Anda di halaman 1dari 30

MINI PROJECT

KARAKTERISTIK PENDERITA MORBUS HANSEN DI


ENTROP WILAYAH KERJA TWANO

Di Ajukan Guna Melengkapi Persyaratan Program Internsip


Internsip Jayapura Periode Mei 2020

Disusun oleh :
dr. Silva Rosdina Worembai

Dokter pendamping :
dr. Burhan Claudia eliza

INTERNSHIP ANGKATAN II JAYAPURA PAPUA 2020

1
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan mini project dengan judul :

KARAKTERISTIK PENDERITA MORBUS HANSEN DI


ENTROP WILAYAH KERJA TWANO

Yang diajukan oleh:


dr. Silva Rosdina Worembai

Telah disetujui dan disahkan oleh dokter pendamping program internsip dokter di Puskesmas
Twano Entrop Jaypura pada 2 Februari 2020.

Dokter Internsip Dokter Pendamping

dr. Silva Rosdina Worembai dr. Burhan Claudia Eliza


NIP 197105242002122010

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur atas segala nikmat, karunia, dan rahmat yang diberikan Tuhan Yang
Maha Esa dalam menempuh Internship di Puskesmas Twano Entrop Jayapura. Akhirnya penulis
dapat menyelesaikan tugas penulisan Mini Project dengan judul “karakteristik penderita morbus
hansen di entrop wilayah kerja twano” untuk memenuhi salah satu syarat program Internship di
Puskesmas Twano Entrop, kota Jayapura Papua.

Terima kasih kami ucapkan kepada :

1. dr. Burhan Claudia Eliza selaku Kepala Puskesmas twano entrop dan juga sebagai
pembimbing. Juga kepada dr. hesti purikasari, dr. evalina diodoran malau, dan seluruh
pihak puskesmas twano yang telah memberikan kesempatan kami belajar selama di
puskesmas twano entrop.
2. kak tisa yang turut membantu saya dalam pengambilan data pasien morbus Hansen yang
ada di puskesmas twano entrop.
3. Rekan-rekan paramedis yang telah membantu pengerjaan mini project.
4. Rekan – rekan dokter Internship.
5. Pasien yang mau menjadi responden mini project ini.

Demikian, agar Mini Project ini bisa bermanfaat bagi yang membacanya.

Penulis , Januari 2021

3
BAB 1
PENDAHULUAN

Kusta atau lepra adalah penyakit menular kronis yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae. Kurang lebih 200,000 kasus yang terdeteksi setiap tahun. Pada awal
infeksi, bakteri tersebut menyerang saraf tepi, dan selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa
mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan juga testis.
Oleh karena, bila tidak tertangani dengan baik maka kusta berisiko menyebabkan kerusakan pada
kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata (WHO, 2020; Gaschignard et al. 2016).

Kusta diklasifikasikan menjadi dua yaitu jenis Paucibacillary (PB)atau tipe kering dan
Multibacillary (MB) tipe basah (WHO, 2010). Pada kusta pausibasilar (PB), gejala klinis
meliputi bercak putih seperti panu yang mati rasa, permukaan bercak kering, kasar, dan tidak
berkeringat, batas (pinggir) bercak terlihat jelas dan sering ada bintil-bintil kecil. Kusta
multibasilar (MB) dapat diketahui dengan beberapa tandanya adalah bercak putih kemerahan
yang tersebar satu-satu atau merata diseluruh kulit badan, terjadi penebalan dan pembengkakan
pada bercak, pada permukaan bercak sering terdapat rasa bila disentuh dengan kapas, pada
permulaan tanda dari tipe kusta basah sering terdapat pada cuping telinga dan muka (Farabi, dkk.
2010).

Salah satu faktor yang menyebabkan kusta sebagai masalah kesehatan, adalah kusta dapat
menimbulkan masalah kompleks, mulai dari aspek medis, sosial, ekonomi, budaya, keamanan,
dan ketahanan nasional. Keadaan ini dapat menimbulkan keresahan tidak hanya bagi penderita
tapi juga bagi keluarga dan masyarakat sekitarnya (DinkesPapua, 2015).

Masih banyak masyarakat menganggap kusta sebagai penyakit kutukan Tuhan, akibat
guna-guna, sangat menular dan tidak dapat disembuhkan. Rasa takut yang berlebihan dan stigma
negative terhadap penyakit kusta, menyebabkan kecenderungan untuk mengisolasi penderita dan
memperlakukan mereka secara kurang manusiawi (Kamath, 2014).

Di Indonesia, kusta masih merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia, walaupun
pada pertengahan tahun 2000, Indonesia sudah dapat mencapai eliminasi kusta. Hal ini

4
disebabkan karena sampai akhir tahun 2002 masih ada 13 provinsi dan 111 kabupaten yang
belum dapat dieliminasi (KemenkesRI, 2012).

Angka prevalensi tahun 2002 per 10.000 penduduk di tingkat provinsi bervariasi.
Prevalensi terendah di Yokyakarta (0,00) dan tertinggi di Maluku Utara (6,72).3 Angka
prevalensi penderita kusta di Sulawesi Utara adalah 2,0 (tahun 2007) dan 1,7 (tahun 2008).
Jumlah penderita kusta yang terdaftar di Sulawesi Utara tahun 2008 sebanyak 388 orang dengan
326 (84,02%) di antaranya adalah penderita tipe MB. Angka penemuan penderita baru pada
tahun 2008 adalah 1,9 per 100.000 penduduk (Kemenkes, 2015).

Pada tahun 2013 di indonesia jumlah kasus baru kusta 13.146 kasus,dengan jumlah
kecacatan tingkat 2 sebesar 1.372 penderita. Di Indonesia proporsi cacat penderita kusta sebesar
10,44%. Provinsi Papua termasuk dalam daerah dengan beban Kusta tinggi (high endemic)
karena angka penemuan kasus baru Newly Case Detection Rate (NCDR) 10 per 100.000
penduduk.

Pada tahun 2012 jumlah kasus baru penderita Kusta di provinsi Papua sebanyak 1141
kasus dengan Cacat tingkat I 34 penderita dan Cacat tingkat II sebanyak 62 penderita, tahun
2013 meningkat menjadi 1180 kasus dengan tingkat cacat I 35 penderita dan cacat tingkat II
sebanyak 89 penderita, sedangkan tahun 2014 menurun menjadi 757 kasus dengan cacat tingkat I
39 penderita dan cacat tingkat II sebanyak 40 penderita (Dinkes Provinsi Papua,2015).

Kota Jayapura pada tahun 2014 jumlah kasus baru penderita kusta sebanyak 155 kasus
dengan cacat tingkat I 6 penderita dan cacat tingkat II sebanyak 4 penderita. Data 2014 dari 12
Puskesmas yang ada di kota Jayapura, 5 besar Puskesmas dengan jumlah kasus baru tertinggi
yaitu Puskesmas Hamadi 39 penderita, Puskesmas Jayapura Utara 33 penderita, Puskesmas Elly
Uyo 29 penderita, Puskesmas Jayapura Utara 15 penderita, Puskesmas Kotaraja 14 penderita
(Dinkes Kota Jayapura, 2015).

Reaksi merupakan fenomena yang sering terjadi pada penderita kusta, deteksi dini dan
penatalaksanaan yang tepat merupakan bagian penting dalam mengsukseskan program
penanganan kusta. Faktor-faktor pemicu antara lain stress mental dan fisik, terapi kusta (MDT),
vaksinasi, kehamilan, tindakan bedah, perlukaan, dan infeksi (Hidayat, 2014). Penanganan reaksi
kusta terutama ditujukan untuk mengatasi neuritis sebagai pencegahan paralisis atau kontraktur;

5
menghindari kebutaan, membunuh kuman penyebab agar penyakit tidak meluas dan mengatasi
rasa nyeri (Pongtiku, 2016). Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti ingin mengetahui
gambaran karakteristik para penderita kusta yang ada di Kota Jayapura khususnya di entrop
wilayah kerja puskesmas twano.

1.1 Rumusan masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka disebutkan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Berapa jumlah pasien morbus Hansen/kusta di wilayah kerja puskesmas entrop ?
2. Bagaimana karakteristik gambaran pasien morbus Hansen di wilayah kerja puskesmas entrop
?
1.2 Tujuan umum
Untuk mengetahui hubungan karakteristik pasien morbus Hansen di wilayah kerja entrop
jayapura
1.2.1 Tujuan khusus
 Untuk mengetahui karakteristik pasien morbus hansen berdasarkan tipe kusta
 Untuk mengetahui jumlah pasien morbus Hansen
 Untuk mengetahui pasien morbus Hansen berdasarkan jenis kelamin
 Untuk mengetahui pasien morbus Hansen berdasarkan umur
 Untuk mengetahui pasien morbus Hansen berdasarkan pekerjaan
1.3 Manfaat penelitian
Sebagai informasi dan pengetahuan kepada masyarakat dan tenaga kesehatan tentang
gambaran karakteristik pasien Morbus Hansen di wilayah kerja puskesmas entrop.

6
Bab II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Penyakit kusta atau lepra adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
leprae. Penyakit kusta juga disebut Morbus Hansen atau Satyriasis. Kusta dapat menyerang
semua umur dan bukan penyakit keturunan. Kusta menyerang berbagai bagian tubuh diantaranya

saraf dan kulit.


Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran
pernafasan atas lesi pada kulit adalahtanda yang bisa diamati dari luar.Saraf yang terserang
menjadi mati rasa, destruksi jari dan deformitas terjadi kemudian. Bila tidak ditangani dengan
benar, kusta dapat sangat progresif menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota
gerak dan mata.
Kusta merupakan penyakit kronik yang jarang menyebabkan kematian,namun paling
sering menyebabkan kecacatan. Kusta merupakan salah satu penyebab neuropati perifer non-
traumatik.
Penyakit kusta merupakan salah satu manifestasi kemiskinan karena kenyataannya
sebagian besar penderita kusta berasal dari golongan ekonomi lemah. Penyakit kusta dapat
menyebabkan cacat. Keadaan ini yang menjadi penghalang bagi penderita kusta dalam menjalani
kehidupan bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonominya. Penyakit kusta lebih
banyak terjadi di daerah tropis dan sub tropis yang udaranya panas dan lembab pada lingkungan
hidup yang tidak sehat. Penyakit ini dipandang penyakit yang menakutkan oleh beberapa
masyarakat, bahkan dianggap penyakit kutukan.

2.2 Epidemiologi

Epidemiologi Lepra Lepra dapat terjadi dimanapun seperti di Asia, Afrika, Amerika latin,
daerah tropis dan subtropis serta masyarakat dengan sosioekonomi yang rendah. Tingkat
endemisitas penyakit lepra terjadi di 15 negara dengan 83% ditemukan di India, Brazil, dan
Birmania. Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2011 tercatat 226.626 kasus
baru lepra dan meningkat pada tahun 2012 menjadi 232.857 kasus. Tahun 2012 jumlah kasus

7
baru di Indonesia sejumlah 18.994 kasus, sedangkan di Jawa Tengah pada tahun 2012 dilaporkan
terdapat kasus baru tipe Multibasilar (MB) sebanyak 1.308 kasus dan pada lepra tipe Pausibasilar
(PB) sebanyak 211 kasus dengan Newly Case Detection Rate (NCDR) sebesar 4,57 per 100.000
penduduk.

Indonesia berhasil mencapai eliminasi lepra pada tahun 2000 di 19 provinsi dan sekitar 300
kabupaten/kota. Eliminasi dilakukan dengan menurunkan angka kesakitan lebih kecil dari 1 per
10.000 penduduk dan lebih dari 10 juta penderita telah disembuhkan dan lebih dari 1 juta
penderita telah diselamatkan dari kecacatan. Prevalensi penderitaepra di Indonesia turun sebesar
81% dari 107.271 pada tahun 1990 menjadi 21.026 pada tahun 2009. Hal itu dicapai setelah
dilakukan program rehabilitasi melalui operasi, rekonstruksi, protesa dan pembentukan
kelompok perawatan diri.

Pada tahun 2012 jumlah kasus baru penderita Kusta di provinsi Papua sebanyak 1141
kasus dengan Cacat tingkat I 34 penderita dan Cacat tingkat II sebanyak 62 penderita, tahun
2013 meningkat menjadi 1180 kasus dengan tingkat cacat I 35 penderita dan cacat tingkat II
sebanyak 89 penderita, sedangkan tahun 2014 menurun menjadi 757 kasus dengan cacat tingkat I
39 penderita dan cacat tingkat II sebanyak 40 penderita (Dinkes Provinsi Papua,2015).

Kota Jayapura pada tahun 2014 jumlah kasus baru penderita kusta sebanyak 155 kasus
dengan cacat tingkat I 6 penderita dan cacat tingkat II sebanyak 4 penderita. Data 2014 dari 12
Puskesmas yang ada di kota Jayapura, 5 besar Puskesmas dengan jumlah kasus baru tertinggi
yaitu Puskesmas Hamadi 39 penderita, Puskesmas Jayapura Utara 33 penderita, Puskesmas Elly
Uyo 29 penderita, Puskesmas Jayapura Utara 15 penderita, Puskesmas Kotaraja 14 penderita
(Dinkes Kota Jayapura, 2015).

2.3 Etiologi

Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Mycobacterium ini adalah
kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang
merupakan ciri dari spesies Mycobacterium. Kuman berukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2 –0,5
micro biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan
asam (BTA) atau gram positf.

8
Bakteri kusta banyak terdapat pada kulit tangan, daun telinga, dan daun mukosa. Bakteri
ini mengalami proses pembelahan cukup lama antara 12-21 hari. Kuman M.lepraemasuk ke
dalam tubuh, setelahitumenujusel pada saraf tepi. Di dalam sel, kuman berkembang biak, sel
tersebut pecah dan kemudian menginfeksi sel yang lain atau ke kulit. Daya tahan hidup kuman
kusta mencapai 9 hari diluar tubuh manusia. Kusta memiliki masa inkubasi 2-5 tahun bahkan
juga dapat memakan waktu lebih dari 5 tahun.

2.4 Cara Penularan Kusta

Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi menurut sebagian besar ahli melalui
saluran pernapasan dan kulit (kontak langsung yang lama dan erat). kuman mencapai permukaan
kulit melalui folikel rambut, kelenjar keringat, dan diduga juga melalui air susu ibu. Penyakit
kusta dapat ditularkan melalui kuman utuh dari penderita kusta Multibasiler (MB) pada orang
lain dengan cara penularan langsung. Tidak semua kuman dapat menularkan penyakit, hal ini
terkait dengan resistensi tubuh penderita, keteraturan pengobatan dan jenis obat yang dipakai.

Cara masuknya bakteri Mycobacterium leprae ke dalam tubuh manusia, ada beberapa cara
yaitu:

a) Penularan melalui kontak


Kontak intim yang lama merupakan penyebab utama terjadinya penularan.Kuman kusta
dapat masuk melalui kulit, terutama bila ada luka. Penderita kusta yang berada pada
stadium reaktif dapat menularkan penyakit melalui kontak erat dalam waktu lama.
Penularan di dalam lingkungan keluarga, misalnya antara ibu penderita lepradengan anak
atau suaminya. Anak-anak lebih sering terinfeksi kuman lepra dibanding orang dewasa.
b) Penularan melalui inhalasi
Transmisi lepra paling sering muncul jika anak kecil terpajan dengan basil yang banyak
untuk waktu yang lama. Sekresi nasaladalah bahan paling infeksius untuk kontak
keluarga. Penularan dapat terjadi melalui udara atau pernapasan. Oleh karena itu ventilasi
rumah yang kurang, berjejalan dan tempat-tampat umum merupakan faktor yang sangat
penting dalam epidemiologi penyakit.
c) Penularan melalui ingesti atau saluran pencernaan
Kuman M. lepraemasuk ke dalam tubuh dapat melalui kulit yang tidak utuh, saluran
napas, atau saluran pencernaan. Air susu ibu yang menderita

9
kustalepromatosamengandung banyak bakteri yang hidup, namun insiden kusta pada bayi
yang minum susu dari ibu yang menderita kusta hanya setengah dibanding dengan bayi
yang minum susu botol.
d) Penularan melalui gigitan serangga
Adanya kemungkinan transmisi kusta melalui gigitan serangga, ada tiga tanda yang perlu
diperhatikan yaitu adanya jumlah bakteri hidup dengan jumlah yang cukup banyak,
adanya makanan yang cukup untuk bakteri sampai ditularkan kepada host, dan bakteri
harus dapat bermultiplikasi pada serangga sebagai vector.

2.5 Patogenesis

Lepra Mycobacterium leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah karena
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat
penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah reaksi granuloma
setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit
lepra dapat disebut sebagai penyebab imunologik.

Kelompok umur terbanyak terkena lepra adalah usia 25-35 tahun.Onsetlepra adalah
membahayakan yang dapat mempengaruhi saraf, kulit dan mata. Hal ini juga dapat
mempengaruhi mukosa (mulut, hidung dan faring), testis, ginjal, otot-otot halus, sistem retikulo-
endotel dan endotelium pembuluh darah. Basil masuk kedalam tubuh biasanya melalui sistem
pernafasan, memiliki patogenisitas rendah dan hanya sebagian kecil orang yang terinfeksi
menimbulkan tanda-tanda penyakit. Masa inkubasi M. leprae biasanya 3-5 tahun. Setelah
memasuki tubuh basil bermigrasi kearah jaringan saraf dan masuk kedalam sel Schwann. Bakteri
juga dapat ditemukan dalam makrofag, sel-sel otot dan sel-sel endotelpembuluh darah.

Setelah memasuki sel Schwann atau makrofag, keadaan bakteri tergantung pada
perlawanan dari individu yang terinfeksi. Basil mulai berkembangbiak perlahan (sekitar 12-14
hari untuk satu bakteri membagi menjadi dua) dalam sel, dapat dibebaskan dari sel-sel hancur
dan memasuki sel terpengaruh lainnya. Basil berkembang biak, peningkatan beban bakteri dalam
tubuh dan infeksi diakui oleh sistem imunologi serta limfosit dan histiosit (makrofag) menyerang
jaringan terinfeksi. Pada tahap ini manifestasi klinis mungkin muncul sebagai keterlibatan saraf

10
disertai dengan penurunan sensasi dan atau skin patch. Apabila tidak didiagnosis dan diobati
pada tahap awal, keadaan lebih lanjut akan ditentukan oleh kekuatan respon imun pasien.

Sitem Imun Seluler (SIS) memberikan perlindungan terhadap penderita lepra. Ketika SIS
spesifik efektif dalam mengontrol infeksi dalam tubuh, lesi akan menghilang secara spontan atau
menimbulkan lepra dengan tipe Pausibasilar (PB). Apabila SIS rendah, infeksi menyebar tidak
terkendali dan menimbulkan lepra dengan tipe Multibasilar (MB). Kadang-kadang respon imun
tiba-tiba berubah baik setelah pengobatan atau karena status imunologi yang menghasilkan
peradangan kulit dan atau saraf dan jaringan lain yang disebut reaksi lepra (tipe 1 dan 2).

2.6 Klasifikasi Lepra

Menurut Kongres Internasional Madrid (1953), lepra dibagi atas tipe Indeterminan(I), tipe
Tuberculoid (T), tipe Lepromatosa dan tipe Borderline (B). Ridley Jopling (1960) membagi lepra
kedalam berbagai tipe yaituIndeterminan (I), Tuberculoid polar (TT), Borderline Tuberculoid
(BT), Mid Borderline (BB), Borderline Lepromatous (BL), dan Lepromatosa polar (LL)

11
Tipe I tidak termasuk dalam spektrum. Tipe TT adalah tipe tuberculoid polar yaitu
tuberculoid 100% yang merupakan tipe stabil sehingga tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga
dengan tipe LL yang merupakan tipe lepromatosa polar, yaitu lepramatosa 100% , mempunyai
sifat stabil dan tidak mungkin berubah lagi. BB merupakan tipe campuran yang terdiri atas 50%
tuberculoid dan 50% lepromatosa. Pada tipe BT lebih banyak tuberculoid, sedangkan pada tipe
BL lebih banyak lepromatosa. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil yang berarti bahwa
dapat dengan bebas beralih tipe, baik ke arah tipe TT maupun tipe LL.

Menurut WHO pada 1981, lepra dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe Multibasilar (MB) dan
tipe Pausibasilar (PB).

1. Lepra tipe PB ditemukan pada seseorang dengan SIS baik. Pada tipe ini berarti
mengandung sedikit kuman yaitu tipe TT, tipe BT dan tipe I. Pada klasifikasi Ridley-
Jopling dengan Indeks Bakteri (IB) kurang dari 2+.
2. Lepra tipe MB ditemukan pada seseorang dengan SIS yang rendah. Pada tipe ini berarti
bahwa mengandung banyak kuman yaitu tipe LL, tipe BL dan tipe BB. Pada klasifikasi
Ridley-Jopling dengan Indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+.

Berkaitan dengan kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan yaitu lepra
PB adalah lepra dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaitu tipe I, tipe
TT dan tipe BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling. Apabila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA
positif maka akan dimasukkan kedalam lepra tipe MB. Sedangkan lepra tipe MB adalah semua
penderita lepra tipe BB, tipe BL dan tipe LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA
positif, harus diobati dengan regimen MDT (Multi Drug Therapy)-MB.

2.7 Manifestasi Klinis

Lepra Tanda dan gejala penyakit lepra tergantung pada beberapa hal yaitu multiplikasi dan
diseminasi kuman M. leprae, respon imun penderita terhadap kuman M. leprae serta komplikasi
yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer. Karakteristik klinis kerusakan saraf tepi.

1) Pada tipe tuberculoid yaitu awitan dini berkembang dengan cepat, saraf yang
terlibat terbatas (sesuai jumlah lesi), dan terjadi penebalan saraf yang menyebabkan
gangguan motorik, sensorik dan otonom.

12
2) Pada tipe lepromatosa yaitu terjadi kerusakan saraf tersebar, perlahan tetapi
progresif, beberapa tahun kemudian terjadi hipoestesi (bagian-bagian dingin pada
tubuh), simetris pada tangan dan kaki yang disebutglove dan stocking anaesthesia
terjadi penebalan saraf menyebabkan gangguan motorik, sensorik dan otonom dan
ada keadaan akut apabila terjadi reaksi tipe 2.
3) Tipe borderline merupakan campuran dari kedua tipe (tipe tuberculoid dan tipe
lepromatosa).

13
2.8 Reaksi Lepra

Reaksi lepra adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang kronik
disebabkan karena sistem kekebalan tubuh yang menyerang kuman M. leprae. Penderia lepra
dapat mengalami reaksi hampir setiap saat yaitu sebelum pengobatan, saat diagnosis ditegakkan,
selama pengobatan maupun setelah pengobatan selesai. Sebagian besar reaksi terjadi dalam satu
tahun setelah diagnosis. Pada penderita tipe MB, reaksi dapat timbul setiap saat selama
pengobatan bahkan sampai dengan beberapa tahun setelah pengobatan. Berikut ini adalah tanda-
tanda terjadinya reaksi lepra:
1) Pada kulit: peradangan bercak kulit
2) Pada saraf: rasa sakit atau nyeri tekan pada saraf, timbul kehilangan rasa raba baru
dan timbul kelemahan otot baru
3) Pada mata: rasa sakit atau kemerahan pada mata, timbul penurunan daya
penglihatan yang baru, timbul kelemahan otot-otot penutup mata yang baru .

Reaksi lepra dapat digolongkan menjadi dua kategori yaitu:


1) Reaksi tipe 1 disebut juga reaksi reversal.
Reaksi tipe 1 ini disebabkan peningkatan aktivitas sistem kekebalan tubuh dalam melawan
basil lepra atau bahkan sisa basil yang mati. Peningkatan aktivitas ini menyebabkan terjadi
peradangan setiap terdapat basil lepra pada tubuh, terutama kulit dan saraf. Penderita lepra
dengan tipe MB maupun PB dapat mengalami reaksi tipe 1. Sekitar seperempat dari seluruh
penderita lepra kemungkinan akan mengalami reaksi tipe Reaksi tipe 1 paling sering terjadi
dalam enam bulan setelah mulai minum obat. Beberapa penderita mengalami reaksi tipe 1
sebelum mulai berobat dimana belum terdiagnosis. Reaksi merupakan tanda penyakit yang
sering muncul pertama yang menyebabkan penderita datang untuk berobat. Sebagian kecil
penderita mengalami reaksi lebih lambat, baik selama masa pengobatan maupun sesudahnya.
2) Reaksi tipe 2 disebut juga reaksi Erythema Nodusum Leprosum(ENL).
Reaksi tipe 2 ini terjadi apabila basil leprae dalam jumlah besar terbunuh dan secara bertahap
dipecah. Protein dari basil yang mati mencetuskan reaksi alergi. Reaksi tipe 2 akan mengenai
seluruh tubuh dan menyebabkan gejala sistemikkarena protein ini terdapat dialiran pembuluh
darah.

14
Erythema nodusum leprosumhanya terjadi pada penderita tipe MB, terutama timbul pada tipe
lepromatosa polar dan dapat pula pada tipe BL, serta pada ENL tidak terjadi perubahan tipe,
berarti bahwa semakin tinggi tingkat multibasilarnya semakin besar kemungkinan timbulnya
ENL. Secara imunopatologis, ENL termasuk respon imun humoral, berupa fenomena
kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. leprae, antibodi (IgM, IgG) dan komplemen,
maka ENL termasuk didalam golongan penyakit kompleks imun, karena salah satu protein
M. leprae bersifat antigenik maka antibodi dapat terbentuk. Kadar imunoglobulin penderita
lepra lepromatosa lebih tinggi daripada tipe tuberculoid. Hal ini terjadi oleh karena tipe
lepromatosa jumlah kuman jauh lebih banyak daripada tipe tuberculoid. ENL lebih sering
terjadi pada masa pengobatan. Hal ini dapat terjadi karena banyak kuman lepra yang mati
dan hancur, berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta
mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi
darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ.

2.9 Penunjang Diagnosis Lepra


1. Pemeriksaan bakterioskopik
Skin smear atau kerokan kulit adalah pemeriksaan sediaan yang diperoleh melalui irisan
dan kerokan kecil pada kulit yang kemudian diberi pewarnaan tahan asam untuk melihat M.
leprae. Pemeriksaan ini digunakan untuk membantu menegakkandiagnosis dan pengamatan
pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung
yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA) yaitu dengan menggunakan
Ziehl-Neelsen. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita bukan berarti orang tersebut tidak
mengandung kuman M. leprae.
Pertama harus ditentukan lesi kulit yang diharapkan paling padat oleh kuman, setelah
terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10
tempat dan untuk pemeriksaan rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga
bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif yaitu yang paling eritematosa dan paling
infiltratif. Pemilihan kedua cuping telinga tersebut tanpa melihat ada tidaknya lesi di tempat
tersebut, karena pada tempat tersebut mengandung kuman paling banyak.
Mycobacterium leprae tergolong BTA tampak merah pada sediaan. Dibedakan atas batang
utuh (solid), batang terputus (fragmented) dan butiran (granular). Bentuk solid adalah kuman

15
hidup, sedangkan pada bentuk fragmented dan granular adalah kuman mati. Kuman dalam
bentuk hidup lebih berbahaya karena dapat berkembang biak dandapat menularkan ke orang
lain.1 Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non-solid pada sebuah sediaan dinyatakan
dengan Indeks Bakteri (IB) dengan rentang nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley. Interpretasi
hasil adalah sebagai berikut:
a. 0 apabila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP).
b. 1+ apabila 1-10 BTA dalam 100 LP
c. 2+ apabila 1-10 BTA dalam 10 LP
d. 3+ apabila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
e. 4+ apabila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
f. 5+ apabila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
g. 6+ apabila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Indeks bakteri seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat sediaan. Pemeriksaan
dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak emersi pada pembesaran
lensa objektif 100 kali. Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan
dengan jumlah solid dan non-solid yang berguna untuk mengetahui daya penularan kuman dan
untuk menilai hasil pengobatan dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.

2. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi pada penyakit lepra dilakukan untuk memastikan gambaran
klinik, misalnya lepra Indeterminate atau penentuan klasifikasi lepra. Granuloma adalah
akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya. Gambaran histopatologi. tipe tuberculoid
adalah tuberkel dengan kerusakan saraf lebih nyata, tidak terdapat kuman atau hanya sedikit dan
non-solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone)
yaitu suatu daerah langsung dibawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel
Virchow dengan banyak kuman. Terdapat campuran unsur-unsur tersebut pada tipe Borderline.
3. Pemeriksaan serologis
Pada pemeriksaan serologis lepra didasarkan atas terbentuknya antibodi tubuh seseorang yang
terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik dan tidak spesifik.
Antibodi yang spesifik terhadap M. lepraeyaitu antibodi antiphenolic glycolipid-1(PGL 1) dan

16
antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain
antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis.
Pemeriksaan serologis ini dapat membantu diagnosis lepra yang meragukan karena tanda klinis
dan bakteriologik tidak jelas. Selain itu dapat juga membantu menentukan lepra subklinis, karena
tidak terdapat lesi kulit, misalnya pada narakontak serumah. Macam-macam pemeriksaan
serologik lepra adalahuji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA
(Enzym Linked Immuno-sorbent Assay), ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick), dan
ML flow test (Mycobacterium leprae flow test).

2.10 Penatalaksanaan lepra


Obat-obatan yang digunakan dalam World Health Organization-Multydrug Therapy (WHO-
MDT) adalah kombinasi rifampisin, klofazimin dan dapson untuk penderita lepra tipe MB serta
rifampisin dan dapson untuk penderita lepra tipe PB. Rifampisin ini adalah obat antilepra yang
paling penting dan termasuk dalam perawatan kedua.
jenis lepra. Pengobatan lepra dengan hanya satu obat antilepra akan selalu menghasilkan
mengembangan resistensi obat, pengobatan dengan dapson atau obat antilepra lain yang
digunakan sebagai monoterapi dianggap tidak etis. Adanya MDT adalah sebagai usaha untuk
mencegah dan mengobati resistensi, memperpendek masa pengobatan, dan mempercepat
pemutusan mata rantai penularan. Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan efek
terapeutik obat, efek samping obat, ketersediaan obat, harga obat, dan kemungkinan
penerapannya.
Prosedur pemberian MDT adalah sebagai berikut:
1. MDT untuk lepra tipe MB Pada dewasa diberikan selama 12 bulan yaitu rifampisin 600
mg setiap bulan, klofamizin 300 mg setiap bulan dan 50 mg setiap hari, dan dapsone 100
mg setiap hari. Sedangkan pada anak-anak, diberikan selama 12 bulan dengan kombinasi
rifampisin 450 mg setiap bulan, klofamizin 150 mg setiap bulan dan 50 mg setiap hari,
serta dapsone 50 mg setiap hari.
2. MDT untuk lepra tipe PB Pada dewasa diberikan selama 6 bulan dengan kombinasi
rifampisin 600 mg setiap bulan dan dapsone 100 mg setiap bulan. Pada anak-anak
diberikan selama 6 bulan dengan kombinasi rifampisin 450 mg setiap bulan dan dapsone
50 mg setiap bulan.Sedangkan pada anak-anak dengan usia dibawah 10 tahun, diberikan

17
kombinasi rifampisin 10 mg/kg berat badan setiap bulan, klofamizin 1 mg/kg berat badan
diberikan pada pergantian hari, tergantung dosis, dan dapsone 2 mg/kg berat badan setiap
hari.Minimnya pengetahuan dan tingginya stigma negatif masayarakat terhadap kusta
membuat penderita enggan untuk berobat dan menyembunyikan penyakitnya. Hal ini
menyebabkan transmisi infeksi terus terjadi danangka kecacatan semakin
tinggi.Sayangnya tingginya kejadian kusta tidak sejalan dengan kasus yang dilaporkan.

Untuk pengobatan timbulnya reaksi lepra adalah sebagai berikut:

1. Pengobatan reaksi reversal (tipe 1) Pengobatan tambahan diberikan apabila disertai


neuritis akut, obat pilihan pertama adalahkorikosteroid. Biasanya diberikan prednison 40
mg/hari kemudian diturunkan perlahan. Pengobatan harus secepatnya dan dengan dosis
yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara menndadak. Anggota
gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Apabila diperlukan dapat diberikan
analgetik dan sedativa.
2. Pengobatan reaksi ENL (tipe 2) Obat yang paling sering dipakai adalah tablet
kortikosteroid antara lain prednison dengan dosis yang disesuaikan berat ringannya
reaksi, biasanya diberikan dengan dosis 15-30 mg/hari. Dosis diturunkan secara bertahap
sampai berhenti sama sekali sesuai perbaikan reaksi. Apabila diperlukan dapat
ditambahkan analgetik-antipiretik dan sedativa. Ada kemungkinan timbul ketergantungan
terhadap kortikosteroid, ENL akan timbul apabila obat tersebut dihentikan atau
diturunkan pada dosis tertentu sehingga penderita harus mendapatkan kortikosteroid
secara terus-menerus.

Pencegahan kecacatan yang terbaik atau prevention of disability (POD) adalah dengan
melaksanakan diagnosis dini lepra, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat, mengenali
gejala dan tanda reaksi lepra yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan
kortikosteroid secepatnya. Memberikan edukasi pada pasien tentang perawatan misalnya
memakai kacamata, merawat kulit supaya tidak kering dan lainnya apabila terdapat gangguan
sensibilitas

18
Bab III
PROFIL PUSKESMAS

3.1 GAMBARAN UMUM


3.1.1 Sejarah Singkat Puskesmas Twano Entrop
Puskesmas Twano Entrop adalah Puskesmas Ke -13 Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota
Jayapura yang diresmikan pada tanggal 28 Juni Tahun 2016 dan berlokasi di Jalan Raya Kelapa
Dua Entrop, RT 01 / RW 01 Kelurahan Entrop Distrik Jayapura Selatan Kota Jayapura Provinsi
Papua.
3.1.2. Luas Wilayah Kerja Puskesmas
Puskesmas Twano memiliki luas wilayah ± 16,94 km2 ( 1,80% Luas Kota Jayapura)
dengan Jumlah penduduk 33.894 dimana penduduk laki –laki berjumlah 17.548 dan perempuan
berjumlah 16.346 jiwa sesuai data dari Kelurahan Entrop dimana Puskesmas Twano Entrop
memiliki wilayah kerja 1 (satu) Kelurahan yaitu; Kelurahan Entrop Distrik Jayapura Selatan
3.1.3 Batas-Batas Wilayah
Puskesmas Twano Entrop memiliki batas-batas wilayah kerja sebagai berikut :
a. BagianTimur berbatasan dengan Kampung Tobati dan Kelurahan Hamadi.
b. Bagian Barat berbatasan dengan Pegunungan Sicloop dan Kelurahan Yabansai.
c. Bagian Utara berbatasan dengan Kelurahan Ardipura.
d. Bagian Selatan berbatasan dengan Kelurahan Wahno dan Teluk Youtefa.
Batas-batas wilayah kerja Puskesmas dapat dilihat pada peta di bawah ini:

19
3.1.4. Lingkungan Fisik Puskesmas.

1. Puskesmas Twano Entrop memiliki dua bangunan permanen, kondisi bangunan dalam
keadaan baik, ventilasi yang dimiliki cukup dan memiliki jendela yang cukup sehingga
sinar matahari bisa masuk. Pencahayaan cukup baik pada siang hari, sedangkan malam hari
pencahayaan dari listrik PLN. Kebersihan Puskesmas baik karena Puskesmas memiliki
tenaga kebersihan, pekarangan Puskesmas terlihat bersih dan ditanami bunga serta pohon.
2. Sampah yang dihasilkan puskesmas dibagi menjadi dua, sampah basah dan non medis
dikumpulkan lalu diangkut oleh mobil pengangkut sampah milik pemerintah kota Jayapura
sedangkan sampah medis dibawa ke rumah sakit Dian Harapan atau RS umum Abepura
untuk dimusnahkan dengan insenerator.

3.2 Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular


3.2.1 TBC dan Kusta
Hasil cakupan yang diperoleh lewat program TBC dan Kusta belum memenuhi target.
Mengingat kesadaran masyarakat untuk memeriksakan kesehatnnya masih rendah oelh karena itu
petugas sudah melakukan kunjungan rumah untuk wilayah yang dianggap potensial dan juga
melakukan Perkesmas

20
Data Pasien Morbus Hansen /Kusta Pada Bulan Januari- Desember 2020
NO NAMA JENIS UMU SUKU TGL CARA KELAINAN RIWAYA RIWAYA
KELA R MULAI PENEMUAN KULIT T T
MIN (TAH BEROBA PENDERITA DIKETAHUI REAKSI KONTA
(P/L) UN) T SEJAK K
1 Ny. L P 25 bonggo 29/11/2019 suka rela - - -

2 Tn. R L 15 jayapura 03/12/2019 suka rela sudah + 1thn - -

3 Ny.S P 40 jawa suka rela bercak - -

4 Ny. N P 47 biak 07/03/2020 survey kontak + 2015 bercak - Kontak


ditangan dengan
kanan adik ipar

5 An. D P 11 serui 27/08/2020 pemberitahuan bengkak pd - Kontak


tangan dengan
ibu & om

6 Ny. S P 63 biak 02/08/2020 pemberitahuan/suka bercak - -


rela diketahui +
2018,bercak
di kata mati
rasa
7 Tn.l L 22 sarmi 31/03/2020 pemberitahuan + 1thn - Kontak
dgn
paman
8 NY.M L 37 12/03/2020 suka rela bercak - -

9 NN.S P 20 biak 28/02/2020 pemberitahuan dirasa sdh - -


lama
10 Ny.G P 34 serui 03/01/2020 suka rela - -
11 Ny.P P 45 biak 29/05/2020 pemberitahuan ditangan dan - -
dileher sejak
+2019

21
BAB IV
METODE & HASIL

3.1 Desain penelitian


Projek yang dilakukan ini serupa dengan jenis penelitian deskriptif analitik dengan
pendekatan retrospektif. Data yang diambil merupakan data sekunder yang didapatkan dari
rekam medis pada bulan januari – desember tahun 2020.

3.2. Waktu dan tempat penelitian


3.2.1 Waktu
Waktu pelaksanaan mini project selama masa internship November 2020 – Januari 2021
3.2.2 Tempat
Pelaksanaan mini project ini dilakukan di wilayah kerja puskesmas twano entro.

3.3 Populasi Dan Sampel Penelitian


Populasi penelitian ini adalah pasien morbus Hansen terdata di rekam medik puskesmas twano.
Tanpa melakukan intervensi apapun terhadap pasien. Penelitian dilakukan di puskesmas twano
entrop.
3.3.1 Kriteria Inklusi
a. Pasien morbus Hansen
b. Analisis kerokakan kulit :
hasil positif pada pewarnaan ZN
3.3.2 Kriteria Eksklusi
a. pasien dengan kelengkapan data yang kurang
b. pasien yang alamat diluar wilayah entrop

3.4 Sampel Penelitian


Sampel penelitian adalah pasien morbus Hansen/kusta sebanyak 11 orang yang didiagnosis
menderita kusta.

22
3.5 Materi Penelitian
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rekam medis yang berisi data dari
pasien morbus Hansen pada tahun 2020

3.6 Pelaksanaan Penelitian

Pengumpulan data sekunder berupa


rekam medis pasien morbus Hansen yang
di data pada tahun 2020

Diagnosis Morbus Hansen/Kusta


berdasarkan kriteria :
- Terdapat bercak atau macula di
badan
- Hasil positif pada pewarnaan ZN
- Usia diatas 10 tahun
-

Analisis data

23
Bab IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Sesuai dengan kriteria penelitian didapatkan data penelitian sebagai berikut:
Jumlah pasien morbus Hansen/kusta di puskesmas twano entrop pada tahun 2020 berjumlah 11
orang masing-masing dilakukan identifikasi tipe kusta berdasarkan ciri-ciri yang ada
pemeriksaan secara mikroskopis.

4.1.1 Data demografi

Penelitian mini project tentang gambaran karakteristik pasien morbus hansen/kusta di puskesmas
twano entrop. Berdasarkan hasil penelitian di dapatkan hasil sebagai berikut :

Tabel 1. Karakteristik pasien berdasarkan usia

Usia Jumlah Persentase


1-10 thn 0 0%
10-20 thn 2 18 %
20- 40 thn 6 55 %
≥40 thn 3 27 %
Jumlah 11 100 %

Karakteristik pasien berdasarkan usia


7
6
6
5
4
3
3
2
2
1
0
0
1-10 thn 10-20 thn 20- 40 thn ≥40 thn

Gambar 1. Grafik karakteristik berdasarkan usia

24
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pasien yang berusia 1-10 tahun sejumlah 0
orang (0%), usia 10-20 tahun sejumlah 2 orang (18%), 20-40 tahun sejumlah 6 orang (55%),
lebih dari 40 tahun sejumlah 3 orang (27%). Penyakit kusta dapat menyerang semua umur,
terbanyak pada umur muda dan produktif.

Tabel 2. Berdasarkan tipe kusta


Tipe kusta Jumlah persentase
Pausibasiler 0 0%
(PB)
Multibasiler 11 100%
(MB)
Jumlah 11 100%
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pasien di puskesmas twano berdasarkan
tipe kusta adalah pasien PB sejumlah 0 orang (0%), MB sejumlah 11 orang (100%).

Tabel 3. Berdasarkan jenis kelamin


Jenis Jumlah persentase
kelamin
Laki-laki 3 27%
Perempuan 8 73%
Jumlah 11 100%

JUMLAH PASIEN BERDASARKAN JENIS KELAMIN


Laki-laki Perempuan

27%

73%

Gambar 2. Diagram jumlah pasien berdasarkan umur

25
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pasien morbus Hansen di puskesmas twano
entrop lebih banyak berjenis kelamin perempuan sebanyak 8 orang (73 %), dan laki-laki
sebanyak 3 orang (27%).

Tabel 4. Pasien morbus Hansen berdasarkan pewarnaan ZN


Tipe kusta Pewarnaan zn Persentase
Positif Negative
Pb (pausibasiler) 0 0 0
Mb ( multibasiler) 7 4 11
Jumlah 7(64%) 4(36%) 11 (100%)

Berdasarkan tabel 4 diatas dapat diketahui bahwa pasien morbus Hansen berdasarkan
pewarnaan zn di puskesmas twano pausibasiler positif dan negative sejumlah 0 (0%), sedangkan
multibasiler positif sejumlah 7 (64%) dan negative 4 (36%).

26
4.2 PEMBAHASAN

Penyakit kusta dapat menyerang semua umur, terbanyak pada umur muda dan produktif.
Hal ini sejalan dengan penelitian singh et al, 2019, kasus kusta berdasarkan rentang umur yaitu
<24 : 123 (29%), 25-29 : 46 (10.87%), 30-34 : 34 (8,03 %), 40-44 : 71 (16,87%), > 45 : 123
(29%). Data ini sekaligus mengkonfirmasi faktor usia yang sangat beresiko untuk tertular pada
kelompok usia anak-anak, dewasa dan manula.

Berdasarkan tabel 1 pasien morbus Hansen berdasrkan usia di pkm twano entrop diatas
dapat diketahui bahwa pasien yang berusia 1-10 tahun sejumlah 0 orang (0%), usia 10-20 tahun
sejumlah 2 orang (18%), 20-40 tahun sejumlah 6 orang (55%), lebih dari 40 tahun sejumlah 3
orang (27%). Penyakit kusta dapat menyerang semua umur, terbanyak pada umur muda dan
produktif. Penemuan kasus kusta pada anak –anak berkaitan dengan system imun pada anak
yang belum berkembang dengan baik, sehingga masih rentan terhadap infeksi yang mefasilitasi
terjadinya transmisi kusta pada anak-anak. Demikian pula banyak kasus kusta ditemukan pada
kelompok umur muda dan produktif, hal ini berkaitan dengan masa inkubasi penyakit kusta yang
sangat lama menyebabkan penderita kusta baru ditemukan umur 15-60 tahun (Sari,2019)

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 2 terdapat perbedaan jumlah penderita kusta
berdasarkan tipe kusta. Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pasien di puskesmas
twano berdasarkan tipe kusta adalah pasien PB sejumlah 0 orang (0%), MB sejumlah 11 orang
(100%). Tipe PB yaitu terdapat bercak atau macula dengan warna keputihan, ukurannya kecil
dan besar, batas tegas dan terdapat di satu atau beberapa tempat di badan. Tipe MB yaitu terdapat
bercak atau macula bewarna kemerahan, batas macula tidak begitu jelas, kemerahan, tersebar
merata di seluruh badan, terjadi penebalan kulit dengan warna kemerahan (Depkes RI, 2017).

Kusta tipe MB lebih banyak daripada tipe PB disebabkan penyakit kusta tipe MB lebih
mudah menular daripada tipe PB (Amirudin,2015). Hal ini terkonfirmasi data dari WHO dalam
global leprosy tahun 2018, kasus MB lebih banyak sebesar 14.543 orang.Penyakit kusta dapat
ditularkan dari penderita kusta tipe MB kepada orang lain dengan cara penularan langsung.
Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak langsung yang erat dan lama
dengan penderita. Hasil penelitian ini sejalandengan penelitian (Nabila, 2015), didapatkan

27
persentase tipe MB yang lebih banyak yaitu sebanyak 110 orang (91.67%), sedangkan tipe
PByaitu sebanyak 10 orang (8.33%). Tipe MB terjadi pada individu dengan sistem imunitas
tubuh yang rendah, biasanya pada individu usia tua (Hargrave,2015)

Berdasarkan tabel 3 diatas dapat diketahui bahwa pasien morbus Hansen di puskesmas twano
entrop lebih banyak berjenis kelamin perempuan sebanyak 8 orang (73 %), dan laki-laki
sebanyak 3 orang (27%). Perbandingan jumlah pasien kusta di pkm twano lebih banyak
perempuan dibanding laki-laki adalah adanya kasus yang tidak terdeteksi.

WHO, (2012) melaporkan kasus penyakit kusta pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan
perempuan. Beberapa penelitian mendukung laporan tersebut. Penelitian oleh Nabila, (2012)
didapatkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 90 orang (75%), sedangkan perempuan sebanyak 30
orang (25%). Sajian data (Tami, 2019) kasus penyakit kusta PB di Jawa Timurtahun 2017 laki-
laki lebih tinggi daripada perempuan yaitu masing-masing 281 dan 250. Demikian pula data
sajian (Singh et al. 2019), kasus kusta laki lebih tinggi 248 (58,6%) dibandingkan perempuan
175 (41,4%). Kecenderungan prevalensi ini karena laki-laki lebih tak acuh terhadap
kesehatannya dibandingkan perempuan sangat peduli dan proaktif memperhatikan kesehatan
khususnya kesehatan kulitnya.

Berdasarkan tabel 4 diatas dapat diketahui bahwa pasien morbus Hansen berdasarkan
pewarnaan zn di puskesmas twano pausibasiler positif dan negative sejumlah 0 (0%), sedangkan
multibasiler positif sejumlah 7 (64%) dan negative 4 (36%). Hasil pemeriksaan negatif bukan
berarti basil kusta tidak ada sama sekali di dalam tubuh si penderita. Pemeriksaan hanya akan
menunjukkan hasil positif bila pada setiap gram kulit (hasil kerokan dari pemeriksaan apusan
kulit) terdapat minimal 10.000 basil (Amiruddin, 2015).

Hasil indeks bakteriologis yang sebagian besar negatif, bisa disebabkan karena kebanyakan
pasien kusta MB adalah tipeMid borderline sehingga bakteri yang ada hanya sedikit dan
relatifsukar ditemukan (Wulan, 2014). Hasil negatif pada pemeriksaan BTA juga bisa
disebabkan karena tingkat virulensi bakteri kusta, status gizi, serta daya tahan tubuh responden
hingga menimbulkan gejala kusta. Hasil negatif pada pemeriksaan mikroskopik juga bisa terjadi
karena kesalahan pada saat pengambilan sampel, pewarnaan dan kesalahan baca, kualitas sediaan
yaitu terlalu tebal atau tipisnya sediaan, pewarnaan, ukuran, kerataan, kebersihan, dan kualitas
spesimen (Regan, 2015)

28
BAB V

KESIMPULAN

 Karakteristik penderita morbus Hansen atau kusta di wilayah kerja puskesmas twano entrop
jayapura berdasarkan usia lebih banyak usia 20-40 tahun, berdasarkan tipe kusta dari 11
sampel paling banyak tipe kusta MB, berdasarkan jenis kelamin persentase tertinggi berasal
dari jenis kelamin perempuan, berdasarkan pewarnaan Zn lebih banyak positif pada tipe MB.

29
DAFTAR PUSTAKA

 Amirudin,M. D. (2015). Penyakit Kusta Sebuah Pendekatan Klinis, Brilian


Internasional.Surabaya
 Catrina, P., Warjiman, dan Rusmegawati. (2015). Faktor-faktor yang berhubungan dengan
tingkat kecacatan klien kusta di Kelurahan Bitahan RT 11 dan 12 wilayah kerja Puskesmas
Lokpaikat tahun 2015. Jurnal Keperawatan Suaka Insan (JKSI), Vol. 1(1), 1-13.Centers for
Disease Control and Prevention. 2020. Hansen's Disease (Leprosy). Diakses tanggal 23
desember 2020 di laman https://www.cdc.gov/leprosy/index.html
 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Buku pedoman nasional pengendalian
penyakit kusta.Jakarta: Depkes RI.
 Hargrave J, Wallace T, dan Lush D. (2015). Guidelines for The Control of Leprosy in The
Northern Territory, 3rd edition,Departement of Health and Families.
www.nt.gov.au/health/cdc. diakses 20 desember 2020
 Kementerian kesehatan RI . (2018). Infodatin. Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI. Hapuskan Stigma dan Kriminalisasi terhadap Kusta. Kementerian
KesehatanRI. Jakarta
 Kementerian kesehatan RI. (2015). 25 januari hari kusta sedunian. Pusat Data dan Informasi
Kementrian dan Kesehatan RI.Jakarta
 Nabila, A, Qoyyum.,Nurainiwati, S, Adila., dan Handaja, D.(2015). Profil Penderita Kusta di
Rumah Sakit Kusta Kediri Periode Januari 2015 Sampai Desember 2015. Jurnal Saintika
Medika ISSN: 0216-759XVolume 8(2): 70-77.
 Regan, M. (2015). Pedoman nasional program pengendalian penyakit kusta. Kementerian
Kesehatan RI Direktoratjenderal pengendalian penyakit dan penyehat lingkungan: Jakarta
 Sari, W. M dan Rokhmayanti. (2019). Hubungan Antara Biological Self Dengan Kejadian
Kusta Di Rumah Sakit Sumberglagah Provinsi Jawa Timur Tahun 2019.
http://eprints.uad.ac.id/id/eprint/14958.Diakses pada 12 desember 2020 (15:34).
 World Health Organization. (2020). Leprosy: The Disease. Geneva: World Health
Organization. Diakses melalui https://www.who.int/lep/leprosy/en/pada tanggal 20 desember
2020.

30

Anda mungkin juga menyukai