Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

INITIAL ASSESMENT

Oleh :

YULY PAZIRA

NIM:

1714201173

DOSEN PEMBIMBING :

NS. ALDO YULIANO,MM

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERINTIS PADANG

T.A 2019/2020
INITIAL ASSESSMENT

A. PENGERTIAN

Initial Assessment adalah proses penilaian awal pada penderita trauma disertai pengelolaan
yang tepat guna untuk menghindari kematian. Initial assessment yang dilakukan saat
menemukan korban atau pasien dengan kondisi gawat darurat merupakan salah satu penentu
keberhasilan penanganan korban/pasien tersebut. Initial assessment merupakan suatu bentuk
penilaian awal kondisi korban/pasien yang dilakukan secara cepat dan tepat, sehingga tim
medis baik dokter atau perawat yang melakukan initial assessment harus mempunyai
kecakapan dan ketrampilan khusus dalam menilai kondisi awal pasien tersebut.

B. TUJUAN

a. untuk menstabilkan pasien, mengidentifikasi cedera / kelainan pengancam jiwa dan


untuk memulai tindakan sesuai, serta untuk mengatur kecepatan dan efisiensi tindakan
definitif atau transfer kefasilitas sesuai.

b. Mencegah semakin parahnya penyakit dan menghindari kematian korban dengan


penilaian yang cepat dan tindakan yang tepat.

C. PROSEDUR KERJA

Initial assesment meliputi :

Persiapan

Triase

Primary survey

Resusitasi

Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi

Secondary survey (anamnesis dan pemeriksaan fisik)

Tambahan terhadap secondary survey

Pemantauan dan reevaluasi berkesinambungan


Penanganan definitif

Urutan dari initial assessment diterapkan secara berurutan atau sekuensial, akan tetapi dalam
praktek sehari-hari dapat dilakukan secara bersamaan atau simultan.

Persiapan

Persiapan pada penderita berlangsung dalam dua fase yang berbeda, yaitu fase pra rumah
sakit / pre hospital, dimana seluruh penanganan penderita berlangsung dalam koordinasi
dengan dokter di rumah sakit. Fase kedua adalah fase rumah sakit/hospital dimana dilakukan
persiapan untuk menerima penderita sehingga dapat dilakukan resusitasi dengan cepat.

Fase pra rumah sakit

Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dengan petugas di lapangan akan
menguntungkan penderita. Pada fase pra rumah sakit, hal yang perlu diperhatikan adalah
penjagaan airway, kontrol pendarahan dan syok, imobilisasi penderita dan segera dibawa ke
rumah sakit terdekat dengan fasilitas yang memadai.

Waktu di tempat kejadian (scene time) yang lama harus dihindari. Selain itu juga penting
mengumpulkan keterangan yang nanti dibutuhkan di rumah sakit, seperti waktu kejadian,
sebab kejadian, mekanisme kejadian, serta riwayat penderita. Sehingga dapat ditentukan jenis
dan berat dari trauma.

Fase rumah sakit

Pada fase rumah sakit perlu dilakukan perencanaan sebelum penderita tiba, sebaiknya ada
ruangan khusus resusitasi serta perlengkapan airway (laringoskop, endotracheal tube) yang
sudah dipersiapkan. Selain itu, perlu dipersiapkan cairan kristaloid (mis : RL) yang sudah
dihangatkan, perlengkapan monitoring serta tenaga laboratorium dan radiologi. Semua tenaga
medik yang berhubungan dengan penderita harus dihindarkan dari kemungkinan penularan
penyakit menular dengan cara penganjuran menggunakan alat-alat protektif seperti
masker/face mask, proteksi mata/google, baju kedap air, sepatu dan sarung tangan kedap air.

Triase

Triase adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber daya yang
tersedia. Terapi didasarkan pada prioritas ABC (Airway dengan kontrol vertebra servikal),
Breathing, dan Circulation dengan kontrol perdarahan.

Triase juga berlaku untuk pemilahan penderita di lapangan dan rumah sakit yang akan
dirujuk. Dua jenis keadaan triase yang dapat terjadi:
Multiple Casualties

Musibah massal dengan jumlah penderita dan beratnya perlukaan tidak melampaui
kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini penderita dengan masalah yang mengancam
jiwa dan multi trauma akan dilayani terlebih dahulu.

Mass Casualties

Musibah massal dengan jumlah penderita dan beratnya luka melampaui kemampuan rumah
sakit. Dalam keadaan ini yang akan dilakukan penanganan terlebih dahulu adalah penderita
dengan kemungkinan survival yang terbesar, serta membutuhkan waktu, perlengkapan dan
tenaga yang paling sedikit.

Primary Survey

Primary survey dilakukan untuk menilai keadaan penderita dan prioritas terapi berdasarkan
jenis perlukaan, tanda-tanda vital dan mekanisme trauma. Pada primary survey dilakukan
usaha untuk mengenali keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu dengan berpatokan
pada urutan berikut :

A : Airway

Yang pertama kali harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Hal ini meliputi pemeriksaan
adanya obstruksi jalan nafas yang disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur
mandibula atau maxilla, fraktur laring/trakhea. Usaha uhtuk membebaskan airway harus
melindungi vertebra servikal (servical spine control), dimulai dengan melakukan chin lift
atau jaw trust. Jika dicurigai ada kelainan pada vertebra servikalis berupa fraktur maka harus
dipasang alat immobilisasi serta dilakukan foto lateral servikal.

Pemasangan airway definitif dilakukan pada penderita dengan gangguan kesadaran atau GCS
(Glasgow Coma Scale) ≤ 8, dan pada penderita dengan gerakan motorik yang tidak bertujuan.

B : Breathing

Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi
yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Dada penderita harus dibuka untuk melihat
ekspansi pernafasan dan dilakukan auskultasi untuk memastikan masuknya udara ke dalam
paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura.
Sedangkan inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin
mengganggu ventilasi.
Trauma yang dapat mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat adalah tension
pneumothoraks, flailchest dengan kontusio paru dan open pneumotoraks. Sedangkan trauma
yang dapat mengganggu ventilasi dengan derajat lebih ringan adalah hematothoraks, simple
pneumothoraks, patahnya tulang iga, dan kontusio paru.

C : Circulation

Volume darah dan cardiac output

Perdarahan merupakan sebab utama kematian yang dapat diatasi dengan terapi yang cepat
dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi pada trauma harus dianggap disebabkan
oleh hipovolemia sampai terbukti sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan penilaian
yang cepat dari status hemodinamik penderita yang meliputi :

Tingkat kesadaran

Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang yang mengakibatkan
penurunan kesadaran.

Warna kulit

Wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat meruoakan tanda
hipovolemia.

Nadi

Perlu dilakukan pemeriksaan pada nadi yang besar seperti arteri femoralis atau arteri
karotis kiri dan kanan untuk melihat kekuatan nadi, kecepatan, dan irama. Nadi yang
tidak cepat, kuat, dan teratur, biasanya merupakan tanda normovolemia. Nadi yang
cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, sedangkan nadi yang tidak teratur
merupakan tanda gangguan jantung. Apabila tidak ditemukan pulsasi dari arteri besar
maka merupakan tanda perlu dilakukan resusitasi segera.

Perdarahan

Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada luka. Sumber perdarahan


internal adalah perdarahan dalam rongga thoraks, abdomen, sekitar fraktur dari tulang
panjang, retroperitoneal akibat fraktur pelvis, atau sebgai akibat dari luka dada tembus
perut.

D : Disability/neurologic evaluation
Pada tahapan ini yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda
lateralisasi dan tingkat atau level cedera spinal. GCS / Glasgow Coma Scale adalah sistem
skoring sederhana dan dapat meramal outcome penderita. Penurunan kesadaran dapat
disebabkan oleh penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak, atau disebabkan
trauma langsung.

E : Exposure/environmental

Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, biasanya dengan cara menggunting dengan
tujuan memeriksa dan mengevaluasi penderita. Setelah pakaian dibuka penderita harus
diselimuti agar tidak kedinginan.

Resusitasi

Resusitasi yang agresif dan pengelolaan cepat pada yang mengancam nyawa merupakan hal
yang mutlak bila ingin penderita tetap hidup.

Airway

Pada penderita yang masih sadar dapat dipakai nasofaringeal airway. Bila penderita
tidak sadar dan tidak ada refleks batuk (gag refleks) dapat dipakai orofaringeal airway.

Breathing

Kontrol jalan nafas pada penderita yang airway terganggu karena faktor mekanik, ada
gangguan ventilasi dan atau ada gangguan kesadaran, dicapai dengan intubasi
endotrakheal baik oral maupun nasal. Surgical airway / krikotiroidotomi dapat
dilakukan bila intubasi endotrakheal tidak memungkinkan karena kontraindikasi atau
karena masalah teknis.

Circulation

Bila ada gangguan sirkulasi harus dipasang minimal dua IV line. Kateter IV yang
dipakai harus berukuran besar. Pada awalnya sebaiknya menggunakan vena pada
lengan. Selain itu bisa juga digunakan jalur IV line yang seperti vena seksi atau vena
sentralis. Pada saat memasang kateter IV harus diambil contoh darah untuk
pemeriksaan laboratorium rutin serta pemeriksaan kehamilan pada semua penderita
wanita berusia subur.
Pada saat datang penderita diinfus cepat dengan 2-3 liter cairan kristaloid, sebaiknya
Ringer Laktat. Bila tidak ada respon, berikan darah segulungan atau (type specific).
Jangan memberikan infus RL dan transfusi darah terus menerus untuk terapi syok
hipovolemik. Dalam keadaan harus dilakukan resusitasi operatif untuk menghentikan
perdarahan.

Tambahan pada primary survey dan resusitasi

Monitor EKG : dipasang pada semua penderita trauma.

Kateter urin dan lambung

Kateter uretra

Produksi merupakan indikator yang peka untuk menilai keadaan perkusi ginjal dan
hemodinamik penderita. Kateter urin jangan dipasang jika dicurigai ada ruptur
uretra yang ditandai dengan :

Adanya darah di orifisium uretra eksterna (metal bleeding)

Hematom di skrotum atau perineum

Pada Rectal Toucher, prostat letak tinggi atau tidak teraba.

Adanya fraktur pelvis.

Bila dicurigai ruptur uretra harus dilakukan uretrogram terlebih dahulu.

Kateter lambung atau NGT

Kateter lambung dipakai untuk mengurangi distensi lambung dan mengurangi kemungkinan
muntah. Isi lambung yang pekat mengakibatkan NGT tidak berfungsi, lagipula
pemasangannya sendiri dapat mengakibatkan muntah. Darah dalam lambung dapat
disebabkan darah tertelan, pemasangan NGT yang traumatik atau perlukaan lambung. Bila
lamina kribosa patah atau diduga patah, kateter lambung harus dipasang melalui mulut untuk
mencegah masuknya NGT dalam rongga otak. Dalam keadaan ini semua pipa jangan di
masukkan lewat jalur naso-faringeal.

Monitor

Monitoring hasil resusitasi sebaiknya didasarkan pada penemuan klinis seperti laju nafas,
nadi, tekanan nadi, tekanan darah, ABG (Arterial Blood Gases), suhu tubuh dan keluaran
(output) urin hasil pemeriksaan di atas harus didapat secepatnya setelah menyelesaikan survei
primer.

Laju nafas dan ABG dipakai untuk menilai airway dan breathing. ETT dapat berubah posisi
pada saat penderita berubah posisi. Alat pengukur CO2 secara kolorimetrik mengukur End-
Tidal CO2 dan merupakan cara yang baik untuk menetapkan bahwa posisi ETT dalam
trakhea, dan bukan dalam esofagus. Penggunaan alat ini tidak dapat menentukan bahwa letak
ETT sudah tepat.

Penggunaan Pulse oximetri mengukur kadar O2 saturasi, bukan PaO2. Suatu sensor
diletakkan pada ujung jari atau cuping telinga, dan kemudian mengukur saturasi O2, biasanya
sekaligus tercatat denyut nadi.

Pada penilaian tekanan darah harus disadari bahwa tekanan darah ini merupakan indikator
yang kurang baik guna menilai perfusi jaringan.

Pemeriksaan rontgen dan pemeriksaan tambahan lainnya

Pemeriksaan foto rontgen harus selektif, dan jangan menghambat proses resusitasi. Foto
toraks dan pelvis dapat mengenali kelainan yang mengancam nyawa, dan foto pelvis dapat
menunjukkan adanya fraktur pelvis.

Pemeriksaan DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage) dan USG abdomen merupakan


pemeriksaan bermanfaat untuk menentukan adanya perdarahan intraabdomen.

Secondary survey

Survei sekunder adalah pemeriksaan kepala sampai kaki (head to toe examination), termasuk
re-evaluasi pemeriksaan tanda vital.

Anamnesis

Setiap pemeriksaan lengkap memerlukan anamnesis mengenai riwayat perlukaan. Biasanya


data ini tidak bisa didapat dari penderita sendiri dan harus didapat dari keluarga atau petugas
lapangan.
Riwayat AMPLE

A: Alergi

M: Medikasi (obat yang diminum saat ini)

P: Past Illness (penyakit penyerta) / pregnancy

L: Last meal

E: Even / environment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan

Mekanisme perlukaan sangat menentukan keadaan penderita. Jenis perlukaan dapat


diramalkan dari mekanisme kejadian perlukaan itu. Trauma biasanya dibagi menjadi
beberapa jenis:

Trauma tumpul

Dapat disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, terjatuh dan kegiatan rekreasi atau pekerjaan.
Keterangan yang penting yang dibutuhkan kecelakaan lalu lintas mobil adalah pemakaian
sabuk pengaman, deformasi kemudi, arah tabrakan, kerusakan kendaraan baik kerusakan
major dalam bentuk luar atau hal – hal yang berhubungan dengan perlengkapan penumpang,
dan terlemparnya keluar penumpang. Pola perlukaan pada pasien dapat diramalkan dari
mekanisme traumanya. Trauma perlukaan juga sangat dipengaruhi usia dan aktivitas.

Trauma tajam

Trauma tajam akibat pisau atau benda tajam dan senjata api semakin sering ditemukan.
Faktor yang menentukan jenis dan berat perlukaan adalah daerah tubuh yang terluka, organ
yang terkena dan velositas / kecepatan. Dengan demikian maka velositas, caliber, arah dan
jarak dari senjata merupakan informasi yang sangat penting diketahui.

Trauma termal

Luka bakar dapat terjadi sendiri atau dalam kombinasi dengan trauma tumpul atau trauma
tajam akibat mobil terbakar, ledakan, benda yang terjatuh, usaha penyelamatan diri ataupun
serangan pisau dan senjata api. Cedera dan keracunan monoksida dapat menyertai luka bakar.
Secara khusus perlu ditanyakan tempat terjadinya kejadian perlukaan (ruang tertutup /
terbakar) atau bahan yang ikut terbakar (bahan kimia, plastik, dsb) dan perlukaan lain yang
menyerta.

Hipotermia akut atau kronik dapat menyebabkan kehilangan panas umum atau local.
Kehilangan panas dalam jumlah besar dapat terjadi walaupun tidak dalam suhu yang terlalu
dingin (15-20Oc) yaitu bila penderita memakai pakaian yang basah, tidak bergerak aktif atau
minum alcohol, sehingga tubuh tidak bisa menyimpan panas.
Trauma kimia, toksin dan radiasi

Kontak dengan bahan kimia, toksin atau radiasi perlu diketahui karena dua sebab. Pertama
disebabkan karena bahan – bahan ini dapat mengakibatkan berbagai macam kelainan pada
jantung, paru atau organ tubuh lainnya. Kedua, bahan ini dapat berbahaya bagi tenaga
kesehatan yang merawat pasien tersebut.

Pemeriksaan Fisik

Tambahan terhadap secondary survey

Dalam melakukan secondary survey, dapat dilakukan pemeriksaan diagnostic yang lebih
spesifik seperti misalnya foto tambahan dari tulang belakang serta ekstremitas, CT-Scan
kepala, dada, abdomen dan spine, urografi dan angiografi, USG transesofageal, bronkoskopi,
esofagoskopi dan prosedur diagnostic lain.

Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan

Penurunan keadaan dapat dikenali apabila dilakukan evaluasi ulang secara terus menerus,
sehingga gejala yang baru timbul, segera dapat dikenali dan dapat ditangani secepatnya.
Monitoring tanda vital dan produksi urin sangat penting. Produksi urin pada orang dewasa
sebaiknya dijaga ½ cc/kgBB/jam, pada anak 1cc/kgBB/jam.

Penanganan rasa nyeri merupakan hal yang penting. Rasa nyeri dan ketakuatan akan timbul
pada penderita trauma, terutama pada perlukaan muskulo-skeletal. Golongan opiat atau
anxiolitika harus diberikan secara intravena dan sebaiknya jangan intra-muskular.

Penanganan definitif

Untuk keputusan merujuk penderita dapat dipakai Interhospital Triage Criteria. Kriteria ini
memakai data fisiologis penderita, cedera anatomis, mekanisme perlukaan, penyakit penyerta
serta faktor – faktor yang dapat mempengaruhi prognosis.
Daftar Pustaka

Djohan, T. B. (2004). penyakitjantung koroner dan hipertensi. Universitas sumatera utara.

Doengoes, M. E., Moorhouse, M. f., & Geissler, A. C. (2000). Rencana Asuhan


Keperawatan pedoman untuk perencaan dan pedokumentasian perawatan pasien.
jakarta : EGC.

Firdaus, I. (2011). Pharmacoinvasive Strategy in Acute STEMI. Jurnal Kardiologi Indonesia,


266-271.

Guyton, A. C., & Hall, J. E. (2009). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.

Haris, S., & Tambunan, T. (2009). HIpertensi pada sindrom metabolik. Jakarta: Sari Pediatri.

O'gara, p. T., frederick, Kushner, & Deborah. (2013). 2013 ACCF/AHA GUIDLINE FOR
THE MANAGEMENT OF ST ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION : A
REPORT OF THE AMERICAN COLLEGE OF CARDIOLOGY FOUNDATION /
AMERICAN HEART ASSOCIATION TASK FORCE ON PRACTICE GUIDLINE.
AMERICAN HEART ASSOCIATION, 1-88.

Price, S. A., & wilson, L. M. (2006). patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit .
Jakarta: EGC.

Siregar, a. a., & Lubis, E. N. (2010). Pengendalian terhadap faktor risiko kardiovaskular
dihubungkan dengan dan Pencegahannya. Retrieved 11 16, 2014, from
http://usupress.usu.ac.id: http://usupress.usu.ac.id/files/Bunga%20Rampai
%20Kardiologi_Normal_bab%201.pdf

Smeltzer, S., & Bare, B. (2011). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah . Jakarta: EGC.

Sudoyo, a. w., setiyohadi, b., Alwi, i., Marcellus, S. K., & Siti, s. (2009). Buku ajar Ilmu
Penyakit dalam Jilid II edisi V. Jakarta : Interna Publishing.

Wilkinson, J. M., & Ahern, N. R. (2013). Buku saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai