Anda di halaman 1dari 23

Dosen pengampu : Islamiyah.,S.Kep.,Ns.,M.Kep,.Sp.

Anak

ASUHAN KEPERAWATAN LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (SLE)

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KELOMPOK

MATA KULIAH : KEPERAWATAN KMUNITAS

Oleh :

AULIA SAPUTRI P201901007

SITI RAHMA P201901003

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MANDALA WALUYA

KENDARI

2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan Konsep Medis yang
membahas tentang “Asuhan Keperawatan pada Klien dengan penyakit SLE”

Konsep Medis ini dapat diselesaikan atas proses bimbingan. Untuk itu kami berterima
kasih kepada selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan kepada kami.
Harapannya Konsep Medis ini dapat memberikan ilmu bagi insan keperawatan untuk
memberikan asuhan keperawatan. Sebagai penulis kami menyadari bahwa masih ada
kekurangan dari penampilan dan penyajian Konsep Medis ini, oleh karena itu kami
menginginkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Kami berharap Konsep
Medis yang kami susun dapat bermanfaat bagi setiap pembaca.

Kendari, 18 Mei 2022

Penyusun
DAFTAR ISI
COVER.........................................................................................................................

KATA PENGANTAR...................................................................................................

DAFTAR ISI..................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................

A. Latar Belakang....................................................................................................
B. Rumusan Maslah ................................................................................................
C. Tujuan ................................................................................................................

BAB II KONSEP MEDIS..............................................................................................

2.1 Definisi SLE......................................................................................................


2.2 Etiologi dari SLE..............................................................................................
2.3 Epidemiologi SLE............................................................................................
2.4 Tanda dan gejala SLE.......................................................................................
2.5 Patofisiologi SLE..............................................................................................
2.6 Manifestasi klinis SLE....................................................................................
2.7 Pemeriksaan fisik SLE......................................................................................
2.8 Pemeriksaan dignostik SLE.............................................................................
2.9 Penatalaksanaan SLE......................................................................................

BAB III KONSEP KEPERAWATAN.....................................................................

3.1 Pengkajian.......................................................................................................
3.2 Diagnosa.........................................................................................................
3.3 Intervensi........................................................................................................
3.4 Implementasi
3.5 Evaluasi
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) atau Systemic Lupus Erythematosus atau
yang lebih dikenal dengan penyakit seribu wajah merupakan penyakit inflamasi autoimun
kronis yang belum diketahui dengan pasti penyebabnya. Penyakit autoimun adalah istilah
yang digunakan saat sistem imunitas atau kekebalan tubuh seseorang menyerang
tubuhnya sendiri. Sistem kekebalan tubuh penderita lupus akan menyerang sel, jaringan
dan organ yang sehat. sistem kekebalan tubuh akan mengalami kehilangan kemampuan
untuk melihat perbedaan antara substansi asing (no-self) dengan sel dan jaringan tubuh
sendiri (self).
Data prevalensi di setiap negara berbeda-beda. Suatu studi sistemik di Asia
Pasifik memperlihatkan data insidensi sebesar 0,9 – 3,1 per 100.000 populasi/tahun.
Prevalensi kasar sebesar 4,5 – 45,3 per 100.000 populasi. The Lupus Foundation of
America memperkirakan sekitar 1,5 juta kasus terjadi di Amerika dan setidaknya terjadi
lima juta kasus di dunia. Setiap tahun diperkirakan terjadi sekitar 16 ribu kasus baru
Lupus.
Di Indonesia, jumlah penderita penyakit Lupus secara tepat belum diketahui.
Prevalensi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di masyarakat berdasarkan survei yang
dilakukan Prof. Handono Kalim, dkk di Malang memperlihatkan angka sebesar0,5%
tehadap total populasi.
Penatalaksanaan SLE memerlukan jangka waktu yang panjag. Prinsip utama
pengobatan SLE yaitu mengurangi peradangan pada jaringan tubuh yang terkena dan
menekan ketidaknormalan sistem kekbalan tubuh. Penatalaksanaan pasien LSE meliputi
pengobatan secara nonfarmakologis (edukasi, dukungan sosial dan psikologi) dan
farmakologis meliputi pemberian terapi imunosupresan, antimalaria, kortiskoteroid, dan
OAINS.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan bagaimana konsep medis penyakit SLE??
2. Jelaskan bagaimana konsep asuhan keerawatan penyakit SLE?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui konsep medis dengan masalah penyakit SLE
2. Untuk mengetahui konsep keperawatan dengan masalah penyakit SLE
BAB II

KONSEP MEDIS

A. Konsep Medis
1. Definisi SLE
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah radang kronis yang disebabkan oleh
penyakit autoimun (kekebalan tubuh) di mana sistem pertahanan tubuh yang tidak
normal melawan jaringan tubuh sendiri. Antara jaringan tubuh dan organ yang dapat
terkena adalah seperti kulit, jantung, paru-paru, ginjal, sendi, dan sistem saraf.
Lupus jika terdeteksi saat usia anak-anak disebut Juvenile SLE. Penyakit ini lebih
banyak mengenai anak perempuan, dan angka kejadiannya meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Lupus pada anak biasanya terjadi di usia 9–15 tahun (masa
pubertas).
Sistem kekebalan tubuh melawan virus dan bakteri dengan menghasilkan
antibodi. Pasien yang menderita lupus akan menghasilkan autoantibodi, atau juga
dikenal sebagai antibodi abnormal. Autoantibodi akan menyerang sel dan jaringan
yang sehat dan tidak melawan agen yang dapat menginfeksi tubuh. Karena lupus
berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh, penyakit ini dapat memengaruhi semua
bagian tubuh, seperti kulit, ginjal, jantung, paru-paru, sendi, dan sistem saraf. Jenis
lupus yang diderita pasien tergantung pada bagian tubuh yang terkena lupus. Lupus
yang hanya mengenai kulit dikenal sebagai cutaneous lupus erythematosus atau lupus
dermatitis, sedangkan lupus yang mengenai organ dalam dikenal sebagai Systemic
Lupus Erythematosus. SLE merupakan jenis lupus yang paling umum.

2. Etiologi SLE
Mekanisme etiologi SLE belum seluruhnya diketahui, namun berdasarkan
penelitian yang dilakukan selama beberapa dekade, diketahui bahwa terjadinya SLE
ada hubungannya dengan berbagai faktor seperti faktor genetik, hormonal,
imunologik dan lingkungan.
Faktor genetik diduga memengaruhi kerentanan dan perkembangan maupun
tingkat keparahan penyakit SLE. Sejumlah kombinasi ekspresi varian gen
berhubungan dengan manifestasi klinis SLE, misal komponen komplemen C1q
mengeliminasi buangan sel nekrotik (bahan apoptotik) pada individu sehat, namun
pada pasien SLE, defisiensi komponen C1q menimbulkan ekspresi penyakit.
Mekanisme hormon terhadap perkembangan SLE tidak banyak diketahui. Estrogen
berhubungan dengan stimulasi sel T dan sel B, makrofag serta sitokin. Progesteron
mempengaruhi produksi autoantibodi. Kadar prolaktin yang meningkat berhubungan
dengan flares hilangnya self-tolerance pasien SLE. Ketidakseimbangan proses
fagositosis pada pasien SLE menyebabkan clearance sel apoptotik dan kompleks
imun yang tidak sempurna. Pembentukan autoantibodi dan kompleks imun (pada
kombinasi dengan antigen) menimbulkan inflamasi dan kerusakan jaringan.
Faktor lingkungan meliputi obat demetilasi, infeksi virus, virus endogen atau
elemen seperti viral serta sinar ultraviolet (sinar UV). Sinar UV merupakan faktor
lingkungan yang paling sering menyebabkan eksaserbasi SLE. Sinar UV akan
menstimulasi keratinosit sehingga menyebabkan stimulasi sel B dan produksi
antibodi. Aktivitas sel T juga akan terstimulasi sehingga menambah produksi
antibodi.
Virus Epstein-Barr (Epstein-Barr Virus- EBV) berkaitan dengan kejadian SLE
pada anak. Pasien SLE didapatkan memiliki kadar antibodi paling tinggi terhadap
EBV. Virus Epstein-Barr berinteraksi dengan sel B dan memicu plasmacytoid
dendritic cells (pDCs) untuk memproduksi interferon α (IFN-α) sehingga peningkatan
IFN-α pada SLE kemungkinan besar berhubungan dengan infeksi virus dalam jangka
panjang yang tidak terkontrol.

3. Epidemiologi SLE
Penyakit lupus atau systemic lupus erythematosus (SLE) prevalensinya dalam
populasi tertentu kira – kira World Health Organization mencatat jumlah penderita
lupus di dunia hingga saat ini mencapai lima juta orang, dan setiap tahunnnya
ditemukan lebih dari 100 ribu kasus baru. Menurut data Sistem Informasi Rumah
Sakit (SIRS) Online 2016, terdapat 2.166 pasien rawat inap yang didiagnosis penyakit
lupus. Tren ini meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 2014, dengan
ditemukannya 1.169 kasus baru. Tingginya angka kematian akibat lupus perlu
mendapat perhatian khusus karena 25% atau sekitar 550 jiwa meninggal akibat lupus
pada tahun 2016. Sebagian penderita lupus adalah perempuan dari kelompok usia
produktif (15-50 tahun), meski begitu lupus juga dapat menyerang laki-laki, anak-
anak, dan remaja.

4. Tanda dan Gejala SLE


Penyakit lupus sulit untuk dikenali, karena gejalanya sangat beragam. Setiap anak
yang mengalami penyakit tersebut sangat mungkin merasakan gejala yang berbeda
satu sama lain.
Adapun beberapa keluhan yang sering dikaitkan sebagai gejala lupus, di antaranya:
a. Demam tanpa Penyebab yang Jelas
Pasien lupus sering datang ke rumah sakit karena keluhan demam ringan, hilang
timbul, dan terjadi dalam waktu lama (berminggu-minggu atau berbulan-bulan)
tanpa diketahui penyebabnya.
b. Mudah Lelah
Lupus bisa membuat anak yang awalnya aktif menjadi malas beraktivitas karena
dirinya sangat mudah kelelahan.
c. Nyeri dan Bengkak pada Sendi
Anak dengan lupus sering mengeluh nyeri dan bengkak pada persendian. Keadaan
ini umumnya terjadi di sendi-sendi besar, seperti siku dan lutut.
d. Bengkak pada Kelopak Mata dan Tungkai Bawah
Salah satu gejala yang dapat timbul akibat lupus adalah bengkak pada kelopak
mata dan tungkai bawah. Keadaan tersebut biasanya disertai dengan buang air
kecil yang lebih sedikit dari biasanya, akibat adanya kelainan pada ginjal.
e. Ruam pada Kulit
Ruam muncul di wajah berbentuk seperti sayap kupu-kupu atau yang disebut
dengan butterfly rash (bercak malar). Ruam lainnya yang berbentuk bulat-bulat
juga dapat muncul di bagian tubuh selain di wajah, misalnya leher, lengan, dan
tungkai (bercak discoid).
f. Anak Tampak Pucat
Anak dengan lupus identik dengan kondisi pucat, mudah lelah, lesu, dan
memilliki riwayat transfusi darah berulang. Anak dengan anemia hemolitik
autoimun pada perjalanan penyakit selanjutnya banyak yang menjadi lupus.
g. Rambut Rontok
Bila rambut anak rontok lebih dari 100 helai per hari, salah satu kondisi yang bisa
jadi biang keladinya adalah penyakit lupus.
h. Kulit Sensitif terhadap Sinar Matahari
Kulit penderita lupus mudah mengalami bercak kemerahan yang menetap bila
terkena sinar matahari.
i. Sesak Napas dan Nyeri Dada
Penyakit lupus dapat menyerang organ paru-paru dan jantung, sehingga anak
dengan penyakit tersebut sangat mungkin mengeluhkan adanya nyeri di daerah
dada dan sesak napas.

5. Patofisiologis SLE
Patofisiologi lupus eritematosis sistemik atau systemic lupus eritematosus (SLE)
didasari oleh autoantibodi dan kompleks imun yang berikatan ke jaringan dan
menyebabkan inflamasi multisistem. Penyebab spesifik SLE hingga saat ini belum
diketahui, namun berbagai faktor seperti faktor genetik, sistem imun, hormonal serta
lingkungan berhubungan dengan perkembangan penyakit ini.
Sistem imun bawaan maupun didapat memberikan respon imun yang tidak
seharusnya kepada partikel sel tubuh. Salah satunya adalah pembentukan autoantibodi
terhadap asam nukleat yang disebut antinuclear antibodies (ANA). Pada umumnya
ANA dapat ditemukan pada populasi umum, namun tidak seluruh orang yang
memiliki ANA mengalami SLE, oleh karena itu terdapat mekanisme lain yang
menyebabkan progresi kondisi autoimun ini menjadi penyakit. Selain ANA, terdapat
dua autoantibodi yang spesifik ditemukan pada pasien SLE dibandingkan dengan
penyakit autoimun lainnya yaitu antibodi anti-Smith (Sm) dan antibodi anti-double-
stranded DNA (dsDNA).[

Patofisiologi SLE disebabkan oleh respon imun yang abnormal berupa:

- Aktivasi sistem imun bawaan (sel dendritik, monosit/makrofag) oleh DNA dari
kompleks imun, DNA atau RNA virus dan RNA dari protein self-antigen
- Ambang batas aktivasi sel imun adaptif (limfosit T dan limfosit B) yang lebih
rendah dan jaras aktivasi yang abnormal
- Regulasi sel T CD4+ dan CD8+, sel B dan sel supresor yang tidak efektif,
- Penurunan pembersihan kompleks imun dan sel yang mengalami apoptosis[8]

Autoantibodi mengenali self-antigen yang ada di permukaan sel yang apoptosis


dan membentuk kompleks imun. Oleh karena proses pembersihan debris sel
terganggu maka autoantigen, autoantibodi dan kompleks imun tersedia dalam waktu
yang lama, memicu terjadinya proses inflamasi dan menyebabkan timbulnya gejala.

Aktivasi sel imun juga disertai dengan peningkatan sekresi interferon tipe 1 dan 2
(IFN), tumor necrosis factors α (TNF- α), interleukin (IL) 17, stimulator maturasi sel
B, dan IL-10 yang seluruhnya mendukung reaksi inflamasi. Pada kondisi SLE juga
terjadi penurunan produksi berbagai sitokin seperti sel natural killer yang gagal
memproduksi IL-2 dan transforming growth factor beta (TGF-β) yang berfungsi
untuk meregulasi sel T CD4+ dan CD8+, akibatnya produksi autoantibodi dan
kompleks imun tidak terkendali dan tetap berlanjut.

Autoantibodi dan kompleks ini kemudian berikatan dengan jaringan target,


menyebabkan aktivasi sistem komplemen dan menyebabkan pelepasan sitokin,
kemokin dan peptida vasoaktif, oksidan dan enzim proteolitik. Kondisi tersebut
menyebabkan aktivasi sel endothelial, makrofag jaringan, sel mesangial, podosit yang
ada di jaringan serta mengakibatkan sel B, sel T, sel dendritik dan makrofag
mendatangi jaringan target tersebut dan menyebabkan terjadinya proses inflamasi.
Inflamasi kronis ini menyebabkan kerusakan jaringan yang irevesibel di glomerulus
ginjal, arteri, paru dan jaringan lainnya.
 Aktivasi Sistem Imun Bawaan
Debris sel menjadi pemicu langsung aktivasi sistem imun bawaan. Asam nukleat
yang berikatan kompleks imun menjadi stimulus yang potensial untuk aktivasi sel
endosom. Dalam endosom, asam nukleat mengaktivasi TLR (khususnya TLR7
dan TLR9). Selanjutnya kondisi ini memicu produksi IFN tipe I. Aktivasi TLR7
juga memicu produksi antibodi anti-Sm. IFN tipe I memiliki peran penting dalan
disfungsi imun pada SLE. Kondisi ini dibuktikan dengan ditemukannya ekspresi
berbagai tipe IFN tipe I di sel darah perifer dan jaringan yang terkena pada pasien
dengan SLE.
 Aktivasi Sistem Imun Didapat
Pasien dengan SLE mengalami gangguan fungsi sel T, berupa defisiensi
pembentukan sinyal sel T, produksi sitokin, proliferasi serta pengaturan fungsi
sel. Salah satu penyebab gangguan aktivasi sel T adalah akibat perubahan reseptor
sel T. Perubahan ini mengakibatkan augmentasi sinyal kalsium intraselular dan
hiperpolarisasi mitokondria sehingga membuat sel T lebih peka pada nekrosis. Sel
T dari pasien SLE juga mengekspresikan ligan CD40 aktif yang lebih lama dari
pada sel T pada kontrol sehat, akibatnya ligan ini menstimulasi aktivasi dan
diferensiasi sel B lebih lama. Populasi sel T helper folikular yang meningkat
menyebabkan peningkatan sel B yang memproduksi autoantibodi, sedangkan sel
T regulator mengalami penurunan dan sel T helper-17 mengalami peningkatan,
akibatnya produksi IL-17 meningkat, dan produksi IL-2 menurun. Padahal IL-2
penting dalam proses regulasi sel T. Selain gangguan pada regulasi sel T, juga
terjadi gangguan regulasi sel B. Kondisi ini menyebabkan produksi autoantibodi,
dan sitokin inflamasi serta perlambatan presentasi antigen ke sel T.

6. Manifestasi Klinis SLE


Penyakit ini sering kali diawali dengan gejala dengan samar-samar seperti demam
fatigoe dan kehilangan berat badan. Tanda dan gejala yang muncul pada anak
tidaklah sama dengan yang dewasa. Lupus yang dimulai pada masa anak anak
biasanya secara secara klinis lebih berat. Pada penyakit yang sudah lanjut dan
berbulan bulan sampai tahunan barulah menunjukkan manifestasi klinis yang lebih
spesifik dan lengkap serta cenderung melibatkan multiorgan.
Dua gejala yang sering muncul pada anak adalah ruam kulit dan arthritis. Ruam
malar yang khas , atau disebut butterfly rash (ruam kupu-kupu) muncul akibat adanya
sensitifitas yang berlebihan terhadap cahaya matahari dan dapat memburuk dengan
adanya infeksi virus atau stres emosional . Ruam ini tidak sakit dan tidak gatal .
Jumlah ruam menjadi sedikit pada lipatan nasobalial dan kelopak mata . Ruam lain
biasanya muncul pada telapak tangan , serta telapak kaki . ruam malar yng khas ,atau
disebut butterfly rash (ruam kupu-kupu) muncul akibat adanya sensifitas yang
berlebihan terhadap cahaya matahari (foto photosensitif) dan dapat memburuk dengan
adanya infeksi virus atau stress emisional. Ruam malar dapat sembuh sempurna tanpa
parut dengan terapi. Mungkin terdapat ulkus pada membran mukosa. Rambut dapat
berubah menjadi kering dan rapuh, bahkan sampai alopesia. Artritis sering kali
muncul,dan dapat berlanjut menjadi pembengkakkan sendi jari-jari tangan dan kaki.
Manifestasi kulit didapatkan pada lupus diskoit dan biasanya dapat menyebabkan
parut. Pada lupus diskoit hanya kulit yang terlibat. Ruang kulit pada diskoit sering
ditemukan pada wajah dan kulit kepala. Biasanya berwarna merah dan mempunyai
tepi lebih tinggi. Ruam ini biasanya tidak sakit dan tidak gatal, tetapi parutnya dapat
menyebabkan kerontokan rambut permanen. 5% sampai 10% pasien dengan lupus
diskoit bisa menjadi SLE.
Manifestasi klinis lain adalah petekie dan perdarahan karena trombositopenia.
Pada anak mungkin tidak ada gejala sistemik lain selain itu,dan biasanya didiagnosis
sebagai Indiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP). Kelainan neurologis dapat pula
ditemukan pada sebagian anak. Umumnya gejala berupa nyeri kepala yang tidak
spesifik.Akhir-akhir ini, khorea lebih umum ditemukan sebagai manifestasi klinis dari
SLE dari pada demam reumatik. Ensefalopati, mylitis atau polineuropati jarang
ditemukan. Fenomena Raynaud manifestasi sering ditemukan pada anak dengan
lupus, biasanya dihubungkan dengan krioglobulin.
Diagnosis SLE biasanya mulai dipertimbangkan pada seorang anak dengan sakit
lebih dari satu minggu yang tidak diketahui sebabnya. Umumnya anak didiagnosis
dengan “suspect infeksi virus” sebelum akhirnya diagnosis lupus ditegakkan,
walaupun sangat sedikit infeksi virus yang gejalanya lebih dari seminggu, dan
kebanyakkan infeksi lain biasanya sudah dapat ditemukan sebabnya dalam minggu
pertama. Anak dengan demam dan kehilangan berat badan seringkali dipikirkan
adanya keganasan atau penyakit inflamasi kronis (missal: Crohn disease, atau
vaskulitis sistemik)

7. Pemeriksaan Fisik SLE


a. Inspeksi
Inspeksi kulit dilakukan untuk menemukan ruam eritematous. Plak eritematous
pada kulit dengan skuama yang melekat dapat terlihat pada kulit kepala, muka
atau leher. Inspeksi kulit kepala dilakukan untuk menemukan gejala alopesia, dan
inspeksi mulut serta tenggorok untuk ulserasi yang mencerminkan gangguan
gastrointestinal. Selain itu juga untuk melihat pembengkakan sendi.
b. Auskultasi
Dilakukan pada kardiovaskuler untuk mendengar friction rub perikardium yang
dapat menyertai miokarditis dan efusi pleura. Efusi pleura serta infiltrasi
mencerminkan insufisiensi respiratorius dan diperlihatkan oleh suara paru yang
abnormal.
c. Palpasi
Dilakukan palpasi untuk mengetahui adanya nyeri tekan, dan sendi yang terasa
hangat.

8. Pemeriksaan Diagnostik SLE


Pemeriksaan lab
a. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibody antinuklear, yang terdapat
pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga bisa ditemukan pada
penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan
juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi
dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita
lupus memiliki antibodi ini. Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar
komplemen (protein yang berperan dalam sistem kekebalan) dan untuk
menemukan antibodi lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk memperkirakan
aktivitas dan lamanya penyakit.
b. Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein.
c. Radiology
Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau pericarditis
d. Tes Imunologik
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnose SLE adalah tes
ANA. Tes ANA diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah
pada SLE. Pada pasien SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%,
akan tetapi hasil tes ana dapat positif pada beberapa penyakit lain yang
mempunyai gembaran klinis menyerupai SLE misalnya infeksi kronis
(tuberkolosis), penyakit autoimun misalnya Mixed Connective Tissue Disease
(MCTD), atritis rheumatoid.

9. Penatalaksanaan SLE
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting di perhatikan dalam
penatalaksanaan penderita SLE, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis.
Sebelum penderita SLE diberi pengobatan, harus di putuskan 10 dulu apakah
penderita tergolong yang memerlukan terapi konservativ, atau imunosupresif yang
agresif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka
dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi
dan imunosupresan lainnya .
Tujuan dari terapi adalah mengurangi gejala dan melindungi organ dengan
mengurangi peradangan dan atau tingkat aktifitas autoimun di tubuh. Bentuk
penanganan umum pasien dengan SLE antara lain:
a. Kelelahan
Hampir setengah penderita SLE mengeluh kelelahan. Sebelumnya kita harus
mengklarifikasi apakah kelelahan ini bagian dari derajat sakitnya atau karena
penyakit lain yaitu : demam, infeksi, gangguan hormonal atau komplikasi
pengobatan dan emotional stress. Upaya mengurangi kelelahan disamping
pemberian obat ialah : cukup istirahat, batasi aktivitas, dan mampu mengubah
gaya hidup.
b. Cuaca
Walaupun di Indonesia tidak ditemukan cuaca yang sangat berbeda dan hanya ada
dua musim, akan tetapi pada sebagian penderita SLE khususnya dengan keluhan
arthtritis sebaiknya menghindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi
proses inflamasi.
c. Stres dan trauma fisik
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa perubahan emosi dan trauma fisik
dapat mempengaruhi sistem imun melalui : penurunan respon mitogen limfosit,
menurunkan fungsi sitotoksik limfosit dan menaikkan aktivitas sel KN (Natural
Killer). Keadaan stres tidak selalu mempengaruhi aktivitas penyakit, sedangkan
trauma fisik dilaporkan tidak berhubungan dengan aktivasi SLE-nya. Umumnya
beberapa peneliti sependapat bahwa stres dan trauma fisik sebaiknya dikurangi
d. Sinar matahari (sinar ultra violet)
Seperti diketahui bahwa sinar ultra violet mempunyai tiga gelombang, dua dari
tiga gelombang tersebut (320 dan 400 nm) berperan dalam proses fototoksik.
Gelombang ini terpapar terutama pada pukul 10 pagi sampai dengan 3 sore,
sehingga semua pasien SLE dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari
pada waktu-waktu tersebut.
e. Kontrasepsi oral Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi
akan memperberat SLE, akan tetapi bila kadarnya rendah tidak akan
membahayakan penyakitnya. Pada penderita SLE yang mengeluh sakit kepala
atau tromboflebitis jangan menggunakan obat yang mengandung estrogen.

Penatalaksanaan lupus eritematosis sistemik atau systemic lupus eritematosus


(SLE) menggunakan medikamentosa antara lain:
a. Obat anti inflamasi non steroid (OAINS)
- Ibuprofen : 30-40 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis, maksimal 2,4 gram
per hari pada anak atau 3,2 g/hari pada dewasa
- Natrium diklofenak : 100 mg per oral satu kali per hari
b. Kortikosteroid
- Prednison : 0.5 mg/kg/hari
- Metil prednisolon : 2-60 mg dalam 1-4 dosis terpisah
- Peningkatan dosis harus melihat respon terapi dan penurunan dosis harus
tappering off

c. Disease-modifying antirheumatic drugs (DMARD) non-biologis :


- Azathioprin (AZA) : 1-3 mg/kg/hari per oral, dihentikan bila tidak ada respon
dalam 6 bulan
- Siklofosfamid (CYC) : dosis rendah 500 mg IV setiap 2 minggu sebanyak 6
kali, atau dosis tinggi 500-1000 mg/m2 luas permukaan tubuh setiap bulan
sebanyak 6 kali
- Mikofenolat mofetil (MMF) : 2-3 gram/hari selama 6 bulan dilanjutkan 1-2
gram/hari
- Disease-modifying antirheumatic drugs (DMARD) biologis:
- Rituximab : 1 gram IV dibagi menjadi dua dosis dengan jarak 2 minggu
[1,2,5]
Tata laksana pasien dengan SLE bergantung pada derajat keparahan penyakit yang
dibagi menjadi:
a. Ringan
Secara klinis tenang, tidak ada keterlibatan organ yang mengancam nyawa, fungsi
organ normal atau stabil. Misalnya SLE dengan manifestasi kulit dan artritis.
Pilihan penatalaksanaan : penghilang nyeri (paracetamol, OAINS), kortikosteroid
topikal, klorokuin atau hidroksiklorokuin, kortikosteroid dosis rendah, tabir surya
b. Sedang
Manifestasi klinis yang lebih serius yang bila tidak ditangani dapat menyebabkan
kerusakan jaringan kronis. Misalnya bila ditemukan nefritis ringan hingga sedang,
trombositopenia, dan serositis.
Pilihan penatalaksanaan : metil prednisolon atau prednisone, AZA atau MTX atau
MMF, hidroksiklorokuin
c. Berat
Terdapat ancaman kerusakan organ berat hingga kehilangan nyawa, merupakan
bentuk terparah dari SLE dan membutuhkan imunosupresi yang poten. Misalnya
ditemukan gejala endokarditis, hipertensi pulmonal, vaskulitis berat, keterlibatan
neurologi, anemia hemolitik, dll.

BAB III

KONSEP KEPERAWATAN

1. Pengkajian
Pengkajian asuhan keperawatan komunitas pada klien dengan penyakit SLE
menggunakan model Community As Partner (CAP)
a. Data Inti
1) Demografi
Statistik penderita penyakit SLE, rata-rata usia penderita SLE dilingkungan
tersebut, angka kematian yang disebabkan karna penyakit SLE dan jenis kelamin
yang sering terkena SLE serta bagaimana status penyakit SLE dilingkungan
tersebut. Metode pengkajian bisa berupa wawancara pada pasien SLE ataupun
anggota keluarga yang menderita penykit SLE
2) Etnis dan Budaya
Tanda-tanda perbedaan budaya atau adat yang dirasakan oleh klien SLE yang
mengindikasikan adanya perbedaan
3) Karateristik Klien SLE
Keluhan yang dialami pasien setelah mengidap penyakit SLE serta perubahan
psikologis yang dialami oleh klien SLE
4) Perilaku
Perubahan yang terjadi pada klien SLE apakah bisa memengaruhi masalah
kesehatan yag dihadapinya.
b. Sub Sistem
1) Lingkungan fisik
Bagaimana lokasi dan keadaan tempat tinggal klien, bagaimana cuaca ditempat
tinggal klien, apakah rumahnya layak untuk ditinggali, bagaimana pengelolaan
sampah di lingkungan tempat tinggal klien serta apakah lingkungan ditempat
klien layak untuk ditempati karna lingkungan yang buruk dapat meningkatkan
risiko penyakit SLE.
2) Pelayanan kesehatan dan sosial
Bagaimana didaerah klien apakah ada peayanan kesehatan seperti rumah sakit,
puskesmas, posyandu dll. Dan apakah klien rutin check up atau tidak.
3) Ekonomi
Mengkaji finansial dari orang tua klien apakah orang tua klien bekerja atau tidak
bekerja. Dan mengidentifikasikan penghasilan orang tua klien berdasarkan
indicator upah regional.
4) Keamanan dan transportasi
Keamanan berupa pelayanan terhadap klien terjamin seperti damkar, kepolisian
serta sanitasi lingkungan apakah rumah atau lingkungan klien mendapati air yang
bersih. Dan membentuk kebiasaan sering berolahraga serta menghindari yang
membuat stres.
Transportasi berupa jalan raya dilingkungan klien seperti apa, bagaimana
penggunaan angkutan umum oleh masyarakat disekitar klien serta kendaraan yang
digunakan klien berupa apa baik kendaraan umum maupun pribadi. Pengkajian ini
dilakukan dengan metode pengkajian keamanan komunitas dengan survey
sementara pngkajian transportasi menggunakan winshield survey.
5) Politik dan pemerintahan
Menyurvei apakah terdapat struktur organisasi seperti kepala
RT/RW/Kelurahan/Desa dan seperangkatnya serta bagaimana partisipasinya
dalam melakukan pelayanan kesehatan khusus klien SLE.
6) Komunikasi
Bagaimana komunikasi yag dilakukan klien dalam kelaga apakah menggunakan
bahasa formal atau informal serta fasilitas perangkat yang digunakan seperti
telephone/handphone.
7) Pendidikan
Meliputi latar belakang klien seperti pendidikn terakhir dan engetahuan akan
penyakit yang dideritanya agar mengetahui pengibatan dan pencegahannya.
8) Rekreasi
Yang perlu disurvey yaitu apakah ada jenis dan tipe sarana rekrasi seperti
taman/pantai dan lainnya yang partisipasinya dapat membuat klien mengurangi
stres yang dirasakan akibat penyakit yang dideritnya.
9) Persepsi diri
Dengan adanya perubahan bentuk fisik yang dialami klien merasa malu aan
bentuk fisiknya maka dari itu pengkajian yang dapat dilakukan yairu memberikan
edukasi berupa pamflet atau leaflet mengenai pennanganan SLE.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Kesiapan peningkatan manajemen kesehatan berhubungan dengan ditemukan adanya
masalah kesehatan atau penyakit yang tidak terduga
DS :
- Pasien mengungkapkan bahwa ia baru mengetahui kalau ada penyakit SLE
yang bersarang ditubuhnya
DO :

b. Kesiapan peningkatan proses keluarga berhubungan dengan kondisi kesehatan kronis


DS :
- Adanya dukungan keluarga terhadap klien mencakup kebutuhan fisik, soial
dan psikologis klien
- Adanya suport untuk mendukung keselamatan dan pertumbuhan kesehatan
klien
DO :

3. Intervensi dan Implementasi Keperawatan


SDKI SIKI SLKI
DX1 : Kesiapan Edukasi Kesehatan Manajemen Kesehatan
peningkatan manajemen (I.12383) (L.2104)
kesehatan berhubungan Tindakan Ekspektasi meningkat
dengan ditemukan Observasi : Kriteria hasil :
adanya masalah  Identifikasi  Melakukan tindakan
kesehatan atau penyakit kesiapan dan untuk mengurangi
kemampuan
yang tidak terduga. risiko meningkat
menerima infomasi
(D.0112) menjadi 5
 Identifikasi factor –
 Menerapkan program
factor yang dapat
meningkatkan dan perawtan meningkat
menurunkan menjadi 5
motivasi perilaku
 Verbalisasi kesulitan
hidup bersih dan
untuk sehat dalam menjalankan
program
Terapeutik :
perawatan/pengobatan
 Sediakan materi
menrun menjadi 5
dan media
pendidikan
kesehatan

 jadwalkan
pendidikan
kesehatan sesuai
kesepakatan

 berikan kesempatan
bertanya

Edukasi :
 Jelaskan fakto
resiko yang dapat
mempengaruhi
kesehatan

 ajarkan perilaku
hidup bersih dan
sehat

 ajarkan strategi
yang dapat di
gunakan untuk
meningkatkan
perilaku hidup
bersih dan sehat.

DX2 : Kesiapan Promosi Proses Efektif Proses Keluarga (L.13123)


peningkatan proses Keluarga (I.13496) Ekspektasi membaik
keluarga berhubungan Tindkan Kriteria hasil :
dengan kondisi Observasi :  Adaptasi keluarga
kesehatan kronis.  Identifikasi tipe terhadap situasi
(D.0123) proses keluarga meningkat menjadi 5
 Identifikasi masalah  Kemampun keluarga
atau gangguan berkomunikasi secara
dalam proses terbuka diantara
keluarga anggota keluarga
 Identifikasi meningkat menjadi 5
kebutuhan  Kemampuan aggota
perawatan mandiri keluarga mencari
dirumah untuk klien bantuan secara cepat
dan tetap meningkat enjadi 5
beradaptasi dengan  Aktifitas mendukung
pola hidup keluarga keselamatan anggota
Terapeutik : keluarga meningkat
 Pertahankan menjadi 5
interaksi yang  Adaptasi keluarga
berkelanjutan terhaap perubahan
dengan anggota meningkat menjadi 5
keluarga
 Fasilitasi anggota
keluarga
melakukan
kunjungan rumah
sakit
 Susun jadwal
aktifitas perawatan
mandiri dirumah
untuk mengurangi
gangguan rutinitas
keluarga
Edukasi :
 Diskusikan
dukungan sosial
dari sekitar
keluarga
 Latih keluarga
manajemen waktu
jika perawatan
dirumah dilakukan.

4. Suprajitno (2016), mengemukakan bagian evaluasi merupakan kegiatan yang


membandingkan antara hasil implementasi dengan kriteria dan standar yang telah
ditetapkan untuk melihat keberhasilannya. Bila hasil evaluasi tidak atau berhas il
sebagian, perlu disusun rencana keperawatan yang baru.
Evaluasi disusun dengan menggunakan SOAP, yang memiliki pengertian :
S : Adalah ungkapan perasaan dan keluhan yang dirasakan secara subjektif oleh keluarga
setelah diberikan implementasi keperawatan.
O: Adalah keadaan objektif yang dapa diidentifikasi oleh perawat dengan menggunakan
pengamatan atau pengamatan yang objektif setealh implementasi keperawatan.
A: Merupakan analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan objektif keluarga
yang dibandingkan dengan kriteria dan standar yang telah ditentukan mengacu pada
tujuan rencana keperawatan keluarga.
P: Adalah perencanaan selanjutnya setela perawat melakukan analisis.

DAFTAR PUSTAKA
Sahrir Ramadhan (2020) Pengalaman Hidup Wanita Dewasa Penderita Systemic Lupus
Erythematosus pada Aspek Psikososial. Thesis thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.

Amada Sri. 2018. Studi Potensi Interaksi Obat Pada Pasien Systemic Erythematosus Lupus
(SLE). Malang

PPNI. 2018. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta : DPP PPNI

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan

Keperawatan,Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI

PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan,Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI

Efendi,Ferry dkk. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik dalam
Keperawatan. Jakarta : Penerbit Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai