Anda di halaman 1dari 12

TUGAS KELOMPOK BESAR 1

PENGKAJIAN PRIMER

Mata Mata Kuliah : Keperawatan Gawat Darurat

Kelompok :1

Nama & NIM :

Lontoh, Jessyca Cindy – 106012010003 Mario Malvino Sengkey-106012010119


-, Anggryani Caroline – 106012010113 Tege,Virginia Fereira-06012010101
-, Michel Aurora Gretchen – 106012010006 Maleke, Natalia Gabriela-106012010095
Ole, Minarty Kamila – 106012010021 Wendur, Cindra Patricia – 106012010056
Saroinsong, Marlin Theresia – 106012010022 Rumoroy, Vanny Trisandy – 10601191001
Roring, Ryu Rafael – 106012010065 Sendow, Kezia Syalom Christania –
Wokas, Gabby – 106012010005 106012010087
Turangan, Axel Revival – 106011910010 Piter, Suriati Gabrela – 106012010122

Semester : VI

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS KLABAT

JANUARI 2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
Tinjauan Pustaka.........................................................................................................................3
A. Pendahuluan...................................................................................................................3
B. A B C D E dalam gawat darurat........................................................................................3
1. Pengkajian Airway (jalan napas).................................................................................4
2. Pengkajian Breathing (pernapasan).............................................................................5
3. Pengkajian Circulation (sirkulasi)...............................................................................6
4. Pengkajian Disability (disabilitas)...............................................................................8
5. Pengkajian Exposure (paparan)...................................................................................8
6. Pemasangan Kateter (Folley Catheter)........................................................................9
7. Pemasangan NGT (Gastric Tube)..............................................................................10
8. Heart Monitor............................................................................................................10
Daftar Pustaka...........................................................................................................................13

ii
Tinjauan Pustaka

A. Pendahuluan

Pengkajian primer dapat dilakukan kepada seluruh pasien terlepas dari mekanisme
cedera yang dialami pasien maupun sifat dari penyakitnya. Saat berada di TKP, pastikan
kembali apabila TKP sudah dalam keadaan aman dan dapat dikendalikan, setelah itu
maka dapat langsung memulai pengkajian primer kepada pasien. Pengkajian primer
dilakukan untuk menentukan apakah pasien mengalami cedera atau penyakit tertentu,
mengidentifikasi serta segera menangani kondisi yang mengancam jiwa, menentukan
prioritas dalam melakukan pengkajian serta perawatan lebih lanjut. Tujuan utama dari
pengkajian primer adalah untuk sesegera mungkin mengidentifikasi dan menangani
kondisi yang dapat mengancam jiwa pada jalan napas, pernapasan, oksigenasi atau
sirkulasi. Setelah masalah utama teridentifikasi maka akan segera ditentukan prioritas
untuk pengkajian serta perawatan lebih lanjut (Mistovich & Karren, 2014).
Pengkajian primer merupakan pendekatan awal yang dilakukan pada saat keadaan
darurat medis, pada tahap ini merupakan tahap mengoptimalkan waktu dan pengenalan
awal adanya kerusakan. Penilaian ini menjadi standar dalam trauma, penerapan ini
dilakukan tujuannya adalah sebagai pendekatan awal sebagai pendeteksi dini dari kondisi
pasien serta pemberian intervensi yang tepat bagi kondisi yang tepat terhadap kondisi
yang mengancam nyawa (Olgers et al., 2017).

B. A B C D E dalam gawat darurat

Dalam melakukan pengkajian primer terdapat mnemonik berupa lima huruf pertama
yaitu (A-B-C-D-E) yang mewakili bagian pertama dalam melakukan resusitasi trauma: A
(Airway / jalan napas), B (Breathing / pernapasan), C (Circulation / sirkulasi), D
(Disability / disabilitas), dan E (Exposure / kontrol terhadap paparan dan lingkungan.
Lima langkah pertama ini mencakup penilaian pada segala jenis cedera yang dapat
berpotensi mengancam jiwa serta intervensi yang tepat untuk dilakukan. Kondisi yang
memiliki potensi mematikan contohnya seperti pneumotoraks, hemotoraks, tamponade
perikardial, flail chest, dan perdarahan juga dapat terdeteksi saat melakukan pengkajian
primer.

Menurut Hammond et al. (2013), setelah masalah utama teridentifikasi maka ada
beberapa intervensi yang harus segera dilakukan, antara lain:

3
1. Pengkajian Airway (jalan napas)
Sebelum mengkaji jalan napas kepada pasien yang mengalami trauma, perlu
dilakukan imobilisasi tulang belakang leher dengan melakukan stabilisasi awal
menggunakan pemasangan cervical collar (kerah leher). Pada saat melakukan
pengkajian kepada pasien maka perlu untuk dicatat apakah pasien dapat berbicara,
apabila pasien bisa berbicara maka ia memiliki jalan nafas yang paten. Jika pasien
memiliki jalan nafas yang tidak responsive makan diperlukan untuk membuka jalan
nafas pasien dengan memiringkan kepala, mengangkat dagu atau dengan dorongan
rahang yang dimodifikasi pada pasien trauma. Periksa juga apabila terdapat
penghalang pada jalan napas, seperti lidah (paling umum), darah, gigi lepas, atau
muntahan. Jika terdapat penghalang pada jalan napas maka harus segera dibersihkan
menggunakan Teknik jaw-thrust atau chin-lift untuk mempertahankan imobilisasi
tulang belakang leher dari pasien. Jika diperlukan, maka dapat juga dilakukan
pemasangan nasofaring atau orofaring. Tetapi perlu diingat Kembali bahwa
pemasangan jalan napas orofaringeal hanya dapat dilakukan pada pasien yang tidak
sadarkan diri, karena apabila dipasangkan kepada pasien yang sadar atau setengah
sadar maka akan merangsang refleks muntah (Tscheschlog & Jauch, 2015).

Gambar 1 Menilai jalan napas. Untuk membuka jalan napas, gunakan manuver jaw-
thrust untuk pasien trauma. Gunakan maneuver head-tilt, chin-lift untuk pasien medis.

Apabila pasien tidak berbicara ataupun tidak responsive maka asumsikan bahwa
jalan napas pasien tertutup ataupun mungkin tertutup. Oleh karena itu maka perlu
sesegera mungkin untuk membuka jalan napas.

4
Menurut Mistovich dan Karren (2014), ada beberapa teknik yang dapat digunakan
untuk membuka jalan napas, yaitu:

- Maneuver jalan napas manual, Teknik ini dilakukan untuk mencegah lidah
maupun epiglottis untuk menghalangi jalan napas. Beberapa jenis manuver seperti
memiringkan kepala, mengangkat dagu, atau maneuver mendorong rahang.
Manuver head-tilt dan chin-lift digunakan pada pasien medis yang tidak dicurigai
adanya cedera tulang belakang.
- Suction, untuk menghilangkan darah, muntahan, makanan, sekresi, atau benda
asing
- Jalan napas orofaringeal atau jalan napas nasofaring, jalan napas tambahan untuk
mempertahankan jalan napas paten
- Maneuver Heimlich (dorongan manual ke perut), menghilangkan sumbatan jalan
napas oleh benda asing yang tidak dapat hilang oleh salah satu dari Teknik yang
sudah ada
- Memposisikan pasien secara lateral, memungkinkan sekresi, darah, ataupun
muntahan mengalir keluar dari mulut alih-alih ke jalan napas.

Kegagalan oksigenasi dapat didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk


mempertahankan saturasi oksigen lebih besar dari 90% meskipun sudah optimal
suplementasi oksigen (pengecualian adalah pasien dengan gagal paru obstruktif
kronis, yang biasanya mempertahankan saturasi 85% sampai 90%). Kegagalan
ventilasi adalah biasanya diukur dengan gambaran klinis, termasuk pernapasan
tingkat, kedalaman atau kerja pernapasan yang tidak normal, pola pernapasan yang
tidak normal, penggunaan otot aksesori, ketidakmampuan untuk berbicara dalam
kalimat lengkap, adanya suara saluran napas yang abnormal (stridor atau mengi
parah), atau perubahan status mental (Adams et al., 2013).

2. Pengkajian Breathing (pernapasan)


Dalam kasus henti napas, pasien diklasifikasikan dan pasien dengan masalah
pernapasan dirawat. serangan jantung dini atau serangan jantung dapat dimulai
dengan CPR dan kemudian menstabilkan tulang belakang leher, menerapkan AED,
melepas pakaian yang terbakar, memeriksa cedera, menggunakan kateter IV
berdiameter besar untuk pemberian cairan secara cepat. Pertimbangkan intubasi dini
untuk luka bakar saluran napas. Gunakan BLS dan ACLS standar (Derr et al., 2014).

5
Gambar 2 Menilai pernapasan dengan melihat, mendengarkan, dan merasakan.

3. Pengkajian Circulation (sirkulasi)


Setelah selesai menentukan pasien memiliki pernapasan yang adekuat, maka
Tindakan selanjutnya adalah dengan mengkaji status oksigenasi atau sirkulasinya.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mencari tanda-tanda apakah adanya hipoksia,
hipoksemia, perfusi yang buruk, gagal jantung, serta gangguan pernapasan. Apabila
pasien mengeluh sesak napas, maka perlu untuk memeriksa kadar oksigennya
menggunakan oksimeter, penggunaan oksimeter ini seharusnya digunakan saat awal
pengkajian untuk menentukan status oksigenasi dari pasien. Dapat juga menggunakan
masker non rebreather pada 15 lpm untuk memberikan konsentrasi oksigen yang
besar kepada setiap pasien.

Menurut Mistovich dan Karren (2014), pengkajian untuk sirkulasi meliputi


beberapa pemeriksaan seperti berikut:

- Detak
- Warna kulit, suhu, dan kondisi
- Menilai kemungkinan besar pendarahan
- Menilai isi ulang kapiler

6
Gambar 3 Menilai sirkulasi/oksigenasi dengan mengkaji pulse

Dibutuhkan juga penilaian perfusi pasien (merupakan pasokan oksigen yang


cukup ke sel-sel tubuh yang diperoleh dari sirkulasi darah yang lancar melalui
kapiler), hal ini dapat dinilai dengan mengkaji warna kulit, suhu serta kondisi kulit.
Indikator yang lebih andal bagi bayi dan anak adalah dengan isi ulang kapiler
(Mistovich & Karren, 2014).

- Warna kulit, Kulit biasanya digambarkan berwarna merah muda, meskipun


sebenarnya tidak demikian Kulit biasanya digambarkan berwarna merah muda,
meskipun sebenarnya tidak demikian memiliki nada merah muda. Pada semua
pasien termasuk pasien kulit hitam, warna dapat diamati pada selaput lendir mulut
(termasuk bibir), selaput lendir, lapisan kelopak mata, di bawah lidah dan di
pangkal kuku. Bantalan kuku adalah yang paling sedikit dianjurkan untuk
memeriksa warna karena suhu dingin, beberapa penyakit kronis, merokok dan
penyakit lainnya dapat mengurangi atau membatasi aliran darah ke tangan karena
kulit memainkan peran penting dalam mengatur suhu tubuh, penting untuk
menyadari pengaruh lingkungan.melawan kulit. Anda sedang menunggu pasien
dalam suhu dingin dengan kulit yang lebih sejuk dan tampak lebih cerah. Di
lingkungan yang panas, pasien biasanya memerah (merah), kulitnya hangat.
Dengan pengecualian ini, warna kulit yang tercantum di bawah ini dianggap tidak
normal.

7
- Suhu kulit, Suhu kulit paling baik dinilai dengan melepas sarung tangan dan
letakkan punggung tangan anda atau jari Anda di perut, wajah, atau leher pasien.
Kulit biasanya hangat saat disentuh tetapi bisa merata panas atau dingin:
Kulit panas: dapat disebabkan oleh lingkungan yang panas atau suhu inti tubuh
yang sangat tinggi.
Kulit dingin: dapat diakibatkan karena penurunan perfusi seperti pada seseorang
yang syok, serta paparan suhu dingin, ketakutan, dan kecemasan, overdosis obat,
dan lainnya.
- Kondisi kulit, kondisi kulit dapat mengacu pada jumlah kelembaban yang
dikandungnya yang dapat ditemukan di permukaan kulit. Hal ini dapat diperiksa
saat ingin meraba untuk mengukur suhu. Kulit biasanya didapati kering Adapun
yang basah:
Kuli kering: artinya pasien mengalami dehidrasi atau terpapar panas yang ekstrim
ataupun kondisi darurat medis lainnya.
Kulit lembab/basah: bisa menunjukan keringat saat beraktivitas di lingkungan
yang panas, olahraga, ataupun demam. Kulit basah dapat dikaitkan dengan
serangan jantung, hipoglikemia, syok (hiperfusi), ataupun ada beberapa kondisi
lainnya.

4. Pengkajian Disability (disabilitas)


Pengkajian pada tahap ini merupakan pengkajian untuk menilai fungsi neurologis
dari pasien dengan menggunakan Skala Koma Glasgow yang digunakan untuk
menilai status awal dari pasien. Perlu untuk memperhatikan juga untuk bagian tulang
belakang leher, pada bagian tersebut perlu dipertahankan imobilisasinya sampai
penilaian menggunakan sinar-X dilakukan, Tindakan ini dilakukan untuk memastikan
bahwa tidak adanya cedera servikal. Apabila pasien tidak berorientasi makan dapat
dilakukan penilaian lebih lanjut selama pengkajian sekunder (Tscheschlog & Jauch,
2015)

5. Pengkajian Exposure (paparan)


Pakaian dapat menutupi luka yang terlihat jelas; oleh karena itu lepaskan semua
pakaian dari pasien sebagai bagian dari penilaian utama. Sebagai bagian dari proses
ini, tim trauma harus hati-hati menilai tubuh yang terbuka untuk kelainan yang

8
mungkin memerlukan intervensi segera, seperti luka terbuka atau patah tulang,
pendarahan yang tidak terkendali, atau pengeluaran isi. Kontrol lingkungan
dimaksudkan untuk mengingatkan tim trauma akan pentingnya menjaga pasien tetap
hangat.

Menurut Hammond et al. (2013), banyak faktor yang meningkatkan risiko


pasien untuk terkena hipotermia selama resusitasi trauma, antara lain:

- Suhu ruangan resusitasi (lebih rendah dari suhu tubuh)


- Infus cairan atau produk darah dalam jumlah besar yang berada dibawah suhu
tubuh
- Peningkatan kadar alkohol dalam darah (mengakibatkan vasodilatasi
- Gangguan thermogenesis sekunder akibat syok dan cedera otak
- Usia (kepada pasien anak dan lansia mengalami penurunan kemampuan untuk
mengatur suhu tubuh)
- Kelembaban tubuh akibat kondisi lingkungan dan pendarahan
- Penggunaan anestesi dan paralitik untuk melakukan intubasi (menurunkan
produksi panas internal)
- Cedera pada panggul, ekstremitas, perut dan pembuluh darah besar (yang
membawa risiko kehilangan panas lebih besar) jika suhu inti tubuh pasien trauma
menurun di bawah 95°F (35°C) selama resusitasi, pasien mengalami peningkatan
risiko terjadinya hipoksia jaringan dan serebral, asidosis, peningkatan diuresis
dengan eksaserbasi hipovolemia, infeksi akibat penekanan sistem imun serta
koagulopati, termasuk koagulasi intravaskular diseminata.

6. Pemasangan Kateter (Folley Catheter)


Seseorang yang mengalami trauma dan juga mengalami tingkat penurunan
kesadaran perlu diberikan kontrol asupan cairan dengan melalui pemasangan kateter.
Sebelum melakukan pemasangan kateter ada tanda-tanda yang harus di perhatikan
pada uretra sebagai kontra indikasi:

- Keluarnya darah dari (Orifisium Uretra External) pada wanita maupun pria
- (Skrotum) pada laki-laki dan (Perineum) yang mengalami hematoma
- Pada pria terdapat prostat atau high riding prostat yang bergesernya prostat ke
suprior pada saat melakukan pemeriksaan (color dubur).

9
Keluarnya urin merupakan indikator sensitif dari status volume cairan pasien dan
mencerminkan perfusi ginjal. Untuk memantau output cairan paling baik dilakukan
dengan pemasangan catheter. Selain itu, spesimen urin harus diserahkan untuk
dilakukan analisis laboratorium secara rutin. Pemasangan catheter di
kontraindikasikan untuk pasien yang mengalami cedera uretra. Cedera uretra di duga
dengan adanya darah di meatus uretra atau ekimosis perineum. Oleh karena itu,
jangan lakukan pemasangan catheter sebelum dilakukan pemeriksaan perineum dan
genitalia. Jika dicurigai adanya cedera uretra, pastikan integritas uretra dengan
melakukan retrograde urethrogram sebelum pemasangan catheter (Himpunan
Perawat Gawat Darurat dan Bencana Indonesia, 2020).

7. Pemasangan NGT (Gastric Tube)


Tabung lambung dirancang untuk mengurangi distensi lambung, mengurangi
risiko aspirasi dan mengontrol perdarahan saluran cerna bagian atas akibat trauma.
Dekompresi lambung mengurangi risiko aspirasi, tetapi tidak sepenuhnya
mencegahnya. Isi perut yang kental dan setengah padat tidak akan mengalir kembali
melalui selang dan tekanan pada selang dapat menyebabkan muntah. Selang hanya
efektif jika ditempatkan dengan benar dan dipasang ke alat penghisap yang sesuai.

Darah di perut selama aspirasi dapat mengindikasikan darah orofaringeal


(yaitu, darah yang tertelan), lingkungan yang traumatis, atau cedera gastrointestinal
bagian atas yang sebenarnya. Jika herniated disc diketahui atau diduga, masukkan
selang nasogastrik secara oral untuk mencegah akses intrakranial. Dalam situasi ini,
instrumen nasofaring apa pun berpotensi berbahaya dan pemberian oral dianjurkan
(American College of Surgeons, 2018).

8. Heart Monitor
Pemantauan pada Jantung dapat menggunakan Elektrokardiografi (EKG).
Pemantauan elektrokardiografi (EKG) dari semua pasien trauma sangat penting.
Aritmia — termasuk takikardia yang tidak dapat dijelaskan, fibrilasi atrium, kontraksi
ventrikel prematur, dan perubahan segmen ST — dapat mengindikasikan cedera
jantung tumpul. Pulseless electrical activity (PEA) dapat mengindikasikan tamponade
jantung, tension pneumotoraks, dan/atau hipovolemia berat. Hipoksia dan hipoperfusi

10
harus segera dipertimbangkan jika terjadi bradikardia, konduksi abnormal, dan detak
jantung prematur. Hipotermia ekstrim juga menyebabkan disritmia (American
College of Surgeons, 2018).

Kesimpulan

Kejadian gawat darurat bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Hal ini membuat
kejadian gawat darurat sangat tidak bisa diprediksi kapan akan terjadinya. Oleh karena itu,
alangkah baiknya jika kita sudah mengantisipasi segala situasi dengan selalu waspada dan
tentunya sudah mengantisipasi upaya apa yang akan dilakukan saat hal tersebut terjadi
dengan membuat mekanisme pertolongan kepada korban. Primary survey adalah salah satu
cara mengantisipasi saat kemalangan terjadi.

Pemeriksaan primer ini terdiri dari A, B, C, D, dan E adapun A adalah airway atau jalan
napas, B adalah Breathing atau pernapasan, C adalah circulation, D adalah disability atau
kemampuan dan E adalah exposure atau control terhadap paparan dan lingkungan. Lima hal
ini mencakup penilaian dari semua jenis cedera yang berbahaya dan mengancam nyawa.
Semua prosedur pada pemeriksaan primer yang terdiri dari A, B, C, D, dan E harus dilakukan
dengan cepat dan tepat. Maka diperlukan kekritisan dalam berpikir dan kecekatan serta
ketangkasan pada orang yang akan melakukan prosedur-prosedur tersebut agar dapat
menyelamatkan nyawa korban. Tujuan utama dari pengkajian primer ini adalah sebagai tahap
awal untuk mendeteksi dini kondisi pasien serta memberikan intervensi awal yang tepat.

11
Daftar Pustaka

Adams, E. D., Collings, J., Deblieux, P. M., Gisondi, M. A., & Nadel, E. S. (2013).
Emergency Medicine: Clinical essentials (2nd ed.). Elsevier Saunders.
American College of Surgeons. (2018). Advanced Trauma Life Support (10th ed.). American
College of Surgeons.
Derr, P., McEvoy, M., & Tardiff, J. (2014). Emergency & critical care pocket guide: ACLS
version (8th ed.). Jones & Bartlett Learning.
Emergency Nurses Association. (2013). Sheehy’s manual of Emergency nursing: Principles
and practice (7th ed.). Elsevier.
Himpunan Perawat Gawat Darurat dan Bencana Indonesia. (2020). Basic Trauma Cardiac
Life Support (BTCLS) (1st ed.). Badan Pendidikan dan Pelatihan Dewan Pengurus Pusat
HIPGABI.
Mistovich, J. J., & Karren, K. J. (2014). Prehospital emergency care (10th ed.). Pearson
Education.
Olgers, T., Dijkstra, S., Klerck, D., & Maaten, J. (2017). The ABCDE primary assessment in
the emergency department in medically ill patients: An observational pilot study.
Netherlands Journal of Medicine, 75(3), 106–111.
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28469050/
Tscheschlog, B. A., & Jauch, A. (2015). Emergency nursing made incredibly easy! (2nd ed.).
Wolters Kluwer Health.

12

Anda mungkin juga menyukai