Dosen Pembimbing:
Ns. Seven Sitorus, S.Kep., M.Kep., Sp.Kep.MB.
Ns. Martha K. Silalahi, S.Kep., M.Kep.
Disusun Oleh :
Arif Efendi
1035201004
Initial Assessment adalah proses penilaian awal pada penderita trauma disertai pengelolaan
yang tepat guna untuk menghindari kematian.
Urutan dari initial assessment diterapkan secara berurutan atau sekuensial, akan tetapi dalam
praktek sehari-hari dapat dilakukan secara bersamaan atau simultan.
1. Persiapan
Persiapan pada penderita berlangsung dalam dua fase yang berbeda, yaitu fase pra rumah
sakit / pre hospital, dimana seluruh penanganan penderita berlangsung dalam koordinasi
dengan dokter di rumah sakit. Fase kedua adalah fase rumah sakit/hospital dimana dilakukan
persiapan untuk menerima penderita sehingga dapat dilakukan resusitasi dengan cepat.
2. Triase
Triase adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber daya yang
tersedia. Terapi didasarkan pada prioritas ABC (Airway dengan kontrol vertebra servikal),
Breathing, dan Circulation dengan kontrol perdarahan.
Triase juga berlaku untuk pemilahan penderita di lapangan dan rumah sakit yang akan dirujuk.
Dua jenis keadaan triase yang dapat terjadi:
a. Multiple Casualties
Musibah massal dengan jumlah penderita dan beratnya perlukaan tidak melampaui
kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini penderita dengan masalah yang
mengancam jiwa dan multi trauma akan dilayani terlebih dahulu.
b. Mass Casualties
Musibah massal dengan jumlah penderita dan beratnya luka melampaui kemampuan
rumah sakit. Dalam keadaan ini yang akan dilakukan penanganan terlebih dahulu
adalah penderita dengan kemungkinan survival yang terbesar, serta membutuhkan
waktu, perlengkapan dan tenaga yang paling sedikit.
3. Primary Survey
Primary survey dilakukan untuk menilai keadaan penderita dan prioritas terapi berdasarkan
jenis perlukaan, tanda-tanda vital dan mekanisme trauma. Pada primary survey dilakukan
usaha untuk mengenali keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu dengan berpatokan
pada urutan berikut :
A : Airway
Yang pertama kali harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Hal ini meliputi pemeriksaan
adanya obstruksi jalan nafas yang disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur
mandibula atau maxilla, fraktur laring/trakhea. Usaha uhtuk membebaskan airway harus
melindungi vertebra servikal (servical spine control), dimulai dengan melakukan chin lift
atau jaw trust. Jika dicurigai ada kelainan pada vertebra servikalis berupa fraktur maka harus
dipasang alat immobilisasi serta dilakukan foto lateral servikal.
Pemasangan airway definitif dilakukan pada penderita dengan gangguan kesadaran atau GCS
(Glasgow Coma Scale) ≤ 8, dan pada penderita dengan gerakan motorik yang tidak bertujuan.
B : Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi
yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Dada penderita harus dibuka untuk melihat
ekspansi pernafasan dan dilakukan auskultasi untuk memastikan masuknya udara ke dalam
paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura.
Sedangkan inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin
mengganggu ventilasi.
Trauma yang dapat mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat adalah tension
pneumothoraks, flailchest dengan kontusio paru dan open pneumotoraks. Sedangkan trauma
yang dapat mengganggu ventilasi dengan derajat lebih ringan adalah hematothoraks, simple
pneumothoraks, patahnya tulang iga, dan kontusio paru.
C : Circulation
1. Volume darah dan cardiac output
Perdarahan merupakan sebab utama kematian yang dapat diatasi dengan terapi yang
cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi pada trauma harus dianggap
disebabkan oleh hipovolemia sampai terbukti sebaliknya. Dengan demikian maka
diperlukan penilaian yang cepat dari status hemodinamik penderita yang meliputi :
a. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang yang mengakibatkan
penurunan kesadaran.
b. Warna kulit
Wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat meruoakan tanda
hipovolemia.
c. Nadi
Perlu dilakukan pemeriksaan pada nadi yang besar seperti arteri femoralis atau arteri
karotis kiri dan kanan untuk melihat kekuatan nadi, kecepatan, dan irama. Nadi yang
tidak cepat, kuat, dan teratur, biasanya merupakan tanda normovolemia. Nadi yang
cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, sedangkan nadi yang tidak teratur
merupakan tanda gangguan jantung. Apabila tidak ditemukan pulsasi dari arteri besar
maka merupakan tanda perlu dilakukan resusitasi segera.
2. Perdarahan
Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada luka. Sumber perdarahan
internal adalah perdarahan dalam rongga thoraks, abdomen, sekitar fraktur dari tulang
panjang, retroperitoneal akibat fraktur pelvis, atau sebgai akibat dari luka dada tembus
perut.
D : Disability/neurologic evaluation
Pada tahapan ini yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda
lateralisasi dan tingkat atau level cedera spinal. GCS / Glasgow Coma Scale adalah sistem
skoring sederhana dan dapat meramal outcome penderita. Penurunan kesadaran dapat
disebabkan oleh penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak, atau disebabkan
trauma langsung.
E : Exposure/environmental
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, biasanya dengan cara menggunting dengan
tujuan memeriksa dan mengevaluasi penderita. Setelah pakaian dibuka penderita harus
diselimuti agar tidak kedinginan.
4. Resusitasi
Resusitasi yang agresif dan pengelolaan cepat pada yang mengancam nyawa merupakan hal
yang mutlak bila ingin penderita tetap hidup.
A. Airway
Pada penderita yang masih sadar dapat dipakai nasofaringeal airway. Bila penderita
tidak sadar dan tidak ada refleks batuk (gag refleks) dapat dipakai orofaringeal airway.
B. Breathing
Kontrol jalan nafas pada penderita yang airway terganggu karena faktor mekanik, ada
gangguan ventilasi dan atau ada gangguan kesadaran, dicapai dengan intubasi
endotrakheal baik oral maupun nasal. Surgical airway / krikotiroidotomi dapat
dilakukan bila intubasi endotrakheal tidak memungkinkan karena kontraindikasi atau
karena masalah teknis.
C. Circulation
Bila ada gangguan sirkulasi harus dipasang minimal dua IV line. Kateter IV yang
dipakai harus berukuran besar. Pada awalnya sebaiknya menggunakan vena pada
lengan. Selain itu bisa juga digunakan jalur IV line yang seperti vena seksi atau vena
sentralis. Pada saat memasang kateter IV harus diambil contoh darah untuk
pemeriksaan laboratorium rutin serta pemeriksaan kehamilan pada semua penderita
wanita berusia subur.
Pada saat datang penderita diinfus cepat dengan 2-3 liter cairan kristaloid, sebaiknya
Ringer Laktat. Bila tidak ada respon, berikan darah segulungan atau (type specific).
Jangan memberikan infus RL dan transfusi darah terus menerus untuk terapi syok
hipovolemik. Dalam keadaan harus dilakukan resusitasi operatif untuk menghentikan
perdarahan.
Kateter uretra
Produksi merupakan indikator yang peka untuk menilai keadaan perkusi ginjal dan
hemodinamik penderita. Kateter urin jangan dipasang jika dicurigai ada ruptur uretra
yang ditandai dengan :
Riwayat AMPLE
A: Alergi
M: Medikasi (obat yang diminum saat ini)
P: Past Illness (penyakit penyerta) / pregnancy
L: Last meal
E: Even / environment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan
Mekanisme perlukaan sangat menentukan keadaan penderita. Jenis perlukaan dapat
diramalkan dari mekanisme kejadian perlukaan itu. Trauma biasanya dibagi menjadi
beberapa jenis:
1. Trauma tumpul
Dapat disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, terjatuh dan kegiatan rekreasi atau
pekerjaan. Keterangan yang penting yang dibutuhkan kecelakaan lalu lintas mobil
adalah pemakaian sabuk pengaman, deformasi kemudi, arah tabrakan, kerusakan
kendaraan baik kerusakan major dalam bentuk luar atau hal – hal yang berhubungan
dengan perlengkapan penumpang, dan terlemparnya keluar penumpang. Pola
perlukaan pada pasien dapat diramalkan dari mekanisme traumanya. Trauma
perlukaan juga sangat dipengaruhi usia dan aktivitas.
2. Trauma tajam
Trauma tajam akibat pisau atau benda tajam dan senjata api semakin sering
ditemukan. Faktor yang menentukan jenis dan berat perlukaan adalah daerah tubuh
yang terluka, organ yang terkena dan velositas / kecepatan. Dengan demikian maka
velositas, caliber, arah dan jarak dari senjata merupakan informasi yang sangat
penting diketahui.
3. Trauma termal
Luka bakar dapat terjadi sendiri atau dalam kombinasi dengan trauma tumpul atau
trauma tajam akibat mobil terbakar, ledakan, benda yang terjatuh, usaha
penyelamatan diri ataupun serangan pisau dan senjata api. Cedera dan keracunan
monoksida dapat menyertai luka bakar. Secara khusus perlu ditanyakan tempat
terjadinya kejadian perlukaan (ruang tertutup / terbakar) atau bahan yang ikut
terbakar (bahan kimia, plastik, dsb) dan perlukaan lain yang menyerta.
Hipotermia akut atau kronik dapat menyebabkan kehilangan panas umum atau
local. Kehilangan panas dalam jumlah besar dapat terjadi walaupun tidak dalam
suhu yang terlalu dingin (15-20Oc) yaitu bila penderita memakai pakaian yang
basah, tidak bergerak aktif atau minum alcohol, sehingga tubuh tidak bisa
menyimpan panas.
B. Pemeriksaan Fisik
7. Tambahan terhadap secondary survey
Dalam melakukan secondary survey, dapat dilakukan pemeriksaan diagnostic yang lebih
spesifik seperti misalnya foto tambahan dari tulang belakang serta ekstremitas, CT-Scan
kepala, dada, abdomen dan spine, urografi dan angiografi, USG transesofageal,
bronkoskopi, esofagoskopi dan prosedur diagnostic lain.
Penanganan rasa nyeri merupakan hal yang penting. Rasa nyeri dan ketakuatan akan timbul
pada penderita trauma, terutama pada perlukaan muskulo-skeletal. Golongan opiat atau
anxiolitika harus diberikan secara intravena dan sebaiknya jangan intra-muskular.
9. Penanganan definitif
Untuk keputusan merujuk penderita dapat dipakai Interhospital Triage Criteria. Kriteria ini
memakai data fisiologis penderita, cedera anatomis, mekanisme perlukaan, penyakit
penyerta serta faktor – faktor yang dapat mempengaruhi prognosis.
Daftar Pustaka
Djohan, T. B. (2004). penyakitjantung koroner dan hipertensi. Universitas sumatera utara.
Doengoes, M. E., Moorhouse, M. f., & Geissler, A. C. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan
pedoman untuk perencaan dan pedokumentasian perawatan pasien. jakarta : EGC.
Guyton, A. C., & Hall, J. E. (2009). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.
Haris, S., & Tambunan, T. (2009). HIpertensi pada sindrom metabolik. Jakarta: Sari Pediatri.
O'gara, p. T., frederick, Kushner, & Deborah. (2013). 2013 ACCF/AHA GUIDLINE FOR
THE MANAGEMENT OF ST ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION : A
REPORT OF THE AMERICAN COLLEGE OF CARDIOLOGY FOUNDATION /
AMERICAN HEART ASSOCIATION TASK FORCE ON PRACTICE GUIDLINE.
AMERICAN HEART ASSOCIATION, 1-88.
Price, S. A., & wilson, L. M. (2006). patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit .
Jakarta: EGC.
Siregar, a. a., & Lubis, E. N. (2010). Pengendalian terhadap faktor risiko kardiovaskular
dihubungkan dengan dan Pencegahannya. Retrieved 11 16, 2014, from
http://usupress.usu.ac.id: http://usupress.usu.ac.id/files/Bunga%20Rampai
%20Kardiologi_Normal_bab%201.pdf
Smeltzer, S., & Bare, B. (2011). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah . Jakarta: EGC.
Sudoyo, a. w., setiyohadi, b., Alwi, i., Marcellus, S. K., & Siti, s. (2009). Buku ajar Ilmu
Penyakit dalam Jilid II edisi V. Jakarta : Interna Publishing.
Wilkinson, J. M., & Ahern, N. R. (2013). Buku saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.