Anda di halaman 1dari 31

BAGIAN ILMU KULIT & KELAMIN REFERAT DAN CASE REPORT

TIM KOORDINASI PENDIDIKAN Makassar, November 2021


RS IBNU SINA MAKASSAR

HIDRADENITIS SUPPURATIVA : PATOMEKANISME, DIAGNOSIS,


DAN PENATALAKSANAAN

Oleh
Kasma
111 2020 2087

Dokter Pendidik Klinik :


Dr. dr. Sri Vitayani, Sp. KK (K)., FINSDV, FAADV

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa: Nama

: Kasma

NIM : 111 2020 2087

Judul Referat : Hidradenitis suppurativa : Patomekanisme, diagnosis,

dan penatalaksanaan

Adalah benar telah menyelesaikan Referat yang berjudul “Hidradenitis

suppurativa : Patomekanisme, diagnosis, dan penatalaksanaan” dan

telah disetujui serta telah dibacakan dihadapan supervisor pembimbing dalam

rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin Fakultas

Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, November 2021

Dokter Pendidik Klinik, Penulis,

Dr. dr. Sri Vitayani, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV Kasma


HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Kasma

NIM : 111 2020 2087

Judul Laporan Kasus : Hidradenitis Suppurativa

Adalah benar telah menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul “Hidradenitis

Suppurativa” dan telah disetujui serta telah dibacakan dihadapan supervisor

pembimbing dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Penyakit Kulit

& Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, November 2021

Dokter Pendidik Klinik, Penulis,

Dr. dr. Sri Vitayani, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV Kasma


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan
Karunia-Nya serta salam dan shalawat kepada Rasulullah Muhammad
SAW beserta sahabat dan keluarganya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat ini dengan judul “Hidradenitis
suppurativa :Patomekanisme, diangnosis, dan penatalaksanaan”
sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di
Bagian Kulit dan Kelamin.
Selama persiapan dan penyusunan referat ini rampung, penulis
mengalami kesulitan dalam mencari referensi. Namun berkat bantuan,
saran, dan kritik dari berbagai pihak akhirnya refarat ini dapat
terselesaikan serta tak lupa penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian tulisan ini.
Semoga amal dan budi baik dari semua pihak mendapatkan pahala
dan rahmat yang melimpah dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa
dalam penulisan refarat ini terdapat banyak kekurangan dan masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran untuk menyempurnakan refarat ini. Saya berharap sekiranya refarat
ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Aamiin.

Makassar, November 2021

Hormat
Saya,

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................1
BAB II...............................................................................................................................1
LAPORAN KASUS..........................................................................................................2
2.1 Identitas Pasien......................................................................................................2
2.2 Anamnesis..............................................................................................................2
2.3 Pemeriksaan Fisik.................................................................................................3
2.4 Diagnosa Kerja......................................................................................................4
2.5 Penatalaksanaan.............................................................................................4
2.6 Prognosis.................................................................................................... 5
BAB III.............................................................................................................................7
TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................7
3.1 Definisi.....................................................................................................................7
3.2 Etiologi.....................................................................................................................7
3.3 Patomekanisme........................................................................................................7
3.4 Diagnosis................................................................................................................. 9
3.5 Derajat Keparahan......................................................................................10
3.6 Pemeriksaan Penunjang................................................................................12
3.7 Diagnosis Banding................................................................................................ 12
3.8 Tatalaksana...........................................................................................................15
3.9 Prognosis............................................................................................................... 21
BAB IV............................................................................................................................ 22
KESIMPULAN............................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................23

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hidradenitis suppurativa (HS) pertama kali dijelaskan oleh seorang ahli

bedah Perancis pada tahun 1839. Hidradenitis suppurativa (HS) adalah gangguan

inflamasi yang ditandai dengan adanya nodul kronis yang dalam, abses, fistula,

saluran sinus, dan bekas luka di aksila, daerah inguinal, lipatan submamma, dan

daerah perianal.1

Intervensi dini memerlukan penegakan diagnosis segera setelah gejala awal,

tetapi bukti menunjukkan bahwa upaya saat ini tidak cukup. Waktu rata-rata dari

onset gejala hingga diagnosis adalah 10 tahun, dengan 65% pasien memiliki enam

atau lebih kunjungan dokter sebelum diagnosis.2

Perkiraan prevalensi di Amerika Serikat dan Inggris berkisar dari 0,1%

hingga 1%. Kebanyakan pasien berusia 18-40 tahun.2 Gangguan bipolar, psikosis,

skizofrenia, dan bunuh diri lebih sering terjadi pada pasien HS daripada orang

sehat.3 Hidradenitis suppurativa adalah salah satu penyakit yang berdampak pada

kehidupan tertinggi dibandingkan dengan penyakit kulit lainnya. Gangguan

psikiatri adalah kelompok komorbiditas yang paling umum pada pasien HS,

dengan 57% pasien memiliki setidaknya satu penyakit psikiatri.3

1
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. X

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 64 Tahun

Status : Tidak dilampirkan dalam jurnal


2.2 Anamnesis

Keluhan Utama : Muncul benjolan kemerahan yang terasa nyeri pada

kedua ketiak

Riwayat perjalanan penyakit : Pasien laki-laki berusia 64 tahun

datang ke poliklinik kulit dan kelamin, dengan keluhan adanya

benjolan-benjolan kemerahan yang terasa nyeri pada kedua ketiak

sejak 1 minggu yang lalu. Pasien mengatakan awalnya hanya

mencabut rambut pada ketiaknya, namun keesokan harinya ada

benjolan yang muncul satu-persatu pada ketiak sebelah kanan, 4 hari

kemudian benjolan-benjolan yang sama juga muncul pada ketiak

sebelah kiri disertai dengan demam.

Riwayat penyakit terdahulu : Pasien belum pernah mengalami

hal yang sama sebelumnya

Riwayat penyakit dalam keluarga : Tidak ada

Riwayat pengobatan : Tidak ada

2
2.3 Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan umum

 Kesadaran : Compos mentis

 Tanda- tanda vital : Dalam batas normal

 Suhu : 37,9

2. Status Dermatologis

 Distribusi : Regional

 Lokalisasi : Regio axilla dekstra dan sinistra

 Bentuk : Bulat, linear

 Ukuran :Lentikuler

 Effloresensi : Terdapat nodul eritem disertai pustul pada

area axilla dekstra dan nodul eritem pada axilla sinistra

Gambar 1. Nodul eritema bentuk bulat ukuran lentikular tersusun linear

disertai pustul pada area axilla dekstra

3
Gambar 2. Nodul eritema bentuk bulat ukuran lentikular pada area

axilla sinistra

2.4 Diagnosa Kerja

Hidradenitis Suppurativa

2.5 Penatalaksanaan

Pada kasus ini, penatalaksanaan dilakukan berdasarkan terapi dari

bagian kulit dan kelamin. Pasien diberikan obat antibiotik topikal,

antibiotik sistemik serta obat antipiretik yang diminum jika perlu.

Medikamentosa:

1. Antibiotik topikal: Asam fusidat 2% yang digunkan 3-4 kali sehari

2. Antibiotik sistemik: Cefadroksil 2 x 500 mg

3. Antipiretik oral: Paracetamol 3x 500 mg yang diminum jika pasien

demam

Non-Medikamentosa:

Menjaga kebersihan diri, tidak mencabut atau mencukur rambut

ketiak dan di instruksikan untuk menghindari waslap, spons kasar,

4
atau sikat yang dapat menyebabkan trauma dan iritasi kulit. Pilihan

perawatan lokal luka adalah bagian penting dari tatalaksana pasien. Sering

digunakan dressing luka dengan bahan daya serap tinggi. Secara umum,

dressing superabsorben merupakan cara terbaik untuk menangani

pengeringan lesi atau luka pasca operasi. Pembersihan harian pada daerah

yang terkena dapat membantu mengurangi bau dan terjadinya infeksi

sekunder. Pertimbangkan penggunaan antiseptik lembut berisiko lebih rendah

untuk terjadinya dermatitis kontak alergi atau iritan

2.6 Prognosis

Dubia ad bonam.4

Diskusi

Hidradenitis suppurativa (HS) adalah penyakit kulit inflamasi kronik

dan berulang. Terjadi peradangan pada folikel rambut di daerah kelenjar

apokrin tubuh, dapat menyebabkan rasa nyeri pada area yang

mengalami peradangan serta terjadinya demam. Daerah yang sering

terjadi yaitu di daerah aksila, inguinal dan anogenital. Laporan ini

menunjukan pasien laki-laki berumur 64 tahun dengan hidradenitis

suppurativa pada area axilla dextra dan sinistra. Hasil pemeriksaan

dermatologis ditemukan wujud kelainan kulit berupa nodul-nodul eritema

disertai pustul pada area axilla dekstra dan nodul-nodul eritema pada

axilla sinistra. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik maka

diagnosis kerja dari pada kasus ini yaitu Hidradenitis suppurativa. Pada

kasus ini, penatalaksanaan dilakukan berdasarkan terapi dari bagian kulit

5
dan kelamin. Pasien diberikan obat antibiotik topikal, antibiotik sistemik

serta obat antipiretik yang diminum jika perlu. 4

6
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Hidradenitis merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri

staphylococcus aureus, Infeksi sering didahului oleh mikrotrauma,

misalnya: banyak keringat, pemakaian deodorant atau rambut pada

aksila yang dicukur.4

Hidradenitis suppurativa (HS) adalah penyakit inflamasi kulit kronis

yang terutama mengenai area tubuh yang kaya akan kelenjar apokrin

yang ditandai dengan adanya nyeri, nodul, abses, saluran sinus, dan

jaringan parut. HS adalah penyakit multifaktorial di mana faktor genetik

dan lingkungan memainkan peran.5

3.2 Etiologi

Etiologi HS adalah multifaktorial dimana faktor yang berkontribusi

termasuk genetika, faktor lingkungan, gaya hidup seperti merokok, bakteri,

dan pengaruh hormonal.6 Bakteri aerob yang paling umum adalah

staphylococcus aureus, streptococcus pyogenes, dan pseudomonas

aeruginosa dan bakteri anaerob yang paling sering adalah spesies

peptostreptococcus, spesies prevotella, streptokokus mikroaerofilik, dan

spesies fusobacterium.7

3.3 Patomekanisme

Hidradenitis supurativa melibatkan oklusi dan peradangan folikel

rambut, kondisi ini bersama dengan terjadinya disregulasi imun bawaan

7
dan adaptif, diperlukan untuk memulai perkembangan klinis HS. 5 Kejadian

patogenik awal pada HS melibatkan inflamasi perifolikular yang

menyebabkan hiperkeratosis dan oklusi folikel rambut di area predileksi.

Ruptur berikutnya dari folikel yang melebar dan ekstrusi dari akumulasi isi

duktus folikel (sebum dan debris) ke dalam dermis sekitarnya memulai

respon inflamasi, akhirnya mengakibatkan pembentukan nyeri, nodul

meradang. Peradangan berkelanjutan di daerah tersebut berkontribusi

pada pembentukan abses, fistula, dan saluran sinus (terowongan),

sehingga menciptakan lingkungan yang menguntungkan untuk

pembentukan biofilm, kolonisasi bakteri, dan nanah. 8

HS adalah penyakit folikel yang menunjukkan beberapa defek dalam

pembersihan keratin, dengan oklusi folikular yang dihasilkan, di mana

imunitas seluler bawaan yang rusak memainkan peran penting.

Hiperkeratinisasi dan oklusi folikel mengakibatkan pecahnya unit

pilosebasea, melepaskan bakteri di dalam dermis dan memicu respons

inflamasi lokal dan dengan demikian mempertahankan peradangan kronis.

Selain itu, koloni bakteri khusus yang sulit diberantas membentuk biofilm

bakteri yang mengikat secara ireversibel ke epitel saluran sinus dan folikel

rambut, yang selanjutnya menyebabkan peradangan kronis. 5 Patogenesis

penyakit saat ini dipahami sebagai: I) hiperkeratosis dan oklusi folikel; II)

dilatasi unit pilosebaceous; III) ruptur dan pelepasan isi folikel ke dalam

dermis; IV) reaksi inflamasi sekunder; V) masuknya sel inflamasi dan

pelepasan sitokin baru, terjadi proses (meningkatnya TNFα, IL-6, IL-10, IL

8
12, IL-23 dan IL-17), dengan pembentukan abses dan fistula. Faktor seks

tampaknya mempengaruhi perjalanan penyakit dengan onset setelah

pubertas, dominasi wanita dan eksaserbasi perimenstruasi. Namun,

kontribusi mereka terhadap patogenesis masih belum

jelas.9

Gambar 1. a Struktur kelenjar apokrin normal dan tidak ada

peradangan. b. Hiperkeratosis dan oklusi folikel, pembesaran kelenjar

apokrin, dilatasi folikel dan ruptur dini, dan peradangan perifolikular

dengan infiltrat sel radang campuran. c. Stadium akhir dengan

peningkatan peradangan, pembentukan abses dan saluran sinus yang

mengering, jaringan parut, dan fibrosis.10

3.4 Diagnosis

1. Anamnesis

Keluhan awal yang dirasakan pasien biasanya adalah gatal,

eritema, dan hiperhidrosis lokal. Tanpa pengobatan penyakit ini

9
dapat berkembang dan pasien merasakan nyeri di lesi. Penyakit ini

disertai gejala konstitusi seperti demam, dan malaise. 11

2. Pemeriksaan fisik

Ruam berupa nodul dengan tanda-tanda peradangan akut,

kemudian dapat melunak menjadi abses, dan memecah membentuk

fistula dan disebut hidradenitis.11

Kriteria diagnosis berdasarkan The Second International

Hidradenitis Suppurativa Research Symposium :

1. Lesi khas: nodul yang nyeri, blind boil pada awal lesi, saluran sinus,

skar, dan komedo terbuka pada lesi sekunder

2. Lokasi lesi : aksila, lipatan paha, perineal dan lesi perianal, bokong,

lipatan infra, dan intermama

3. Kronis dan kambuh-kambuhan.12

3.5 Derajat Keparahan

HS merupakan penyakit kronis dengan perjalanan klinis yang

bervariasi. Derajat keparahan HS dibagi berdasarkan kriteria Hurley

(stadium I-III). Stadium awal didapatkan abses pada lokasi terbatas.

Stadium II didapatkan saluran sinus dengan skar yang membatasi lesi

individu. Stadium III menunjukan lesi koalesen disertai skar dan saluran

sinus, inflamasi, dan discharge kronis. 12

10
Gambar 1. Hidradenitis supurativa Hurley stadium I pada regio aksila

tampak lesi inflamasi tanpa disertai adanya skar

Gambar 2 .Hidradenitis supurativa Hurley stadium II tampak terowongan,

skar dan beberapa nodul inflamasi di antara kulit normal

Gambar 3. Hidradenitis supurativa Hurley stadium III tampak terowongan,

skar, dan beberapa nodul inflamasi di antara kulit normal. 12

11
3.6 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

Pasien hidradenitis supurativa dengan lesi akut dapat menunjukan

peningkatan laju endap darah (LED) atau C-reactive protein (CRP). 12

Tes darah rutin termasuk hitung sel darah lengkap, hitung diferensial

dan trombosit, laju sedimentasi eritrosit (ESR), dan protein C-reaktif

(CRP) biasanya dalam batas normal. Namun, penanda inflamasi

(yaitu, leukosit, ESR, CRP) dapat meningkat pada periode inflamasi

aktif atau pada pasien dengan penyakit yang lebih parah. 12

2. Pemeriksaan kultur dari lesi dilakukan bila adanya kecurigaan infeksi

bakteri, tuberkulosis, dan jamur.12

3. Pemeriksaan ultrasonografi khususnya color doppler memungkinkan

untuk visualisasi perubahan subklinis (misalnya, penebalan dermal,

pseudokista dermal, pelebaran folikel rambut, dan pengumpulan

cairan) serta jenis dan luas lesi.12 Magnetic resonance imaging (MRI)

menunjukan penebalan pada kulit, indurasi jaringan subkutan, dan

multipel abses subkutan.12

3.7 Diagnosis banding

1. Skrofuloderma

Skrofuloderma dikenal juga sebagai tuberculosis colliquativa cutis

yang merupakan tuberkulosis subkutan yang kemudian membentuk

abses dan juga kerusakan sekunder terhadap kulit dipermukaannya. 13

Lesi kulit awal berupa nodul subkutan keras, berbatas tegas, mudah

12
digerakkan dari dasarnya tanpa disertai tanda infiltrasi. Dengan

bertambah besar infiltrat, akan terjadi perlunakan. Diperlukan waktu

berbulan-bulan hingga infiltrat tersebut menjadi cair dan kemudian

pecah. Fistel akan terbentuk dan mengeluarkan cairan bening hingga

purulen dan jaringan-jaringan kaseosa. Terowongan dan celah

penghubung tergali di bawah kulit dan menghubungkan antara jaringan

subkutan dengan nodul yang sudah lunak. 13 Terjadi banyak

pembesaran kelenjar getah bening dengan konsistensi lunak tanpa

tanda radang akut, dapat pecah dan meninggalkan fistel dan jaringan

parut. Daerah predileksi berupa tempat yang banyak kelenjar getah

bening superfisialis, tersering leher, ketiak dan jarang pada lipat

paha.14

2. Karbunkel

Karbunkel adalah kumpulan furunkel yang merupakan radang

folikel rambut dan sekitarnya. Kelainan dapat berupa nodul eritemosa

berbentuk kerucut, ditengahnya terdapat pustul. Kemudian dapat

13
melunak menjadi abses yang berisi pus dan jaringan nekrotik, lalu

memecah membentuk fistel.14 Tempat predileksi terjadi pada setiap

lesi kulit yang mengandung rambut termasuk di kepala, leher, badan,

bokong, dan ekstremitas, sebagai lesi tunggal atau lesi multipel.15

3. Limphogranuloma venereum (LGV)

adalah penyakit menular seksual (PMS) yang disebabkan oleh serovar

L1-L2-L3 dari Chlamydia trachomatis (CT).16 Gambaran klinisnya dapat

dibagi menjadi bentuk dini, yang terdiri atas afek primer serta sindrom

inguinal, dan bentuk lanjut yang terdiri atas sindrom genital, anorektal,

dan uretral. Afek primer berbentuk tak khas dan tak nyeri, dapat

berupa erosi, papul miliar, vesikel, pustul, dan ulkus yang tidak nyeri,

umumnya soliter dan cepat hilang. Sindrom inguinal merupakan

sindrom yang tersering dijumpai karena itu akan diuraikan secara luas.

Pada sindrom ini yang terserang ialah kelenjar getah bening inguinal

medial, karena kelenjar tersebut merupakan kelenjar regional bagi

genitalia eksterna. Karena LGV merupakan penyakit sub akut, maka

terlihat kelima tanda radang akut yakni dolor, rubor, tumor, kalor, dan

14
fungsio lesa. Kemudian terjadi perlunakan yang tidak serentak, yang

mengakibatkan konsistensinya menjadi bermacam-macam, yakni

keras, kenyal, dan lunak (abses). Perlunakan biasanya di tengah,

dapat terjadi abses dan fistel yang multipel .17

3.8 Tatalaksana

A. Terapi Topikal

Pengobatan topikal dan modifikasi gaya hidup seringkali cukup untuk

HS ringan. Penggunaan antibiotik topikal (sebagai agen anti inflamasi

topikal dan untuk mencegah infeksi sekunder) terbukti efektif. 18

1. Klindamisin

Klindamisin adalah salah satu pilihan pengobatan untuk Hurley

stadium 1 dan 2 hidradenitis suppurativa. Klindamisin topikal

bermanfaat dalam mengurangi nyeri, pustul, dan nodul inflamasi

tanpa adanya abses yang dalam. Klindamisin adalah turunan

linkomisin semisintetik dengan efek bakteriostatik melalui

penghambatan sintesis protein dengan pengikatan ribosom 50S. Efek

antimikroba langsung dari klindamisin mungkin relevan dengan HS,

seperti: porphyromonas sp, dan peptidophilus sp, memiliki sensitivitas

15
tinggi terhadap klindamisin.14 Penggunaan gel klindamisin 1% pada

lesi HS direkomendasikan untuk Hurley stadium I atau dalam kasus

dengan lesi superfisial selama periode eksaserbasi. 19

2. Asam fusidat

Penggunaan asam fusidat dievaluasi melalui laporan kasus dan satu

studi prospektif dimana pasien Hurley stadium I dinilai. Mereka

diberikan terapi konservatif dengan asam fusidat, selain antiseptik

lokal sampai nodul inflamasi terkendali, dan lebih dari 70% kasus

mencapai kontrol. Dibandingkan dengan gentamisin dan mupirosin,

asam fusidat memiliki konsentrasi penghambatan minimum yang lebih

tinggi di lapisan kulit yang lebih dalam. Mengingat pertimbangan ini,

penggunaan asam fusidat pada lesi HS dapat berguna untuk Hurley

stadium I.19

3. Krim resorsinol

Resorsinol topikal dipelajari dalam studi prospektif. Dua belas pasien

dengan hidradenitis suppurativa stadium Hurley I atau II diinstruksikan

untuk mengoleskan krim resorsinol 15% dua kali sehari pada lesi HS

aktif. Pada semua pasien, penggunaan resorsinol menghasilkan

pengurangan rasa sakit dan pengurangan durasi rata-rata dari abses

yang menyakitkan. Resorsinol topikal (mdihydroxybenzene) adalah

exfoliant dengan aktivitas keratolitik, antipruritik dan antiseptik. Ini

dapat berguna untuk mempersingkat durasi rata-rata dari nodul atau

abses yang menyakitkan.19

16
4. Triamcinolone acetonide

Triamcinolone acetonide intralesi dalam konsentrasi 5 sampai

10mg/mL digunakan untuk pengobatan peradangan akut dan abses.

Ini juga dapat berguna untuk pengobatan nodul dan terowongan

refraktori. Respon klinis cepat, dalam 48 hingga 72 jam. Efek samping

yang terkenal seperti atrofi, perubahan pigmen dan telangiektasis

dapat terjadi tetapi, jika digunakan dalam dosis yang dianjurkan, efek

samping sistemik jarang terjadi. Perawatan ini dikontraindikasikan jika

ada infeksi. Injeksi steroid intralesi dipandang bermanfaat oleh dokter

dan pasien dalam pengelolaan HS, mengurangi rasa sakit setelah 1

hari dan tanda-tanda inflamasi setelah 7 hari. 19

5. Retinoid topikal

Retinoid adalah kelas senyawa, yang secara kimiawi terkait dengan

vitamin A. Retinoid topikal dan sistemik digunakan dalam HS

berdasarkan sifat anti-inflamasi yang diketahui. Retinoid topikal

generasi ketiga (adapalene, tazarotene) memiliki aktivitas anti

inflamasi yang signifikan melalui penekanan respon makrofag

terhadap stimulasi LPS, TNF-α, Toll Like Receptor 2 (TLR2) pada

monosit, MMP1, MMP9 dan VCAM1.19

B. Terapi oral

a. Antibiotik sistemik

Secara keseluruhan, antibiotik sistemik tampaknya efektif pada HS

ringan sampai sedang. Doksisiklin, amoksisilin dengan asam klavulanat,

17
klindamisin, siprofloksasin, dan tetrasiklin digunakan sebagai monoterapi

dalam praktik klinis.18

Antibiotik sistemik misalnya dengan kombinasi rifampisin 600mg

sehari(dalam dosis tunggal atau dosis terbagi) dan klindamisin 300 mg

dua kali sehari menunjukkan hasil pengobatan yang menjanjikan. Dapson

dengan dosis 50-150 mg/hari sebagai monoterapi, eritromisin atau

tetrasiklin 250-500 mg 4x sehari, doksisilin 100 mg 2x sehari selama 7-14

hari.18

1. Tetrasiklin

Tetrasiklin direkomendasikan untuk penyakit Hurley stadium 1 atau

stadium 2. Tetrasiklin telah menggambarkan aktivitas anti-inflamasi

dengan baik selain dari peran antibakterinya melalui penghambatan

unit ribosom 30S. Tetrasiklin mereduksi IL-1, IL-6, TNF-α, dan IL-8. IL-

8 sangat penting untuk penghambatan kemotaksis neutrofil,

penghambatan spesies oksigen reaktif, MMPs dan lipooxygenases.

Kemampuan penghambatan MMP ini berfungsi pada dosis submikroba

dan pada tetrasiklin yang telah diubah untuk menghilangkan anti-

mikrobanya.19

2. Rifampisin

Rifampisin dalam kombinasi dengan klindamisin telah ditetapkan

sebagai pengobatan yang bermanfaat untuk HS. Mekanisme anti-

inflamasi masih kontroversial dan mungkin bekerja melalui reseptor

kortikosteroid. Rifampisin juga diketahui mengurangi diferensiasi TH17

18
dan memodulasi respons sel T. Dari sudut pandang pro inflamasi juga

dapat mengaktifkan NF-κB dan menekan ekspresi dan aktivitas PPAR-

γ.19

3. Klindamisin dan eritromisin

Antibiotik makrolida berfungsi sebagai antimikroba melalui

penghambatan unit ribosom 50S mengganggu sintesis protein bakteri.

Makrolida juga mengubah struktur biofilm bakteri dengan mengubah

sintesis polisakarida. Efek anti inflamasi lainnya termasuk penurunan

aktivitas TNF-α, IL-8, IL-6 dan granulocyte-macrophage

colonystimulating factor (GM-CSF) pada neutrofil dan sel epitel melalui

augmentasi protein aktivator 1 (AP-1) dan aktivitas NF-kB dalam

nukleus. Kombinasi rifampisin-klindamisin telah menjadi pengobatan

yang direkomendasikan secara luas, sementara risiko clostridium

difficile infeksi tetap meningkat (bertepatan dengan penggunaan

klindamisin) selama 10 minggu terapi kombinasi. 19

4. Metronidazol

Karena metronidazol digunakan sebagai adjuvant dalam terapi dengan

moksifloksasin dan rifampisin, kontribusi individu obat ini terhadap

peradangan pada HS tidak jelas. Salah satu aspek unik metronidazol

dibandingkan dengan antibiotik lain yang digunakan untuk pengelolaan

HS, adalah bahwa memiliki dampak yang terdokumentasi dengan baik

pada mikrobioma gastrointestinal, yang mengakibatkan disregulasi

metabolik yang menjadi predisposisi obesitas dan resistensi insulin.

19
Oleh karena itu selain mekanisme anti inflamasi antibiotik pada HS,

perubahan mikrobioma mungkin juga memiliki efek anti inflamasi tidak

langsung pada HS.19

c. Pembedahan

Pembedahan adalah strategi yang umum dan diterima dalam

manajemen HS mengingat bahwa modalitas non-bedah jarang

menghasilkan kesembuhan yang bertahan lama. 20 Intervensi bedah

menggabungkan eksisi lokal, sayatan dan drainase, deroofing, dan eksisi

luas dengan okulasi teknik. Terapi bedah berguna sebagai terapi adjuvant

untuk lesi non-responsif secara medis. Dalam kasus yang paling parah,

eksisi luas radikal telah digunakan.20

Table 1. Stadium Hurley dan pengobatannya. 21,22

Stadium Terapi Efek Samping

Hurley Stadium 1:  Klindamisin 1%, kortikosteroid  Atrofi,


Abses tunggal atau intralesi (triamsinolon 10 hipopigmentasi
multiple, tanpa saluran mg/mL) kulit, dan
sinus dan jaringan  Resorsinol topikal 15% dermatitis kontak
parut. iritan
Hurley Stadium 2:  ,Klindamisin topikal, resorsinol  Doksisiklin: mual,
Abses berulang dengan topikal pseudotumor
saluran sinus dan  Antibiotik oral: cerebri, dan
jaringan parut. Doksisiklin 100 mg, minocycline hiperpigmentasi
100 mg, tetrasiklin 500 mg, jaringan.
klindamisin 300 mg + rifampisin  Klindamisin: kolitis
600 mg pseudo membran.
 Dapson 50–200 mg  Rifampisin: urin
merah dan mual.
Hurley Stadium 3:  Retinoid oral  Sakit kepala,
Saluran sinus yang  Imunosupresif: Adalimumab muntah, dan

20
saling berhubungan 40 mg, infliximab 5 mg/kg reaksi infeksi
atau difus, dan terdapat pada minggu 0, 2, dan 6, umum terjadi
abses di seluruh area. prednison 40-60 mg selama  Jika beberapa
3-4 hari dengan penurunan terapi medis gagal,
7-10 hari, ustekinumab (45- rujuk ke ahli bedah
90 mg pada minggu 0, 4, untuk eksisi
16, dan anakinra 100 mg

3.9 Prognosis

Prognosis hidradenitis suppurativa bervariasi. Prognosis memburuk jika

ada keterlambatan dalam diagnosis dan pengobatan selama tahap awal penyakit,

dan juga jika kondisi komorbiditas merokok dan obesitas tidak ditangani dan

diperbaiki.23

BAB IV

KESIMPULAN

21
Hidradenitis suppurativa (HS) adalah penyakit inflamasi kulit kronis

yang terutama mengenai area tubuh yang kaya akan kelenjar apokrin. Gejala yang

biasa terjadi yaitu ruam berupa nodul dengan tanda-tanda peradangan akut,

kemudian dapat melunak menjadi abses, dan memecah membentuk fistula dan

disebut hidradenitis.

Intervensi dini memerlukan penegakan diagnosis segera setelah

gejala awal, tetapi bukti menunjukkan bahwa upaya saat ini tidak cukup.

Pengobatan topikal dan modifikasi gaya hidup seringkali cukup untuk HS ringan.

Penggunaan antibiotik topikal (sebagai agen anti inflamasi topikal dan untuk

mencegah infeksi sekunder) terbukti efektif. Waktu rata-rata dari onset gejala

hingga diagnosis adalah 10 tahun, dengan 65% pasien memiliki enam atau lebih

kunjungan dokter sebelum diagnosis. HS adalah salah satu penyakit yang

berdampak pada kehidupan tertinggi dibandingkan dengan penyakit kulit lainnya

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Goldburg, Samantha R., Bruce E. Strober, And Michael J. Payette.

Hidradenitis Suppurativa: Epidemiology, Clinical Presentation, And

Pathogenesis. Journal Of The American Academy Of Dermatology

82.5 (2020): 1045-1058.

2. Sayed, Christopher J., Jennifer L. Hsiao, And Martin M. Okun. Clinical

Epidemiology And Management Of Hidradenitis Suppurativa.

Obstetrics And Gynecology 137.4 (2021): 731.

3. Misitzis, Angelica, Et Al. Psychiatric Comorbidities In Patients With

Hidradenitis Suppurativa. Dermatologic Therapy 33.4 (2020): E13541.

4. Kencanawati, Puspa Indah, Diany Nurdin, And Tri Setyawati.

Hidradenitis Suppurativa. Jurnal Medical Profession (Medpro) 2.3

(2020): 193-195.

5. Napolitano, Maddalena, Et Al. Hidradenitis Suppurativa: From

Pathogenesis To Diagnosis And Treatment. Clinical, Cosmetic And

Investigational Dermatology 10 (2017): 105.

6. Wark, Kirsty Jl, And Geoffrey D. Cains. The Microbiome In Hidradenitis

Suppurativa: A Review. Dermatology And Therapy 11.1 (2021): 39-52.

7. Oprica, Cristina; Nord, Carl Erik. Bacteriology Of Hidradenitis Suppurativa.

In: Hidradenitis Suppurativa. Springer, Berlin, Heidelberg, 2006. P. 86-94.

8. Vinkel, Caroline; Thomsen, Simon Francis. Hidradenitis Suppurativa:

Causes, Features, And Current Treatments. The Journal Of Clinical

And Aesthetic Dermatology, 2018, 11.10: 17.

23
9. Magalhães, Renata Ferreira, Et Al. Consensus On The Treatment Of

Hidradenitis Suppurativa-Brazilian Society Of Dermatology. Anais

Brasileiros De Dermatologia, 2019, 94: 7-19.

10. Lee, Dylan E., Ashley K. Clark, And Vivian Y. Shi. Hidradenitis

Suppurativa: Disease Burden And Etiology In Skin Of Color.

Dermatology 233.6 (2017): 456-461.

11. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Primer.

Edisi 2014

12. Hidayati, Afif Nurul, Ed. Infeksi Bakteri Di Kulit. Vol. 2. Airlangga

University Press, 2020.

13. Nurman, J., & Setyanto, D. B. (2016). Skrofuloderma Pada Anak:

Penyakit Yang Terlupakan?. Sari Pediatri, 12(2), 108-15.

14. Ari Ks, Ariyati Yi, Irma D. Roesyanto– Mahadi. Hidradenitis Supurativa

Dengan Lokasi Yang Tidak Biasa. Departemen Dermatologi Dan

Venereologi. Fk Universitas Sumatra Utara. Vol. 47. Edisi 3 Tahun

2020:132-135

15. Hirabayashi, M., Takedomi, H., Ando, Y., & Omura, K. (2018). Neck

Carbuncle Associated With Methicillin-Susceptible Staphylococcus

Aureus Bacteraemia. Case Reports, 2018

16. Latini, Alessandra, Et Al. Inguinal And Anorectal Lymphogranuloma

Venereum: A Case Series From A Sexually Transmitted Disease

Center In Rome, Italy. Bmc Infectious Diseases, 2017, 17.1: 1-5.

24
17. Djuanda, Adhi; Hamzah, Mochtar; Aisah, Siti. Ilmu Penyakit Kulit Dan

Kelamin. 2007.

18. Alavi, Afsaneh, Et Al. Approach To The Management Of Patients With

Hidradenitis Suppurativa: A Consensus Document. Journal Of

Cutaneous Medicine And Surgery 21.6 (2017): 513-524.

19. Frew, John W.; Hawkes, Jason E.; Krueger, James G. Topical,

Systemic And Biologic Therapies In Hidradenitis Suppurativa:

Pathogenic Insights By Examining Therapeutic Mechanisms.

Therapeutic Advances In Chronic Disease, 2019, 10:

2040622319830646.

20. Vekic, Dunja Ana; Cains, Geoffrey David. Hidradenitis Suppurativa, A

Review Of Pathogenesis, Associations And Management. Part 2.

Australasian Journal Of Dermatology, 2018, 59.4: 261-266.

21. Lee, Erika Yue, Et Al. Qu’estce Que L’hidradénite

Suppurée?.Canadian Family Physician, 2017, 63.2: E86-E93.

22. Nesbitt, Emily; Clements, Stephanie; Driscoll, Marcia. A Concise

Clinician’s Guide To Therapy For Hidradenitis Suppurativa.

International Journal Of Women's Dermatology, 2020, 6.2: 80-84.

23. Ballard, Kimberly; Shuman, Victoria L. Hidradenitis Suppurativa. 2018.

25
26

Anda mungkin juga menyukai