Anda di halaman 1dari 14

Apa itu Initial Assement???

Initial assesment adalah proses evaluasi secara cepat


pada penderita gawat darurat yang langsung diikuti dengan tindakkan resusitasi
(Suryono dkk, 2008 ). Informasi digunakan untuk membuat keputusan tentang
intervensi kritis dan waktu yang dicapai. Ketika melakukan pengkajian, pasien
harus aman dan dilakukan secara cepat dan tepat dengan mengkaji tingkat
kesadaran (Level Of  Consciousness) dan pengkajian ABC (Airway, Breathing,
Circulation), pengkajian ini dilakukan pada pasien memerlukan tindakan 
penanganan segera dan pada pasien yang terancam nyawanya.  

Tujuan

 Menentukan prioritas penilaian pada penderita multi trauma.


 Menerapkan prinsip primary survei dan secondary survey pada penderita
multi trauma.
 Menerapkan cara dan teknik terapi baik pada fase resusitasi.
 Mengenal riwayat dan mekanisme cidera dalam membantu diagnosis.

1. 3.      Komponen

 Persiapan penderita
 Triase
 Survey primer (ABCDE)
 Resusitasi
 Pemeriksaan penunjang untuk survey primer
 Survey sekunder (Head to Toe & anamnesis)
 Pemeriksaan penunjang untuk survey sekunder
 Pengawasan dan evaluasi ulang
 Terapi definitif

1. 4.      Tahapan Pengelola Penderita


Penanganan penderita berlangsung dalam 2 tahapan yaitu tahap pra rumah sakit
( pre-hospital ) dan tahap di rumah sakit.

1)      Tahap Pra- Rumah Sakit

Pelayanan korban dengan trauma pra rumah sakit biasanya dilakukan oleh keluarga
ataupun orang sekitar yang berbaik hati menolong ( good samaritan ).Prinsip
utama adalah tidak boleh membuat keadaan lebih parah ( Do no Further Harm ).

Keadaan yang ideal adalah dimana unit gawat darurat yang datang ke penderita
sehingga ambulans harus memiliki peralatan yang lengkap. Petugas yang datang
adalah petugas khusus yang telah mendapatkan pelatihan kegawatdaruratan. Selain
itu, diperlukan koordinasi dengan rumah sakit tujuan terhadap kondiri/ jenis
perlukaan sebelum penderita dipindahkan dari tempat kejadian. Hal ini sangat
penting mengingat koordinasi yang baik antara petugas lapangan dengan petugas
di rumah sakit akan menguntungkan penderita.

Tindakan yang harus dilakukan oleh petugas lapangan/ paramedik adalah:

–          Menjaga airway dan breathing.

–          Mengontrol perdarahan dan syok.

–          Imobilisasi penderita.

–          Pengiriman ke rumah sakit terdekat/ tujuan dengan segera.

2)      Tahap Rumah Sakit

v  Evakuasi Penderita

Penderita yang dibawa ke rumah sakit tanpa penanganan pra rumah sakit sebaiknya
evakuasi penderita dari kendaraan ke brankar dilakukan oleh petugas rumah sakit
dengan hati- hati dan selalu diperhatikan kontrol servikal ( prinsip : do no further
harm ).

v  Triase

Triase adalah cara pemilahan penderita berdasarkan tipe dan tingakat kegawatan
kondisinya ( Zimmermann dan Herr dalam Kartikawati, 2011) . Triase juga
diartikan sebagai suatu tindakan pengelompokan penderita berdasarkan beratnya
cedera yang diprioritaskan ada tidaknya gangguan pada airway ( A ), breathing ( B
), dan circulation ( B) dengan mempertimabangkan sarana, sumber daya manusia
dan probalitas hidup pasien.
Dalam triase terdapat dua keaadan yaitu jumlah penderita dan beratnya perlukaan
tidak melampaui kemampuan petugas dan yang melampaui kemampuan petugas.
Apabila jumlah penderita dan beratnya perlukaan melampaui kemampuan petugas,
maka dalam keadaan ini penderita dengan masalah gawat darurat dan multi trauma
akan dilayani terlebih dahulu sesuai dengan prinsip ABC. Sedangkan apabila
jumlah penderita dan beratnya perlukaan melampaui kemampuan petugas, maka
dalam keadaan ini yang akan dilayani terlebih dahulu adalah penderita dengan
kemungkinan survial yang terbesar dan membutuhkan waktu, perlengkapan, dan
tenaga paling sedikit.

v  Survey Primer ( Primary Survey ) dan Resusitasi

Pada  tahap ini harus dicari keadaan yang mengancam nyawa, tetapi sebelum
memegang penderita petugas harus selalu menggunakan alat proteksi diri terlebih
dahulu untuk menghindari tertular penyakit seperti hepatitis dan AIDS. Alat
proteksi diri sebaiknya:

–          Sarung tangan

–          Kaca mata, tertama apaibila menyemburkan darah.

–          Apron, mellindungi pakaian sendiri.

–          Sepatu

Lakukan primary survey atau mencari keadaan yang mengancam nyawa sebagai
berikut:

–          A atau airway maintenance adalah mempertahankan jalan napas, hal ini


dapat dikerjakan dengan teknik manual ataupun menggunakan alat bantu (pipa
orofaring, pipa endotrakheal, dll). Tindakan ini mungkin akan banyak
memanipulasi leher sehingga harus diperhatikan untuk menjaga stabilitas tulang
leher.

–          B atau Breathing adalah menjahga pernapasan atau ventilasi dapat


berlangsung dengan baik. Setiap penderita trauma berat memerlikan tambahan
oksigen yang harus diberikan kepada penderita dengan cara efektif.

–          C atau Circulation adalah mempertahankan sirkulasi bersama dengan


tindakan untuk menghentikan perdarahan. Pengenalan dini tanda-tanda syok
perdarahan dan pemahaman tentang prinsip-prinsip pemberian cairan sangat
penting untuk dilakukan sehingga menghindari pasien dari keterlambatan
penanganan.
–          D atau Disability adalah pemeriksaan untuk mendapatkan kemungkinan
adanya gangguan neurologis.

–          E atau Exposure atau Environment adalah pemeriksaan pada seluruh tubuh
penderita untuk melihat jelas jejas atau tanda-tanda kegawatan yang mungkin tidak
terlihat dengan menjaga supaya tidak terjadi hipotermi.

a)      Menjaga Airway dengan Kontrol Servikal

Hal pertama yang harus dinilai adalah kelancaran dari jalan nafas, tetapi harus
selalu diwaspadai bahwa kebanyakan usaha dalam memperbaiki jalan nafas dapat
menyebabkan gerakan pada leher. Oleh sebab  itu,untuk mencegah fraktur servikal
akibat gerakan pada leher harus dilakukan tindakan pengontrolan servikal.
Kemungkinan dari fraktur servikal dapat diprediksi apabila terdapat:

–            Trauma kapitis, terutama apabila ada penurunan kesadaran.

–            Adanya luka karena trauma tumpul kranial dari klavikula.

–            Setiap multi trauma ( trauma pada dua regio atau lebih )

–            Biomekanika trauma yang mendukung seperti tabrakan dari belakang.

Setelah dilakukan penilaian awal terhadap servikal langkah selanjutnya adalah


tindakan proteksi servikal. Tindakan proteksi servikal antara lain dengan
mempertahankan posisi kepala dan memasang kolar servikal di atas long spine
board. Setelah pemasangan kolar servikal perhatian ditujukan
kepadaairway penderita. Ajak penderita berbicara dan apabila penderita dapat
bericara dengan jelas menggunakan kalimat yang panjang hal itu menunjukkan
bahwa kondisi airway dan breathing penderita dalam keadaan baik, kemungkinan
penderita tidak mengalami syok serta kemungkinan tidak terdapat kelaianan
neurologis.

Namun, apabila penderita tidak dapat menjawab kemungkinan airway mengalami


gangguan. Sumbatan pada jalan nafas ( obstruksi ) akan ditandai dengan suara
nafas antara lain bunyi gurgling ( bunyi kumur- kumur yang menandakan adanya
cairan), bunyi mengorok ( snoring, karena pangkal lidah yang jatuh ke arah dorsal)
ataupu bunyi stidor karena adanya penyempitan/ oedem. Tindakan penanganan
apabila terdapat cairan lakukan suction untuk mengeluarkan cairan, apabila
mengorok lakukan penjagaan jalan nafas secara manual yaitu chin lift atau jaw
thrust disusul dengan pemasangan pipa oro atau nasofaringeal.
 

Gambar head tilt, chin lift                                                                                          


Gambar jaw thrust

Pemasangan pipa orofaringeal ( guedel/ mayo ) jangan dilakukan apabila penderita


masih dalam keadaan sadar karena akan menyebabkan penderita mengeluarkan
pipa tersebut ( reflek gag). Dalam keadaan ini, lebih baik dipasang pipa
nasofaringeal. Harus diingat bahwa pemasangan nasofaringeal merupakan
kontraindikasi bagi penderita yang dicurigai basis kranii bagian depan karena pipa
dapat masuk ke rongga kranium. Apabila penderita mengalami apneu, hal itu
menandakan terdapatnya ancaman obstruksi ataupun ancaman aspirasi. Oleh sebab
itu, pemasangan jalan nafas defintif menjadi pilihan yang diambil. Terapi definitif
tersebut antara lain pembuatan jalan nafas melalui hidung ( nasotrakeal ), melalui
mulut ( orotrakeal ) ataupun langsung melalui suatu krikotiroidiotomi.

b)     Breathing dan Ventilasi

Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi penderita dalam keadaan baik.
Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas adalah mutlak untuk pertukaran
Oksigen dan Karbondioksida dari tubuh. Tiga hal yang dilakukan dalan breathing
yaitu:

–          Nilai apakah breahing baik ( look, listen dan feel )

–          Ventilasi tambahan apabila breathing kurang adekuat

–          Berikan Oksigen sesuai indikasi

Penderita yang dapat berbicara kalimat panjang tanpa kesan sesak, maka breathing
penderita baik. Pernafasan yang baik apabila frekuensi normal ( dewasa rata- rata
20 , anak 30, dan bayi 40 kali per menit), tidak ada gejala sesak dan pemeriksaan
fisiknya baik.

Pemeriksaaan dilakukan dengan cara sebagai berikut:

–          Lihat dada penderita dengan membuka pakaian atas untuk melihat
pernafasan yang baik. Lihat apakah terdapat jejas, luka terbuka dan ekspansi kedua
paru.

–          Auskultasi dilakukan untuk memastikan masukknya udara ke dalam paru-


paru dengan mendengarkan suara nafas ( sekaligus mendengarkan suara jantung).

–          Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara ( hipersonor) atau darah
( dull) dalam rongga pleura.

Cedera thorax yang dapat mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat dan
ditemukan pada saat melakukan survei primer antara lain tension pneumothorax,
flail ches dengan kontusio paru, pneumothoraks terbuka dan hematotoraks masif.

Apabila pernafasan tidak adekuat  harus dilakukan bantuan pernafasan ( assited


ventilation). Di UGD pemberian bantuan pernafasan dengan memakai bag valve
mask ( ambu bag ) ataupun menggunakan ventilator. Pemberian oksigen dengan
konsentrasi yang tinggi menggunakan rebreathing, non-rebreathing mask ataupun
dengan kanul ( 5-6 LPM)

c)      Circulation dengan Kontrol Perdarahan


Langkah berikutnya adalah memeriksa akral dan nadi, apabila menemukan tanda
syok segera atasi syok. Perdarahan merupakan penyebab utama kematian pasca
bedah yang dapat diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit. Syok
pada penderita trauma biasanya diasumsikan disebabkan oleh hipovolemia sampai
terbukti penyebab lainnya sehingga diperlukan penilaian yang cepat mengenai
status hemodinamik penderita.

1)      Pengenalan Syok

Terdapat dua pemeriksaan yanng dalam hitungan detik dapat memberikan


informasi mengenai keadaaan hemodinamik, yaitu akral dan nadi.

–          Keadaan kulit akral

Warna kulit dapat membantu diagnosis hipobolemia. Penderita trauma yang


kulitnya kemerahan terutama pada wajah dan ekstrimitas jarang dalam keadaan
hipovolemia. Sebaliknya, wajah pucat keabu-abuandan kulit ektrimitas yang pucat
serta dingin merupakan tanda syok.

–          Nadi

Nadi yang besar seperti arteri femoralis atau arteri karotis harus diperiksa bilateral
untuk menilai kekuatan nadi,kecepatan dan irama. Pada keadaan syok, nadi akan
melemah/ kecil dan cepat.

Pada fase awal jangan terlalu percaya dengan tekanan darah dalam menentukan
apakah penderita mengalami syok ataupun tidak karena tekanan darah penderita
sebelumnya belum diketahui dan diperlukan kehilangan darah lebih dari 30 %
untuk dapat terjadinya penurunan tekanan darah yang signifikan.

2)      Kontrol Perdarahan

Perdarahan dapat terjadi secara eksternal ( terlihat) maupun internal ( tidak


terlihat). Perdarahan internal berasal dari rongga thoraks, rongga abdomen, fraktur
pelvis, fraktur tulang panjang dan retroperitoneal.

–          Perdarahan Eksternal

Perdarahan eksternal dikendalikan dengan penekanan langsung pada luka dan


jarang dilakukan penjahitan dalam mengendalikan perdarahan luar. Turniket
( tourniquet) jangan dipasang karena pemasangan turniket yang benar justru akan
merusak jaringan akibat iskemia distal dari torniket.Pemakaian hemostat ( di
klem ) memerlukan waktu dan dapat merusak jaringan sekitar seperti saraf dan
pembuluh darah.

–          Perdarahan Internal


Spalk/ bidai dapat digunakan untuk mengontrol perdarahan dari suatu fraktur pada
ekstrimitas. Pneumatic anti syok garment adalah suatu alat untuk menekan pada
keadaan fraktur pelvis, tetapi alat ini mahal dan sulit didapat sehingga sebagai
pengganti sering digunakan gurita sekitar pelvis. Perdarahan intraabdominal atau
intrathorakal yang masif dan tidak diatasi dapat diatasi dengan pemberian cairan
intravena yang adekuat memerlukan tindakan operasi dengan segera untuk
menghentikan perdarahan ( resusitative laparato/ thoracotomy).

3)      Perbaiki Volume

Kehilangan darah sebaiknya diganti dengan darah, tetapi penyediaan darah


membutuhkan waktu sehingga biasanya diberikan cairan kristaloid 1-2 liter untuk
mengawasi syok hemoragik melalui 2 jalur dengan jarum intravena yang besar.
Cairan kristaloid sebaiknya ringer laktat walauoun NaCl fisiologis juga dapat
dipakai. Cairan diberikan dengan tetesan cepat melalui suatu kateter intravena yang
besar minimal ukuran 16 ( diguyur/ grojog).Cairan juga harus dihangatkan untuk
mengindari terjadinya hipotermia. Pemasangan kateter urin juga harus
dipertimbangkan untuk memantau pengeluaran urin.

Saat dikenali syok ( penderita trauma) sambil dipasang infus, lakukan penekanan
pada pendarahan luar ( bila ada ). Apabila tidak ada perdarahan luar dilakukan
pencarian akan adanya perdarahan internal di 5 tempat yaitu thorax, abdomen,
pelvis, tulang panjang dan retroperitoneal. Sambil mencari perdarahan internal
lakukan evaluasi respon penderita terhadap pemberian cairan. Respon yang
diberikan penderita ada 3 yaitu:

–            Respon baik: setelah diguyur, tetesan mulai dipelankan, penderita


menunjukkan tanda- tanda perfusi baik ( kulit hangat, nadi menjadi besar dan
melambat, tekanan darah mulai meningkat) Hal ini menandakan perdarahan sudah
berhenti.

–            Respon sementara: setelah tetesan dipelankan, ternyata penderita


mengalami syok lagi. Hal ini mungkin disebabkan oleh resusitasi cairan masih
kurang atau perdarahan berlanjut.

–            Respon tidak ada: apabila sama sekali tidak terdapat respon terhadap
pemberian cairan, maka harus difikirkan perdarahan yang heba atau syok non-
hemoragik ( paling sering syok kardiogenik).

d)     Disability

Perdarahan intrakranial dapat menyebabkan kematian dengan sangat cepat


sehingga diperlukan evaluasi keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai adalah
tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil.
–          GCS ( Glasgow Coma Scale)

GCS adalah sistem skoring yang sederhana dan dapat meramal outcame dari
penderita. Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh penurunan oksigenasi atau/
dan perfusi ke otak atau disebabkan oleh perlukaan pada otak sendiri. Perubahan
kesadaranakan dapat mengganggu airway serta breathing yang seharusnya sudah
diatasi terlebih dahulu. Jangan lupa bahwa alkohol dan obat-obatan dapat
mengganggu tingkat kesadaran penderita. Penurunan tingkat GCS yang lebih dari
satu ( 2 atau lebih ) harus sangat diwaspadai.

–          Pupil

Nilai adakah perubahan pada pupil. Pupil yang tidak sama besar ( anisokor)
kemungkinan menandakan lesi masa intrakranial ( perdarahan).

–          Resusitasi

Terhadap kelainan primer di otak tidak banyak yang bisa dilakukan, tetapi yang
harus diingat dalam penerimaan penderita di UGD harus dihindari adanya cedera
otak sekunder ( secondary brain injury ). Yang harus dilakukan adalah terapi yang
cepat/ agresif apabila terjadi hipovolemia, hipoksia dan hiperkarbia untuk
menghindari cedera otak sekunder.

e)      Exposure/ Kontrol Lingkungan

Di rumah sakit seluruh pakaian penderita harus dibuka untuk evaluasi kelainan
atau injury secara cepat pada tubuh penderita. Setelah pakaian dibuka perhatikan
injury/ jejas pada tubuh penderita dan harus dipasang selimut agar penderita tidak
kedinginan. Harus dipakaikan selimut yang hangat, ruangan cukup hangat dan
diberikan cairan intravena yang sudah dihangatkan. Apabila pada primary survey
dicurigai adanya perdarahan dari belakang tubuh lakukan long roll untuk
mengethui sumber perdarahan.

f)       Folley Catheter/ kateter urine

Pemakaian kateter urine dan lambung harus dipertimbangkan. Jangan lupa


mengambil sampel urine untuk pemeriksaan urine rutin. Produksi urin merupakan
indikator yang peka untuk menilai keadaan hemodinamik penderita. Urine dewasa
½ /kg/kgBB, anak-anak 1 cc/KgBB/jam dan bayi 2 cc/KgBB/jam. Kateter urine
jangan digunakan apabila ada dugaan terjadinya ruptur uretra. Ruptur uretra
ditandai dengan adanya darah dilubang uretra bagian luar ( OUE/ Orifisium Uretra
External ), adanya hematom di skrotum dan pada colok dubur prostat terletak
tinggi/ tidak teraba.

g)      Gastic Tube/ Kateter Lambung


Kateter lambung dipakai untuk mengurangi distensi lambung dan mencegah
muntah. Isi lambung yang pekat akan mengakibatkan NGT tidak berfungsi.
Pemasangan NGT dapat mengakibatkan muntah. Darah dalam lambung dapat
disebabkan darah tertelan, pemasangan NGT yang traumatik ( ada perlukaan
lambung). Apabila lamina fibrosa patah ( fraktur basis kranii  anterior ), kateter
lambung harus dipasang melalui mulut untuk mencegah masukknya NGT dalam
rongga otak.

h)     Heart Monitoring/ Monitoring EKG

Monitoring hasil resusitasi didasarkan pada ABC penderita.

–          Airway seharusnya sudah diatasi.

–          Brathing: pemantauan laju nafas ( sekaligus pemantauan airway ) dan bila
ada pulse oximetry.

–          Circulation: nadi, tekanan nadi, tekanan darah, suhu tubuh dan jumlah urine
setiap jam. Apabila ada sebaiknya terpasang monitor EKG.

–          Disability: nilai tingkat kesadaran penderita dan adakah perubahan pupil.

i)        Foto Rontogen

Pemakaian foto rontogen harus selektif dan jangan mengganggu proses resusitasi.
Pada penderita dengan trauma tumpul harus dilakukan 3 foto rutin yaitu foto
servikal, thoraks ( AP ) dan Pelvis ( AP ). Foto servikal AP harus terlihat ke-7 ruas
tulang servikal.

v  Survey  Sekunder ( Secondary Survey) dan Pengelolaannya

Survey sekunder adalah pemeriksaan teliti yang dilakukan dari ujung rambut
sampai ujung kaki, dari depan sampai belakang dan setiap lubang dimasukkan jari
( tube finger in every orifice ). Survey sekunder hanya dilakukan apabila penderita
telah stabil. Keadaan stabil yang dimaksud adalah keadaan penderita sudah tidak
menurun, mungkin masih dalam keadaan syok tetapi tidak bertambah berat. Suvey
sekunder harus melalui pemeriksaan yang teliti pada setiap lubang alami (  tubes
and finger in every orifice )

a)      Anamnesis

Anamnesis harus lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai cedera


yang mungkin diderita. Beberapa contoh yang dapat dilhat sebagai berikut:
–          Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman
mengalami: cedera wajah, maksilofacial, servikal, thoraks, abdomen dan tungkai
bawah.

–          Jatuh dari pohon setinggi 6 meter: perdarahan intrakranial, fraktur servikal
atau vertebra lain, fraktur ekstrimitas.

–          Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.

Anamnesis juga harus meliputi anamnesis AMPLE. Riwayat AMPLE didapatkan


dari penderita, keluarga ataupun petugas pra- RS yaitu:

 A : alergi
 M : medikasi/ obat-obatan
 P : penyakit sebelumnya yang diderita ( misalnya hipertensi, DM )
 L : last meal ( terakhir makan jam berapa )
 E : events, yaitu hal-hal yang bersangkitan dengan sebab dari cedera.

b)   Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi, auskultasi, palpasi dan perkusi.

1)      Kulit Kepala

Seluruh kulit kepala diperiksa. Seringkali penderita tampak mengalami cedera


ringan dan ternyata terdapat darah yang berasal dari belakang kepala. Lakukan
inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk melihat adanya laserasi,
kontusio, fraktur dan luka termal.

2)      Wajah

Apabila cedera terjadi disekitar mata jangan lalai dalam memeriksa mata karena
apabila terlambat akan terjadi pembengkakan pada mata sehingga pemeriksaaan
sulit dilanjutkan. Lakukan Re-Evaluasi kesadaran dengan skor GCS.

–          Mata: periksa kornea mata ada cedera atau tidak, pupil : reflek terhadap
cahaya, pembesaran pupil, visus

–          Hidung: apabila terdapat pembengkakan lakukan palpasi akan


kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.

–          Telinga: periksa dengan senter mengenai keutuhan membran timpani atau
adanya hemotimpanum.

–          Rahang atas: periksa stabilitas rahang atas.


–          Rahang Bawah: periksa akan adanya fraktur.

3)      Vertebra Servikalis dan Leher

Pada saat memeriksa leher, kolar terpaksa dilepas. Jangan lupa untuk melakukan
fiksasi pada leher dengan bantuan petugas lain. Periksa adanya cedera tumpul atau
tajam. Deviasi trakea dan simetri pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan
proteksi servikal. Jaga airway, pernafasan dan oksigenasi. Kontrol perdarahan,
cegah kerusakan otak sekunder.

4)      Thoraks

Pemeriksaan dilakukan dengan look, listen, feel.

Inspeksi : dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk adanya trauma
tumpul/ tajam, pemakaian otot pernafasan tambahan dan ekspansi torak bilateral.

Auskultasi: lakukan auskultasi pada bagian depan untuk bising nafas ( bilateral )
dan bising jantung.

Palpasi: lakukan palpasi pada seluruh dinding dada untuk adanya traumatajam/
tumpul, emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.

Perkusi: lakukan perkusi untuk mengetahui adanya hipersonor dan keredupan.

5)      Abdomen

Cedera intraabdomen biasanya sulit terdiagnosa , berbeda dengan  keadaan cedera


kepala yang ditandai dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebrae dengan
kelumpuhan ( penderita tidak sadar akan keluhan nyeri perutnya dan defans otot/
nyeri tekan).

Inspeksi: inspeksi abdomen bagian depan dan belakang untuk melihat adanya
trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan internal.

Auskultasi: auskultasi bising usus untuk mengetahui adanya penurunan bising


usus.

Palpasi: palpasi abdomen untuk mengetahui adanya nyeri tekan, defans muskuler,
nyeri lepas yang jelas.

Perkusi:lakukan perkusi mengetahui adanya nyeri ketok, bunyi timpani akibat


dilatasi lambung akut atau redup bila ada hemoperitoneum.

Apabila ragu-ragu mengenai perdarahan intrabdomen dapat dilakukan pemeriksaan


DPL ataupun USG.
6)      Pelvis

Cedera pelvis yang berat akan tampak pada pemeriksaan fisik ( pelvis menjadi
tidak stabil). Pada cedera berat ini, kemungkinan penderita akan masuk dalam
keadaan syok yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi lakukan pemasangan
PASG/ gurita untuk kontrol perdarahan dari fraktur pelvis.

7)      Ektrimitas

Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi, jangan lupa


untuk memeriksa adanya luka dekat daerah fraktur terbuka, pada saat palpasi
jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur dan jangan dipaksakan
untuk bergerak apabila sudah jelas mengalami fraktur. Sindroma kompartemen
( tekanan intrakompartemen dalam ekstrimitas meninggi sehingga membahayakan
aliran darah) mungkin akan luput dari diagnosis pada penderita yang mengalami
penurunan kesadaran.

8)      Bagian Punggung

Periksa punggung dengan long roll ( memiringkan penderita dengan tetap menjaga
kesegarisan tubuh).

c)    Tambahan Terhadap Survey Sekunder

Pada secondary survey pertimbangkan perlunya diadakan pemeriksaan tambahan


seperti foto tambahan, CT-scan, USG, endoskopi dsb.

v  Re-Evaluasi Penderita

Penilaian ulang penderit dengan mencatat, melaporkan setiap perubahan pada


kondisi penderita dan respon terhadap resusitasi. Monitoring tanda-tanda vital dan
jumlah urine.

v  Transfer ke Pelayanan Definitif

Terapi definitif pada umumnya merupakan porsi dari dokter spesialis bedah. Tugas
dokter yang melakukan penanganan pertama adalah untuk melakukan resusitasi
dan stabilisasi serta menyiapkan penderita untuk dilakukannya tindakan definitive
atau untuk dirujuk. Proses rujukan harus sudah dimulai saat alas an untuk merujuk
ditemukan, karena menunda rujukan akan meninggikan morbiditas dan mortalitas
penderita. Keputusan untuk merujuk penderita didasarkan atas data fisioligis
penderita, cedera anatomis, mekanisme perlukaan, penyakit penyerta serta factor-
faktor   yang dapat mengubah prognosis. Idealnya dipilih rumah sakit terdekat
yang cocok dengan kondisi penderita. Tentukan indikasi rujukan, prosedur
rujukan, kebutuhan penderita selama perjalanan dan cara komunikasi dengan
dokter yang akan dirujuk.

Daftar Pustaka

Anonim. 2010. Basic Trauma Life Support dan Basic Cardiac Life Support ed.
III. Jakarta: Yayasan ambulans Gawat Darurat 118

…….. Buku Panduan Basic Trauma Cardiac Life Support. Jakarta: Yayasan


Ambulans Gawat Darurat 118

Darwis, Allan dkk. 2005. Pedoman Pertolongan Pertama. Ed 2. Jakarta : Kantor


Pusat Palang Merah Indonesia.

Doenges, Marylinn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC

Price. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 1. Edisi


6. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C dan Bare , Brenda. G.2001. Keperawatan Medikal Bedah.


Edisi 8. Vol.3. Jakarta :EGC

Suryono, Bambang dkk. 2008. Materi Pelatihan Penanggulangan Penderita


Gawat Darurat ( PPGD) dan Basic life Support Plus ( BLS ). Yogyakarta: Tim
PUSBANKES 118 BAKER-PGDM PERSI DIJ

Anda mungkin juga menyukai