Anda di halaman 1dari 25

Dosen pengampu : Islamiyah.,S.Kep.,Ns.,M.Kep,.Sp.

Anak

ASUHAN KEPERAWATAN SLE

Oleh :

Nama : Aulia Saputri

Nim : P201901007

Kelas : T1 Keperawatan

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MANDALA WALUYA

KENDARI

2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan Konsep Medis yang
membahas tentang “Asuhan Keperawatan pada Klien dengan penyakit SLE”

Konsep Medis ini dapat diselesaikan atas proses bimbingan. Untuk itu kami berterima
kasih kepada selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan kepada kami.
Harapannya Konsep Medis ini dapat memberikan ilmu bagi insan keperawatan untuk
memberikan asuhan keperawatan. Sebagai penulis kami menyadari bahwa masih ada
kekurangan dari penampilan dan penyajian Konsep Medis ini, oleh karena itu kami
menginginkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Kami berharap Konsep
Medis yang kami susun dapat bermanfaat bagi setiap pembaca.

Kendari, 05 November 2021

Penyusun
DAFTAR ISI
COVER.........................................................................................................................

KATA PENGANTAR...................................................................................................

DAFTAR ISI..................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................

A. Latar Belakang....................................................................................................
B. Rumusan Maslah ................................................................................................
C. Tujuan ................................................................................................................

BAB II KONSEP MEDIS..............................................................................................

2.1 Definisi SLE......................................................................................................


2.2 Etiologi dari SLE..............................................................................................
2.3 Epidemiologi SLE............................................................................................
2.4 Tanda dan gejala SLE.......................................................................................
2.5 Patofisiologi SLE..............................................................................................
2.6 Manifestasi klinis SLE....................................................................................
2.7 Pemeriksaan fisik SLE......................................................................................
2.8 Pemeriksaan dignostik SLE.............................................................................
2.9 Penatalaksanaan SLE......................................................................................

BAB III KONSEP KEPERAWATAN.....................................................................

3.1 Pengkajian.......................................................................................................
3.2 Diagnosa.........................................................................................................
3.3 Intervensi........................................................................................................
BAB IV PENUTUP.......................................................................................................

A. Kesimpulan ........................................................................................................
B. Saran ..................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) atau Systemic Lupus Erythematosus atau
yang lebih dikenal dengan penyakit seribu wajah merupakan penyakit inflamasi autoimun
kronis yang belum diketahui dengan pasti penyebabnya. Penyakit autoimun adalah istilah
yang digunakan saat sistem imunitas atau kekebalan tubuh seseorang menyerang
tubuhnya sendiri. Sistem kekebalan tubuh penderita lupus akan menyerang sel, jaringan
dan organ yang sehat. sistem kekebalan tubuh akan mengalami kehilangan kemampuan
untuk melihat perbedaan antara substansi asing (no-self) dengan sel dan jaringan tubuh
sendiri (self).
Data prevalensi di setiap negara berbeda-beda. Suatu studi sistemik di Asia
Pasifik memperlihatkan data insidensi sebesar 0,9 – 3,1 per 100.000 populasi/tahun.
Prevalensi kasar sebesar 4,5 – 45,3 per 100.000 populasi. The Lupus Foundation of
America memperkirakan sekitar 1,5 juta kasus terjadi di Amerika dan setidaknya terjadi
lima juta kasus di dunia. Setiap tahun diperkirakan terjadi sekitar 16 ribu kasus baru
Lupus.
Di Indonesia, jumlah penderita penyakit Lupus secara tepat belum diketahui.
Prevalensi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di masyarakat berdasarkan survei yang
dilakukan Prof. Handono Kalim, dkk di Malang memperlihatkan angka sebesar0,5%
tehadap total populasi.
Penatalaksanaan SLE memerlukan jangka waktu yang panjag. Prinsip utama
pengobatan SLE yaitu mengurangi peradangan pada jaringan tubuh yang terkena dan
menekan ketidaknormalan sistem kekbalan tubuh. Penatalaksanaan pasien LSE meliputi
pengobatan secara nonfarmakologis (edukasi, dukungan sosial dan psikologi) dan
farmakologis meliputi pemberian terapi imunosupresan, antimalaria, kortiskoteroid, dan
OAINS.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi SLE ?
2. Bagaimana etiologi dari SLE?
3. Bagaimana epidemiologi dari SLE?
4. Bagaimana tanda dan gejala dari SLE?
5. Bagaimana patofisiologi dari SLE?
6. Bagaimana manifestasi klinis dari SLE?
7. Bagaimana pemeriksaan fisik dari SLE?
8. Bagaimana pemeriksaan diagnostik dari SLE?
9. Bagaimana penatalaksanaan dari SLE?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi SLE
2. Untuk mengetahui etiologi dari SLE
3. Untuk mengetahui epidemiologi dari SLE
4. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari SLE
5. Untuk mengetahui patofisiologi dari SLE
6. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari SLE
7. Untuk mengetahui pemeriksaan fisik dari SLE
8. Untuk mengetahui pemeriksaan dignostik dari SLE
9. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari SLE
BAB II

KONSEP MEDIS

A. Konsep Medis
1. Definisi SLE
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah radang kronis yang disebabkan oleh
penyakit autoimun (kekebalan tubuh) di mana sistem pertahanan tubuh yang tidak
normal melawan jaringan tubuh sendiri. Antara jaringan tubuh dan organ yang dapat
terkena adalah seperti kulit, jantung, paru-paru, ginjal, sendi, dan sistem saraf.
Lupus jika terdeteksi saat usia anak-anak disebut Juvenile SLE. Penyakit ini lebih
banyak mengenai anak perempuan, dan angka kejadiannya meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Lupus pada anak biasanya terjadi di usia 9–15 tahun (masa
pubertas).
Sistem kekebalan tubuh melawan virus dan bakteri dengan menghasilkan
antibodi. Pasien yang menderita lupus akan menghasilkan autoantibodi, atau juga
dikenal sebagai antibodi abnormal. Autoantibodi akan menyerang sel dan jaringan
yang sehat dan tidak melawan agen yang dapat menginfeksi tubuh. Karena lupus
berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh, penyakit ini dapat memengaruhi semua
bagian tubuh, seperti kulit, ginjal, jantung, paru-paru, sendi, dan sistem saraf. Jenis
lupus yang diderita pasien tergantung pada bagian tubuh yang terkena lupus. Lupus
yang hanya mengenai kulit dikenal sebagai cutaneous lupus erythematosus atau lupus
dermatitis, sedangkan lupus yang mengenai organ dalam dikenal sebagai Systemic
Lupus Erythematosus. SLE merupakan jenis lupus yang paling umum.

2. Etiologi SLE
Mekanisme etiologi SLE belum seluruhnya diketahui, namun berdasarkan
penelitian yang dilakukan selama beberapa dekade, diketahui bahwa terjadinya SLE
ada hubungannya dengan berbagai faktor seperti faktor genetik, hormonal,
imunologik dan lingkungan.
Faktor genetik diduga memengaruhi kerentanan dan perkembangan maupun
tingkat keparahan penyakit SLE. Sejumlah kombinasi ekspresi varian gen
berhubungan dengan manifestasi klinis SLE, misal komponen komplemen C1q
mengeliminasi buangan sel nekrotik (bahan apoptotik) pada individu sehat, namun
pada pasien SLE, defisiensi komponen C1q menimbulkan ekspresi penyakit.
Mekanisme hormon terhadap perkembangan SLE tidak banyak diketahui. Estrogen
berhubungan dengan stimulasi sel T dan sel B, makrofag serta sitokin. Progesteron
mempengaruhi produksi autoantibodi. Kadar prolaktin yang meningkat berhubungan
dengan flares hilangnya self-tolerance pasien SLE. Ketidakseimbangan proses
fagositosis pada pasien SLE menyebabkan clearance sel apoptotik dan kompleks
imun yang tidak sempurna. Pembentukan autoantibodi dan kompleks imun (pada
kombinasi dengan antigen) menimbulkan inflamasi dan kerusakan jaringan.
Faktor lingkungan meliputi obat demetilasi, infeksi virus, virus endogen atau
elemen seperti viral serta sinar ultraviolet (sinar UV). Sinar UV merupakan faktor
lingkungan yang paling sering menyebabkan eksaserbasi SLE. Sinar UV akan
menstimulasi keratinosit sehingga menyebabkan stimulasi sel B dan produksi
antibodi. Aktivitas sel T juga akan terstimulasi sehingga menambah produksi
antibodi.
Virus Epstein-Barr (Epstein-Barr Virus- EBV) berkaitan dengan kejadian SLE
pada anak. Pasien SLE didapatkan memiliki kadar antibodi paling tinggi terhadap
EBV. Virus Epstein-Barr berinteraksi dengan sel B dan memicu plasmacytoid
dendritic cells (pDCs) untuk memproduksi interferon α (IFN-α) sehingga peningkatan
IFN-α pada SLE kemungkinan besar berhubungan dengan infeksi virus dalam jangka
panjang yang tidak terkontrol.

3. Epidemiologi SLE
Penyakit lupus atau systemic lupus erythematosus (SLE) prevalensinya dalam
populasi tertentu kira – kira World Health Organization mencatat jumlah penderita
lupus di dunia hingga saat ini mencapai lima juta orang, dan setiap tahunnnya
ditemukan lebih dari 100 ribu kasus baru. Menurut data Sistem Informasi Rumah
Sakit (SIRS) Online 2016, terdapat 2.166 pasien rawat inap yang didiagnosis penyakit
lupus. Tren ini meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 2014, dengan
ditemukannya 1.169 kasus baru. Tingginya angka kematian akibat lupus perlu
mendapat perhatian khusus karena 25% atau sekitar 550 jiwa meninggal akibat lupus
pada tahun 2016. Sebagian penderita lupus adalah perempuan dari kelompok usia
produktif (15-50 tahun), meski begitu lupus juga dapat menyerang laki-laki, anak-
anak, dan remaja.

4. Tanda dan Gejala SLE


Penyakit lupus sulit untuk dikenali, karena gejalanya sangat beragam. Setiap anak
yang mengalami penyakit tersebut sangat mungkin merasakan gejala yang berbeda
satu sama lain.
Adapun beberapa keluhan yang sering dikaitkan sebagai gejala lupus, di antaranya:
a. Demam tanpa Penyebab yang Jelas
Pasien lupus sering datang ke rumah sakit karena keluhan demam ringan, hilang
timbul, dan terjadi dalam waktu lama (berminggu-minggu atau berbulan-bulan)
tanpa diketahui penyebabnya.
b. Mudah Lelah
Lupus bisa membuat anak yang awalnya aktif menjadi malas beraktivitas karena
dirinya sangat mudah kelelahan.
c. Nyeri dan Bengkak pada Sendi
Anak dengan lupus sering mengeluh nyeri dan bengkak pada persendian. Keadaan
ini umumnya terjadi di sendi-sendi besar, seperti siku dan lutut.
d. Bengkak pada Kelopak Mata dan Tungkai Bawah
Salah satu gejala yang dapat timbul akibat lupus adalah bengkak pada kelopak
mata dan tungkai bawah. Keadaan tersebut biasanya disertai dengan buang air
kecil yang lebih sedikit dari biasanya, akibat adanya kelainan pada ginjal.
e. Ruam pada Kulit
Ruam muncul di wajah berbentuk seperti sayap kupu-kupu atau yang disebut
dengan butterfly rash (bercak malar). Ruam lainnya yang berbentuk bulat-bulat
juga dapat muncul di bagian tubuh selain di wajah, misalnya leher, lengan, dan
tungkai (bercak discoid).
f. Anak Tampak Pucat
Anak dengan lupus identik dengan kondisi pucat, mudah lelah, lesu, dan
memilliki riwayat transfusi darah berulang. Anak dengan anemia hemolitik
autoimun pada perjalanan penyakit selanjutnya banyak yang menjadi lupus.
g. Rambut Rontok
Bila rambut anak rontok lebih dari 100 helai per hari, salah satu kondisi yang bisa
jadi biang keladinya adalah penyakit lupus.
h. Kulit Sensitif terhadap Sinar Matahari
Kulit penderita lupus mudah mengalami bercak kemerahan yang menetap bila
terkena sinar matahari.
i. Sesak Napas dan Nyeri Dada
Penyakit lupus dapat menyerang organ paru-paru dan jantung, sehingga anak
dengan penyakit tersebut sangat mungkin mengeluhkan adanya nyeri di daerah
dada dan sesak napas.

5. Patofisiologis SLE
Patofisiologi lupus eritematosis sistemik atau systemic lupus eritematosus (SLE)
didasari oleh autoantibodi dan kompleks imun yang berikatan ke jaringan dan
menyebabkan inflamasi multisistem. Penyebab spesifik SLE hingga saat ini belum
diketahui, namun berbagai faktor seperti faktor genetik, sistem imun, hormonal serta
lingkungan berhubungan dengan perkembangan penyakit ini.
Sistem imun bawaan maupun didapat memberikan respon imun yang tidak
seharusnya kepada partikel sel tubuh. Salah satunya adalah pembentukan autoantibodi
terhadap asam nukleat yang disebut antinuclear antibodies (ANA). Pada umumnya
ANA dapat ditemukan pada populasi umum, namun tidak seluruh orang yang
memiliki ANA mengalami SLE, oleh karena itu terdapat mekanisme lain yang
menyebabkan progresi kondisi autoimun ini menjadi penyakit. Selain ANA, terdapat
dua autoantibodi yang spesifik ditemukan pada pasien SLE dibandingkan dengan
penyakit autoimun lainnya yaitu antibodi anti-Smith (Sm) dan antibodi anti-double-
stranded DNA (dsDNA).[

Patofisiologi SLE disebabkan oleh respon imun yang abnormal berupa:


- Aktivasi sistem imun bawaan (sel dendritik, monosit/makrofag) oleh DNA dari
kompleks imun, DNA atau RNA virus dan RNA dari protein self-antigen
- Ambang batas aktivasi sel imun adaptif (limfosit T dan limfosit B) yang lebih
rendah dan jaras aktivasi yang abnormal
- Regulasi sel T CD4+ dan CD8+, sel B dan sel supresor yang tidak efektif,
- Penurunan pembersihan kompleks imun dan sel yang mengalami apoptosis[8]

Autoantibodi mengenali self-antigen yang ada di permukaan sel yang apoptosis


dan membentuk kompleks imun. Oleh karena proses pembersihan debris sel
terganggu maka autoantigen, autoantibodi dan kompleks imun tersedia dalam waktu
yang lama, memicu terjadinya proses inflamasi dan menyebabkan timbulnya gejala.

Aktivasi sel imun juga disertai dengan peningkatan sekresi interferon tipe 1 dan 2
(IFN), tumor necrosis factors α (TNF- α), interleukin (IL) 17, stimulator maturasi sel
B, dan IL-10 yang seluruhnya mendukung reaksi inflamasi. Pada kondisi SLE juga
terjadi penurunan produksi berbagai sitokin seperti sel natural killer yang gagal
memproduksi IL-2 dan transforming growth factor beta (TGF-β) yang berfungsi
untuk meregulasi sel T CD4+ dan CD8+, akibatnya produksi autoantibodi dan
kompleks imun tidak terkendali dan tetap berlanjut.

Autoantibodi dan kompleks ini kemudian berikatan dengan jaringan target,


menyebabkan aktivasi sistem komplemen dan menyebabkan pelepasan sitokin,
kemokin dan peptida vasoaktif, oksidan dan enzim proteolitik. Kondisi tersebut
menyebabkan aktivasi sel endothelial, makrofag jaringan, sel mesangial, podosit yang
ada di jaringan serta mengakibatkan sel B, sel T, sel dendritik dan makrofag
mendatangi jaringan target tersebut dan menyebabkan terjadinya proses inflamasi.
Inflamasi kronis ini menyebabkan kerusakan jaringan yang irevesibel di glomerulus
ginjal, arteri, paru dan jaringan lainnya.

 Aktivasi Sistem Imun Bawaan


Debris sel menjadi pemicu langsung aktivasi sistem imun bawaan. Asam nukleat
yang berikatan kompleks imun menjadi stimulus yang potensial untuk aktivasi sel
endosom. Dalam endosom, asam nukleat mengaktivasi TLR (khususnya TLR7
dan TLR9). Selanjutnya kondisi ini memicu produksi IFN tipe I. Aktivasi TLR7
juga memicu produksi antibodi anti-Sm. IFN tipe I memiliki peran penting dalan
disfungsi imun pada SLE. Kondisi ini dibuktikan dengan ditemukannya ekspresi
berbagai tipe IFN tipe I di sel darah perifer dan jaringan yang terkena pada pasien
dengan SLE.
 Aktivasi Sistem Imun Didapat
Pasien dengan SLE mengalami gangguan fungsi sel T, berupa defisiensi
pembentukan sinyal sel T, produksi sitokin, proliferasi serta pengaturan fungsi
sel. Salah satu penyebab gangguan aktivasi sel T adalah akibat perubahan reseptor
sel T. Perubahan ini mengakibatkan augmentasi sinyal kalsium intraselular dan
hiperpolarisasi mitokondria sehingga membuat sel T lebih peka pada nekrosis. Sel
T dari pasien SLE juga mengekspresikan ligan CD40 aktif yang lebih lama dari
pada sel T pada kontrol sehat, akibatnya ligan ini menstimulasi aktivasi dan
diferensiasi sel B lebih lama. Populasi sel T helper folikular yang meningkat
menyebabkan peningkatan sel B yang memproduksi autoantibodi, sedangkan sel
T regulator mengalami penurunan dan sel T helper-17 mengalami peningkatan,
akibatnya produksi IL-17 meningkat, dan produksi IL-2 menurun. Padahal IL-2
penting dalam proses regulasi sel T. Selain gangguan pada regulasi sel T, juga
terjadi gangguan regulasi sel B. Kondisi ini menyebabkan produksi autoantibodi,
dan sitokin inflamasi serta perlambatan presentasi antigen ke sel T.

6. Manifestasi Klinis SLE


Penyakit ini sering kali diawali dengan gejala dengan samar-samar seperti demam
fatigoe dan kehilangan berat badan. Tanda dan gejala yang muncul pada anak
tidaklah sama dengan yang dewasa. Lupus yang dimulai pada masa anak anak
biasanya secara secara klinis lebih berat. Pada penyakit yang sudah lanjut dan
berbulan bulan sampai tahunan barulah menunjukkan manifestasi klinis yang lebih
spesifik dan lengkap serta cenderung melibatkan multiorgan.
Dua gejala yang sering muncul pada anak adalah ruam kulit dan arthritis. Ruam
malar yang khas , atau disebut butterfly rash (ruam kupu-kupu) muncul akibat adanya
sensitifitas yang berlebihan terhadap cahaya matahari dan dapat memburuk dengan
adanya infeksi virus atau stres emosional . Ruam ini tidak sakit dan tidak gatal .
Jumlah ruam menjadi sedikit pada lipatan nasobalial dan kelopak mata . Ruam lain
biasanya muncul pada telapak tangan , serta telapak kaki . ruam malar yng khas ,atau
disebut butterfly rash (ruam kupu-kupu) muncul akibat adanya sensifitas yang
berlebihan terhadap cahaya matahari (foto photosensitif) dan dapat memburuk dengan
adanya infeksi virus atau stress emisional. Ruam malar dapat sembuh sempurna tanpa
parut dengan terapi. Mungkin terdapat ulkus pada membran mukosa. Rambut dapat
berubah menjadi kering dan rapuh, bahkan sampai alopesia. Artritis sering kali
muncul,dan dapat berlanjut menjadi pembengkakkan sendi jari-jari tangan dan kaki.
Manifestasi kulit didapatkan pada lupus diskoit dan biasanya dapat menyebabkan
parut. Pada lupus diskoit hanya kulit yang terlibat. Ruang kulit pada diskoit sering
ditemukan pada wajah dan kulit kepala. Biasanya berwarna merah dan mempunyai
tepi lebih tinggi. Ruam ini biasanya tidak sakit dan tidak gatal, tetapi parutnya dapat
menyebabkan kerontokan rambut permanen. 5% sampai 10% pasien dengan lupus
diskoit bisa menjadi SLE.
Manifestasi klinis lain adalah petekie dan perdarahan karena trombositopenia.
Pada anak mungkin tidak ada gejala sistemik lain selain itu,dan biasanya didiagnosis
sebagai Indiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP). Kelainan neurologis dapat pula
ditemukan pada sebagian anak. Umumnya gejala berupa nyeri kepala yang tidak
spesifik.Akhir-akhir ini, khorea lebih umum ditemukan sebagai manifestasi klinis dari
SLE dari pada demam reumatik. Ensefalopati, mylitis atau polineuropati jarang
ditemukan. Fenomena Raynaud manifestasi sering ditemukan pada anak dengan
lupus, biasanya dihubungkan dengan krioglobulin.
Diagnosis SLE biasanya mulai dipertimbangkan pada seorang anak dengan sakit
lebih dari satu minggu yang tidak diketahui sebabnya. Umumnya anak didiagnosis
dengan “suspect infeksi virus” sebelum akhirnya diagnosis lupus ditegakkan,
walaupun sangat sedikit infeksi virus yang gejalanya lebih dari seminggu, dan
kebanyakkan infeksi lain biasanya sudah dapat ditemukan sebabnya dalam minggu
pertama. Anak dengan demam dan kehilangan berat badan seringkali dipikirkan
adanya keganasan atau penyakit inflamasi kronis (missal: Crohn disease, atau
vaskulitis sistemik)

7. Pemeriksaan Fisik SLE


a. Inspeksi
Inspeksi kulit dilakukan untuk menemukan ruam eritematous. Plak eritematous
pada kulit dengan skuama yang melekat dapat terlihat pada kulit kepala, muka
atau leher. Inspeksi kulit kepala dilakukan untuk menemukan gejala alopesia, dan
inspeksi mulut serta tenggorok untuk ulserasi yang mencerminkan gangguan
gastrointestinal. Selain itu juga untuk melihat pembengkakan sendi.
b. Auskultasi
Dilakukan pada kardiovaskuler untuk mendengar friction rub perikardium yang
dapat menyertai miokarditis dan efusi pleura. Efusi pleura serta infiltrasi
mencerminkan insufisiensi respiratorius dan diperlihatkan oleh suara paru yang
abnormal.
c. Palpasi
Dilakukan palpasi untuk mengetahui adanya nyeri tekan, dan sendi yang terasa
hangat.

8. Pemeriksaan Diagnostik SLE


Pemeriksaan lab

a. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibody antinuklear, yang terdapat
pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga bisa ditemukan pada
penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan
juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi
dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita
lupus memiliki antibodi ini. Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar
komplemen (protein yang berperan dalam sistem kekebalan) dan untuk
menemukan antibodi lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk memperkirakan
aktivitas dan lamanya penyakit.
b. Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein.
c. Radiology
Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau pericarditis

d. Tes Imunologik
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnose SLE adalah tes
ANA. Tes ANA diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah
pada SLE. Pada pasien SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%,
akan tetapi hasil tes ana dapat positif pada beberapa penyakit lain yang
mempunyai gembaran klinis menyerupai SLE misalnya infeksi kronis
(tuberkolosis), penyakit autoimun misalnya Mixed Connective Tissue Disease
(MCTD), atritis rheumatoid.

9. Penatalaksanaan SLE
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting di perhatikan dalam
penatalaksanaan penderita SLE, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis.
Sebelum penderita SLE diberi pengobatan, harus di putuskan 10 dulu apakah
penderita tergolong yang memerlukan terapi konservativ, atau imunosupresif yang
agresif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka
dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi
dan imunosupresan lainnya .
Tujuan dari terapi adalah mengurangi gejala dan melindungi organ dengan
mengurangi peradangan dan atau tingkat aktifitas autoimun di tubuh. Bentuk
penanganan umum pasien dengan SLE antara lain:
a. Kelelahan
Hampir setengah penderita SLE mengeluh kelelahan. Sebelumnya kita harus
mengklarifikasi apakah kelelahan ini bagian dari derajat sakitnya atau karena
penyakit lain yaitu : demam, infeksi, gangguan hormonal atau komplikasi
pengobatan dan emotional stress. Upaya mengurangi kelelahan disamping
pemberian obat ialah : cukup istirahat, batasi aktivitas, dan mampu mengubah
gaya hidup.
b. Cuaca
Walaupun di Indonesia tidak ditemukan cuaca yang sangat berbeda dan hanya ada
dua musim, akan tetapi pada sebagian penderita SLE khususnya dengan keluhan
arthtritis sebaiknya menghindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi
proses inflamasi.
c. Stres dan trauma fisik
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa perubahan emosi dan trauma fisik
dapat mempengaruhi sistem imun melalui : penurunan respon mitogen limfosit,
menurunkan fungsi sitotoksik limfosit dan menaikkan aktivitas sel KN (Natural
Killer). Keadaan stres tidak selalu mempengaruhi aktivitas penyakit, sedangkan
trauma fisik dilaporkan tidak berhubungan dengan aktivasi SLE-nya. Umumnya
beberapa peneliti sependapat bahwa stres dan trauma fisik sebaiknya dikurangi
d. Sinar matahari (sinar ultra violet)
Seperti diketahui bahwa sinar ultra violet mempunyai tiga gelombang, dua dari
tiga gelombang tersebut (320 dan 400 nm) berperan dalam proses fototoksik.
Gelombang ini terpapar terutama pada pukul 10 pagi sampai dengan 3 sore,
sehingga semua pasien SLE dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari
pada waktu-waktu tersebut.
e. Kontrasepsi oral Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi
akan memperberat SLE, akan tetapi bila kadarnya rendah tidak akan
membahayakan penyakitnya. Pada penderita SLE yang mengeluh sakit kepala
atau tromboflebitis jangan menggunakan obat yang mengandung estrogen.

Penatalaksanaan lupus eritematosis sistemik atau systemic lupus eritematosus


(SLE) menggunakan medikamentosa antara lain:
a. Obat anti inflamasi non steroid (OAINS)
- Ibuprofen : 30-40 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis, maksimal 2,4 gram
per hari pada anak atau 3,2 g/hari pada dewasa
- Natrium diklofenak : 100 mg per oral satu kali per hari
b. Kortikosteroid
- Prednison : 0.5 mg/kg/hari
- Metil prednisolon : 2-60 mg dalam 1-4 dosis terpisah
- Peningkatan dosis harus melihat respon terapi dan penurunan dosis harus
tappering off

c. Disease-modifying antirheumatic drugs (DMARD) non-biologis :


- Azathioprin (AZA) : 1-3 mg/kg/hari per oral, dihentikan bila tidak ada respon
dalam 6 bulan
- Siklofosfamid (CYC) : dosis rendah 500 mg IV setiap 2 minggu sebanyak 6
kali, atau dosis tinggi 500-1000 mg/m2 luas permukaan tubuh setiap bulan
sebanyak 6 kali
- Mikofenolat mofetil (MMF) : 2-3 gram/hari selama 6 bulan dilanjutkan 1-2
gram/hari
- Disease-modifying antirheumatic drugs (DMARD) biologis:
- Rituximab : 1 gram IV dibagi menjadi dua dosis dengan jarak 2 minggu
[1,2,5]
Tata laksana pasien dengan SLE bergantung pada derajat keparahan penyakit yang
dibagi menjadi:
a. Ringan
Secara klinis tenang, tidak ada keterlibatan organ yang mengancam nyawa, fungsi
organ normal atau stabil. Misalnya SLE dengan manifestasi kulit dan artritis.
Pilihan penatalaksanaan : penghilang nyeri (paracetamol, OAINS), kortikosteroid
topikal, klorokuin atau hidroksiklorokuin, kortikosteroid dosis rendah, tabir surya
b. Sedang
Manifestasi klinis yang lebih serius yang bila tidak ditangani dapat menyebabkan
kerusakan jaringan kronis. Misalnya bila ditemukan nefritis ringan hingga sedang,
trombositopenia, dan serositis.
Pilihan penatalaksanaan : metil prednisolon atau prednisone, AZA atau MTX atau
MMF, hidroksiklorokuin
c. Berat
Terdapat ancaman kerusakan organ berat hingga kehilangan nyawa, merupakan
bentuk terparah dari SLE dan membutuhkan imunosupresi yang poten. Misalnya
ditemukan gejala endokarditis, hipertensi pulmonal, vaskulitis berat, keterlibatan
neurologi, anemia hemolitik, dll.
BAB III

KONSEP KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Anamnesa
Anamnesa adalah mengetahui kondisi klien dengan cara wawancara atau interview.
Mengetahui kondisi klien untuk saat ini dan masa lalu. Anamnesa mencakup
identitas klien, keluhan utama, riwayat kesehatan sekarang, riwayat kesehatan
dahulu, riwayat kesehatan keluarga, riwayat imunisasi, riwayat kesehatan
lingkungan dan tempat tinggal.
1) Identitas
Meliputi identitas klien yaitu: nama lengkap, tempat tanggal lahir, jenis
kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, suku/bangsa,
golongan darah, tangggal MRS, tanggal pengkajian, no.RM, diagnose medis,
alamat.
2) Keluhan utama
Kapan keluhan mulai berkembang, bagaimana terjadinya, apakah secara tiba-
tiba atau berangsur-angsur, apa tindakan yang dilakukan untuk mengurangi
keluhan, obat apa yang digunakan. Pasien mengeluh rambut rontok, pasien
mengeluh lemas dan demam, pasien mengeluhkan terdapat sariawan pada
mulutnya.
3) Riwayat kesehatan sekarang
Kaji penjelasan lengkap sakit saat ini dan keluhan utama. Tanda dan gejala
umum yang dilaporkan selama riwayat kesehatan adalah riwayat keletihan,
demam, perubahan berat badan, atau perdarahan yang memanjang. Kaji untuk
faktor resiko, yang meliputi jenis kelamin, riwayat keluarga, infeksi terbaru,
atau pajanan sinar matahari berlebihan, bengkak pada pergelangan kaki, ulkus
di mulut, mulai kapan keluhan dirasakan, faktor yang memperberat atau
memperingan serangan, keluhan lain yang menyertai.
4) Riwayat penyakit terdahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu apakah pernah menderita
penyakit ginjal atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun
yang lain.
5) Riwayat penyakit keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakit
yang sama atau penyakit autoimun yang lain.
6) Pola – pola fungsi Kesehatan
a. Pola nutrisi
Penderita SLE banyak yang kehilangan berat badannya sampai beberapa
kg, penyakit ini disertai adanya rasa mual dan muntah sehingga
mengakibatkan penderita nafsu makannya menurun.
b. Pola aktivitas
Penderita SLE sering mengeluhkan kelelahan yang luar biasa.
c. Pola eliminasi
Tidak semua dari penderita SLE mengalami nefritis proliferatif
mesangial, namun, secara klinis penderita ini juga mengalami diare.
d. Pola sensori dan kognitif
Pada penderita SLE, daya perabaannya akan sedikit terganggu bila pada
jari – jari tangannya terdapat lesi vaskulitik atau lesi semi vaskulitik.
e. Pola persepsi dan konsep diri
Dengan adanya lesi kulit yang bersifat irreversibel yang menimbulkan
bekas seperti luka dan warna yang buruk pada kulit penderita SLE akan
membuat penderita merasa malu dengan adanya lesi kulit yang ada.
7) Pemeriksaan fisik
Ukur suhu dan dokumentasikan adanya demam. Observasi kulit untuk
kemerahan karena demam atau adanya tanda gejala infeksi. Inspeksi rongga
mulut terhadap ulkus/ulseri yang tidak terasa nyeri dan sendi untuk edema.
Palpasi sendi, observasi nyeri tekan.

2. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan ulkus di mulut
2) Keletihan berhubungan dengan lemas dan demam
3) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan persepsi dan konsep diri

3. Intervensi

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi


keperawatan Hasil
1. Nyeri akut Tingkat nyeri Manajemen nyeri:
berhubungan Ekspektasi : menurun - Identifikasi lokasi
dengan ulkus di - Keluhan nyeri karakteristik, durasi, frekuensi,
mulut menurun kulitas, intensitas nyeri.
- Nafsu makan - Identifikasi skala nyeri
meningkat - Identifikasi respon nyeri non
- Muntah menurun verbal
- Mual menurun pola - Identifikasi faktor yang
idur meningkat memperberat dan
mempoeringan nyeri
Terapeutik :
- Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
- Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
- Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi :
- Jelaskan penyebab, periode
dan pemicu nyeri
- Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
- Anjurkan teknik farmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
2. Keletihan Tingkat keleithan Observasi :
berhubungan Ekspektasi : menurun - Identifikasi gangguan fungsi
dengan lemas dan - Verbalisasi lelah tubuh yang mengakibatkan
demam lesu menurun kelelahan
- Kemampuan - Monitor kelelahan fisik
melakukan aktifitas - Monitor lokasi dan
rutin meningkat ketidaknyamanan selama
- Pola istirahat melakukan aktivitas
meningkat Terapeutik :
- Sakit kepala - Sediakan lingkungan yang
menurun nyaman dan rendah stimulus
- Gelisah menurun - Berika aktifitas dan distraksi
yang menenangkan
Edukasi :
- Anjurkan melakukan aktifitas
secara bertahap
- Anjurkan menghubungi
perawat jika tanda dan gejala
kelelahan tidak berkuranng
- Anjurkan strategi koping
untuk mengurangi kelelahan
3. Gangguan citra Citra tubuh Observasi :
tubuh Ekspektasi : meningkat - Identifikasi harapan citra
berhubungan Kriteria hasil : tubuh berdasarkan tahap
dengan persepsi - Verbalisasi perkembangan
dan konsep diri perasaan negatif - Identifikasi perubahan
tentang perubahan citratubuh yang
tubuh menurun mengakibatkan isolasi sosial
- Verbalisasi - Monitor frekuensi
kekhawatiran pada penyataankritik pada diri
penolakan/reaksi sendiri
orang lain menurun Terapeutik :
- Fokus pada bagian - Diskusikan perubahan tubuh
tubuh meningkat dan fungsinya
- Hubungan sosial - Diskusikan perubahan
meningkat penampilan fisik terhadap
harga diri
- Diskusikan kondisi stres
yang mempengaruhi citra
tubuh
- Diskusikan cara
mengembangkan harapan
citra tubuh realisti
- Diskusikan persepsi pasien
dan keluarga tentang
perubahan citra tubuh
Edukasi :
- Jelaskan kepada keluarga
tentang perawatan perubahan
citra tubuh
- Latih fungsi tubuh yang
dimiliki
- Latih peningkatan
penampilan diri
- Latih pengungkapan
kemampuan diri pada
kelompok maupun orang lain
DAFTAR PUSTAKA
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Indikator Diagnostik. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Nurarif, Huda A, dan Kusuma Hardhi. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 2. Jogjakarta: Mediaction

https://www.docdoc.com/id/info/condition/lupus-eritematosus
https://www.klikdokter.com/info-sehat/read/3627197/mengenal-gejala-lupus-pada-anak-sejak-
dini

BAB IV

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah radang kronis yang disebabkan oleh
penyakit autoimun (kekebalan tubuh) di mana sistem pertahanan tubuh yang tidak normal
melawan jaringan tubuh sendiri. Antara jaringan tubuh dan organ yang dapat terkena
adalah seperti kulit, jantung, paru-paru, ginjal, sendi, dan sistem saraf.

Lupus jika terdeteksi saat usia anak-anak disebut Juvenile SLE. Penyakit ini lebih
banyak mengenai anak perempuan, dan angka kejadiannya meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Lupus pada anak biasanya terjadi di usia 9–15 tahun (masa pubertas).

Penyakit lupus atau systemic lupus erythematosus (SLE) prevalensinya dalam


populasi tertentu kira – kira World Health Organization mencatat jumlah penderita lupus
di dunia hingga saat ini mencapai lima juta orang, dan setiap tahunnnya ditemukan lebih
dari 100 ribu kasus baru. Menurut data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) Online
2016, terdapat 2.166 pasien rawat inap yang didiagnosis penyakit lupus. Tren ini
meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 2014, dengan ditemukannya 1.169
kasus baru. Tingginya angka kematian akibat lupus perlu mendapat perhatian khusus
karena 25% atau sekitar 550 jiwa meninggal akibat lupus pada tahun 2016. Sebagian
penderita lupus adalah perempuan dari kelompok usia produktif (15-50 tahun), meski
begitu lupus juga dapat menyerang laki-laki, anak-anak, dan remaja.

3.2 Saran

a. Persiapan diri sebaik mungkin sebelum melaksanakan tindakan asuhan


keperawatan
b. Bagi mahasiswa diharapkan bisa melakukan tindakan asuhan keperawatan sesuai
prosedur yang ada

Anda mungkin juga menyukai