Anda di halaman 1dari 12

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARSA HUSADA GARUT

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


KOORD. STASE KEPERAWATAN GAWAT DARURAT : ELDESSA V RILLA, M. KEP

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR INITIAL ASSESSMENT


(PEMERIKSAAN FISIK PASIEN KEGAWAT DARURATAN

Nama : ………………………………………………

Nim : ………………………………………………

Tingkat / semester : ………………………………………………

Program studi : ........................................................................

A. Pengertian Initial Assessment

Initial assessment adalah untuk memprioritaskan pasien dan menberikan penanganan


segera. Informasi digunakan untuk membuat keputusan tentang intervensi kritis dan waktu
yang dicapai. Ketika melakukan pengkajian, pasien harus aman dan dilakukan secara cepat
dan tepat dengan mengkaji tingkat kesadaran (Level Of Consciousness) dan pengkajian
ABC (Airway, Breathing, Circulation), pengkajian ini dilakukan pada pasien memerlukan
tindakan penanganan segera dan pada pasien yang terancam nyawanya. (John Emory
Campbell, 2004 : 26).

Initial assesment adalah proses evaluasi secara cepat pada penderita gawat darurat
yang langsung diikuti dengan tindakkan resusitasi (Suryono dkk, 2008 ).

B. Tujuan

1. Menentukan prioritas penilaian pada penderita multi trauma.


2. Menerapkan prinsip primary survei dan secondary survey pada penderita multi
trauma.
3. Menerapkan cara dan teknik terapi baik pada fase resusitasi.
4. Mengenal riwayat dan mekanisme cidera dalam membantu diagnosis.

C. Komponen

Initial assesment meliputi :

1. Persiapan penderita

2. Triage

3. Survey primer (ABCDE)


4. Resusitasi

5. Pemeriksaan penunjang untuk survey primer

6. Survey sekunder (Head to Toe & anamnesis)

7. Pemeriksaan penunjang untuk survey sekunder

8. Pengawasan dan evaluasi ulang

6. Terapi definitive

Urutan dari initial assessment diterapkan secara berurutan atau sekuensial, akan tetapi
dalam praktek sehari-hari dapat dilakukan secara bersamaan atau simultan.

1. Persiapan penderita
Persiapan pada penderita berlangsung dalam dua fase yang berbeda, yaitu fase
pra rumah sakit / pre hospital, dimana seluruh penanganan penderita berlangsung
dalam koordinasi dengan dokter di rumah sakit. Fase kedua adalah fase rumah
sakit/hospital dimana dilakukan persiapan untuk menerima penderita sehingga dapat
dilakukan resusitasi dengan cepat.
a. Tahap Pra Rumah Sakit
Pelayanan korban dengan trauma pra rumah sakit biasanya dilakukan oleh
keluarga ataupun orang sekitar yang berbaik hati menolong ( good samaritan ). Prinsip
utama adalah tidak boleh membuat keadaan lebih parah ( Do no Further Harm ).
Keadaan yang ideal adalah dimana unit gawat darurat yang datang ke penderita
sehingga ambulans harus memiliki peralatan yang lengkap. Petugas yang datang
adalah petugas khusus yang telah mendapatkan pelatihan kegawatdaruratan. Selain itu,
diperlukan koordinasi dengan rumah sakit tujuan terhadap kondiri/ jenis perlukaan
sebelum penderita dipindahkan dari tempat kejadian. Hal ini sangat penting mengingat
koordinasi yang baik antara petugas lapangan dengan petugas di rumah sakit akan
menguntungkan penderita.
Tindakan yang harus dilakukan oleh petugas lapangan/ paramedik adalah:
1) Menjaga airway dan breathing.
2) Mengontrol perdarahan dan syok.
3) Imobilisasi penderita.
4) Pengiriman ke rumah sakit terdekat/ tujuan dengan segera.
b. Tahap Rumah Sakit
Pada fase rumah sakit perlu dilakukan perencanaan sebelum penderita tiba,
sebaiknya ada ruangan khusus resusitasi serta perlengkapan airway (laringoskop,
endotracheal tube) yang sudah dipersiapkan. Selain itu, perlu dipersiapkan cairan
kristaloid (mis : RL) yang sudah dihangatkan, perlengkapan monitoring serta tenaga
laboratorium dan radiologi. Semua tenaga medik yang berhubungan dengan penderita
harus dihindarkan dari kemungkinan penularan penyakit menular dengan cara
penganjuran menggunakan alat-alat protektif seperti masker/face mask, proteksi
mata/google, baju kedap air, sepatu dan sarung tangan kedap air.
2. Triage
Triage adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapai dan
sumber daya yang tersedia Terapi didasarkan pada prioritas ABC (Airway dengan
kontrol vertebra servikal), Breathing, dan Circulation dengan kontrol perdarahan.
Triage juga berlaku untuk pemilahan penderita di lapangan dan rumah sakit yang akan
dirujuk. Dua jenis keadaan triase yang dapat terjadi:
a. Multiple Casualties
Musibah massal dengan jumlah penderita dan beratnya perlukaan tidak
melampaui kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini penderita dengan masalah
yang mengancam jiwa dan multi trauma akan dilayani terlebih dahulu.
b. Mass Casualties
Musibah massal dengan jumlah penderita dan beratnya luka melampaui
kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini yang akan dilakukan penanganan terlebih
dahulu adalah penderita dengan kemungkinan survival yang terbesar, serta
membutuhkan waktu, perlengkapan dan tenaga yang paling sedikit.
3. Survey primer (ABCDE)

Primary survey dilakukan untuk menilai keadaan penderita dan prioritas terapi
berdasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda vital dan mekanisme trauma. Pada primary
survey dilakukan usaha untuk mengenali keadaan yang mengancam nyawa terlebih
dahulu dengan berpatokan pada urutan berikut :

A : Airway

Yang pertama kali harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Hal ini meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang disebabkan oleh benda asing, fraktur
tulang wajah, fraktur mandibula atau maxilla, fraktur laring/trakhea. Usaha uhtuk
membebaskan airway harus melindungi vertebra servikal (servical spine control),
dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw trust. Jika dicurigai ada kelainan pada
vertebra servikalis berupa fraktur maka harus dipasang alat immobilisasi serta
dilakukan foto lateral servikal.

Pemasangan airway definitif dilakukan pada penderita dengan gangguan


kesadaran atau GCS (Glasgow Coma Scale) ≤ 8, dan pada penderita dengan
B : Breathing

Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik
meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Dada penderita harus
dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan dan dilakukan auskultasi untuk memastikan
masuknya udara ke dalam paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau
darah dalam rongga pleura. Sedangkan inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan
kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi.

Trauma yang dapat mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat adalah


tension pneumothoraks, flailchest dengan kontusio paru dan open pneumotoraks.
Sedangkan trauma yang dapat mengganggu ventilasi dengan derajat lebih ringan
adalah hematothoraks, simple pneumothoraks, patahnya tulang iga, dan kontusio paru.
C : Circulation

 Volume darah dan cardiac output


Perdarahan merupakan sebab utama kematian yang dapat diatasi dengan terapi
yang cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi pada trauma harus
dianggap disebabkan oleh hipovolemia sampai terbukti sebaliknya. Dengan
demikian maka diperlukan penilaian yang cepat dari status hemodinamik penderita
yang meliputi :
 Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang yang mengakibatkan
penurunan kesadaran.

 Warna kulit

Wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat meruoakan tanda
hipovolemia.

 Nadi

Perlu dilakukan pemeriksaan pada nadi yang besar seperti arteri femoralis atau
arteri karotis kiri dan kanan untuk melihat kekuatan nadi, kecepatan, dan irama.
Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur, biasanya merupakan tanda
normovolemia. Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia,
sedangkan nadi yang tidak teratur merupakan tanda gangguan jantung. Apabila
tidak ditemukan pulsasi dari arteri besar maka merupakan tanda perlu dilakukan
resusitasi segera.

 Perdarahan
Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada luka. Sumber perdarahan
internal adalah perdarahan dalam rongga thoraks, abdomen, sekitar fraktur dari
tulang panjang, retroperitoneal akibat fraktur pelvis, atau sebgai akibat dari luka
dada tembus perut.

D : Disability/neurologic evaluation

Pada tahapan ini yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil,
tanda-tanda lateralisasi dan tingkat atau level cedera spinal. GCS / Glasgow Coma
Scale adalah sistem skoring sederhana dan dapat meramal outcome penderita.
Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh penurunan oksigenasi atau/dan penurunan
perfusi ke otak, atau disebabkan trauma langsung.

E : Exposure/environmental

Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, biasanya dengan cara


menggunting dengan tujuan memeriksa dan mengevaluasi penderita. Setelah pakaian
dibuka penderita harus diselimuti agar tidak kedinginan.

4. Resusitasi
Resusitasi yang agresif dan pengelolaan cepat pada yang mengancam nyawa
merupakan hal yang mutlak bila ingin penderita tetap hidup.

a. Airway
Pada penderita yang masih sadar dapat dipakai nasofaringeal airway. Bila
penderita tidak sadar dan tidak ada refleks batuk (gag refleks) dapat dipakai
orofaringeal airway.
b. Breathing
Kontrol jalan nafas pada penderita yang airway terganggu karena faktor mekanik,
ada gangguan ventilasi dan atau ada gangguan kesadaran, dicapai dengan intubasi
endotrakheal baik oral maupun nasal. Surgical airway / krikotiroidotomi dapat
dilakukan bila intubasi endotrakheal tidak memungkinkan karena kontraindikasi
atau karena masalah teknis.
c. Circulation
Bila ada gangguan sirkulasi harus dipasang minimal dua IV line. Kateter IV yang
dipakai harus berukuran besar. Pada awalnya sebaiknya menggunakan vena pada
lengan. Selain itu bisa juga digunakan jalur IV line yang seperti vena seksi atau
vena sentralis. Pada saat memasang kateter IV harus diambil contoh darah untuk
pemeriksaan laboratorium rutin serta pemeriksaan kehamilan pada semua penderita
wanita berusia subur.
Pada saat datang penderita diinfus cepat dengan 2-3 liter cairan kristaloid,
sebaiknya Ringer Laktat. Bila tidak ada respon, berikan darah segulungan atau
(type specific). Jangan memberikan infus RL dan transfusi darah terus menerus
untuk terapi syok hipovolemik. Dalam keadaan harus dilakukan resusitasi operatif
untuk menghentikan perdarahan.
5. Pemeriksaan penunjang untuk survey primer

a. Monitor EKG

Monitoring hasil resusitasi didasarkan pada ABC penderita.

• Airway seharusnya sudah diatasi.

• Brathing: pemantauan laju nafas ( sekaligus pemantauan airway ) dan bila


ada pulse oximetry.

• Circulation: nadi, tekanan nadi, tekanan darah, suhu tubuh dan jumlah
urine setiap jam. Apabila ada sebaiknya terpasang monitor EKG.

• Disability: nilai tingkat kesadaran penderita dan adakah perubahan pupil


b. Kateter urin dan lambung

• Kateter uretra

Produksi merupakan indikator yang peka untuk menilai keadaan


perkusi ginjal dan hemodinamik penderita. Kateter urin jangan dipasang
jika dicurigai ada ruptur uretra yang ditandai dengan :

– Adanya darah di orifisium uretra eksterna (metal bleeding)

– Hematom di skrotum atau perineum

– Pada Rectal Toucher, prostat letak tinggi atau tidak teraba.

– Adanya fraktur pelvis.


Bila dicurigai ruptur uretra harus dilakukan uretrogram terlebih dahulu.

• Kateter lambung atau NGT

Kateter lambung dipakai untuk mengurangi distensi lambung dan


mencegah muntah. Isi lambung yang pekat akan mengakibatkan NGT
tidak berfungsi. Pemasangan NGT dapat mengakibatkan muntah. Darah
dalam lambung dapat disebabkan darah tertelan, pemasangan NGT yang
traumatik ( ada perlukaan lambung). Apabila lamina fibrosa patah
( fraktur basis kranii anterior ), kateter lambung harus dipasang melalui
mulut untuk mencegah masukknya NGT dalam rongga otak.

c. Pemeriksaan rontgen dan pemeriksaan tambahan lainnya


Pemeriksaan foto rontgen harus selektif, dan jangan menghambat
proses resusitasi. Foto toraks dan pelvis dapat mengenali kelainan yang
mengancam nyawa, dan foto pelvis dapat menunjukkan adanya fraktur pelvis.

Pemeriksaan DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage) dan USG abdomen


merupakan pemeriksaan bermanfaat untuk menentukan adanya perdarahan
intraabdomen.

6. Survey sekunder (Head to Toe & anamnesis)

Survey sekunder adalah pemeriksaan teliti yang dilakukan dari ujung rambut
sampai ujung kaki, dari depan sampai belakang dan setiap lubang dimasukkan
jari ( tube finger in every orifice ). Survey sekunder hanya dilakukan apabila
penderita telah stabil. Keadaan stabil yang dimaksud adalah keadaan penderita
sudah tidak menurun, mungkin masih dalam keadaan syok tetapi tidak bertambah
berat. Suvey sekunder harus melalui pemeriksaan yang teliti pada setiap lubang
alami ( tubes and finger in every orifice )
a. Anamnesis

Anamnesis harus lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai


cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh yang dapat dilhat sebagai
berikut:

• Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman


mengalami: cedera wajah, maksilofacial, servikal, thoraks, abdomen dan
tungkai bawah.
• Jatuh dari pohon setinggi 6 meter: perdarahan intrakranial, fraktur servikal
atau vertebra lain, fraktur ekstrimitas.

• Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.

Anamnesis juga harus meliputi anamnesis AMPLE. Riwayat AMPLE


didapatkan dari penderita, keluarga ataupun petugas pra- RS yaitu:

• A : alergi

• M : medikasi/ obat-obatan

• P : penyakit sebelumnya yang diderita ( misalnya hipertensi, DM )

• L : last meal ( terakhir makan jam berapa )

• E : events, yaitu hal-hal yang bersangkitan dengan sebab dari cedera.

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi, auskultasi, palpasi dan perkusi.

1) Kulit Kepala

Seluruh kulit kepala diperiksa. Seringkali penderita tampak


mengalami cedera ringan dan ternyata terdapat darah yang berasal dari
belakang kepala. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah
untuk melihat adanya laserasi, kontusio, fraktur dan luka termal.

2) Wajah

Apabila cedera terjadi disekitar mata jangan lalai dalam memeriksa


mata karena apabila terlambat akan terjadi pembengkakan pada mata
sehingga pemeriksaaan sulit dilanjutkan. Lakukan Re-Evaluasi kesadaran
dengan skor GCS.

• Mata: periksa kornea mata ada cedera atau tidak, pupil : reflek
terhadap cahaya, pembesaran pupil, visus
• Hidung: apabila terdapat pembengkakan lakukan palpasi akan
kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.

• Telinga: periksa dengan senter mengenai keutuhan membran


timpani atau adanya hemotimpanum.

• Rahang atas: periksa stabilitas rahang atas.

• Rahang Bawah: periksa akan adanya fraktur.

3) Vertebra Servikalis dan Leher


Pada saat memeriksa leher, kolar terpaksa dilepas. Jangan lupa untuk
melakukan fiksasi pada leher dengan bantuan petugas lain. Periksa adanya
cedera tumpul atau tajam. Deviasi trakea dan simetri pulsasi. Tetap jaga
imobilisasi segaris dan proteksi servikal. Jaga airway, pernafasan dan
oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder.

4) Thoraks

Pemeriksaan dilakukan dengan look, listen, feel.

Inspeksi : dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk


adanya trauma tumpul/ tajam, pemakaian otot pernafasan tambahan dan
ekspansi torak bilateral.

Auskultasi: lakukan auskultasi pada bagian depan untuk bising nafas


( bilateral ) dan bising jantung.

Palpasi: lakukan palpasi pada seluruh dinding dada untuk adanya


traumatajam/ tumpul, emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.

Perkusi: lakukan perkusi untuk mengetahui adanya hipersonor dan


keredupan.

5) Abdomen

Cedera intraabdomen biasanya sulit terdiagnosa , berbeda dengan


keadaan cedera kepala yang ditandai dengan penurunan kesadaran, fraktur
vertebrae dengan kelumpuhan ( penderita tidak sadar akan keluhan nyeri
perutnya dan defans otot/ nyeri tekan).

Inspeksi: inspeksi abdomen bagian depan dan belakang untuk melihat


adanya trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan internal.

Auskultasi: auskultasi bising usus untuk mengetahui adanya penurunan


bising usus.
Palpasi: palpasi abdomen untuk mengetahui adanya nyeri tekan, defans
muskuler, nyeri lepas yang jelas.

Perkusi:lakukan perkusi mengetahui adanya nyeri ketok, bunyi timpani


akibat dilatasi lambung akut atau redup bila ada hemoperitoneum. Apabila
ragu-ragu mengenai perdarahan intrabdomen dapat dilakukan
pemeriksaan DPL ataupun USG.

6) Pelvis

Cedera pelvis yang berat akan tampak pada pemeriksaan fisik ( pelvis
menjadi tidak stabil). Pada cedera berat ini, kemungkinan penderita akan
masuk dalam keadaan syok yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi
lakukan pemasangan PASG/ gurita untuk kontrol perdarahan dari fraktur
pelvis.

7) Ektrimitas

Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi,


jangan lupa untuk memeriksa adanya luka dekat daerah fraktur terbuka,
pada saat palpasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari
fraktur dan jangan dipaksakan untuk bergerak apabila sudah jelas
mengalami fraktur. Sindroma kompartemen ( tekanan intrakompartemen
dalam ekstrimitas meninggi sehingga membahayakan aliran darah)
mungkin akan luput dari diagnosis pada penderita yang mengalami
penurunan kesadaran.

8) Bagian Punggung

Periksa punggung dengan long roll ( memiringkan penderita dengan


tetap menjaga kesegarisan tubuh).

7. Pemeriksaan penunjang untuk survey sekunder

Pada secondary survey pertimbangkan perlunya diadakan pemeriksaan


tambahan seperti foto tambahan, CT-scan, USG, endoskopi dsb.

8. Pengawasan dan evaluasi ulang

Penilaian ulang penderit dengan mencatat, melaporkan setiap perubahan pada


kondisi penderita dan respon terhadap resusitasi. Monitoring tanda-tanda vital
dan jumlah urine.

9. Terapi definitif
Terapi definitif pada umumnya merupakan porsi dari dokter spesialis bedah.
Tugas dokter yang melakukan penanganan pertama adalah untuk melakukan
resusitasi dan stabilisasi serta menyiapkan penderita untuk dilakukannya tindakan
definitive atau untuk dirujuk. Proses rujukan harus sudah dimulai saat alas an
untuk merujuk ditemukan, karena menunda rujukan akan meninggikan morbiditas
dan mortalitas penderita. Keputusan untuk merujuk penderita didasarkan atas data
fisioligis penderita, cedera anatomis, mekanisme perlukaan, penyakit penyerta
serta factor- faktor yang dapat mengubah prognosis. Idealnya dipilih rumah sakit
terdekat yang cocok dengan kondisi penderita. Tentukan indikasi rujukan,
prosedur rujukan, kebutuhan penderita selama perjalanan dan cara komunikasi
dengan dokter yang akan dirujuk.

REFERENSI

Anonim. 2010. Basic Trauma Life Support dan Basic Cardiac Life Support ed.
III. Jakarta: Yayasan ambulans Gawat Darurat 118

Darwis, Allan dkk. 2005. Pedoman Pertolongan Pertama. Ed 2. Jakarta : Kantor


Pusat Palang Merah Indonesia.
FORMAT EVALUASI INITIAL ASSESSMENT
(PEMERIKSAAN FISIK PASIEN KEGAWAT DARURATAN

No Item Penilaian Score (S) Bobot Jumlah


1 2 3 4 5 (B) (SXB)
1 Fase pra-rumah sakit 1

2 Fase rumah sakit 1

3 Triase 4

4 Primary survey 2
A. Airway
B. Breathing
C. Circulation
D. Disability
E. Environment

5 A. Airway and Cervical 2


Control
B. Breathing and
Ventilation
C. Circulation and
Hemorrhage control
D. Disability
E. Environment

6 SECONDARY SURVEY, 2
PEMERIKSAAN
PENUNJANG DAN
EVALUASI

7 Abdomen 2
8 Genetalia 2
9 Kaki 2
10 Punggung 2

NILAI AKHIR/TOTAL

Garut, ...........................
Penguji

( ........................................... )
Keterangan:
5 = Sangat memuaskan
4 = Memuaskan
3 = Cukup
2 = Kurang
1 = Gagal

Anda mungkin juga menyukai