Anda di halaman 1dari 47

FAKULTAS KEDOKTERAN

BLOK KEDARURATAN DAN TRAUMATOLOGI


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA Makassar, 25 September 2020

MODUL KESADARAN MENURUN

Tutor : dr. Fendy Dwimartyono, Sp. An.

Disusun Oleh :
Kelompok 1
Resita Aulia Budiman 11020170018
A. Azizah Nur Fadhilah Salim 11020170030
Muh. Nirwan Rusdy 11020170039
Miftahul Janna 11020170042
Muh. Rifky Mapallawa 11020170054
A. Ambar Yusuf Putra 11020170058
Mardika I. S. P. Laode 11020170060
Murni Aswiranti Putri Muhlis 11020170077
Kasma 11020170087
Wa Ode Nur Fatimah Rifaat 11020170118

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya sehingga
hasil tutorial ini dapat diselesaikan dengan baik. Dan tak lupa pula mengirimkan
salawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari
dunia yang penuh kebodohan ke alam yang penuh dengan kecerdasan.
Kami juga berterima kasih kepada pihak-pihak yang membantu membuat
laporan ini dan para tutor yang membimbing kami selama proses PBL. Semoga
laporan tutorial ini dapat bermanfaat bagi semua orang yang telah membaca
laporan ini dan terutama untuk tim penyusunnya sendiri. Semoga setelah
membaca laporan ini bisa menambah pengetahuan pembaca.

Makassar, 25 September 2020

KELOMPOK 1
A. SKENARIO 1

Seorang perempuan 19 tahun masuk ke Puskesmas dengan kesadaran menurun


sekitar 1 jam yang lalu setelah mengalami kecelakaan lau lintas. Pada
pemeriksaan fisik diperoleh tekanan darah 140/90 mmHg, Nadi 40x/menit,
Pernapasan 10 x/menit, temperature 37°C. Evaluasi kesadaran penderita hanya
mengeluarkan suara merintih, dengan rangsang nyeri mampu membuka mata dan
hanya menggerakkan tangan dan kaki setelah dirangsang nyeri. Nampak jejas
pada pelipis kanan. Saat diantar ke Puskesmas oleh warga, penderita sempat
berbicara dengan baik.

B. KATA SULIT (-)

C. KATA KUNCI

1. Perempuan 19 tahun
2. Kesadaran menurun 1 jam setelah kecelakaan lalu lintas
3. TTV : TD 140/90 mmhg (hipertensi grade 1), Nadi 40x/menit (bradikardia), R
R 10x/menit (bradipneu), Suhu 37°C
4. Mengeluarkan suara merintih, dengan rangsang nyeri mampu membuka mata
dan hanya menggerakkan tangan dan kaki setelah dirangsang nyeri
5. Tampak jejas di pelipis kanan
6. Sempat berbicara saat diantarkan ke puskesmas

D. PERTANYAAN
1. Bagaimana tingkat kesadaran pasien?
2. Apa yg menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran?
3. Jelaskan patomekanisme dari kesadaran menurun?
4. Bagaimana penanganan awal kepada pasien sesuai dengan skenario?
5. Jelaskan syarat melakukan rujukan pada pasien dengan kesadaran menurun?
6. Bagaimana tindak lanjut setelah penanganan awal diberikan?
7. Jelaskan perspektif Islam yang berhubungan dengan skenario ?
E. JAWABAN
1. Tingkat kesadaran pasien

Pemeriksaan derajat kesadaran secara kuantitatif:1,2

Secara kuantitatif dapat dengan menggunakan skala koma Glasgow (GCS). Hal-
hal yang dinilai pada pemeriksaan ini adalah reaksi membuka mata, berbicara dan
gerakan/motorik.
Skala Koma Glasgow

Eye Spontan 4

Mengikuti perintah panggilan 3

Reaksi terhadap rangsang nyeri 2

Tidak ada reaksi terhadap rangsang nyeri 1

Verbal Berorientasi baik 5

Disorientasi/bingung 4

Tidak sesuai/satu kata saja 3

Tidak dimengerti/suara saja 2

Tidak ada suara sama sekali 1

Motorik Mengikuti perintah/bertujuan 6

Menepis rangsang nyeri 5

Gerakan menghindari nyeri 4

Gerakan fleksi dekortikasi 3

Gerakan esktensi deserebrasi 2

Tidak ada gerakan sama sekali 1

INTERPRETASI -Penurunan kesadaran ringan SKG : 13-15

-Penurunan kesadaran sedang SKG : 9-12

-Penurunan kesadaran berat SKG : 3-8

Berdasarkan skenario, interpretasi GCS pasien yaitu:


Eye : membuka mata dengan rangsang nyeri (2)

Motorik : menggerakkan tangan dan kaki setelah dirangsang nyeri (4)

Verbal : mengeluarkan suara merintih (2)

(E2M4V2) dengan jumlah 8, masuk dalam kategori penurunan kesadaran berat

Pemeriksaan derajat kesadaran secara kualitatif:1,2


1) Compos Mentis yaitu, sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap
lingkungannya. pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan baik.
2) Apatis yaitu, keadaan dimana pasien tampak segan dan acuk tak acuh terhadap
lingkungannya.
3) Delirium yaitu, penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus tidur
bangun yang terganggu. Pasien tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi dan
meronta-ronta.
4) Somnolen (Letergia, Obtundasi, Hipersomnia) yaitu, keadaan mengantuk yang
masih dapat pulih bila dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti, pasien akan
tertidur kembali.
5) Stupor yaitu, keadaan mengantuk yang dalam, pasien masih dapat dibangunkan
dengan rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi pasien tidak
terbangun sempurna dan tidak dapat memberikan jawaban verbal yang baik.
6) Semi-Koma (koma ringan) yaitu, penurunan kesadaran yang tidak memberikan
respons terhadap rangsang verbal, dan tidak dapat dibangunkan sama sekali, tetapi
refleks (kornea, pupil) masih baik. Respons terhadap rangsang nyeri tidak
adekuat.
7) Koma yaitu, penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan spontan
dan tidak ada respons terhadap rangsang nyeri.
Berdasarkan skenario, interpretasi tingkat kesadaran pasien secara kualitatif yaitu
masuk dalam kategori Sopor (Stupor).
Metode lain adalah menggunakan sistem AVPU, ini juga merupakan skala yan
g digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran pasien. Hal ini lebih sederhana da
ripada GCS dan dapat digunakan oleh dokter, perawat, penolong pertama dan kru
ambulans. Skala AVPU adalah metode cepat untuk menilai LOC (Level Of Consc
iousness). LOC pasien dilaporkan sebagai A, V, P, atau U. Empat unsur yang diuj
i.1,2
1) Alert – jika pasien spontan dan langsung merespon secara tepat terhadap
pertanyaan paramedis.
2) Verbal - jika pasien merespon terhadap perintah, yang mungkin hanya berupa
suara erangan.
3) Pain - jika pasien hanya berespon terhadap rangsang nyeri.
4) Unresponsive - jika pasien tidak memberi respon.

2. Penyebab terjadinya penurunan kesadaran


Etiologi gangguan kesadaran disebabkan oleh berbagai faktor etiologi, baik
yang bersifat intracranial maupun ekstrakranial / sistemik. Koma dapat
disebabkan oleh penyakit yang menyerang bagian otak secara fokal maupun
seluruh otak secara difus. Penyebab koma secara umum diklasifikasikan dalam
intrakranial dan ekstrakranial. Selain itu, koma juga dapat disebabkan oleh
penyebab traumatik dan non-traumatik. Penyebab traumatik yang sering terjadi
adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, dan jatuh. Penyebab non-traumatik
yang dapat membuat seseorang jatuh dalam keadaan koma antara lain gangguan
metabolik, intoksikasi obat, hipoksia global, iskemia global, stroke iskemik,
perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoid, tumor otak, kondisi inflamasi,
infeksi sistem saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis dan abses serta gangguan
psikogenik.3
Keadaan koma dapat berlanjut menjadi kematian batang otak jika tidak ada
perbaikan keadaan klinis. Penjelasan singkat tentang etiologi gangguan kesadaran
dalah sebagai berikut:
1. INTRAKRANIAL

a) Gangguan sirkulasi darah di otak (serebrum, serebellum, atau batang otak).


Perdarahan, thrombosis maupun emboli. Mengingat insidensi stroke cukup
tinggi maka kecurigaan terhadap stroke pada setiap kejadian gangguan
kesadaran perlu digaris bawahi.

b) Infeksi: ensefalo meningitis (meningitis, ensefalitis, serebritis/absesotak)


Mengingat infeksi (bakteri, virus, jamur) merupakan penyakit yang sering
dijumpai di Indonesia maka pada setiap gangguan kesadaran yang disertai
suhu tubuh meninggi perlu dicurigai adanya ensefalo meningitis. Gangguan
metabolisme. Di Indonesia, penyakit hepar, gagal ginjal, dan diabetes
mellitus sering dijumpai.

c) Neoplasma. Neoplasmaotak, baik primer maupun metastatik, sering di


jumpai di Indonesia. Neoplasma lebih sering dijumpai pada golongan usia
dewasa dan lanjut. Kesadaran menurun umumnya timbul berangsur-angsur
namun progresif/ tidak akut.

d) Trauma kepala. Trauma kepala paling sering disebabkan oleh kecelakaan


lalu lintas.

e) Epilepsi. Gangguan kesadaran terjadi pada kasus serangan kejang tonik


klonik terus menerus atau berulang selama 5 menit yang disebut sebagai
status epileptikus

f)Intoksikasi. Intoksikasi dapat disebabkan oleh obat, racun (percobaan bunuh


diri), makanan tertentu dan bahan kimia lainnya.
g) Gangguan elektrolit dan endokrin. Gangguan in isering kali tidak
menunjukkan “identitas” nya secara jelas; dengan demikian memerlukan
perhatian yang khusus agar tidak terlupakan dalam setiap pencarian penyebab
gangguan kesadaran.

2. EKSTRAKRANIAL

a) Intoksikasi. Intoksikasi dapat disebabkan oleh obat, racun (percobaan bunuh


diri), makanan tertentu dan bahan kimia lainnya.

b) Gangguan elektrolit dan endokrin. Gangguan ini sering kali tidak


menunjukkan “identitas” nya secara jelas.

Koma dapat disebabkan oleh penyakit yang menyerang bagian otak secara
fokal maupun seluruh otak secara difus. Penyebab koma secara umum
diklasifikasikan dalam intrakranial dan ekstrakranial. Selain itu, koma juga
dapat disebabkan oleh penyebab traumatik dan non-traumatik. Penyebab
traumatik yang sering terjadi adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, dan
jatuh. Penyebab non-traumatik yang dapat membuat seseorang jatuh dalam
keadaan koma antara lain gangguan metabolik, intoksikasi obat, hipoksia
global, iskemia global, stroke iskemik, perdarahan intraserebral, perdarahan
subaraknoid, tumor otak, kondisi inflamasi, infeksi sistem saraf pusat seperti
meningitis, ensefalitis dan abses serta gangguan psikogenik.3

Keadaan koma dapat berlanjut menjadi kematian batang otak jika tidak ada
perbaikan keadaan klinis.
3. Patomekanisme kesadaran menurun

Patofisiologi menerangkan terjadinya kesadaran menurun sebagai akibat dari


berbagai macam gangguan atau penyakit yang masing-masing pada akhirnya
mengacaukan fungsi reticular activating system secara langsung maupun tidak
langsung. Dari studi kasus-kasus koma yang kemudian meninggal dapat dibuat
kesimpulan, bahwa ada tiga tipe lesi /mekanisme yang masing-masing merusak
fungsi reticular activating system, baik secara langsung maupun tidak langsung.

a. Disfungsi otak difus


1. Proses metabolik atau submikroskopik yang menekan aktivitas neuronal.
2. Lesi yang disebabkan oleh abnormalitas metabolik atau toksik atau oleh
pelepasan general electric (kejang) diduga bersifat subseluler atau
molekuler,atau lesi-lesi mikroskopik yang tersebar.
3. Cedera korteks dan subkorteks bilateral yang luas atau ada kerusakan thalamus
yang berat yang mengakibatkan terputusnya impuls talamokortikal atau
destruksi neuron-neuron korteks bisa karena trauma (kontusio, cedera aksonal
difus), stroke (infark atau perdarahan otak bilateral).
4. Sejumlah penyakit mempunyai pengaruh langsung pada aktivitas metabolik sel-
sel neuron korteks serebri dan nuclei sentral otak seperti meningitis, viral
ensefalitis, hipoksia atau iskemia yang bisa terjadi pada kasus henti jantung.
5. Pada umumnya, kehilangan kesadaran pada kondisi ini setara dengan
penurunan aliran darah otak atau metabolisme otak.

b. Efek langsung pada batang otak


1. Lesi di batang otak dan diensefalon bagian bawah yang merusak/menghambat
reticular activating system.
2. Lesi anatomik atau lesi destruktif terletak di talamus atau midbrain di mana
neuron-neuron ARAS terlibat langsung.
3. Lebih jarang terjadi.
4. Pola patoanatomik ini merupakan tanda khas stroke batang otak akibat oklusi
arteri basilaris, perdarahan talamus dan batang otak atas, dan traumatic injury.
c. Efek kompresi pada batang otak
1) Lesi masa yang bisa dilihat dengan mudah
2) Massa tumor, abses, infark dengan edema yang masif atau perdarahan
intraserebral, subdural maupun epidural. Biasanya lesi ini hanya mengenai
sebagian dari korteks serebri dan substansia alba dan sebagian besar serebrum
tetap utuh. Tetapi lesi ini mendistorsi struktur yang lebih dalam dan
menyebabkan koma karena efek pendesakan (kompresi) ke lateral dari struktur
tengah bagian dalam dan terjadi herniasi tentorial lobus temporal yang
berakibat kompresi mesensefalon dan area subthalamik reticular activating
system, atau adanya perubahan-perubahan yang lebih meluas di seluruh
hemisfer.
3) Lesi serebelar sebagai penyebab sekunder juga dapat menekan area retikular
batang otak atas dan menggesernya maju ke depan dan ke atas
4) Pada kasus prolonged coma, dijumpai perubahan patologik yang terkait lesi
seluruh bagian sistim saraf korteks dan diensefalon.
Berdasarkan anatomi-patofisiologi, koma dibagi dalam:

1. Koma kortikal-bihemisferik, yaitu koma yang terjadi karena neuron pengemban


kewaspadaan terganggu fungsinya.
2. Koma diensefalik, terbagi atas koma supratentorial, infratentorial, kombinasi
supratentorial dan infratentorial; dalam hal ini neuron penggalak kewaspadaan
tidak berdaya untuk mengaktifkan neuron pengemban kewaspadaan.
Sampai saat ini mekanisme neuronal pada koma belum diketahui secara pasti.
Dalam eksperimen, jika dilakukan dekortikasi atau perusakan inti intralaminar
talamik atau jika substansia grisea di sekitar akuaduktus sylvii dirusak akan
terjadi penyaluran impuls asenden nonspesifik yang terhambat sehingga terjadi
koma. Studi terkini yang dilakukan oleh Parvizi dan Damasio melaporkan
bahwa lesi pada pons juga bisa menyebabkan koma. 

Koma juga bisa terjadi apabila terjadi gangguan baik pada neuron penggalak
kewaspadaan maupun neuron pengemban kewaspadaan yang menyebabkan
neuron-neuron tersebut tidak bisa berfungsi dengan baik dan tidak mampu
bereaksi terhadap pacuan dari luar maupun dari dalam tubuh sendiri. Adanya
gangguan fungsi pada neuron pengemban kewaspadaan, menyebabkan koma
kortikal bihemisferik, sedangkan apabila terjadi gangguan pada neuron
penggalak kewaspadaan, menyebabkan koma diensefalik, supratentorial atau
infratentorial. 
Penurunan fungsi fisiologik dengan adanya perubahan-perubahan patologik
yang terjadi pada koma yang berkepanjangan berhubungan erat dengan lesi-lesi
sistem neuron kortikal diensefalik. Jadi prinsipnya semua proses yang
menyebabkan destruksi baik morfologis (perdarahan, metastasis, infiltrasi),
biokimia (metabolisme, infeksi) dan kompresi pada substansia retikularis batang
otak paling rostral (nuklei intralaminaris) dan gangguan difus pada kedua
hemisfer serebri menyebabkan gangguan kesadaran hingga koma. Derajat
kesadaran yang menurun secara patologik bisa merupakan keadaan tidur secara
berlebihan (hipersomnia) dan berbagai macam keadaan yang menunjukkan daya
bereaksi di bawah derajat awas-waspada. Keadaan-keadaan tersebut dinamakan
letargia, mutismus akinetik, stupor dan koma. 

Bila tidak terdapat penjalaran impuls saraf yang kontinyu dari batang otak ke
serebrum maka kerja otak menjadi sangat terhambat. Hal ini bisa dilihat jika
batang otak mengalami kompresi berat pada sambungan antara mesensefalon
dan serebrum akibat tumor hipofisis biasanya menyebabkan koma yang
ireversibel. Saraf kelima adalah nervus tertinggi yang menjalarkan sejumlah
besar sinyal somatosensoris ke otak. Bila seluruh sinyal ini hilang, maka tingkat
aktivitas pada area eksitatorik akan menurun mendadak dan aktivitas otakpun
dengan segera akan sangat menurun, sampai hampir mendekati keadaan koma
yang permanen.

Epidural hematoma terjadi pada 1% trauma kepala, Insiden tertinggi terjadi pada
usia 20-30 tahun, jarang terjadi pada usia dibawah 2 tahun atau lebih dari 60
tahun, (disebabkan dura yang melekat erat pada tabula interna skull). Fraktur
terjadi pada 85% pasien dewasa. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab
terbanyak (30-70%), penyebab lain akibat terjatuh dan korban kekerasan.

Lokasi tersering pada daerah temporal, kemudian frontal, occipital dan fossa
posterior. 2-5% terjadi bilateral. Epidural hematoma terjadi akibat robekan arteri
meningea media atau cabang-cabangnya akibat fraktur pada daerah
temporoparietal. Akumulasi darah melepaskan perlekatan duramater dari
dinding tabula interna yang kemudian terisi hematoma.Kemungkinan lain pada
awal duramater terlepas dari dinding tabula interna kemudian ruang yang
terbentuk terisi oleh hematoma. Sumber perdarahan terbanyak bersumber dari
perdarahan arteri: arteri meningea media (85%), dapat juga berasal dari vena
meningea media, sinus duramater atau dari vena diploe.

SDH dapat disebabkan karena kecelakaan lalulintas, terjatuh, atau korban


pemukulan pada derah kepala. SDH akut terjadi pada pasien 12-29% pasien
dengan cidera kepala berat dan berkisar 11% dari semua pasien dengan
diagnosis trauma kepala.

Kerusakan akibat trauma biasanya lebih tinggi pada subdural hematoma akut di
banding pada epidural hematom, di mana lesi yang timbul menyebabkan angka
mortalitas lebih tinggi. Sering terdapat lesi pada otak, yang tidak terjadi pada
EDH. Gejala terjadi akibat penekanan pada struktur otak dibawahnya yang
menyebabkan pergeseran garis tengah, lesi intracerebral dan edema cerebri

Penyebab utama subdural hematoma akut :

• Akumulasi perdarahan dari laserasi parenkim (biasanya di daerah frontal dan


temporal). Terdapaa lesi intracerebral yang berat dibawahnya. Gejala lucid
interval jarang terjadi. Gejala neurologis fokal terjadi kemudian dan kurang khas
dibanding EDH

• Robekan vena kortikal atau bridging vena akibat mekanisme akselerasi-


deselerasi sewaktu terjadi gerakan kepala. Pada kasus ini, kerusakan primer
pada cerebral lebih ringan, dapat terjadi lucid interval yang diikuti penurunan
kesadaran yang berlangsung cepat.

• Subdural hematoma yang besar terdapat pada 18% kasus terbanyak disebakan
karena rupture pada bridging vein yang menghubungkan vena kortikal dengan
sinus sagitalis superior.

SDH akut dapat terjadi pada pasien yang mendapat terapi antikoagulan, di mana
terjadi tanpa riwayat trauma atau trauma minimal.4
4. Penanganan awal kepada pasien sesuai dengan skenario

Primary Survey
Penilaian keadaan pasien dan prioritas terapi didasarkan jenis perlukaan,
tanda- tanda vital, dan mekanisme trauma. Pada pasien yang terluka parah,
terapi diberikan berdasarkan prioritas. Tanda vital pasien harus dinilai secara
cepat dan efisien. Pengelolaan pasien berupa primary surv ey yang cepat dan
kemudian resusitasi, secondary survey, dan akhirnya terapi definitif. Proses ini
merupakan ABCDE-nya trauma, dan berusaha mengenali keadaan yang
mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan berpatokan pada urutan berikut:

1. Airway, menjaga airway dengan control servikal (cervical spine control)


2. Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi
3. Circulation dengan control perdarahan (hemorrhage control)
4. Disability: status neurologis
5. Exposure/environmental control: buka baju pasien, tetapi cegah
hipotermia

Airway

a. Penilaian

Beberapa tanda objektif sumbatan airway dapat diketahui dengan


langkah- langkah berikut:

1. Lihat (look) apakah pasien mengalami agitasi atau kesadaran menurun,


agitasi member kesan adanya hipoksia, dan penurunan kesadaran
member kesan adanya hiperkarbia. Sianosis menunjukkan hipoksemia
yang disebabkan oleh kurangya oksigenasi dan dapat dilihat dengan
melihat pada kuku da sekitar mulut. Retraksi dan penggunaan otot-otot
napas tambahan yang apabila ada, merupakan bukti tambahan adanya
gangguan airway.
2. Dengar (listen) adanya suara-suara abnormal pernapasan yang berbunyi
(suara, napas bisik) adalah pernapasan yang tersumbat. Suara
mendengkur (snoring), berkumur (gurgling), dan bersiul (crowing sound,
stridor) mungkin berhubungan dengan sumbatan parsial pada faring atau
laring. Suara parau (hoarseness, dysphonia) menunjukkan sumbatan pada
laring. Pasien yang melawan ddan berkata-kata kasar (gaduh, gelisah)
mungkin mengalami hipoksia dan tidak boleh dianggap karena
keracunan/mabuk.
3. Raba (feel) lokasi trakea dan dengan cepat tentukan arah trakea berada di

tengah.

b. Permasalahan

1. Lidah yang jatuh ke belakang dan menyumbat orofaring dan glottis


(stridor)
2. Cairan atau benda semipadat atau benda asing yang menyumbat lumen
saluran pernapasan bagian atas.
3. Penekanan saluran pernapasan dari luar.
4. Terjadi sumbatan benda padat secara total
c. Penanganan

Bila salah satu dari hal-hal tersebut kita temukan maka segeralah lakukan
pembebasan jalan napas. Jalan napas bebas dapat dicapai dengan ekstensi
kepala sehingga lidah terletak di depan dan tidak menutup hipofaring. Hal
ini dapat dicapai dengan menarik dagu ke depan. Bila ada kecurigaan terjadi
fraktur tulang leher, tindakan membebaskan jalan napas dilakukan tanpa
ekstensi berlebihan kepala dan posisi leher harus diimobilisasi. Umumya
jalan napas harus terlebih dahulu dibuka, dibebaskan, dan dibersihkan.

Bila pasien mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka lidah mungkin


jatuh ke belakang dan menghambat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti ini
dapat segera diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin lift maneuver)
atau dengan mendorong rahang bawah kea rah depan (jaw-thrust maneuver),
airway selanjutnya dapat dipertahankan dengan oropharyngeal airway atau
nasopharyngeal airway. Tindakan-tindakan yang digunakan untuk
membuka airway dapat menyebabkan atau memperburuk cedera spinal.
Oleh karena itu, selama mengerjakan prosedur-prosedur ini harus dilakukan
imobilisasi segaris (inline immobilization).

Head tilt/chin lift maneuver

Berdasarkan AHA, head tilt/chin lift maneuver adalah teknik paling efektif
untuk membuka jalan napas korban yang tidak sadar. Teknik ini adalah
satu-satunya maneuver yang direkomendasikan untuk penolong awam dan
penolong yang berpengalaman ketika ada trauma kepala atau leher. Head
tilt/chin lift maneuver dilakukan dengan meletakkan satu tangan pada dahi
pasien dan kepala dimiringkan kebelakang. Jari pada tangan lain diletakkan
dengan kuat di bawah bagian tulang yang menonjol pada dagu, angkat dagu
ke atas.

Jaw Trhust Manuever

Cara ini dilakukan pada korban dengan riwayat trauma servikal. Tindakan
jaw- thrust dilakukan dengan cara memegang sudut rahang bawah (angulus
mandibula) kiri dan kanan serta mendorong rahang bawah ke depan. Hal ini
harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah ekstensi kepala.
Heimlich Maneuver

Obstruksi jalan napas dapat disebabkan oleh corpus alienum misalnya


karena tersedak. Tersedak adalah respon fisiologis terhadap obstruksi
saluran napas mendadak. Benda asing obstruksi jalan napas menyebabkan
asfiksia dan merupakan kondisi yang mengkhawatirkan, yang terjadi
sangat akut, pasien sering tidak dapat menjelaskan apa yang terjadi kepada
mereka. Jika parah, dapat menyebabkan hilangnya cepat kesadaran dan
kematian jika pertolongan pertama tidak dilakukan dengan cepat dan
berhasil. Jika benda asing tidak tampak di mulut dan tidak dapat ditangkap
dengan jari atau alat harus dilakukan Heimlich. Pasien dipegang dari
belakang setinggi ulu hati dengan kedua tangan : tangan yang satu
memegang tangan yang lain dengan cukup kuat, tangan ditekan sehingga
diafragma naik dan terjadi tekanan tinggi di rongga dada. Posisi tangan
yang lebih dominan mengepal dan tangan yang lain diletakkan di atasnya.
Gerakan ini dapat mengeluarkan benda asing.
Back Blows

Back blows adalah pukulan atau tepukan pada punggung pasien sebanyak
lima kali yang dapat dilakukan pada siapapun.

Finger sweep

Teknik untuk membersihkan obstruksi mekanik dari saluran napas bagian


atas pada pasien yang tidak sadar. Penyelamat membuka mulut korban
dengan memegang rahang bawah dan lidah antara ibu jari dan jari-jari.
Penyelamat kemudian mencoba untuk menyapu benda asing keluar dari
mulut korban dengan jari.

Apabila dengan cara-cara diatas pasien belum dapat bernapas maka


lakukan pertolongan dengan menggunakan alat seperti di bawah ini :

Oropharingeal Airway

Airway oral disisipkan ke dalam mulut dibalik lidah. Teknik yang dipilih
adalah dengan menggunakan spatula lidah untuk menekan lidah dan
menyisipkan airway tersebut ke belakang. Alat ini tidak boleh mendorong
lidah kebelakang yang justru akan membuat airway buntu. Alat ini tidak
boleh digunakan pada pasien yang sadar karena dapat menyebabkan
sumbatan, muntah dan aspirasi. Pasien yang dapat mentoleransi airway
orofaringeal kemungkinan besar membutuhkan intubasi.
Nasopharyngeal Airways

Airway nasofaringeal disisipkan pada salah satu lubang hidung dan


dilewatkan dengan hati-hati ke orofaring posterior dengan menggunakan
jelly. Alat tersebut sebaiknya dilumasi baik-baik kemudian disisipkan ke
lubang hidung yang tampak tidak tertutup. Bila hambatan dirasakan
selama pemasangan airway, hentikan dan coba melalui lubang hidung
yang lainnya.

Breathing

Menjamin terbukanya airway merupakan langkah penting pertama untuk


pemberian oksigen pada pasien, tapi itu baru merupakan langkah awal.
Airway yang terbuka tidak akan berguna bagi pasien terkecuali pasien juga
mempunyai adekuat ventilasi dan mencari tanda-tanda objektif dari
ventilasi yang tidak adekuat.

a. Penilaian

Beberapa tanda objektif ventilasi yang tidak adekuat dapat diketahui


dengan mengambil langkah-langkah berikut:
1. Lihat (look) naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan udara
dinding dada yang adekuat. Asimetris menunjukkan pembelatan
(splinting) atau flail chest dan tiap pernapasan yang dilakukan dengan
susah (labored breathing) sebaiknya harus dianggap sebagai ancaman
terhadap ventilasi pasien.
2. Dengar (listen) adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada.
Penurunan atau tidak terdengarnya suara napas pada satu atau kedua
hemitoraks merupakan adanya cedera dada. Hati-hati terhadap adanya
laju pernapasan yang cepat, takipneu mungkin menunjukkan adanya
kekurangan oksigen (respiratory distress).
3. Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu memberikan informasi tentang
saturasi oksigen dan perfusi perifer pasien, tetapi tidak memastikan
adanya ventilasi yang adekuat.

b. Permasalahan

Ventilasi mungkin terganggu oleh sumbatan airway tetapi juga oleh


gangguan pergerakan napas (ventilatory mechanics) atau depresi
susunan saraf pusat. Apabila pernapasan tidak membaik dengan
terbukanya airway, penyebab lain harus dicari. Trauma langsung pada
dada, khususnya yang disertai trauma tulang iga, menyebabkan rasa sakit
setiap kali bernapas dan menyebabkan pernapasan yang cepat, dangkal,
dan hipoksemia. Pasien lanjut usia yang mengalami trauma toraks dan
menderita gangguan paru mempunyai resiko bermakna untuk mengalami
gagal napas pada keadaan ini.

Cedera intrakranial dapat menyebabkan pola pernapasan yang abnormal


dan mengganggu ventilasi. Cedera servikal dapat menyebabkan
pernapasan diafragmatik sehingga kemampuan penyesuaian untuk
kebutuhan oksigen yang meningkat menjadi terganggu. Transeksi total
servikal, yang masih menyisakan nervus frenikus menimbulkan
pernapasan abdominal dan kelumpuhan otot-otot intercostal. Bantuan
ventilasi mungkin dibutuhkan.

Cedera dinding dada, rongga toraks, atau paru menyebabkan gagal


napas. Pada trauma majemuk, gagal napas dapat pula terjadi bila trauma
mengenai abdomen atas. Cadangan napas dapat menurun bila penderita
telah menderita gangguan napas sebelum terjadi trauma sehingga
pertukaran gas tidak cukup. Sindrom gagal napas pada orang dewasa
(Adult respiratory distress syndrome, ARDS) adalah kegagalan paru
karena trauma, syok, sepsis.

c. Penanganan

Cara menanganinya adalah dengan melakukan ventilasi buatan dan


oksigenasi dengan inflasi tekanan positif secara intermitten dengan
menggunakan udara ekshalasi dari mulut ke mulut, mulut ke hidung atau
mulut ke alat (S- tube masker atau bag valve mask). Ventilasi buatan
dengan tekanan positif jangka panjang sebainya dilakukan melalui
intubasi dengan pipa endotrakeal atau dengan trakeostomi.

Mouth to Mouth

Untuk memberikan bantuan pernapasan mulut ke mulut, jalan napas


korban harus terbuka. Tangan penolong masih tetap melakukan teknik
membuka jalan napas chin lift. Hidung korban harus ditutup bisa dengan
tangan atau dengan menekan pipi penolong pada hidung korban. Mulut
penolong mencakup seluruh mulut korban. Mata penolong melihat ke
arah dada korban untuk melihat pengembangan dada. Pemberian
pernapasan buatan secara efektif dapat diketahui dengan melihat
pengembangan dada korban. Tiupkan napas dengan lambat, tiupkan
setiap napas lebih dari 2 detik, pastikan ada pengembangan dada korban.
Bersiaplah untuk memberikan sekitar 10 sampai 12 napas per menit (1
nafas setiap 4 sampai 5 detik).
Mouth to Nose

Memberikan napas dari mulut ke hidung direkomendasikan jika


pemberian napas buatan melalui mulut korban tidak dapat dilakukan
misalnya terdapat luka yang berat pada mulut korban, mulut tidak dapat
dibuka, korban di dalam air atau mulut penolong tidak dapat mencakup
mulut korban.

Mouth to Mask

Sebuah masker transparan dengan atau tanpa katup yang digunakan dari
mulut ke masker pernapasan. Ventilasi mulut ke masker sangat efektif
karena memungkinkan penyelamat untuk menggunakan dua tangan
untuk membuat masker terpasang erat di daerah mulut pasien. Ada 2
teknik yang mungkin untuk menggunakan masker mulut. Teknik
pertama posisi penyelamat di atas kepala korban (cephalic technique).
Pada teknik kedua (lateral technique), penyelamat adalah diposisikan di
samping korban dan menggunakan head tilt– chin lift.
Bag Valve Mask

Pemberian nafas buatan dengan menggunakan alat dapat meggunakan


Bag Valve Mask (ambu bag). Ambu bag terdiri dari bag yang berfungsi
untuk memompa O2 bebas, valve atau pipa berkatup dan masker yang
menutup mulut dan hidung penderita. Ambu bag sangat efektif bila
dilakukan oleh dua orang penolong yang berpengalaman. Salah seorang
penolong mebuka jalan napas dan menempelkan sungkup di wajah
korban dan penolong lain memegang bagging. Teknik ventilasi bag v alv
e mask membutuhkan instruksidan praktek. Penyelamat harus dapat
menggunaka npera lata n secara efektif dalam berbagai situasi.

Circulation

Istilah henti jantung adalah istilah umum yang meliputi konsekuensi


hemodinamik pada asistol, fibrilasi ventrikel, dan disosiasi
elektrodinamik. Berhentinya kontraksi jantung tidak benar-benar terjadi
pada dua dari tiga keadaan ini. Bila curah jantung sangat rendah sehingga
semua tanda-tanda henti jantung muncul5.

a. Penilaian

Yang dibicarakan adalah volume darah dan cardiac output serta,


perdarahan. Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang,
yang akan mengakibatkan penurunan kesadaran (jangan dibalik: pasien
yang sadar belum tentu normo-volemik). Warna kulit dapat membantu
diagnosis hipovolemia. Pasien trauma yang kulitnya kemerahan, terutama
pada wajah dan ekstremitas, jarang yang dalam keadaan hipovolemia.
Sebaliknya, wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat,
merupakan tanda hipovolemia.

Periksalah nadi yang besar seperti A. femoralis atau A. karotis (kiri-


kanan), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang tidak cepat,
kuat dan teratur biasanya merupakan tanda normovolemia (bila pasien
tidak minum obat beta- blocker). Nadi yang cepat dan kecil merupakan
tanda hipovolemia, walaupun dapat disebabkan keadaan yang lain.
Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan bahwa normo-volemia. Nadi
yang tidak teratur biasanya merupakan tanda gangguan jantung. Tidak
ditemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya
resusitasi segera untuk memperbaiki volume dan cardiac output.

b. Permasalahan

Kegagalan sirkulasi yang paling sering terjadi pada korban trauma adalah
syok dan henti jantung yang antara lain terjadi karena perdarahan yang
terlalu banyak atau karena cedera jantungnya sendiri. Tanda-tanda henti
jantung adalah: tidak teraba nadi yang sebelumnya teraba atau tidak ada
denyut pembuluh darah besar karotis atau femoralis. Salah satu atau
kedua tanda utama ini berlaku pada semua situasi.

Perlu dibuat diagnosis dengan cepat dalam hitungan detik akan kejadian
ini. Dilatasi pupil terjadi pada henti sirkulasi dan merupakan tanda
hipoksia. Hipoksia dapat juga mendahului henti jantung sehingga sianosis
serta midriasis telah ada walaupun curah jantung tidak berkurang. Tidak
ada cadangan nyata oksigen di dalam tubuh tetapi pada setiap saat
tersedia kurang lebih 1000 ml oksigen. Jelas bahwa tidak semua oksigen
ini tersedia sepenuhnya untuk keperluan metabolik. Jadi jika penggunaan
oksigen terus tidak berkurang, “cadangan” akan habis terpakai (paling
lama 3 menit). Secara umum, bila sirkulasi tidak mulai kembali secara
spontan, atau tidak ditambah secara buatan, dalam 3 menit sejak saat
berhenti, mungkin tidak ada gunanya kita memulai resusitasi. Oleh karena
itu, henti jantung klinis harus ditangani segera.

c. Penanganan

Syok

Perdarahan merupakan penyebab syok paling umum pada trauma dan


hampir semua pasien-pasien dengan trauma multipel terjadi hipovolemia.
Sebagai tambahan, kebanyakan pasien dengan syok nonhemoragik
memberikan respon yang singkat terhadap resusitasi cairan. Walaupun
tidak lengkap (parsial). Klasifikasi perdarahan (kehilangan darah) dibagi
menjadi empat kelas berdasarkan tanda-tanda klinis, merupakan
perangkat yang penting untuk memperkirakan presentasi hilangnya darah
secara akut. Perubahan-perubahan ini dapat menunjukkan adanya
perdarahan yang sedang terjadidan sebagai pedoman terapi awal.
Penggantian volume darah hendaknya didasarkan atas respon pasien
terhadap terapi awal dan bukan klasifikasi kehilangan darah. Sistem
klasifikasi perdarahan ini berguna untuk menetukan tanda-tanda klinis
awal patofisiologi kodisi syok. Upaya diagnostik dan penangan syok
harus dilaksanakan secara simultan. Prinsip penanganan dasar syok
adalah stop perdarahan dan penggantian volume darah/cairan yang hilang.

Pemeriksaan fisik ditujukan langsung pada diagnosis segera atas cedera


yang mengancam jiwa dan meliputi penilaian ABCDE. Pencatatan data-
data awal penting untuk memonitor respon pasien terhadap terapi. Tanda-
tanda vital, produksi urin, dan tingkat kesadaran merupakan faktor
penting. Bila kondisi memungkinkan, pemeriksaan yang lebih detil perlu
dilaksanakan.

Menjamin airway yang paten dengan ventilasi dan oksigenasi yang


adekuat merupakan prioritas pertama. Pemberian oksigen tambahan untuk
mempertahankan saturasi lebih dari 95%. Prioritas dalam sirkulasi
meliputi control perdarahan yang jekas terlihat, memperoleh akses
intarvena yang cukup dan menilai perfusi jaringan. Pendarahan dari luka-
luka luar umumnya dapat dikontrol dengan bebat tekan langsung pada
perdarahan.

Terapi awal cairan larutan elektrolit istonik hangat, misalnya Ringer laktat,
digunakan untuk resusitasi awal. Cairan jenis ini mengisi volume vaskuler
dengan cara menggantikan kehilangan cairan penyerta yang hilang ke
dalam ruang itertisial dan intraseluler. Keputusan untuk memberikan
transfuse darah didasarkan pada respon pasien. Tujuan utama transfuse
darah adalah untuk mengembalikan kapasitas angkut oksigen di dalam
volume intravaskuler.

Chest Compression

Jika korban juga bernapas tidak normal (terengah-engah), penolong harus


mengasumsikan korban mengalami henti jantung. Penyelamat awam harus
melakukan panggilan darurat saat penyelamat menemukan bahwa korban
dalam keadaan tidak responsif, operator harus mampu membimbing
penolong awam untuk memeriksa pernapasan pasien serta langkah-
langkah CPR (cardiopulmonary resuscitation), jika diperlukan. Setelah
melakukan panggilan darurat, semua tim penolong harus segera memulai
CPR (lihat langkah-langkah di bawah ini) untuk korban dewasa yang tidak
responsif dengan tidak bernapas atau tidak bernapas normal (terengah-
engah).
Kompresi terdiri dari aplikasi irama dan tekanan yang kuat di pertengahan
sternum. Kompresi mengembalikan aliran darah dengan meningkatkan
tekanan intrathoracic dan langsung menekan jantung. ini menghasilkan
aliran darah dan pengiriman oksigen ke miokardium dan otak. Kompresi
dada yang efektif sangat penting untuk mengembalikan aliran darah
selama CPR. Untuk alasan ini semua pasien dalam. serangan jantung harus
menerima kompresi dada. Tim penyelamat harus berusaha untuk
meminimalkan frekuensi dan durasi gangguan dalam kompresi untuk
memaksimalkan jumlah kompresi per menit. Rasio kompresi-ventilasi
30:2 direkomendasikan dengan kedalaman kompresi 5 cm.

Pedoman AHA 2010 untuk CPR dan ECC merekomendasikan inisiasi


kompresi sebelum ventilasi. Sementara tidak ada bukti manusia atau
hewan yang dipublikasikan menunjukkan bahwa CPR dimulai dengan 30
kompresi lebih dari 2 ventilasi mengarah ke hasil yang lebih baik, jelas
bahwa aliran darah bergantung pada penekanan dada. Untuk
memaksimalkan kompresi dada, tempatkan korban pada permukaan keras
bila memungkinkan, dalam terlentang posisi dengan penyelamat berlutut
di samping dada korban atau berdiri di samping tempat tidur. Karena
tempat tidur rumah sakit biasanya tidak keras. Kita merekomendasikan
penggunaan papan meski tidak cukup bukti terhadap penggunaan papan
selama CPR. Penyelamat harus menempatkan satu tangan di tengah
(tengah) dari dada korban dan tangan lainnya di atas tangan pertama
sehingga tangan dapat tumpang tindih dan paralel.

Untuk memberikan kompresi dada yang efektif, mendorong keras (push


hard) dan mendorong cepat (push fast). Hal ini wajar untuk orang awam
dan kesehatan penyedia untuk kompres dada dewasa pada tingkat minimal
100 kompresi per menit dengan kedalaman kompresi minimal 2 inci / 5
cm). Tim penyelamat harus mengusahakan dada mengembang kembali ke
posisi semula (recoil) disetiap pemberian satu kali kompresi, untuk
memungkinkan jantung untuk mengisi sepenuhnya sebelum kompresi
berikutnya.

Pada bayi, kompresi dada yang dilakukan mengggunakan teknik yang


berbeda. Jika penolong sendirian harus menggunakan teknik kompresi
dada dengan mengguakan 2 jari yang diletakkan di garis antara kedua
puting susu dengan ratio kompresi-ventilasi (30:2). Disarankan untuk
melakukan kompresi pada bayi dengan dua penolong. Pada teknik ini
penolong memegang badan bayi dengan kedua tangannya dan
menempatkan kedua ibu jari intermammary line dengan ratio kompresi-
ventilasi (15:2). Kompresi pada bayi dilakukan kurang lebih 100 kali per
menit secara cepat dan kuat dengan kedalaman kompresi 4cm.

Indikasi Pengakhiran Resusitasi

a. Tanda- tanda Keberhasilan Resusitasi

Suatu resusitasi yang baik dinilai atas 3 dasar, yaitu:

1. Fungsi otak, pernapasan dan jantung dapat dipertahankan. Bila O2 yang


dibutuhkan oleh jaringan otak dapat mencegah terjadinya kerusakan
cerebral, maka ini dapat dinilai dari beberapa reaksi, antara lain:
2. Berdasarkan diameter pupil. Bila miosis, menunjukkan hasil yang baik
dan bila midriasis menetap, menunjukkan hasil buruk.
3. Refleks pupil
4. Reflex air mata
5. Struggling (meronta-ronta)
6. Tonus otot meningkat

Bila hal di atas positif, maka hal tersebut menunjukkan indikasi ke arah
perbaikan:

1. Terjadi spontanitas respirasi


Penilaian terhadap respirasi dapat dibagi menjadi:

a.Pernapasan menjadi normal atau apneu, gasping (megap-megap) atau


pernapasan cheyne-stokes
b. Frekuensi pernapasan berkisar antara 16-20 kali/menit
c. Amplitudo pernapasan yang meninggi

2. Fungsi kardiovaskular
Fungsi kardiovaskuler dapat diketahui dari denyut nadi yang teratur dan
kuat dan juga dari tekanan darah. Bila fungsi kardiovaskuler telah
kembali normal, maka dilakukan penilaian:
a. Monitoring dari organ-organ vital dalam, antara lain kardiovaskuler,
ginjal, dan keseimbangan asam dan basa.
b. Apakah terdapat fibrilasi ventrikuler dan takikardi ventrikuler yang
berulang.

b. Tanda-tanda Kegagalan Resusitasi


Tanda- tanda dari kegagalan resusitasi dapat dibagi menjadi beberapa
hal, yakni:

1. Interval waktu yang terlalu lama antara fase cardiopulmonary arrest


dengan tindakan resusitasi yang dilakukan. Bila jarak ini lebih dari 3
menit, maka kemungkinan besar kerusakan yang cerebral yang
irreversible telah terjadi, sehingga tindakan resusitasi tidak akan berhasil.
2. Progresivitas yang pasti dari keadaan ini dapat diketahui, akan tetapi
secara klinis terdapat perburukan dari fungsi respirasi atau fungsi
kardiovaskular yang dimanifestasikan pada perburukan fungsi serebral.
3. Teknik resusitasi yang salah.
a. Teknik resusitasi pernapasan yang salah disebabkan oleh karena
hambatan pada saluran napas, sehingga rasio perfusi ventilasi tidak dapat
mengatasi kebutuhan O2 pada titik kritis dari serebral.
b. Restorasi kardiovaskular yang kurang tepat. Baik lokasi penekanan
yang keliru tidak akan menghasilkan cardiac output yang adekuat untuk
memenuhi titik kritis dari kebutuhan daerah serebral.
1) Kerusakan mekanikal
Bila terjadi kerusakan pada paru, kardiovaskuler, atau rongga thorax
maka tindakan resusitasi kardiopulmonal dapat mengalami kegagalan.
2) Resusitasi yang tidak memadai
Tindakan serta hasil restorasi pernapasan dan restorasi jantung tidak
akan dapat memenuhi titik kritis akan kebutuhan O2 dari serebral.
3) Tergantung kepada etiologi atau penyebab dari cardio pulmonary
arrest.

c. Penghentian Tindakan resusitasi

1. Kematian klinis
Secara klinis tindakan resusitasi dapat dihentikan apabila setelah 1-1,5
jam jantung berhenti dan pasien tetap tidak dapat menunjukkan
kesadaran.
2. Kematian jantung
Dapat dimulai dengan tandanya monitoring EKG dalam waktu paling
sedikit 30 menit setelah tindakan resusitasi selama pemberian obat-
obatan.

3. Kematian otak
Secara total bila tidak terdapat aktivitas elektroensepalografi dan secara
klinis terjadi pelebaran pupil paling sedikit selama 1-2 jam maka dapat
dianggap sebagai indikasi untuk menghentikan resusitasi.
4. Telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif.
a.Upaya resusitasi telah diambil alih orang yang bertanggung jawab.
b. Penolong terlalu capek sehingga tak sanggup meneruskan
resusitasi. Setelah dimulai resusitasi, ternyata kemudian diketahui
bahwa pasien berada dalam stadium terminal suatu penyakit yang tak
dapat disembuhkan atau hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral
akan pulih.

Disability

1. Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/AVPU


2. Nilai pupil: besarnya, isokor atau tidak, refleks cahaya dan awasi tanda –
tanda lateralisasi
3. Evaluasi dan re-evaluasi airway, oksigenasi, ventilasi dan Disability.

E. Exposure

1. Buka pakaian penderita


2. Cegah hipotermia: beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang
cukup hangat6.
5. Syarat melakukan rujukan pada pasien dengan kesadaran menurun
Menentukan perlunya rujukan.

Hasil tindakan pada pasien berhubungan langsung dengan waktu yang


dibutuhkan dari saat kejadian sampai diberikannya terapi definitive. Dalam
rumah sakit yang tidak ada dokter emergensi purna-waktu, dianjurkan agar ada
system komunikasi, sehingga dokter akan siap pada saat penderita tiba di ruang
emergensi tetap (Full Time). Saat merujuk pasien tergantung dari banyak factor
antara lain jarak rumah sakit yang akan dirujuk, keberadaan tenaga terampil
yang akan mendampingi pasien, dan intervensi yang perlu dilakukan.
Penanganan pasien ini mungkin membutuhkan intervensi bedah sehingga
diusahakan pasien dalam keadaan yang optimal sebelum dirujuk. Intervensi
sebelum merujuk adalah keputusan bedah.

Faktor yang berhubungan dengan rujukan


Faktor-faktor yang dapat dijadikan pegangan untuk merujuk penderita antara
lain adalah criteria fisiologis, pola perlukaan, biomekanika trauma dan beberapa
masalah khusus. Faktor-faktor tersebut dapat membantu dalam keputusan untuk
merujuk. Ada criteria fisiologis yang dapat bermanfaat dalam menentukan
perlunya rujukan. Sebagai contoh adalah penderita dalam syok yang sulit
teratasi, atau penurunan keadaan neurologis.
Cara Rujukan
1) Dokter yang merujuk
Dokter yang mengirim bertanggung jawab untuk memulai rujukan, pemilihan
cara transport serta tingkat perawatan sepanjang perjalanan. Dokter yang
merujuk harus berkomunikasi terlebih dahulu dengan dokter penerima rujukan,
mengetahui seluk-beluk cara transportasi yang dipilih, dan mengatur pelayanan
pasien salama transportasi.Dokter yang akan merujuk bertanggung jawab bahwa
pasien dalam keadaan stabil saat akan berangkat. Proses merujuknya sendiri
mungkin sudah dimulai saat resusitasi masih berlangsung. Persetujuan untuk
rujukan pasien harus disiapkan, karena akan memperlancar proses rujukan.

2) Dokter penerima rujukan

Dokter penerima rujukan harus meyakini bahwa rumah sakitnya mampu


menerima pasien, dan memang bersedia menerima. Dokter penerima rujukan
harus membantu dokter yang merujuk dalam pemilihan cara transportasi, cara
perawatan selama dalam perjalanan. Bila dokter penerima rujukan menyatakan
menolak rujukan, maka tetap harus membantu mencari alternative rujukan.

Cara Transportasi
Dalam memilih cara transportasi, prinsip “Do no further harm” harus menjadi
pertimbangan utama. Perjalanan antar rumah sakit dapat berbahaya, keculi
apabila terhadap pasien telah dilakukan stabilisasi, tenaga yang mendampingi
cukup terlatih, dan telah diperhitungkan kemungkinan yang terjadi selama
transportasi.
Protokol Rujukan

Apabila belum ada prosedur tetap, maka dianjurkan prosedur dibawah ini:

1) Dokter yang merujuk


Dokter yang akan merujuk harus berbicara dengan dokter penerima rujukan, dan
memberikan informasi dibawah ini:
- Identitaspasien
- Anamnesis singkat kejadiannya, termasuk data pra-rumah sakit yang penting
- Penemuan awal pada pemeriksaan pasien
- Responter hadap terapi
2) Informasi untuk petugas yang akan mendampingi
Petugas pendamping harus paling sedikit diberitahukan:
- Pengelolaan jalan nafas pasien
- Cairan yang telah / akan diberikan
- Prosedur khsus yang mungkin akan diperlukan
- Revised Trauma Score, prosedur resusitasi dan perubahan-perubahan yang
mungkin akan terjadi selama dalam perjalanan

3) Dokumentasi
Yang disertakan dengan pasien adalah dokumentasi mengenai permasalahan
pasien, terapi yang telah diberikan, keadaan pasien saat akan dirujuk.
4) Pengobatan sebelum merujuk
Pasien harus dilakukan resusitasi dalam usaha membuat pasien dalam keadaan
sestabil mungkin, seperti dianjurkan dibawah ini
a) Airway
- Pasang airway atau intubasi bila perlu
- Suction dimana perlu
- Pasang NGT untuk mencegah aspirasi
b) Breathing
- Tentukan laju pernafasan, berikan oksigen
- Ventilasi mekanik bila diperlukan
- Pasang pipa toraks (chest tube) dimana perlu
c) Circulation
- Kontrol perdarahan luar
- Pasang 2 jalur infus, mulai pemberian kristaloid
- Perbaiki kehilangan darah dengan kristaloid atau darah, dan teruskan
pemberian
- selama transportasi
- Pasang kateter uretra untuk monitor keluar urin
- Monitor kecepatan dan irama jantung7

6. Tindak lanjut setelah penanganan awal diberikan

Lakukan Trakeotomi, merupakan tindakan membuat jalan napas baru dengan m


embuat lubang pada trakea. Trakeotomi menurut urgensi dibagi atas:
1. Emergency tracheostomy
Dilakukan pada keadaan darurat, biasanya didaerah glottis
2. Orderly tracheostomy
Merupakan tindakan berencana, dilakukan pada cincing trakea III atau
dibawahnya.

Indikasi:
a. Pasien yang tampak pucat atau sianotik
b. Terjadinya obstruksi jalan napas
c. Terdapat benda asing disubglotis
d. Cedera parah pada wajah dan leher
Komplikasi:
a. Perdarahan
b. Infeksi pada tulang rawan tiroid
c. Stenosis trakea
Secondary Survey
Secondary survey adalah pemeriksaan kepala-sampai-kaki (head to toe examin
ation), termasuk pemeriksaan tanda vital. Secondary survey baru dilaksanakan set
elah primary survey selesai, resusitasi sudah dilakukan, dan ABC-nya penderita di
pastikan membaik. Pada secondary surveyini dilakukan pemeriksaan neurologi le
ngkap, termasuk mencatat skor GCS bila belum dilaksanakan dalam survey prime
r. Pada secondary survey ini juga dilakukan pemeriksaan radiologi yg diperlukan..
Prosedur khusus seperti DPL, evaluasi radiologis dan pemeriksaan laboratorium j
uga dikerjakan pada kesempatan ini evaluasi lengkap dari penderita memerlukan p
emeriksaan berulang-ulang.

ANAMNESIS
A – Alergi
M – Medikasi (obat yang diminum saat ini)
P – Past Illness (penyakit penyerta) / Pregnancy
L – Last Meal
E – Event / Environment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan
1) Trauma tumpul
2) Trauma tajam
3) Perlukaan karena suhu / panas
4) Bahan berbahaya (HAZMAT-Hazardous Material)

PEMERIKSAAN FISIK
1) Kepala
2) Maksilo-fasial
3) Vertebra Servikalis dan Leher
4) Thoraks
5) Abdomen
6) Perineum
7) Muskuloskeletal
8) Neurologis
a) Head
Observasi dan palpasi ukuran dan respon pupil, telinga, membran thympani
diperiksa untuk melihat adanya darah atau CSF, Battle’s sign (echymosis di
mastoid) yang menunjukkan adanya fraktur basis cranii. Serta diperiksa dan dicari
cedera didaerah maksillofacial dan cervical spine.
b) Neck
Harus diimobilisasi jika dicurigai ada cedera cervical. Rontgen cervical lateral
(C1-C7) harus dikerjakan.
c) Chest
Inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi serta foto thoraks. Diperiksa dan dicari
pelebaran mediastinum, fracture costa, flail segment, haemothoraks,
pneumothoraks, dan contusion paru
d) Abdomen
Fokus pada pemeriksaan untuk mencari kondisi akut yang membutuhkan
intervensi bedah. Keputusan untuk segera melaksanakan DPL, CT-Scan, atau
laparatomi cito harus segera diambil
e) Rectal
Adanya darah menunjukkan perforasi rectum, prostat letak tinggi menandakan
adanya ruptur uretra, terabanya fragmen tulang di dinding rectum menunjukkan
adanya fraktur pelvis.
f) Examination of Extremitas
Dicari adanya cedera vascular dan musculoskeletal. Hilangnya denyut nadi perifer
merupakan indikasi dilakukannya aortografi.
g) Neurologic Examination
Pemeriksaan untuk menentukan fungsi cerebral hemispheric, brainstem, dan spina
l levels.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Pemeriksaan laboratorium ada yang bersifat segera (cito) dan ada pula yang
bersifat terencana (menunggu hasil pemeriksaan fisik lengkap, EKG, radiologi,
dan sebagainya). Pemeriksaan laboratorik yang bersifat segera pada umumnya
meliputi pemeriksaan glukosa darah, jumlah leukosit, kadar hemoglobin,
hematokrit. Dan analisis gas darah. Yang terakhir ini hanya dapat dikerjakan di
rumah sakit yang lengkap fasilitasnya. Secara umum, pemeriksaan darah
sehubungan dengan koma meliputi pemeriksaan rutin lengkap, kadar glukosa
darah, elektrolit, fungsi ginjal, fungsi hati, gas darah. Pada kasus tertentu
(meningitis enscfalitis, perdarahan subaraknoidal) diperlukan tindakan pungsi
lumbal dan kemudian dilakukan analisis cairan serebrospinal.
2) Pemeriksaan elektrofisiologi pada kasus koma bersifat terbatas kecuali
pemeriksaan EKG. Pemeriksaan eko-ensefalografi bersifat noninvasif, dapat
dikerjakan dengan mudah, tetapl manfaat diagnostiknya terbatas. Apabila ada CT
Scan maka pemeriksaan ekoensefalografi tidak perlu dikerjakan. Pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG) terutama dikerjakan pada kasus mati otak (brain
death).
3) Pemeriksaan radiologik dalam penanganan kasus koma tidak selamanya
mutlak perlu. CT Scan akan sangat bermanfaat pada kasus-kasus lesi otak
(GPDO), neoplasma, abses, trauma kapitis, dan hidrosefalus. Koma metabolik
pada umumnya tidak memerlukan pemeriksaan CT Scan kepala. Dalam kasus
demikian ini justru pemeriksaan laboratorium patologi klinik lebih bermanfaat.
Foto dada bersifat selektif, bergantung pada situasi klinis dan riwayat sebelumnya.

RE-EVALUASI
Penurunan kesadaran dapat dikenal apabila dilakukan evaluasi ulang terus me
nerus, sehingga gejala yang baru timbul segera dapat dikenali dan dapat ditangani
secepatnya. Monitoring tanda vital dan produksi urin penting. Produksi urin orang
dewasa sebaiknya dijaga ½ cc/kgBB/jam, pada anak 1 cc/kgBB/jam. Bila penderit
a dalam keadaan kritis dapat dipakai pulse oximeter dan end tidal CO 2 monitoring.
Penanganan rasa nyeri merupakan hal yang penting. Golongan opiate atau anxiolit
ika harus diberikan secara intravena dan sebaiknya jangan intra muscular.

TERAPI DEFINITIF
Terapi definitif dimulai setelah primary dan secondary survey selesai. Untuk
keputusan merujuk penderita dapat dipakai Interhospital Triage Criteria. Apabila
keputusan merujuk penderita telah diambil, maka harus dipilih rumah sakit terdek
at yang cocok untuk penanganan pasien.

RUJUKAN
Bila cedera penderita terlalu sulit untuk dapat ditangani, penderita harus diru
juk. Proses rujukan ini harus dimulai saat alasan untuk merujuk ditemukan, karena
menunda rujukan akan meninggikan morbiditas dan mortalitas penderita.

Tentukan
a. Indikasi Rujukan
b. Prosedur Rujukan
c. Kebutuhan penderita selama perjalanan
Cara komunikasi dengan dokter yang akan dirujuk.

TRANSPORTASI
Syarat transportasi penderita :
a) Gangguan pernapasan dan CV telah ditanggulangi : Resusitasi bila perlu
b) Perdarahan dihentikan.
c) Luka ditutup.
d) Patah tulang difiksasi.
Selama transportasi, monitor :
a) Kesadaran.
b) Pernapasan.
c) Tekanan darah dan denyut nadi.
d) Daerah perlukaan.
Syarat alat transportasi :
a) Kendaraan
- Darat (Ambulans, Pick Up, Gerobak).
- Laut (Perahu, Rakit, Kapal, Perahu motor).
- Udara (Pesawat terbang, Helikopter).
b) Yang terpenting adalah :
- Penderita dapat terlentang.
- Cukup luas minimal untuk 2 penderita dan petugas dapat bergerak leluasa.
- Cukup tinggi sehingga petugas dapat berdiri dan infuse dapat jalan.
- Dapat melakukan komunikasi kesentral komunikasi dan rumah sakit.
- Identitas yang jelas sehingga mudah dibedakan dari ambulans lain.

FARMAKOLOGI
Tujuan utama dari perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera
sekunder terhadap otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya adalah
apabila sel saraf otak diberikan suasana yang optimal untuk pemulihan maka
diharapkan dapat berfungsi normal kembali, sebaliknya apabila saraf dalam
keadaan tak memadai maka sel akan kehilangan kehilangan fungsi sampai
mengalami kematian. Adapun obat-obatan yang dapat digunakan:
1) Cairan Intravena
Cairan intravena diberikan untuk resusitasi penderita agar tetap normovolemia.
Cairan yang dianjurkan, yaitu cairan larutan garam fisiologis atau ”RL”
(Ringer’s Lactate). Kadar natrium dan serum juga harus dipertahankan dalam
batas normal.
2) Manitol
Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial (TIK), biasanya
dengan konsentrasi cairan 20%. Manitol juga diberikan pada penderita-
penderita dengan pupil dilatasi bilateral dan reaksi cahaya pupil negatif namun
tidak hipotensi
3) Flurosemid
Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK. Dosis : 0,3-0,5
mg/kg BB, secara intravena.
4) Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-
obat atau prosedur yang biasa. Namun obat ini tidak boleh diberikan bila
terdapat hipotensi, karena barbiturat sendiri juga menurunkan tekanan darah.
Karen itu obat barbiturat tidak boleh diberikan pada fase akut resusitasi.
Obat-obatan yang digunakan untuk pasien gawat darurat:
1) Adrenalin (epinephrine)
Farmakodinamik:
Pada syok anafilaktik digunakan untuk mengatasi gangguan sirkulasi dan
menghilangkan bronkospasme. Pada jantung paru, adrenalin merangsang
reseptor α agar terjadi vasokonstriksi perifer dan merangsang reseptor  di
jantung agar pembuluh darah koroner mengalami dilatasi sehingga aliran darah
ke miokard menjadi lebih baik. Adrenalin mengubah “fine ventricular
fibrillation” menjadi “corse ventricular fibrillation” yang lebih mudah
disembuhkan dengan defibrilasi (DC syok).
Sediaan:
Pada pasien dengan syok ringan, dosis diberikan 0.3-0.5 mg secara subkutan
dalam larutan 1:1000. Pada pasien dengan syok berat, dosis dapat diulang atau
ditingkatkan 0.5-1 mg. Inhalasi ephinephrin adalah larutan tidak steril 1% HCl
tu 2% epi bitartat dalam air untuk inhalasi oral (bukan nasal) untuk mengatasi
bronkonstriksi (bronkospasme). Pada RJP, dosis yang dianjurkan adalah 0.5-1
mg dalam larutan 1:1000, dapat diulang tiap 5 menit karena masa kerjanya
pendek.
2) Ephedrine
Farmakodinamik:
Efeknya sama dengan adrenalin, tetapi efektif pada pemberian oral, potensinya
lebih lemah tetapi masa kerjanya 7-10 kali lebih panjang. Ephedrine
merupakan obat simpatomimetik yang bekerja ganda, secara langsung pada
reseptor adrenergic dan secara tidak langsung dengan merangsang pengeluaran
katekolamin.
Sediaan:
Untuk mengatasi hipotensi akibat blok spinal selama anesthesia atau depresi
halotan diberikan ephedrin dengan dosis 10-50 mg IM atau 10-20 mg IV.
3) Dopamin
Farmakodinamik:
Dopamin dipakai untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi pada syok
septik, syok kardiogenik, dan pasca resusitasi jantung. Sebelum diberikan pada
penderita syok, hipovolemia harus dikoreksi terlebih dahulu.
Sediaan:
Dosis dopamin dimulai dari 2-5 g/kgBB/menit, 5-10 g/kgBB/menit, sampai
>10 g/kgBB/menit. Dosis tersebut memberikan efek yang berbeda.

4) Atropin
Farmakodinamik:
Atropin menghambat pengaruh N.Vagus pada SA node. Dapat meningkatkan
denyut nadi pasien sinus bradikardia atau blok AV derajat 1 atau 2.
Sediaan:
Sediaan atropin yaitu 0.25 dan 0.5 mg tablet dan suntikan. Untuk bayi dan
anak-anak diberikan 0.01 mg/kgBB karena mudah mengalami intoksikasi dan
overdosis.
5) Lidokain
Farmakodinamik:
Lidokain merupakan obat pilihan aritmia ventrikuler, efeknya segera dan masa
kerjanya pendek.
Sediaan:
Dosis untuk penyuntikan intravena 1-1.5 mg kemudian dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan dalam tetesan infus 15-50 g/kgBB/menit.
6) Cedilanid
Farmakodinamik:
Obat ini digunakan untuk pasien tachyarythmia supraventricular dan
kegagalan jantung kongestif.
Sediaan:
Dosis digitalisasi jumlah totalnya 0.8-1.6 mg IV, dibagi 4 kali pemberian
selang 6 jam, diikuti dosis pemeliharaan 0.2 mg IM tiap 12 jam.1,8,9
7. Perspektif Islam yang berhubungan dengan skenario

Surat Al Maidah Ayat 32 Beserta Artinya


َ َّ‫ض فَ َكأَنَّ َما قَت ََل الن‬
‫ا‬RRً‫اس َج ِميع‬ ِ ْ‫س أَوْ فَ َسا ٍد فِي اأْل َر‬ ٍ ‫ك َكتَ ْبنَا َعلَ ٰى بَنِي إِ ْس َرائِي َل أَنَّهُ َم ْن قَت ََل نَ ْفسًا بِ َغي ِْر نَ ْف‬ َ ِ‫ِم ْن أَجْ ِل ٰ َذل‬
ٰ
ِ ْ‫كَ فِي اأْل َر‬Rِ‫ َد َذل‬R‫يرًا ِم ْنهُ ْم بَ ْع‬Rِ‫ت ثُ َّم إِ َّن َكث‬
‫ض‬ ِ ‫ا‬RRَ‫لُنَا بِ ْالبَيِّن‬R‫ُس‬
ُ ‫ ا َء ْتهُ ْم ر‬R‫ ْد َج‬Rَ‫ا ۚ َولَق‬RR‫اس َج ِمي ًع‬َ َّ‫ا الن‬Rَ‫َو َم ْن أَحْ يَاهَا فَ َكأَنَّ َما أَحْ ي‬
َ‫ْرفُون‬
ِ ‫لَ ُمس‬
Artinya:
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa:
barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi,
maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa
yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang
kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang
jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh
melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.
Kandungan Surat Al Maidah ayat 32
Membunuh adalah dosa besar. Membunuh satu orang tanpa alasan yang
dibenarkan, dosanya seakan-akan membunuh manusia seluruhnya. Memelihara
nyawa manusia adalah pahala besar. Memelihara satu nyawa seakan-akan
memelihara kehidupan manusia seluruhnya. Ayat ini menunjukkan, Islam
mengajarkan untuk menjaga kehidupan dan menjauhi tindak kekerasan.
Allah telah mengutus para Rasul dengan membawa keterangan yang nyata,
termasuk mengajarkan untuk menjaga kehidupan dan memperingatkan agar
menjauhi tindak kejahatan. Banyak di antara Bani Israil yang melampaui batas,
meskipun mereka telah mengetahui apa yang dilarang oleh Allah.

HR. Tirmidzi

“Barang siapa yang ketika keluar dari rumahnya membaca doa “Bismillahi
tawakkaltu ‘alallah laa haula wa laa quwwata illaa billah” (Dengan menyebut
nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tiada daya dan upaya kecuali dari
Allah), maka dikatakan kepadanya: kamu telah tercukup dan terlindungi, dan
syetan pun akan menjauh darinya.”
(HR. Tirmidzi; hasan shahih. Hadits senada diriwayatkan juga oleh Abu Daud

HR. Muslim

“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Mahasuci Dzat yang
telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu
menguasainya dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami. Ya
Allah… sesungguhnya kami memohon kepadaMu kebaikan, taqwa dan amal yang
Engkau ridhai dalam perjalanan kami ini. Ya Allah, mudahkanlah segala urusan
dalam perjalanan kami ini, pendekkanlah jarak dari jauhnya bepergian dan
pengganti bagi keluarga yang kami tinggalkan. Ya Allah Engkau adalah teman
dalam perjalanan dan wakil dalam keluarga. Ya Allah sesungguhnya aku
berlindung kepadaMu dari kesulitan dalam bepergian, pemandangan yang
menyedihkan dan jeleknya kembali baik bagi harta maupun keluarga kami.”
(HR. Muslim).

Daftar Pustaka
1. Pehimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Buku Ajar
Neuorologi Klinis. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta. 2011.
2. Purwadianto A, Sampurna B. Kedaruratan Medik. Binarupa Aksara :
Jakarta. 2011
3. Greer DM, Yang J, Scripko PD, Sims JR, Cash S, Kilbride R, et al. (2012)
Clinical examination for outcome prediction in nontraumatic coma. Crit
Care Med.; 40: 1150-6. doi: 10.1097/ CCM.0b013e318237bafb.
4. Buku Ajar Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
5. Henry Sharon, MD, Karen Brasel, MD, Ronald M. Stewart, MD, FACS.
2018.
“ATLS : Advanced Trauma Life Support Tenth Edition” The Committee
on Trauma: American College of Surgeons.
6. PERDOSSI. 2011. Guideline Stroke. Bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD
Arifin Achmad Pekanbaru. Fakultas kedokteran Universitas Riau.
7. Henry, Sharon; dkk. 2008. Advanced Trauma Life Support 8thEdition.
Chicago: American Collage of Surgeons Committee on Trauma.
8. American Collage Of Surgeons Committee On Trauma. Advanced Trauma
Life Support Untuk Dokter. United States Of America: Komisi ATLS
Pusat. 2006.
9. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2009; 133-140.

Anda mungkin juga menyukai