Anda di halaman 1dari 44

MINI PROJECT

GAMBARAN PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG PENYAKIT


KUSTA DI UPT PUSKESMAS GADINGREJO KOTA PASURUAN

Disusun Untuk Melengkapi

Syarat Internsip di UPT Puskesmas

Gadingrejo

Kota Pasuruan, Jawa Timur

Disusun Oleh :
dr. Azzam Fazya

Pendamping : dr. Ahmad Mustofa

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA PERIODE 2022-2023

UPT PUSKESMAS GADINGREJO KOTA PASURUAN, JAWA TIMUR

2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan
masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis
tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan
sosial (Kemenkes, 2012). Penyakit ini dapat berdampak pada kecacatan yang
permanen jika tidak ditangani dengan baik. Tidak hanya bagi segi medis saja, kusta
juga berpengaruh terhadap masalah sosial dan ekonomi (Depkes, 2007).
Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia. Menurut WHO, jumlah kasus baru
kusta pada tahun 2011 adalah sekitar 219.075. dari jumlah tersebut kasus paling
banyak adalah di regio Asia Tenggara, yaitu sekitar 160.132, diikuti regio Amerika
(36.832), regional Afrika (12.673), dan sisanya berada di regional lainnya di dunia
(Kemenkes RI, 2012).
Berdasarkan laporan WHO (2005) prevalensi kusta di Indonesia menempati
peringkat ketiga setelah India (1,98 per 10.000 penduduk), dan Brazil (1,59 per 10.000
penduduk), yaitu 0,98 per 10.000 penduduk. Angka Penemuan Kasus Baru Indonesia:
6,07 per 100.000 penduduk. Total kasus baru sebanyak 15.910. Secara Nasional,
Indonesia sudah mencapai eliminasi kusta (angka kasus kusta terdaftar atau angka
prevalensi <1/10.000 penduduk) pada tahun 2000. Namun masih ada 10 Provinsi yang
belum mencapai eliminasi kusta. Selanjutnya di tingkat Kabupaten/Kota, pada akhir
tahun 2017 masih tedapat 142 Kabupaten/Kota belum mencapai eliminasi kusta yang
tersebar di 22 Provinsi. (Kemenkes RI, 2019).
Secara nasional angka cacat tingkat II pada tahun 2013 sebesar 6,82 per 1 juta
penduduk, menurun dibanding tahun sebelumnya 2012 yang sebesar 8,71 per 1 juta
penduduk dan tahun 2013 Provinsi Jawa Timur angka cacat tingkat II sebesar 13,61 per
1 juta penduduk. Hasil evaluasi P2 Kusta Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun
2012 adalah kasus kecacatan cukup tinggi (14%) di 33 kabupaten atau kota dan 50%
kabupaten atau kota penyumbang kasus anak. Kabupaten Gresik merupakan salah satu
perbatasan dari Kabupaten Lamongan, yang ada di wilayah pantai utara Jawa Timur
tahun 2010 kasus penderita kusta sebanyak 152 kasus. Jumlah kasus penderita kusta di
Kabupaten Gresik tahun 2011 sebanyak 156 penderita dan proporsi cacat 12,8%
sedangkan tahun 2012 sebanyak 110 penderita tetapi proporsi cacat meningkat menjadi
22,7%, kondisi ini melebihi target program pemerintah yaitu proporsi cacat tidak boleh
lebih dari 5%, data angka kecacatan dari mulai tahun 2009 sampai 2012.
1
Berdasarkan bebannya, kusta dibagi menjadi dua kelompok, yaitu beban kusta
tinggi (high burden) dan beban kusta rendah (low burden). Provinsi disebut high
burden jika NCDR (new case detection rate: angka penemuan kasus baru > 10 per
100.000 penduduk dan atau jumlah kasus baru lebih dari 1000. Sedangkan disebut
low burden jika NCDR <10 per 100.000 penduduk dan atau jumlah kasus baru
kurang dari 1000 kasus. Pada tahun 2011-2013 terdapat 14 provinsi (42,4%) termasuk
dalam beban kusta tinggi. Sedangkan 19 provinsi lainnya (57,6%) termasuk dalam
beban kusta rendah. Pada Tahnu 2013 jawa Timur masih termasuk dalam provinsi
high burden dengan angka NCDR 10.80% dan jumlah kasus baru sebanyak 4.132
jiwa. Dalam hal ini Jawa Timur menempati peringkat pertama dalam jumlah kasus
baru kusta terbanyak di Indonesia (Kemenkes RI, 2015).

2
.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang yang dikemukakan di atas, maka yang
menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah “Gambaran Pengetahuan
Masyarakat Tentang Penyakit Kusta d i W i l a y a h UPT Puskesmas Gadingrejo
Kota pasuruan.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat mengenai penyakit
kusta sehingga diharapkan dapat menjadi dasar dalam melakukan intervensi untuk
menurunkan prevalensi penyakit kusta di wilayah kerja UPT Puskesmas Gadingrejo
2. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi gambaran tingkat pengetahuan masyarakat mengenai
gejala, penyebab dan pengobatan penyakit kusta.
2. Mengidentifikasi gambaran tingkat pengetahuan masyarakat mengenai
cara penularan dan pencegahan serta Kecacatan penyakit kusta.

D. Manfaat Penelitian
1. Untuk Puskesmas

 Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan masyarakat mengenai penyakit


kusta sehingga dapat diketahui sejauh mana upaya edukasi perlu diberikan.
 Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Gadingrejo dalam peningkatan
pelayanan kesehatan baik dalam hal penemuan kasus kusta baru maupun
pencegahan penularan penyakit kusta.

3
2. Untuk Masyarakat
 Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai penyakit kusta,
gejala, cara penularan dan pencegahannya.
 Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk segera periksa atau melaporkan
bila menemukan gejala kusta sehingga bisa segera mendapatkan pengobatan
dan mencega penularan.
3. Untuk Dokter Internship
 Merupakan kesempatan untuk menambah pengalaman serta menerapkan ilmu
kedokteraan terutama Ilmu Kesehatan Masyarakat.
 Meningkatkan keilmuan mengenai penyakit kusta.
 Meningkatkan keterampilan komunikasi di masyarakat juga meningkatkan
kemampuan berpikir analisis dan sistematis dalam mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah kesehatan.
 Meningkatkan kemamapuan berpikir analisis dan sistematis dalam
mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah kesehatan.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Morbus Hansen (Kusta, kepra) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi kuman
Mycobacterium Leprae. Morbus Hansen menyerang berbagai bagian tubuh, diantaranya
saraf dan kulit. Penyakit ini adalah tipe granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa saluran
pernafasan atas. Lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar (Kemenkes RI,
2015).
Istilah kusta berasal dari Bahasa Sansakerta, yakni kustha yang berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum. Sedangkan istilah Morbus Hansen berasal dari nama
penemu kuman Mycobacterium Leprae, yaitu dr Gerhard Armauer Henrik Hansen dari
Norwegia (Kemenkes RI, 2015).

II. ETIOLOGI
Penyebab penyakit Morbus Hansen adalah bakteri Mycobacterium Leprae.
Mycobacterium Leprae merupakan kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk
batang, dikelilingi oleh membrane sel lilin yang merupakan ciri dari spesies
Mycobacterium, berukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro, biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam
(BTA) dan gram positif. Mycobacterium Leprae belum dapat dikultur dalam
laboratorium. Kuman ini menular pada manusia melalui ontak langsung (keduanya harus
ada lesi baik secara mikroskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama
dan berulang-ulang), dan melalui pernafasan. Kuman ini berkembangbiak dalam 2-3
minggu. Masa inkubasi rata-rata kuman ini adalah 2-5 tahun, bahkan ada juga yang lebih
dari 5 tahun. Setelah 5 tahun tanda-tanda penyakit lepra akan mulai muncul (Kemenkes
RI, 2015).

5
Gambar 5. Mycobacterium Leprae

III. GEJALA KLINIS


Gejala klinis penyakit morbus hansen diantaranya berikut ini:
1. Kelainan syaraf tepi
Kerusakan syaraf tepi bisa bersifat sensorik, motoric, dan autonomic. Sensorik
biasanya berupa hipoestesi maupun anastesi pada lesi kulit yang terserang.
Motoric biasanya berupa kelemahan otot, bias di daerah ekstremitas atas, bawah,
muka dan otot mata. Autonomic menyerang persyarafan kelenjar keringat
sehingga lesi yang terserang lebih kering.
Gejala lainnya adalah adanya perbesaran syaraf tepi, terurtama yang dekat
dengan permukaan kulit, antara lain: n.ulnaris, n. aurikularis magnus, n.
peroneus komunis, n. tibialis posterior, dan beberapa syaraf tepi lainnya
(Murtiastutik, 2013).
2. Kelainan kulit dan organ lain.
Kelainan kulit bisa berupa hipopigmentasi ataupun eritematus dengan adanya
gangguan estesi yang jelas. Bila gejala lanjut maka dapat timbul gejala-
gejala akibat banyaknya kuman, yaitu:
-fascies leonine (gejala infiltrasi yang difus di muka).
-penebalan cuping telinga
-madarosis (penipisan alis bagian lateral)
-anestesi simetris pada kedua tangan-kaki (gloves & stocking anesthesia)
(Murtiastutik, 2013).

6
Gambar 6. Madarosis, lagoftalmus, dan saddle nose pada pasien lepra
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan bakteriologis
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan pewarnaan Ziehl Nielsen, dengan
sediaan diambil dari kedua cuping telinga dan lesi yang ada di kulit.
Kepadatan kuman dinatakan dalam:
1. Indeks bakteri: ukuran semi kwantitatif dengan nilai 1+ sampai 6+
( - ) : Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan pandangan.
(1+) : 1 - 10 kuman BTA ditemukan dalam 100 lapangan pandangan.
(2+) : 1 - 10 kuman BTA ditemukan dalam 10 lapangan pandangan.
(3+): 1 - 10 kuman BTA ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan pandangan.
(4+): 10 - 100 kuman BTA ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan pandangan.
(5+): 100 – 1000 kuma BTA ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan pandangan.
(6+): > 1000 kuman BTA ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan pandangan
(WHO, 2019)
2. Indeks morfologi: merupakan persentase bentuk utuh/ solid terhadap seluruh
kuman basil tahan asam.
Jumlah M. leprae yang berbentuk utuh atau solid per 100 Mycobacterium leprae
a. Bentuk utuh (solid) dengan dinding yang tidak terputus dan menyerap zat
warna secara merata
b. Bentuk pecah-pecah atau terputus-putus (fragmented) dengan dinding terputus
sebagian atau seluruhnya.

7
c. Bentuk butir-butir (granulated): seperti titik-titik (butir-butir) tersusun
membentuk garis lurus atau berkelompok.
d. Bentuk globus : sejumlah kuman kusta (50 – 200 kuman) yang utuh (solid)
atau putus-putus (fragmented) atau butir-butir (granulated) berkelompok dalam
suatu bentuk ikatan atau lingkaran.
e. Bentuk kelompok (clumps) : sejumlah kuman kusta bentuk butir-butir
(granulated) membentuk kelompok (pulau-pulau) tersendiri dengan lebih dari ±
500 BTA (Tamba, 2010)
b. Pemeriksaan Serologis
1. Lepromin test
2. MLPA (Mycobacterium Lepra Particle Agglutination)
3. PCR (Polimerase Chain Reaction)

II. DIAGNOSIS
Berdasarkan EHO pada tahun 1997, diagnosis berdasarkan pada adanya tanda
utama /cardinal sign, yaitu:
1. Kelainan kulit hipopigmentasi atau eritematosa dengan anestesi yang jelas
2. Penebalan saraf tepi disertai gangguan fungsi (mati rasa dan atau kelemahan otot, di
daerah yang dipersarafi saraf yang bersangkutan)
3. Hapusan kulit positif untukan tahan asam
Diagnose ditegakkan bila dijumpai satu dari tanda-tanda di atas (Murtiastutik, 2013)

III. KLASIFIKASI
Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka tahap selanjutnya menentukan
tipe/klasifikasi penyakit kusta yang diderita. Klasifikasi penyakit kusta bertujuan untuk
menentukan jenis dan lamanya pengobatan penyakit, sertawaktu penderita dinyatakan
Release from Treatment ( RFT)
A. Klasifikasi Internasional (Madrid,1953):
a. Indeterminate (I)
Terdapat kelainan kulit berupa makula berbentuk bulat yang berjumlah 1 atau 2.
batas lokasi dipantat, kaki, lengan, punggung pipi. Permukaan halus dan licin.
b. Tuberkuloid (T)

8
Terdapat makula atau bercak tipis bulat yang tidak teratur dengan jumlah lesi 1
atau beberapa. Batas lokasi terdapat di pantat,punggung, lengan, kaki, pipi.
Permukaan kering, kasar sering dengan penyembuhan di tengah.
c. Borderline (B)
Kelainan kulit bercak agak menebal yang tidak teratur dan tersebar. Batas lokasi
sama dengan Tuberkuloid.
d. Lepromatosa (L)
Kelainan kulit berupa bercak-bercak menebal yang difus, bentuk tidak jelas.
Berbentuk bintil-bintil (nodule), macula-makula tipis yang difus di badan, merata
di seluruh badan, besar dan kecil bersambung simetrik

B. Klasifikasi Ridley-Jopling (1962)


Pada klasifikasi ini penyakit kusta adalah suatu spektrum klinis mulai dari daya
kekebalan tubuhnya rendah pada suatu sisi sampai mereka yang memiliki kekebalan
yang tinggi terhadap M.leprae di sisi yang lainnya. Kekebalan seluler (cell mediated
imunity = CMI) seseorang yang akan menentukan apakah dia akan menderita kusta
apabila individu tersebut mendapat infeksi M.leprae dan tipe kusta yang akan
dideritanya pada spektrum penyakit kusta. Sistem klasifikasi ini banyak digunakan
pada penelitian penyakit kusta, karena bisa menjelaskan hubungan antara interaksi
kuman dengan respon imunologi seseorang, terutama respon imun seluler spesifik.

Gambar 7. Hubungan tipe kusta dengan jenis imunitas menurut Ridley Jopling
a. Tipe Tuberkuloid tuberkuloid (TT)

9
Lesi berupa bercak makuloanestetik dan hipopigmentasi yang terdapat di semua
tempat terutama pada wajah dan lengan, kecuali: ketiak, kulit kepala (scalp),
perineum dan selangkangan. Batas lesi jelas berbeda dengan warna kulit
disekitarnya. Hipopigmentasi merupakan gejala yang menonjol. Lesi dapat
mengalami penyembuhan spontan atau dengan pengobatan selama tiga tahun.
b. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
Gejala pada lepra tipe BT sama dengan tipe TT, tetapi lesi lebih kecil, tidak
disertai adamya kerontokan rambut, dan perubahan saraf hanya terjadi
pembengkakan.
c. Tipe Mid Borderline (BB)
Pada pemeriksaan bakteriologis ditemukan beberapa hasil, dan tes lepromin
memberikan hasil negatif. Lesi kulit berbentuk tidak teratur, terdapat satelit yang
mengelilingi lesi, dan distribusi lesi asimetris. Bagian tepi dari lesi tidak dapat
dibedakan dengan jelas terhadap daerah sekitarnya. Gejala-gejala ini disertai
adanya adenopathi regional.
d. Tipe Borderline Lepromatous (BL)
Lesi pada tipe ini berupa macula dan nodul papula yang cenderung asimetris.
Kelainan syaraf timbul pada stadium lanjut. Tidak terdapat gambaran seperti yang
terjadi pada tipe lepromatous yaitu tidak disertai madarosis, keratitis, uslserasi
maupun facies leonine.
e. Tipe Lepromatosa (LL)
Lesi menyebar simetris, mengkilap berwarna keabu-abuan. Tidak ada perubahan
pada produksi kelenjar keringat, hanya sedikit perubahan sensasi. Pada fase lanjut
terjadi madarosis (rontok) dan wajah seperti singa, muka berbenjol-benjol (facies
leonine)

c. Klasifikasi WHO (1982)


WHO membagi berdasarkan pengobatanmenjadi dua tipe, yaitu pausibasiler (PB) dan
multibasiler (MB)
a. Tipe PB (Pausibasiler)
Kusta tipe PB adalah penderita kusta dengan Basil Tahan Asam (BTA) pada
sediaan apus, yakni tipe I (Indeterminate), TT (tuberculoid) dan BT (borderline

10
tuberculoid) menurut kriteria Ridley dan Jopling dan hanya mempunyai jumlah
lesi antara 1-5 pada kulit. Kusta tipe PB adalah tipe kusta yang tidak menular.
b. Tipe MB (Multibasiler)
Kusta MB adalah semua penderita kuta tipe BB (mid borderline), BL (borderline
lepromatous) dan LL (lepromatosa) menurut kriteria Ridley dan Jopling dengan
jumlah lesi 6 atau lebih dan skin smear positif. Kusta tipe MB adalah tipe yang
dapat menular.
Kelainan
kulit dan
No Pausi Basiler (PB) Multi Basiler (MB)
hasil
pemeriksaan
1 Bercak (makula) mati rasa
a. Jumlah 1-5 >5
b. Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil
Unilateral dan
c. Distribusi Bilateral dan simetris
bilateral asimetris
d. Konsistensi Kering dan kasar Halus, berkilat
e. Batas Tegas Tidak tegas
f. Kehilangan Biasanya tidak jelas,
rasa pada Selalu ada dan jelas Jika ada, terjadi pada
bercak yang sudah lanjut
g.Kehilangan
kemampuan Bercak tidak Bercak masih
berkeringat, berkeringat, ada bulu berkeringat, bulu tidak
bulu rontok rontok pada bercak. rontok pada bercak
pada bercak
2. Infiltrat
Ada, kadang-kadang
a. kulit Tidak ada
tidak ada
b. Membran
mukosa
(hidung Ada, kadang-kadang
Tidak pernah ada
tersumbat, tidak ada
perdarahan di
hidung)

11
Punched out lesion
(lesi bentuk donat),
Central healing
madarosis,
3. Ciri-ciri (penyembuhan di
ginekomasti, hidung
tengah)
pelana, dan suara
sengau
4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
Deformitas Terjadi pada stadium
5. Biasanya terjadi dini
(cacat) lanjut
6. Apusan BTA negatif BTA positif

IV. PENGOBATAN
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang dianjurkan oleh WHO.
Regimen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pausi Basiler (PB)
a. Jenis dan obat untuk orang dewasa:
 Rifampicin 600 mg/bulan dan DDS 100 mg / hari ditelan di depan petugas.
 DDS 100 mg / hari diminum di rumah.
b. Jenis dan dosis obat untuk anak-anak :
 DDS 1-2 mg / kg berat badan
 Rifampisin 10-15 mg / kg barat badan
c. Lama pengobatan
Lama pengobatan untuk penderita tipe PB adalah selama 6-9 bulan.
2. Multibasiler (MB)
Untuk kusta tipe MB, terdiri atas kombinasi rifampisin, dapson, klofazimin
(lamprene).
a. Jenis dan dosis obat untuk orang dewasa:
 Lamprene 300 mg / bulan
 Rifampisin 600 mg / bulan
 DDS 100 mg / bulan
Ketiga obat ini ditelan di depan petugas setiap bulan.
 DDS 100 mg / hari

12
 Lamprene 50 mg / hari
Kedua obat ini diminum di rumah.
b. Dosis Lamprene untuk anak-anak:
Umur dibawah 10 tahun :
 Bulanan : 100 mg / bulan
 Harian : 50 mg / 2 kali / minggu
Umur 11 – 14 tahun :
 Bulanan : 200 mg / bulan
 Harian : 50 mg / 3 kali / minggu
Lama pengobatan 12-18 bulan
(Kemenkes RI, 2012)
V. REAKSI KUSTA
Reaksi kusta adalah episode akut dalam perjalanan kronis penyakit kusta,
merupakan reaksi kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibodi (humoral
response) yang merugikan terutama jika mengenai saraf tepi karena menyebabkan
gangguan fungsi (cacat) (Vionni dkk, 2016)
Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan tetapi terutama selama atau setelah
pengobatan. Meskipun gambaran klinis bakteriologis histopatologis, ataupun faktor
pencetus reaksi kusta sudah diketahui jelas, penyebab pasti belum diketahui. Reaksi ini
mungkin menggambarkan episode hipersensitivitas akut terhadap antigen basil yang
mengganggu keseimbangan imunitas (Kemenkes RI, 2012).
Reaksi kusta dapat diklasifiikasikan menjadi reaksi kusta tipe 1 (Reaksi reversal
upgrading) dan reaksi kusta tipe 2 (Eritema nodusum leprosum). Reaksi kusta yang lain
adalah fenomena lucio, yaitu bentuk reaksi kusta yang lebih berat.

13
Terdapat perbedaan prinsip imunologis antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada
reaksi tipe 1 yang memegang peranan adalah sistem imunitas seluler (SIS), sedangkan
pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah imunitas humoral.
Gambar 8. Hubungan tipe reaksi dan jenis imunitas serta sitokin yang

mempengaruhi menurut Ridley Jopling


A. REAKSI KUSTA TIPE 1
Reaksi tipe 1 mempunyai ciri khas yaitu timbulnya inflamasi akut dari lesi kulit
atau saraf ataupun keduanya. Kusta bentuk borderline (BT, BB, BL) merupakan
risiko kuat terjadinya reaksi tipe 1 namun dapat terjadi pada kusta bentuk polar.
Reaksi kusta tipe 1 mempunyai onset cepat, sering, berulang, dan dapat merusak
saraf.
a. Patogenesis
Reaksi kusta tipe 1 merupakan delayed hypersensitivity reaction seperti halnya
reaksi hipersensitivitas tipe IV. Infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae) dapat
memicu ekspresi MHC kelas II pada permukaan sel. Hal ini akan memicu limfosit
CD4 membunuh sel terinfeksi dengan mediasi sitokin seperti TNF. Pada dasarnya
reaksi tipe 1 terjadi akibat perubahan keseimbangan antara imunitas dan basil,
hasilnya dapat terjadi upgrading/ reversal ataupun downgrading.
Reaksi tipe 1 ini diartikan reaksi reversal karena paling sering dijumpai
terutama pada kasus-kasus yang mendapatkan pengobatan, sedangkan down
grading reaction lebih jarang dijumpai karena berjalan lebih lambat dan
umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak mendapat pengobatan. Meskipun

14
secara teoritis reaksi tipe 1 dapat terjadi pada semua bentuk kusta subpolar, tapi
jauh lebih sering terjadi pada bentuk BB sehingga disebut reaksi borderline.
Reaksi ini ditandai dengan lesi yang bertambah aktif dan/atau timbul lesi baru
dalam waktu relatif singkat. Lesi hipopigmentasi menjadi eritema lesi makula
menjadi infiltrat dan lesi meluas.
b. Gejala Klinis
Gejala berupa perubahan lesi kulit ataupun saraf akibat peradangan karena
antigen M. leprae terdapat pada saraf dan kulit khususnya sel Schwan dan
makrofag. Manifestasi lesi kulit berupa kemerahan bengkak nyeri dan panas. Pada
saraf dapat terjadi neuritis dan gangguan fungsi saraf. Gejala konstitusi umumnya
lebih ringan dibanding reaksi tipe 2.
Reaksi tipe 1 dapat dibedakan menjadi reaksi ringan dan berat
Gejala Reaksi Ringan Reaksi Berat
Lesi Kulit Tambah aktif, menebal Lesi bengkak sampai
merah, panas, nyeri,i pecah, merah, panas,
makula membentuk nyeri, kaki dan tangan
plaque benHkak, ada kelainan
kulit baru, sendi nyeri
Saraf Tepi Tidak ada nyeri tekan Nyeri tekan dan/atau
dan gangguan fungsi gangguan fungsi

c. Pengobatan
Pasien kusta harus diedukasi mengenai risiko reaksi kusta tipe 1 saat
mendapatkan pengobatan MDT. sehingga dapat mencari pertolongan. Pengobatan
reaksi kusta tipe 1 bertujuan untuk mengatasi inflamasi akut, rasa nyeri dan
kerusakan saraf. Pengobatan MDT seharusnya dimulai atau dilanjutkan pada
pasien dengan reaksi kusta tipe 1 tanpa mengurangi dosis. Pasien reaksi kusta tipe
1 ringan diobati dengan analgetik dan sedatif bila perlu. Reaksi kusta tipe 1 berat
diobati dengan kortikosteroid oral 30-40 mg setiap hari selama satu bulan dan
diturunkan 5 mg tiap bulan.
B. REAKSI KUSTA TIPE 2
ENL atau reaksi kusta tipe 2 merupakan komplikasi imunologi BL dan LL yang sulit
diatasi. Sebagian besar pasien dengan reaksi tipe 2 mengalami beberapa episode

15
dalam beberapa tahun, baik sebagai episode akut yang multipel maupun ENL. Kronis.
Manifeestasi kulit reaksi tipe 2 berupa lesi eritema luas, nodul inflamasi, dan papul
superfisial atau dalam. Ulkus, nekrosis, pustule, dan bulae juga ditemukan. Neuritis
dapat terjadi sebagai bagian dari reaksi tipe 2, namun neuritis pada reaksi tipe 2 tidak
seberat pada reaksi tipe 1. Reaksi tipe 2 dapat diikuti gejala sistemik seperti demam
tinggi, edema perifer, dan proteinuSia transien.
a. Patogenesis
Reaksi tipe 2 berhubungan dengan bakteri yang hancur, antigen serta
intensitas produksi antibodi. Patogenesis reaksi tipe 2 belum jelas. Konsentrasi
antigen bakteri yang tinggi dalam jaringan akan meningkatkan kadar antibodi
IgM dan IgG penderita tipe lepromatosa. Mekanisme imunopatolori penting pada
reaksi tipe 2 berupa formasi dan berkurangnya kompleks imun serta aktivasi
sistem komplemen dengan meningkatnya mediator inflamasi. Pada kusta tipe
lepromatosa aktivasi limfosit Th2 mempengaruhi produksi interleukin IL-4 dan
IL10 yang akan menstimulasi respons imun humoral dan intensitas produksi
antibodi limfosit B. Sebanyak 15- 50% kusta tipe lepromatosa berkembang
menjadi reaksi tipe 2.
Beratnya reaksi tipe 2 disebabkan oleh meningkatnya produksi sitokin oleh
limfosit Th2 sebagai respons imun tubuh untuk mengatasi peradangan. Tumor
necrosis factor alpha (TNF-α) dan interferon gamma (IFN-γ) merupakan
komponen sitokin spesifik pada ENL. Sirkulasi TNF yang tinggi terjadi pada
reaksi tipe 2 diduga akibat sel mononuklear pada darah tepi yang dapat
meningkatkan jumlah TNF.
b. Gejala Klinis
Reaksi tipe 2 sering timbul dengan gejala lesi menjadi lebih eritema mengilap,
sebagian kecil berupa nodul atau plakat dengan ukuran bermacam- macam namun
pada umumnya kecil. Lesi terdistribusi bilateral dan simetris terutama di daerah
tungkai bawah, wajah, lengan dan paha, dapat muncul di hampir seluruh bagian tubuh
kecuali daerah kepala yang berambut, aksila lipatan paha dan perineum. Selain itu
didapatkan nyeri pustulasi dan ulserasi disertai gejala sistematik seperti demam dan
malaise. Perlu juga memperhatikan keterlibatan organ lain seperti saraf, mata, ginjal,
sendi, testis dan kelenjar limfe.

16
Gejala Reaksi Ringan Reaksi Berat
Lesi Kulit Nodul nyeri tekan, Nodul nyeri tekan,
jumlah sedikit, hilang pecah, jumlah banyak,
2-3 hari berlangsung lama
Keadaan Tidak demam atau Demam ringan sampai
Umum demam ringan berat
Saraf Tepi Tidak ada nyeri saraf Ada nyeri saraf dan
dan gangguan fungsi gangguan fungsi
O r g a n Tubuh Tidak ada gangguuan Peradangan pada mata,
testis, limpa, gangguan
pada tulang hidung dan
tenggorokan

c. Pengobatan
Tujuan pengobatan ENL adalah mengendalikan inflamasi, rasa nyeri, dan pencegahan
kecacatan. Kasus ringan dapat diobati tanpa kortikosteroid. Kortikosteroid
Prednison sering dipakai untuk pengobatan reaksi kusta tipe 2 berat, namun WHO
tidak menetapkan dosis. pada umumnya dosis awal prednison 15 - 30 mg per hari,
dikurangi bertahap berdasarkan respons pasien.
Thalidomide
Sangat efektif untuk reaksi kusta tipe 2 berat. Thalidomide mempunyai onset kerja
cepat. Thalidomide bekerja melalui TNF dan juga beberapa mekanisme lain.
Penggunaan thalidomide dapat mengurangi dosis kortikosteroid pada pasien reaksi
kusta tipe 2 yang berat. Dosis awal thalidomide 400 mg dikurangi menjadi 300 mg
secepat mungkin, dosis dapat dikurangi 100 mg per bulan. Pemberian thalidomine
pada wanita hamil harus hati-hati karena mempunyai efek teratogenik. Di Indonesia
obat ini tidak ada.
Klofazimin
Merupakan anti-inflamasi yang dapat digunakan untuk reaksi kusta tipe 2 berat.
Klofazimin mempunyai onset kerja lambat. Dosis 300 mg per hari dapat mengontrol
reaksi kusta tipe 2. Dosis ini tidak boleh diberikan lebih dari 12 bulan

17
FENOMENA LUCIO

Fenomena lucio merupakan reaksi kusta sangat berat pada kusta tipe lepromatosa non-nodular
difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrat difus merah muda bentuk tidak teratur dan
terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat
tampak lebih eritema disertai purpura, bulae kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta
ulserasi yang nyeri. Penyembuhan lesi lambat dan akhirnya terbentuk jaringan parut.
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis pembuluh
darah superfisial, edema dan proliferasi endotel pembuluh darah lebih dalam. Didapatkan basil
M. leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat polimononuklear seperti pada
ENL, namun dengan imunofluoresen tampak deposit imonoglobulin dan komplemen di dalam
dinding pembuluh darah. Titer kompleks imun yang beredar dan krigobulin sangat tinggi pada
semua penderita.
MDT harus dimulai atau dilanjutkan pada pasien kusta dengan fenomena lucio. Teraapi
tambahan berupa kortikosteroid dosis tinggi dan diturunkan perlahan sesuai kondisi pasien.
Terapi suportif memegang peranan penting untuk memperbaiki keadaan umum pasien dan
menghindari komplikasi infeksi lain. Plasmaferesis dapat dilakukan pada pasien yang mengalami
reaksi persisten.

I. Pengetahuan
1. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan
atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya suatu tindakan
atau suatu perubahan tingkah laku. (Notoatmodjo, 1993)
2. Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (1993), pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif
mempunyai 6 tingkatan, yakni :
1. Tahu (Know)
Tahu merupakan pengetahuan hapalan yang meminta responden untuk
mengenal dan mengetahui adanya konsep, fakta, atau istilah-istilah tanpa harus

18
19
mengerti atau dapat menilai ataudapat menggunakan, hanya menuntut untuk
menyebutkan kembali atau menghapal saja.
2. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut
secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat
menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, dan meramalkan terhadap
objek yang dipelajari.
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi di sini dapat
diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hokum-hukum, rumus, metode,
prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
ke dalam komponen-komponen tetapi masih di dalam satu struktur organisasi
dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu komponen untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru,
atau kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang
ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian-penilaian itu didasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau
menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada

20
BAB III
METODELOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian Deskriptif dengan rancangan
untuk mengetahui atau melihat gambaran tingkat pengetahuan masyarakat terhadap
penyakit kusta di Desa Kumitir Puskesmas Jatirejo tahun 2019. Serta mengadakan analisa
tentang gambaran tersebut dengan pengamatan lisan dengan alat bantu penelitian berupa
kuesioner, dimana data dan informasi yang menyangkut variable bebas dan variable
terikat dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan. Pemilihan rancangan ini didasarkan

21
karena mudah dilaksanakan, ekonomis dan efektif dari segi biaya dan waktu, sedangkan
hasilnya dapat diperoleh dengan cepat dan tepat.

B. Tempat dan Waktu


Penelitian Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di RT 4 dan RT 3 Desa Kumitir Kecamatan Jatirejo

2 Waktu Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan pada 9-13 Agustus 2019, jam 09.00 - selesai

C. Metode Pengambilan Sampel


Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti, dan
dianggap dapat mewakili seluruh populasi. (Notoatmojo, 2002). Dalam hal ini sampel
diambil adalah warga yang tinggal di wilayah Desa Mrisen yaitu sebanyak 20 orang.
1. Teknik Pengambilan Sampel
Metode pengambilan sampel pada penelitian ini yaitu dengan cara Consecutive
Sampling, yaitu cara pengambilan sampel yang dilakukan dengan cara memilih sampel
yang memenuhi kriteria penelitian sampai kurun waktu tertentu sehingga jumah sampel
terpenuhi. Kriteria yang ditentukan penelit pada enelitian ini yaitu warga yang tinggal di
sekitar penderita kusta.
Dalam pengumpulan data ini dilakukan langsung oleh peneliti dengan melakukan
kunjungan ke rumah warga di RT 4 dan RT 3 Desa Kumitur Kecamatan Jatirejo pada
responden sampel terpenuhi untuk mendapatkan data primer.
D. Kerangka Konsep
Menurut Notoatmodjo (2002) yang dimaksud dengan kerangka konsep penelitian adalah
suatu hubungan atau keterkaitan antara konsep yang satu dengan konsep yang lainnya dari
masalah yang diteliti

Pengetahuan Masyarakat mengenai


Sikap dan
kusta Prevalensi Kusta
Perilaku
Masyarakat dalam

Pencegahan Kusta

22
Keterangan:

:Diteliti
: Tidak diteliti

Gambar. Kerangka Konsep Penelitian

Untuk pengukuran pengetahuan dapat dilakukan melalui penyebaran kuesioner


dengan cara tatap muka yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari objek
penelitian atau responden berdasarkan teori yang ada di tinjauan pustaka. Dengan metode
skoring diberikan :
- Bila salah nilai = 0
- Bila benar nilai = 1
Dengan cara penilaian =
Nilai yang diberi x 100%
Jumlah item pertanyaan
Dengan kategori rendah jika jawaban < 55 % dari total nilai, dan kategori sedang
bila 56 – 75 %, serta kategori tinggi ≥ 76 % dari total nilai (Riduwan, 2009)

E. Jenis dan Cara Pengumpulan Data


Dalam pengumpulan data ini dilakukan langsung oleh peneliti pada masyarakat di
RT 3 dan RT 4 Desa kumitir, Kecamatan Jatirejo dalam kurun waktu Agustus 2019. Data
penelitian berupa :
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber utama yang berkaitan
dengan masalah yang diteliti, baik pengolahan maupun analisis dan publikasi yang
dilakukan sendiri. (Machfoedz, 2006). Data primer ini berupa data identitas responden
dan hasil kuesioner (mengenai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan sikap warga
terhadap kehamilan risiko tinggi), serta wawancara langsung dengan masyarakat yang
tinggal di wilayah kerja Puskesmas Jatirejo.
2. Data sekunder

23
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil laporan atau penelitian orang lain
atau studi kepustakaan. (Machfoedz, 2006). Data sekunder ini berupa diperoleh dari
Profil Puskesmas, laporan Poliklinik Puskesmas Jatirejo, laporan petugas Surveilans
dan petugas KIA Puskesmas Jatirejo, serta data lainnya yang berasal dari studi
kepustakaan. Data sekunder ini berupa data jumlah penduduk, data ketenagaan dan
sarana kesehatan, mata pencaharian penduduk, data demografi Puskesmas Jatirejo,
data penderita kusta, serta tinjauan kepustakaan mengenai kehmilan risiko tinggi
F. Pengolahan Data
Semua data yang diperoleh dicatat, diolah secara manual kemudian disusun dalam tabel
dan grafik serta dianalisi sesuai kebutuhan penelitian
G. Etika Penelitian
Responden diberikan penjelasan secara lisan mengenai tujuan dn manfaat penelitian serta
diberikan bahwa data yang diperoleh tidak akan disebarluaskan

BAB IV
HASIL

A. Profil Puskesmas
UPT (Unit Pelaksana Teknis) Puskesmas Jatirejo adalah salah satu
Puskesmas Rawat Inap yang ada di Kabupaten Mojokerto. Puskesmas Jatirejo
berdiri tahun 1959, dengan luas wilayah kerja ±32,978 km2 (tidak termasuk luas
hutan negara) yang terbagi dalam 58 dusun di dalam 19 desa, yaitu Desa Kumitir,
Desa Gading, Desa Sumengko, Desa Dukuhngarjo, Desa Gebangsari, Desa
Jatirejo, Desa Dinoyo, Desa Padangasri, Desa Mojogeneng, Desa Karangjeruk,
Desa Baureno, Desa Sumberagung, Desa Lebakjabung, Desa Bleberan, Desa
Sumberjati, Desa Manting, Desa Tawangrejo, Desa Rejosari dan Desa Jembul.

24
Gambar. Peta Wilayah Kerja UPT Puskesmas Jatirejo
Batas Wilayah Kerja
- Utara : Kecamatan Puri
- Selatan : Kabupaten Malang
- Timur : Kecamatan Gondang
- Barat : Kecamatan Trowulan

1. Data Demografik
Puskesmas Jatirejo memiliki luas wilayah ±32,978 km 2. Jumlah penduduk kurang
lebih sebanyak 46.123 jiwa dengan keadaan sosial ekonomi sebagai berikut:
- Mata Pencaharian / Pekerjaan Penduduk
 Petani : 12,87%
 Buruh Tani : 32,78%
 Pedagang : 8,34%
 Pegawai Negeri : 2,58%

25
 Pengrajin / Tukang : 1,98%
 Pengusaha : 0,45%
 Lain-lain : 41%

- Sarana Pendidikan
 Jumlah TK 28
 Jumlah Pondok Pesantren 5
 Jumlah SD / MI 36
 Jumlah SMP / MTs 8
 Jumlah SMA / MA 3

- Tingkat Pendidikan Masyarakat


 Tidak Sekolah : 11,76%
 Tidak Tamat SD : 24,57%
 Tamat SD : 50,45%
 Tamat SMP : 9,86%
 Tamat SLTA : 2,75%
 Tamat Akademi / PT : 0.61%

- Agama
 Agama Islam : 99,79%
 Agama Kristen : 0,11%
 Agama Katolik : 0,02%
 Agama Buddha : 0,07%

2. Sumber Daya Kesehatan


Jumlah tenaga kesehatan
o Kepala Puskesmas
o Dokter Umum : 2 orang
o Perawat : 7 orang
o Perawat Ponkesdes : 10 orang

26
o Perawat Sukarelawan : 5 orang
o Bidan : 19 orang
o Bidan PTT : 4 orang
o Bidan Sukarelawan 2
5

4
orang
o 3 Perawat Gigi
2 Kasus kusta baru : 1 orang
o 1 Sanitarian 1
0 orang
2016 2017 2018 2019
o Tata Usaha 3
orang
o Tenaga Laboratorium : 2 orang
o Tenaga Gizi : 1 orang
o Tenaga di Gudang Obat : 2 orang
o Asisten Apoteker : 1 orang

3. Sarana Pelayanan Kesehatan


Jumlah sarana pelayanan kesehatan
o Puskesmas Pembantu 4
o Posyandu 62
o Posyandu Lansia 19
o Polindes 14
o Poskestren 1
B. Data Pasien Kusta
Grafik berikut menggambarkan jumla penemuan kasus kusta baru di kecamatan atireo
seak Tahun 2016-2019.

27
Berikut merupakan distribusi penemuan kusta di setiap desa di Kecamatan Jatirejo

3
2.5
2
Kolom 3-D 5
1.5
2019
1 2018
0.5 2017
0 2016

KarangjeDin
BaurBlebe Jati Sumber Ku
eno ran rejo ruk oyo jati miti
r

C. Hasil Penelitian
Penelitian dilakukan di pada tanggal 15 Mei 2019. Penelitian dilakukan dengan cara
menyebar kuesioner pada warga desa Jatirejo dusun Mrisen yang datang ke rumah Bu Polo
Jatirejo untuk mengikuti penyuluhan Bumil Risiko Tinggi. Terdapat total 21 subjek
penelitian yang bertempat tinggal pada wilayah UPT Puskesmas Jatirejo dan seleuruh
responden telah menyetujui untuk mengikuti penelitian ini.

28
1. Data Karakteristik Responden
Tabel. Karakteristik Sampel Penelitian
No. Karakteristik N = 20 % (100%)
1. Usia
 < 20 thn 2 10
 20-<40 thn 5 25
 40-<60 thn 10 50
 >60 3 15
2. Pekerjaan
 Ibu rumah tangga 5 25
 Tani 3 15
 Pengrajin bata 6 30
 Swasta 4 20
 Pelajar 2 10
3. Pendidikan
 SD/ sederajat 13 65
 SMP/Sederajat 3 15
 SMA/Sederajat 4 20
 Perguruan Tinggi 0 0

Terdapat 20 subjek yang memenuhi kriteria penelitian dengan berbagai usia dimana
yang terbanyak berada pada rentang usia 40-<60 tahun sebanyak 10 orang (50%), lalu
rentang usia 20-<40 tahun sebanyak 5 orang ( 25%), lalu pada rentang usia >60 taun
sebanyak 3 orang (15%) dan sebanyak 2 orang pada usia <20 tahun ( 10 %).
Pekerjaan responden yang paling banyak dijumpai adalah pengrajin bata, yaitu
sebanyak 6 orang ( 30%), lalu Ibu Rumah Tangga sebanyak 5 orang (25%), Swasta 4 0rang
(20%), tani 3 orang (15%), dan pelajar 2 orang (10%).
Dari seluruh riwayat pendidikan yang diteliti, SD/Sederajat merupakan pendidikan
yang paling banyak yaitu 13 orang ( 65 %), lalu SMA/ sederajat sebanyak 4 orang (20%),
dan SMP/sederajat sebanyak 3 orang (15%).

2. Pembagian Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan

Tingkat Pengetahuan N = 20 % (100%)


 Baik 2 10
 Sedang 4 20
 Kurang 14 70

29
Tabel Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan
tentang kusta
Tabel menunjukkan bahwa dari 20 responden yang memiliki pengetahuan yang
baik tentang kusta berdasarkan hasil penelitian ini adalah 2 orang (10%), sedangkat yang
termasuk dalam kategori sedang berjumlah 4 orang (20%) dan yang termasuk dalam
katemenurut pene tentang Bumil berdasarkan tingkat tahu kategori sedang sebanyak 12
warga ( 60% ), pengetahuan baik sebanyak 14 warga ( 70%) dan kategori kurang sebanyak
2 warga ( 10 % ).
3. Deskripsi Pengetahuan Responden Tentang Kusta

Tidak
Benar Salah
Tahu
1. Pengertian kusta 13 4 3
2. Penyebab kusta 5 11 4
3. Gejala kusta 7 5 8
4. Kusta dapat menular 17 1 2
5. Cara penularan kusta 5 5 10
6. Akibat yang ditimbulkan oleh penyakit 8 7 5
kusta
7. Kusta dapat disembuhkan 12 6 2
8. Lama pengobatan kusta 2 8 10
9. Akibat bila tidak menyelesaikan pengobatan 9 8 3
10. Waktu pengambilan obat kusta 8 2 10
11. Tempat pengambilan obat kusta 15 3 2
12. Tempat melakukan pemeriksaan kusta 12 1 7
13. Cara pencegahan penularan kusta 6 9 5
Tabel Distribusi Frekuensi Responden

Tabel menunjukkan bahwa responden paling banyak menawab benar pada pertanyaan
apakah kusta menular atau tidak. Jawaban benar sebanyak 17 orang (85%), awaban salah 1 orang
(5%), dan tidak tahu 2 orang (10%). Pertanyaan paling banyak diawab salah oleh responden
adalah pertanyaan mengenai penyebab kusta. Awaban benar sebanyak 5 orang (25%), jawaban
salah sebanyak 11 orang (55%), dan tidak tahu sebanyak 4 orang (20%).

30
BAB V
DISKUSI

A. Identifikasi Masalah

Tabel 7. Analisis Kemungkinan Penyebab Masalah Kurangnya Pengetahuan Masyarakat Tentang


Kusta
Input Kelebihan Kekurangan
Man (Tenaga  Terdapat pemegang program  Tidak ada kader kusta di

31
Kerja) kusta di UPT Puskesmas setiap desa, terutama desa
Jatirejo endemis kusta
Money   Tidak ada anggaran yang
(Pembiayaan) disediakan puskesmas
untuk program kusta
Method  Terdapat penyuluhan kusta  Jadwal penyuluhan kusta
(Strategi) dan skrining kusta di daerah belum tertata dengan baik
endemis
Material  Terdapat kendaraan  Tidak semua desa
(Perlengkapan) operasional puskesmas bagi memiliki fasilitas untuk
petugas kesehatan dilakukan penyuluhan
 ataupun tempat
penyuluhan
Machine  Terdapat leaflet kalender dan  Persediaan leaflet/ poster
(Peralatan) atlas kusta yang dapat sebagai media
dignakan sebegai media penyuluhan masi kurang
penyuluhan
Lingkungan  Kesadaran masyarakat
untuk konsultasi
kesehatan masih
minim
 Dukungan keluarga
yang kurang terhadap
kesehatan

32
Man Money Methode
(Manusia) (Dana) (Strategi)

Tidak ada kader kusta


di setiap desa Tidak ada angaran Jadwal penyuluhan kusta
Masyarakat kurang antusias untuk penyuluhan kusta belum tertata dengan baik
dalam mengadiri acara penyuluhan
Pendidikan masyarakat masih rendah
Kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang
penyakit kusta

Tidak semua desa memiliki Persediaan leaflet/ poster Dukungan keluarga yang
fasilitas untuk dilakukan sebagai media kurang terhadap
penyuluhan kesehatan
penyuluhan ataupun masih kurang
tempat penyuluhan
Material Machine Environmen t
(Perlengkapan) (Peralatan)
31
Tabel
Daftar Alternatif Pemecahan Masalah
No. Penyebab Masalah Alternatif Pemecahan Masalah
1. Tidak ada kader kusta Pembentukan kader kusta di setiap desa terutama desa
di setiap desa endemis kusta, serta mengadakan pelatihan kader secara
rutin dan berkelanjutan
2. Jadwal penyuluhan
Penjadwalan tertulis dan pelaksanaan penyuluhan secara
mengenai kusta belum
rutin dan berkelanjutan
rutin dilakukan
3. Tidak ada dana untuk
penyuluhan kusta
4. Tidak semua desa
Penyuluhan dan pemberian informasi dapat dilakukan di
memiliki fasilitas untuk
pustu atau pusling atau posyandu lansia atau kegiatan
dilakukan penyuluhan
kemasyarakatan lainnya
ataupun tempat
penyuluhan
5. Masyarakat kurang
antusias untuk adir
dalam acara penyuluhan
6. Tidak adanya leaflet, Pembuatan leaflet, brosur atau poster mengenai kusta dan
brosur atau poster dapat ditempel di pustu atau dibagikan saat pemeriksaan
mengenai anemia
terhadap ibu hamil

Tabel 10. Analisis Pemecahan Masalah dengan Kriteria Matriks ((M x I x V) /C)
Daftar Pemecahan Masalah M I V C Total Urutan
(MxIxV)/C
Pembentukan kader kusta di setiap
desa terutama desa endemis kusta,
4 4 4 4 16 III
serta mengadakan pelatihan kader
secara rutin dan berkelanjutan
Penjadwalan tertulis dan
pelaksanaan penyuluhan secara 4 4 2 3 10 I
rutin dan berkelanjutan
Penyuluhan dan pemberian
informasi dapat dilakukan di pustu 4 3 2 1 24 V
atau pusling atau posyandu lansia
atau kegiatan kemasyarakatan
lainnya
32
Pembuatan leaflet, brosur atau
poster mengenai kusta dan dapat
ditempel di pustu atau dibagikan 3 3 2 4 4 IV
saat pemeriksaan

Berdasarkan analisis pemecahan masalah dengan metode matriks dapat dilihat bahwa
pemecahan masalah yang tertinggi adalah dengan melakukan penyuluhan yang dapat dilakukan di
pustu maupun posyandu lasia atau kegiatan kemasyaraatan lainnya. Dimana saat penyuluhan dapat
diberikan materi-materi tentang pengertian kusta penyebab geala, cara penularan, pencegaa, dan
pengobatan kusta

Setelah melakukan penentuan prioritas alternatif pemecahan masalah dengan menggunakan


metode Kriteria Matriks, maka didapatkan urutan prioritas alternatif pemecahan penyebab masalah
rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat tentang kusta. Berdasarkan prioritas alternatif
pemecahan masalah tersebut didapatkan urutan alternatif pemecahan masalah sebagai berikut :
1. Penyuluhan dan pemberian informasi dapat dilakukan di pustu atau pusling atau
posyandu lansia atau kegiatan kemasyarakatan lainnya
2. Pembentukan kader kusta di setiap desa terutama desa endemis kusta, serta
mengadakan pelatihan kader secara rutin dan berkelanjutaN.
3. Penjadwalan tertulis dan pelaksanaan penyuluhan secara rutin dan berkelanjutan
4. Pembuatan leaflet, brosur atau poster mengenai kusta dan dapat ditempel di pustu atau
dibagikan saat pemeriksaan

BAB VI.
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

33
Berdasarkan hasil penelitian serta pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
a. Tingkat pengetahuan masyarakat mengenai kusta di wilayah kerja Puskesmas Jatirejo
dikategorikan masih kurang baik sehingga diperlukan intervensi untuk meningkatkan
pengetahuan masyarakat mengenai kusta, sehingga dapat meningkatkan sikap dan periaku
masyarakat dalam pencegahan kusta, dan dapat menurunkan prevalensi kusta.

B. Saran
1. Untuk Masyarakat
- Masyarakat diharapkan lebih antusias dalam mengikuti kegiatan penyuluhan kusta
- Masyarakat diharapkan untuk lebih berperan aktif dalam menumbuhkan kesadaran
terhadap pencegahan dan pengobatan kusta.
- Masyarakat diharapkan agar lebih cepat membawa kerabat maupun tetangga nya ke
fasilitas pelayanan kesehatan terdekat bila terdapat geala kusta sehingga dapat dicatat,
diperiksakan dan segera diobati.
2 Untuk Puskesmas
- Lebih rutin dalam mengadakan program pencegaan kusta baik berupa skrining maupun
penyuluhan.
- Membentuk kader kusta di setiap desa sehingga dapat meringankan beban tenaga
kesehatan puskesmas

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Darmaputra, Ganeswari. 2018. Peran sitokin dalam kerusakan saraf pada penyakit kusta. Peran
sitokin dalam kerusakan saraf pada penyakit kusta: Tinjuan Pustaka. Intisari Sains Medis 2018,
Volume 9, Number 3: 92-100
2. Kemenkes RI. 2012. Pedoman NasionalProgram Pengendalian Kusta. Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
3. Kemenkes RI. 2015.Kusta. Pusat Data dan Informasi Kesehatan RI
4. Kemenkes RI. 2018.Kusta. Pusat Data dan Informasi Kesehatan RI
5. Murtiastutik, Dwi dkk. 2013. Penyakit Kulit dan Kelamin. Surabaya: Dep/ SMF Kulit dan Kelamin
FK Unair/ RSUD Dr. Soetomo.
6. Pratamasari, Listiawan. 2015. Studi Retrospektif: Reaksi Kusta Tipe 1 (Retrospective Study: Type
1 Leprosy Reaction). Surabaya: Dep/ SMF Kulit dan Kelamin FK Unair/ RSUD Dr. Soetomo.
7. Tamba, R.S, 2010. Karakteristik Penderita Penyakit Kusta yang Dirawat inap di Rumah Sakit
Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Tahun 2008.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/22370
8. Vionni, dkk. 2016. Reaksi Kusta. http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/download/79/76
9. WHO. 2017. Global leprosy update, 2016: accelerating reduction of disease burden. Weekly
Epidemiological Report. https://www.who.int/lep/resources/who_wer9235/en/

LAMPIRAN I
Foto Kegiatan

35
LAMPIRAN II
36
KUISIONER PENELITIAN
GAMBARAN PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG PENYAKIT
KUSTA DI DESA KUMITIR KECAMATAN JATIREJO

TAHUN 2019

Petunjuk Pengisian Angket


1. Bacalah setiap pertanyaan ini dengan teliti
2. Silangilah jawaban yang paling tepat menurut ibu
3. Kuisioner yang telah diisi lengkap tolong dikembalikan lagi pada peneliti
4. Terima kasih dan selamat mengisi

H. Identitas Responden
Nama Responden :
Usia :
Alamat :
Pendidikan terakhir :

II. Sumber Informasi


1. Dari mana informasi tentang penyakit kusta yang pernah saudara peroleh? (jawaban bisa lebih dari satu)
a. Televisi
b. Radio
c. Leaflet
d. Majalah/ Koran
e. Teman/ tetangga
f. Petugas kesehatan
g. Dll (sebutkan)

2. Informasi apa saja yang pernah saudara peroleh? (jawaban bisa lebih dari satu)
a. Tentang penyakit kusta dan penularannya
b. Cara pencegahan penyakit kusta
c. Tahapan-tahapan pengobatan kusta

III. Pengetahuan
Petunjuk Pengisisan- Beri tanda silang (X) pada salah satu jawaban yang saudara anggap benar!

1. Menurut saudara apakah penyakit kusta itu?


a. Penyakit menular dan menahun
b. Penyakit keturunan
c. Penyakit kutukan

37
d. Tidak tahu

2. Menurut saudara, apa penyebab penyakit kusta?


a. virus
b. Bakteri mycobacterium leprae
c. Kotoran
d. Tidak tahu

3. Apa tanda-tanda penyakit kusta yang saudara ketahui?


a. Bercak putih/ kemerahan dan gatal
b. Bercak putih / kemerahan dan mati rasa
c. Bercak / kemerahan dan tidak mati rasa
d. Tidak tahu

4. Apakah penyakit kusta dapat menular?


a. Ya
b. Tidak
c. Tidak tahu

5. Jika dapat menular, menurut saudara bagaimana cara penularannya?


a. Bercakap-cakap dengan penderita kusta
b. Mengunakan bekas peralatan penderita kusta
c. Kontak dengan penderita kusta dalam waktu lama

6. Apakah saudara tahu akibat yang ditimbulkan oleh penyakit kusta?


a. Kecacatan
b. Penderita tidak sembuh
c. Kematian
d. Tidak tahu

7. Apakah penyakit kusta dapat disembuhkan?


a. Ya
b. Tidak
c. Tidak tahu

8. Jika ya, berapa lama pengobatan kusta sampai sembuh?


a. Dalam waktu 6-12 bulan
b. Dalam waktu seminggu
c. Sangat lama
d. Tidak tahu

9. Apa akibat apabila tidak menyelesaikan pengobatan?


a. Penyakitnya kambuh kembali dan bertambah parah
b. Tidak bisa diobati lagi
c. Penyakitnya kambuh kembali dan tidak bertambah parah
d. Tidak tahu

10. Kapan saja penderita kusta harus mengambil obat?


a. Setiap bulan
b. Setiap 2 bulan
c. 2 minggu sekali

38
d. Tidak tahu

11. Dari mana penderita kusta mendapatkan obat selama ini?


a. Apotik
b. Puskesmas dan Rumah Sakit
c. Praktek dokter
d.

12. Dimana saja penderita kusta dapat berobat?


a. Praktek Dokter
b. Rumah Sakit dan Puskesmas
c. Dukun
d. Tidak tahu

13. berikut ini manakah yang bukan termasuk cara pencegahan penularan kusta?
a. imunisasi BCG
b. mengusahakan sinar matahari masuk ke dalam rumah
c. pengobatan secara tuntas pada penderita kusta
d. mengasingkan penderita kusta dengan jarak 100 meter dari penduduk

39
1

Anda mungkin juga menyukai