Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Kegawatdaruratan atau emergency secara umum dapat diartikan sebagai suatu


keadaan yang dinilai sebagai ketergantungan seseorang dalam menerima tindakan medis atau
evaluasi tindakam operasi dengan segera. Berdasarkan definisi tersebut the American College
of Surgeons dalam melakukan penatalaksanaan kegawatdaruratan memiliki prinsip awal,
dalam mengevaluasi, melaksanakan, dan menyediakan terapi pada pasien-pasien dengan
trauma yang tidak dapat diduga sebelumnya serta penyakit lainnya.1
Penatalaksanaan awal dalam kegawatdaruratan merupakan aplikasi terlatih dari
prinsip-prinsip penanganan pada saat terjadinya kecelakaan atau dalam kasus-kasus penyakit
mendadak dengan menggunakan fasilitas-fasilitas atau benda-benda yang tersedia pada saat
itu. Hal ini merupakan metode penanganan yang telah diuji sampai korban dipindahkan ke
Rumah Sakit atau lokasi dimana keterampilan dan peralatan yang layak tersedia.1,2
Pada penderita trauma, managemen waktu amatlah penting, oleh karena itu diperlukan
adanya suatu cara yang mudah dilaksanakan. Proses ini dikenal sebagai initial assesment
(penilaian awal). Initial Assessment adalah proses penilaian awal pada penderita trauma
disertai pengelolaan yang tepat guna untuk menghindari kematian. Pengertian lain initial
assessment adalah proses evaluasi secara tepat pada penderita gawat darurat yang langsung
diikuti dengan tindakan resusitasi. Waktu berperan sangat penting, oleh karena itu diperlukan
cara yang mudah, cepat dan tepat. Proses awal ini dikenal dengan initial assessment
(penilaian awal) dan meliputi persiapan, triage, survey primer, resusitasi, survey sekunder,
pengawasan dan evaluasi ulang, serta terapi definitif.1,2

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kegawatdaruratan
Kegawatdaruratan secara umum dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang dinilai
sebagai ketergantungan seseorang dalam menerima tindakan medis atau evaluasi tindakan
operasi dengan segera. Berdasarkan definisi tersebut The American College of
Emergency Physicians States dalam melakukan penatalaksanaan kegawatdaruratan
memiliki prinsip awal dalam mengevaluasi, melaksanakan, dan menyediakan terapi pada
pasien-pasien dengan trauma yang tidak dapat diduga sebelumnya serta penyakit lainnya.3
Penatalaksanaan awal dalam kegawatdaruratan merupakan aplikasi terlatih dari
prinsip-prinsip penanganan pada saat terjadinya kecelakaan atau dalam kasus-kasus
penyakit mendadak dengan menggunakan fasilitas atau benda-benda yang tersedia saat
itu. Hal ini merupakan metode penanganan yang telah diuji sampai korban dipindahkan
ke rumah sakit atau lokasi dimana keterampilan dan peralatan yang layak tersedia.3
Penatalaksanaan awal diberikan untuk :
 Mempertahankan hidup
 Mencegah kondisi menjadi lebih buruk
 Meningkatkan pemulihan
Seseorang yang memberikan penatalaksanaan awal harus :
 Mengkaji sesuatu
 Menentukan diagnosis untuk setiap korban
 Memberikan penanganan yang cepat dan adekuat, mengingat bahwa korban
mungkin memiliki lebih dari satu cedera dan beberapa korban akan
membutuhkan perhatian lebih daripada yang lain
 Tidak menunda pengiriman korban ke Rumah Sakit sehubungan dengan
kondisi serius
Pada penderita trauma, waktu sangat penting, oleh karena itu diperlukan adanya
suatu cara yang mudah dilaksanakan. Proses in dikenal sebagai initial assessment
(penilaian awal) yang meliputi:1
1. Persiapan
2. Triase
3. Primary Survey (ABCDE)
4. Resusitasi

5
5. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi
6. Secondary survey, pemeriksaan head to toe dan anamnesis
7. Tambahan terhadap secondary survey
8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan
9. Penanganan definitive

2.2 Primary Survey1


Penatalaksanaan awal pada primary survey dilakukan pendekatan melalui ABCDE
yaitu :
A : Airway, menjaga airway dengan control servikal (cervical spinecontrol)
B : Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi
C : Circulation, dengan control pendarahan (hemorrhage control)
D : Disability, status neurologis
E : Exposure/environmental control, membuka baju penderita tetapi cegah
hipotermia
2.2.1 Airway1
Airway manajemen merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan
membutuhkan keterampilan khusus dalam penatalaksanaan keadaan gawat darurat,
oleh karena itu hal pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas, yang
meliputi pemeriksaan jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur
tulang wajah, fraktur mandibular dan maksila, fraktur laring atau trakea. Gangguan
airway dapat timbul secara mendadak dan total, perlahan dan sebagian, atau progresif
dan/aatau berulang.
Menurut ATLS, kematian-kematian dini karena masalah airway seringkali masih
dapat dicegah, dan dapat disebabkan oleh :
1. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway
2. Ketidakmampuan membuka airway
3. Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru
4. Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang
5. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi
6. Aspirasi isi lambung
Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi kecukupan ventilasi dan oksigenasi. Jika
pasien tidak mampu dalam mempertahankan jalan nafasnya, patensi jalan nafas harus
dipertahankan dengan cara buatan seperti: reposisi, chin lift, jaw thrust, atau
6
melakukan penyisipan airway orofaringeal serta nasofaringeal. Usaha untuk
membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebra servikal. Dalam hal ini dapat
dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw thrust. Pada penderita yang dapat
berbicara, dapat dianggap bahwa jalan nafas bersih. Walaupun demikian penilaian
terhadap airway harus tetap dilakukan. Penderita dengan gangguan kesadaran atau
Glasgow Coma Scale sama atau kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan
airway definitive.1
Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus dikerjakan dengan
cepat dan tepat. Bila penderita mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka lidah
mungkin jatuh ke belakang, dan menyumbat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti ini
dapat dengan segera diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin lift maneuver),
atau dengan mendorong rahang bawah kea rah depan (jaw thrust maneuver). Airway
selanjutnya dapat dipertahankan dengan airway orofaringeal (oropharyngeal airway)
atau nasofaringeal (nasopharingeal airway). Tindakan-tindakan yang digunakan untuk
membuka airway dapat menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Oleh karena
itu, selama melakukan prosedur- prosedur ini harus dilakukan imobilisasi segaris
(inline immobilization). Teknik-teknik mempertahankan airway :
1. Head tilt. Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan
horizontal, kecuali pada pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala pasien
harus direndahkan dengan posisi semilateral untuk memudahkan drainase lendir,
cairan muntah atau benda asing. Kepala diekstensikan dengan cara meletakkan satu
tangan di bawah leher pasien dengan sedikit mengangkat leher ke atas. Tangan lain
diletakkan pada dahi depan pasien sambil mendorong / menekan ke belakang.
Posisi ini dipertahankan sambil berusaha dengan memberikan inflasi bertekanan
positif secara intermitten.4
2. Chin lift. Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian
secara hati – hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari
tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut, ibu
jari dapat juga diletakkan di belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara
bersamaan, dagu dengan hati – hati diangkat. Manuver chin lift tidak boleh
menyebabkan hiperekstensi leher. Manuver ini berguna pada korban trauma karena
tidak membahayakan penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang leher atau
mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera
spinal.
7
Gambar 1. Head-tilt, chin-lift maneuver.5
3. Jaw thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada mandibula, jari
kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus mandibula, jari tengah dan
telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus mandibula sedangkan ibu jari kanan dan
kiri berada pada mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati
molar pada maxila.5

Gambar 2. Jaw-thrust maneuver.5

4. Oropharingeal Airway (OPA)


Indikasi: Airway orofaringeal digunakan untuk membebaskan jalan napas pada pasien
yang kehilangan refleks jalan napas bawah. 6
Teknik: Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Kemudian pilih ukuran pipa
orofaring yang sesuai dengan pasien. Hal ini dilakukan dengan cara menyesuaikan
ukuran pipa orofaring dari tragus sampai ke sudut bibir. Masukkan pipa orofaring
dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke atas (arah terbalik), lalu
masukkan ke dalam rongga mulut. Setelah ujung pipa mengenai palatum durum putar

8
pipa ke arah 180 derajat. Kemudian dorong pipa dengan cara melakukan jaw thrust
dan kedua ibu jari tangan menekan sambil mendorong pangkal pipa oro-faring dengan
hati-hati sampai bagian yang keras dari pipa berada diantara gigi atas dan bawah,
terakhir lakukan fiksasi pipa orofaring. Periksa dan pastikan jalan nafas bebas. Fiksasi
pipa oro-faring dengan cara memplester pinggir atas dan bawah pangkal pipa, rekatkan
plester sampai ke pipi pasien.

Gambar 3. Oropharingeal Airway.

5. Nasopharingeal Airway
Indikasi : Pada penderita yang masih memberikan respon, airway nasofaringeal lebih
disukai dibandingkan airway orofaring karena lebih bisa diterima dan lebih kecil
kemungkinannya merangsang muntah.1
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Pilihlah ukuran pipa naso-faring
yang sesuai dengan cara menyesuaikan ukuran pipa naso-faring dari lubang hidung
sampai tragus (anak telinga). Pipa nasofaring diberi pelicin dengan jelly. Masukkan
pipa nasofaring dengan cara memegang pangkal pipa naso-faring dengan tangan
kanan, lengkungannya menghadap ke arah mulut (ke bawah). Masukkan ke dalam
rongga hidung dengan perlahan sampai batas pangkal pipa. Pastikan jalan nafas sudah
bebas.

9
Gambar 4.

Nasopharingeal Airway.

6. Airway definitif
Terdapat tiga jenis airway definitif yaitu : pipa orotrakeal, pipa nasotrakeal, dan
airway surgical (krikotiroidotomi atau trakeostomi). Penentuan pemasangan airway
definitif didasarkan pada penemuan- penemuan klinis antara lain 1
1. Adanya apnea

2. Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara – cara yang lain

3. Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau vomitus

4. Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway

5. Adanya cedera kepala yang membutuhkan bantuan nafas (GCS < 8)

6. Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan pemberian


oksigen tambahan lewat masker wajah

Intubasi orotrakeal dan nasotrakeal merupakan cara yang paling sering digunakan.
Adanya kemungkinan cedera servikal merupakan hal utama yang harus diperhatikan
pada pasien yang membutuhkan perbaikan airway. Faktor yang paling menentukan
dalam pemilihan intubasi orotrakeal atau nasotrakeal adalah pengalaman dokter.
Kedua teknik tersebut aman dan efektif apabila dilakukan dengan tepat.
Ketidakmampuan melakukan intubasi trakea merupakan indikasi yang jelas untuk
melakukan airway surgical.
Apabila pernafasan membaik, jaga agar jalan nafas tetap terbuka dan periksa
dengan cara:5

10
1. Lihat (look), melihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding
dada yang adekuat.

2. Dengar (listen), mendengar adanya suara pernafasan pada kedua sisi dada.

3. Rasa (feel), merasa adanya hembusan nafas.

2.2.2 Breathing
Oksigen sangat penting bagi kehidupan. Sel-sel tubuh memerlukan pasokan
konstan O2 yang digunakan untuk menunjang reaksi kimiawi penghasil energi, yang
menghasilkan CO2 yang harus dikeluarkan secara terus-menerus.7 Kegagalan dalam
oksigenasi akan menyebabkan hipoksia yang diikuti oleh kerusakan otak, disfungsi
jantung, dan akhirnya kematian. Pada keadaan normal, oksigen diperoleh dengan
bernafas dan diedarkan dalam aliran darah ke seluruh tubuh. Airway yang baik tidak
dapat menjamin pasien dapat bernafas dengan baik pula. Menjamin terbukanya
airway merupakan langkah awal yang penting untuk pemberian oksigen. Oksigenasi
yang memadai menunjukkan pengiriman oksigen yang sesuai ke jaringan untuk
memenuhi kebutuhan metabolik, efektivitas ventilasi dapat dinilai secara klinis.
Apabila pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik bag-valve-
face-mask merupakan cara yang efektif, teknik ini lebih efektif apabila dilakukan oleh
dua orang dimana kedua tangan dari salah satu petugas dapat digunakan untuk
menjamin kerapatan yang baik. Cara melakukan pemasangan face-mask.1
1. Posisikan kepala lurus dengan tubuh
2. Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila sungkup
muka dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada kebocoran)
3. Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)
4. Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus mandibula, jari
manis dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk
memegang dan memfiksasi sungkup muka
5. Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala pasien
6. Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah dipasangkan
7. Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan kanan dan
kiri memegang mandibula dan sungkup muka bersama-sama)
8. Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)

11
9. Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi sungkup
muka, sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang bag (kantong)
reservoir sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag)

Pulse oxymeter dapat digunakan untuk memberikan informasi tentang saturasi


oksigen dan perfusi perifer penderita. Pulse oxymeter adalah metoda yang
noninvansif untuk mengukur saturasi oksigen darah aterial secara terus menerus.1

2.2.3 Circulation
Perdarahan merupakan penyebab kematian setelah trauma. Oleh karena itu
penting melakukan penilaian dengan cepat status hemodinamik dari pasien, yakni
dengan menilai tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi.1
a. Tingkat kesadaran. Bila volume darah menurun perfusi otak juga berkurang yang
menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.
b. Warna kulit/ Wajah yang keabu-abuan dan kulit ektremitas yang pucat merupakan
tanda hipovolemia.
c. Nadi. Pemeriksaan nadi dilakukan pada nadi yang besar seperti a. femoralis dan a.
karotis (kanan kiri), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama.
Perdarahan eksternal harus cepat dinilai, dan segera dihentikan bila ditemukan
dengan cara menekan pada sumber perdarahan baik secara manual maupun dengan
menggunakan perban elastis. Bila terdapat gangguan sirkulasi harus dipasang
sedikitnya dua IV line, yang berukuran besar. Kemudian lakukan pemberian larutan
Ringer laktat sebanyak 2 L sesegera mungkin.1

2.2.4 Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis
secara cepat. Hal yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil.
Tanda-tanda lateralisasi dan tingkat (level) cedera spinal. Cara cepat dalam
mengevaluasi status neurologis yaitu dengan menggunakan AVPU, sedangkan GSC
(Glasgow Coma Scale) merupakan metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi
status neurologis, dan dapat dilakukan pada saat survey sekunder.1 AVPU, yaitu:
A: Alert
V: Respon to verbal
P: Respon to pain
12
U: Unrespon
GSC (Glasgow Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana untuk menilai
tingkat kesadaran pasien.
1. Menilai “eye opening” penderita (skor 4-1) Perhatikan apakah penderita :
a. Membuka mata spontan
b. Membuka mata jika dipanggil, diperintah atau dibangunkan
c. Membuka mata jika diberi rangsangan nyeri (dengan menekan ujung kuku
jari tangan)
d. Tidak memberikan respon
2. Menilai “best verbal response” penderita (skor 5-1) Perhatikan apakah
penderita :
a. Orientasi baik dan mampu berkomunikasi
b. Disorientasi atau bingung
c. Mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk kalimat
d. Mengerang (mengucapkan kata -kata yang tidak jelas artinya)
e. Tidak memberikan respon
3. Menilai “best motor respon” penderita (skor 6-1) Perhatikan apakah penderita :
a. Melakukan gerakan sesuai perintah
b. Dapat melokalisasi rangsangan nyeri
c. Menghindar terhadap rangsangan nyeri
d. Fleksi abnormal (decorticated)
e. Ektensi abnormal (decerebrate)
f. Tidak memberikan respon Range skor : 3-15 (semakin rendah skor yang
diperoleh, semakin jelek kesadaran)
Penurunan tingkat kesadaran perlu diperhatikan pada empat kemungkinan
penyebab:8
1. Penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak
2. Trauma pada sentral nervus sistem
3. Pengaruh obat-obatan dan alkohol
4. Gangguan atau kelainan metabolic

2.2.5 Exposure/environmental control


Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka keseluruhan
pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa punggung dengan
13
memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti penderita dengan
selimut kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan diberikan cairan intra-vena
yang sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak hipotermi.

2.3 Survey Sekunder / Secondary Survey


Survey sekunder baru dilakukan setelah survey primer selesai dan dipastikan airway,
breathing, dan sirkulasi penderita dipastikan membaik. Prinsip pada survey sekunder
adalah memeriksa seluruh tubuh dengan lebih teliti dari mulai ujung rambut sampai
ujung jari kaki (head to toe) baik pada tubuh bagian depan maupun belakang dan
evaluasi ulang terhadap pemeriksaan tanda vital penderita. Dimulai dengan anamnesa
singkat meliputi AMPLE (allergy, medication, past illness, last meal, dan event of
injury). Pemeriksaan penunjang yang diperlukan dapat dilakukan pada fase ini
diantaranya foto thoraks.1
Survey sekunder hanya dilakukan apabila penderita stabil. Sedikit mengenai
pengertian stabil : penderita stabil berarti bahwa keadaan penderita sudah tidak menurun.
Mungkin masih ada tanda syok, namun tidak bertambah berat. Ini berbeda dengan
keadaan normal, dimana penderita kembali ke keadaan normal.1,2

A. Anamnesis
Anamnesa harus lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai cedera yang
mungkin diderita. Anamnesa juga harus meliputi :
A : alergi
M : medikasi / obat-obatan
P : Penyakit sebelumnya yang diderita: hipertensi, DM
L : last Meal (terakhir makan jam berapa, bukan makan apa)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera
Riwayat AMPLE dapat diperoleh dari penderita, keluarga atau petugas pra RS.1

B. Pemeriksaan Fisik1
Pemeriksaan fisik : meliputi inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi
1. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Cukup sering terjadi bahwa penderita yang
nampaknya cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari

14
tetesan luka di belakang kepala. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala
dan wajah untuk adanya laserasi, kontusi, fraktur, dan luka termal.
2. Wajah
Ingat prinsip: ‘look-listen-feel’. Apabila cedera sekitar mata jangan lalai
memeriksa mata, karena pembengkakan di mata akan menyebabkan
pemeriksaan mata selanjutnya menjadi sulit. Re-evaluasi tingkat kesadaran
denagn skor GCS.
- Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, pupil mengenai isokor serta
reflex cahaya, acies visus dan acies campus.
- Hidung : apabila ada pembengkakan. Lakukan palpasi akan kemungkinan
krepitasi dari suatu fraktur.
- Zygoma : apabila ada pembengkakan jangan lupa mencari krepitasi akan
adanya fraktur zygoma.
- Telinga : periksa dengan senter mengenai keutuhan membrane timpani
atau adanya hemotimpanum.
- Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas
- Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur
3. Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, kolar terpaksa dilepas. Jangan lupa untuk seorang
pembantu tetap melakukan fiksasi pada kepala. Periksa adanya cedera tumpul
atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya
nyeri, deformitas, pembengkakan, emfisema subkutan, deviasi trakea, dan
simetri pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal. Jaga
airway, pernafas, dan oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak
sekunder, dan lepaskan lensa kontak.
4. Toraks
 Pemeriksaan dilakukan dengan look-listen-feel.
 Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk
adanya trauma tumpul/ tajam, pemakaian otot pernafasan tambahan
dan ekspamsi thoraks bilateral.
 Auskultasi pada bagian depan untuk bising nafas (bilateral) dan bising
jantung.

15
 Palpasi seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
 Perkusi untuk adanya hipersonor dan keredupan.
 Ingat bahwa setiap cedera di bawah puting susu, ada kemungkinan
cedera intra-abdominal pula.
5. Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada
keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan
kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot
dan nyeri tekan/lepas tidak ada).
 Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang untuk adanya trauma
tajam, tumpul, dan adanya perdarahan internal.
 Auskultasi bising usus, perkusi abdomen untuk mendapatkan nyeri
lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk nyeri tekan, defans muskuler,
nyeri lepas yang jelas, atau uterus yang hamil.
Bila ragu-ragu akan adnya perdarahan intra-abdominal dapat dilakukan
pemeriksaan DPL (diagnostic peritoneal lavage), ataupun USG.
Ingat bahwa pada perforasi organ berlumen misalnya usus halus gejala
mungkin tidak akan nampak dengan segera, karena itu memerlukan re-
evaluasi berulang kali.
Pengelolaan : transfer penderita ke ruang operasi bila diperlukan
6. Pelvis
Cedera pada pelvis yang berat, akan nampak pada pemeriksaan fisik (pelvis
menjadi tidak stabil). Pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan
masuk dalam keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi
pasang PASG/ gurita untuk control perdarahan dari fraktur pelvis.
7. Ekstermitas
Pemeriksaan dilakukan dengan ‘look-feel-move’. Pada saat inspeksi, jangan
lupa untuk memeriksa adanyaluka dekat daerah fraktur (fraktur terbuka), pada
saat palpasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur, pada
saat menggerakkan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur.

16
Sindroma kompartemen (tekanan intra kompartemen dalam ekstrimitas
meninggi sehingga membahayakan aliran darah) mungkin luput terdiagnosis
pada penderita dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan.
8. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dengan ‘log roll’ (memiringkan penderita
dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat dilakukan
pemeriksaan punggung.

3 Re-evaluasi Penderita
Penilaian ulang penderita dengan mencatat, melaporkan setiap perubahan pada kondisi
penderita dan respon terhadap resusitasi. Monitoring dari tanda vital dan jumlah urin
mutlak dilakukan. Jangan lakukan pemeriksaan yang tidak perlu apabila penderita akan
dirujuk ke RS lainnya.1,2

4 Terapi Definitif dan Rujukan


Terapi definitive pada umumya dilakukan oleb dokter spesialis bedah. Tugas dokter
yang melakukan penanganan pertama adalah untuk melakukan resusitasi dan stabilisasi
serta menyiapkan penderita untuk dilakukannya tindakan definitive atau untuk dirujuk.
Proses rujukan harus sudah mulai saat alasan untuk merujuk ditemukan, karena menunda
rujukan akan meninggikan morbiditas dan mortalitas penderita.2
Keputusan untuk merujuk penderita didasarkan atas data fisiologis penderita, cedera
anatomis, mekanisme perlukaan, penyakit penyerta serta faktor-faktor yang dapat
mengubah prognosis. Idealnya dipilih rumah sakit terdekat yang cocok dengan kondisi
penderita.2
Pertimbangkan perlunya diadakan pemeriksaan tambahan: seperti foto tambahan, CT
scan, USG, endoskopi, atau pemeriksaan penunjang lainnya. Sebelum merujuk pasien,
harus terlebih dahulu ditentukan indikasi rujukan, prosedur rujukan, kebutuhan penderita
selama perjalanan, dan cara komunikasi dengan dokter yang akan dirujuk.2

17
BAB III
KESIMPULAN

Pada kasus trauma, diperlukan alur penatalaksanaan yang jelas dan terstruktur menignat
pentingnya managemen waktu dalam menentukan prognosis pasien. Proses ini dikenal
sebagai initial assesment (penilaian awal). Initial Assessment merupakan proses penilaian
awal pada penderita trauma disertai pengelolaan yang tepat guna untuk menghindari
kematian. Proses awal ini dikenal meliputi persiapan, triage, survey primer, resusitasi, survey
sekunder, pengawasan dan evaluasi ulang, serta terapi definitif.
Penatalaksanaan awal pada primary survey dilakukan pendekatan melalui ABCDE yaitu
Airway, dimana dokter menjaga airway dengan kontrol servikal (cervical spine control), lalu
Breathing, dimana pernafasan dijaga dengan mempertahankan ventilasi adekuat, kemudian
Circulation, dimana dilakukan kontrol pendarahan (hemorrhage control), kemudian
Disability, dimana dokter mengevaluasi Glascow Coma Scale pasien serta tingkat kesadaran
dan Exposure/environmental control, yang merupakan bagian akhir dari primary survey,
penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian
tubuh.
Survey sekunder baru dilakukan setelah survey primer selesai dan dipastikan airway,
breathing, dan sirkulasi penderita dipastikan membaik. Prinsip pada survey sekunder adalah
memeriksa seluruh tubuh dengan lebih teliti dari mulai ujung rambut sampai ujung jari kaki
(head to toe) baik pada tubuh bagian depan maupun belakang dan evaluasi ulang terhadap
pemeriksaan tanda vital penderita. Dimulai dengan anamnesa singkat meliputi AMPLE
(allergy, medication, past illness, last meal, dan event of injury). Survey sekunder hanya
dilakukan apabila keadaan umum penderita telah stabil.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. American College of Surgeons. 2013. Advanced Trauma Life Support For Doctors,9th
edition. United States of America.
2. Seri PPGD. Penanggulangan Penderita Gawat Darurat General Emergency Life
Support (GELS).2006. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT).
Cetakan Ketiga. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan
R.I.
3. Stone, C. and Humphries, R. 2008. Current diagnosis & treatment emergency
medicine. New York, N.Y.: Lange Medical Books/McGraw-Hill.
4. Alkatri. 2007. Resusitasi Kardio-pulmoner. Edisi IV. Jakarta: pusat penerbitan
departemant Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Unversitas Indonesia, 173-176
5.  Lippert, F., Raffay, V., Georgiou, M., Steen, P. and Bossaert, L. (2010). European
Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2010 Section 10. The ethics of
resuscitation and end-of-life decisions. Resuscitation, 81(10), pp.1445-1451.
6. Roppolo, L.P., Davis, D., Kelly, S.P., Rosen, P., 2007. Airway management. In:
Kene, M., Davis, D., ed. Emergency Medicine Handbook Critical Concept for
Clinical Practice. Philadelphia: Elseiver, 25-43.
7. Sherwood L. 2012. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. 6th ed. Jakarta: EGC.
8. MacSwain, N. and Bamonti, A. (2003). PHTLS. St. Louis: Mosby.

19

Anda mungkin juga menyukai