Disusun Oleh :
Kelompok 1
Resita Aulia Budiman 11020170018
A. Azizah Nur Fadhilah Salim 11020170030
Muh. Nirwan Rusdy 11020170039
Miftahul Janna 11020170042
Muh. Rifky Mapallawa 11020170054
A. Ambar Yusuf Putra 11020170058
Mardika I. S. P. Laode 11020170060
Murni Aswiranti Putri Muhlis 11020170077
Kasma 11020170087
Wa Ode Nur Fatimah Rifaat 11020170118
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya sehingga
hasil tutorial ini dapat diselesaikan dengan baik. Dan tak lupa pula mengirimkan
salawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari
dunia yang penuh kebodohan ke alam yang penuh dengan kecerdasan.
Kami juga berterima kasih kepada pihak-pihak yang membantu membuat
laporan ini dan para tutor yang membimbing kami selama proses PBL. Semoga
laporan tutorial ini dapat bermanfaat bagi semua orang yang telah membaca
laporan ini dan terutama untuk tim penyusunnya sendiri. Semoga setelah
membaca laporan ini bisa menambah pengetahuan pembaca.
KELOMPOK 1
A. SKENARIO 1
C. KATA KUNCI
1. Perempuan 19 tahun
2. Kesadaran menurun 1 jam setelah kecelakaan lalu lintas
3. TTV : TD 140/90 mmhg (hipertensi grade 1), Nadi 40x/menit (bradikardia), R
R 10x/menit (bradipneu), Suhu 37°C
4. Mengeluarkan suara merintih, dengan rangsang nyeri mampu membuka mata
dan hanya menggerakkan tangan dan kaki setelah dirangsang nyeri
5. Tampak jejas di pelipis kanan
6. Sempat berbicara saat diantarkan ke puskesmas
D. PERTANYAAN
1. Bagaimana tingkat kesadaran pasien?
2. Apa yg menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran?
3. Jelaskan patomekanisme dari kesadaran menurun?
4. Bagaimana penanganan awal kepada pasien sesuai dengan skenario?
5. Jelaskan syarat melakukan rujukan pada pasien dengan kesadaran menurun?
6. Bagaimana tindak lanjut setelah penanganan awal diberikan?
7. Jelaskan perspektif Islam yang berhubungan dengan skenario ?
E. JAWABAN
1. Tingkat kesadaran pasien
Secara kuantitatif dapat dengan menggunakan skala koma Glasgow (GCS). Hal-
hal yang dinilai pada pemeriksaan ini adalah reaksi membuka mata, berbicara dan
gerakan/motorik.
Skala Koma Glasgow
Eye Spontan 4
Disorientasi/bingung 4
2. EKSTRAKRANIAL
Koma dapat disebabkan oleh penyakit yang menyerang bagian otak secara
fokal maupun seluruh otak secara difus. Penyebab koma secara umum
diklasifikasikan dalam intrakranial dan ekstrakranial. Selain itu, koma juga
dapat disebabkan oleh penyebab traumatik dan non-traumatik. Penyebab
traumatik yang sering terjadi adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, dan
jatuh. Penyebab non-traumatik yang dapat membuat seseorang jatuh dalam
keadaan koma antara lain gangguan metabolik, intoksikasi obat, hipoksia
global, iskemia global, stroke iskemik, perdarahan intraserebral, perdarahan
subaraknoid, tumor otak, kondisi inflamasi, infeksi sistem saraf pusat seperti
meningitis, ensefalitis dan abses serta gangguan psikogenik.3
Keadaan koma dapat berlanjut menjadi kematian batang otak jika tidak ada
perbaikan keadaan klinis.
3. Patomekanisme kesadaran menurun
Koma juga bisa terjadi apabila terjadi gangguan baik pada neuron penggalak
kewaspadaan maupun neuron pengemban kewaspadaan yang menyebabkan
neuron-neuron tersebut tidak bisa berfungsi dengan baik dan tidak mampu
bereaksi terhadap pacuan dari luar maupun dari dalam tubuh sendiri. Adanya
gangguan fungsi pada neuron pengemban kewaspadaan, menyebabkan koma
kortikal bihemisferik, sedangkan apabila terjadi gangguan pada neuron
penggalak kewaspadaan, menyebabkan koma diensefalik, supratentorial atau
infratentorial.
Penurunan fungsi fisiologik dengan adanya perubahan-perubahan patologik
yang terjadi pada koma yang berkepanjangan berhubungan erat dengan lesi-lesi
sistem neuron kortikal diensefalik. Jadi prinsipnya semua proses yang
menyebabkan destruksi baik morfologis (perdarahan, metastasis, infiltrasi),
biokimia (metabolisme, infeksi) dan kompresi pada substansia retikularis batang
otak paling rostral (nuklei intralaminaris) dan gangguan difus pada kedua
hemisfer serebri menyebabkan gangguan kesadaran hingga koma. Derajat
kesadaran yang menurun secara patologik bisa merupakan keadaan tidur secara
berlebihan (hipersomnia) dan berbagai macam keadaan yang menunjukkan daya
bereaksi di bawah derajat awas-waspada. Keadaan-keadaan tersebut dinamakan
letargia, mutismus akinetik, stupor dan koma.
Bila tidak terdapat penjalaran impuls saraf yang kontinyu dari batang otak ke
serebrum maka kerja otak menjadi sangat terhambat. Hal ini bisa dilihat jika
batang otak mengalami kompresi berat pada sambungan antara mesensefalon
dan serebrum akibat tumor hipofisis biasanya menyebabkan koma yang
ireversibel. Saraf kelima adalah nervus tertinggi yang menjalarkan sejumlah
besar sinyal somatosensoris ke otak. Bila seluruh sinyal ini hilang, maka tingkat
aktivitas pada area eksitatorik akan menurun mendadak dan aktivitas otakpun
dengan segera akan sangat menurun, sampai hampir mendekati keadaan koma
yang permanen.
Epidural hematoma terjadi pada 1% trauma kepala, Insiden tertinggi terjadi pada
usia 20-30 tahun, jarang terjadi pada usia dibawah 2 tahun atau lebih dari 60
tahun, (disebabkan dura yang melekat erat pada tabula interna skull). Fraktur
terjadi pada 85% pasien dewasa. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab
terbanyak (30-70%), penyebab lain akibat terjatuh dan korban kekerasan.
Lokasi tersering pada daerah temporal, kemudian frontal, occipital dan fossa
posterior. 2-5% terjadi bilateral. Epidural hematoma terjadi akibat robekan arteri
meningea media atau cabang-cabangnya akibat fraktur pada daerah
temporoparietal. Akumulasi darah melepaskan perlekatan duramater dari
dinding tabula interna yang kemudian terisi hematoma.Kemungkinan lain pada
awal duramater terlepas dari dinding tabula interna kemudian ruang yang
terbentuk terisi oleh hematoma. Sumber perdarahan terbanyak bersumber dari
perdarahan arteri: arteri meningea media (85%), dapat juga berasal dari vena
meningea media, sinus duramater atau dari vena diploe.
Kerusakan akibat trauma biasanya lebih tinggi pada subdural hematoma akut di
banding pada epidural hematom, di mana lesi yang timbul menyebabkan angka
mortalitas lebih tinggi. Sering terdapat lesi pada otak, yang tidak terjadi pada
EDH. Gejala terjadi akibat penekanan pada struktur otak dibawahnya yang
menyebabkan pergeseran garis tengah, lesi intracerebral dan edema cerebri
• Subdural hematoma yang besar terdapat pada 18% kasus terbanyak disebakan
karena rupture pada bridging vein yang menghubungkan vena kortikal dengan
sinus sagitalis superior.
SDH akut dapat terjadi pada pasien yang mendapat terapi antikoagulan, di mana
terjadi tanpa riwayat trauma atau trauma minimal.4
4. Penanganan awal kepada pasien sesuai dengan skenario
Primary Survey
Penilaian keadaan pasien dan prioritas terapi didasarkan jenis perlukaan,
tanda- tanda vital, dan mekanisme trauma. Pada pasien yang terluka parah,
terapi diberikan berdasarkan prioritas. Tanda vital pasien harus dinilai secara
cepat dan efisien. Pengelolaan pasien berupa primary surv ey yang cepat dan
kemudian resusitasi, secondary survey, dan akhirnya terapi definitif. Proses ini
merupakan ABCDE-nya trauma, dan berusaha mengenali keadaan yang
mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan berpatokan pada urutan berikut:
Airway
a. Penilaian
tengah.
b. Permasalahan
Bila salah satu dari hal-hal tersebut kita temukan maka segeralah lakukan
pembebasan jalan napas. Jalan napas bebas dapat dicapai dengan ekstensi
kepala sehingga lidah terletak di depan dan tidak menutup hipofaring. Hal
ini dapat dicapai dengan menarik dagu ke depan. Bila ada kecurigaan terjadi
fraktur tulang leher, tindakan membebaskan jalan napas dilakukan tanpa
ekstensi berlebihan kepala dan posisi leher harus diimobilisasi. Umumya
jalan napas harus terlebih dahulu dibuka, dibebaskan, dan dibersihkan.
Berdasarkan AHA, head tilt/chin lift maneuver adalah teknik paling efektif
untuk membuka jalan napas korban yang tidak sadar. Teknik ini adalah
satu-satunya maneuver yang direkomendasikan untuk penolong awam dan
penolong yang berpengalaman ketika ada trauma kepala atau leher. Head
tilt/chin lift maneuver dilakukan dengan meletakkan satu tangan pada dahi
pasien dan kepala dimiringkan kebelakang. Jari pada tangan lain diletakkan
dengan kuat di bawah bagian tulang yang menonjol pada dagu, angkat dagu
ke atas.
Cara ini dilakukan pada korban dengan riwayat trauma servikal. Tindakan
jaw- thrust dilakukan dengan cara memegang sudut rahang bawah (angulus
mandibula) kiri dan kanan serta mendorong rahang bawah ke depan. Hal ini
harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah ekstensi kepala.
Heimlich Maneuver
Back blows adalah pukulan atau tepukan pada punggung pasien sebanyak
lima kali yang dapat dilakukan pada siapapun.
Finger sweep
Oropharingeal Airway
Airway oral disisipkan ke dalam mulut dibalik lidah. Teknik yang dipilih
adalah dengan menggunakan spatula lidah untuk menekan lidah dan
menyisipkan airway tersebut ke belakang. Alat ini tidak boleh mendorong
lidah kebelakang yang justru akan membuat airway buntu. Alat ini tidak
boleh digunakan pada pasien yang sadar karena dapat menyebabkan
sumbatan, muntah dan aspirasi. Pasien yang dapat mentoleransi airway
orofaringeal kemungkinan besar membutuhkan intubasi.
Nasopharyngeal Airways
Breathing
a. Penilaian
b. Permasalahan
c. Penanganan
Mouth to Mouth
Mouth to Mask
Sebuah masker transparan dengan atau tanpa katup yang digunakan dari
mulut ke masker pernapasan. Ventilasi mulut ke masker sangat efektif
karena memungkinkan penyelamat untuk menggunakan dua tangan
untuk membuat masker terpasang erat di daerah mulut pasien. Ada 2
teknik yang mungkin untuk menggunakan masker mulut. Teknik
pertama posisi penyelamat di atas kepala korban (cephalic technique).
Pada teknik kedua (lateral technique), penyelamat adalah diposisikan di
samping korban dan menggunakan head tilt– chin lift.
Bag Valve Mask
Circulation
a. Penilaian
b. Permasalahan
Kegagalan sirkulasi yang paling sering terjadi pada korban trauma adalah
syok dan henti jantung yang antara lain terjadi karena perdarahan yang
terlalu banyak atau karena cedera jantungnya sendiri. Tanda-tanda henti
jantung adalah: tidak teraba nadi yang sebelumnya teraba atau tidak ada
denyut pembuluh darah besar karotis atau femoralis. Salah satu atau
kedua tanda utama ini berlaku pada semua situasi.
Perlu dibuat diagnosis dengan cepat dalam hitungan detik akan kejadian
ini. Dilatasi pupil terjadi pada henti sirkulasi dan merupakan tanda
hipoksia. Hipoksia dapat juga mendahului henti jantung sehingga sianosis
serta midriasis telah ada walaupun curah jantung tidak berkurang. Tidak
ada cadangan nyata oksigen di dalam tubuh tetapi pada setiap saat
tersedia kurang lebih 1000 ml oksigen. Jelas bahwa tidak semua oksigen
ini tersedia sepenuhnya untuk keperluan metabolik. Jadi jika penggunaan
oksigen terus tidak berkurang, “cadangan” akan habis terpakai (paling
lama 3 menit). Secara umum, bila sirkulasi tidak mulai kembali secara
spontan, atau tidak ditambah secara buatan, dalam 3 menit sejak saat
berhenti, mungkin tidak ada gunanya kita memulai resusitasi. Oleh karena
itu, henti jantung klinis harus ditangani segera.
c. Penanganan
Syok
Terapi awal cairan larutan elektrolit istonik hangat, misalnya Ringer laktat,
digunakan untuk resusitasi awal. Cairan jenis ini mengisi volume vaskuler
dengan cara menggantikan kehilangan cairan penyerta yang hilang ke
dalam ruang itertisial dan intraseluler. Keputusan untuk memberikan
transfuse darah didasarkan pada respon pasien. Tujuan utama transfuse
darah adalah untuk mengembalikan kapasitas angkut oksigen di dalam
volume intravaskuler.
Chest Compression
Bila hal di atas positif, maka hal tersebut menunjukkan indikasi ke arah
perbaikan:
2. Fungsi kardiovaskular
Fungsi kardiovaskuler dapat diketahui dari denyut nadi yang teratur dan
kuat dan juga dari tekanan darah. Bila fungsi kardiovaskuler telah
kembali normal, maka dilakukan penilaian:
a. Monitoring dari organ-organ vital dalam, antara lain kardiovaskuler,
ginjal, dan keseimbangan asam dan basa.
b. Apakah terdapat fibrilasi ventrikuler dan takikardi ventrikuler yang
berulang.
1. Kematian klinis
Secara klinis tindakan resusitasi dapat dihentikan apabila setelah 1-1,5
jam jantung berhenti dan pasien tetap tidak dapat menunjukkan
kesadaran.
2. Kematian jantung
Dapat dimulai dengan tandanya monitoring EKG dalam waktu paling
sedikit 30 menit setelah tindakan resusitasi selama pemberian obat-
obatan.
3. Kematian otak
Secara total bila tidak terdapat aktivitas elektroensepalografi dan secara
klinis terjadi pelebaran pupil paling sedikit selama 1-2 jam maka dapat
dianggap sebagai indikasi untuk menghentikan resusitasi.
4. Telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif.
a.Upaya resusitasi telah diambil alih orang yang bertanggung jawab.
b. Penolong terlalu capek sehingga tak sanggup meneruskan
resusitasi. Setelah dimulai resusitasi, ternyata kemudian diketahui
bahwa pasien berada dalam stadium terminal suatu penyakit yang tak
dapat disembuhkan atau hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral
akan pulih.
Disability
E. Exposure
Cara Transportasi
Dalam memilih cara transportasi, prinsip “Do no further harm” harus menjadi
pertimbangan utama. Perjalanan antar rumah sakit dapat berbahaya, keculi
apabila terhadap pasien telah dilakukan stabilisasi, tenaga yang mendampingi
cukup terlatih, dan telah diperhitungkan kemungkinan yang terjadi selama
transportasi.
Protokol Rujukan
Apabila belum ada prosedur tetap, maka dianjurkan prosedur dibawah ini:
3) Dokumentasi
Yang disertakan dengan pasien adalah dokumentasi mengenai permasalahan
pasien, terapi yang telah diberikan, keadaan pasien saat akan dirujuk.
4) Pengobatan sebelum merujuk
Pasien harus dilakukan resusitasi dalam usaha membuat pasien dalam keadaan
sestabil mungkin, seperti dianjurkan dibawah ini
a) Airway
- Pasang airway atau intubasi bila perlu
- Suction dimana perlu
- Pasang NGT untuk mencegah aspirasi
b) Breathing
- Tentukan laju pernafasan, berikan oksigen
- Ventilasi mekanik bila diperlukan
- Pasang pipa toraks (chest tube) dimana perlu
c) Circulation
- Kontrol perdarahan luar
- Pasang 2 jalur infus, mulai pemberian kristaloid
- Perbaiki kehilangan darah dengan kristaloid atau darah, dan teruskan
pemberian
- selama transportasi
- Pasang kateter uretra untuk monitor keluar urin
- Monitor kecepatan dan irama jantung7
Indikasi:
a. Pasien yang tampak pucat atau sianotik
b. Terjadinya obstruksi jalan napas
c. Terdapat benda asing disubglotis
d. Cedera parah pada wajah dan leher
Komplikasi:
a. Perdarahan
b. Infeksi pada tulang rawan tiroid
c. Stenosis trakea
Secondary Survey
Secondary survey adalah pemeriksaan kepala-sampai-kaki (head to toe examin
ation), termasuk pemeriksaan tanda vital. Secondary survey baru dilaksanakan set
elah primary survey selesai, resusitasi sudah dilakukan, dan ABC-nya penderita di
pastikan membaik. Pada secondary surveyini dilakukan pemeriksaan neurologi le
ngkap, termasuk mencatat skor GCS bila belum dilaksanakan dalam survey prime
r. Pada secondary survey ini juga dilakukan pemeriksaan radiologi yg diperlukan..
Prosedur khusus seperti DPL, evaluasi radiologis dan pemeriksaan laboratorium j
uga dikerjakan pada kesempatan ini evaluasi lengkap dari penderita memerlukan p
emeriksaan berulang-ulang.
ANAMNESIS
A – Alergi
M – Medikasi (obat yang diminum saat ini)
P – Past Illness (penyakit penyerta) / Pregnancy
L – Last Meal
E – Event / Environment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan
1) Trauma tumpul
2) Trauma tajam
3) Perlukaan karena suhu / panas
4) Bahan berbahaya (HAZMAT-Hazardous Material)
PEMERIKSAAN FISIK
1) Kepala
2) Maksilo-fasial
3) Vertebra Servikalis dan Leher
4) Thoraks
5) Abdomen
6) Perineum
7) Muskuloskeletal
8) Neurologis
a) Head
Observasi dan palpasi ukuran dan respon pupil, telinga, membran thympani
diperiksa untuk melihat adanya darah atau CSF, Battle’s sign (echymosis di
mastoid) yang menunjukkan adanya fraktur basis cranii. Serta diperiksa dan dicari
cedera didaerah maksillofacial dan cervical spine.
b) Neck
Harus diimobilisasi jika dicurigai ada cedera cervical. Rontgen cervical lateral
(C1-C7) harus dikerjakan.
c) Chest
Inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi serta foto thoraks. Diperiksa dan dicari
pelebaran mediastinum, fracture costa, flail segment, haemothoraks,
pneumothoraks, dan contusion paru
d) Abdomen
Fokus pada pemeriksaan untuk mencari kondisi akut yang membutuhkan
intervensi bedah. Keputusan untuk segera melaksanakan DPL, CT-Scan, atau
laparatomi cito harus segera diambil
e) Rectal
Adanya darah menunjukkan perforasi rectum, prostat letak tinggi menandakan
adanya ruptur uretra, terabanya fragmen tulang di dinding rectum menunjukkan
adanya fraktur pelvis.
f) Examination of Extremitas
Dicari adanya cedera vascular dan musculoskeletal. Hilangnya denyut nadi perifer
merupakan indikasi dilakukannya aortografi.
g) Neurologic Examination
Pemeriksaan untuk menentukan fungsi cerebral hemispheric, brainstem, dan spina
l levels.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Pemeriksaan laboratorium ada yang bersifat segera (cito) dan ada pula yang
bersifat terencana (menunggu hasil pemeriksaan fisik lengkap, EKG, radiologi,
dan sebagainya). Pemeriksaan laboratorik yang bersifat segera pada umumnya
meliputi pemeriksaan glukosa darah, jumlah leukosit, kadar hemoglobin,
hematokrit. Dan analisis gas darah. Yang terakhir ini hanya dapat dikerjakan di
rumah sakit yang lengkap fasilitasnya. Secara umum, pemeriksaan darah
sehubungan dengan koma meliputi pemeriksaan rutin lengkap, kadar glukosa
darah, elektrolit, fungsi ginjal, fungsi hati, gas darah. Pada kasus tertentu
(meningitis enscfalitis, perdarahan subaraknoidal) diperlukan tindakan pungsi
lumbal dan kemudian dilakukan analisis cairan serebrospinal.
2) Pemeriksaan elektrofisiologi pada kasus koma bersifat terbatas kecuali
pemeriksaan EKG. Pemeriksaan eko-ensefalografi bersifat noninvasif, dapat
dikerjakan dengan mudah, tetapl manfaat diagnostiknya terbatas. Apabila ada CT
Scan maka pemeriksaan ekoensefalografi tidak perlu dikerjakan. Pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG) terutama dikerjakan pada kasus mati otak (brain
death).
3) Pemeriksaan radiologik dalam penanganan kasus koma tidak selamanya
mutlak perlu. CT Scan akan sangat bermanfaat pada kasus-kasus lesi otak
(GPDO), neoplasma, abses, trauma kapitis, dan hidrosefalus. Koma metabolik
pada umumnya tidak memerlukan pemeriksaan CT Scan kepala. Dalam kasus
demikian ini justru pemeriksaan laboratorium patologi klinik lebih bermanfaat.
Foto dada bersifat selektif, bergantung pada situasi klinis dan riwayat sebelumnya.
RE-EVALUASI
Penurunan kesadaran dapat dikenal apabila dilakukan evaluasi ulang terus me
nerus, sehingga gejala yang baru timbul segera dapat dikenali dan dapat ditangani
secepatnya. Monitoring tanda vital dan produksi urin penting. Produksi urin orang
dewasa sebaiknya dijaga ½ cc/kgBB/jam, pada anak 1 cc/kgBB/jam. Bila penderit
a dalam keadaan kritis dapat dipakai pulse oximeter dan end tidal CO 2 monitoring.
Penanganan rasa nyeri merupakan hal yang penting. Golongan opiate atau anxiolit
ika harus diberikan secara intravena dan sebaiknya jangan intra muscular.
TERAPI DEFINITIF
Terapi definitif dimulai setelah primary dan secondary survey selesai. Untuk
keputusan merujuk penderita dapat dipakai Interhospital Triage Criteria. Apabila
keputusan merujuk penderita telah diambil, maka harus dipilih rumah sakit terdek
at yang cocok untuk penanganan pasien.
RUJUKAN
Bila cedera penderita terlalu sulit untuk dapat ditangani, penderita harus diru
juk. Proses rujukan ini harus dimulai saat alasan untuk merujuk ditemukan, karena
menunda rujukan akan meninggikan morbiditas dan mortalitas penderita.
Tentukan
a. Indikasi Rujukan
b. Prosedur Rujukan
c. Kebutuhan penderita selama perjalanan
Cara komunikasi dengan dokter yang akan dirujuk.
TRANSPORTASI
Syarat transportasi penderita :
a) Gangguan pernapasan dan CV telah ditanggulangi : Resusitasi bila perlu
b) Perdarahan dihentikan.
c) Luka ditutup.
d) Patah tulang difiksasi.
Selama transportasi, monitor :
a) Kesadaran.
b) Pernapasan.
c) Tekanan darah dan denyut nadi.
d) Daerah perlukaan.
Syarat alat transportasi :
a) Kendaraan
- Darat (Ambulans, Pick Up, Gerobak).
- Laut (Perahu, Rakit, Kapal, Perahu motor).
- Udara (Pesawat terbang, Helikopter).
b) Yang terpenting adalah :
- Penderita dapat terlentang.
- Cukup luas minimal untuk 2 penderita dan petugas dapat bergerak leluasa.
- Cukup tinggi sehingga petugas dapat berdiri dan infuse dapat jalan.
- Dapat melakukan komunikasi kesentral komunikasi dan rumah sakit.
- Identitas yang jelas sehingga mudah dibedakan dari ambulans lain.
FARMAKOLOGI
Tujuan utama dari perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera
sekunder terhadap otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya adalah
apabila sel saraf otak diberikan suasana yang optimal untuk pemulihan maka
diharapkan dapat berfungsi normal kembali, sebaliknya apabila saraf dalam
keadaan tak memadai maka sel akan kehilangan kehilangan fungsi sampai
mengalami kematian. Adapun obat-obatan yang dapat digunakan:
1) Cairan Intravena
Cairan intravena diberikan untuk resusitasi penderita agar tetap normovolemia.
Cairan yang dianjurkan, yaitu cairan larutan garam fisiologis atau ”RL”
(Ringer’s Lactate). Kadar natrium dan serum juga harus dipertahankan dalam
batas normal.
2) Manitol
Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial (TIK), biasanya
dengan konsentrasi cairan 20%. Manitol juga diberikan pada penderita-
penderita dengan pupil dilatasi bilateral dan reaksi cahaya pupil negatif namun
tidak hipotensi
3) Flurosemid
Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK. Dosis : 0,3-0,5
mg/kg BB, secara intravena.
4) Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-
obat atau prosedur yang biasa. Namun obat ini tidak boleh diberikan bila
terdapat hipotensi, karena barbiturat sendiri juga menurunkan tekanan darah.
Karen itu obat barbiturat tidak boleh diberikan pada fase akut resusitasi.
Obat-obatan yang digunakan untuk pasien gawat darurat:
1) Adrenalin (epinephrine)
Farmakodinamik:
Pada syok anafilaktik digunakan untuk mengatasi gangguan sirkulasi dan
menghilangkan bronkospasme. Pada jantung paru, adrenalin merangsang
reseptor α agar terjadi vasokonstriksi perifer dan merangsang reseptor di
jantung agar pembuluh darah koroner mengalami dilatasi sehingga aliran darah
ke miokard menjadi lebih baik. Adrenalin mengubah “fine ventricular
fibrillation” menjadi “corse ventricular fibrillation” yang lebih mudah
disembuhkan dengan defibrilasi (DC syok).
Sediaan:
Pada pasien dengan syok ringan, dosis diberikan 0.3-0.5 mg secara subkutan
dalam larutan 1:1000. Pada pasien dengan syok berat, dosis dapat diulang atau
ditingkatkan 0.5-1 mg. Inhalasi ephinephrin adalah larutan tidak steril 1% HCl
tu 2% epi bitartat dalam air untuk inhalasi oral (bukan nasal) untuk mengatasi
bronkonstriksi (bronkospasme). Pada RJP, dosis yang dianjurkan adalah 0.5-1
mg dalam larutan 1:1000, dapat diulang tiap 5 menit karena masa kerjanya
pendek.
2) Ephedrine
Farmakodinamik:
Efeknya sama dengan adrenalin, tetapi efektif pada pemberian oral, potensinya
lebih lemah tetapi masa kerjanya 7-10 kali lebih panjang. Ephedrine
merupakan obat simpatomimetik yang bekerja ganda, secara langsung pada
reseptor adrenergic dan secara tidak langsung dengan merangsang pengeluaran
katekolamin.
Sediaan:
Untuk mengatasi hipotensi akibat blok spinal selama anesthesia atau depresi
halotan diberikan ephedrin dengan dosis 10-50 mg IM atau 10-20 mg IV.
3) Dopamin
Farmakodinamik:
Dopamin dipakai untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi pada syok
septik, syok kardiogenik, dan pasca resusitasi jantung. Sebelum diberikan pada
penderita syok, hipovolemia harus dikoreksi terlebih dahulu.
Sediaan:
Dosis dopamin dimulai dari 2-5 g/kgBB/menit, 5-10 g/kgBB/menit, sampai
>10 g/kgBB/menit. Dosis tersebut memberikan efek yang berbeda.
4) Atropin
Farmakodinamik:
Atropin menghambat pengaruh N.Vagus pada SA node. Dapat meningkatkan
denyut nadi pasien sinus bradikardia atau blok AV derajat 1 atau 2.
Sediaan:
Sediaan atropin yaitu 0.25 dan 0.5 mg tablet dan suntikan. Untuk bayi dan
anak-anak diberikan 0.01 mg/kgBB karena mudah mengalami intoksikasi dan
overdosis.
5) Lidokain
Farmakodinamik:
Lidokain merupakan obat pilihan aritmia ventrikuler, efeknya segera dan masa
kerjanya pendek.
Sediaan:
Dosis untuk penyuntikan intravena 1-1.5 mg kemudian dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan dalam tetesan infus 15-50 g/kgBB/menit.
6) Cedilanid
Farmakodinamik:
Obat ini digunakan untuk pasien tachyarythmia supraventricular dan
kegagalan jantung kongestif.
Sediaan:
Dosis digitalisasi jumlah totalnya 0.8-1.6 mg IV, dibagi 4 kali pemberian
selang 6 jam, diikuti dosis pemeliharaan 0.2 mg IM tiap 12 jam.1,8,9
7. Perspektif Islam yang berhubungan dengan skenario
HR. Tirmidzi
“Barang siapa yang ketika keluar dari rumahnya membaca doa “Bismillahi
tawakkaltu ‘alallah laa haula wa laa quwwata illaa billah” (Dengan menyebut
nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tiada daya dan upaya kecuali dari
Allah), maka dikatakan kepadanya: kamu telah tercukup dan terlindungi, dan
syetan pun akan menjauh darinya.”
(HR. Tirmidzi; hasan shahih. Hadits senada diriwayatkan juga oleh Abu Daud
HR. Muslim
“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Mahasuci Dzat yang
telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu
menguasainya dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami. Ya
Allah… sesungguhnya kami memohon kepadaMu kebaikan, taqwa dan amal yang
Engkau ridhai dalam perjalanan kami ini. Ya Allah, mudahkanlah segala urusan
dalam perjalanan kami ini, pendekkanlah jarak dari jauhnya bepergian dan
pengganti bagi keluarga yang kami tinggalkan. Ya Allah Engkau adalah teman
dalam perjalanan dan wakil dalam keluarga. Ya Allah sesungguhnya aku
berlindung kepadaMu dari kesulitan dalam bepergian, pemandangan yang
menyedihkan dan jeleknya kembali baik bagi harta maupun keluarga kami.”
(HR. Muslim).
Daftar Pustaka
1. Pehimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Buku Ajar
Neuorologi Klinis. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta. 2011.
2. Purwadianto A, Sampurna B. Kedaruratan Medik. Binarupa Aksara :
Jakarta. 2011
3. Greer DM, Yang J, Scripko PD, Sims JR, Cash S, Kilbride R, et al. (2012)
Clinical examination for outcome prediction in nontraumatic coma. Crit
Care Med.; 40: 1150-6. doi: 10.1097/ CCM.0b013e318237bafb.
4. Buku Ajar Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
5. Henry Sharon, MD, Karen Brasel, MD, Ronald M. Stewart, MD, FACS.
2018.
“ATLS : Advanced Trauma Life Support Tenth Edition” The Committee
on Trauma: American College of Surgeons.
6. PERDOSSI. 2011. Guideline Stroke. Bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD
Arifin Achmad Pekanbaru. Fakultas kedokteran Universitas Riau.
7. Henry, Sharon; dkk. 2008. Advanced Trauma Life Support 8thEdition.
Chicago: American Collage of Surgeons Committee on Trauma.
8. American Collage Of Surgeons Committee On Trauma. Advanced Trauma
Life Support Untuk Dokter. United States Of America: Komisi ATLS
Pusat. 2006.
9. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2009; 133-140.