Disusun oleh :
dr. Silva Rosdina Worembai
Dokter pendamping :
dr. Burhan Claudia eliza
1
LEMBAR PENGESAHAN
Telah disetujui dan disahkan oleh dokter pendamping program internsip dokter di Puskesmas
Twano Entrop Jaypura pada 2 Februari 2020.
2
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur atas segala nikmat, karunia, dan rahmat yang diberikan Tuhan Yang
Maha Esa dalam menempuh Internship di Puskesmas Twano Entrop Jayapura. Akhirnya penulis
dapat menyelesaikan tugas penulisan Mini Project dengan judul “karakteristik penderita morbus
hansen di entrop wilayah kerja twano” untuk memenuhi salah satu syarat program Internship di
Puskesmas Twano Entrop, kota Jayapura Papua.
1. dr. Burhan Claudia Eliza selaku Kepala Puskesmas twano entrop dan juga sebagai
pembimbing. Juga kepada dr. hesti purikasari, dr. evalina diodoran malau, dan seluruh
pihak puskesmas twano yang telah memberikan kesempatan kami belajar selama di
puskesmas twano entrop.
2. kak tisa yang turut membantu saya dalam pengambilan data pasien morbus Hansen yang
ada di puskesmas twano entrop.
3. Rekan-rekan paramedis yang telah membantu pengerjaan mini project.
4. Rekan – rekan dokter Internship.
5. Pasien yang mau menjadi responden mini project ini.
Demikian, agar Mini Project ini bisa bermanfaat bagi yang membacanya.
3
BAB 1
PENDAHULUAN
Kusta atau lepra adalah penyakit menular kronis yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae. Kurang lebih 200,000 kasus yang terdeteksi setiap tahun. Pada awal
infeksi, bakteri tersebut menyerang saraf tepi, dan selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa
mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan juga testis.
Oleh karena, bila tidak tertangani dengan baik maka kusta berisiko menyebabkan kerusakan pada
kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata (WHO, 2020; Gaschignard et al. 2016).
Kusta diklasifikasikan menjadi dua yaitu jenis Paucibacillary (PB)atau tipe kering dan
Multibacillary (MB) tipe basah (WHO, 2010). Pada kusta pausibasilar (PB), gejala klinis
meliputi bercak putih seperti panu yang mati rasa, permukaan bercak kering, kasar, dan tidak
berkeringat, batas (pinggir) bercak terlihat jelas dan sering ada bintil-bintil kecil. Kusta
multibasilar (MB) dapat diketahui dengan beberapa tandanya adalah bercak putih kemerahan
yang tersebar satu-satu atau merata diseluruh kulit badan, terjadi penebalan dan pembengkakan
pada bercak, pada permukaan bercak sering terdapat rasa bila disentuh dengan kapas, pada
permulaan tanda dari tipe kusta basah sering terdapat pada cuping telinga dan muka (Farabi, dkk.
2010).
Salah satu faktor yang menyebabkan kusta sebagai masalah kesehatan, adalah kusta dapat
menimbulkan masalah kompleks, mulai dari aspek medis, sosial, ekonomi, budaya, keamanan,
dan ketahanan nasional. Keadaan ini dapat menimbulkan keresahan tidak hanya bagi penderita
tapi juga bagi keluarga dan masyarakat sekitarnya (DinkesPapua, 2015).
Masih banyak masyarakat menganggap kusta sebagai penyakit kutukan Tuhan, akibat
guna-guna, sangat menular dan tidak dapat disembuhkan. Rasa takut yang berlebihan dan stigma
negative terhadap penyakit kusta, menyebabkan kecenderungan untuk mengisolasi penderita dan
memperlakukan mereka secara kurang manusiawi (Kamath, 2014).
Di Indonesia, kusta masih merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia, walaupun
pada pertengahan tahun 2000, Indonesia sudah dapat mencapai eliminasi kusta. Hal ini
4
disebabkan karena sampai akhir tahun 2002 masih ada 13 provinsi dan 111 kabupaten yang
belum dapat dieliminasi (KemenkesRI, 2012).
Angka prevalensi tahun 2002 per 10.000 penduduk di tingkat provinsi bervariasi.
Prevalensi terendah di Yokyakarta (0,00) dan tertinggi di Maluku Utara (6,72).3 Angka
prevalensi penderita kusta di Sulawesi Utara adalah 2,0 (tahun 2007) dan 1,7 (tahun 2008).
Jumlah penderita kusta yang terdaftar di Sulawesi Utara tahun 2008 sebanyak 388 orang dengan
326 (84,02%) di antaranya adalah penderita tipe MB. Angka penemuan penderita baru pada
tahun 2008 adalah 1,9 per 100.000 penduduk (Kemenkes, 2015).
Pada tahun 2013 di indonesia jumlah kasus baru kusta 13.146 kasus,dengan jumlah
kecacatan tingkat 2 sebesar 1.372 penderita. Di Indonesia proporsi cacat penderita kusta sebesar
10,44%. Provinsi Papua termasuk dalam daerah dengan beban Kusta tinggi (high endemic)
karena angka penemuan kasus baru Newly Case Detection Rate (NCDR) 10 per 100.000
penduduk.
Pada tahun 2012 jumlah kasus baru penderita Kusta di provinsi Papua sebanyak 1141
kasus dengan Cacat tingkat I 34 penderita dan Cacat tingkat II sebanyak 62 penderita, tahun
2013 meningkat menjadi 1180 kasus dengan tingkat cacat I 35 penderita dan cacat tingkat II
sebanyak 89 penderita, sedangkan tahun 2014 menurun menjadi 757 kasus dengan cacat tingkat I
39 penderita dan cacat tingkat II sebanyak 40 penderita (Dinkes Provinsi Papua,2015).
Kota Jayapura pada tahun 2014 jumlah kasus baru penderita kusta sebanyak 155 kasus
dengan cacat tingkat I 6 penderita dan cacat tingkat II sebanyak 4 penderita. Data 2014 dari 12
Puskesmas yang ada di kota Jayapura, 5 besar Puskesmas dengan jumlah kasus baru tertinggi
yaitu Puskesmas Hamadi 39 penderita, Puskesmas Jayapura Utara 33 penderita, Puskesmas Elly
Uyo 29 penderita, Puskesmas Jayapura Utara 15 penderita, Puskesmas Kotaraja 14 penderita
(Dinkes Kota Jayapura, 2015).
Reaksi merupakan fenomena yang sering terjadi pada penderita kusta, deteksi dini dan
penatalaksanaan yang tepat merupakan bagian penting dalam mengsukseskan program
penanganan kusta. Faktor-faktor pemicu antara lain stress mental dan fisik, terapi kusta (MDT),
vaksinasi, kehamilan, tindakan bedah, perlukaan, dan infeksi (Hidayat, 2014). Penanganan reaksi
kusta terutama ditujukan untuk mengatasi neuritis sebagai pencegahan paralisis atau kontraktur;
5
menghindari kebutaan, membunuh kuman penyebab agar penyakit tidak meluas dan mengatasi
rasa nyeri (Pongtiku, 2016). Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti ingin mengetahui
gambaran karakteristik para penderita kusta yang ada di Kota Jayapura khususnya di entrop
wilayah kerja puskesmas twano.
6
Bab II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Penyakit kusta atau lepra adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
leprae. Penyakit kusta juga disebut Morbus Hansen atau Satyriasis. Kusta dapat menyerang
semua umur dan bukan penyakit keturunan. Kusta menyerang berbagai bagian tubuh diantaranya
2.2 Epidemiologi
Epidemiologi Lepra Lepra dapat terjadi dimanapun seperti di Asia, Afrika, Amerika latin,
daerah tropis dan subtropis serta masyarakat dengan sosioekonomi yang rendah. Tingkat
endemisitas penyakit lepra terjadi di 15 negara dengan 83% ditemukan di India, Brazil, dan
Birmania. Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2011 tercatat 226.626 kasus
baru lepra dan meningkat pada tahun 2012 menjadi 232.857 kasus. Tahun 2012 jumlah kasus
7
baru di Indonesia sejumlah 18.994 kasus, sedangkan di Jawa Tengah pada tahun 2012 dilaporkan
terdapat kasus baru tipe Multibasilar (MB) sebanyak 1.308 kasus dan pada lepra tipe Pausibasilar
(PB) sebanyak 211 kasus dengan Newly Case Detection Rate (NCDR) sebesar 4,57 per 100.000
penduduk.
Indonesia berhasil mencapai eliminasi lepra pada tahun 2000 di 19 provinsi dan sekitar 300
kabupaten/kota. Eliminasi dilakukan dengan menurunkan angka kesakitan lebih kecil dari 1 per
10.000 penduduk dan lebih dari 10 juta penderita telah disembuhkan dan lebih dari 1 juta
penderita telah diselamatkan dari kecacatan. Prevalensi penderitaepra di Indonesia turun sebesar
81% dari 107.271 pada tahun 1990 menjadi 21.026 pada tahun 2009. Hal itu dicapai setelah
dilakukan program rehabilitasi melalui operasi, rekonstruksi, protesa dan pembentukan
kelompok perawatan diri.
Pada tahun 2012 jumlah kasus baru penderita Kusta di provinsi Papua sebanyak 1141
kasus dengan Cacat tingkat I 34 penderita dan Cacat tingkat II sebanyak 62 penderita, tahun
2013 meningkat menjadi 1180 kasus dengan tingkat cacat I 35 penderita dan cacat tingkat II
sebanyak 89 penderita, sedangkan tahun 2014 menurun menjadi 757 kasus dengan cacat tingkat I
39 penderita dan cacat tingkat II sebanyak 40 penderita (Dinkes Provinsi Papua,2015).
Kota Jayapura pada tahun 2014 jumlah kasus baru penderita kusta sebanyak 155 kasus
dengan cacat tingkat I 6 penderita dan cacat tingkat II sebanyak 4 penderita. Data 2014 dari 12
Puskesmas yang ada di kota Jayapura, 5 besar Puskesmas dengan jumlah kasus baru tertinggi
yaitu Puskesmas Hamadi 39 penderita, Puskesmas Jayapura Utara 33 penderita, Puskesmas Elly
Uyo 29 penderita, Puskesmas Jayapura Utara 15 penderita, Puskesmas Kotaraja 14 penderita
(Dinkes Kota Jayapura, 2015).
2.3 Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Mycobacterium ini adalah
kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang
merupakan ciri dari spesies Mycobacterium. Kuman berukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2 –0,5
micro biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan
asam (BTA) atau gram positf.
8
Bakteri kusta banyak terdapat pada kulit tangan, daun telinga, dan daun mukosa. Bakteri
ini mengalami proses pembelahan cukup lama antara 12-21 hari. Kuman M.lepraemasuk ke
dalam tubuh, setelahitumenujusel pada saraf tepi. Di dalam sel, kuman berkembang biak, sel
tersebut pecah dan kemudian menginfeksi sel yang lain atau ke kulit. Daya tahan hidup kuman
kusta mencapai 9 hari diluar tubuh manusia. Kusta memiliki masa inkubasi 2-5 tahun bahkan
juga dapat memakan waktu lebih dari 5 tahun.
Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi menurut sebagian besar ahli melalui
saluran pernapasan dan kulit (kontak langsung yang lama dan erat). kuman mencapai permukaan
kulit melalui folikel rambut, kelenjar keringat, dan diduga juga melalui air susu ibu. Penyakit
kusta dapat ditularkan melalui kuman utuh dari penderita kusta Multibasiler (MB) pada orang
lain dengan cara penularan langsung. Tidak semua kuman dapat menularkan penyakit, hal ini
terkait dengan resistensi tubuh penderita, keteraturan pengobatan dan jenis obat yang dipakai.
Cara masuknya bakteri Mycobacterium leprae ke dalam tubuh manusia, ada beberapa cara
yaitu:
9
kustalepromatosamengandung banyak bakteri yang hidup, namun insiden kusta pada bayi
yang minum susu dari ibu yang menderita kusta hanya setengah dibanding dengan bayi
yang minum susu botol.
d) Penularan melalui gigitan serangga
Adanya kemungkinan transmisi kusta melalui gigitan serangga, ada tiga tanda yang perlu
diperhatikan yaitu adanya jumlah bakteri hidup dengan jumlah yang cukup banyak,
adanya makanan yang cukup untuk bakteri sampai ditularkan kepada host, dan bakteri
harus dapat bermultiplikasi pada serangga sebagai vector.
2.5 Patogenesis
Lepra Mycobacterium leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah karena
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat
penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah reaksi granuloma
setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit
lepra dapat disebut sebagai penyebab imunologik.
Kelompok umur terbanyak terkena lepra adalah usia 25-35 tahun.Onsetlepra adalah
membahayakan yang dapat mempengaruhi saraf, kulit dan mata. Hal ini juga dapat
mempengaruhi mukosa (mulut, hidung dan faring), testis, ginjal, otot-otot halus, sistem retikulo-
endotel dan endotelium pembuluh darah. Basil masuk kedalam tubuh biasanya melalui sistem
pernafasan, memiliki patogenisitas rendah dan hanya sebagian kecil orang yang terinfeksi
menimbulkan tanda-tanda penyakit. Masa inkubasi M. leprae biasanya 3-5 tahun. Setelah
memasuki tubuh basil bermigrasi kearah jaringan saraf dan masuk kedalam sel Schwann. Bakteri
juga dapat ditemukan dalam makrofag, sel-sel otot dan sel-sel endotelpembuluh darah.
Setelah memasuki sel Schwann atau makrofag, keadaan bakteri tergantung pada
perlawanan dari individu yang terinfeksi. Basil mulai berkembangbiak perlahan (sekitar 12-14
hari untuk satu bakteri membagi menjadi dua) dalam sel, dapat dibebaskan dari sel-sel hancur
dan memasuki sel terpengaruh lainnya. Basil berkembang biak, peningkatan beban bakteri dalam
tubuh dan infeksi diakui oleh sistem imunologi serta limfosit dan histiosit (makrofag) menyerang
jaringan terinfeksi. Pada tahap ini manifestasi klinis mungkin muncul sebagai keterlibatan saraf
10
disertai dengan penurunan sensasi dan atau skin patch. Apabila tidak didiagnosis dan diobati
pada tahap awal, keadaan lebih lanjut akan ditentukan oleh kekuatan respon imun pasien.
Sitem Imun Seluler (SIS) memberikan perlindungan terhadap penderita lepra. Ketika SIS
spesifik efektif dalam mengontrol infeksi dalam tubuh, lesi akan menghilang secara spontan atau
menimbulkan lepra dengan tipe Pausibasilar (PB). Apabila SIS rendah, infeksi menyebar tidak
terkendali dan menimbulkan lepra dengan tipe Multibasilar (MB). Kadang-kadang respon imun
tiba-tiba berubah baik setelah pengobatan atau karena status imunologi yang menghasilkan
peradangan kulit dan atau saraf dan jaringan lain yang disebut reaksi lepra (tipe 1 dan 2).
Menurut Kongres Internasional Madrid (1953), lepra dibagi atas tipe Indeterminan(I), tipe
Tuberculoid (T), tipe Lepromatosa dan tipe Borderline (B). Ridley Jopling (1960) membagi lepra
kedalam berbagai tipe yaituIndeterminan (I), Tuberculoid polar (TT), Borderline Tuberculoid
(BT), Mid Borderline (BB), Borderline Lepromatous (BL), dan Lepromatosa polar (LL)
11
Tipe I tidak termasuk dalam spektrum. Tipe TT adalah tipe tuberculoid polar yaitu
tuberculoid 100% yang merupakan tipe stabil sehingga tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga
dengan tipe LL yang merupakan tipe lepromatosa polar, yaitu lepramatosa 100% , mempunyai
sifat stabil dan tidak mungkin berubah lagi. BB merupakan tipe campuran yang terdiri atas 50%
tuberculoid dan 50% lepromatosa. Pada tipe BT lebih banyak tuberculoid, sedangkan pada tipe
BL lebih banyak lepromatosa. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil yang berarti bahwa
dapat dengan bebas beralih tipe, baik ke arah tipe TT maupun tipe LL.
Menurut WHO pada 1981, lepra dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe Multibasilar (MB) dan
tipe Pausibasilar (PB).
1. Lepra tipe PB ditemukan pada seseorang dengan SIS baik. Pada tipe ini berarti
mengandung sedikit kuman yaitu tipe TT, tipe BT dan tipe I. Pada klasifikasi Ridley-
Jopling dengan Indeks Bakteri (IB) kurang dari 2+.
2. Lepra tipe MB ditemukan pada seseorang dengan SIS yang rendah. Pada tipe ini berarti
bahwa mengandung banyak kuman yaitu tipe LL, tipe BL dan tipe BB. Pada klasifikasi
Ridley-Jopling dengan Indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+.
Berkaitan dengan kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan yaitu lepra
PB adalah lepra dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaitu tipe I, tipe
TT dan tipe BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling. Apabila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA
positif maka akan dimasukkan kedalam lepra tipe MB. Sedangkan lepra tipe MB adalah semua
penderita lepra tipe BB, tipe BL dan tipe LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA
positif, harus diobati dengan regimen MDT (Multi Drug Therapy)-MB.
Lepra Tanda dan gejala penyakit lepra tergantung pada beberapa hal yaitu multiplikasi dan
diseminasi kuman M. leprae, respon imun penderita terhadap kuman M. leprae serta komplikasi
yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer. Karakteristik klinis kerusakan saraf tepi.
1) Pada tipe tuberculoid yaitu awitan dini berkembang dengan cepat, saraf yang
terlibat terbatas (sesuai jumlah lesi), dan terjadi penebalan saraf yang menyebabkan
gangguan motorik, sensorik dan otonom.
12
2) Pada tipe lepromatosa yaitu terjadi kerusakan saraf tersebar, perlahan tetapi
progresif, beberapa tahun kemudian terjadi hipoestesi (bagian-bagian dingin pada
tubuh), simetris pada tangan dan kaki yang disebutglove dan stocking anaesthesia
terjadi penebalan saraf menyebabkan gangguan motorik, sensorik dan otonom dan
ada keadaan akut apabila terjadi reaksi tipe 2.
3) Tipe borderline merupakan campuran dari kedua tipe (tipe tuberculoid dan tipe
lepromatosa).
13
2.8 Reaksi Lepra
Reaksi lepra adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang kronik
disebabkan karena sistem kekebalan tubuh yang menyerang kuman M. leprae. Penderia lepra
dapat mengalami reaksi hampir setiap saat yaitu sebelum pengobatan, saat diagnosis ditegakkan,
selama pengobatan maupun setelah pengobatan selesai. Sebagian besar reaksi terjadi dalam satu
tahun setelah diagnosis. Pada penderita tipe MB, reaksi dapat timbul setiap saat selama
pengobatan bahkan sampai dengan beberapa tahun setelah pengobatan. Berikut ini adalah tanda-
tanda terjadinya reaksi lepra:
1) Pada kulit: peradangan bercak kulit
2) Pada saraf: rasa sakit atau nyeri tekan pada saraf, timbul kehilangan rasa raba baru
dan timbul kelemahan otot baru
3) Pada mata: rasa sakit atau kemerahan pada mata, timbul penurunan daya
penglihatan yang baru, timbul kelemahan otot-otot penutup mata yang baru .
14
Erythema nodusum leprosumhanya terjadi pada penderita tipe MB, terutama timbul pada tipe
lepromatosa polar dan dapat pula pada tipe BL, serta pada ENL tidak terjadi perubahan tipe,
berarti bahwa semakin tinggi tingkat multibasilarnya semakin besar kemungkinan timbulnya
ENL. Secara imunopatologis, ENL termasuk respon imun humoral, berupa fenomena
kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. leprae, antibodi (IgM, IgG) dan komplemen,
maka ENL termasuk didalam golongan penyakit kompleks imun, karena salah satu protein
M. leprae bersifat antigenik maka antibodi dapat terbentuk. Kadar imunoglobulin penderita
lepra lepromatosa lebih tinggi daripada tipe tuberculoid. Hal ini terjadi oleh karena tipe
lepromatosa jumlah kuman jauh lebih banyak daripada tipe tuberculoid. ENL lebih sering
terjadi pada masa pengobatan. Hal ini dapat terjadi karena banyak kuman lepra yang mati
dan hancur, berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta
mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi
darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ.
15
hidup, sedangkan pada bentuk fragmented dan granular adalah kuman mati. Kuman dalam
bentuk hidup lebih berbahaya karena dapat berkembang biak dandapat menularkan ke orang
lain.1 Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non-solid pada sebuah sediaan dinyatakan
dengan Indeks Bakteri (IB) dengan rentang nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley. Interpretasi
hasil adalah sebagai berikut:
a. 0 apabila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP).
b. 1+ apabila 1-10 BTA dalam 100 LP
c. 2+ apabila 1-10 BTA dalam 10 LP
d. 3+ apabila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
e. 4+ apabila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
f. 5+ apabila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
g. 6+ apabila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Indeks bakteri seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat sediaan. Pemeriksaan
dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak emersi pada pembesaran
lensa objektif 100 kali. Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan
dengan jumlah solid dan non-solid yang berguna untuk mengetahui daya penularan kuman dan
untuk menilai hasil pengobatan dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.
2. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi pada penyakit lepra dilakukan untuk memastikan gambaran
klinik, misalnya lepra Indeterminate atau penentuan klasifikasi lepra. Granuloma adalah
akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya. Gambaran histopatologi. tipe tuberculoid
adalah tuberkel dengan kerusakan saraf lebih nyata, tidak terdapat kuman atau hanya sedikit dan
non-solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone)
yaitu suatu daerah langsung dibawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel
Virchow dengan banyak kuman. Terdapat campuran unsur-unsur tersebut pada tipe Borderline.
3. Pemeriksaan serologis
Pada pemeriksaan serologis lepra didasarkan atas terbentuknya antibodi tubuh seseorang yang
terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik dan tidak spesifik.
Antibodi yang spesifik terhadap M. lepraeyaitu antibodi antiphenolic glycolipid-1(PGL 1) dan
16
antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain
antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis.
Pemeriksaan serologis ini dapat membantu diagnosis lepra yang meragukan karena tanda klinis
dan bakteriologik tidak jelas. Selain itu dapat juga membantu menentukan lepra subklinis, karena
tidak terdapat lesi kulit, misalnya pada narakontak serumah. Macam-macam pemeriksaan
serologik lepra adalahuji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA
(Enzym Linked Immuno-sorbent Assay), ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick), dan
ML flow test (Mycobacterium leprae flow test).
17
kombinasi rifampisin 10 mg/kg berat badan setiap bulan, klofamizin 1 mg/kg berat badan
diberikan pada pergantian hari, tergantung dosis, dan dapsone 2 mg/kg berat badan setiap
hari.Minimnya pengetahuan dan tingginya stigma negatif masayarakat terhadap kusta
membuat penderita enggan untuk berobat dan menyembunyikan penyakitnya. Hal ini
menyebabkan transmisi infeksi terus terjadi danangka kecacatan semakin
tinggi.Sayangnya tingginya kejadian kusta tidak sejalan dengan kasus yang dilaporkan.
Pencegahan kecacatan yang terbaik atau prevention of disability (POD) adalah dengan
melaksanakan diagnosis dini lepra, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat, mengenali
gejala dan tanda reaksi lepra yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan
kortikosteroid secepatnya. Memberikan edukasi pada pasien tentang perawatan misalnya
memakai kacamata, merawat kulit supaya tidak kering dan lainnya apabila terdapat gangguan
sensibilitas
18
Bab III
PROFIL PUSKESMAS
19
3.1.4. Lingkungan Fisik Puskesmas.
1. Puskesmas Twano Entrop memiliki dua bangunan permanen, kondisi bangunan dalam
keadaan baik, ventilasi yang dimiliki cukup dan memiliki jendela yang cukup sehingga
sinar matahari bisa masuk. Pencahayaan cukup baik pada siang hari, sedangkan malam hari
pencahayaan dari listrik PLN. Kebersihan Puskesmas baik karena Puskesmas memiliki
tenaga kebersihan, pekarangan Puskesmas terlihat bersih dan ditanami bunga serta pohon.
2. Sampah yang dihasilkan puskesmas dibagi menjadi dua, sampah basah dan non medis
dikumpulkan lalu diangkut oleh mobil pengangkut sampah milik pemerintah kota Jayapura
sedangkan sampah medis dibawa ke rumah sakit Dian Harapan atau RS umum Abepura
untuk dimusnahkan dengan insenerator.
20
Data Pasien Morbus Hansen /Kusta Pada Bulan Januari- Desember 2020
NO NAMA JENIS UMU SUKU TGL CARA KELAINAN RIWAYA RIWAYA
KELA R MULAI PENEMUAN KULIT T T
MIN (TAH BEROBA PENDERITA DIKETAHUI REAKSI KONTA
(P/L) UN) T SEJAK K
1 Ny. L P 25 bonggo 29/11/2019 suka rela - - -
21
BAB IV
METODE & HASIL
22
3.5 Materi Penelitian
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rekam medis yang berisi data dari
pasien morbus Hansen pada tahun 2020
Analisis data
23
Bab IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Sesuai dengan kriteria penelitian didapatkan data penelitian sebagai berikut:
Jumlah pasien morbus Hansen/kusta di puskesmas twano entrop pada tahun 2020 berjumlah 11
orang masing-masing dilakukan identifikasi tipe kusta berdasarkan ciri-ciri yang ada
pemeriksaan secara mikroskopis.
Penelitian mini project tentang gambaran karakteristik pasien morbus hansen/kusta di puskesmas
twano entrop. Berdasarkan hasil penelitian di dapatkan hasil sebagai berikut :
24
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pasien yang berusia 1-10 tahun sejumlah 0
orang (0%), usia 10-20 tahun sejumlah 2 orang (18%), 20-40 tahun sejumlah 6 orang (55%),
lebih dari 40 tahun sejumlah 3 orang (27%). Penyakit kusta dapat menyerang semua umur,
terbanyak pada umur muda dan produktif.
27%
73%
25
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pasien morbus Hansen di puskesmas twano
entrop lebih banyak berjenis kelamin perempuan sebanyak 8 orang (73 %), dan laki-laki
sebanyak 3 orang (27%).
Berdasarkan tabel 4 diatas dapat diketahui bahwa pasien morbus Hansen berdasarkan
pewarnaan zn di puskesmas twano pausibasiler positif dan negative sejumlah 0 (0%), sedangkan
multibasiler positif sejumlah 7 (64%) dan negative 4 (36%).
26
4.2 PEMBAHASAN
Penyakit kusta dapat menyerang semua umur, terbanyak pada umur muda dan produktif.
Hal ini sejalan dengan penelitian singh et al, 2019, kasus kusta berdasarkan rentang umur yaitu
<24 : 123 (29%), 25-29 : 46 (10.87%), 30-34 : 34 (8,03 %), 40-44 : 71 (16,87%), > 45 : 123
(29%). Data ini sekaligus mengkonfirmasi faktor usia yang sangat beresiko untuk tertular pada
kelompok usia anak-anak, dewasa dan manula.
Berdasarkan tabel 1 pasien morbus Hansen berdasrkan usia di pkm twano entrop diatas
dapat diketahui bahwa pasien yang berusia 1-10 tahun sejumlah 0 orang (0%), usia 10-20 tahun
sejumlah 2 orang (18%), 20-40 tahun sejumlah 6 orang (55%), lebih dari 40 tahun sejumlah 3
orang (27%). Penyakit kusta dapat menyerang semua umur, terbanyak pada umur muda dan
produktif. Penemuan kasus kusta pada anak –anak berkaitan dengan system imun pada anak
yang belum berkembang dengan baik, sehingga masih rentan terhadap infeksi yang mefasilitasi
terjadinya transmisi kusta pada anak-anak. Demikian pula banyak kasus kusta ditemukan pada
kelompok umur muda dan produktif, hal ini berkaitan dengan masa inkubasi penyakit kusta yang
sangat lama menyebabkan penderita kusta baru ditemukan umur 15-60 tahun (Sari,2019)
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 2 terdapat perbedaan jumlah penderita kusta
berdasarkan tipe kusta. Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pasien di puskesmas
twano berdasarkan tipe kusta adalah pasien PB sejumlah 0 orang (0%), MB sejumlah 11 orang
(100%). Tipe PB yaitu terdapat bercak atau macula dengan warna keputihan, ukurannya kecil
dan besar, batas tegas dan terdapat di satu atau beberapa tempat di badan. Tipe MB yaitu terdapat
bercak atau macula bewarna kemerahan, batas macula tidak begitu jelas, kemerahan, tersebar
merata di seluruh badan, terjadi penebalan kulit dengan warna kemerahan (Depkes RI, 2017).
Kusta tipe MB lebih banyak daripada tipe PB disebabkan penyakit kusta tipe MB lebih
mudah menular daripada tipe PB (Amirudin,2015). Hal ini terkonfirmasi data dari WHO dalam
global leprosy tahun 2018, kasus MB lebih banyak sebesar 14.543 orang.Penyakit kusta dapat
ditularkan dari penderita kusta tipe MB kepada orang lain dengan cara penularan langsung.
Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak langsung yang erat dan lama
dengan penderita. Hasil penelitian ini sejalandengan penelitian (Nabila, 2015), didapatkan
27
persentase tipe MB yang lebih banyak yaitu sebanyak 110 orang (91.67%), sedangkan tipe
PByaitu sebanyak 10 orang (8.33%). Tipe MB terjadi pada individu dengan sistem imunitas
tubuh yang rendah, biasanya pada individu usia tua (Hargrave,2015)
Berdasarkan tabel 3 diatas dapat diketahui bahwa pasien morbus Hansen di puskesmas twano
entrop lebih banyak berjenis kelamin perempuan sebanyak 8 orang (73 %), dan laki-laki
sebanyak 3 orang (27%). Perbandingan jumlah pasien kusta di pkm twano lebih banyak
perempuan dibanding laki-laki adalah adanya kasus yang tidak terdeteksi.
WHO, (2012) melaporkan kasus penyakit kusta pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan
perempuan. Beberapa penelitian mendukung laporan tersebut. Penelitian oleh Nabila, (2012)
didapatkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 90 orang (75%), sedangkan perempuan sebanyak 30
orang (25%). Sajian data (Tami, 2019) kasus penyakit kusta PB di Jawa Timurtahun 2017 laki-
laki lebih tinggi daripada perempuan yaitu masing-masing 281 dan 250. Demikian pula data
sajian (Singh et al. 2019), kasus kusta laki lebih tinggi 248 (58,6%) dibandingkan perempuan
175 (41,4%). Kecenderungan prevalensi ini karena laki-laki lebih tak acuh terhadap
kesehatannya dibandingkan perempuan sangat peduli dan proaktif memperhatikan kesehatan
khususnya kesehatan kulitnya.
Berdasarkan tabel 4 diatas dapat diketahui bahwa pasien morbus Hansen berdasarkan
pewarnaan zn di puskesmas twano pausibasiler positif dan negative sejumlah 0 (0%), sedangkan
multibasiler positif sejumlah 7 (64%) dan negative 4 (36%). Hasil pemeriksaan negatif bukan
berarti basil kusta tidak ada sama sekali di dalam tubuh si penderita. Pemeriksaan hanya akan
menunjukkan hasil positif bila pada setiap gram kulit (hasil kerokan dari pemeriksaan apusan
kulit) terdapat minimal 10.000 basil (Amiruddin, 2015).
Hasil indeks bakteriologis yang sebagian besar negatif, bisa disebabkan karena kebanyakan
pasien kusta MB adalah tipeMid borderline sehingga bakteri yang ada hanya sedikit dan
relatifsukar ditemukan (Wulan, 2014). Hasil negatif pada pemeriksaan BTA juga bisa
disebabkan karena tingkat virulensi bakteri kusta, status gizi, serta daya tahan tubuh responden
hingga menimbulkan gejala kusta. Hasil negatif pada pemeriksaan mikroskopik juga bisa terjadi
karena kesalahan pada saat pengambilan sampel, pewarnaan dan kesalahan baca, kualitas sediaan
yaitu terlalu tebal atau tipisnya sediaan, pewarnaan, ukuran, kerataan, kebersihan, dan kualitas
spesimen (Regan, 2015)
28
BAB V
KESIMPULAN
Karakteristik penderita morbus Hansen atau kusta di wilayah kerja puskesmas twano entrop
jayapura berdasarkan usia lebih banyak usia 20-40 tahun, berdasarkan tipe kusta dari 11
sampel paling banyak tipe kusta MB, berdasarkan jenis kelamin persentase tertinggi berasal
dari jenis kelamin perempuan, berdasarkan pewarnaan Zn lebih banyak positif pada tipe MB.
29
DAFTAR PUSTAKA
30