Anda di halaman 1dari 23

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan

masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari

segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan

dan ketahanan nasional. Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara-

negara yang sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan

negara itu dalam memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang

kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial dan ekonomi pada masyarakat

(DEPKES RI, 2006).

Badan Kesehatan Dunia WHO (World Health Organization) telah

mengeluarkan strategi global untuk terus berupaya menurunkan beban

penyakit kusta dalam: ”Enhanced global strategy for futher reducing the

disease burden due to leprosy 2011-2015”; dimana target yang ditentukan

adalah penurunan sebesar 35% kusta pada akhir tahun 2015 berdasarkan data

tahun 2010.

Menurut data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, saat ini masih

ada 14 propinsi yang mempunyai beban kusta yang tinggi dengan angka

penemuan kasus baru lebih dari 10 per 100 ribu atau penemuan kasus barunya

melebihi seribu kasus per tahun. Daerah yang memiliki beban kusta tinggi

antara lain DKI (Daerah Khusus Ibukota) Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat,

Jawa Timur, seluruh Sulawesi, seluruh Papua dan Maluku (Prawoto, 2008).

1
2

Indonesia menempati urutan ke 3 (tiga) setelah India dan Brazilia dalam

menyumbang jumlah penderita. Sejak tahun 2000 status Indonesia sudah

Eliminasi Kusta (EKT) yaitu prevalence Rate < 1/10.000 penduduk.

Sedangkan Provinsi Jawa Tengah sudah EKT sejak tahun 1994. Transmisi

penularan cukup tinggi yaitu 12,7% demikian juga angka cacat yaitu 11,4%

(DINKES JATENG, 2006).

Puskesmas Adiwerna merupakan salah satu pelayanan kesehatan yang

senantiasa melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit

menular di Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal Provinsi Jawa Tengah.

Jumlah penderita kusta terdaftar pada tahun 2012 sebanyak 21 penderita

dengan perincian tipe PB sebanyak 3 penderita dan tipe MB sebanyak 18

penderita (Puskesmas Adiwerna, 2013).

Angka prevalensi penyakit kusta di Puskesmas Adiwerna pada tahun

2012 sebesar 3,3 per 10.000 penduduk. Berdasarkan kajian data tersebut,

maka perlu dilakukan evaluasi mengenai gambaran faktor resiko penyakit

kusta di Puskesmas Adiwerna Kabupaten Tegal.

B. Pernyataan Masalah

Bagaimana gambaran faktor resiko penyakit kusta di wilayah kerja

Puskesmas Adiwerna?
3

C. Tujuan

Untuk mengetahui gambaran faktor resiko penyakit kusta di wilayah kerja

Puskesmas Adiwerna.

D. Manfaat

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai

berikut:

1. Dapat memberikan informasi kepada pihak Puskesmas Adiwerna tentang

gambaran faktor resiko penyakit kusta, untuk penyempurnaan sistem dan

kebijakan upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit kusta.

2. Dapat memberikan manfaat bagi penelitian selanjutnya dimana data

penelitian dan analisisnya dapat dipakai sebagai bahan masukan dalam

menggali dan mengembangkan lagi secara lebih sistematis dan terperinci

untuk kepentingan dan tujuan yang berbeda.


4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Penyakit kusta adalah penyakit menular yang sulit menular yang

disebabkan oleh Mycobacterium Leprae, yang menyerang kulit, saraf tepi dan

organ lain kecuali susunan saraf pusat, dapat menyebabkan kecacatan bila

ditemukan terlambat, sedangkan kecacatan dapat dicegah dengan

pemeriksaan fungsi saraf secara rutin setiap bulan pada saat penderita

mengambil obat (DINKES JATENG, 2006).

B. Cara Penularan dan Masa Inkubasi

Penularan terjadi apabila Mycobacterium Leprae yang masih hidup

(solid) keluar dari tubuh penderita dan masuk kedalam tubuh orang lain.

Belum diketahui secara pasti bagaimana cara penularan penyakit kusta, secara

teoritis penularan dapat terjadi dengan cara kontak erat dan lama dengan

penderita. Luka dikulit dan mukosa hidung telah lama dikenal sebagai sumber

dari kuman dan terbukti bahwa saluran nafas bagian atas penderita tipe

Lepromatous merupakan sumber kuman yang terpenting di lingkungan. Kusta

mempunyai masa inkubasi 2-5 tahun, dapat juga beberapa bulan sampai

beberapa tahun (DINKES JATENG, 2006).


5

Hampir semua organ tubuh diserang terutama saraf tepi dan kulit serta

organ tubuh lainnya, seperti mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem

retikulo endothelial, mata, otot, tulang dan testis. Pada kebanyakan orang

yang terinfeksi dapat asimtomatik, namun pada sebagian kecil

memperlihatkan gejalagejala dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi

cacat, khususnya pada tangan dan kaki.

C. Diagnosa dan Klasifikasi

Menurut Buku Pedoman Surveilans Penyakit Dinas Kesehatan Provinsi

Jawa Tengah tahun 2006, menyatakan bahwa untuk menetapkan diagnose

penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau cardinal sign, yaitu:

1. Lesi keputihan atau kemerahan yang mati rasa/kurang rasa.

2. Penebalan saraf tepi disertai dengan gangguan fungsi (fungsi sensoris,

motoris maupun otonom). Gangguan fungsi saraf tersebut adalah akibat

dari peradangan kronis saraf tepi, Saraf tepi yang dapat diserang antara

lain: saraf fasialis, saraf auriculomagnus, saraf radialis, saraf ulnaris,

saraf medianus, saraf perineus komunis dan saraf tibialis posterior.

3. Ditemukannya kuman tahan asam di kerokan jaringan kulit (BTA positif)

Seseorang dinyatakan menderita kusta apabila ditemukan salah satu dari

tanda-tanda tersebut di atas. Apabila hanya ditemukan cardinal sign yang

kedua (penebalan saraf disertai gangguan fungsi) dan petugas ragu, maka

perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta dan apabila masih ragu maka

orang tersebut dianggap sebagai kasus yang dicurigai/tersangka (suspek) dan


6

perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan. Berikut tanda-tanda

tersangka kusta (suspek):

1. Tanda-tanda pada kulit

a. Lesi yang putih atau merah yang tidak gatal dibagian tubuh

b. Kulit mengkilap

c. Adanya bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut

d. Lepuh tidak nyeri

2. Tanda-tanda pada saraf

a. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau

muka.

b. Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka

c. Adanya cacat (deformitas) baik pada mata, tangan atau kaki.

Setelah seseorang dinyatakan penderita kusta, maka dilakukan klasifikasi

(PB/MB) untuk menentukan jenis Multi Drug Therapy (MDT) yang akan

diberikan.

1. Penderita dinyatakan tipe Pauci Basiler (PB) bila:

a. Jumlah lesi yang mati rasa < 5 (lima)

b. Jumlah penebalan saraf disertai gangguan fungsi 1 (satu)

c. BTA (negatif)

2. Penderita dinyatakan tipe Multi Basiler (MB) bila:

a. Jumlah lesi yang mati rasa > 5 (lima)

b. Jumlah penebalan saraf disertai gangguan fungsi > 1 (satu)

c. BTA (positif)
7

D. Faktor Resiko Penyakit Kusta

1. Distribusi menurut faktor manusia

a. Etnik atau suku

Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan

distribusi dapat dilihat karena faktor geografi. Namun jika diamati

dalam satu Negara atau wilayah yang sama kondisi lingkungannya

ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena faktor etnik.

Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi

pada etnik Burma dibandingkan dengan etnik India. Situasi di

Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama, kejadian kusta

lepromatosa lebih banyak pada etnik China dibandingkan etnik

Melayu atau India.

Demikian pula kejadian di Indonesia etnik Madura dan Bugis

lebih banyak menderita kusta dibandingkan etnik Jawa atau Melayu.

Di Indonesia, penderita kusta terdapat hampir di seluruh daerah

dengan penyebaran yang tidak merata. Suatu kenyataan, di Indonesia

bagian timur terdapat angka kesakitan kusta yang lebih tinggi.

Penderta kusta 90 % tinggal diantara keluarga mereka dan hanya

beberapa pasien saja yang tinggal di Rumah Sakit kusta, koloni

penampungan atau perkampungan kusta.

b. Faktor sosial ekonomi

Sudah diketahui bahwa faktor social ekonomi berperan penting

dalam kejadian kusta. Hal ini terbukti pada Negara-negara di Eropa.


8

Dengan adanya peningkatan sosial ekonomi, maka kejadian kusta

sangat cepat menurun bahkan hilang. Kasus kusta impor pada Negara

tersebut ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial

ekonominya tinggi. Kegagalan kasus kusta impor untuk menularkan

pada kasus kedua di Eropa juga disebabkan karena tingkat sosial

ekonomi yang tinggi.

c. Distribusi menurut umur

Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta

menurut umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang

berdasarkan insiden karena pada saat timbulnya penyakit sangat sulit

diketahui. Dengan kata lain kejadian penyakit sering terkait pada

umur pada saat diketemukan dari pada saat timbulnya penyakit. Pada

penyakit kronik seperti kusta, informasi berdasarkan data prevalensi

dan data umur pada saat timbulnya penyakit mungkin tidak

menggambarkan resiko spesifik umur. Kusta diketahui terjadi pada

semua umur berkisar antara bayi sampai umur tua (3 minggu sampai

lebih dari 70 tahun). Namun yang terbanyak adalah pada umur muda

dan produktif.

d. Distribusi menurut jenis kelamin

Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Menurut catatan

sebagian besar Negara di dunia kecuali dibeberapa Negara di Afrika

menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang daripada

wanita.
9

Relatif rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan

karena faktor lingkungan atau faktor biologi. Seperti kebanyakan

penyakit menular lainnya laki-laki lebih banyak terpapar dengan

faktor resiko sebagai akibat gaya hidupnya.

2. Faktor-faktor yang menentukan terjadinya sakit kusta

a. Penyebab

Penyebab penyakit kusta yaitu Mycobacterium leprae dimana

untuk pertama kali ditemukan oleh G.H. Armauer Hansen pada tahun

1873. Mycobacterium leprae hidup intraseluler dan mempunyai

afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan cell) dan sel dari system

retikuloendotelial. Waktu pembelahan sangat lama, yaitu 2-3 minggu.

Di luar tubuh manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dari secret

nasal dapat bertahan sampai 9 hari (Desikan 1977, dalam Leprosy

Medicine in the Tropics Edited by Robert C. Hasting, 1985).

Pertumbuhan optimal in vivo kuman kusta pada tikus adalah pada

suhu 27-30OC.

b. Sumber Penularan

Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini yang dianggap

sebagai sumber penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada

armadillo, simpanse dan pada telapak kaki tikus yang tidak

mempunyai kelenjar thymus (Athymic nude mouse).


10

c. Cara Keluar dari Pejamu (Host)

Sumber penularan penyakit ini adalah Penderita Kusta Multi

basiler (MB) atau Kusta Basah. Mukosa hidung telah lama dikenal

sebagai sumber dari kuman. Suatu kerokan hidung dari penderita tipe

Lepromatous yang tidak diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar

1010 dan telah terbukti bahwa saluran napas bagian atas dari penderita

tipe Lepromatous merupakan sumber kuman yang terpenting di

dalam lingkungan. Penularan bisa melalui udara ketika kontak erat

dan lama dengan pasien kusta. Ibu penderita kusta sangat mungkin

menularkan penyakit kepada anak dan keluarganya (Aria, 1995).

d. Cara Penularan

Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan

tetapi dapat juga bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila

Mycobacterium leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh penderita

dan masuk kedalam tubuh orang lain. Belum diketahui secara pasti

bagaimana cara penularan penyakit kusta. Secara teoritis penularan

ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama dengan penderita.

Penderita yang sudah minum obat sesuai regimen WHO tidak

menjadi sumber penularan kepada orang lain. Masa inkubasi kusta

yang panjang, bisa lebih dari 10 tahun dan tanpa rasa sakit

menyebabkan pengidap kerap tidak menyadari dirinya terkena kusta

(Permanasari 2010).
11

e. Cara Masuk ke dalam Pejamu

Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat

ini belum dapat dipastikan. Diperkirakan cara masuknya adalah

melalui saluran pernapasan bagian atas dan melalui kontak kulit yang

tidak utuh.

f. Pejamu (Tuan rumah = Host)

Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak

dengan penderita, hal ini disebabkan karena adanya imunitas.

Mycobacterium leprae termasuk kuman obligat intraseluler dan

sistem kekebalan yang efektif adalah sistem kekebalan seluler. Faktor

fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor

infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit

kusta. Dari studi keluarga kembar didapatkan bahwa faktor genetic

mempengaruhi tipe penyakit yang berkembang setelah infeksi.

Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hanya

sebagian kecil yang dapat ditulari (5%). Dari 5% yang tertular

tersebut, sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang

menjadi sakit.

Contoh: dari 100 orang yang terpapar: 95 orang tidak menjadi

sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat, 2 orang menjadi sakit

dimana hal ini belum memperhitungkan pengaruh pengobatan.


12

Seseorang dalam lingkungan tertentu akan termasuk dalam salah

satu dari 3 kelompok berikut ini yaitu:

1. Pejamu yang mempunyai kekebalan tubuh tinggi merupakan

kelompok terbesar yang telah atau akan menjadi resisten

terhadap kuman kusta.

2. Pejamu yang mempunyai kekebalan rendah terhadap kuman

kusta, bila menderita penyakit kusta biasanya tipe PB.

3. Pejamu yang tidak mempunyai kekebalan terhadap kuman kusta

yang merupakan kelompok terkecil, bila menderita kusta

biasanya tipe MB.

E. Mycobacterium Leprae

1. Klasifikasi Ilmiah Mycobacterium leprae

Kingdom : Bacteria

Filum : Actinobacteria

Ordo : Actinomycetales

Subordo : Corynebacterneae

Genus : Mycobacterium

Spesies : M.leprae

2. Morfologi
Mycobacterium leprae berbentuk basil atau batang dengan ukuran 3-

8 µm x 0,5 µm, merupakan bakteri tahan asam dan alkohol dan

merupakan Gram postif. Bakteri ini tidak terlalu mudah menular dan

memiliki waktu inkubasi yang lama. DNA Plasmid Mycobacterium


13

leprae dapat menginfeksi sel saraf manusia. Plasmid ini dapat hidup

terpisah dari kromosom bakteri dan tubuh bakteri itu sendiri ketika

menginvasi sel tubuh manusia. Kurang dari 5 persen orang yang terinfeksi

Mycobacterium Leprae terkena penyakit kusta. Hal ini disebabkan oleh

faktor imun respon pada masing-masing individu.

Gambar 1. Mycobacterium leprae dari lesi kulit


3. Koloni dan Sifat Pertumbuhan
Mycobacterium leprae adalah bakteri aerob obligat. Energi didapat

dari oksidasi senyawa karbon yang sederhana. CO2 dapat merangsang

pertumbuhan. Aktivitas biokimianya tidak khas, dan laju pertumbuhannya

lebih lambat dari bakteri lain, waktu pembelahan adalah sekitar 18 jam.

Suhu pertumbuhan optimum 37º C. Koloni cembung, kering dan kuning

gading.

4. Struktur Sel

Gambar 2. Mycobacterium lepra dalam sel Schwann saraf


14

Penelitian dengan mikroskop elektron tampak bahwa

Mycobacterium leprae mempunyai dinding yang terdiri atas 2 lapisan,

yakni lapisan padat terdapat pada bagian dalam yang terdiri atas

peptidoglikan dan lapisan transparan pada bagian luar yang terdiri atas

lipopolisakarida dan kompleks protein-lipopolisakarida. Dinding

polisakarida ini adalah suatu arabinogalaktan yang diesterifikasi oleh

asam mikolik dengan ketebalan 20nm.

BAB III

METODE

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah mixed methods

design. Kuantitatif deskriptif dan kualitatif observasional.

B. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Adiwerna

Kabupaten Tegal. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2013 s.d. Mei

2013.

C. Populasi Sampel dan Sampling


15

1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh warga di wilayah kerja Puskesmas

Adiwerna Kabupaten Tegal.

2. Sampel Penelitian

Jumlah sampel penelitian adalah 5 orang yang terdiri atas Kepala

Puskesmas Adiwerna, Ketua Program Pemberantasan Kusta Puskesmas

Adiwerna, Pasien Penderita Kusta, Keluarga Pasien Penderita Kusta dan

Perwakilan Masyarakat Adiwerna, yang ditentukan berdasarkan:

a. Kriteria inklusi

1) Warga di wilayah kerja Puskesmas Adiwerna Kabupaten Tegal

2) Bersedia menjadi sampel

b. Kriteria eksklusi

1) Bukan warga di wilayah kerja Puskesmas Adiwerna Kabupaten

Tegal

2) Tidak bersedia menjadi sampel

3. Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu

peneliti memilih sampel untuk mengakses “knowledgeable people”, dimana

sampel tersebut dinilai memiliki pengalaman dan pengetahuan yang

mendalam tentang gambaran faktor resiko penyakit kusta di wilayah kerja


16

Puskesmas Adiwerna Kabupaten Tegal. Jumlah sampel 5 orang, yang

kemudian disebut sebagai informan.

B. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah gambaran faktor resiko di wilayah

kerja Puskesmas Adiwerna Kabupaten Tegal.

C. Definisi Operasional

Gambaran faktor resiko adalah gambaran .

D. Instrumen Penelitian

1. Studi Dokumen

Untuk mengetahui kebijakan terkait pelaksanaan triase di Instalasi Gawat

Darurat RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Ceck List

Daftar pertanyaan sebagai pedoman observasi dalam pelaksanaan triase.

Check list digunakan untuk mengumpulkan data kualitatif dan kuantitatif

pelaksanaan triase berfokus pada ketepatan pengelompokan true

emergency dan false emergency serta infeksius dan non-infeksius pasien.

3. Alat Wawancara
17

Wawancara menggunakan alat tulis, tape recorder atau alat perekam

suara yang peneliti gunakan saat wawancara dengan responden.

4. Pedoman Wawancara

Instrumen wawancara berisikan pedoman pertanyaan yang berkaitan

dengan kebijakan dan pelaksanaan triase di Instalasi Gawat Darurat RS

PKU Muhammadiyah Yogyakarta, yang disusun setelah melakukan

observasi. Wawancara dilakukan 4 target, yaitu:

a. Wawancara guna menitik beratkan terhadap kebijakan dan penerapan

pelaksanaan triase, yang dilakukan terhadap Wadir Pelayanan Medik

dan Kepala Instalasi Gawat Darurat.

b. Wawancara guna menitik beratkan terhadap pengetahuan dan

pemahaman tentang pelaksanaan triase, yang dilakukan terhadap

Dokter Umum, Perawat dan Koordinator Siaga Bencana.

c. Wawancara guna menitik beratkan terhadap tentang pelaksanaan

triase, yang dilakukan terhadap petugas triase (triage officer) dan

petugas informasi.

d. Wawancara guna mengetahui persepsi, pemahaman dan keinginan

external consumer tentang peran dan fungsi Instalasi Gawat Darurat,

yang dilakukan terhadap pasien IGD dan keluarga pasien.

E. Analisis Data

Data kuantitatif dianalisis dengan menggunakan Statistical Product and

Service Solution, sedangkan data kualitatif mengenai pelaksanaan triase di


18

Instalasi Gawat Darurat RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, dilakukan

telaah oleh peneliti, disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang sebenarnya

di lapangan dengan melakukan wawancara mendalam untuk mengklasifikasi

dan mengklarifikasi pelaksanaan triase. Cara melakukan analisis kualitatif

yaitu:

1. Melakukan analisis sampai mendapatkan data yang penuh dan jenuh,

dengan cara mereduksi data secara terus menerus selama penelitian

berlangsung.

2. Penyajian data dalam bentuk naratif.

3. Penarikan kesimpulan hasil penelitian dengan membandingkan

pertanyaan penelitian dengan hasil penelitian.


19

BAB IV

HASIL

A. Profil Komunitas Umum

B. Data Geografis

C. Data Demografik

D. Sumber Daya Kesehatan yang Ada

E. Sarana Pelayanan Kesehatan yang Ada

F. Data Kesehatan Masyarakat (primer) yaitu:

1. Prevalensi Masalah Kesehatan Masyarakat Sebelum dan Sesudah

Intervensi

2. Perilaku Kesehatan Masyarakat sebelum dan sesudah intervensi


20

BAB V

DISKUSI

A. R

B. r
21

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

B. Saran
22

DAFTAR PUSTAKA

Puskesmas Adiwerna. 2013. Profil Pengembangan Puskesmas Adiwerna Menjadi


Puskesmas Model di Kabupaten Tegal. Kabupaten Tegal: Puskesmas
Adiwerna.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2006. Buku Pedoman Surveilans


Penyakit.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Buku Pedoman Nasional


Pemberantasan Penyakit Kusta. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan.
23

Anda mungkin juga menyukai