Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

MORBUS HANSEN

Oleh :

Suvitra Ravi (2002612145)


Anak Agung Ayu Kania Anantadewi (2002612161)
Christine Beatrice Amesiella Nainggolan (2002612180)

Pembimbing :

Dr.dr. IGN Darmaputra, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK

MADYA DEPARTEMEN/KSM ILMU PENYAKIT KULIT DAN

KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
atas karunia- Nya, laporan kasus yang berjudul “Morbus Hansen” ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan kasus ini disusun dalam rangka
mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis banyak memperoleh


bimbingan, petunjuk serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Melalu
kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada yang terhormat:

1. Dr.dr.IGN Darmaputra, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV selaku Ketua


SMF/Bagian Dermatologi dan Venereologi FK Universitas Udayana,
RSUP Sanglah, Denpasar dan selaku pembimbing kami yang senantiasa
membimbing dan memberikan masukan dalam penyusunan laporan kasus
ini,

2. dr. Ni Made Dwi Puspawati, Sp.KK(K), FINSDV selaku Koordinator


Pendidikan Dokter SMF Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah, Denpasar,

3. dr. Ratih Purnamasari Nukana, selaku residen pendamping kami yang


memberikan arahan dalam penulisan laporan kasus ini, dan

4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan
bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian laporan ini.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Semoga laporan kasus ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah
kesehatan dan memberi manfaat bagi masyarakat.

Denpasar, 10 Mei 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................ii
DAFTAR ISI ..........................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................2
2.1 Definisi ...........................................................................................2
2.2 Etiologi ...........................................................................................2
2.3 Epidemiologi...................................................................................2
2.4 Patogenesis......................................................................................3
2.5 Klasifikasi .......................................................................................4
2.6 Gejala Klinis....................................................................................5
2.7 Pemeriksaan Pasien ........................................................................6
2.8 Pemeriksaan Penunjang...................................................................7
2.9 Terapi..............................................................................................8
BAB III LAPORAN KASUS .................................................................9
3.1 Identitas Pasien ...............................................................................9
3.2 Anamnesis ......................................................................................9
3.3 Pemeriksaan Fisik ..........................................................................10
3.4 Pemeriksaan penunjang...................................................................12
3.5 Diagnosis Banding..........................................................................12
3.6 Diagnosis Kerja ..............................................................................12
3.7 Penatalaksanaan .............................................................................12
3.8 KIE..................................................................................................13
3.9 Prognosis ........................................................................................13
BAB IV PEMBAHASAN.......................................................................14
BAB V SIMPULAN...............................................................................16

3
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................17

4
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Morbus Hansen (MH), juga dikenal sebagai kusta, merupakan penyakit
infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Jika
dibandingkan dengan penyakit menular lainnya, MH tidak terlalu menular.
Namun, MH terkait erat dengan stigma sosial negatif yang mengarah pada
pengucilan dan keterasingan penderitanya. Deteksi dan pemberantasan penyakit
yang sulit ditimbulkan, kejadian penyakit MH masih tetap tinggi dan masih
menjadi masalah kesehatan global. Indonesia termasuk negara yang paling banyak
menambah jumlah kasus baru, peringkat ketiga setelah India dan Brazil. Sebagai
referensi perawatan, bagi MH menjadi dua tipe utama: Pausibacillary (PB) dan
Multibacillary (MB). Perbedaan antara PB dan MB bergantung pada gejala klinis
dan temuan uji bakteriologis.1

Multi drug therapy adalah pengobatan MH yang paling sering digunakan


saat ini (MDT). MDT efektif dalam mengurangi prevalensi dan kerentanan global
terhadap obat MH. Namun, MDT standar tidak dapat diberikan kepada semua
pasien. Resistensi terhadap rejimen MDT juga meningkat, yang harus
dipertimbangkan. 1

Pengobatan alternatif harus diberikan kepada pasien MB tipe MH yang


tidak dapat menerima terapi Rifampisin, seperti yang dibahas lebih lanjut dalam
penelitian ini. Clofazimine, Ofloxacin, dan Minocycline adalah obat pengganti
yang diresepkan (COM). Menurut literatur MH, bentuk MB penyakit MH lebih
banyak menyerang pria daripada wanita di wilayah Asia. Peradangan kusta yang
resistan terhadap rifampisin, asma, atau hepatitis yang tidak diobati merupakan
alasan pemberian terapi COM pada pasien MH. Data tentang karakteristik pasien
MH berdasarkan rekomendasi untuk terapi COM sangat penting untuk
pencegahan resistensi antibiotik dan manajemen pemulihan. 2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Morbus Hansen dikenal juga dengan nama penyakit Lepra atau Kusta
merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae. Bakteri M. Leprae utamanya menyerang saraf tepi, lalu kemudian
menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas atas, sistem retikuloendotelial,
mata, otot, tulang dan testis, kecuali sistem saraf pusat. Penyakit ini disebabkan
oleh infeksi bakteri yang dapat ditularkan melalui tetesan air liur atau dahak yang
dikeluarkan saat batuk atau bersin. 2

2.2. Etiologi
Mycobacterium leprae menyebabkan Morbus Hensen. Bakteri ini dapat
ditularkan dari orang ke orang melalui tetesan cairan dari saluran pernapasan,
seperti air liur atau dahak, yang dikeluarkan saat batuk atau bersin. Penyakit ini
bisa menyebar jika seseorang secara rutin terpapar percikan droplet dari penderita
kusta dalam jangka waktu yang lama. 1Hal ini menunjukkan bahwa bakteri
penyebab kusta tidak dapat dengan mudah menyebar ke manusia lain.
Selanjutnya, bakteri membutuhkan waktu lama untuk berkembang biak di tubuh
penderita. Seseorang dapat terjangkit penyakit kusta jika sudah lama bersentuhan
dengan penderitanya. Seseorang tidak boleh terkena kusta hanya dengan berjabat
tangan, duduk di samping, atau berhubungan seks dengan penderita. Morbus
Hensen tidak hanya diturunkan dari ibu ke janin.1

2.3. Epidemiologi
Masuknya kusta ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga
dibawa oleh orang-orang India dan China dari aktivitas perdagangan dan
penyebaran agama. 86% kasus yang ditemukan berasal dari enam negara yaitu
dari Bangladesh, Brazil, China, Congo, Ethiopia, India, Indonesia, Nepal, Nigeria,
Philiphines dan Tanzania. Di antara negara Asia, Indonesia menempati jumlah
kasus tipe MB terbanyak yaitu 83,4%. Indonesia telah mencapai status eliminasi

2
kusta, yaitu prevalensi kusta <1 per 10.000 penduduk yaitu <10 per 1.000.000
penduduk pada tahun 2000. Kemudian semakin menurun pada tahun 2017. Akan
tetapi, angka prevalensi tersebut belum dinyatakan bebas kusta dan terjadi di 10
provinsi di Indonesia. Di provinsi Bali, terjadi peningkatan kasus baru kusta pada
tahun 2015 – 2016, yaitu dari 61 kasus menjadi 99 kasus. Namun kemudian
mengalami penurunan di tahun 2017 menjadi 70 kasus. Cara penularan penyakit
ini adalah melalui kulit yang lecet, bagian tubuh yang bersuhu dingin dan mukosa
nasal. Penyakit ini sering terjadi pada mereka dengan umur 10 hingga 14 tahun
dan 35 hingga 44 tahun. Morbus Hansen jarang ditemukan pada bayi. Pada anak-
anak lebih rentan dan cenderung dalam bentuk tuberculoid. 3

2.4. Patogenesis
Miobacterium Leprae menginfeksi sel schwann dan ia memicu cell-mediated
immune respose dan terjadi reaksi inflamasi kronis dan perineurium swelling. Ia
juga menyebabkan ischemia, apoptosis bahkan demyelination. Perjalanan klinis
kusta merupakan suatu proses yang lambat dan berjalan bertahun-tahun, sehingga
penderita tidak menyadari adanya proses penyakit di dalam tubuhnya. 1Sebagian
besar penduduk di daerah endemik kusta pernah terinfeksi Mycobacterium leprae.
Pada orang yang kekebalan alamiahnya tidak berhasil membunuh kuman yang
masuk, terjadi perkembangbiakan Mycobacterium leprae di dalam sel Schwan di
perineurium. Proses ini berjalan sangat lambat sebelum muncul gejala klinis yang
pertama. Setelah melewati masa inkubasi yang cukup lama sekitar 2-5 tahun akan
muncul gejala awal penyakit yang bentuknya belum khas, berupa bercak-bercak
dengan sedikit gangguan sensasi pada kulit disertai dengan berkurangnya
produksi keringat setempat. Keadaan ini disebut fase indeterminate dan dianggap
sebagai fase dimana kelainan yang terjadi masih belum dipengaruhi oleh
kekebalan tubuh. Meskipun tidak semua bentuk indeterminateakan berlanjut
menjadi kusta yang manifes, dalam beberapa tahun setelah kelainan itu ditemukan
biasanya akan muncul gejala klinis yang karakteristik. Kelainan yang khas ini
bervariasi, bisa pada kulit, saraf tepi maupun organ-organ lainnya. Bentuk
kelainan yang terjadi tergantung tipe kusta yang terjadi dan berkaitan erat dengan
status imun penderita.3

3
2.5. Klasifikasi
Beberapa klasifikasi MH yang sering digunakan adalah klasifikasi Ridley
dan Jopling dan klasifikasi WHO. Ridley dan Jopling membagi MH menjadi
Tuberculoid Polar (TT), Tuberculoid Indefinate (Ti), Borderline Tuberculoid
(BT), Mid Borderline (BB), Borderline Lepromatous (BL), Lepromatosa
indefinite (Li), Lepromatosa polar (LL). Tipe I (indeterminate) tidak termasuk
dalam spektrum. Sedang-kan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau
campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa.4

TT BT BB BL LL

Makula / Plakat Mirip TT Campuran Menyerupai Lesi sangat


Hipopigmentasi TT & LL tipe LL tetapi banyak,
masih ada simetris
kulit normal

Batas Tegas Paling tidak Lesi plakat Batas tidak


stabil
Jumlah soliter / tegas
Bentuk dan
beberapa
ukuran lesi
Permukaan lesi Permukaan
bervariasi,
kering, rambut halus,
simetris dan
hilang, anestesi mengkilat
plakat
Penebalan saraf Gangguan
perifer, claw saraf lebih
hand ringan,
namun lebih
banyak
terkena

Lesi Satelit Lesi Satelit Punched Out Madarosis


(+) Lesion
(+) (Facies
(+)
Punched Out Leonina)
Keratitis &
Lesion (+)
Madarosis Keratitis (+)

4
tidak Ginekomastia
Lengkap (+)

Sementara, WHO mengembangkan 2 klasifikasi untuk memudahkan


pengobatan di lapangan yaitu tipe PB dan MB. Klasifikasi WHO MH tipe PB
meliputi MH tipe I, TT, dan sebagian besar BT dengan BTA negatif menurut
kriteria Ridley dan Jopling. Sementara MH tipe MB termasuk MH tipe LL, BL,
BB, dan sebagian BT menurut kriteria Ridley dan Jopling dengan BTA positif.4

PB MB

Lesi kulit (macula  1–5 lesi  > 5 lesi


datar, papul yang  Hipopigmentasi /  Distribusi lebih
meninggi, nodul) eritema simetris
 Distribusi tidak  Hilangnya
simetris sensasi
 Hilangnya sensasi
yang jelas
Kerusakan saraf Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf

Sediaan Apusan BTA Negatif BTA Positif

2.6. Gejala Klinis


Menurut WHO, penegakkan diagnosis dapat didasarkan pada penemuan salah satu
tanda cardinal, yaitu

1. Bercak kulit yang mati rasa


Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi
(plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa
raba, suhu, dan nyeri.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat/tanpa disertai rasa nyeri dan gangguan fungsi saraf yang terkena,
yaitu:
 Gangguan fungsi sensoris: mati rasa

5
 Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
 Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan
rambut yang terganggu.
3. Ditemukan bakteri tahan asam
Bahan pemeriksaan berasal dari apusan kulit cuping telinga dan lesi kulit
pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi saraf.4

Selain itu, dapat ditemukan gambaran klinis lain seperti iritis, iridosiklitis dan
gangguan visus pada mata; epistaksis pada hidung; gangguan pada tulang dan
sendi seperti gangguan absrobsi dan artritis; ulkus pada lidah; terdapat suara
parau; dapat juga terjadi alopesia, madarosis pada rambut; limfadenitis;
glomerulonephritis, amyloidosis ginjal dan pielonefritis4

2.7. Pemeriksaan Pasien


a. Anamnesis
Dapat ditanyakan mengenai keluhan pasien, riwayat kontak dengan pasien
kusta, latar belakang keluarga, riwayat tinggal di daerah endemis, keadaan
sosial ekonomi, dan riwayat pengobatan kusta.4

b. Palpasi
 Kelainan kulit: nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus, khususnya pada
tangan dan kaki
 Kelainan saraf: pemeriksaan saraf tepi N. Aurikularis magnus, N.
Ulnaris, N. peroneus untuk menilai apakah terdapat pembesaran,
menilai konsistensi, nyeri tekan dan nyeri spontan5
c. Tes fungsi saraf:
 Pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dengan rasa raba, nyeri dan
suhu
 Pemeriksaan motoris/Voluntary Muscle Test/VMT (n. auricularis
magnus, n. ulnaris, n. radialis, n. medianus, n. peroneus, dan n. tibialis
posterior)
 Pemeriksaan fungsi saraf otonom (tes Gunawan) dengan
memperhatikan apakah terdapat dehidrasi di daerah lesi dan apakah lesi
dapat dipertegas menggunakan pensil tinta5

6
2.8. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik dapat dilakukan dengan kerokan jaringan
kulit dari bagian tubuh yang padat basil. Kerokan kulit dapat diambil pada
lesi kulit yang paling aktif dan juga pada kulit cuping telinga. Kerokan
tersebut harus mencapai dermis, sehingga banyak mengandung sel Virchow
(sel lepra) yang didalamnya banyak terdapat bakteri M. leprae. Setelah itu,
dilakukan pewarnaan terhadap BTA antara lain dengan Ziehl Neelsen.5

b. Pemeriksaan histopatologik
Pemeriksaan histopatologi pada MH dilakukan untuk memastikan
gambaran klinik, misalnya tipe Indeterminate atau penentuan klasifikasi.
Gambaran histopatologi tipe tuberculoid adalah tuberkel dengan kerusakan
saraf lebih nyata, tidak terdapat kuman atau hanya sedikit dan non-solid. Pada
tipe lepromatosa, terdapat subepidermal clear zone jaringan yang banyak sel
Virchow.5

c. Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan ini didasarkan atas terbentuknya Antibodi pada tubuh
sesorang yg terinfeksi M. Leprae. Pemeriksaan ini dapat membantu diagnosis
MH yang meragukan karena tanda klinis dan pemeriksaan bakteri yang tidak
jelas. Selain itu, dapat menentukan MH subklinis karena tidak terdapat lesi.
Jenis pemeriksaan serologis yang digunakan yaitu Uji MLPA, uji ELISA, ML
Dipstick, pemeriksaan PCR.5

2.9 Penatalaksanaan
Pengobatan kusta umumnya dibagi menjadi 3 yaitu : antibiotik, antiinflamasi atau
immunosupresan, dan analgesik. World Health Organization atau WHO sejak tahun
1981 merekomendasikan penggunaan multidrug therapy (MDT) yang terdiri dari DDS
(diaminodifenil dapson) kemudian klofazimin, dan rifampisin untuk terapi kusta.
Pengobatan dengan MDT bertujuan untuk menurunkan insiden relaps paska pengobatan,

7
menurunkan efek samping, mempercepat pemutusan mata rantai penularan dan
menurunkan durasi pengobatan sehingga menurunkan biaya pengobatan. Regimen PB
dengan lesi kulit 2-5 terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan sekali ditambah DDS 100mg/
hari selama 6 bulan. Regimen MB dengan lesi kulit lebih dari 5 buah, terdiri atas
kombinasi rifampisin 600mg sebulan sekali, dapson 100 mg/hari ditambah klofazimin
300 mg/sebulan dengan lama pengobatan 12 bulan.4

8
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas pasien

Nama : Tn. ST

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 45 tahun

Pekerjaan :-

Alamat :-

Suku/Bangsa : Bali/ Indonesia

Agama : Hindu

Tanggal pemeriksaan : 5 November 2019

3.2 Anamnesis Keluhan Utama (Autoanamnesis ke pasien )

Keluhan utama : Bercak kemerahan mati rasa pada wajah, badan, tangan dan kaki.

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien dating sendirian ke poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah Denpasar
pada tanggal 5 November 2019 dengan keluhan bercak kemerahan mati rasa pada
wajah, badan, tangan dan kaki. Awalnya hanya muncul lesi kulit berupa bercak
pada wajah sejak kurang lebih 3 bulan yang lalu. Pasien mengatakan bahwa
bercak tersebut muncul tanpa ada sensasi rasa, lalu kemudian bercak semakin
lama semakin menebal dan mulai menyebar ke badan, tangan dan kaki. Keluhan
demam, kesemutan, mati rasa dan nyeri sendi disangkal oleh pasien. Pasien
mengatakan bahwa kedua alis pasien mengalami kerontokan sejak 1 tahun yang
lalu.

9
Riwayat Penyakit Dahulu:

Pasien tidak memiliki riwayat penyakit yang sama sebelumnya. Riwayat penyakit
sistemik seperti hipertensi, diabetes, gangguan hati dan kelainan darah disangkal
oleh pasien.

Riwayat Pengobatan:

Pasien tidak memiliki alergi akan obat dan riwayat pengolesan obat-obatan
tradisional disangkal oleh pasien. Makan minum baik. Buang air besar dan buang
air kecil tidak didapatkan gangguan.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga:

Pasien mengatakan bahwa kakek pasien memiliki keluhan yang sama, namun
kakek pasien dikatakan sudah membaik setelah melakukan pengobatan selama
hamper 1 tahun.

Riwayat sosial:

Pasien merupakan seorang satpam yang bekerja shift malam. Namun, rekan-rekan
kerja pasien tidak ada yang mengalami keluhan yang sama.

3.3 Pemeriksaan Fisik

Status Present
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis, GCS E4V5M6
Tekanan Darah :-
Nadi : 85x/menit
Respirasi : 18x/menit
Suhu Aksila : 36,5 °C
Tinggi dan Berat : 170 cm dan 70 kg
IMT : 24 kg/m2
Status Gizi : Sehat

10
Status Generalis
Kepala : Normocephali (+)
Mata : RP +/+ isokor, konjungtiva hiperemi +/+, icterus
-/-
THT : secret -/-, kesan tenang
Leher : nyeri (-), memar (-)
Thorax : Simetris (+)
Cor ; S1 S2 tunggal reguler murmur (-)
Pulmo : vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : bising usus normal, distensi(-)
Ekstremitas : Akral hangat pada semua ekstremitas
Udem (-)

Status Dermatologi:
Lokasi : Regio fasialis, regio thorako anterion, regio crural , cubital
dan
pattelar.
Effloresensi: Tampak makula – patch , multiple, simetris, batas tegas,
bentuk geografikal, ukuran 2 cm x 3cm , distribusi regional.
Pemeriksaan Fungsi Saraf

11
1. Pemeriksaan Sensorik: Menurun pada beberapa lesi

2. Pemeriksaan Motorik: tenaga normal

3. Pemeriksaan Pembesaran Saraf: ditemukan pembesaran saraf pada


N. aurikularis magnus sinistra

3.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Bakterioskopik
 Membantu penegakan diagnosis
 Pengamatan pengobatan
 M. Leprae terlihat merah
 Solid ` : batang utuh = hidup
 Fragmented : batang terputus = mati
 Granular : butiran = mati
2. Pemeriksaan Histopatologik
 Penentuan klasifikasi kusta
 Memastikan gambaran klinis
3. Pemeriksaan Serologis
 Tes ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent Assay)
 Tes MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)
 Tes ML dipstick (Mycobacterium Leprae Dipstick)
4. KOH 10% untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi jamur

3.5 Diagnosis Banding


1. Morbus Hansen tipe BL dd BB
2. Tinea Korporis
3. Granuloma anulare

3.6 Diagnosis Kerja


Morbus Hanse tipe BL dd BB

3.7 Penatalaksanaan
Terapi kusta MB :

12
Dikonsumsi dihadapan dokter
-Rifampisin 600mg/bulan
-DDS 100mg/bulan
Clofazimine 300mg/bulan

Dikonsumsi di rumah
-DDS 100MG/HARI
-Clofazimine 50mg/hari

3.8 KIE
1. Saat mulai MDT
 Meminum obat MDT secara teratur tiap hari sesuai dosis dan lama terapi
yang sudah ditetapkan
 Penjelasan tentang efek samping obat MDT seperti urin berwana merah,
bercak kulit gatal, berwarna kekuningan dan perubahan warna kulit
 Cacat baru dapat timbul saat atau setelah pengobatan dan dapat diobat.
Penyebuhan cacat yang sudah ada sebelumnya, tergantung pada lamanya
cacat diderita.
 Cari dan periksa kontak untuk konfirmasi dan pengobatan
 Perawatan diri harus dilakukan tiap hari dan teratur.
2. Saat RFT
 Memberikan selamat karena sudah menyelesaikan pengobatan dan berarti
telah sembuh sehingga tidak memperlukan MDT.
 Walaupun sangat jarang terjadi, beri penjelasan tentang gejala dan tanda
relaps
 Tetap melaksana kegiatan rawat-dri seperti biasanya.

3.9 Prognosis
Ad vitam : ad bonam.

Ad fungsionam : ad bonam

13
Ad sanationam : dubia ad bonam

14
BAB IV

PEMBAHASAN

Morbus Hansen (MH) adalah penyakit Leprae atau kusta merupakan


penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Bakteri M.
Leprae utamanya menyerang saraf tepi, lalu kemudian menyerang kulit, mukosa
mulut, saluran nafas atas, system retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis.
Bakteri ini dapat ditularkan dari orang ke orang melalui tetesan cairan dari saluran
pernafasan, seperti liur atau dahak yang dikeluarkan saat batuk atau bersin.
Pada kasus ini keluhan utama pasien adalah timbulnya keluhan bercak
kemerahan mati rasa pada wajah, badan, tangan dan kaki. Awalnya hanya muncul
lesi kulit berupa bercak pada wajah sejak kurang lebih 3 bulan yang lalu. Pasien
mengatakan bahwa bercak tersebut muncul tanpa ada sensasi rasa, lalu kemudian
bercak semakin lama semakin menebal dan mulai menyebar ke badan, tangan dan
kaki. Hal ini sesuai dengan pustaka mengenai keluhan dan manifestasi klinis pada
kasus Morbus Hansen.
Klasifikasi Morbus Hansen yang sering digunakan adalah klasifikasi
Ridley dan Jopling dan klasifikasi WHO. Ridley dan Jopling membagi MH
menjadi Tuberculoid Polar (TT), Tuberculoid Indefinate (Ti), Borderline
Tuberculoid (BT), Mid Borderline (BB), Borderline Lepromatous (BL),
Lepromatosa indefinite (Li), Lepromatosa polar (LL). Tipe I (indeterminate) tidak
termasuk dalam spektrum. Sedang-kan tipe antara Ti dan Li disebut tipe
borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid danl lepromatosa.

Pemeriksaan penunjang pada kasus Morbus Hansen adalah pemeriksaan


bakterioskopik, pemeriksaan histopatologik dan pemeriksaan serologis.
Pemeriksaan fisik pasien yang dilakukan pertama kali adalah anamnesis lalu
palpasi untuk melihat adanya kelainan kulit dan kelainan saraf, beberapa tes
fungsi saraf juga dilakukan seperti sensibilitas,motoris dan fungsi saraf otonom.

Setelah dilakukan pemeriksaan fisik pada pasien ini ditemukan makula dan
papul eritema , multiple, simetris, batas tegas , bentuk geografikal, ukuran 2 cm x
3cm , distribusi regional. Diagnosis banding pada pasien ini dibagi berdasarkan
bentuk lesi yaitu :

15
1. Lesi makula : Vitiligo, pityriasis versicolor, pityriasis alba
2. Lesi meninggi : granuloma annulare, tinea circinate,psoriasis
3. Lesi noduler : penyakit Von Recklinghausen
Berdasarkan pustaka penatalaksaan pada pasien ini diberikan multidrug
therapy (MDT) yang terdiri dari DDS (diaminodifenil dapson) kemudian
klofazimin, dan rifampisin untuk terapi kusta. Pengobatan dengan MDT bertujuan
untuk menurunkan insiden relaps paska pengobatan, menurunkan efek samping,
mempercepat pemutusan mata rantai penularan dan menurunkan durasi
pengobatan sehingga menurunkan biaya pengobatan. Regimen PB dengan lesi
kulit 2-5 terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan sekali ditambah DDS 100mg/hari
selama 6 bulan. Regimen MB dengan lesi kulit lebih dari 5 buah, terdiri atas
kombinasi rifampisin 600mg sebulan sekali, dapson 100 mg/hari ditambah
klofazimin 300 mg/sebulan dengan lama pengobatan 12 bulan.

Prognosis Morbus Hansen secara umum baik apabila dilakukan


penatalaksanaan adekuat dan jarang menimbulkan mortalitas. Gangguan saraf dan
kecacatan umumnya tidak dapat kembali dalam keadaan normal walau
mengkonsumsi obat sekalipun. Semakin cepat diobati dan pasien mengkonsumsi
obat secara teratur maka kemungkinan terjadinya deformitas semakin kecil.

16
BAB V
SIMPULAN

A. SIMPULAN
Morbus Hansen dikenal juga dengan nama penyakit Lepra atau Kusta
merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae. Bakteri M. Leprae utamanya menyerang saraf tepi, lalu kemudian
menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas atas, sistem retikuloendotelial,
mata, otot, tulang dan testis, kecuali sistem saraf pusat. Bakteri ini dapat
ditularkan dari orang ke orang melalui tetesan cairan dari saluran pernapasan,
seperti air liur atau dahak. Penyakit ini bisa menyebar jika seseorang secara rutin
terpapar percikan droplet dari penderita kusta dalam jangka waktu yang lama.
Perjalanan penyakit ini sangat lambat sebelum muncul gejala klinis yang pertama.
Setelah melewati masa inkubasi yang cukup lama sekitar 2-5 tahun akan muncul
gejala awal penyakit yang bentuknya belum khas, berupa bercak-bercak dengan
sedikit gangguan sensasi pada kulit disertai dengan berkurangnya produksi
keringat setempat.
Penyakit ini memiliki banyak tipe, klasifikasi MH yang paling sering
digunakan yaitu klasifikasi oleh Ridley dan Jopling dan klasifikasi oleh WHO.
Menurut WHO, penegakkan diagnosis dapat didasarkan pada penemuan salah satu
tanda cardinal, yaitu bercak kulit yang mati rasa, penebalan saraf tepi, dan
ditemukannya bakteri tahan asam. Dalam penatalaksanaannya, WHO
merekomendasikan penggunaan multidrug therapy (MDT) yang terdiri dari DDS
(diaminodifenil dapson) kemudian klofazimin, dan rifampisin untuk terapi kusta.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Kamath S, Vaccaro S, Rea T, Octoa M. Recognazing and managing the


Immunologic Reactions in Leprosy. American Academy of Dermatology
2017. Apr, 3493);p.1-9. 7.
2. Locwood D. Leprosy. In Burns T, Breachnach S, Cox N, Griffiths C,
editor Rook’s Textbook of Dermatology.: Wiley-Blackwell;2016.p.32.1-
29.
3. Aline AF, Emerith MH, Mauricio BC, Analucia OMS, Mirian LOC.
Application of Mycobacterium Leprae-Specific Celluler and Serological
tests for The Differencial Diagnosis of Leprosy from Comfounding
Dermatoses. In Diagnostic Mycrobiology and Infectious disease.Sauders
Elseviers;2016.p.7-24.
4. PERDOSKI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit Kelamin
di Indonesia. 1st ed. Jakarta: PP Perdoski; 2017. p.80-87
5. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2016.

18

Anda mungkin juga menyukai