi Penilaian yang Baik
Nilai atau penilaian yang baik haruslah menjadi hal utama yang
dikedepankan oleh keperawatan. Sebab penilaian inilah yang akan
langsung memberikan dampak bagi bagi berlangsungnya kmonukasi
baik antara perawat dengan pasien atau juga perawat dengan para
petugas medis lainnya. Dengan hal ini maka tentu akan dapat berlaku
positif terhadap jalannya komunikasi yang akan dilakukan sebagai
bentuk penyebab keberhasilan dalam komunikasi.
7. Menggunakan Bahasa dan Etika yang Sopan

sebuah komunikasi tentu saja penggunaan bahasa serta etika


dan norma kesopanan haruslah diutamakan. Terlebih lagi bagi para
paleku dan petus kesehatan seperti perawat tentu harus
mengedepankan hal ini sebagiaman fungsi bahasa sebagai alat
komunikasi. Sebab mereka tidka hanya mewakili diri sendiri namun
juga mewakili profesi serta institusi yang menaungi. Oleh karena hal
ini maka tentu saja bahsa , norma etika dan perilaku haruslah benar
benar diperhatikan dengan seksama.

8. Mengendalikan Emosi
Dalam sebuah situasi yang krusial kadang kala kita tidak bisa
memisahkan hal yang tentunya bersifak emosional. Bahkan pada
akhirnya emosi ini lah yang kemuda=ian memegang kendali sehingga
dalam komunikasipun bahkan hal ini dapat memberikan dampak yang
buruk. Sebab keika sudha melibatkan emosi maka tentu komunikasi
akan tidak dapat dikontrol, maka hal tersebut akan sangat berbahaya
bagi seorang perawat tentunya.
9. Berbagi Pengetahuan
Komunikasia dalam multidisiplin keperawatan merupakan
sebuah cara yang efektif untuk dapat berbagi ilmu pengetahuan, Sebab
tentunya tidak semua hal dapat hanya dipeklajari melalui buku.
Karennaya pengalaman yang pernah dialami oleh satu perawat dan
perawat lainnya dalam menangani pasien juga akan berbeda, sehingga
hal inilah yang kemudian akan dapat dibagi dalam komunikasi yang
dilakukan sebagai konsep moral dalam komunikasi keperawatan.
10. Penampilan
Penampilan tentu saja dapat mewakili profesi yang dijalani,
maka tentu tidak heran jika kemudian kita dapat dengan mudah
menebak profesi seseorang dari penampilannya. Oleh sebab itu, maka
tentunya bagi seorang perawat penampilan yang menunjang akan
dapat mendukung kemampuannya agar dapat berkomunikasi dengan
lebih baik lagi kepada pasien atau rekan sejawat.
11. Sikap
Dalam komunikasi sikap juga memegang peranan i=utama.
Sebab sebagimana kita tahu yang akan berkaitan dengan banyak
pasien dengan berbagai keluhan. Tentunya tanpa sikap yang baik
pastinya komunikasi tidak akan dapat berjalan dengan baik. Sebab
jangan sampai karena sikap anda dalam berkomunikasi akan
berpengaruh pada persepsi pasien terhadap anda dan profesi anda.
12. Memperhatikan Kebutuhan Pasien
Hal yang tidak kalah penting harus diperhatikan dalam
komunikasi multidisiplin keperawatan adalah jangan sampai
mengabaikan kebutuhan pasien. Oleh sebab itu, maka kebutuhan
pasien haruslah menjadi prioritas utama terutama bagia nda para
perawat sebagai upaya dalam memberikan pelayanan terbaik untuk
para pasien sebagai karakteristik komunikasi terapeutik.Nah, itulah
tadi 12 12 Cara Komunikasi Multidisiplin Dalam Keperawatan di
Indonesia.. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.

E. Kolaborasi
Kolaborasi adalah hubungan kerja diantara tenaga kesehatan dalam
memberikan pelayanan kepada pasien/klien adalah dalam melakukan
diskusi tentang diagnosa, melakukan kerjasama dalam asuhan kesehatan,
saling berkonsultasi atau komunikasi serta masing-masing bertanggung
jawab pada pekerjaannya.
Apapun bentuk dan tempatnya, kolaborasi meliputi suatu
pertukaran pandangan atau ide yang memberikan perspektif kepada
seluruh kolaborator. Kolaborasi merupakan proses komplek yang
membutuhkan sharing pengetahuan yang direncanakan yang disengaja,
dan menjadi tanggung jawab bersama untuk merawat pasien. Kadangkala
itu terjadi dalam hubungan yang lama antara tenaga profesional.
Kolaborasi adalah suatu proses dimana praktisi keperawatan atau
perawat klinik bekerja dengan dokter untuk memberikan pelayanan
kesehatan dalam lingkup praktek profesional keperawatan, dengan
pengawasan dan supervisi sebagai pemberi petunjuk pengembangan
kerjasama atau mekanisme yang ditentukan oleh pertukaran suatu negara
dimana pelayanan diberikan. Bagi perawat, hubungan kerjasama dengan
dokter sangat penting apabila ingn menunjukkan fungsinya secara
independen. Tujuan kolaborasi perawat adalah untuk membahas masalah-
masalah tentang klien dan untuk meningkatkanpamahaman tentang
kontrbusi setiap anggota tim serta untuk mengidentifikasi cara-cara
meningkatkan mutu asuhan klien. Agar hubungan kolaborasi dapat
optimal, semua anggota profesi harus mempunyai keinginan untuk
bekerjasama. Perawat dan dokter merencanakan dan mempraktekkan
sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batas-batas lingkup
praktek dengan berbagai nilainilai dan pengetahuan serta respek terhadap
orang lain yang berkonstribusi terhadap perawatan individu, keluarga dan
masyarakat.

F. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan


Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut
Notoatmodjo (2010) yaitu :
1. Umur Bertambahnya umur seseorang dapat berpengaruh pada
pertambahan pengetahuan yang diperolehnya, akan tetapi pada
umur-umur tertentu atau menjelang usia lanjut kemampuan
penerimaan atau mengingat suatu pengetahuan akan berkurang.
2. Intelegensi Intelegensi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
belajar dan berfikir abstrak guna menyesuaikan diri secara mental
dalam situasi baru. Intelegensi merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi hasil dari proses belajar. Intelegensi bagi seseorang
merupakan salah satu modal untuk berfikir dan mengolah berbagai
informasi secara terarah sehingga ia mampu menguasai lingkungan
. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perbedaan intelegensi
dari seseorang akan berpengaruh pula terhadap tingkat
pengetahuan.
3. Lingkungan Lingkungan merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi pengetahuan seseorang. Lingkungan memberikan
pengaruh pertama bagi seseorang, dimana seseorang dapat
mempelajari hal-hal yang baik dan juga hal-hal yang buruk
tergantung pada sifat kelompoknya. Dalam lingkungan seseorang
akan memperoleh pengalaman yang akan berpengaruh pada pada
cara berfikir seseorang.
4. Sosial budaya Sosial budaya mempunyai pengaruh pada
pengetahuan seseorang. Seseorang memperoleh suatu kebudayaan
dalam hubunganya dengan orang lain, karena hubungan ini
seseorang mengalami suatu proses belajar dan memperoleh suatu
pengetahuan.
5. Pendidikan Pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang
semakin baik pula pengetahuannya.
6. Informasi Informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan
seseorang. Meskipun seseorang memiliki pendidikan yang rendah
tetapi jika ia mendapatkan informasi yang baik dari berbagai media
misalnya tv, radio atau surat kabar maka hal itu akan dapat
meningkatkan pengetahuan seseorang.
7. Pengalaman Pengalaman merupakan guru yang terbaik. Pepatah
tersebut dapat diartikan bahwa pengalaman merupakan sumber
pengetahuan, atau pengalaman itu suatu cara untuk memperoleh
kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu pengalaman pribadi pun
dapat digunakan sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan.
Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman
yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi
pada masa lalu.
G. Media sosial dan dampaknya terhadap kesehatan fisik dan mental
Media sosial saat ini telah berkembang pesat. Banyak jenis media
sosial yang diciptakan seperti twitter, path, linkdin, instagram, facebook
dan yang lainnya. Media sosial merupakan kelompok aplikasi dengan basis
internet dan teknologi web yang dapat menciptakan dan pertukaran konten
oleh penggunanya (Kaplan & Haenlein, 2010). Menurut Carlsson (2010),
dalam media sosial terjadi interaksi sosial yang memungkinkan
penggunanya dapat memberikan pendapat, ide serta pengetahuan di dalam
forum secara global dengan waktu dan tempat yang tidak signifikan.
Begitu juga dengan media sosial facebook, biasanya digunakan
penggunanya untuk membuat profil, mengirimkan foto atau video,
membuat status terbaru, berkomunikasi dengan teman serta keluarga dan
tempat mendiskusikan sesuatu (Ooeldorf-Hirsch & Sundar, 2015; Shen,
Brdiczka & Liu, 2015).

Media sosial memiliki dampak positif dan juga negatif pada


penggunanya. Menurut penelitian oleh Tartari (2009) yang dilakukan di
albania dengan wawancara kepada remaja yang berusia 11-16 tahun
dimana sering menggunakan media sosial, terlihat bahwa hal positif yang
mereka dapatkan dari menggunakan media sosial adalah meningkatkan
mereka dalam kemampuan komunikasi, mendapatkan informasi, dan
mengembangkan keterampilan dalam penggunaan tekologi. Di samping
itu, hal negatif yang terlihat dalam hasil penelitian ini adalah remaja
memiliki risiko terkena depresi facebook, cyberbullying serta pelecehan
seksual secara online.

Penelitian lainnya oleh Okoiye et al (2015) yang dilakukan di


nigeria pada 300 remaja, didapatkan hasil bahwa harga diri, konsep diri,
self eficacy memiliki hubungan yang signifikan dengan cyberbullying
remaja di sekolah. Penelitian ini merekemomendasikan bahwa remaja
harus diberikan pendidikan moral di sekolah sehingga memiliki karakter
yang baik dan memiliki kemampuan dalam menjalin hubungan yang
positif dengan orang lain serta mengawasi remaja dalam menggunakan
internet untuk membantu mereka mengekspresikan perilaku yang baik
dalam hubungan interpersonal dengan teman-temannya.

Penggunaan media sosial yang berlebihan dapat menyebabkan


kecanduan bagi penggunanya. Ciri-ciri kecanduan media sosial yang
diungkap menurut teori goldberg yaitu; sering lupa waktu, gejala menarik
diri, muncul sebuah kebutuhan konstan untuk meningkatkan waktu yang
dihabiskan, kebutuhan peralatan komputer dan aplikasi yang lebih
baik/lebih banyak, sering berkomentar, berbohong, prestasi rendah,
menutup diri secara sosial dan kelelahan (nurmandia, 2013).

H. Pendidikan Kesehatan dengan Pendekatan Peer Group (Kelompok


Sebaya)

Pendidikan kesehatan adalah proses untuk mengubah perilaku


manusia yang meliputi pengetahuan, sikap, atau perbuatan yang
berhubungan dengan tujuan hidup sehat baik secara individu atau pun
kelompok (Triwibowo dan Puspahandani, 2015). Beberapa metode yang
dapat digunakan dalam pendidikan kesehatan yaitu ceramah, diskusi
kelompok, curhat pendapat, demonstrasi, dan seminar. Pemberian
pendidikan kesehatan dapat menggunakan berbagai metode yang sesuai
dengan tujuan spesifik yang ingin dicapai (pengetahuan, sikap atau praktik
partisipan) (Nursalam dan Efendi, 2008). Adapun penjelasan
singkattentang metode pendidikan kesehatan adalah sebagai berikut:

a) Ceramah Menurut Notoatmodjo (2010), metode ceramah efektif dan


efisien untuk sasaran dalam jumlah banyak. Metode ceramah dapat
dilengkapi menggunakan audiovisual, tanya jawab dan demonstrasi yang
bertujuan agar ceramah dapat lebih menarik (Afandi, Chamalah, &
Wardani, 2013). Kelebihannya adalah dapat meningkatkan ingatan antara
40%-60% dengan menggunakan alat bantu visual dan memberikan
gambaran untuk menuntun seseorang mengambil tindakan dan menghemat
waktu. Kekurangannya adalah partisipasi peserta pasif dan cepat
membosankan jika ceramahnya kurang menarik.
b) Diskusi kelompok Metode diskusi kelompok adalah seperti dibentuknya
kelompok-kelompok kecil dan dituntut untuk menyelesaikan suatu kasus
atau masalah. Kelebihan metode ini adalah para peserta dapat
mengekspresikan kemampuan dan bersaing secara sehat secara objektif.
Sementara itu kelemahannya yaitu apabila petunjuk pelaksanaan tugas
kurang jelas, hasil kerja peserta akan menyimpang dari tujuan
instruksional yang diharapkan dan membutuhkan waktu yang lama dalam
penyelesaian masalah.
c) Curah pendapat Metode ini diawali dengan adanya sebuah kasus/masalah
dan kemudian memberikan kesempatan masing-masing peserta untuk
memberikan pendapatnya. Kemudian akan terjadi diskusi dalam
prosesnya. Adapun kelebihan metode ini adalah dapat memperoleh
sejumlah pendapat dan pandangan yang lebih obyektif, sedangkan
kekurangannya adalah sulit menganalisis dan kurang memperoleh
pemikiran yang bulat.
d) Seminar Seminar merupakan suatu metode dimana dalam kegiatannya
berupa pertemuan yang dihadiri 5 atau lebih orang dengan bimbingan
orang yang menguasai bidang tertentu dalam menyelesaikan atau
membahas suatu topik. Kelebihan metode ini adalah menyajikan bahan-
bahan serta keterangan baru dan dapat mempelajari topik-topik secara
mendalam. Kekurangan metode ini adalah jika peserta memberikan
banyak pertanyaan, akan sulit bagi pembicara menjawab pertanyaan
karena keterbatasan waktu.
e) Demonstrasi Demonstrasi adalah suatu penyajian untuk memperlihatkan
suatu tindakan, adegan, atau memperlihatkan prosedur tertentu. Kelebihan
metode ini adalah dapat memberikan ketrampilan tertentu dan
memudahkan sasaran memahami jelas suatu prosedur. Adapun
kekurangannya adalah jika waktu yang disediakan terbatas akan
menyulitkan sasaran mempraktekkan demonstrasi. Pendidikan kesehatan
dapat dilakukan dengan pendekatan peer group atau kelompok sebaya
pada remaja. Kelompok sebaya atau peer group adalah suatu proses
komunikasi, informasi dan edukasi yang dilakukan oleh dan untuk
kalangan sebaya. Kalangan satu kelompok, dapat berarti satu kelompok
sebaya pelajar, kelompok mahasiswa, sesama rekan kerja, sesama profesi
dan jenis kelamin (Lufhiani, 2011).

Kelompok sebaya dapat memberikan pengaruh yang besar


sehingga remaja berusaha untuk meniru teman sebayanya. Hal tersebut
dapat terjadi karena remaja lebih banyak menghabiskan waktu dengan
teman sebayanya daripada masa pertengahan atau kanak-kanak akhir.
Karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-
teman sebagai kelompok sebaya, maka dapatlah dimengerti bahwa
pengaruh teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan,
perilaku, pengetahuan lebih besar dari pada pengaruh keluarga (Hurlock,
2008).

Kelompok sebaya dapat memberikan pengaruh yang besar


sehingga remaja berusaha untuk meniru teman sebayanya. Hal tersebut
dapat terjadi karena remaja lebih banyak menghabiskan waktu dengan
teman sebayanya daripada masa pertengahan atau kanak-kanak akhir.
Karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-
teman sebagai kelompok sebaya, maka dapatlah dimengerti bahwa
pengaruh teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan,
perilaku, pengetahuan lebih besar dari pada pengaruh keluarga (Hurlock,
2008).
BAB III

PERSPEKTIF, TREND DAN ISSUE KOMUNIKASI PELAYANAN


KESEHATAN

A.Definisi Issu dan Trend dalam Pelayanan Kesahatan


Trend adalah hal yang sangat mendasar dalam berbagai pendekatan
analisa, trend juga dapat di definisikan salah satu gambaran ataupun
informasi yang terjadi pada saat ini yang biasanya sedang popular di
kalangan masyarakat.Jadi trend adalah sesuatu yang sedang di bicarakan
oleh banyak orang saat ini dan kejadiannya berdasarkan fakta
(Muharamiatul, 2012).
Sedangkan issu adalah suatu peristiwa atau kejadian yang dapat
diperkirakan terjadi atau tidak terjadi pada masa mendatang, yang
menyangkut ekonomi, moneter, sosial, politik, hukum, pembangunan
nasional, bencana alam, hari kiamat, kematian, ataupun tentang krisis.
Atau sesuatu yang sedang di bicarakan oleh banyak namun belum jelas
faktanya atau buktinya (Muharamiatul, 2012).
Komunikasi merupakan proses kompleks yang melibatkan perilaku
dan memungkinkan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan
dunia sekitarnya. Sedangkan komunikasi terapeutik adalah kemampuan
atau keterampilan perawat untuk membantu klien beradaptasi terhadap
stress, mengatasi gangguan patologis dan belajar bagaimana berhubungan
dengan orang lain ( Mundakir, 2006 ).
Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan
secara sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk
memelihara, meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan
penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan
ataupun masyarakat.Pelayanan rumah sakit merupakan salah satu bentuk
upaya yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat.Pelayanan rumah sakit berfungsi untuk memberikan pelayanan
kesehatan secara menyeluruh dan terpadu yang dilakukan dalam upaya
peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, dan
pemulihan kesehatan yang bermutu dan terjangkau dalam rangka
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Potter dan Perry, 2005).

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Issu dan Trend


1) Faktor Agama dan Istiadat
Agama serta latar belakang adat-istiadat merupakan faktor utama
dalam membuat keputusan etis.Setiap perawat disarankan untuk
memahami nilai-nilai yang diyakini maupun kaidah agama yang
dianutnya. Untuk memahami ini memang diperlukan proses. Semakin tua
dan semakin banyak pengalaman belajar, seseorang akan lebih mengenal
siapa dirinya dan nilai-nilai yang dimilikinya.
2) Faktor Sosial
Berbagai faktor sosial berpengaruh terhadap pembuatan keputusan
etis. Faktor ini antara lain meliputi perilaku sosial dan budaya, ilmu
pengetahuan dan teknologi, hukum, dan peraturan perundang-undangan.
Perkembangan sosial dan budaya juga berpengaruh terhadap sistem
kesehatan nasional. Pelayanan kesehatan yang tadinya berorientasi pada
program medis lambat laun menjadi pelayanan komprehensif dengan
pendekatan tim kesehatan.

3. Faktor Ilmu Pengetahuan dan Teknologi


Pada era abad 20 ini, manusia telah berhasil mencapai tingkat
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang belum dicapai manusia
pada abad sebelumnya.Kemajuan yang telah dicapai meliputi berbagai
bidang.
Kemajuan di bidang kesehatan telah mampu meningkatkan kualitas
hidup serta memperpanjang usia manusia dengan ditemukannya berbagai
mesin mekanik kesehatan, cara prosedur baru dan bahan-bahan/obat-
obatan baru. Misalnya pasien dengan gangguan ginjal dapat diperpanjang
usianya berkat adanya mesin hemodialisa.Ibu-ibu yang mengalami
kesulitan hamil dapat diganti dengan berbagai inseminasi.Kemajuan-
kemajuan ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan
dengan etika.

4. Faktor Legislasi dan Keputusan Yuridis


Perubahan sosial dan legislasi secara konstan saling
berkaitan.Setiap perubahan sosial atau legislasi menyebabkan timbulnya
tindakan yang merupakan reaksi perubahan tersebut.Legislasi merupakan
jaminan tindakan menurut hukum sehingga orang yang bertindak tidak
sesuai hukum dapat menimbulkan konflik.Saat ini aspek legislasi dan
bentuk keputusan juridis bagi permasalahan etika kesehatan sedang
menjadi topik yang banyak dibicarakan.Hukum kesehatan telah menjadi
suatu bidang ilmu, dan perundang-undangan baru banyak disusun untuk
menyempurnakan perundang-undangan lama atau untuk mengantisipasi
perkembangan permasalahan hukum kesehatan.

5. Faktor dana/keuangan.
Dana/keuangan untuk membiayai pengobatan dan perawatan dapat
menimbulkan konflik.Untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat,
pemerintah telah banyak berupaya dengan mengadakan berbagai program
yang dibiayai pemerintah.

6. Faktor pekerjaan.
Perawat perlu mempertimbangkan posisi pekerjaannya dalam
pembuatan suatu keputusan. Tidak semua keputusan pribadi perawat dapat
dilaksanakan, namun harus diselesaikan dengan keputusan/aturan tempat
ia bekerja. Perawat yang mengutamakan kepentingan pribadi sering
mendapat sorotan sebagai perawat pembangkang. Sebagai
konsekuensinya, ia mendapatkan sanksi administrasi atau mungkin
kehilangan pekerjaan.
7. Faktor Kode etik keperawatan.
Kelly (1987), dikutip oleh Robert Priharjo, menyatakan bahwa
kode etik merupakan salah satu ciri/persyaratan profesi yang memberikan
arti penting dalam penentuan, pertahanan dan peningkatan standar
profesi.Kode etik menunjukkan bahwa tanggung jawab kepercayaan dari
masyarakat telah diterima oleh profesi.Untuk dapat mengambil keputusan
dan tindakan yang tepat terhadap masalah yang menyangkut etika, perawat
harus banyak berlatih mencoba menganalisis permasalahan-permasalahan
etis.

8. Faktor Hak-hak pasien.


Hak-hak pasien pada dasarnya merupakan bagian dari konsep hak-
hak manusia.Hak merupakan suatu tuntutan rasional yang berasal dari
interpretasi konsekuensi dan kepraktisan suatu situasi.Pernyataan hak-hak
pasien cenderung meliputi hak-hak warga negara, hak-hak hukum dan hak-
hak moral. Hak-hak pasien yang secara luas dikenal menurut Megan
(1998) meliputi hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang adil
dan berkualitas, hak untuk diberi informasi, hak untuk dilibatkan dalam
pembuatan keputusan tentang pengobatan dan perawatan, hak untuk
diberi informed concent, hak untuk mengetahui nama dan status tenaga
kesehatan yang menolong, hak untuk mempunyai pendapat kedua(secand
opini), hak untuk diperlakukan dengan hormat, hak untuk konfidensialitas
(termasuk privacy), hak untuk kompensasi terhadap cedera yang tidak
legal dan hak untuk mempertahankan dignitas (kemuliaan) termasuk
menghadapi kematian dengan bangga.

C. Konsep Issu dan Trend dalam Keperawatan

1. Mengahargai keyakinan klien menurut budayanya


Perawat harus bisa menghargai keyakinan klien tetapi tetap
melaksanakan tindakan untuk perawatan klien dengan mengganti
dengan alternative lain. Misalnya klien yang tidak mengkonsumsi obat-
obatan kimia, berpikir kritis dengan mengganti dengan obat herbal yang
telah terbukti pengobatannya. misalnya di budaya Jawa, Brotowali
sebagai obat untuk menghilangkan rasa nyeri.
2.Menghentikan kebiasaan buruk
Apabila klien mempunyai kebiasaan merokok pada saat setelah
makan, maka perawat harus dapat melarang kebiasaan tersebut.Karena
dapat membahayakan klien dan terapi penyembuhan dapat mengalami
kegagalan. Contoh lain, kebiasaan bagi orang jawa yakni jika ada salah
satu pihak keluarga atau sanak saudara yang sakit, maka untuk
menjenguknya biasanya mereka mengumpulkan dulu semua saudaranya
dan bersama – sama mengunjungi saudaranya yang sakit tersebut.
Karena dalam budaya Jawa dikenal prinsip “ mangan ora mangan , seng
penting kumpul.
3.   Mengganti kebiasaan pengobatan yang  buruk
Bagi masyarakat Jawa dukun adalah yang pandai atau ahli dalam
mengobati penyakit melalui “Japa Mantera“, yakni doa yang diberikan
oleh dukun kepada pasien. Misalnya dukun pijat/tulang (sangkal
putung) khusus menangani orang yang sakit terkilir , patah tulang ,
jatuh atau salah urat.

D. Nilai-Nilai dalam Issu dan Trend


1. Nilai intelektual
Nilai intelektual dalam praktik keperawatan terdiri dari :
a. Body of Knowledge
b. Pendidikan spesialisasi (berkelanjutan)
c. Menggunakan pengetahuan dalam berpikir secara kritis dan kreatif.
2. Nilai komitmen moral
Pelayanan keperawatan diberikan dengan konsep altruistic dan
memperhatikan kode etik keperawatan.Menurut Beauchamp & Walters
(1989) pelayanan professional terhadap masyarakat memerlukan
integritas, komitmen moral dan tanggung jawab etik.

3.Otonomi, kendali dan tanggung gugat


Otonomi merupakan kebebasan dan kewenangan untuk
melakukan tindakan secara mandiri.Hak otonomi merujuk kepada
pengendalian kehidupan diri sendiri yang berarti bahwa perawat
memiliki kendali terhadap fungsi mereka.Otonomi melibatkan
kemandirian, kesedian mengambil resiko dan tanggung jawab serta
tanggung gugat terhadap tindakannya sendiribegitupula sebagai
pengatur dan penentu diri sendiri.Kendali mempunyai implikasi
pengaturan atau pengarahan terhadap sesuatu atau seseorang.

E.Pentingnya Komunikasi dalam Pelayanan Kesehatan

Manusia sebagai makhluk sosial tentunya selalu memerlukan orang


lain dalam menjalankan dan mengembangkan kehidupannya. Hubungan
dengan orang lain akan terjalin bila setiap individu melakukan komunikasi
diantara sesamanya. Kepuasan dan kenyamanan serta rasa aman yang
dicapai oleh individu dalam berhubungan sosial dengan orang lain
merupakan hasil dari suatu komunikasi. Komunikasi dalam hal ini menjadi
unsur terpenting dalam mewujudkan integritas diri setiap manusia sebagai
bagian dari sistem social (Muharamiatul, 2012).
Komunikasi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari memberikan
dampak yang sangat penting dalam kehidupan, baik secara individual
maupun kelompok. Komunikasi yang terputus akan memberikan dampak
pada buruknya hubungan antar individu atau kelompok. Tatanan klinik
seperti rumah sakit yang dinyatakan sebagai salah satu sistem dari
kelompok sosial mempunyai kepentingan yang tinggi pada unsur
komunikasi. Komunikasi di lingkungan rumah sakit diyakini sebagai
modal utama untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang akan
ditawarkan kepada konsumennya. Konsumen dalam hal ini juga
menyangkut dua sisi yaitu konsumen internal dan konsumen
eksternal.Konsumen internal melibatkan unsur hubungan antar individu
yang bekerja. Komunikasi di lingkungan rumah sakit diyakini sebagai
modal utama untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang akan
ditawarkan kepada konsumennya. Konsumen dalam hal ini juga
menyangkut dua sisi yaitu konsumen internal dan konsumen
eksternal.Konsumen internal melibatkan unsur hubungan antar individu
yang bekerja di rumah sakit, baik hubungan secara horisontal ataupun
hubungan secara vertikal. Hubungan yang terjalin antar tim multidisiplin
termasuk keperawatan, unsur penunjang lainnya, unsur adminitrasi sebagai
provider merupakan gambaran dari sisi konsumen internal. Sedangkan
konsumen eksternal lebih mengarah pada sisi menerima jasa pelayanan,
yaitu klien baik secara individual, kelompok, keluarga maupun masyarakat
yang ada di rumah sakit.Seringkali hubungan buruk yang terjadi pada
suatu rumah sakit, diprediksi penyebabnya adalah buruknya sistem
komunikasi antar individu yang terlibat dalam sistem tersebut (Mundakir,
2006). Hal ini terjadi karena beberapa sebab diantaranya adalah :
1.        Lemahnya pemahaman mengenai penggunaan diri secara terapeutik
saat melakukan intraksi dengan klien.
2.        Kurangnya kesadaran diri para perawat dalam menjalankan
komunikasi dua arah secara terapeutik.
3.        Lemahnya penerapan sistem evaluasi tindakan ( kinerja ) individual
yang berdampak terhadap lemahnya pengembangan kemampuan diri
sendiri.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka perlu diupayakan suatu
hubungan interpersonal yang mencerminkan penerapan komunikasi yang
lebih terapeutik. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalkan permasalahan
yang dapat terjadi pada komunikasi yang dijalin oleh tim keperawatan
dengan kliennya. Modifikasi yang perlu dilakukan oleh tim keperawatan
adalah melakukan pendekatan dengan berlandaskan pada model
konseptual sebagai dasar ilmiah dalam melakukan tindakan keperawatan.
Sebagai contoh adalah melakukan komunikasi dengan menggunakan
pendekatan model konseptual proses interpersonal (Mundakir, 2006).

F. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komunikasi


Menurut Muharamiatul (2012), faktor yang mempengaruhi
komunikasi antara lain :
1. Situasi atau suasana
Situasi atau suasana yang penuh kebisangan akan
mempengaruhi baik atau tidaknya pesan diterima oleh komunikan,
suara bising yang diterima komunikan saat proses komunikasi
berlangsung membuat pesan tidak jelas, kabur, bahkan sulit diterima.
Oleh karena itu, sebelum proses komunikasi dilaksanakan, lingkungan
harus diciptakan sedemikian rupa supaya tenang dan nyaman.
Komunikasi yang berlangsung dan dilakukan pada waktu yang kurang
tepat mungkin diterima dengan kurang tepat pula. Misalnya, apabila
perawat memberikan penjelasan kepada orang tua tentang cara menjaga
kesterilan luka pada saat orang tua sedang sedih, tentu saja pesan
tersebut kurang diterima dengan baik oleh orang tua karena perhatian
orang tua tidak berfokus pada pesan yang disampaikan perawat,
melainkan pada perasaan sedihnya.
2.    Kejelasan pesan
Kejelasan pesan akan sangat mempengaruhi keefektifan
komunikasi. Pesan yang kurang jelas dapat ditafsirkan berbeda oleh
komunikan sehingga antara komunikan dan komunikator dapat berbeda
persepsi tentang pesan yang disampaikan. Hal ini akan sangat
mempengaruhi pencapaian tujuan komunikasi yang dijalankan. Oleh
karena itu, komunikator harus memahami pesan sebelum
menyampaikannya pada komunikan, dapat dimengerti komunikan dan
menggunakan artikulasi dan kalimat yang jelas.
G. Trend Dan IssueKomunikasi dalam Keperawatan
Hubungan perawat dengan dokter adalah satu bentuk hubungan
interaksi yang telah cukup lama dikenal ketika memberikan bantuan
kepada pasien. Perspektif yang berbeda dalam memendang pasien, dalam
prakteknya menyebabkan munculnya hambatan-hambatan teknik dalam
melakukan proses kolaborasi. Kendala sikologi keilmuan dan individual,
factor sosial, serta budaya menempatkan kedua profesi ini memunculkan
kebutuhan akan upaya kolaborsi yang dapat menjadikan keduanya lebih
solid dengan semangat kepentingan pasien.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa banyak aspek positif yang
dapat timbul jika hubungan kolaborasi dokter dengan perawat berlangsung
baik.American Nurses Credentialing Center (ANCC) melakukan risetnya
pada 14 Rumah Sakit melaporkan bahwa hubungan dokter dengan perawat
bukan hanya mungkin dilakukan, tetapi juga berlangsung pada hasil yang
dialami pasien.Terdapat hubungan kolerasi positif antara kualitas huungan
dokter perawat dengan kualitas hasil yang didapatkan pasien.
Hambatan kolaborasi dokter dengan perawat sering dijumpai pada
tingkat profesional dan institusional.Perbedaan status dan kekuasaan tetap
menjadi sumber utama ketidaksesuaian yang membatasi pendirian
profesional dalam aplikasi kolaborasi.Dokter cenderung pria, dari tingkat
ekonomi lebih tinggi dan biasanya fisik lebih besar dibanding perawat,
sehingga iklim dan kondisi sosial masih mendkung dominasi dokter. Inti
sesungghnya dari konflik perawat dan dokter terletak pada perbedaan
sikap profesional mereka terhadap pasien dan cara berkomunikasi diantara
keduanya.
Dari hasil berbagai penelitian di Rumah Sakit nampaknya perawat
dalam memberikan asuhan keperawatan belum dapat melaksanakan fungsi
kolaborasi khususnya dengan dokter. Perawat bekerja memberikan
pelayanan kepada pasien berdasarkan instruksi medis yang juga
didokumentasikan secara baik, sementara dokumentasi asuhan
keperawatan meliputi proses keperawatan tidak ada. Disamping itu hasil
wawancara penulis dengan beberapa perawat Rumah Sakit Pemerintah dan
swasta, mereka menyatakan bahwa banyak kendala yang dihadapi dalam
melaksanakan kolaborasi, diantaranya pandangan dokter yang selalu
menganggap bahwa perawat merupakan tenaga vokasional, perawat
sebagai asistennya, serta kebijakan Rumah Sakit yang kurang mendukung.
Isu tersebut jika tidak ditanggapi dengan benar dan proporsional
dikhawatirkan dapat menghambat upaya melindungi kepentingan pasien
dan masyarakat yang membutuhkan jasa pelayang kesehatan, serta
menghambat upaya pengembangan dari keperawatan sebagai profesi
(Muharamiatul, 2012).

H. Anggota Tim Interdisiplin


Tim pelayanan kesehatan interdisiplin merupakan sekelompok
profesional yang mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum dan berbeda
keahlian. Tim akan berfungsi baik jika terjadi adanya konstribusi dari
anggota tim dalam memberikan pelayanan kesehatan terbaik. Anggota tim
kesehatan meliputi: pasien, perawat, dokter, fisioterapi, pekerja sosial, ahli
gizi, manager, dan apoteker. Oleh karena itu tim kolaborasi hendaknya
memiliki komunikasi yang efektif, bertanggung jawab dan saling
menghargai antar sesama anggota tim.
Perawat sebagai anggota membawa perspektif yang unik dalam
interdisiplin tim. Perawat menfasilitasi dan membantu pasien untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan dari praktek profesi kesehatan lain.
Perawat berperan sebagai penghubung penting antara pasien dan pemberi
pelayanan kesehatan.Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis,
mengobati dan mencegah penyakit.Pada siuasi ini dokter menggunakan
modalitas pengobatan seperti pemberian obat dan pembedahan. Mereka
sering berkonsultasi dengan anggota tim lainnya sebagai membuat refelan
pembarian pengobatan.
Kerjasama adalaha menghargai pendapat orang lain dan bersedia
memeriksa beberapa alterntif pendapat dan perubaha pelayanan. Asertifitas
penting ketika individu dalam tim mendukung pendapat mereka dengan
keyakinan. Tindakan asertif menjamin bahwa pendapatnya benar-benar
didengar dan konsesus untuk dicapai.Tanggung jawab, mendukung suatu
keputusan yang diperoleh dari hasil konsesus dan harus terlibat dalam
pelaksanaannya.Komunikasi artinya bahwa etiap anggota bertanggung
jawab untuk membagi informasi penting mengenai perawatan pasien dan
issu yang relevan untuk membuat keputusan klinis. Otonomi mencakup
kemandirian anggot tim dalam batas kompetensinya. Kordinasi adalah
efisiensi organisasi yng dibutuhkan dalam perawatan pasien, mengurangi
duplikasi dan menjamin orang yang berkualifikasi dalammenyelesaikan
permaslahan.
Kolaborasi didasarkan pada konsep tujuan umum, konstribusi
praktis profesional, kolegalitas, komunikasi dan praktek yang difokuskan
pada pasien. Kolegasilitas menekankan pada saling menghargai, dan
pendekatan profesional untuk masalah-masalah dalam tim dari pada
menyalahkanseseorang atau menghindari tanggung jawab. Hensen
menyarankan konsep dengan ari yang sama: mutualitas, dimana dia
mengartikan sebagai sutu hubungan yang menfalitasi suatu proses dinamis
antar orang-orang ditandai oleh keinginan maju mencapai tujuan dan
kepuasan setiap anggota. Kepercayaan adlah konsep umum untuk semua
elemen kolaborasi. Tanpa rasa percaya, kerjasama tidak akan ada, asertif
menjadi ancaman, menghindari dari tanggung jawab, terganggunya
komunikasi. Otonom akan ditekan dan koordinasi tidak kan terjadi.
Elemen kunci kolaborasi dalam kerja sama team multidisipliner dapat
digunakan untuk mencapai tujuan kolaborasi team :
1. Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan
menggabungkan keahlian unik professional.
2. Produktifitas maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya.
3. Meningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan loyalitas.
4. Meningkatnya kohensifitas antar professional.
5. Kejelasan peran dalam berinteraksi antar professional.
6. Menumbuhkan komunikasi, kolegalitas, dan menghargai dan
memahami orang lain.
Berkaitan dengan issue kolaborasi dan soal menjalin kerjasama
kemitraan dokter, perawat perlu mengantisipasi konsekuensi perubahan
dari vokasional menjadi professional. Status yuridis seiring perubahan
perwat dari perpanjangan tangan dokter menjadi mitra dokter yang sangt
kompleks. Tanggung jawab hokum juga akan terpisah untuk masing-
masing kesalahan atau kelalaian. Yaitu, malpraktek medis, dan mal
praktek keperwatan.Perlu ada kejelasan dari pemerintah maupun para
pihak yang terkait mengeni tanggung jawab hukum dari perawat, dokter
maupun rumah sakit.Organisasi profesi perawat juga harus berbenah dan
memperluas sruktur organisasi agar dapat mengantisipasi perubahan.
Komunikasi dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang
efektif, hal tersebut perlu ditunjang oleh saran komunikasi yang dapat
menyatukan data kesehatan pasien secara komfrenhensif sehingga menjadi
sumber informasi bagi semua anggota team dalam pengambilan
keputusan.Oleh karena itu perlu dikembangkan catatan status kesehatan
pasien yang memunkinkan komunikasi dokter dan perawat terjadi secara
efektif.Pendidikan perawat perlu terus ditingkatkan untuk meminimalkan
kesenjangan professional dengan dokter melalui pendidikan
berkelanjutan.Peningkatan pengatahuan dan keterampilan dapat dilakukan
melalui pendidikan formal sampai kejenjang spesialis atau minimal
melalui pelatihan-pelatihan yang dapat meningkatkan keahlian perawat.
 

DAFTAR PUSTAKA

Yoyon Mudjiono, “Komuniasi Sosial”, Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol.2, No.1,


April 2012, hlm. 100
Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010),
hlm. 43.
http://sosiologi-sosiologixavega.blogspot.com/2010/10/konflik-dan-integrasi-
sosial.html diakses tangga l 3 november 2014.
Salisah, Nikmah Hadiati. Komunikasi Kesehatan: Perlunya Multidisipliner
Dalam Ilmu Komunikasi. 2011:1(2).
https://pakarkomunikasi.com/cara-komunikasi-multidisiplin-dalam-
keperawatan
https://www.academia.edu/11852307/Komunikasi_Interdisiplin_dalam_Pelaya
nan_Kesehatan_Setiawan_2015_

Awalia Muharamiatul. 20012. Trend dan Issu Pelayanan Kesehatan.


http://awalia.or.id/Stats/StatCurr.pdf, diakses Minggu, 23 Oktober
2016, pukul 20.00 WIB.

Mundakir.2006. Komunitas Keperawatan Aplikasi dalam Pelayanan.


Yokyakarta: Graha Ilmu.
Potter A. particia dan Anne Griffin Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental
Keperawatan:Konsep, Proses dan Praktik. Vol. I. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai