Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA

PASIEN SLE

DISUSUN OLEH :
SATRIA ARIFIANTO_N21022057
YOHANES L S KEER_ N21022005
ABD RAHMAT SAHRIL_

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS TADULAKO
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-
Nya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Laporan Asuhan Keperawatan Pada
Pasien Sistemik Lupus Eritematosus” dengan sebaik-baiknya.
Dalam penyusunan makalah ini, kami telah mengalami berbagai hal baik suka
maupun duka. Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak akan selesai
dengan lancar dan tepat waktu tanpa adanya bantuan, dorongan, serta bimbingan dari
berbagai pihak. Sebagai rasa syukur atas terselesainya maklah ini, maka dengan tulus
kami sampaikan terimakasi kepada pihak-pihak yang turut membantu.
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari masih banyak kekurangan
baik padaa teknik penulisan penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan dapat diterapkam dalam, menyelesaikan suatu permasalahan yang berhubungan
dengan judul makalah ini.

i
DAFTAR ISI

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN SLE. .1

KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

A. LATAR BELAKANG...................................................................................................3

B. RUMUSAN MASALAH...............................................................................................3

C. TUJUAN........................................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................5

A. Definisi..........................................................................................................................5

B. Etiologi..........................................................................................................................5

C. Patofisiologi...................................................................................................................6

D. Manifestasi....................................................................................................................8

E. Klasifikasi....................................................................................................................14

F. Penatalaksanaan Medis................................................................................................14

G. Pemeriksaan Penunjang...............................................................................................15

H. Kompilkasi..................................................................................................................16

I. Konsep dasar keperawatan...........................................................................................17

a. Pengkajian...................................................................................................................17

b. Diagnosa Keperawatan................................................................................................18

c. intervensi.....................................................................................................................18

d. implementasi...............................................................................................................18

n. evaluasi........................................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................19

2
BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Systemic Erithematosus Lupus (SLE) atau yang biasa dikenal dengan istilah lupus
merupakan suatu penyakit autoimun yang menyebabkan inflamasi kronik. Penyakit ini terjadi
dalam tubuh akibat sistem kekebalan tubuh salah menyerang jaringan sehat. Penyakit ini juga
merupakan penyakit multi sistem dimana banyak manifestasi klinik yang didapat penderita,
sehingga setiap penderita akan mengalami gejala yang berbeda dengan penderita lainnya
tergantung dari organ apa yang diserang oleh antibody tubuhnya sendiri. Manifestasi klinik yang
paling sering dijumpai adalah skin rash, arthritis, dan lemah. Pada kasus yang berat, SLE bisa
menyebabkan nefritis, masalah neurologi, anemia, dan trobositopenia.
SLE dapat menyerang siapa saja tidak memandang ras apapun. Hanya saja penyakit ini
angka kejadiannya didominasi oleh prempuan dimana perbandingan antara prempuan dan laki-
laki adalah 10:1. SLE menyerang prempuan pada usia produksi ,puncak insidennya usia antara
15-40. Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi
diperkirakan sama dengan jumlah pendirita SLE diamerika yaitu 1.500.000 orang ( yayasan
lupus Indonesia )
Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi remisi
serta mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan penyakit. Karena manifestasi
klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan didasarkan pada manifestasi yang muncul pada
masing-masing individu. Obat-obat yang umum digunakan pada terapi farmakologis penderita
SLE yaitu NSAID ( Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs),obat-obat antimalarial,
kortikosteroid, dan obat-obat antikanker (imunosupresan) selain itu terdapat obat-obat yang lain
seperti terapi hormone,immunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi, monoclonal antibody, dan
transplasi sumsum tulang yang masih menjadi penelitian para ilmuwan.

B. RUMUSAN MASALAH
a) Apa definisi SLE ?
b) Bagaimana etiologi SLE?
c) Bagaimana patofisologi dari SLE?
d) Apa manifestasi klinis dari SLE ?
e) Apa klasifikasi dari SLE?
3
f) Bagaimana pemeriksaan penunjang dari SLE?
g) Bagaimana evaluasi dari SLE?
h) Bagaimana penatalaksanaan dari SLE?
i) Bagiaman komplikasi dari SLE
j) Bagaimana Asuhan Keperawatan dari SLE

C. TUJUAN
a) Tujuan Umum
Mahasiswa mampu sebagai calon perawat yang professional diharapkan mengerti
dan memahami penyakit imunologi SLE, serta mampu memberikan asuhan keperwatan
yang tepat.
b) Tujuan Khusus
Mengetahui anatomi,definisi,etiologi,klasifikasi,manifestasi klinis pemeriksaan
diagnostic, penatalaksaan, komplikasi dan asuhan keperawatan yang tepat.

4
BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi
Lupus merupakan sistemik (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi autoimun pada jaringan
penyembuhan yang dapat mencukup ruam kulit, nyeri sendi, dan keletihan. Penyakit ini lebih
sering terjadi pada prempuan dari pada pria dengan faktor 10:1. Androgen mengurangi gejala
SLE dan estrogen memperburuk keadaan tersebut. Gejala memburuk selama fase luteal
siklus menstruasi, namun tidak dipengaruhi pada derajat yang besar oleh kehamilan
( Elizabeth 2009).
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit vaskuler kolagen (suatu penyakit
autoimun). Ini berarti tubuh manusia menghasilkan antibody terhadap organ tubuhnya
sendiri,yang dapat merusak organ tersebut dan fungsinya. Lupus dapat menyerang banyak
bagian tubuh termasuk sendi,ginjal,paru-paru seta jantung (Glade,1999).
SLE (systemic lupus erythematosus) adalah sejenis rema jaringan yang bercirikan nyeri
sendi (arthralgia),demam,malaise umum dan erythema dengan pola berbentuk kupu-kupu
khas dipipi muka. Darah mengandung antibody beredar terhadap IgG dan
imunokompleks,yakni kompleks antigen-antibodi-komplemen yang dapat mengendap dan
mengakibatkan radang pembuluh darah (vaskulitis) dan radang ginjal. Sama dengan
rematik,SLE juga merupakan penyakit auroimun,tetapi jauh lebih jarang terjadi dan terutama
timbul pada prempuan. Sebabnya tidak diketahui,penanganannya dengan kortikosteroida
atau secara alternative dengan sediaan enzim (papain 200mg + pangkreatin 100mg + vitamin
E 10mg) 2 dd 1 kapsul (tan&kirana,2007)
Suatu peradangan kronis jaringan ikat mengenai sendi,ginjal,selaput serosa permukaan
dan dinding pembuluh darah yang belum jelas penyebabnya. Peradangan kronis ini
mengenai prempuan muda dan anak-anak 90% penderita [penyakit SLE adalah prempuan.
Obat yang digunakan pada SLE mencakup agens sitotoksik,seperti siklofosfamida.
Konseling prakehamilan dapat membantu menemukan terapi yang aman digunakan baik
pada kehamilan maupun menyusui.

B. Etiologi
Antibody anti RO dan anti LA dapat menyebabkan sindrom lupus neonates
dengan melinitasi plaseta. Sindrom ini dapat bermanifestasi sebagai lesi kulit atau blok
jatung congenital.

5
Faktor genetic mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi
penyakit SLE. Sekitar 20-30% pada pasien SLE mempunyai kerabatdekat yang menderita
SLE. Penelitian terakhir menunjukan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haptolip
MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase
awal reaksi peningkatan komplomen yaitu : Crg, Cir, Cis, C3, C4 dan C2 serta gen-gen yang
mengode reseptor drl T, immunoglobulin dan sitokin (Albar 2003).
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah
struktur DNA didaerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun
didaerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi
oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4
menyebabkan asetilasi obat menyadi lambat, obat banyak terakumulas ditubuh sehingga
memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon
sebagai benda asing tersebut (Herfindal et al,2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts)
yang mengandung asam aino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B
sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente 2002). Selain intu infeksi virus dan bakteri
juga menyebabkan peningkatan antibody entiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit yang
akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al,2000).
Observasi klinis menunjukan pernan hormone seks steroid sebagai penyebab SLE.
Observasi ini mencakup kejadian yang lebih tinggi pada wanita usia produktif,peningkatan
aktivitas SLE selama kehamilan, dan resiko yang sedikit lebih tinggi padaa wanita
pascamenoupause yang menggunakan suplementasi estrogen. Walapun hormone seks steroid
dipercaya sebagai penyebab SLE,namun studi yang dilakukan oleh petri dkk menunjukan
bahwa pemberian kontrasepsi hormonal oral tidak meningkatkan risiko terjadinya
peningkatan aktivitas penyakit pada wanita penfderita SLE yang penyakitnya stabil.

C. Patofisiologi
Faktor Lingkungan
Faktor Genetik Faktor Imunologi Faktor Hormonal

Xerostomin

SLE Lesi Ulserasi

Arthritis Butterfly Lesi Diskoid


(Systemic Lupus Evythomatasus)
rash
Serositis Lesi Mirip
Discoid lichen
Ganggua 6 menurut ACR
Gejala & gambaran
rash plamus
n ginjal
(American Collage Of Rheumatology 1997)
kandidiasis
Fotosensit
Sistemik
Ganggua Kulit Oral
ivitas
Laboratorium

Gangguan
darah

Gangguan
imun

Antibody
antinuklir
(ANA)

Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi. Proses diawali dengan faktor
pencetus yang ada dilingkungan, dapat pula infeksi, sinar ultraviolet atau bahan kimia.
Cetusan ini menimbulkan abnormalitas respon imun didalam tubuh yaitu :
1. Sel T dan B menjadi autoreaktif
2. Pembentukan silokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulator control pada sistem imun anatara lain :
a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen dikompleks imun maupun sitokin
didalam tubuh
b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
c. Hilangnya toleransi imun sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen karena
adanya mimikri molekul
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibody didalam tubuh yang
disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibody 2 yang membentuk kompleks imun
tersebut terdeposisi pada jaringan / organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau
kerusakan jaringan.
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunnya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetika, hormonal (sebagaimana terbukti oleh penyakit yang
7
biasannya terjadi selama usia prodiktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar
termal). Obat-obatan tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan
beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah alfa-alfa turut terlihat
dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pathway SLE

D. Manifestasi
Gambaran klinis SLE sangat bervariasi, baik dalam keterlibatan organ pada suatu waktu
maupun keparahan manifestasi penyakit pada organ tersebut. Sebagai tambahan,perjalanan

8
penyakit berbeda antarpasien. Keparahan dapat bervariasi dari ringan ke sedang sehingga
parah atau bahkan membahayakan hidup. Karena perbedaan multisystem dari manifestasi
kliniksnya,lupus telah menggantikan sifilis sebagai great imitator.
Kebanyakan pasien dengan SLE memiliki penyakit ringan samapai sedang dengan gejala
kronis,diselingi oleh peningkatan aktivitas penyakit secara terhadap atau tiba-tiba. Pada
sebagian kecil pasien dikarakteristikkan dengan peningkatan aktivitas penyakit dan remisi
klinik sempurna. Pada keadaan yang sangat jarang,pasien mengalami episode aktif SLE
singkat diikuti dengan remisi lambat.
Gambaran klinis SLE menjadi rumit karena dua hal. Pertama,walapun SLE dapat
menyebabkan berbagai tanda dan gejala, tidak semua tanda dan gejala pada pasien dengan
SLE disebabkan oleh penyakit infeksi virus, dapat menyerupai SLE. Kedua, efek samping
pengobatan,khususnya penggunaan glukokortikoid jangka panjang, harus dibedakan dengan
tanda dan gejala.
1. Manifestasi Konstitusional
Demam muncul pada sebagian besar pasien dengan SLE aktif,namun penyebab
infeksius tetap harus dipikirkan,terutama pada pasien dengan terapi imunosupresi.
Penurunan berat badan dapat timbul awal penyakit,dimana peningkatan berat badan,
khusus pada pasien yang diterapi dengan glukokortikoid, dapat menjadi lebih jelas lebih
jelas pada tahap selanjutnya. Kelelahan dan malaise merupakan salah satu gejala yang
paling umum dan seringkali merupakan gejala yang memperberat penyakit. Penyebab
pasti gejala-gejala ini belum jelas. Aktivitas penyakit, efek samping pengobatan,
gangguan neuroendokrinologis, dan faktor psikogenik terlibat dalam timbulnya gejala
konstitusional. Pada kasus ini dijumpai gejala demam namun gejala ini mungkin juga
disebabkan oleh infeksi pneumonia. Penurunan berat badan juga ditemukan pada pasien.
Sesuai dengan teori yang mengatakan kelelahan dan malaise merupakan salah satu gejala
yang paling umum yang memperberat penyakit,gejala ini turut ditemukan kasus ini.
2. Manifestasi Mukokutan
Fotosensitivitas dapat dikenali dengan pembentukan ruam, eksaserbasi ruam yang
telah ada sbelumnya, reaksi terhadap sinar matahari yang berlebihan (exaggerated
sunburn), atau gejala sepereti gatal atau parastesisi setelah terpajan sinar matahari atau
sumber cahaya buatan. Zfotosensitivitas sering ditemukan dan dapat terjadi pada semua
kelompok ras dan etnis, walapun belum ada studi mengenai prevalensinya dipopulasi
umum. Ruam berbentuk kupu-kupu yang khas, yaitu ruam kemerahan di area malar pipi
dan persambungan hidung yang membagi lipatan nasolabial, lebih dikenal sebagai malar
9
rash atau butterfly ras. Ruam ini dapat ditemukan pada 20-25% pasien. Gejala ini dapat
meningkat dan sangat meradang, bertahan selams berminggu-minggu atau berbulan-
bulan. Gejala ini hilang tanpa jaringan parut. Plak eritematosa dengan adherent scale dan
telangiektasis umumnya terdapat diwajah,leher dan kulit kepala. Lupus kutis akut dalam
bentuk eritema inflamasi yang jelas dapat dipicu oleh pacaran sinar ultraviolet. Lesi
lupus subakut dan kronik lebih sering ditemukan di kulit yang terpapar sinar matahari
dalam waktu lama (lengan depan, daerah V dileher ) tanpa pacaran sinar matahari dalam
waktu dekat. Lesi kulit lainnya termasuk livedo riticularis, eritema periungual, eritema
palmaris, nodulpalmaris, vesikel atau bula, urtikaria akut atau kronik, panniculitis,
purpuravaskulitis, dan ulkus vaskulitis. Alopesia dapat timbul akibatlesi pada kulit
kepala, namun biasanya muncul pada puncak SLE. Alopesia bersifat reversible, kecuali
jika terdapat lesi discoid kepala. Ulkus oral dan nasal cukup sering terjadi dan harus
dibedakab dari infers virus maupun jamur. Mata dan mulut kering (sindrom Sicca) dapat
disebabkan oleh inflamasi autoimun pada kelenjar lakrimal dan saliva, yang mungkin
tumpang tindih dengan sindrom sjogren. Umumnya mata dan mulut kering merupakan
efek samping pengobatan. Pada kasus ini ditemukan manifestasi mukokutan. Sesuai
dengan teori, pada pasien ini ditemukan fotosensitivitas, yaitu eksaserbasi ruam dengan
pajanan pada sinar matahari. Pada kasus ini juga ditemukan ruam berbentuk kupu-kupu
(malar rash atau butterfly rash) pada bagian pipi dan hidung pasien. Alopesia juga
ditemukan pada pasien ini yang mengeluh rambutnya yang sering rontok waktu menyikat
rambut.
3. Manifestasi Muskuloskeletal
Artritis SLE biasanya meradang dan mucul bersamaan dengan sinovitis dan nyeri,
bersifat nonerosif dan nondeforming. Manifestasi yang jarang adalah deformitas jaccoud
yang menyerupai artritis rheumatoid namun berkurang dan tidak terbukti secara
radiologis menyebabkan desttruksi kartilago dan tulang. Kelemahan otot biasanya
merupakan akibat terapi glukokortikoid atau antimalaris, namun myositis dengan
peningkatan enzim otot jarang ditemukan dan biasannya merupakan gejala yang tumpah
tindih. Tenosinovitis dan bursitis jarang ditemukan. Ruput tendon dapat merupakan
komplikasi terapi glukokortikoid. Ostenekrosis (nekrosisavaskuler) dapat disebabkan
oleh penyakit maupun efek pengobatan gukokortikoid, biasanya terjadi pada kaput
femoralis, kaput hormonal, lempemg tibia dan talus. Artralgia dan myalgia merupakan
gejala lain yang sering ditemukan, dapat disebabakanoleh penyakit, efek samping
pengobatan, glucocorticoid withdrawal syndrome, endokrinopati dan faktor psikogenik.
10
Pada kasus ini, ditemukan nyeri pada sendi yaitu nyeri pada sendi jari pada kedua tangan
yang tidak disertai dengan gangguan pergerakkan. Ini sesuai dengan manifetasi
muskuloskletal yang ditemukan pada pasien SLE yaitu non erosive dan non deforming
arthritis.

4. Manifestasi Kardiovaskular
Perikarditis meruapakan gejala khas dengan nyeri substernal posisional dan
terkadang dapat ditemukan rub. Ekokardiografi dapat menunjukkan efusi atau dalam
kasus kronik penebalan dan fibrosis pericardium. Tamponade atau hemodinamik
konstriktif jarang ditemukan, namun dapat diinduksi oleh karbamazepin. Miokarditis
jarang terjadi, namun harus dicurigai pada pasien dengan SLE aktif dan gejala dada tidak
khas, perubahan ECG minimal, aritmia atau perubahan hemodinamik. Miokarditis dapat
mengakibatkan kardiomiopati dilatasi dengan tanda gagal jantung kiri. Endokarditid
trombotik nonifeksi (Libman-sacks) jarang dan seringkali tidak menimbulkan gejala,
namun dapat menimbulkan disfungsi katup mitral atau katup aorta atau embilisasi.
Arterisklerosis premature dengan angina pektrois dan infark miokardium merupakan
sumber mortalitas dan morbilitas jangka panjang yang paling serius. Penyakit sendiri,
hiperkoagulasi, terapi glukokortikoid kronik,menopause premature, serta faktor diet dan
gaya hidup dapat menyebabkan arterosklerosis. Fenomena Raynaud, vasospasme yang
diindikasi dingin pada jari.sering ditemukan pada SLE. Penyempitan arteri ireversibel
ditangan dan kaki sering tumpang tindih dengan scleroderma. Gambaran patologis yang
sama pada sirkulasi paru dapat menyebabkan hipertensi pulmonal, komplikasi yang
jarang namun seringkali fatal. Sebagian besar cedera vascular trombotik pada pasien SLE
dimediasi oleh antibody antifosfolipid (aPL), ditemukan pada sekitar 30% pasien SLE.
aPL dapat menyebabkan thrombosis arteri dan vena spontan pada semua ukuran
pembuluh darah. Keadaan hiperkoagulasi lain, seperti defisiensi protein C dan protein S,
faktor V Leiden dan antitrombin III dapat menyebabkan terjadinya trombisis, namun
defisiensi faktor-faktor ini lebih dihubungkan dengan terjadinya thrombosis vena
dibandingkan trpmbosis arteri.
5. Manifestasi Paru
Pleurisy sering ditemukan pada SLE nyeri dada khas pleuritik, rub, dan efusi dengan
bukti radiografi dapat ditemukan pada sebagian pasien, namun sebagian lain mungkin
hanya berupa gejala tanpa temuan obyektif. Infeksi parenkim paru pneumonitis atau
alveolitis dan dibuktikan dengan batuk, hemoptysis, serta infiltrate paru jarang terjadi
11
namun dapat membahayakan hidup. Perdarahan alveolus difus dapat timbul atau tanpa
pneumonitis akut dan memilik angka mortalitas yang sangat tinggi. Pneumonitas lupus
kronik dengan perubahan fibrotic dan paru mirip dengan fibrosis paru idiopatik, dengan
perjalanan yang progresif dan prognosis yang buruk. Penyakit paru restriktif juga dapat
diakibatkan oleh perubahan pleuritik jangka panjang, miopati atau fibrosis otot
pernapasan, termasuk diafragma dan bahkan neuropati nervus frenikus. Emboli paru
rekuren disebabkan oleh antibody antifosfilipid harus disingkirkan pada pasien dengan
gejala paru yang tidak dapat dijelaskan.
6. Manifestasi Ginjal
Nefritis lupus muncul pada sebagian pasien dengan SLE. Spektrum keterlibatan patologis
dapat bervariasi dari proliferasi mesangial yang sama sekali tidak menimbulkan gejala
sampai glumerulonefritis membranoproliferatif difus agresif yang menuju gagal ginjal.
Gambaran klinis ditandai dengan temuan minimalis, termasuk proteinuria ringan dan
hematuria mikroskopik, sindrom nefrotik, dengan proteinuria berat, hipoalbuminemia,
edema perifer, hipertrigliseridemia, dan hiperkoagulasi atau sindrom nefritik dengan
hipertensi, sedimen eritrosit atau Kristal eritrosit pada sediaan sedimen urin dan
penurunan laju filtrasi glomerulus progresif dengan peningkatan kreatinin serum dan
uremia. Pada kasus ini ditemukan kelainan ginjal yang disuspek nefritis karena
ditemukan kelainan ginjal yang disuspek nefritis karena ditemukan proteinuria
25,00mg/dL dan leucocyte pada urin 25,00 leu/πL
7. Manifestasi Neurologis dan Psikiatrik
Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP) terjadi pada 5-15% pasien dan terkadang merujuk
pada SLE neuropsikiartrik atau serebritis lupus. Pasien dapat memiliki manifestasi
obyektif seperti meningitis asepsis atau meningoensefalitis, kejang, khorea, ataksia,
stroke dan myelitis tramsversa. Pada pasien seperti ini diagnosis dapat didukung oleh
temuan abnormal pada analisis cairan serebrospinal, seperti peningkatan kadar protein,
pleiositosi, dan /atau autoantibodi karakteristik, pada CT scan atau MRI, dapat
ditemukan lesi inflamasi pada substansia alba dan grisea atau bahkan pada biopsy
leptomeningeal dengan bukti inflamasi. Gambaran alternatis lupus SSP adalah gangguan
psikiatrik mayor yaitu psikosis. Pada kasus ini cairan serebrospinal dan pencitraan
menujukkan hasil normal dan diagnosis banding dari penysakit psikogenik primer
dan/atau reaksi obat sangat sulit untuk ditentukan. Masalah ini adalah gangguan kognitif
dan kepribadian ringan. Sakit kepala sering ditemukan dengan intesitas yang beragam.
Sakit kepala lupus yang berat dan menyerupai migren yang hanya responsive terhadap
12
glikokortikoid merupakan kasus yang jarang. Neuropati kranial dan perifer dapat terjadi
dan dapat menggambarkan vaskulitis pembuluh darah kecil atau infark pada pasien ini
disuspek lupus serbri karena penurunankesadaran.
8. Manifestasi Gastrointestinal
Gejala gastrointestinal nonspesifik, termasuk nyeri perut difus dan mual, kas untuk
pasien SLE. Peritonitis steril dengan asites jarang namun merupakan komplikasi
abdomen yang serius. Banyak gejala gastrointestinal atas berhubungan dengan terapi
yaitu NSAID dan atau gastropati terkait glukokortikoid. Duodenitis dapat menimbulkan
gejala. Pada kasus jarang, vaskulitis usus dapat menimbulkan kegawatan bedah akut.
Terkadang pankreatitis dapat merupakam gejala penyakit atau merupakan efek
pengobatan. Peningkatan enzim hati terkafdang dihubungkan dengan hepatiris noninfeksi
pada SLE, yang tidak dapat dibedakan dengan hepatitis autoimun melalui gambar
histologis. Peningkatan enzim hati juga dapat disebabkan oleh penggunaan NSAID,
azatrioprin atau metotreksat dan penggunaan jangka panjang glukokortikoid yang dapst
menyebablkan perlemakan hati dengan peningkatan transaminase ringan.
9. Manifestasi Hematologi
Splenomegali dan limafadenopati difus sering merupakan temuan yang sering namun
nonspesifik pada SLE aktif. Anemia merupakan temuan khas, dapat disebabkan oleh
hemolysis dengan hasil tes coombs positif, kadar haptoglobin rendah dan kadar laktat
dehydrogenase tinggi atau dengan mielosupresi. Mekanisme tidak langsung mencakup
penurunan sintesis eritropoietin dan mielosupresi uremikum pada pasien nefritis lupus.
Hal ini dapat diperberat dengan perdarahan ringan kronik dan ketidask cukupan asupan
makanan. Leukopenia dan limfopenia sangat sering terjadi namun jarang mencapai kadar
kritis. Studi oleh Ng dkk menghungkan limfopenia dengan peningkatan risiko terjadinya
infeksi pada pasien SLE. Leukositosis dapat sdisebabkan oleh glukokortikoid.
Trombisitopenia ringan (100000-150000/πL) dapat disebabkan oleh antibody
antifosfolipid. Trombositopenia autoimun berat (kurang dari 50000/πL), disebabkan oleh
antibody antiplatelet dapat mempersulit diagnosis SLE dan awalnya mungkindidiagnosis
sebagai purpura trombositopenik idiopatik. Pada kasus ini ditemukan kelainan atau
manifestasi hematologi sesuai dengan gambaran yang sering ditemukan pada pasien
SLE. Pada kasus ini, ditemukan gejala anemia dengan nilai haemoglobin yang rendah.
10. Manifestasi Mata
Eksudat dan infarks retina (baan sitoid) relative jarang dan merupakan temuan
nonspesifik. Konjungtivitas dan episkleritis terkadang dapat ditemukan pada penyakit
13
aktif. Mata kering dapat menunjukan tumpang tindih dengan sindrom sjogren. Kebutaan
singkat atau permanen dapat disebabkan oleh neuritis optic atau oklusi arteri atau vena
retina.

E. Klasifikasi
Subcommitte for systemic lupus erythematosus criteria of the America rheumatism
association diagnostic and therapeutic criteria committw tahun 1982 merevisi kreteria untuk
klasifikasi SLE.
Subcommitte ini mengajukan diagnosis SLE jika terdapat empat diantra 11 kriteria
berikut beruntun atau secara stimultan, selama sati interval observasi :
1. Ruam dibagian malar wajah
2. Ruam berbentuk discoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulkus dimulut
5. Setositosis (pleuritis, pericarditis)
6. Gangguan ginjal
7. Gangguan neurologis ( kejang atau psikosis )
8. Arthritis
9. Gangguan hematologis (anemia hemolitik,leucopenia,trombositopenia)
10. Gangguan imunologi
11. Antibody nuclear
R leonard mengusulkan jembatan keledai berikut untuk mengingat kriteria diagnosis
SLE. A Rash Points MD. Arthritis renal disease ( penyakit ginjal), ANA serositis,
Hematologi disrders, photosensitivita, oral ulcers ( ulkus dimulut) immunological
disorder,neurologic disorder, Malar rash,Discoid rash Ann Rheum Dis 2001.

F. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan termasuk penatalaksanaan penyakit akut dan kronik :
1. Mencegah penurunana progresif fungsi organ, mengurangi kemungkinan penyakit akut,
meminimalkan penyakit yang berhubungan dengan kecacatan dan mencegah komplikasi
dari terapi yang diberikan.
2. Gunakan obat-obatan antinflamasi nonsteroid (NSAID) dengan kortikosteroid untuk
meminimalkan kebutuhan kortikosteroid.
3. Gunakan krortikosteroid topical untuk manifestasi kutan aktif.

14
4. Gunakan pemberian bolus IV sebagai alternative untuk penggunaan dosis oral tinggil
tradisional.
5. Atasi manifestasi kutan, mukuloskeletal dan sistemik ringan dengan obat-obat
antimalarial.
6. Preparat imunosupresif (percobaan) diberikan untuk bentuk SLE yang serius

G. Pemeriksaan Penunjang
SLE merupakan suatu penyakit autoimun pada jaringan ikat yang menujukan berbagai
manifestasi,paling sering berupa artitis. Dapat juga timbul manifestasi dikulit, ginjal dan
neorologis. Penyakit ini ditandai dengan adanya periode aktivitas (ruam) dan remisi. SLE
ditegakan atas dasar gambaran klinis disertai dengan penanda serologis, khususnya beberapa
autoantibodi yang paling sering digunakan adalah antinukelar antibody ( ANA, terapi
antibody ini juga dapat ditemukan pada wanita yang tidak menderita SLE. Antibody yang
kurang spesifik adalah antibouble standed DNA antibody (anti DNA), pengukuran
bermanfaat untuk menilai ruam pada lupus. Anti-Ro, anti-La dan antibody
antifosfolipidpenting untuk diukur karena meningkatkan resiko pada kehamilan.
Penatalaksanaan SLE harus dilaksanakan secara multidisiplin. Priode aktifitas penyakit dapat
sulit untuk didiagnosa. Keterlibatan ginjal sering kali disalah artikan dengan pre-eklamsia,
tetapi temuan adanya peningkatan antibody anti DNA serta penurunan tingkat komplemen
membantu mengarahkan pada ruam.
Antibody fosfolipid dapat timbul tanpa SLE tetapi menandakan resiko keguguran.
Temuan pemeriksaan laboratorium :
1. Tes flulorensi untuk menentukan antinuclear antibody (ANA), positif dengan titer
tinggi pada 98% penderita SLE.
2. Pemeriksaan DMA double standed tinggi,spesifik untuk menentukan SLE
3. Bila titel antibobel strandar tinggi, spesifik untuk diagnose SLE
4. Tes sifilis bias positif palsu pada pemeriksaan SLE.
5. Pemeriksaan zat antifosfolipid antigen (seperti antikardolipin antibody) berhubungan
dengan menentukan adanya thrombosis pada pembuluh arteri, vena atau pada abortus
spontan, bayi meninggal dalam kandungan dan trombositopeni.
Pemeriksaan laboratorium ini diperiksa pada penderita SLE atau lupus meliputi darah
lengkap, laju sedimentasi darah, antibodyantinuklir (ANA), anti-AND, SLE, CRP, analyses
urin, komplemen 3 dan 4 pada pemeriksaan diagnosis yang dilakukan adalah biopsy.

15
H. Kompilkasi
1. Ginjal
Sebagaian besar penderita menunjukan adanya penimbunan protein didalam sel-sel tetapi
hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yang menetap) pada
akhirnya bias terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlu mengalami dialysis atau
pencangkokan ginjal.
2. Sistem saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Komplikasi yang paling sering
ditemukan adalah dispungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan bias terjadi pada
bagaiamanapun dari otak, korda spinalis, maupun sistem saraf. Kejang, pesikosa,
sindroma otak organic dan sekitar kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf yang
bias terjadi.
3. Penggumplan darah
Kelainan darah ditemukan pada 85% penderita lupus bisa terbentuk bekuan darah
didalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlah
thrombosis berkurang dan tubuh membentuk antibody yang melawan faktor pembekuan
darah yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti.
4. Kardiovaskuler

Perdangan berbagai bagian jantung seperti pericarditis, endocarditis maupun miokarditis.


Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat keadaan tersebut.
5. Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura (penimbunan
cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaan tersebut timbul nyeri dada
dan sesak napas.
6. Otot dan kerangka tubuh
Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan menderita
arthritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian pada jaringan tangan,
pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan pada tulang panggul dan bahu sering
merupakan penyebab dari nyeri didaerah tersebut.
7. Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu ditulang pipi dan pangkal hidung. Ruam
ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari.

16
I. Konsep dasar keperawatan

a. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal untuk memperoleh data pengkajian
yang akurat sesuai dengan keadaan klien (Suprajitno, 2012)
1) Identitas klien
2) Keluhan utama
Keluhan yang pasien rasakan disaat melakukan pengkajian
3) Riwayat penyakit dahulu dan Keluarga
Apakah keluarga pernah memiliki riwayat penyakit yang sama

4) Pengkajian fokus

a) Aktivitas/istirahat
 Merasa lemah
 Terbatas untuk bergerak
 Tegang pada mata dan sulit untuk membaca
 Susah tidur, nyeri kepala ketika bangun dipagi hari
 Nyeri kepala hebat ketika ada perubahan postur tubuh atau
aktivitas

b) Sirkulasi
 Terdapat riwayat hipertensi
 Terdapat Denyutan vaskuler
 Wajah tampak pucat atau kemerahan

c) Integritas ego
 Stress

d) Neurosensori
 Merasa pusing atau disorientasi ketika sakit kepala
 Riwyat kejang, cidera pada kepala, stroke
 Perubahan pada visual,sensitif terhadap cahaya atau suara bising
 Parastesia, kelemahan, paralysis satu sisi tempore
 Reflekstendon dalam menurun
 Papil edema

e) Nyeri/kenyamanan
 Karakter nyeri tergantung pada jenis sakit kepala
 Sulit untuk fokus
 Gelisah
 Tegang pada otot leher, frigiditas vokal
17
f) Respirasi
Adakah gangguan pernafasan
g) Keamanan
 alergi
 Hipertermi
 sakit kepala pada gangguan sinus

b. Diagnosa Keperawatan
 Diagnosa keperawatan adalah suatu pertanyaan yang mengambarkan respons
manusia (keadaan sehat atau pola interaksi atau potensial dari individu atau
kelompok) (Budiono, 2016). Diagnosa keperawatan pada pasien anak dengan SLE
menurut SDKI (2017) salah satunya adalah risiko infeksi.
 Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Tingkat Infeksi

c. intervensi
 tervensi keperawatan adalah pengembangan strategi desain untuk mencegah,
mengurangi dan mengatasi masalah-masalah yang telah diidentifikasi dalam diagnosis
keperawatan (Budiono, 2016) Intervensi utama:
Pencegahan Infeksi
a) Pemantauan tanda vital
b) Kaji tanda-tanda infeksi
c) Cuci tangan sebelum dan sesudah setiap melakukan kegiatan
perawatan pasien.
d) Ajarkan pasien dan keluarga tentang tanda dan gejala infeksi
e) Ajarkan pasien dan keluarga bagaimana menghindari infeksi.
f) Rawat luka (inspeksi kondisi luka)
g) Ajarkan pasien merawat luka

d. implementasi
e. Implementasi untuk masalah keperawatan risiko infeksi pada pasien anak dengan SLE
menurut SIKI (2018) sebagai berikut:
f. 1) Memantau tanda vital
g. 2) Mengkaji tanda-tanda infeksi: rubor, kalor, tumor, dolor, fungsiolaesa
h. 3) Mencuci tangan sebelum dan sesudah setiap melakukan kegiatan
i. perawatan pasien.
j. 4) Mengajarkan pasien dan keluarga tentang tanda dan gejala infeksi
k. 5) Mengajarkan pasien dan keluarga bagaimana menghindari infeksi
l. 6) Merawat luka (inspeksi kondisi luka)
m. 7) Mengajarkan pasien merawat luka

n. evaluasi
Evaluasi adalah akhir dari proses keperawatan untuk menemukan hasil tercapainya asuhan
keperawatan (Tarwoto dan Wartonah, 2015).

18
BAB III
Tinjauan kasus

DAFTAR PUSTAKA

Bulechek G.M., Howard B.K, Dochterman J.M. (2008). Nursing


Interventions Classifivation (NIC) fifth edition. St. Louis: Mosby
Elseiver.

Burn, Catherine E, et all. (2004). Pediatric Primary Care : A Handbook for


Nurse Practitioner. USA : Saunders

Herdman, T. Heather. (2012). NANDA International Nursing


Diagnoses: Definitions & Classification 2012-2014. UK: Wiley‐
Blacwell, A John Wiley & Sons Ltd

Kasjmir, Yoga dkk. (2011). Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi


Indonesia Untuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus
Sistemik. Perhimpunan Reumatologi Indonesia

King, Jennifer K; Hahn, Bevra H. (2007). Systemic lupus erythematosus:


modern strategies for management – a moving target. Best Practice
& Research Clinical Rheumatology Vol. 21, No. 6, pp. 971–987,
2007 doi:10.1016/j.berh.2007.09.002 available online at
http://www.sciencedirect.com

Malleson, Pete; Tekano, Jenny. (2007). Diagnosis And Management Of


Systemic Lupus Erythematosus In Children. Paediatrics And Child
Health 18:2. Published By Elsevier Ltd. Symposium: Bone &
Connective Tissue.

19
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, ML., Swansosn, E. (2008). Nursing
Outcomes Classification (NOC) Fourth edition. St. Louis: Mosby
Elseiver.

Sutarna, Agus, dkk. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong


(Wong’s Essentials of Pediatric Nursing). ED.6. Jakarta: EGC

Ward, Susan L and Hisley, Shelton M. (2009). Maternal-child nursing care:


optimizing outcomes for mothers, children, and Families. United
States of America : F.A. Davis Company

20
1

Anda mungkin juga menyukai