Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Unit Gawat Darurat menurut Australian College For Emergency
Medical (ACEM) adalah unit inti dalam rumah sakit yang menangani
keadaan pasien di isntalasi gawat darurat, pelayanan di IGD akan
mempengaruhi kepuasan pasien secara signifikan dan mempengaruhi
citra rumah sakit. Fungsi instalasi gawat darurat adalah untuk
menerima pasien, triase, menstabilkan dan menyediakan majnajemen
darurat untuk pasien dengan keadaan kritis, mendesak (ACEM, 2014).
Instalasi gawat darurat merupakan salah satu bagian dirumah sakit
yang menyediakan penanganan pertama pada keadaan gawat darurat
karena sakit atau cedera yang dapat mengancam keselamatan nyawa
dan mencegah cedera lebih lanjut, pelayanan di instalasi gawat darurat
harus memberikan pelayanan 24 jam perhari (UU No 36,2009).
Keadaan gawat darurat adalah sebuah kondisi klinik yang
memerlukan pelayanan medic. Dalam keadaan darurat fasilitas
pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta, wajib
memberikan pelayanan kesehatan untuk menyelamatkan nyawa pasien
serta mencegah kecacatan lebih lanjut dilarang menolak pasien atau
menerima uang muka (UU No 44, 2009).
Pelayanan yang dilakukan di IGD antara lain melakukan triase,
melakukan pengkajian primer dan sekunder secara terfokus, sistematis,
akurat. Pengkajian primer untuk melihat keadaan Airway, breathing,
circulation, disability, exposure. Pengkajian sekunder merupakan
pengkajian head to toe yang dilakukan cera komprehensif sesuai
dengan keluhan utama pasien. Apabila pelayanan mengalami
keterlambatan maka akan berefek pada kondisi pasien (standar
pelayanan IGD 2011).
Traise adalah pengelompokan pasien berdasarkan berat cideranya
yang harus di prioritaskan ada tidaknya gangguan Airway, breathing,
circulation, disability, exposure sesuai dengan sarana, sumberdaya
manusia dan apa yang terjadi pada pasien (Siswo,2015). Sistem triase
yang sering digunakan dan mudah mengaplikasikannya asalah
menggunakan START (Simple triage and rapid treatment) yang
pemilahannya menggunakan warna.(Ramsi,IF.dkk, 2014).
Pada kegawatdaruratan fraktur terbuka dan tertutup dapat ditangani
dengan pertolongan pertama yaitu pembidaian dan pembalutan.
Pembidaian adalah memasang alat untuk imobilisasi dengan
mempertahankan kedudukan tulang yang patah (Krisanty,2009).
Pembalutan luka merupakan tindakan keperawatan untuk melindungi
luka dengan drainase tertutup, kontaminasi mikroorganisme yang
dapat dilakukan dengan menggunakan kasa steril yang tidak melekat
pada jaringan luka (BEM IKM FKUI,2014).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud dengan survey primer dan sekunder?
2. Apa saja yang termasuk kedalam survey primer?
3. Sebutkan apa saja prinsip triage?
4. Sebutkan klasifikasi dari triage?
5. Bagaimana proses dari trige?
6. Bagaimana dokumentasi dari triage?
7. Apakah yang dimaksud dengan pembidaian?
8. Bagaimana prosedur dari pembidaian?
9. Bagaimana SOP dari pembalutan dan pembidaian?

1.3 Tujuan
1. Mampu memahami apa dimaksud dengan survey primer dan
sekunder.
2. Mampu mengetahui apa saja yang termasuk kedalam survey
primer.
3. Mampu mengetahui apa saja prinsip dari triage.
4. Mampu menyebutkan klasifikasi dari triage.
5. Mampu memahami bagaimana proses dari trige.
6. Mampu memahami Bagaimana dokumentasi dari triage.
7. Mampu memahami apa yang dimaksud dengan pembidaian.
8. Mampu mengetahui bagaimana prosedur dari pembidaian.
9. Mampu memahami SOP dari pembalutan dan pembidaian.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengkajian Primer dan Sekunder

A. Survey Primer (Primary Survey)

penilaian awal pasien trauma terdiri atas survei primer dan survei
sekunder. Pendekatan ini ditujukan untuk mdan menyediakan metode
perawatan individu yang mengalami multipel trauma secara konsisten dan
menjaga tim agar tetap terfokus pada prioritas perawatan. Masalah-
masalah yang mengancam nyawa terkait jalan napas, pernapasan,
sirkulasi, dan status kesadaran pasien diidentifikasi, dievaluasi, serta
dilakukan tindakan dalam hitungan menit sejak datang di unit gawat
darurat. kemungkinan kondisi mengancam nyawa seperti pneumotoraks,
hemotoraks, flail chest, dan pendarahan dapat diditeksi melalui survei
primer. Ketika kondisi yang mengancam nyawa telah diketahui, maka
dapat segera dilakukan intervensi yang sesuai dengan masalah/kondisi
pasien.

Pada survei primer terdapat proses penilaian, intervensi, dan


evaluasi yang berkelanjutan. Komponen survei primer adalah sebagai
berikut. A : Airway (jalan napas), B : Breathing (pernapasan), C :
Circulation (sirkulasi), D : Disability (defisit neurologis), E : Exposure
and environmental control (pemaparan dan kontrol lingkungan).

1. A: Airway (Jalan Napas)

Penilaian jalan napas merupakan langkah pertama pada


penanganan pasien trauma. Penilaian jalan napas dilakukan bersamaan
dengan menstabilkan leher. Tahan kepala dan leher pada posisi netral
dengan tetap mempertahankan leher dengan menggunakan servical collar
dan meletakkan pasien pada long spine board.
Dengarkan suara spontan yang menandakan pergerakan udara
melalui pita suara. Jika tidak ada suara, buka jalan napas pasien
menggunakan ____ lift atau manuver modified jaw-tbrust. Periksa
orofaring, jalan napas mungkin terhalang sebagaian atau sepenuhnya oleh
cairan (darah, saliva, muntahan) atau serpihan kecil seperti gigi, makanan,
atau benda asing. Intervensi sesuai dengan kebutuhan (suctioning,
reposisi) dan kemudian evaluasi kepatenan jalan napas.

Alat-alat untuk mempertahankan jalan napas seperti nasofaring,


orofaring, LMA, pipa trakea, Combitube, atau cricothyrotomy mungkin
dibutuhkan dan mempertahankan kepatenan jalan napas.

Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien


antara lain :
 Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara
atau bernafas dengan bebas?
 Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
 Adanya snoring atau gurgling
 Stridor atau suara napas tidak normal
 Agitasi (hipoksia)
 Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
 Sianosis
 Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas
dan potensial penyebab obstruksi :
 Muntahan
 Perdarahan
 Gigi lepas atau hilang
 Gigi palsu
 Trauma wajah
 Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien
terbuka.
 Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien
yang berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
 Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien
sesuai indikasi :
 Chin lift/jaw thrust
 Lakukan suction (jika tersedia)
 Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask
Airway
 Lakukan intubasi

2. B: Breathing (Pernapasan)

Munculnya masalah pernapasan pada pasien trauma terjadi karena


kegagalan pertukaran udara, perfusi, atau sebagai akibat dari kondisi serius
pada status neurologis pasien. Untuk menilai pernapasan, perhatikan
proses respirasi spontan dan catat kecepatan, kedalaman, serta usaha
melakukannya. Periksa dada untuk mengetahui penggunaan otot bantu
pernapasan dan gerakan naik turunnya dinding dada secara simetris saat
respirasi.

Selain itu, periksa juga toraks. Pada kasus cedera tertentu misalnya
luka terbuka, flait chest dapat dilihat dengan mudah. Lakukan auskultasi
suara pernapasan bila didapatkan adanya kondisi serius dari pasien. Selalu
diasumsikan bahwa pasien yang tidak tenang atau tidak dapat bekerja
sama berada dalam kondisi hipoksia sampai terbukti sebaliknya.

Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien


antara lain :
 Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan
oksigenasi pasien.
 Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-
tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest,
sucking chest wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
 Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga,
subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis
haemothorax dan pneumotoraks.
 Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
 Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika
perlu.
 Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut
mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
 Penilaian kembali status mental pasien.
 Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
 Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau
oksigenasi:
 Pemberian terapi oksigen
 Bag-Valve Masker
 Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan
yang benar), jika diindikasikan
 Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway
procedures
 Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan
berikan terapi sesuai kebutuhan.

3. C: Circulation (Sirkulasi)

Penilaian primer mengenai status sirkulasi pasien trauma


mencakup evaluasi adanya pendarahan, denyut nadi, dan perfusi.

1. Pendarahan
Lihat tanda-tanda kehilangan darah eksternal yang masif dan tekan
langsung daerah tersebut. jika memungkinkan, naikkan daerah yang
mengalami pendarahan sampai di atas ketinggian jantung. Kehilangan
darah dalam jumlah besar dapat terjadi di dalam tubuh.
2. Denyut nadi
Denyut nadi diraba untuk mengetahui ada tidaknya nadi, kualitas,
laju dan ritme. Denyut nadi mungkin tidak dapat dilihat secara
langsung sesudah terjadi trauma, hipotermia, hipovolemia, dan
vasokonstriksi pembuluh darah yang disebabkan respons sistem saraf
simpatik yang sangat intens. Raba denyut nadi karotid, radialis, dan
femolar. Sirkulasi dievaluasi memalui auskultasi apikal. Cari suara
degupan jantung yang menandakan adanya penyumbatan perikardial.
Mulai dari tindakan pertolongan dasar sampai dengan lanjut untuk
pasien yang tidak teraba denyut nadinya. Pasien yang mengalami
trauma cardiopulmonary memiliki prognosis yang jelek, terutama
setelah terjadi trauma tumpul. Pada populasi pasien trauma, selalu
pertimbangkan tekanan pneumotoraks dan adanya sumbatan pada
jantung sebagai penyebab hilangnya denyut nadi. Kondisi ini dapat
kembali normal apabila dilakukan needle thoracentesis dan
pericardiocentesis.
3. Perfusi kulit
Beberapa tanda yang tidak spesifik yaitu akaral dingin, kulit basah,
pucat, sianosis, atau bintik-bintik mungkin menandakan keadaan syok
hipovolemik. Cek warna, suhu kulit, adanya keringat, dan capillary
refill. Waktu capillary refill adalah ukuran perfusi yang cocok pada
anak-anak, tapi kegunaannya berkurang seiring dengan usia pasien dan
menurunnya kondisi kesehatan. Namun demikian, semua tanda-tanda
syok tersebut belum tentu akurat dan tergantung pada pengkajian.
Selain kulit, tanda-tanda hipoperfusi juga tampak pada organ lain,
misalnya oliguria, perubahan tingkat kesadaran, takikardi, dan
disritmia. selain itu. perlu perhatikan juga adanya penggelembungan
atau pengempisan pembuluh darah di leher yang tidak normal.
megembalikan volume sirkulasi darah merupakan tindakan yang
penting untuk dilakukan dengan segera. Pasang IV line dua jalur dan
infusi dengan cairan hangat. gunakan blood set dan bukan infuse set
karena blood set mempunyai

4. Pendarahan kelas 4 (kehilangan darah > 40%).


Gejala klinis jelas yaitu takikardi, penurunan tekanan darah sistolik
yang besar dan tekanan nadi yang sempit (tekanan diastolic tidak
teraba), produksi urine hamper tidak ada, kesadaran jelas menurun,
kulit dingin, dan pucat. Tranfusi sering kali harus diberikan
secepatnya. Bila kehilangan darah lebih dari 50% volume darah, maka
akan menyebabkan penurunan tingkat kesadaran, kehilangan denyut
nadi dan tekanan darah.

Penggunaan klarifikasi ini diperlukan untuk mendeteksi junlah


cairan kristaloid yang harus diberikan. Berdasarkan hokum 3 for 1 rule
artinya jika terjadi perdarahan sekitar 1.000 ml, maka perlu diberikan
cairan kristaloid 3 x 1.000 ml yaitu 3,000 ml cairan kristaloid.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian cairan


IV secara agresif pada pasien trauma dapat memperburuk kondisi
perdarahan pasien. Hal ini karena dapat menurunkan hemostatic plugs
yang terbentuk untuk menghentikan pendarahan, tetapi kondisi ini
hanya terjadi pada beberapa kelompok pasien saja. Secara umum,
apabila seorang pasien didapatkan dalam kondisi yang tetap tidak
stabil secara hemodinamis sesudah pemberian infus crystalloids 2-31,
sebaiknya pasien segera diberikan transfusi darah. Pemberian transfuse
darah disesuaikan dengan jenis dan golongan darah pasien.

4. D: Disability (Status Kesadaran)

Tingkat kesadaran pasien dapat dinilai dengan menggunkan


mmemonic AVPU. Sebagai tambahan, cek kondisi pupil, ukuran,
kesamaan, dan reaksi terhadap cahaya. Pada saat survei primer, penilaian
neurologis hanya dilakukan secara singkat. Pasien yang memiliki risiko
hipoglikemi (misal: pasien diabetes) harus dicek kadar gula darahnya.
Apabila didapatkan kondisi hipoglikemi berat, maka bisa diberikan
Dekstose 50%. Adanya penurunan tingkat kesadarn akan dilakukan
pengkajian lebih lanjut pada survei sekunder. GCS dapat dihitung segera
setelah pemeriksaan survei sekunder.
Mnemonic AVPU meliputi : Awake atau Alert (sadar atau
terjaga); Verbal (berespons terhadap suara/verbal); Pain (berespons
terhadap rangsang nyeri), dan Unresponsive (tidak berespons).

 A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi


perintah yang diberikan
 V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang
tidak bisa
dimengerti
 P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika
ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
 U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus
nyeri maupun stimulus verbal.

5. E: Exposure and Environmental Control (Pemaparan dan Kontrol


Lingkungan)
a. Pemaparan (Exposure)

Lepas semua pakaian pasien secara cepat untuk memeriksa


cedera, perdarahan, atau keanehan lainnya. Perhatikan kondisi pasien
secara umum, catat kondisi tubuh, atau adanya bau zatkimia seperti
alcohol, bahan bakar, atau urine.

b. Kontrol Lingkungan (Enviromental Control)

Pasien harus dilindungi dari hipotermia. Hipotermia penting


karena ada kaitannya dengan vasokontriksi penbuluh darah dan
koagulopati. Pertahankan atau kembalikan suhu normal tubuh dengan
mengeringkan pasien dan gunakan lampu pemanas, selimut, pelindung
kepala, system pengangat udara, dan berikan cairan IV hangat.

B. Survei Sekunder ( Secondary Survey)


Setelah dilakukan survei primer dan masalah yang terkait dengan
jalan nafas, pernafsan, sirkulasi, dan status kesadaran telah selesai
dilakukan tindakan, maka tahapan selanjutnya adalah survei sekunder.
Pada survei sekunder pemeriksaan lengkap mulai dari head to toe. Berbeda
dengan survei primer, dalam pemeriksaan survei sekunder ini apabila
didapatkan masalah, maka tidak diberikan tindakan dengan segera. Survey
sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara
head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya
dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak
mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.

2.2 Triage

A. Awal Mula Kemunculan Triage


Triage atau triase dalam dunia keperawatan digunakan untuk
mengidentifikasi korban berdasarkan prioritas. Triage dalam bahasa
Perancis, disebut trier yang artinya “menyeleksi”. Istilah triage digunakan
untuk menyeleksi anggur yang baik dan buruk sebelum diolah menjadi
minuman anggur berkualitas. Seiring waktu berjalan istilah triage
kemudian digunakan pula dibidang medis.
Konsep triage pertama digunakan saat perang dunia I (PD I) di
Perancis. Sekitar tahun 1766-1842, seorang dokter bedah bernama Baron
Dominique Jean Larrey bertugas merawat tentara Napoleon. Banyaknya
korban peperangan pada waktu itu menyebabkan Baron Dominique
merawat mereka bukan berdasarkan urutan kedatangan pasien, melainkan
berdasarkan sistem perawatan yang paling mendesak. Sebelum konsep
tersebut dilaksanakan, para tentara yang terluka dibiarkan ditengah medan
perang dan baru diberi perawatan setelah perang selesai.
Sejak PD I, konsep pelaksanaan triage terus mengalami
perkembangan. Awalnya, sistem triage dilakukan dengan cara
mengumlkan pasien ke pusat pengumpulan korban. Kemudian pasien baru
dibawa keruang yang terfasilitasi oleh medis. Triage terfokus pada
penanganan korban dengan luka yang tidak terlalu parah dengan tujuan
agar tentara bisa segera kembali ke medan perang.
Ketika terjadi perang dunia II (PD II) korban perang tidak lagi
dibawa ke pusat pengumpulan korban namun dirawat di medan tempur.
Para dokter menyambangi korban dan memberikan pertolongan pertama
langsung dilokasi perang. Kemudian korban baru dikeluarkan dari garis
perang untuk tindakan perawatan yang lebih lanjut. Tenaga medis
melakukan penggolongan pasien yang disebut dengan teknik Simple
Triage and Rapid Treatment ( START ). START yang dimaksudkan untuk
membedakan prioritas penangangan di medan perang karena keterbatasan
jumlah tenaga medis.
Istilah triage muncul pertama kali diakhir 1950-an dan awal 1960-
an. Triage digunakan di Unit Gawat Darurat karena banyaknya kunjungan
pasien korban perang. Penanganan korban tersebut, mengakibatkan antrian
yang sangat panjang dan memakan waktu lama. Hal tersebut menimbulkan
beberapa masalah bagi pasien yang tidak mampu menunggu karena
penyakitnya, dan mengalami keterlambatan penanganan medis.
Saat ini perang antar Negara sudah berkurang. Namun bukan
berarti triage tidak lagi digunakan. Triage di era modern, pada awalnya
hanya dilakukan oleh tim dokter dan perawat. Namun saat ini, triage juga
dilakukan seorang perawat Unit Gawat Darurat yang berpengalaman.
Dengan kata lain, selain digunakan di UGD, triage juga digunakan untuk
beberapa hal seperti bencana alam dan kecelakaan massal yang
menjatuhkan banyak korban.
B. Pengertian Triage

Di Indonesia, istilah triage juga disebut triase. Kedua istilah


tersebut memiliki esensi yang sama, yaitu istilah untuk menyortir atau
menggolongkan pasien berdasarkan berat cedera dan untuk menentukan
jenis perawatan berdasarkan tingkat kegawatdaruratan trauma, penyakit,
dan cedera (Pusponegoro, 2010). Sementara itu, menurut Wijaya(2010)
triage adalah usaha pemilihan korban sebelum ditangani. Pemilihan
tersebut dilandaskanpada proses khusus pasien berdasarkan berat tidaknya
penyakit pasien. Ziammermann dan Herr dalam bukunya berjudul Triage
Nursing Secret(2006) mendefinisikan bahwa triage digolongkan
berdasarkan tipe dan tingkat kegawatan, khususnya tingkat
kegawatdaruratan cedera pasien. Triage juga dapat diartikan sebagai
proses seleksi pasien. Tugas perawat dan dokter adalah bertanggung jawab
agar tidak ada pasien yang tidak mendapatkan perawatan. Kathleen dkk
(2008) mendefinisikan triage sebagai konsep pengkajian yang cepat dan
terfokus, sekalipun terjadi keterbatasan tenaga medis keterbatasan alat, dan
keterbatasan fasilitas

C. Tujuan Triage

Triage memiliki tujuan utama meminimalisasi terjadinya cedera


dan kegagalan selama proses penyelamatan pasien. Perawat yang berhak
melakukan triage adalah perawat yang telah bersertifikat pelatihan
Penanggulangan Pasien Gawat Darurat PPGD) dan Basic Trauma Cardiac
Life Support (BTCLS). Dengan kata lain, perawat yang melakukan triage
diutamakan yang memiliki pengetahuan memadai dan memiliki
pengalaman. Hal ini dikarenakan, selama di lapangan perawat akan
dihadapkan oleh banyak kasus yang menuntut kecakapan menggali
Informasi secara cepat dan akurat. Kunci keberhasilan melakukan tríage
ditentukan oleh berapa hal, diantarannya, ditentukan dengan kecepatan
menemukan pasien gawat darurat dan kecepatan ketika memberikan
pertolongan. Penanganan khusus pada pertolongan pertama bisa dilakukan
ditempat kejadian, bisa ketika di Perjalanan, dan setibanya pasien di
puskesmas atau rumah sakit.

D. Sistem Triage

Sistem triage digunakan untuk pasien yang benar-benar


membutuhkan pertolongan pertama, yakni pasien yang apabila tidak
mendapatkan triage segera, dapat menimbulkan trauma. Berlkut empat
sistem triage yang sering digunakan.

1) Spot check. Spot Check adalah sistem yang digunakan untuk


mengklasifikasikan dan mengkaji pasien dalam waktu dua sampai
tiga menit . Hampir 25 % UGD menggunakan sistem ini untuk
mengidentifikasi pasien dengan segera
2) Triage Komprehensif. Spot Sistem triage komprehensif adalah
standar dasar ya telah didukung oleh Emergency Nurse Association
(ENA) Sistem ini menekankan penanganan dengan konsep ABC
ketika menghadapi pasien gawat darurat. Penangan pertama triage
bertujuan untuk mencegah berhentinya detak jantung dan saluran
pernapasan. Adapun indikasi atau penyebab napas berhenti, bisa
disebabkan karena strok inhalasi asap, tenggelam, syok listrik,
trauma, tercekik, koma, dan tersambar petir Keadaan darurat
tersebut dapat ditangani dengan memberikan resusitasi jantung dan
paru.
3) Triage Two-tiar. Triage Two-tiar merupakan tindakan pengkajian
lebih rinci. Selain triage two-tier, ada juga triage bedside. Pasien
yang datang langsung ditangani oleh perawat tanpa menunggu
petugas perawat lainnya. yang melibatkan dua orang perawat tanpa
menunggu petugas perawat lainnya.Triage Expanded Perawat
melakukan pertolongan pertama dengan bidai, kompres, atau rawat
luka. Penanganan ini disertai dengan pemeriksaan diagnostik dan
pemberian obat. Jika penyakit atau luka parah, penangan bisa
dilakukan dengan tes laboratorium
E. Prinsip Triage
Dalam penanganan pasien perawat harus memperhatikan kondisi
pasien.Perawat harus memperhatikan komponen penting diantaranya
memperhatikan warna kulit pasien,suhu, kelembaban,nadi,respirasi,luka
dalam,tingkat kesadaran,inspeksi visual,memar, dan deformitas kotor.
Kartika (2014) menuliskan setidaknya ada beberapa prinsip
triage.Prinsip-prinsip tersebut dapat dilihat dari tabel berikut.

No. Prinsip Triage


1. Dilakukan cepat,singkat,dan akurat
2. Memiliki kemampuan merespon,menilai kondisi pasien yang sakit,
cidera atau sakit sekarat
3. Pengkajian dilakukan secara adekuat dan akurat
4. Membuat keputusan berdasarkan dengan kajian
5. Memberikan kepuasan kepada pasien,bisa berupa perawatan secara
stimulan, cepat,dan pasien tidak hanya dikeluhkan
6. Perawatan memberikan dukungan emosional,baik kepada warga
maupun kepada pasien
7. Menempatkan pasien berdasarkan tempat,waktu,dan pelayanan
yang tepat

F. Proses Triage
Prinsip dari proses triage adlah mengumpulkan data dan
keterangan sesuai dengan kondisi pasien dengan cepat,tepat waktu,dan
jelas.Upaya ini untuk mengelompokkan pasien berdasarkan tingkat
kegawatan pasien agar segera ditangani.Dalam tahap ini ,perawat bukan
melakukan diagnosis,melainkan merencanakan intervensi untuk segera
membawa pasien yang memang dalam mengancam nyawa.
Ada dua hal penting untuk memahami proses triage, yaitu
undertriage dan uptriage.Undertriage
1) Undertriage
Undertriase merupakan proses meremehkan (underetimating)
tingkat keparahan penyakit atau cidera. Pasien yang diperiotiskan
berdasarkan tingkatan. Misalnya pasien yang harus segera
ditangani atau diobati masuk prioritas pertama. Sementara
itu,pasien prioritas kedua dikategorikan sebagai pasien yang masih
mampu bertahan, sehingga perawat boleh menunda dan
mengutamakan yang paling parah.
2) Uptriage
Menurut Kartikawati (2014), uptriage merupakan proses
overestimating tingkat individu yang mengalami sakit atau cidera.
Uptriage dilakukan perawat yang mengalami keraguan ketika
melakukan triage. Misalnya, perawat merasa ragu menentukan
pasien masuk di prioritas 3 atau 2.Selain itu, uptriage juga
dilakukan perawat yang ragu menetuakn pasien masuk ke prioritas
1 atau 2. Oleh sebab itu,perawat bisa saja mengganti prioritas yang
awalnya ditetapkan prioritas 2 menjadi prioritas 3 atau sebaliknya.
Uptriage digunakan untuk menghindari penurunan kondisi
penderita.
G. Klasifikasi Triage
Penggolongan atau sistem klasifikasi triage dibagi menjadi
beberapa level perawatan. Lavel keperawatan didasarkan pada tingkat
prioritas, tingkat keakutan, dan klasifikasi triage. Berikut ketiga klasifikasi
secara lengkap.
1) Klasifikasi Kegawatan Triage
Klasifikasi triage dibagi menjadi tiga prioritas. Ketiga ent Menurut
Comprehensive Speciality Standard, ENA (1999) ada beberapa hal
yang perlu dipertimbangkan padasaat melakukan triage.
Pertimbangan tersebut didasarkan pada keadaan fisik, psikososial,
dan tumbuh kembang Termauk. mencakup segala bentuk gejala
ringan, gejala berulang, atau gejala peningkatan. Berikut klasifikasi
pasien dalam sistem prioritas tersebut adalah Emergency, Urgent
dan Nonurg Triage.
a. Gawat Darurat (Prioritas 1: P1)
Menurut Wijaya (2010), di dalam bukunya berjudul Konsep
Dasar Keperawatan Gawat Darurat, gawat darurat merupakan
keadaan yang mengancam nyawa, di mana pasien
membutuhkan tindakan segera. Jika tidak segera diberi
tindakan, pasien akan mengalami kecacatan Kemungkinan
paling fatal, dapat menyebabkan kematian Kondisi gawat
darurat dapat disebabkan adannya gangguan ABC dan/atau
mengalami beberapa gangguar lainnya. Gangguan ABC
meliputi jalan napas, pernapasan dan sirkulasi. Adapun kondisi
gawat darurat yang dapat berdampak fatal, seperti gangguan
cardiacarrest, trauma mayor dengan pendarahan, dan
mengalami penurunan kesadaran.
b. Gawat Tidak Darurat (Prioritas 2:P2)
Klasifikasi yang kedua, kondisi guwat tidak gawat. Pasien
yangmemiliki penyakit mengancam nyawa, namun keadaannya
tidak memerlukan tindakan gawat darurat dikategorikan di
prioritas 2. Penanganan bisa dilakukarn dengan tindakan
resusitasi. Selanjutnya, tindakan dapat diteruskan dengan
memberikanrekomendasi ke dokter spesialis sesuai
penyakitnya. Pasien yang termasuk di kelompok P2 antara la
penderita kanker tahap lanjut. Misalnya kanker servi sickle cell
dan banyak penyakit yang sifatnya men nyawa namun masih
ada waktu untuk penanganan.
c. Darurat Tidak Gawat (Prioritas3:P3)
Ada situasi di mana pasien mengalami kondisi seperti P1
dan P2. Namun, ada juga kondisi pasien darurat tidak gawat.
Pasien P3 memiliki penyakit yang tidak mengancam nyawa,
namun memerlukan tindakan darurat. Jika pasien P3 dalam
kondisi sadar dan tidak mengalami gangguan ABC, maka
pasien dapat ditindaklanjuti ke poliklinik. Pasien dapat diberi
terapi definitif, laserasi, otitis media, fraktur minor atau c.
tertutup, dan sejenisnya
d. Tidak Gawat Tidak darurat (Prioritas 4:P4)
Klasifikasi triage ini adalah yang paling ringan di antara
triage lainya. Pasien yang masuk ke kategori P4 tidak
memerlukan tindakan gawat darurat Penyakit P4 adalah
penyakit ringan. Misalnya, penyakit panu, flu, batuk pilek, dan
gangguan seperti demam ringan.
2) Klasifikasi Tingkat Prioritas
Klasifikasi triage dari tingkat keutamaan atau prioritas,
dibagi menjadi 4kategori warna Dalam dunia keperawatan
klasifikasi prioritas ditandai dengan menentukan pengambilan
keputusan dan tinda memberikan pentlaian dan intervensi pet
beberapa tanda warna. Tanda warna tersebut mayoritas digunakan
untuk
Prioritas pemberian warna juga dilakukan untuk gunakan
untuk mengidentifikasi injury cepat dan tetap Mengetahui tindakan
yang dilakukan den memberikan dampak siguifikan keselamatui
epat da disebut dengan intervensi live saving pasien. Hal ini
Intervensilive saving biasanya dila menetapkan kategori triage.
Intervensi live digunakan dalam praktik lingkup respondg
disertai persiapan alat-alat yang dibua harus t Setu, Sebelum ke
tahap intervensi, berikut ada beberapa warna yang sering
digunakan untuk triage.
a. Merah
Warna merah digunakan untuk menandai pasien yang harus
segera ditangani atau tingkat prioritas pertama. Warna merah
menandakan bahwa pasien dalam keadaan mengancam jiwa
yang menyerang bagian vital. Pasien dengan triage merah
memerlukan tindakan bedah dan resusitasi sebagai langkah
awal sebelum dilakukan tindakan lanjut,seperti operasi atau
pemhedahan Pasien bertanda merah, jika tidak segera ditangani
bisa menyebabkan pasien kehilangan nyawanya. Berikut yang
termasuk ke prioritas pertama (warna merah) di
antarannyahenti jantung pendarahan besar, henti napas,dan
pasien tidak sadarkan diri
b. Kuning
Pasien yang diberi tanda kuning juga berbahaya dan harus
segera ditangani. Hanya saja, tanda kuning menjadi tingkat
prioritas kedua setelah tanda merah. Dampak jika tidak segera
ditangani, akan mengancam fungsi vital organ tubuh bahkan
mengancam nyawa. Misalnya, pasien yang mengalami luka
bakar tingkat Il dan Il kurang dari 25 % mengalami trauma
thorak , trauma bola mata , dan laserasi luas Adapun yang
termasuk prioritas kedua, di antaranya terjadinya luka bakar
pada daerah vital, seperti ke maluan dan airway Selain itu,
terjadinya luka di kepala atau subdural hematom yangditandai
dengan muntah. Pendarahan bisa juga terjadi dibagian terteatu,
seperti di telinga, mulut dan hidung. Penderita subdural
hematom memiliki kecepatan nadi kurang 60 kali per menit,
napas tidak teratur, lemah, refleks, dan kurang menerima
rangsangan
c. Hijau
Warna hijau merupakan tingkat prioritas ketiga Warna
hijau mengisyaratkan bahwa pasien hanya perlu penanganan
dan pelayanan biasa. Dalam artian pasien tidak dalam kondisi
gawat darurat dan tida dalam kondisi terancam nyawanuya.
Pasien yang diber prioritas warna hijau menandakan bahwa
pasien hanya engalami tuka ringan atau sakit ringan, misalnya
luka superfisial. Penyakit atau luka yang masuk ke prioritas
hijau adalah fraktur ringan disertai perdarahan. Pasien yang
mengalami benturan ringan atau laserasi, histeris dan
mengalami luka bakar ringan juga termasuk ke prioritas ini.
d. Hitam
Warna hitam digunakan untuk pasien yang memiliki
kemungkinan hidup sangat kecil. Biasannya, pasien yang
mengalami luka atau penyakit parah akan diberikan tanda
hitam Tanda hitam juga digunakan untukpasien yang belum
ditemukan cara menyembuhkannya. Salah satu hal yang dapat
dilakukan untuk memperpanjang nyawa pasien adalah dengan
terapi suportif Warna hitam juga diberikan kepada pasien yang
idak bernapas setelah dilakukan intervensi live saving Adapun
yang termasuk kategori prioritas warna hitam antara lain pasien
yang mengalami trauma kepala dengan otak keluarspinal
injury, dan pasien multiple injury.
3. Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Kedaruratan Triage
Klasifikasi berdasarkan tingkat kedarruratan triage memiliki arti
penting sebagai proses mengkomunikasikan kedaruratan UGD. Perawat
melakukan kajian dan mengumpulkan data secara akurat dan konsisten.
Ada dua cara yang dilakukan. Pertama secra validitas, validitas merupakan
tingkat akurasi system kedaruratan. Validitas dilakukan untuk mengetahui
tingkatan triage dan membedakan tingkat kedaruratan sesaui standar.
Kedua rehabilitas, perawat yang menangani pasien sama dan menentukan
tingkat kedaruratan yang sama pula. Kedua cara sering digunakan untuk
menganalisis dan menentukan kebijakan untuk pasien yang dirawat di
UGD.
4. Klasifikasi berdasarkan tingkat keakutan
Menurut iyer (2004) dalam bukunya yang berjudul dokumentasi
keperawatan: suatu pendekatan proses keperawatan menekankan
pentingnya petunjuk yang dikuasai oleh perawat triage. Perawat dituntut
mampu mengidentifikasi kebutuhan untuk klasifikasi prioritas tinggi
meliputi perdarahan aktif, nyeri hebat, ganguan emosi, stupor/ mengantuk,
diaphoresis, dan dispnea saat istirahat. Termasuk mengetahui tanda-tanda
vital batas normal dan sianosi.
Klasifikasi triage berdasarkan tingkat ketakutan dibagi ke lima
tingkatan:
a. Kelas I
Kelas satu meliputi pasien yang masih mampu menunggu lama
tanpa menyebabkan bahaya dan tidak mengancam nyawa. Misalnya,
pasien mengalami memar minor.
b. Kelas II
Kelas dua penyakit ringan, yang tidak membahayakan diri pasien.
Misalnya flu, demam biasa, atau sakit gigi
c. Kelas III
Pasien berada di kelas tiga, pasien berada dalam kondisi semi
mendesak. Pasien tidak mampu menunggu lebih lama. Pasien hanya
mampu menunggu kurang lebih dua jam sebelum pengobatan.
Misalnya pasien yang mengalami otitis media.
d. Kelas IV
Pasien tidak mampu menahan kurang dari dua jam di kategorikan
kelas IV. Pasien hanya mampu bertahan selama pengobatan, sebelum
di tindak lanjuti. Misalnya pasien penderita asma, frakturpanggul dan
laserasi berat
e. Kelas V
Pasien berada dikelas gawat darurat adlah pasien gawat darurat.
Apabila pasien diobati terlambat dapat menyebabkan kematian. Yang
termasuk kelas lima adalah syok, henti jantung, dan gagal jantung.

Kartikawati (2014) membagi triage sebagai berikut:


a. Triage dua tingkat
Pasien yang masuk kategori triage tingkat dua adalah pasien yang
sakit dan membutuhkan perawatan darurat. Selain itu, pasien yang
termasuk kategori ini juga dalam kondisi nyawa dan organ tubuhnya
dalam bahaya. Pasien tidak mampu lagi menunda rasa sakit yang
dirasakan.
b. Triage tiga tingkat
Adalah kategorisasi yang menggunakan system pemberian warna.
Trige tiga tingkat paling sering digunakan di Amerika Serikat yang
merujuk tiga kondisi, antralain kondisi gawat darurat, kondisi darurat
dan kondisi biasa. Pasien yang berada dalam kondisi gawat darurat
merupakan pasien yang segera memperoleh penanganan segera, pasien
tidak mampu menunggu lama, dan nyawa pasien dalam keadaan
terancam. Pasien dalam kondisi darurat maka pasien segera
memperoleh tindakan. Meskipun demikian, pasien masih mampu
bertahan selama bebrapa jam. Kategori
H. Wawancara Triage
Dalam triage juga dikenal adanya istilah wawancara. Perawat
gawat darurat memperkenalkan diri dan menjelaskan secara singkat
pemjelasan triage. Setelah menjelaskan secara singkat perawat dapat
menggali data dengan menanyakan keluhan utama pasien. Perawat juga
tidak boleh lupa untuk menanyakan riwayat penyakit pasien, selebihnya,
mengecek tanda tanda vutal pasien untuk menentukan skala prioritas
pasien.
Wawancara untuk mengkaji data pada pasien dewasa
menggunakan pendekatan PQRST ( P:Prookes, Q:quality, R:radiates,
S:sevirty, T:time ). Sedangkan wawancara pada pasien anak-anak
dilakukan dengan orang tua menggunakan pendekatan CIAMPEDS (
C:shief complain, I:immunizations and isolation, A:allergies,
M:medications, P:past/medical history and parent impression, E:event
surrounding the illness or injury, D:diet,diapers, S:sympthoms ).
I. Dokumentasi Triage

Selama proses pemgumpulan data pasien, perawat dituntut untuk


mengumpulkan data secara objektif, singkat, padat, dan jelas.prinsip
tersebut juga berlaku pada proses pendokumentasian triage. Dokumentasi
triage merupakan catatan yang digunakan sebagai bukti dan arsip
berkenaan dengan personal hokum. Dokumentasi dalam triage pada
dasarnya sebagai bentuk kebijakan yang berperan sebagai alat manajemen
risiko. Terutama untuk petugas perawat kegawatdaruratan. Dokumentasi
dalam perawatan UGD dapat dijadikan sebagai tinjauan secara objektif
untuk mencatat perkembangan pasien oleh tim kesehatan.

Bentuk dokumentasi bermacam-macam, bias berupa catatan


manual tulisan tangan, memmnggunakan computer, catatatn naratif,
ataupun berupa lembar alur yang dibuat oleh perawat, selain digunakan
untuk pemantauan perkembangan kondisi pasien, lebih jauh digunkaan
sebagai alat advokasi pasien ketika terjadi penympangan standard
perawatan gawat darurat yang mengancam pasien.

Tahap pengkajian dokumentasi triage mencantumkan data penting


seperti pencatatan yang menunjukan waktu datangnya alat transportasi,
keluhan utama pasien, pengkodean prioritas, atau keautan perawatan.
Dalam dokumetasi tersebut juga mencatat penempatan di area pengobatan
yang tepat untuk pasien berdasarkan dengan keluhannya. Proses ini
termasuk melakukan pencatatan permulaan intervensi yang meliputi
prosedur diagnostik dan pemakaian bidai. Berikut adalah komponen
dokumentasi triage yang harus di catat :

1. Tanda dan waktu tuba


2. Usia pasien (meliputi tanggal lahir)
3. Waktu pengkajian
4. Riwayat alergi
5. Riwayat pengobatan
6. Tingkat kegawatan pasien
7. Tanda-tanda vital
8. Pertolongan triage
9. Pengkajian ulang
10. Pengkajian ulang
11. Keluhan utama
12. Riwayat keluhan saat ini
13. Daa subjektif dan data objektif
14. Periode mentriasi terakhir
15. Imunisasi tetanus terakhir
16. Pemeriksaan diagnostik
17. Administrasi pengobatan
18. Tanda tangan registerd nurse

Catatan diatas dapat dijadikan sebagai standard dalam triage karena


sering juga ditanyakan oleh dokter yang bersangkutan dalam rangka
pemeriksaan lebih lanjut. Pencatatan yang dilakukan dapat membentuk
landasan perawatan yang mencerminkan ketaatan standard perawatan.

Menurut ENA (2005) pendokumentasi dapat dilakukan


menggunakan pendekatan SOAPIE. PEndekatan SOAPIE meliputi
beberapa data yang bersifat subjektif, objektif, analisis data yang
mempengaruhi diagnosis keperawatan, perencanaan perawatan,
implementasi yang telah dilakukan, evaluasi dan kaji ulang terhadap
pengobatan dan perawatan.
2.3 Pembidaian

A. Bidai dan Balut


1. Pengertian
Pemasaangan bidai adalah memasang alat untuk imobilisasi
(mempertahankan kedudukan tulang yang patah ).
2. Tujuan pemasangan bidai
a) Mencegah pergerakan tulang yang patah ( mempertahankan posisi
patah tulang )
b) Mencegah bertambahnya perlukaan pada patah tulang
c) Mengurangi rasa sakit atau nyeri
d) Mengistirahatkan daerah patah tulang ( immonilisasi )
3. Indikasi pemasangan bidai : pada klien patah tulang terbuka/ tertutup
4. Persyaratan bidai yang baik :
a) Terbuat dari bahhan yang kaku ( papan, tripkek, dll ).
b) Cukup panjang untuk imobilisasi persendian diatas dan dibawah
fraktur.
c) Cukup luas untuk kesesuaian anggota tubuh secara nyaman.
d) Bagian yang menempel tubuh dilapisi dengan kapas dan dibalut
dengan verban.
5. Macam – macam bidai :
a) Rigid splint : jenis ini terbuat dari bahan yang keras. Jenis rigid
splint yaitu : papan panjang, plastik keras, besi, kayu, dll
b) Soft splint : jenis ini terbuat dari bahan yang lembut. Jenis soft
splint meliputi splint udara, bantal dan mitella. Soft splint tidak
dipergunakan pada fraktur angulasi, karena akan meningkatkan
tekanan secara otomatis. Saat menggunakan splint udara, harus
secara rutin diperiksa tekananya untuk memastikan bahwa splint
tidak terlalu kencang atau kendor. Splint udara baik untuk fraktur
pada lengan bawah dan tungkai bawah. Splint udara berguna intuk
memperlambat perdarahan, tetapi dapat meningkatkan tekanan
sepeeri peningkatan suhu atau tekanan. Krlemahan dari solint udara
adalah nadi tidak dapat dimonitor bila splint terpasang, dapat
menimbulkan sindrom kompartemen dan menimbulkan sakit pada
kulit dan nyeri bila dibuka. Bantal adalah splint yang bsik untuk
trauma pada lutut atau kaki dan digunakan untuk stabilisasi
dislokasi bahu.
Mitela adalah sangat baik untuk fiksasi yrauma klavikula,
bahu, lengan atas, siku, dan kadang – kadang telapak tangan.
Beberapa trauma pada bahu menyebabkan bahu tidak dapat
didekatkan pada dinding dada tanpa menggunakan paksaan. Dalam
kasus ini bantal digunakan untuk menjembatani gap yang ada
antara dinding dada dan lengan atas.
c) Traction Splint
Traction splint berguna untuk imobilisasi, mengurangi
nyeri dan mengurangi. Bentuk ini dirancang untuk fraktur
ekstermitas bawah. Splint ini menyebabkan imobilisasi paha
dengan melakukan tarikan pada ekstermitas dengan menggunakan
counter traction terhadap ischium dan sendi panggul. Traksi ini
akan mengurangi terjadinya spasme pada otot. Jika traksi ini tidak
dilakukan akan menyebabkan nyeri hebat karena ujung tulang akan
saling bersinggungan. Ada banyak design dan tioe dari solint yang
cocok untuk traksi ekstermitas bawah, tetapi harus hati – hati dan
teliti untuk mencegah tarikan yang terlalu besar sehingga dapat
menyebabkan gangguan sirkulasi pada kaki.
6. Prinsip pembidaian

a) Lakukan pembidaian dimana anggota badan mengalami cedera


(korban jangan dipindahkan sebelum di bidai). Korban dengan
dugaan fraktur lebih aman dipindahkan ke tandu medis darurat
setelah dilakukan tindakan perawatan luka, pembalutan dan
pembidaian.
b) Lakukan juga pembidaian pada persangkaan patah tulang, jadi tidak
perlu harus dipastikan dulu ada tidaknya patah tulang. Kemudian
fraktur harus selalu dipikirkan setiap terjadi kecelakaan akibat
benturan yang keras. Apabila ada keraguan, perlakuan sebagai
fraktur.

Tanda dan gejala patah tulang :

 Adanya tanda ruda paksa pada bagian tubuh yang diduga terjadi
patah tulang: Pembengkakan, memar, rasa nyeri.

 Nyeri sumbu : Apabila diberi tekanan yang arahnya sejajar


dengan tulang yang patah akan memberikan nyeri yang sangat
hebat pada penderita.

 Deformitas : Apabila dibandingkan dengan bagian tulang yang


sehat terlihat tidak sama bentuk dan panjangnya.

 Bagian tulang yang patah tidak dapat berfungsi dengan baik atau
sama sekali tidak dapat digunakan lagi.

c) Melewati minimal dua sendi yang berbatasan

B. Prosedur Pembidaian

1. Siapkan alat-alat selengkapnya.

2. Apabila penderita mengalami fraktur terbuka, hentikan pendarahan dan


rawat lukanya dengan cara menutup dengan kasa steril dan
membalutnya.

3. Bidai harus meliputi dua sendi dari tulang yang patah. Sebelum
dipasang, diukur dahulu pada sendi yang sehat.

4. Bidai dibalut dengan pembalut sebelum digunakan. Memakai bantalan


di antara bagian yang patah agar tidak terjadi kerusaklan jaringangan
kulit, pembulu darah , atau penekanan saraf, terutama pada bagian
tubuh yang ada tonjolan tulang.
5. Mengikat bidai dengan pengikat kain ( dapat kain, baju, kopel dan
lain-lain) dimulai dari sebatas atas dan bawah fraktur. Tiap ikatan tidak
boleh menyilang tepat di atas bagian fraktur. Simpul jatuh pada
permukaan bidainya, tidak pada anggota tubuh yang dibidai.

6. Ikatan jangan terlalu keras atau kendor. Ikatan harus cukup


jumplahnya agar secara keseluruhan bagian tubuh yang patah tidak
bergerak.

7. Kalau memungkinkan anggota gerak tersebut ditinggikan setelah


dibidai

8. Sepatu, gelang, jam tangan dan alat pengikat perlu dilepas.

C. Standart Operating Procedure pembalutan dan pembidaian

1. Tahap Pre-Interaksi :

a. Mengecek dokumentasi/data klien

b. Mencuci tangan

c. Menyiapkan alat

2. Tahap Orientasi :

a. Memberikan salam pada pasien, siapa nama pasien dan


memperkenalkan diri.

b. Memberitahu klien tujuan dan prosedur tindakan

c. Menanyakan persetujuan/kesiapan pasien.

3. Tahap kerja

a. Memberikan kesempatan kepada klien untuk bertanya

b. Menanyakan keluhan utama klien

c. Memeriksa bagian tubuh yang akan dibalut, cedera dengan


inspeksi dan palpasi gerakan
d. Melakukan tindakan pra-pembalutan (membersihkan luka,
mencukur, memberi desinfektan, kasa teril)

e. Memulih jenis pembalut yang tepat

f. Cara pembalutan dilakukan dengan benar (posisi dan arah


balutan

4. Tahap Terminasi

a. Mengevaluasi tindakan yang baru dilakukan ( subyektif dan


objektif), hasil pembalutan : Mudah lepas, mengganggu
peredaran darah, mengganggu gerakan lainnya)

b. Berikan reinforcement positif pada klien

c. Kontrak pertemuan selanjutnya (waktu, kegiatan, tempat)

d. Merapikan dan kembalikan alat

e. Mencuci tangan

f. Mencatat kegiatan dalam lembar catatan keperawatan


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
penilaian awal pasien trauma terdiri atas pengkajian primer dan
pengkajian sekunder. Pendekatan ini ditujukan untuk mdan menyediakan
metode perawatan individu yang mengalami multipel trauma secara
konsisten dan menjaga tim agar tetap terfokus pada prioritas perawatan.
Pengkajian primer adalah untuk melihat keadaan Airway, breathing,
circulation, disability, exposure. Pengkajian sekunder merupakan
pengkajian head to toe yang dilakukan cera komprehensif sesuai dengan
keluhan utama pasien.

Di Indonesia, istilah triage juga disebut triase. Kedua istilah


tersebut memiliki esensi yang sama, yaitu istilah untuk menyortir atau
menggolongkan pasien berdasarkan berat cedera dan untuk menentukan
jenis perawatan berdasarkan tingkat kegawatdaruratan trauma, penyakit,
dan cedera (Pusponegoro, 2010). Sementara itu, menurut Wijaya(2010)
triage adalah usaha pemilihan korban sebelum ditangani. Pemilihan
tersebut dilandaskanpada proses khusus pasien berdasarkan berat tidaknya
penyakit pasien. Ziammermann dan Herr dalam bukunya berjudul Triage
Nursing Secret(2006) mendefinisikan bahwa triage digolongkan
berdasarkan tipe dan tingkat kegawatan, khususnya tingkat
kegawatdaruratan cedera pasien.

Pada kegawatdaruratan, fraktur terbuka dan tertutup dapat


ditangani dengan pertolongan pertama yaitu pembidaian dan pembalutan.
Pembidaian adalah memasang alat untuk imobilisasi dengan
mempertahankan kedudukan tulang yang patah. Pembidaian atau
pembalutan merupakan salah satu proses penting dalam penatalaksanaan
awal korban patah tulang. Memasang bidai atau balut adalah memasang
alat untuk imobilisasi atau mempertahankan kedudukan tulang yang patah.
Adapun tujuan dari pembalutan atau pembidaian adalah memobilisasi
fraktur dan dislokasi, mengistirahatkan anggota badan yang cedera,
mengurangi rasa sakit, mempercepat penyembuhan.

3.2 Saran
Sebagai mahasiswa keperawatan seharusnya dapat memahami
bagaimana melakukan pengkajian kegawat daruratan sehingga dapat pula
menentukan trige untuk meminimalisasi terjadinya cedera dan kegagalan
selama proses penyelamatan pasien. Dan diharapkan untuk dapat
mengaplikasikan ilmu kegawatdaruratan pada cedera muskuloskeletal
dengan melakukan tindakan pembidaian dan pembalutan.

Anda mungkin juga menyukai