Anak
Oleh :
Nim : P201901007
Kelas : T1 Keperawatan
KENDARI
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan Konsep Medis yang
membahas tentang “Asuhan Keperawatan pada Klien dengan penyakit SLE”
Konsep Medis ini dapat diselesaikan atas proses bimbingan. Untuk itu kami berterima
kasih kepada selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan kepada kami.
Harapannya Konsep Medis ini dapat memberikan ilmu bagi insan keperawatan untuk
memberikan asuhan keperawatan. Sebagai penulis kami menyadari bahwa masih ada
kekurangan dari penampilan dan penyajian Konsep Medis ini, oleh karena itu kami
menginginkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Kami berharap Konsep
Medis yang kami susun dapat bermanfaat bagi setiap pembaca.
Penyusun
DAFTAR ISI
COVER.........................................................................................................................
KATA PENGANTAR...................................................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................................
A. Latar Belakang....................................................................................................
B. Rumusan Maslah ................................................................................................
C. Tujuan ................................................................................................................
3.1 Pengkajian.......................................................................................................
3.2 Diagnosa.........................................................................................................
3.3 Intervensi........................................................................................................
BAB IV PENUTUP.......................................................................................................
A. Kesimpulan ........................................................................................................
B. Saran ..................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) atau Systemic Lupus Erythematosus atau
yang lebih dikenal dengan penyakit seribu wajah merupakan penyakit inflamasi autoimun
kronis yang belum diketahui dengan pasti penyebabnya. Penyakit autoimun adalah istilah
yang digunakan saat sistem imunitas atau kekebalan tubuh seseorang menyerang
tubuhnya sendiri. Sistem kekebalan tubuh penderita lupus akan menyerang sel, jaringan
dan organ yang sehat. sistem kekebalan tubuh akan mengalami kehilangan kemampuan
untuk melihat perbedaan antara substansi asing (no-self) dengan sel dan jaringan tubuh
sendiri (self).
Data prevalensi di setiap negara berbeda-beda. Suatu studi sistemik di Asia
Pasifik memperlihatkan data insidensi sebesar 0,9 – 3,1 per 100.000 populasi/tahun.
Prevalensi kasar sebesar 4,5 – 45,3 per 100.000 populasi. The Lupus Foundation of
America memperkirakan sekitar 1,5 juta kasus terjadi di Amerika dan setidaknya terjadi
lima juta kasus di dunia. Setiap tahun diperkirakan terjadi sekitar 16 ribu kasus baru
Lupus.
Di Indonesia, jumlah penderita penyakit Lupus secara tepat belum diketahui.
Prevalensi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di masyarakat berdasarkan survei yang
dilakukan Prof. Handono Kalim, dkk di Malang memperlihatkan angka sebesar0,5%
tehadap total populasi.
Penatalaksanaan SLE memerlukan jangka waktu yang panjag. Prinsip utama
pengobatan SLE yaitu mengurangi peradangan pada jaringan tubuh yang terkena dan
menekan ketidaknormalan sistem kekbalan tubuh. Penatalaksanaan pasien LSE meliputi
pengobatan secara nonfarmakologis (edukasi, dukungan sosial dan psikologi) dan
farmakologis meliputi pemberian terapi imunosupresan, antimalaria, kortiskoteroid, dan
OAINS.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi SLE ?
2. Bagaimana etiologi dari SLE?
3. Bagaimana epidemiologi dari SLE?
4. Bagaimana tanda dan gejala dari SLE?
5. Bagaimana patofisiologi dari SLE?
6. Bagaimana manifestasi klinis dari SLE?
7. Bagaimana pemeriksaan fisik dari SLE?
8. Bagaimana pemeriksaan diagnostik dari SLE?
9. Bagaimana penatalaksanaan dari SLE?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi SLE
2. Untuk mengetahui etiologi dari SLE
3. Untuk mengetahui epidemiologi dari SLE
4. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari SLE
5. Untuk mengetahui patofisiologi dari SLE
6. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari SLE
7. Untuk mengetahui pemeriksaan fisik dari SLE
8. Untuk mengetahui pemeriksaan dignostik dari SLE
9. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari SLE
BAB II
KONSEP MEDIS
A. Konsep Medis
1. Definisi SLE
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah radang kronis yang disebabkan oleh
penyakit autoimun (kekebalan tubuh) di mana sistem pertahanan tubuh yang tidak
normal melawan jaringan tubuh sendiri. Antara jaringan tubuh dan organ yang dapat
terkena adalah seperti kulit, jantung, paru-paru, ginjal, sendi, dan sistem saraf.
Lupus jika terdeteksi saat usia anak-anak disebut Juvenile SLE. Penyakit ini lebih
banyak mengenai anak perempuan, dan angka kejadiannya meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Lupus pada anak biasanya terjadi di usia 9–15 tahun (masa
pubertas).
Sistem kekebalan tubuh melawan virus dan bakteri dengan menghasilkan
antibodi. Pasien yang menderita lupus akan menghasilkan autoantibodi, atau juga
dikenal sebagai antibodi abnormal. Autoantibodi akan menyerang sel dan jaringan
yang sehat dan tidak melawan agen yang dapat menginfeksi tubuh. Karena lupus
berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh, penyakit ini dapat memengaruhi semua
bagian tubuh, seperti kulit, ginjal, jantung, paru-paru, sendi, dan sistem saraf. Jenis
lupus yang diderita pasien tergantung pada bagian tubuh yang terkena lupus. Lupus
yang hanya mengenai kulit dikenal sebagai cutaneous lupus erythematosus atau lupus
dermatitis, sedangkan lupus yang mengenai organ dalam dikenal sebagai Systemic
Lupus Erythematosus. SLE merupakan jenis lupus yang paling umum.
2. Etiologi SLE
Mekanisme etiologi SLE belum seluruhnya diketahui, namun berdasarkan
penelitian yang dilakukan selama beberapa dekade, diketahui bahwa terjadinya SLE
ada hubungannya dengan berbagai faktor seperti faktor genetik, hormonal,
imunologik dan lingkungan.
Faktor genetik diduga memengaruhi kerentanan dan perkembangan maupun
tingkat keparahan penyakit SLE. Sejumlah kombinasi ekspresi varian gen
berhubungan dengan manifestasi klinis SLE, misal komponen komplemen C1q
mengeliminasi buangan sel nekrotik (bahan apoptotik) pada individu sehat, namun
pada pasien SLE, defisiensi komponen C1q menimbulkan ekspresi penyakit.
Mekanisme hormon terhadap perkembangan SLE tidak banyak diketahui. Estrogen
berhubungan dengan stimulasi sel T dan sel B, makrofag serta sitokin. Progesteron
mempengaruhi produksi autoantibodi. Kadar prolaktin yang meningkat berhubungan
dengan flares hilangnya self-tolerance pasien SLE. Ketidakseimbangan proses
fagositosis pada pasien SLE menyebabkan clearance sel apoptotik dan kompleks
imun yang tidak sempurna. Pembentukan autoantibodi dan kompleks imun (pada
kombinasi dengan antigen) menimbulkan inflamasi dan kerusakan jaringan.
Faktor lingkungan meliputi obat demetilasi, infeksi virus, virus endogen atau
elemen seperti viral serta sinar ultraviolet (sinar UV). Sinar UV merupakan faktor
lingkungan yang paling sering menyebabkan eksaserbasi SLE. Sinar UV akan
menstimulasi keratinosit sehingga menyebabkan stimulasi sel B dan produksi
antibodi. Aktivitas sel T juga akan terstimulasi sehingga menambah produksi
antibodi.
Virus Epstein-Barr (Epstein-Barr Virus- EBV) berkaitan dengan kejadian SLE
pada anak. Pasien SLE didapatkan memiliki kadar antibodi paling tinggi terhadap
EBV. Virus Epstein-Barr berinteraksi dengan sel B dan memicu plasmacytoid
dendritic cells (pDCs) untuk memproduksi interferon α (IFN-α) sehingga peningkatan
IFN-α pada SLE kemungkinan besar berhubungan dengan infeksi virus dalam jangka
panjang yang tidak terkontrol.
3. Epidemiologi SLE
Penyakit lupus atau systemic lupus erythematosus (SLE) prevalensinya dalam
populasi tertentu kira – kira World Health Organization mencatat jumlah penderita
lupus di dunia hingga saat ini mencapai lima juta orang, dan setiap tahunnnya
ditemukan lebih dari 100 ribu kasus baru. Menurut data Sistem Informasi Rumah
Sakit (SIRS) Online 2016, terdapat 2.166 pasien rawat inap yang didiagnosis penyakit
lupus. Tren ini meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 2014, dengan
ditemukannya 1.169 kasus baru. Tingginya angka kematian akibat lupus perlu
mendapat perhatian khusus karena 25% atau sekitar 550 jiwa meninggal akibat lupus
pada tahun 2016. Sebagian penderita lupus adalah perempuan dari kelompok usia
produktif (15-50 tahun), meski begitu lupus juga dapat menyerang laki-laki, anak-
anak, dan remaja.
5. Patofisiologis SLE
Patofisiologi lupus eritematosis sistemik atau systemic lupus eritematosus (SLE)
didasari oleh autoantibodi dan kompleks imun yang berikatan ke jaringan dan
menyebabkan inflamasi multisistem. Penyebab spesifik SLE hingga saat ini belum
diketahui, namun berbagai faktor seperti faktor genetik, sistem imun, hormonal serta
lingkungan berhubungan dengan perkembangan penyakit ini.
Sistem imun bawaan maupun didapat memberikan respon imun yang tidak
seharusnya kepada partikel sel tubuh. Salah satunya adalah pembentukan autoantibodi
terhadap asam nukleat yang disebut antinuclear antibodies (ANA). Pada umumnya
ANA dapat ditemukan pada populasi umum, namun tidak seluruh orang yang
memiliki ANA mengalami SLE, oleh karena itu terdapat mekanisme lain yang
menyebabkan progresi kondisi autoimun ini menjadi penyakit. Selain ANA, terdapat
dua autoantibodi yang spesifik ditemukan pada pasien SLE dibandingkan dengan
penyakit autoimun lainnya yaitu antibodi anti-Smith (Sm) dan antibodi anti-double-
stranded DNA (dsDNA).[
Aktivasi sel imun juga disertai dengan peningkatan sekresi interferon tipe 1 dan 2
(IFN), tumor necrosis factors α (TNF- α), interleukin (IL) 17, stimulator maturasi sel
B, dan IL-10 yang seluruhnya mendukung reaksi inflamasi. Pada kondisi SLE juga
terjadi penurunan produksi berbagai sitokin seperti sel natural killer yang gagal
memproduksi IL-2 dan transforming growth factor beta (TGF-β) yang berfungsi
untuk meregulasi sel T CD4+ dan CD8+, akibatnya produksi autoantibodi dan
kompleks imun tidak terkendali dan tetap berlanjut.
a. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibody antinuklear, yang terdapat
pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga bisa ditemukan pada
penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan
juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi
dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita
lupus memiliki antibodi ini. Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar
komplemen (protein yang berperan dalam sistem kekebalan) dan untuk
menemukan antibodi lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk memperkirakan
aktivitas dan lamanya penyakit.
b. Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein.
c. Radiology
Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau pericarditis
d. Tes Imunologik
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnose SLE adalah tes
ANA. Tes ANA diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah
pada SLE. Pada pasien SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%,
akan tetapi hasil tes ana dapat positif pada beberapa penyakit lain yang
mempunyai gembaran klinis menyerupai SLE misalnya infeksi kronis
(tuberkolosis), penyakit autoimun misalnya Mixed Connective Tissue Disease
(MCTD), atritis rheumatoid.
9. Penatalaksanaan SLE
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting di perhatikan dalam
penatalaksanaan penderita SLE, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis.
Sebelum penderita SLE diberi pengobatan, harus di putuskan 10 dulu apakah
penderita tergolong yang memerlukan terapi konservativ, atau imunosupresif yang
agresif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka
dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi
dan imunosupresan lainnya .
Tujuan dari terapi adalah mengurangi gejala dan melindungi organ dengan
mengurangi peradangan dan atau tingkat aktifitas autoimun di tubuh. Bentuk
penanganan umum pasien dengan SLE antara lain:
a. Kelelahan
Hampir setengah penderita SLE mengeluh kelelahan. Sebelumnya kita harus
mengklarifikasi apakah kelelahan ini bagian dari derajat sakitnya atau karena
penyakit lain yaitu : demam, infeksi, gangguan hormonal atau komplikasi
pengobatan dan emotional stress. Upaya mengurangi kelelahan disamping
pemberian obat ialah : cukup istirahat, batasi aktivitas, dan mampu mengubah
gaya hidup.
b. Cuaca
Walaupun di Indonesia tidak ditemukan cuaca yang sangat berbeda dan hanya ada
dua musim, akan tetapi pada sebagian penderita SLE khususnya dengan keluhan
arthtritis sebaiknya menghindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi
proses inflamasi.
c. Stres dan trauma fisik
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa perubahan emosi dan trauma fisik
dapat mempengaruhi sistem imun melalui : penurunan respon mitogen limfosit,
menurunkan fungsi sitotoksik limfosit dan menaikkan aktivitas sel KN (Natural
Killer). Keadaan stres tidak selalu mempengaruhi aktivitas penyakit, sedangkan
trauma fisik dilaporkan tidak berhubungan dengan aktivasi SLE-nya. Umumnya
beberapa peneliti sependapat bahwa stres dan trauma fisik sebaiknya dikurangi
d. Sinar matahari (sinar ultra violet)
Seperti diketahui bahwa sinar ultra violet mempunyai tiga gelombang, dua dari
tiga gelombang tersebut (320 dan 400 nm) berperan dalam proses fototoksik.
Gelombang ini terpapar terutama pada pukul 10 pagi sampai dengan 3 sore,
sehingga semua pasien SLE dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari
pada waktu-waktu tersebut.
e. Kontrasepsi oral Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi
akan memperberat SLE, akan tetapi bila kadarnya rendah tidak akan
membahayakan penyakitnya. Pada penderita SLE yang mengeluh sakit kepala
atau tromboflebitis jangan menggunakan obat yang mengandung estrogen.
KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Anamnesa
Anamnesa adalah mengetahui kondisi klien dengan cara wawancara atau interview.
Mengetahui kondisi klien untuk saat ini dan masa lalu. Anamnesa mencakup
identitas klien, keluhan utama, riwayat kesehatan sekarang, riwayat kesehatan
dahulu, riwayat kesehatan keluarga, riwayat imunisasi, riwayat kesehatan
lingkungan dan tempat tinggal.
1) Identitas
Meliputi identitas klien yaitu: nama lengkap, tempat tanggal lahir, jenis
kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, suku/bangsa,
golongan darah, tangggal MRS, tanggal pengkajian, no.RM, diagnose medis,
alamat.
2) Keluhan utama
Kapan keluhan mulai berkembang, bagaimana terjadinya, apakah secara tiba-
tiba atau berangsur-angsur, apa tindakan yang dilakukan untuk mengurangi
keluhan, obat apa yang digunakan. Pasien mengeluh rambut rontok, pasien
mengeluh lemas dan demam, pasien mengeluhkan terdapat sariawan pada
mulutnya.
3) Riwayat kesehatan sekarang
Kaji penjelasan lengkap sakit saat ini dan keluhan utama. Tanda dan gejala
umum yang dilaporkan selama riwayat kesehatan adalah riwayat keletihan,
demam, perubahan berat badan, atau perdarahan yang memanjang. Kaji untuk
faktor resiko, yang meliputi jenis kelamin, riwayat keluarga, infeksi terbaru,
atau pajanan sinar matahari berlebihan, bengkak pada pergelangan kaki, ulkus
di mulut, mulai kapan keluhan dirasakan, faktor yang memperberat atau
memperingan serangan, keluhan lain yang menyertai.
4) Riwayat penyakit terdahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu apakah pernah menderita
penyakit ginjal atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun
yang lain.
5) Riwayat penyakit keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakit
yang sama atau penyakit autoimun yang lain.
6) Pola – pola fungsi Kesehatan
a. Pola nutrisi
Penderita SLE banyak yang kehilangan berat badannya sampai beberapa
kg, penyakit ini disertai adanya rasa mual dan muntah sehingga
mengakibatkan penderita nafsu makannya menurun.
b. Pola aktivitas
Penderita SLE sering mengeluhkan kelelahan yang luar biasa.
c. Pola eliminasi
Tidak semua dari penderita SLE mengalami nefritis proliferatif
mesangial, namun, secara klinis penderita ini juga mengalami diare.
d. Pola sensori dan kognitif
Pada penderita SLE, daya perabaannya akan sedikit terganggu bila pada
jari – jari tangannya terdapat lesi vaskulitik atau lesi semi vaskulitik.
e. Pola persepsi dan konsep diri
Dengan adanya lesi kulit yang bersifat irreversibel yang menimbulkan
bekas seperti luka dan warna yang buruk pada kulit penderita SLE akan
membuat penderita merasa malu dengan adanya lesi kulit yang ada.
7) Pemeriksaan fisik
Ukur suhu dan dokumentasikan adanya demam. Observasi kulit untuk
kemerahan karena demam atau adanya tanda gejala infeksi. Inspeksi rongga
mulut terhadap ulkus/ulseri yang tidak terasa nyeri dan sendi untuk edema.
Palpasi sendi, observasi nyeri tekan.
2. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan ulkus di mulut
2) Keletihan berhubungan dengan lemas dan demam
3) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan persepsi dan konsep diri
3. Intervensi
Nurarif, Huda A, dan Kusuma Hardhi. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 2. Jogjakarta: Mediaction
https://www.docdoc.com/id/info/condition/lupus-eritematosus
https://www.klikdokter.com/info-sehat/read/3627197/mengenal-gejala-lupus-pada-anak-sejak-
dini
BAB IV
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah radang kronis yang disebabkan oleh
penyakit autoimun (kekebalan tubuh) di mana sistem pertahanan tubuh yang tidak normal
melawan jaringan tubuh sendiri. Antara jaringan tubuh dan organ yang dapat terkena
adalah seperti kulit, jantung, paru-paru, ginjal, sendi, dan sistem saraf.
Lupus jika terdeteksi saat usia anak-anak disebut Juvenile SLE. Penyakit ini lebih
banyak mengenai anak perempuan, dan angka kejadiannya meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Lupus pada anak biasanya terjadi di usia 9–15 tahun (masa pubertas).
3.2 Saran