Anda di halaman 1dari 27

ASUHAN KEPERAWATAN PEDIATRIK PADA PENYAKIT SYSTEMIC

LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

Disusun untuk memenuhi tuntutan mata kuliah

Pediatric Nursing I

Anggota:

Anggryani Caroline

Michel, Aurora Gretchen

FAKULTAS KEPERAWATAN - UNIVERSITAS KLABAT

AIRMADIDI

2022
KATA PENGANTAR

Puji sykur atas rahmat Tuhan Yesus Kristus, karena berkat tuntunanNya dan kasih
karunia-Nya saja sehingga makalah dengan judul Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
dapat terselesaikan.

Adapun makalah ini diciptakan dengan tujuan untuk memenuhi tuntutan


akademis semester 5 dengan mata kuliah Pediatric Nursing. Disamping itu, makalah ini
juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca mengenai Systemic Lupus
Erythematosus (SLE).

Penulis juga berterimakasih kepada dosen kami yaitu Ma’am Nova Gerungan,
S.Kep, M. Kep selaku dosen Pediatric Nursing kami. Berkat tugas ini, kami sebagai
penulis juga mendapat wawasan baru mengenai Systemic Lupus Erytematosus. Penulis
juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah mau meluangkan waktu
dan tenaganya dalam proses penyusunan makalah ini.

Penulis mengetahui, bahwa makalah ini pasti masih banyak kekurangannya. Oleh
sebab itu, kami memohon maaf atas ketidaksempurnaan yang ditemukan pembaca saat
membaca makalah ini. Penulis juga dengan senang hati akan menerima kritik dan saran
positif dari para pembaca.

Minahasa Utara, 25 September 2022

Penulis
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................................................ 3

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................................ 4

A. Latar Belakang ............................................................................................................... 4


B. Rumusan Masalah .......................................................................................................... 5
C. Tujuan Pembuatan Makalah......................................................................................... 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................. 6

A. Definisi ............................................................................................................................. 6
B. Etiologi............................................................................................................................. 7
C. Manifestasi Klinis ........................................................................................................... 9
D. Komplikasi .................................................................................................................... 11
E. Patofisiologi ................................................................................................................... 12
F. Tes Diagnostik............................................................................................................... 13
G. Penatalaksanaan ........................................................................................................... 13
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN ....................................................................................... 19

BAB 4 PENUTUP ...................................................................................................................... 26

A. Kesimpulan ................................................................................................................... 26
B. Saran .............................................................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 27
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lupus eritematus sistemik (LES) merupakan suatu penyakit yang membutuhkan
perhatian khusus dikarenakan sulitnya dalam mendiagnosis dan seringnya terjadi
keterlambatan diagnosis penyakit LES.Hal tersebut dapat terjadi karena LES merupakan
penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya, dan memiliki sebaran
gambaran klinis yang luas dan tampilan perjalanan penyakit yang beragam.Gambaran
klinis yang luas tersebut sehingga penyakit LES juga dikenal dengan sebutan "penyakit
seribu wajah".

Lupus merupakan penyakit tidak menular (PTM) yang diketahui sebagai factor
peyebab utama terjadinya kematian pada tahun 2012 secara global, diperkirakan 56 juta
orang meninggal akibat PTM. Saat ini angka morbiditas terus meningkat, diantaranya
yaitu lupus.

Di Indonesia, jumlah penderita penyakit lupus secara tepat belum diketahui. Prevalensi
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di masyarakat berdasarkan surve yang dilakukan
oleh Prof. Handono Kalim, dkk di Malang memperlihatkan angka sebesar 0,5% terhadap
total populasi.

Penyakit LES sampai saat ini dikatakan belum jelas penyebabnya namun ada
beberapa faktor resiko yang dikatakan berperan penting pada pasien LES.Beberapa faktor
resiko tersebut antara laina adalah faktor genetik, faktor lingkungan seperti infeksi, stres,
makanan dan antibiotik serta faktor hormonal. Para penderita lupus memiliki sebutan
tersendiri yaitu odapus (orang dengan lupus) dan dikatakan dapat menimpa siapapun.
Sampai saat ini diketahui bahwa lupus paling banyak menyerang wanita usia produktif.
Meskipun demikian, kaum pria, kelompok anak dan remaja juga dapat terkena lupus.
Pada penelitian oleh Yayasan Lupus Indonesia dikatakan bahwa penderita LES di
Indonesia diestimasikan sejumlah 200-300 ribu orang dengan perbandingan 1,6:10,0
untuk laki-laki:perempuan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu penyakit SLE (Systemic lupus erythematosus)?
2. Apa penyebab dari penyakit SLE (Systemic lupus erythematosus)?
3. Apa saja tanda dan gejala dari penyakit SLE (Systemic lupus erythematosus)?
4. Apa saja komplikasi yang dapat dalam penyakit atau patofisiologi dari penyakit
SLE (Systemic lupus erythematosus)?
5. Bagaimana proses perjalanan penyakit atau patofisiologi dari penyakit SLE
(Systemic lupus erythematosus)?
6. Bagaimana penatalaksanaan yang dilakukan untuk penyakit SLE (Systemic
lupus erythematosus)?

C. Tujuan Pembuatan Makalah


1. Untuk mengetahui apa itu penyakit SLE (Systemic lupus erythematosus).
2. Untuk mengetahui penyebab dari penyakit SLE (Systemic lupus erythematosus).
3. Untuk mengetahui gejala klinis atau tanda dan gejalan dari penyakit SLE
(Systemic lupus erythematosus)
4. Untuk mengetahui apa saja komplikasi yang dapat timbul pada penyakit SLE
(Systemic lupus erythematosus).
5. Untuk mengetahui bagaimana proses [erjalanan penyakit atau patofisiologi dari
penyakit SLE (Systemic lupus erythematosus).
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan yang dilakukan untuk penyakit SLE
(Systemic lupus erythematosus).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Lupus eritematosus sistemik, biasa disebut SLE atau lupus, adalah salah satu
gangguan autoimun kronis yang paling umum, kompleks, dan serius. Proses inflamasi
SLE mempengaruhi beberapa sistem. Saat ini, tidak ada obat untuk SLE dan terapi khusus
harus ditujukan pada gejala, tingkat keparahan penyakit, dan respons anak. SLE dapat
diobati secara efektif dengan pendekatan multidisiplin yang mencakup terapi obat, terapi
nutrisi, dan aktivitas fisik. (Potts & Mandleco, 2012)

Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit inflamasi kronis, autoimun


yang tidak diketahui asalnya yang melibatkan banyak sistem organ. Meskipun terutama
didiagnosis pada masa dewasa, sekitar 15% hingga 20% kasus didiagnosis pada masa
kanak-kanak SLE mempengaruhi 15 juta orang di Amerika Serikat. Ini lebih umum di
antara orang Afrika-Amerika, penduduk asli Amerika, Hispanik, dan Asia daripada orang
kulit putih. Penyakit yang lebih parah dan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi
terlihat pada orang Afrika-Amerika dengan SLE (Mattingly, 2011), SLE 9 kali lebih
sering terjadi pada wanita daripada pria (Ferenkeh-Koroma, 2012). (Ball, Bindler,
Cowen, & Shaw, 2017)

Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun multisistem kronis


pada pembuluh darah dan jaringan ikat. Ini biasanya bermanifestasi antara usia 10 dan 19
tahun, dan onset sebelum usia 5 tahun tidak biasa. SLE pada anak cenderung lebih parah
saat onset dan memiliki perjalanan klinis yang lebih agresif dibandingkan penyakit
dengan onset dewasa. (Hockenberry & Wilson, 2015)
B. Etiologi
Etiologi pasti dari SLE tidak diketahui. Komponen genetik dicurigai karena penyakit
ini sering lebih sering terjadi pada anggota keluarga yang sama. Diyakini bahwa pada
mereka yang memiliki kecenderungan genetik, agen lingkungan luar menyebabkan tubuh
memulai respons sistem kekebalan yang abnormal terhadap jaringannya sendiri (Lupus
Foundation of America, 2014). (Ball, Bindler, Cowen, & Shaw, 2017)

Tampaknya hasil dari interaksi kompleks genetika dengan pemicu tak dikenal yang
menyebabkan penyakit aktif. Pemicu yang diduga antara lain paparan sinar ultraviolet,
estrogen, kehamilan, infeksi, dan obat-obatan. (Hockenberry & Wilson, 2015)

Meskipun SLE dapat berkembang pada semua usia, onset pada masa kanak-kanak
biasanya terjadi pada usia sekitar 12 tahun. Mirip dengan penyakit autoimun lainnya,
wanita terkena sepuluh kali lipat lebih sering daripada laki-laki; SLE delapan kali lebih
sering terjadi pada wanita Afrika-Amerika daripada pria. Hubungan genetik juga ada
dengan peningkatan insiden pada anak kembar. (Potts & Mandleco, 2012)

SLE tidak diketahui, tetapi faktor genetik, hormonal, lingkungan, dan imunologi
diyakini berinteraksi dan menyebabkan ekspresi penyakit. Studi menunjukkan ada
kecenderungan genetik untuk lupus. Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang
berperan dalam timbulnya penyakit SLE:
1. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga
timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk
menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar.
Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara
pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%.

2. Faktor imunologi
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting
Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus,
beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan
pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal
tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di
permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor
untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga
akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi
imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.
c. Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti
substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan
memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi
terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih
mudah mengendap di jaringan

3. Faktor hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi
menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang
tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang
abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.

4. Faktor lingkungan
a. Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam
timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus
(EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi
menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau
bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan
sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut
secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
c. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang
dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid, dan isoniazid

C. Manifestasi Klinis
Manifestasi SLE mungkin akut, dengan onset nefritis, artritis, atau vaskulitis, atau
dapat dicatat sebagai onset bertahap dengan gejala nonspesifik. Gejala tergantung pada
organ yang terlibat dan jumlah kerusakan jaringan yang terjadi dan termasuk demam,
kelelahan, malaise, dan penurunan berat badan. Manifestasi klinis lainnya termasuk ruam,
radang sendi, dan nefritis (Defendi, 2011; Mat tingly, 2011). Ruam kupu-kupu di wajah,
yang terdiri dari ruam merah muda atau merah di atas batang hidung memanjang ke pipi,
merupakan temuan yang khas. Anak-anak dengan SLE mungkin mengalami anemia,
leukopenia, dan throm bocytopenia (Mattingly, 2011). Penyakit ginjal, penyebab utama
morbiditas dan mortalitas pada anak-anak dengan SLE, terbukti pada diagnosis pada 50%
anak-anak ini dan pada 80% hingga 90% dalam rentang waktu tersebut.

tahun pertama diagnosis. Gangguan sistem saraf pusat dapat terjadi pada anak-anak
dengan SLE dan termasuk sakit kepala, gangguan mood, gangguan kejang, dan penyakit
serebrovaskular. Lupus eritematosus sistemik ditandai dengan periode remisi dan
eksaserbasi (flare). Flare dipicu oleh berbagai penyebab, termasuk paparan sinar
matahari, infeksi saluran pernapasan atas atau infeksi lainnya, dan stres. Anak atau
keluarga mungkin dapat mengidentifikasi pemicu flare lainnya, seperti peristiwa,
aktivitas, atau situasi tertentu. (Ball, Bindler, Cowen, & Shaw, 2017)
SYSTEM CLINICAL MANIFESTATIONS
Integument - Ruam kupu-kupu di wajah, yang terdiri darai ruam
merah muda atau merah diatas batang hidung yang
memanjang ke pipi (Ciri Khas).
- Fotosensitifitas
- Alopecia
- Ulkus mulut atau hidung
Hematologic - Kelelahan
- Demam
- Mudah memar
- Mimisan
Musculoskeletal - Nyeri sendi
- Sendi meradang bengkak
- Myalgia
- Kelemahan otot
Neurologi - Sakit kepala
- Neuropati perifer
- Psikosis
- Kejang
- Gangguan suasana hat
- Gangguan kognitf
- Stroke
Pulmonary - Dispnea
- Nyeri dada
- Hipertensi paru
- Emboli paru
Cardiac - Aritmia
- Sakit dada
- Friction rub
- Fenomena Raynaud (jari menjadi putih dan/biru pada
coki)
Renal - Hematuria
- Proteinuria
- Hipertensi
- Edema
Gastrointestinal - Nyeri abdomen (dapat menjalar sampai kebahu)
- Diare

D. Komplikasi
Terdapat beberapa komplikasi yang dapat dialami oleh pasien LES.Komplikasi

dapat disebabkan oleh penyakit LES itu sendiri maupun dari terapinya.Salah satu organ
yang seringkali mengalami koplikasi dari LES adalah organ hati. Komplikasi organ hati
pada pasien LES antara lain adalah Hepatitis Lupus, Penyakit hati autoimmune, Sirosis
Bilier Primer, dan Cholangitis Sclerosing Primer, Hepatitis akibat virus, steatohepatitis,
fatty liver dan kerusakan hati akibat obat.

Selain penyakit pada hati, terdapat pula gangguan sistemik yang merupakan
komplikasi dari LES. Komplikasi sistemik tersebut antara lain adalah Systemic
Vasculitides, Penyakit Antibody Antibasement Membrane, obat-obatan yang
menyebabkan vasculitis, Sindrom Antifosfolipid, Koagulopati, Trombositopenia dan
dalam kasus yang lebih jarang menyebabkan infeksi virus yang berat. (Schwarz, 2019)
E. Patofisiologi
F. Tes Diagnostik
Skrining awal untuk SLE meliputi tes berikut:

a. Pemeriksaan darah lengkap dan ESR → orang dengan SLE sering mengalami
anemia, leukopenia, dan trombositopenia yaitu penurunan sel darah merah, sl
darah putih, maupun trombosit. Oleh karena itu oemeriksaan darah lengkap
diperlukan untuk mendeteksi gejala dari SLE.
b. Pengeriksaan urine → pemeriksaan urine lengkap bertujuan mengetahui kelainan
seperti proteinuria, hematuria, pluria, dan kelainan sedimen yang dapat
menunjukan keterlibatan ginjal. Jika proteinuria positif maka perlu dlakukan
pemeriksaan tambahan yaitu perhitungan protein uria 24 jam secara kuantitatif
dan/atau rasio protein/ kreatinin urine. (Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik, Edisi Revisi, 2019)
c. Pengukuran protein
d. Pemeriksaan antinuclear antibody (ANA) → mengidentifikasi adanya antinuclear
antibody dalam darah. Kehadiran antibody antinuclear merupakan penanda proses
autoimun dan paling sering terlihat pada SLE.
e. Pemeriksaan laboratorium tambahan → menyingkirkan proses penyakit lain

G. Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan untuk SLE; manajemen tergantung pada manifestasi dan
tingkat keparahan penyakit. Manajemen medis disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan
masing-masing anak, berdasarkan keterlibatan sistem organ dan pada tingkat keparahan
peradangan pada saat evaluasi. Hasil terapi adalah untuk mengontrol eksaserbasi akut
penyakit dan manifestasi penyakit kronis yang sedang berlangsung untuk mengaktifkan
fungsi yang optimal, untuk mencegah jaringan parut di sistem organ, dan untuk mencegah
efek samping yang tidak dapat ditoleransi dari terapi. Kolaborasi antar profesi kesehatan
sangat diperlukan. Spesialis kehidupan anak di lingkungan rumah sakit dan berbagai
profesional kesehatan sekutu di pengaturan rawat jalan, termasuk pekerja sosial dan
psikolog, dapat membantu keluarga dan anak untuk mengatasi masalah (Misalnya,
masalah citra tubuh yang berkaitan dengan penyakit dan pengobatan) secara positif.
(Bowden & Greenberg, 2012)

Terdapat banyak pilihan yang tersedia untuk pengelolaan untuk penyakt SLE. Dalam
hal ini diperlukan Kerja sama antara anak-anak dan keluarga mereka dengan anggota tim
perawatan Kesehatan untuk mengambil peran aktif dalam mengelola penyakit dan dalam
meningkatkan Kesehatan serta kesejahteraan anak. Rencana perawatan biasanya
didasarkan pada usia anak, jenis kelamin, Kesehatan, gejala, dan gaya hidup. Pengobatan
ini ditargetkan untuk mencegah eksaserbasi, mengobati saat gejala muncul, dan
meminimalkan kerusakan pada organ serta terjadnya komplkasi. Pengobatan awal yang
sering ditargetkan adalah untuk mengobati gejala musculoskeletal seperti radang sendi,
dengan menggunkan NSAID yang dikombinasikan dengan obat antimalaria. Jika
gejalanya menetap atau mungkin memburuk maka steroid atau metotreksat dapat dipesan.
Obat lan yang dapat digunakan untuk mengobati gejala neuropsikiatri ini dapat termasuk
obat imunosupresif, antidepresan dan antiepilepsi. (Potts & Mandleco, 2012)

Program terapi fisik dapat dilaksanakan untuk membantu anak mengelola nyeri sendi,
menngkatkan ROM, dan mencegah cedera dan kontraktur. Dan perlu ditambahkan juga
waktu istirahat ke dalam rutintas sehari-hari anak, terutama selama periode eksaserbasi.
(Bowden & Greenberg, 2012)

1) Terapi Farmakologi
Keterlibatan sendi, khususnya, artralgia, biasanya dikendalikan dengan
NSAID dan obat antimalaria seperti hidroksiklorokuin. Aspirin tidak dianjurkan,
karena dosis besar yang dibutuhkan dapat menyebabkan toksisitas hati. Obat-
obatan harus diminum setiap hari untuk menjaga kecukupannya tingkat darah.
Terapi NSAID membutuhkan pemantauan yang cermat pada fungsi ginjal, karena
agen ini menurunkan aliran darah glomerulus dan dapat memicu gagal ginjal akut
pada anak dengan SLE. Peringatan: Ibuprofen telah dikaitkan dengan sindrom
meningitis aseptic drom di SLE; oleh karena itu, tidak boleh diberikan kepada
anak-anak dengan SLE (Nguyen, Gal, Tebusan, & Carolos, 2004).
Ruam pada SLE umumnya diobati dengan obat antimalaria. Steroid
topical juga dapat digunakan. Steroid topical digunakan jika terjadi lesi pada kulit,
tetap jika digunakan dalam jangka waktu yang Panjang dapat menipiskan kulit,
oleh karena itu pengaplkasiannya pada wajah harus singkat atau dengan obat
konsentrasi rendah. (Hockenberry & Wilson, 2015). Hydroxychloroquine
merupakan salah satu obat antimalaria, obat ini membawa risiko kerusakan retina,
oleh karena itu pemeriksaan mata harus dilakukan setiap 6 bulan pada pasien yang
menerima obat ini. Ruam dan lesi memerlukan pemantauan yang cermat untuk
tanda-tandanya infeksi. Selain itu, nilai jari kaki dan jari tangan untuk kompromi
vaskular. Dorong anak dan orang tua untuk menjaga ekstremitas hangat saat cuaca
dingin dengan menggunakan kaus kaki, sarung tangan, dan pakaian berlapis. Juga
instruksikan mereka untuk menghindari pakaian ketat.
Sejak tahun 1950-an, kortikosteroid telah menjadi terapi andalan untuk
penyakit SLE, obat ini merupakan agen antiinflamasi dan imunosupresi yang
efektif, tetapi sayangnya penggunaan steroid terhambat oleh karena beberapa efek
samping yang dapat ditimbulkannya, seperti keterlambatan pertumbuhan,
penurunan resistensi terhadap infeksi, osteoporosis, penambahan berat badan,
hipertensi, pengembangan fitur cushingoid dan katarak, serta resiko diabetes.
(Hockenberry & Wilson, 2015). Keterlibatan sistem organ utama pada SLE
biasanya memerlukan penggunaan kortikosteroid. Gejala seperti demam,
manifestasi kulit, pleuropericarditis, dan limfadenopati biasanya dapat diobati
secara efektif dengan prednisone dosis rendah atau hidroksiklorokuin. Prednison
oral dosis tinggi untuk jangka waktu 4 hingga 6 minggu dapat diindikasikan untuk
anak dengan sistem saraf pusat dan keterlibatan ginjal. Penggunaan jangka
panjang dosis tinggi prednison dihindari bila memungkinkan karena komplikasi
serius (misalnya, katarak, patah tulang, hipertensi, dan gangguan metabolisme)
yang mungkin terjadi. Tujuan terapi adalah untuk mengontrol aktivitas penyakit
dengan dosis prednison serendah mungkin. Untuk membantu dalam hal ini maka
agen steroid dapat digunakan seperti azathioprine, metotreksat, dan
hidroksiklorokuin dapat digunakan. Tanda pengenal medis atau gelang medicalert
harus digunakan oleh anak-anak yang menjalani terapi steroid untuk
memperingatkan tim Kesehatan untuk mempertimbangkan penggunaan steroid
dalam situasi darurat.

2) Nutrisi
Pada anak yang menerima terapi steroid maka perlu dipantau untuk penambahan
berat badan dan retensi cairan. Jika kterlibatan ginjal menjadi perhatian, diet
rendah natrium dan protein dapat dilakukan.

3) Diet
Tidak ada diet SLE yang spesifik, tetapi diet seimbang yang tidak melebihi
pengeluaran kalori sangat penting untuk mempertahankan berat badan yang sesuai
dengan terapi kortikosteroid. Diet rendah garam mungkin diperlukan jika pasien
menjadi nefrotik atau hipertensi. Diet rendah lemak diindikasikan pada anak-anak
dengan dislipidemia. Memaksimalkan massa tulang puncak pada SLE remaja
sangat penting, terutama karena SLE dan pengobatannya dengan glukokortikoid
meningkatkan risiko osteoporosis. Diet kaya kalsium dan vitamin D sangat
penting untuk mencegah osteoporosis. Jika diet kalsium tidak cukup, suplemen
kalsium dan vitamin D perlu direkomendasikan. Konsultasi dengan ahli diet
terdaftar akan membantu keluarga mengembangkan diet individual yang sesuai
dengan gaya hidup mereka.. Kortikosteroid- diinduksi berat badan, makanan
tinggi kalori dan garam harus dihindari. (Hockenberry & Wilson, 2015)

4) Olahraga dan Latihan


Terdapat berbagai manfaat dari program olahraga yang teratur seperti
pemeliharaan berat badan, kebugaran kardiovaskular, dan pencegahan
osteoporosis, yang semuanya membantu meminimalkan komplikasi SLE dan efek
samping kortikosteroid. Sayangnya banyak anak berhenti berpartisipasi dalam
olahraga setelah diagnosis. Anak-anak dengan SLE melaporkan lebih banyak
kelelahan dan memiliki kebugaran aerobik yang lebih rendah (Houghton, Tucker,
Potts, & Mckenzie, 2008). Dorong kelanjutan kegiatan olahraga dan rekreasi, jika
memungkinkan; jika tidak, cobalah untuk memodifikasi aktivitas atau mencari
alternatif untuk mendorong anak dan orang tua untuk melihat olahraga setiap hari
sebagai bagian penting dari rencana perawatan dan kelanjutan dari gaya hidup
normal anak. Istirahat tambahan diperlukan selama eksaserbasi penyakit tetapi
tidak sampai mengganggu pola tidur yang teratur.Latihan harus didorong. Cukup
banyak anak berpartisipasi di sekolah penuh waktu, kecuali selama periode
penyakit aktif berat. Kegagalan untuk menghadiri sekolah harus diwaspadai tim
kesehatan untuk kemungkinan masalah psikososial. Komunikasi dengan guru
sekolah diserahkan kepada kebijaksanaan keluarga, dengan keterlibatan tim klinis
jika diminta (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).

5) Paparan Sinar Matahari


Paparan sinar ultraviolet (UV) dapat menyebabkan eksaserbasi ruam lupus dan
juga gejala-gejala sistemik seperti nyeri sendi dan kelelahan. Ada laporan bahwa
pasien yang secara teratur menggunakan tabir surya (SPF 15 atau lebih) telah
secara signifikan lebih rendah keterlibatan ginjal, trombositopenia dan rawat inap,
dan membutuhkan treatment siklofosfamid yang menurun. Semua anak dengan
SLE harus disarankan untuk memakai tabir surya setiap hari untuk semua kulit
yang terbuka (termasuk telinga), tidak hanya pada hari-hari cerah karena awan
tidak menghilangkan paparan sinar UV (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
Ruam fotosensitif sering terjadi, dan bahaya paparan sinar ultraviolet A dan B
yang berlebihan (termasuk paparan lampu neon yang tidak tertutup) perlu
ditekankan. Ini bisa menjadi topik sensitif bagi remaja yang menyukai sinar
matahari dan atlet luar ruangan. Diskusikan penggunaan tabir surya (dengan SPF
[sun protection factor] 230), topi, dan pakaian pelindung. Kosmetik dan pelembab
pelembab yang mengandung tabir surya merupakan pilihan menarik bagi remaja
putri. Salah satu aturan yang berguna untuk dibagikan dengan remaja yang
mungkin dikelilingi oleh teman sebaya yang secara teratur mencari paparan sinar
matahari adalah aturan "slip, slop, slap": kenakan kemeja, kenakan tabir surya,
dan kenakan topi sebelum pergi. di bawah sinar matahari. Menjadwalkan kegiatan
di luar ruangan di pagi dan sore hari dapat mengurangi paparan tanpa membatasi
partisipasi dalam kegiatan rekreasi. Lakukan segala upaya untuk mendorong
anak-anak untuk berpartisipasi dalam kegiatan teman sebaya dan membuat
modifikasi pelindung sinar matahari senyaman mungkin. (Hockenberry &
Wilson, 2015)

6) Dukungan sosial
Dukungan sosial dari keluarga, teman, guru, konselor, pekerja sosial profesional
dan terapis dapat membantu anak dan keluarga melalui masa-masa sulit dan
mempromosikan adaptasi terhadap penyakit yang tidak akan hilang. Mekanisme
koping yang merusak perlu diidentifikasi dan diganti dengan perilaku yang
meningkatkan adaptasi dan hasil yang sehat. (Hockenberry & Wilson, 2015)
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

Data subyektif :

- Pasien mengeluh terdapat ruam-ruam merah pada wajah yang menyerupai

bentuk kupu-kupu.

- Pasien mengeluh rambut rontok.

- Pasien mengeluh lemas

- Pasien mengeluh bengkak dan nyeri pada sendi.

- Pasien mengeluh sendi merasa kaku pada pagi hari.

- Pasien mengeluh nyeri

Data obyektif :

- Terdapat ruam – ruam merah pada wajah yang menyerupai bentuk kupu-kupu.

- Nyeri tekan pada sendi.

- Rambut pasien terlihat rontok.

- Terdapat luka pada langit-langit mulut pasien.

- Pembengkakan pada sendi.

- Pemeriksaan darah menunjukkan adanya antibodi antinuclear


No. Kriteria Definisi
1. Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada
daerah malar dan cenderung tidak melibatkan lipat
nasolabial
2. Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan
folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut
atrofik
3. Fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal
terhadap sinar matahari
4. Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri
5. Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih
sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau
efusi.
6. Serositis
- Pleuritis Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction
rub yang didengar oleh dokter pemeriksa atau
terdapat bukti efusi pleura.
- Perikarditis Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial
friction rub atau terdapat bukti efusi perikardium.
7. Gangguan Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila
renal tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif, atau
Silinder seluler dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran
8. Gangguan Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
neurologi gangguan metabolik, atau
Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik
9. Gangguan Anemia hemolitik dengan retikulosis, atau
hematologik
Leukopenia <4000/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih, atau
Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih, atau
Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan
oleh obat-obatan
10. Gangguan Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan
imunologik titer yang abnormal, atau
Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen
nuklear Sm, atau
Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid
11. Antibodi Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan
antinuclear pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan
(ANA) positif setingkat pada setiap kurun waktu perjalan penyakit
tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan
dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.
Form NCP (Nursing Care Plans)

Pt. Name: Rizky Age: 7 tahun Room/Bed: Rg. Tulip, Bed 2 Medical Diagnosis: systemic
lupus erthematosus Physician’s Name: dr. Erwin Leonardo

Dat Planning
N e/ Nursing Goal* Interventions* Rationale* Implement Evaluat
o. Tim Diagnosis* ation ion
e
Nyeri kronis Setelah NIC: Administrasi
b.d gangguan dilakukan analgesic; Teknik
imunitas d.d : intervensi menenangkan;
keperawata kenyamanan
DS: n selama 8 lingkungkan, latihan
- pasien jam maka terapi: mobilitas 1. Akan menghilangkan rasa
mengeluh nyeri tingkat sendi sakit.
nyeri
DO: diharapkan 1. Berikan obat 2. Untuk meredakan nyeri dan
- Pasien menurun secara akurat menopang sendi yang
tampak dengan tertekan.
meringis kriteria dan tepat
- tampak hasil : waktu. 3. Untuk memfasilitasi
gelisah 1. Keluha 2. Gunakan pertumbuhan dan
- pasien n nyeri kompres hangat perkembangan dan
berposisi menur atau dingin dan meminimalkan kelelahan.
menghindari un posisikan
nyeri 2. Mering dengan tepat.
- pasien tidak is 3. Dorong
mampu menur partisipasi
menuntaskan un dalam aktivitas
aktivitas 3. Gelisa yang 4. Untuk meminimalkan
- h memaksimalka deformitas.
menur n kemampuan
un anak yang
memungkinkan
keterlibatannya 5. Untuk meminimalkan
dalam keluarga, deformitas
sekolah dan
kegiatan social
lainnya.
4. Dorong
partisipasi
dalam terapi
okupasi/ fisik
dan program
latihan di
rumah.
5. Pertahankan
kesejajaran
tubuh yang
adekuat.
B. Pendidikan Kesehatan

Keluarga dan pasien membutuhkan informasi terkini dan dapat dipahami sehingga
mereka dapat menjadi pembuat keputusan yang terinformasi dan berpartisipasi dalam
manajemen penyakit. Pasien dan keluarga penderita SLE memerlukan informasi yang
benar dan dukungan dari seluruh keluarga dan lingkungannya. Pasien memerlukan
informasi tentang aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan misalnya
dengan cara melindungi kulit dari sinar matahari dengan menggunakan tabir surya atau
pakaian yang melindungi kulit, serta melakukan latihan secara teratur. Pasien juga
memerlukan informasi tentang pengaturan diet agar tidak mengalami kelebihan berat
badan, osteoporosis, atau dislipidemia.

Pemberian edukasi kepada pasien merupakan hal yang tidak dapat terpisahkan
dari tatalaksana SLE. Seluruh pasien baik yang baru terdiagnosa ataupun yang baru
menjalani pengobatan harus mendapatkan edukasi dari tenaga Kesehatan. Pemberian
edukasi juga sebaiknya melibatkan keluarga pasien. Berikut adalah edukasi yang dapat
kita berikan kepada pasien:

1. menjelaskan mengenai SLE dan organ tubuh yang terlihat


2. perawat perlu mendidik anak maupun keluarga tentang pengobatan dan segera
melaporkan jika gejala sudah parah langsung kepada dokter.
3. pola hidup sehat
a. aktivitas fisik dan olahraga
b. nutrisi
c. istirahat
4. program rehabiltasi: untuk mempertahankan kestabilan sendi karena jika pasien
dengan SLE dalam kondisi immobilisasi selama lebih dari 2 minggu maka dapat
menurunkan massa otot hingga 30%
BAB 4
PENUTUP

A. Kesimpulan
Lupus eritematosus sistemik, biasa disebut SLE atau lupus, adalah salah satu
gangguan autoimun kronis yang paling umum, kompleks, dan serius. Proses inflamasi
SLE mempengaruhi beberapa sistem. Saat ini, tidak ada obat untuk SLE dan terapi khusus
harus ditujukan pada gejala, tingkat keparahan penyakit, dan respons anak. SLE dapat
diobati secara efektif dengan pendekatan multidisiplin yang mencakup terapi obat, terapi
nutrisi, dan aktivitas fisik. (Potts & Mandleco, 2012)

SLE tidak diketahui, tetapi faktor genetik, hormonal, lingkungan, dan imunologi
diyakini berinteraksi dan menyebabkan ekspresi penyakit. Studi menunjukkan ada
kecenderungan genetik untuk lupus. Tidak ada pengobatan untuk SLE; manajemen
tergantung pada manifestasi dan tingkat keparahan penyakit. Rencana perawatan
biasanya didasarkan pada usia anak, jenis kelamin, Kesehatan, gejala, dan gaya hidup.
Pengobatan ini ditargetkan untuk mencegah eksaserbasi, mengobati saat gejala muncul,
dan meminimalkan kerusakan pada organ serta terjadnya komplkasi.

Pasien memerlukan informasi tentang aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah


kekambuhan misalnya dengan cara melindungi kulit dari sinar matahari dengan
menggunakan tabir surya atau pakaian yang melindungi kulit, serta melakukan latihan
secara teratur. Pasien juga memerlukan informasi tentang pengaturan diet agar tidak
mengalami kelebihan berat badan, osteoporosis, atau dislipidemia.

B. Saran
Disarankan kepada seluruh masyarakat setelah menegetahui apa yang dimaksud
dengan penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dapat mengerti bahwa penyakit
ini cukup berbahaya dan mematikan. Sehingga dapat mengetahui apa yang harus
dilakukan apabila menemui orang dengan gejala yang telah dijabarkan.
DAFTAR PUSTAKA

Ball, J. W., Bindler, R. C., Cowen, K. J., & Shaw, M. R. (2017). Principles of Pediatric
Nursing Caring for Children Seventh Edition. United States of America:
Pearson Education.

Bowden, V. R., & Greenberg, C. S. (2012). Children and their families : the continuum
of care 2nd Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik, Edisi Revisi. (2019). jakarta:
Perhimpunan Reumatologi Indonesia.

Hockenberry, M. J., & Wilson, D. (2015). Wong’s nursing care of infants and children
10th edition. Canada: ELSEVIER: Mosby.

Houghton, K. M., Tucker, L. B., Potts, J. E., & Mckenzie, D. C. (2008). Fitness, fatigue,
disease activity, and quality of life in pediatric lupus. Arthrities & Rheumatism
59(4), 537-545.

Potts, N. L., & Mandleco, B. L. (2012). Pediatric Nursing: Caring for Children and
Their Families, Third Edition. USA: Cengage Learning.

Schwarz, M. (2019). A Deadly Complication of Systemic Lupus . The Journal of


Rheumatology.

Anda mungkin juga menyukai