PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Penyakit kusta atau yang juga dikenal sebagai Morbus Hansen, adalah
Walaupun tidak mengancam jiwa, kusta merupakan salah satu penyebab paling
Dari data WHO pada akhir tahun 2014, ditemukan 213.899 pasien yang
baru terdiagnosa. 94% dari pasien-pasien ini, dilaporkan berasal dari 13 negara-
tercapainya status eliminasi kusta pada tahun 2000, situasi kusta di Indonesia
menunjukkan kondisi yang relatif statis selama ± 12 tahun. Dan sejak tahun 2012-
dilaporkan 17.202 kasus baru kusta dengan 84,5% kasus di antaranya merupakan
tipe Multi Basiler (MB). Sedangkan menurut jenis kelamin, 62,7% penderita baru
kusta berjenis kelamin laki-laki dan sebesar 37,3% lainnya berjenis kelamin
perempuan.3
Di Provinsi Riau, jumlah kasus baru yang dilaporkan paling banyak pada
tahun 2015 berasal dari Kabupaten Indragili Hilir (46 kasus) dan jumlah kasus
1
paling sedikit terdapat di Kabupaten Siak (2 kasus). Kabupaten Bengkalis
menempati peringkat kelima dari dua belas kabupaten di Provinsi Riau, dengan
penderita kusta terdaftar pada tahun periode Januari 2014 sampai Juli 2017
dilakukan deteksi dini penyakit kusta pada masyarakat. 2 WHO dalam programnya
bertujuan untuk deteksi dini penyakit kusta dan tatalaksana segera untuk
Selaras dengan program WHO, penulis juga ingin melakukan upaya peningkatan
deteksi dini penyakit kusta di wilayah kerja UPT Puskesmas Duri Kota.
2
peningkatan deteksi dini penyakit kusta di wilayah kerja UPT Puskesmas Duri
Kota Kecamatan Mandau.
2. Tujuan Khusus
a.Untuk meningkatkan penjaringan suspek kusta di wilayah kerja UPT PKM
Duri Kota.
b. Mencegah terjadinya penularan kusta di wilayah kerja UPT PKM Duri
Kota.
c.Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.KUSTA
2.1.1. Definisi
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular kronik yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae (M leprae) yang intra seluler
obligat menyerang saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa
traktus respiratorius bagian atas kemudian ke organ lain kecuali susunan saraf
pusat. Penyakit kusta dikenal juga dengan nama Morbus Hansen atau lepra. Istilah
kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kusta yang berarti kumpulan gejala-
gejala kulit secara umum. 5
Penyakit ini adalah penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari
saluran pernafasan atas lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar.
Saraf yang terserang menjadi mati rasa, destruksi jari dan deformitas terjadi
kemudian. Bila tidak ditangani dengan benar, kusta dapat sangat progresif
menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak dan mata. 6
Penyakit kusta merupakan salah satu manifestasi kemiskinan karena
kenyataannya sebagian besar penderita kusta berasal dari golongan ekonomi
lemah. Penyakit kusta dapat menyebabkan cacat, keadaan ini yang menjadi
penghalang bagi penderita kusta dalam menjalani kehidupan bermasyarakat untuk
memenuhi kebutuhan social ekonominya. 5,6
2.1.2. Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Kuman ini adalah
kuman anaerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang, dikelilingi oleh
membran sel yang merupakan ciri dari spesies ini. Kuman berukuran panjang 1-8
micro, lebar 0,2 - 0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-
satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif. 5,6
4
2.1.3. Epidemiologi
Strategi Kusta Global 2016–2020 bertujuan untuk mendeteksi penyakit
kusta secara dini dan pengobatan yang cepat untuk mencegah kecacatan dan
mengurangi penularan infeksi di masyarakat. Di antara pasien yang baru
didiagnosis menunjukkan efisiensi deteksi dini kusta, mereka juga menunjukkan
secara tidak langsung tingkat kesadaran akan tanda-tanda awal lepra, akses ke
layanan kusta dan keterampilan staf layanan kesehatan dalam mendiagnosis kusta.
Strategi ini dirancang untuk mencapai tujuan jangka panjang dari 'dunia bebas
kusta', yang mengacu pada situasi di mana masyarakat bebas dari morbiditas,
cacat dan konsekuensi sosial akibat kusta. 2
Strategi Kusta Global 2016-2020 bertujuan untuk meningkatkan deteksi
dini kusta untuk mengurangi penularan infeksi dan membatasi jumlah kasus baru.
Strategi ini akan dibahas di forum yang tepat di seluruh dunia untuk memastikan
peningkatan komitmen terhadap pengurangan lebih lanjut dari beban penyakit dan
untuk mencegah anak-anak yang terkena kusta dari hidup cacat seumur hidup. 2
“Global leprosy update, 2014: kebutuhan untuk deteksi dini”, diterbitkan
pada September 2015, berdasarkan statistik kusta tahunan yang diterima dari 121
negara dari lima wilayah WHO. Kompilasi dan analisis data menunjukkan hal-hal
berikut: 2
(Gambar 1)
Sejak tercapainya status eliminasi kusta pada tahun 2000, situasi kusta di
Indonesia menunjukkan kondisi yang relatif statis. Hal tersebut dapat terlihat dari
angka penemuan kasus baru kusta selama lebih dari dua belas tahun yang
menunjukkan kisaran angka antara enam hingga delapan per 100.000 penduduk
dan angka prevalensi yang berkisar antara delapan hingga sepuluh per 100.000
5
penduduk per tahunnya. Namun, sejak tahun 2012 hingga tahun 2015 angka
tersebut menunjukkan penurunan. Target prevalensi kusta sebesar <1 per 10.000
penduduk (<10 per 100.000 penduduk). Dengan demikian prevalensi kusta di
Indonesia pada tahun 2015 yang sebesar 0,79 per 10.000 penduduk telah
mencapai target program. 3
Pada tahun 2015 dilaporkan 17.202 kasus baru kusta dengan 84,5% kasus
di antaranya merupakan tipe Multi Basiler (MB). Sedangkan menurut jenis
kelamin, 62,7% penderita baru kusta berjenis kelamin laki-laki dan sebesar 37,3%
lainnya berjenis kelamin perempuan. 3
(Gambar 2)
Indikator lain yang digunakan pada penyakit kusta yaitu proporsi kusta MB
dan proporsi penderita kusta pada anak (0-14 tahun) di antara penderita baru yang
memperlihatkan sumber utama dan tingkat penularan di masyarakat. Proporsi
kusta MB dan proporsi pada anak periode 2011-2015 ditunjukkan pada grafik
berikut ini : 3
6
(Gambar 3)
Proporsi kusta MB periode 2011-2015 relatif menunjukkan peningkatan yaitu
dari 80,4% meningkat hingga 84,5%. Provinsi dengan proporsi kusta MB tertinggi
pada tahun 2015 yaitu Bengkulu, Kalimantan Tengah (100%), Lampung (94,34%)
dan Gorontalo (91,03%). Sedangkan proporsi kusta anak pada periode yang sama
yaitu sekitar 10%-12%. Provinsi dengan proporsi kusta pada anak tertinggi yaitu
Papua Barat (30,82), Papua (23,62%), dan Maluku Utara (19,49%).
Menurut profil kesehatan provinsi riau tahun 2015, ditemukan data sebagai
berikut : 4
(Gambar 4)
7
Dari gambar diatas menunjukkan bahwa kasus kusta baru dan jumlah kasus
tercatat mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya menjadi 107 kasus
dan 136 kasus pada tahun 2015. 4
(Gambar 5)
Jumlah kasus baru kusta paling banyak terdapat di Kab. Indragiri Hilir (46
kasus), dan jumlah kasus paling sedikit terdapat di Kab. Siak (2 kasus). Jika
melihat kasus kusta baru yang ditemukan pada periode tertentu per 100.000
penduduk (New Case Detection Rate /NCDR), dapat diketahui bahwa NCDR
Kusta per Kabupaten/kota tidak melebihi target nasional (<5 per 100.000
penduduk) kecuali untuk Kab. Indragiri Hilir (NCDR = 6,54). 4
(Gambar 6)
Dari tabel gambar terlihat bahwa di Provinsi Riau sudah tidak terdapat
Kab/Kota dengan prevalensi >1/10.000 penduduk. Secara propinsi angka
8
prevalensi Riau saat ini adalah 0,29 per 10.000 penduduk, ini menunjukkan bahwa
Provinsi Riau saat ini masih dalam kategori daerah Low Endemik Kusta. Angka
prevalensi ini bisa saja meningkat bila survey aktif penderita dilakukan disemua
daerah karena kemungkinan besar masih banyak penderita kusta yang belum
ditemukan dan belum diobati di daerah-daerah sulit akses pelayanan kesehatan.
Hal ini perlu diperhatikan sangat serius dari semua pihak agar upaya Eliminasi
Kusta di Riau dapat terus ditingkatkan. 4
9
c. Penularan melalui ingesti atau saluran pencernaan
Kuman Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh dapat melalui kulit yang
tidak utuh, saluran nafas, saluran pencernaan. Air susu ibu yang menderita kusta
lepromatosa mengandung banyak bakteri yang hidup, namun insiden kusta pada
bayi yang minum susu dari ibu yang mederita kusta hanya setengah disbanding
dengan bayi yang minum susu botol.
10
atau wajah dan rasa kesemutan, seperti tertusuk-tusuk da nyeri pada anggota
gerak.5,6
Untuk menetapkan diagnosis peyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama,
yaitu: 5
a. Kelainan kulit yang mati rasa
Kelainan kulit atau lesi dapat berbentuk hipopigmentasi (bercak putih) dan
anastesi (mati rasa) pada kulit.
b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf ini disebabkan peradangan saraf tepi yang kronis.
Gangguan saraf tepi ini berupa:
1) Gangguan fungsi sensoris merupakan gangguan yang ditandai dengan
mati rasa.
2) Gangguan fungsi motoris merupakan gangguan yang ditandai dengan
kelemahan atau kelumpuhan otot.
3) Gangguan fungsi otonom merupakan gangguan yang ditandai dengan
kulit kering dan retak-retak.
c. Hasil pemeriksaan laboratorium dari kerokan jaringan kulit menunjukkan
BTA positif
11
b. Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil
c. Distribusi Unilateral Bilateral, simetris
d. Konsistensi Kering dan kasar Halus, berkeringat
e. Batas Tegas Kurang tegas
f. Kehilangan Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas, jika
sensasi rasa pada ada biasa terjadi pd
bercak Bercak tidak lansia.
g. Kehilangan berkeringat, bulu Bercak masih berkeringat,
kemampuan rontok pada area bulu tidak rontok.
berkeringat, bulu bercak.
rontok pada
bercak
2. Infiltrat
a. Kulit Tidak ada Ada, kadang-kadang tidak
ada.
b. Membran Tidak pernah ada Ada, kadang-kadang tidak
mukosa (hidung ada.
tersumbat,
perdarahan
hidung)
12
(Tabel 1)
Kusta tipe Pausi Basiler disebut juga kusta kering dan tidak menular,
sedangkan kusta tipe Multi Basiler disebut kusta basah dan sangat mudah
menular. Pasien kusta tipe MB yang belum di obati atau tidak teratur berobat
dapat menjadi sumber penularan. Penyakit kusta juga di klasifikasikan dengan
skala Ridley dan Jopling dalam lima tipe sebagai berikut : 6,8
a. Tuberculoid (TT)
Lesi yang ditemukan berjumlah 1-3, hasil pemeriksaan basil smear
neggatif, hasil tes lepromin positif 3, sel epitel berkurang, kerusakan saraf,
sarkoid seperti granuloma.
b. Bordeline Tuberculoid (BT)
Jumlah lesi sedikit, hasil pemeriksaan basil smear positif 1, hasil tes
lepromin positif 2, sel epitel berkurang dan terjadi kerusakan saraf.
c. Borderline (BB)
Lesi sedikit atau banyak dan simetris. Hasil pemeriksaan basil smear
positif 2
d. Bordeline Lepromatous (BL)
Lesi banyak, hasil pemeriksaan basil smear positif 3, hasil tes lepromin
positif.
e. Lepromatous (LL)
Lesi banyak dan simetris, hasil basil smear positif 4, hasil tes lepromin
negatif. Terjadi peningkatan histiocytes, sel busa, granuloma seperti
santhoma.
13
b. Memperpendek masa pengobatan
c. Meningkatkan keteraturan berobat
d. Mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah
ada sebelum pengobatan.
Faktor pengobatan pada penderita penyakit kusta sangatlah penting.
Kuman kusta dapat menjadi resisten/kebal, jika penderita tidak minum obat secara
teratur, gejala penyakit menetap bahkan memburuk. Berikut pedoman praktis
untuk dosis MDT bagi pasien kusta digunakan table sebagai berikut :5,7,8
Jenis obat < 5 tahun 5 – 9 tahun 10 – 15 >15 tahun Keterangan
tahun
Rifampisin Berdasarkan 300 mg/bln 450 mg/bln 600 mg/bln Minum di
berat badan depan petugas
DDS Berdasarkan 25 mg/bln 50 mg/bln 50 mg/bln Minum di
berat badan depan petugas.
25 mg/ln 50 mg/bln 50 mg/bln Minum di
rumah.
(Tabel 2)
Obat yang dikonsumsi pada penderita kusta tipe Pausi Basiler adalah 2 jenis
obat. Konsumsi obat dilakukan dalam waktu harian dan bulanan. Satu blister
untuk satu bulan, dibutuhkan enam blister yang diminum 6 – 9 bulan. Pasien PB
yang telah mendapat pengobatan MDT sesuai dengan dosis dan waktu yang
ditentukan, dinyatakan RTF (Released from Treatment) tanpa diharuskan
menjalani pemeriksaan laboratorium, meskipun secara klinis lesinya masih aktif.
Jika penderita tidak mengambil atau minum obatnya lebih dari tiga bulan secara
kumulatif tidak mungkin bagi penderita untuk menyelesaikan pengobatan sesuai
waktu yang ditetapkan, maka dinyatakan default. 5,7,8
Pedoman praktis MDT juga terdapat bagi penderita kusta tipe Multi
Basiler. Berikut pedoman praktis untuk dosis MDT bagi penderita kusta tipe MB.
5,8
Jenis obat < 5 tahun 5-9 tahun 10-15 >15 tahun Keterangan
tahun
Rifampisin Berdasarkan 300 mg/bln 450 600 Minum di
berat badan mg/bln mg/bln depan
petugas
14
Dapson Berdasarkan 25 mg/bln 50 mg/bln 100 Minum di
berat badan mg/bln depan
petugas
Lampren Berdasarkan 25 mg/bln 50 mg/bln 100 Minum di
berat badan mg/bln rumah
100 mg/bln 150 Minum di
mg/bln 300 depan
50 mg 2x mg/bln petugas
seminggu 50 mg Minum
setiap 2 50 dirumah
hari mg/hari
(Tabel 3)
Pada penderita tipe Multi Basiler terdapat 3 jenis obat yang dikonsumsi.
Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18 bulan. Pasien MB yang telah
mendapat pengobatan sesuai yang ditentukan dinyatakan RFT, tanpa harus
pemeriksaan laboratorium. Jika pasien tidak meminum obat lebih dari 6 bulan,
dinyatakan default. 5,8
(Gambar 8)
2.1.8. Kecacatan
Mycobacterium leprae menyerang saraf tepi tubuh manusia. Tergantung dari
kerusakan saraf tepi, maka akan terjadi gangguan fungsi saraf tepi : sensorik,
motorik dan otonom. Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan
fungsi saraf tepi, baik karena kuman kusta maupun karena terjadinya peradangan
(neuritis) sewaktu keadaan reaksi lepra. 5,6
a. Tingkat Cacat Kerusakan saraf pada penderita kusta meliputi :
15
1) Kerusakan fungsi sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/mati rasa
(anestesi). Akibat kurang/mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi
luka. Sedangkan pada kornea mata akan mengakibatkan kurang/hilangnya reflek
kedip sehingga mata mudah kemasukan kotoran, benda-benda asing yang dapat
menyebabkan infeksi mata dan akibatnya buta.
2) Kerusakan fungsi motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/lumpuh dan lama-
lama otot mengecil (atrofi) oleh karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan
kaki menjadi bengkok (clow hand/clow toes) dan akhirnya dapat terjadi kekakuan
pada sendi, bila terjadi kelemahan/kekakuan pada mata, kelopak mata tidak dapat
dirapatkan (lagopthalmus).
3) Kerusakan fungsi otonom
Terjadinya gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan
sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras, dan akhirnya
dapat pecah-pecah. Pada umumnya apabila terdapat kerusakan fungsi saraf tidak
ditangani secara tepat dan tepat maka akan terjadi cacat ke tingkat yang lebih
berat.
Tujuan pencegahan cacat adalah jangan sampai ada cacat yang timbul atau
bertambah berat. 5,6
16
(Tabel 4)
Keterangan:
1) Cacat tingkat 0 berarti tidak ada cacat
2) Cacat tingkat I adalah cacat yang disebabkan oleh kerusakan saraf sensorik
yang tidak terlihat seperti kehilangan rasa raba pada telapak tangan dan
telapak kaki. Cacat tingkat I pada telapak kaki berisiko terjadinya ulkus
plantaris, namun dengan perawatan diri secara rutin hal ini dapat di cegah.
Mati rasa pada bercak bukan merupakan cacat tingkat I karena bukan
disebabkan oleh kerusakan saraf perifer utama tetapi rusaknya saraf lokal
pada kulit.
3) Cacat tingkat II berarti cacat atau kerusakan yang terlihat.
Untuk mata :
a) Tidak mampu menutup mata dengan rapat (lagopthalmus)
b) Kemerahan yang jelas pada mata
c) Gangguan penglihatan berat atau kebutaan
Untuk tangan dan kaki :
17
a) Luka/ulkus di telapak
b) Deformitas yang disebabkan oleh kelumpuhan otot (kaki simper atau
kontraktur) dan atau hilangnya jaringan (atropi) atau reabsorpsi dari jari-
jari
b. Upaya pencegahan cacat
Komponen pencegahan cacat terdiri dari : 5
1) Penemuan dini penderita sebelum cacat
2) Pengobatan penderita dengan MDT
3) Deteksi dini adanya reaksi kusta dengan pemeriksaan fungsi saraf secara
rutin
4) Penanganan reaksi
5) Penyuluhan
6) Perawatan diri
7) Penggunaan alat bantu
8) Rehabilitasi medis (operasi rekontruksi)
18
membaur sehingga tidak ada kelompok tersendiri. Ketiga metode tersebut
merupakan suatu sistem yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. 2,5,6
19
Jika diketahui cara bagaimana penyakit itu menular, maka dapat dijalankan
usaha-usaha yang jitu untuk menghilangkan sumber infeksi, dan memutuskan
rantai penularan penyakit. Dengan demikian Puskesmas dapat banyak sekali
mengurangi kejadian (incidence) penyakit menular.
20
P2M ini yaitu untuk menurunkan angka kesakitan, kematian, dan kecacatan akibat
penyakit menular. Prioritas penyakit menular yang akan ditanggulangi adalah
Malaria, demam berdarah dengue, diare, polio, filaria, kusta, tuberkulosis paru,
HIV/AIDS, pneumonia, dan penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi. Uraian tugas umum untuk koordinator unit pencegahan dan
pemberantasan penyakit menular yaitu menyusun perencanaan dan evaluasi
kegiatan di unit P2M, mengkoordinir dan berperan aktif terhadap kegiatan di
unitnya, dan ikut serta aktif mencegah dan mengawasi terjadinya peningkatan
kasus penyakit menular serta menindaklanjuti terjadinya KLB. Banyak sekali
upaya yang dilakukan oleh puskesmas untuk memberantas penyakit menular,
setelah puskemas bekerja, kinerja P2M puskesmas langsung dilaporkan kepada
kepala dinas kesehatan daerah tingkat II.
Ruang Lingkup Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular yaitu
Surveilans epidemiologi, Imunisasi, TBC, Malaria, Kusta, DBD, Penanggulangan
KLB, H.ISPA/Pnemonia, Filariasis, Diare, Rabies/Gigitan Hewan Penular Rabies
(HPR), Kesehatan Matra (Haji dan P. Bencana), Frambusia, Leptospirosis,
HIV/AIDS.
Kegiatan pokok pemberantasan penyakit menular oleh puskesmas terdiri
dari pencegahan dan penanggulangan faktor risiko, peningkatan imunisasi,
penemuan dan tatalaksana penderita, Peningkatan surveilens epidemiologi dan
penanggulangan wabah, serta Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi
(KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit.
Selain kunjungan penderita ke puskesmas, puskesmas harus berperan aktif
dalam penemuan dan kunjungan terhadap penderita. Penemuan dan tatalaksana
penderita terdiri atas upaya bimbingan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan
penemuan dan tatalaksana penderita, serta meningkatkan kemampuan tenaga
pengendalian penyakit untuk melaksanakan program penemuan dan tatalaksana
penderita. Di dalam upaya penemuan dan tatalaksana penderita dibutuhkan
kerjasama antara masyarakat dan puskesmas untuk saling bekerjasama sehingga
dapat memabangun status kesehatan pada masyarakat yang optimal dengan
pemberantasan penyakit menular, sebagai contoh seperti kasus Kusta yang
membutuhkan peran penting puskesmas. Apabila pasien berhenti dalam masa
21
pengobatan akibat halangan tertentu atau lalainya pasien dalam kunjungan ke
puskesmas untuk kontrol, maka puskesmas harus aktif mengunjungi rumah
penderita, sebab apabila pasien tersebut berhenti minum obat, maka upaya
pemberantasan Kusta dikatakan gagal dan pasien harus mengulang tahap
pengobatan mulai dari awal. Serta apabila pasien terus-terusan memberhentikan
pengobatan di tengah-tangah masa pengobatan, maka akan terjadi resistensi dan
hal ini dapat menyebabkan kemungkinan penyebaran penyakit semakin besar.
Itulah sebabnya, puskesmas terdekat harus mengunjungi rumah pasien agar dapat
menjangkau pasien dan menyukseskan upaya P2M.
Surveilans epidemilogi penyakit menular juga merupakan salah satu upaya
pemberantasan penyakit menular yang penting, karena dengan surveilans
epidemiologi penyakit menular, puskesmas dapat mengetahui penyebaran dan
hubungannya dengan faktor risiko, surveilans epidemiologi ini dapat mendukung
pemberantasan penyakit menular dari data yang didapat oleh puskesmas itu
sendiri.
Di dalam KEPMENKES RI NOMOR 1479/MENKES/SK/X/2003 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan
Penyakit Tidak Menular Terpadu, dinyatakan bahwa prioritas surveilans penyakit
yang perlu dikembangkan adalah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi,
penyakit yang potensial menimbulkan wabah atau kejadian luar biasa, penyakit
menular dan keracunan, demam berdarah dan demam berdarah dengue, malaria,
penyakit-penyakit zoonosis antara lain antraks, rabies, leptospirosis, filariasis serta
tuberkulosis, diare, tipus perut, kecacingan dan penyakit perut lainnya, kusta,
frambusia, penyakit HIV/AIDS, penyakit menular seksual, pneumonia, termasuk
penyakit pneumonia akut berat (severe acute respiratory syndrome), hipertensi,
stroke dan penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, neoplasma, penyakit paru
obstuksi menahun, gangguan mental dan gangguan kesehatan akibat kecelakaan.
Salah satu ruang lingkup penyelenggaran surveilans terpadu penyakit yaitu
surveilans terpadu penyakit bersumber data Puskesmas, jenis penyakit menular
yang termasuk di dalam surveilans terpadu penyakit berbasis puskesmas meliputi
kolera, tifus perut klinis, TBC paru BTA (+), tersangka TBC paru, kusta PB,
Kusta MB, campak, difteri, batuk rejan, tetanus, hepatitis klinis, malaria klinis,
22
malaria vivax, malaria falsifarum, malaria mix, demam berdarah dengue,
pneumonia, sifilis, gonorrhe, frambusia, filariasis, dan influenza. Data-data
surveilans terpadu penyakit didapatkan dari data harian pelayanan yang disusun
dalam sistem perekaman data puskesmas. Masing-masing unit surveilans di
Puskemas memiliki peran khusus dalam penyelenggaraan Surveilans Terpadu
Penyakit. Peran tersebut diformulasikan sebagai kegiatan teknis surveilans yang
saling mempengaruhi kinerja antara yang satu dengan unit surveilans yang lain
dalam jejaring surveilans. Peran puskesmas dalam STP penyakit menular yaitu:
a. Pengumpulan dan pengolahan data
Unit surveilans puskesmas Unit surveilans Puskesmas mengumpulkan dan
mengolah data STP Puskesmas harian bersumber dari register rawat jalan &
register rawat inap di Puskesmas dan Puskesmas Pembantu, tidak termasuk data
dari unit pelayanan bukan puskesmas dan kader kesehatan. Pengumpulan dan
pengolahan data tersebut dimanfaatkan untuk bahan analisis dan rekomendasi
tindak lanjut serta distribusi data.
b. Analisis serta Rekomendasi Tindak Lanjut
Unit surveilans Puskesmas melaksanakan analisis bulanan terhadap penyakit
potensial KLB di daerahnya dalam bentuk tabel menurut desa/kelurahan dan
grafik kecenderungan penyakit mingguan, kemudian menginformasikan hasilnya
kepada Kepala Puskesmas, sebagai pelaksanaan pemantauan wilayah setempat
(PWS) atau sistem kewaspadaan dini penyakit potensial KLB di Puskesmas.
Apabila ditemukan adanya kecenderungan peningkatan jumlah penderita penyakit
potensial KLB tertentu. maka Kepala Puskesmas melakukan penyelidikan
epidemiologi dan menginformasikan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Unit
surveilans Puskesmas melaksanakan analisis tahunan perkembangan penyakit dan
menghubungkannya dengan faktor risiko, perubahan lingkungan, serta
perencanaan dan keberhasilan program. Puskesmas memanfaatkan hasilnya
sebagai bahan profil tahunan, bahan perencanaan Puskesmas, informasi program
dan sektor terkait serta Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
c. Umpan Balik
Unit surveilans Puskesmas mengirim umpan balik bulanan absensi laporan
dan permintaan perbaikan data ke Puskesmas Pembantu di daerah kerjanya.
23
d. Laporan
Setiap minggu, Puskesmas mengirim data PWS penyakit potensial KLB ke
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Setiap bulan, puskesmas mengirim data STP
Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan jenis penyakit dan
variabelnya.
Setelah upaya-upaya yang telah dijelaskan di atas tadi, Puskesmas juga
memiliki upaya untuk meningkatkan komunikasi, informasi, dan Edukasi untuk
pencegahan dan pemberantasan penyakit menular di suatu wilayah kerjanya.
Upaya ini bisa dilakukan dengan pengembangan media promosi kesehatan dan
teknologi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE); pengembangan upaya
kesehatan bersumber masyarakat, (seperti pos pelayanan terpadu, pondok bersalin
desa, usaha kesehatan sekolah dan generasi muda; serta peningkatan pendidikan
kesehatan kepada masyarakat. Media promosi kesehatan terhadap masyarakat
perlu ditingkatkan terutama promosi tentang penyakit menular, cara penularan dan
cara pencegahan agar masyarakat bisa mengerti secara luas apa saja penyakit
menular itu, bagaimana cara mencegahnya dan bagaimana cara mengobatinya.
Selain itu puskesmas juga bertugas untuk mengajak masyarakat berperan aktif
dalam pengembangan upaya kesehatan misalnya pos pelayanan terpadu dan usaha
kesehatan lain. Selain promosi kesehatan, komunikasi dan informasi seputar
penyakit menular untuk masyarakat juga merupakan upaya puskesmas dalam
pemberantasan penyakit menular. Informasi yang diberikan terhadap puskesmas
seperti penyuluhan harus dibuat semenarik mungkin agar masyarakat tertarik
terhadap acara yang diadakan. Upaya yang dapat dilakukan selain promosi yaitu
pemberdayaan masyarakat melalui pos kesehatan pada puskesmas yang
bersumberdayakan masyarakat. Pos kesehatan ini tetap dikelola oleh puskesmas
meskipun yang melaksanakan orang-orang yang ingin berpartisipasi di dalamnya
dengan dibimbing oleh dokter atau bidan setempat. Dengan adanya pos kesehatan
yang bersumberdayakan masyarakat, maka secara otomatis pengetahuan
masyakarakat akan bertambah.
24
Implementasi Pemberantasan Penyakit Menular Kusta Pada Puskesmas
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular kronik yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae (M leprae) yang intra seluler
obligat menyerang saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa
traktus respiratorius bagian atas kemudian ke organ lain kecuali susunan saraf
pusat.
Ciri khas dari penyakit ini yaitu:
Kelainan kulit yang mati rasa
Kelainan kulit atau lesi dapat berbentuk hipopigmentasi (bercak putih) dan
anastesi (mati rasa) pada kulit.
Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan
fungsi saraf ini disebabkan peradangan saraf tepi yang kronis. Gangguan saraf tepi
ini berupa:
Gangguan fungsi sensoris merupakan gangguan yang ditandai dengan mati
rasa.
Gangguan fungsi motoris merupakan gangguan yang ditandai dengan
kelemahan atau kelumpuhan otot.
Gangguan fungsi otonom merupakan gangguan yang ditandai dengan kulit
kering dan retak-retak.
Hasil pemeriksaan laboratorium dari kerokan jaringan kulit menunjukkan
BTA positif
Tujuannya yaitu untuk mengurangi kesakitan Kusta dan mencegah
kecacatan yang ditimbulkan kusta serendah mungkin dan mencegah penyebaran
penyakit kusta.
Kegiatan yang dilakukan yaitu:
Pengamatan epidemiologi dan tindakan pemberantasan
Penderita kusta yang ditemukan baik pada kunjungan dalam gedung maupun
luar gedung puskesmas harus dicatat dan dialporkan
Penderita yang ditemukan adanya bercak yang dicurigai kusta, harus
memeriksakan dirinya ke puskesmas
Bila dalam kerokan kulit ditemukan BTA positif, berikan penjelasan tentang
pengobatan yang harus dijalani
25
Penyuluhan kesehatan
26
BAB III
METODE KEGIATAN
Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan dua metode yaitu snowball sampling
dan convenient /accident sampling dengan kriteria inklusi :
Laki-laki dan perempuan dari usia 7 tahun sampai 70 tahun
Yang bersedia menjadi sampel
Kriteria eklusi
Yang tidak bersedia menjadi sampel
27
3.4 Laporan kegiatan
Penyuluhan
Untuk upaya meningkatkan penjaringan survey kontak kusta di kelurahan air
jamban yang merupakan wilayah kerja UPT PKM duri Kota, maka dilakukan
penyuluhan tentang kusta dengan materi:
1. Definisi dan penyebab kusta
2. Cara penularan kusta
3. Bahaya kusta
4. Cara pencegahan dan pengobatan kusta
5. Sikap anti diskriminasi terhadap penderita kusta
Pemeriksaan fisik
1. Dilakukan inspeksi pada seluruh tubuh sampel apakah terdapat
bercak berwarna putih kehitaman atau kemerahan.
2. Pada sampel yang terdapat bercak dilakukan pemeriksaan sensoris
dengan menggunakan kapas untuk mengetahui apakah bercak
tersebut mati rasa atau tidak
3. Pada sampel yang dicurigai kusta, disarankan untuk melakukan
pemeriksaan lebih lanjut di puskesmas atau RSUD Mandau
28
BAB IV
HASIL
29
6. Bumil : 3.009 jiwa
7. Bulin : 2.836 jiwa
8. Busui : 2.836 jiwa
9. Usila : 10.206 jiwa
4.3 Sarana Pelayanan Kesehatan
4.3.1 Fasilitas Kesehatan
UPT Puskesmas Duri Kota Kecamatan Mandau merupakan Puskesmas
rawat jalan, yang melaksanakan program upaya kesehatan masyarakat (UKM)
maupun upaya kesehatan perseorangan (UKP). Untuk lebih jelasnya distribusi
pelayanan kesehatan yang ada di wilayah UPT Kesehatan Puskesmas Kecamatan
Mandau.
Tabel 4.1 Distribusi fasilitas kesehatan di wilayah kerja UPT Puskesmas Duri Kota
Kecamatan Mandau Tahun 2016
30
10. SPRG 2 Orang
11. Analis (SMAK) 2 Orang
12. SMA 3 Orang
13 SD 1 Orang
Jumlah 42 Orang
31
individu/komunitas yang sering kontak dengan penderita ataupun keluarga
dengan penyakit kusta, penyuluhan disertai dengan contoh gambar gejala dan
kecacatan penyakit tersebut.
Penyuluhan kelompok yang telah dilakukan pada :
- Keluarga & tetangga penderita kusta sebanyak ± 16 orang di Bathin
Batuah (15 Maret’18)
- Keluarga penderita kusta sebanyak ± 5 orang di Air Jamban (28 Maret
2018)
- Keluarga penderita kusta sebanyak ± 5 orang di Babussalam (4 April
2018)
- SD 012 Air Jamban kelas 3-6 & wali guru ± 32 orang (27 Maret 2018)
- SD 015 Air Jamban kelas 1 & wali guru ± 32 orang (22 Mei 2018)
- SD 020 Babussalam, kelas 1 & wali guru ± 52 orang (23 Mei 2018)
- SD 040 Babussalam, kelas 2 & wali guru ± 32 orang (24 Mei 2018)
- SD 010 Air Jamban, kelas 1 & wali guru ± 45 orang (26 Mei 2018)
Dari pengalaman saat penyuluhan, ±219 peserta penyuluhan terlihat sangat
antusias mendengarkan informasi yang disampaikan oleh dokter internsip. Setelah
informasi tentang penyakit kusta disampaikan peserta penyuluhan diminta untuk
dapat mengulang kembali apa saja jenis kusta dan bagaimana penularan penyakit
kusta dan apa yang dilakukan jika menemukan tanda penyakit kusta. Dan
masuklah ke sesi tanya jawab, dimana sesi ini diisi dengan banyaknya pertanyaan
terutama dari pihak guru. Banyak dari para guru mengaku tidak mengetahui
dengan jelas gejala dan bagaimana penularan dari penyakit tersebut, dan masih
sukarnya membedakan penyakit kulit dengan tampakan yang serupa dengan itu.
Antusias peserta penyuluhan tampak dari aktifnya peserta melaporkan gejala yang
dirasakan sesuai dengan materi penyuluhan, siswa/i dan guru di SD pun juga
tampak dari memeriksakan beberapa siswa kelas lainnya, yaitu 5 dan 6 dengan
tampakan lesi kulit serupa, sehingga bisa secara bersamaan diperiksa bersama
yang lainnya.
Di dalam Penyuluhan tersebut juga disisipkan informasi untuk disampaikan
kepada para orang tua/wali dari siswa mengenai kusta, dimana penting untuk
mengetahui gejala dari penyakit kusta, pencegahan, penularan dan merupakan
32
penyakit yang bisa diobati, serta pentingnya sikap anti diskriminasi individu
dengan penyakit tersebut, terutama oleh individu/komunitas yang sering kontak
dengan individu ataupun keluarga dengan penyakit kusta. Dan dikarenakan
informasi yang disampaikan, siswa/i dan para guru memahami tentang pentingnya
pemeriksaan ke faskes terdekat terutama Puskesmas terutama jika ditemui adanya
gejala dari penyakit tersebut agar penyakit segera terdeteksi dan mencegah
penularan terutama kepada keluarga terdekat dan juga mencegah kecacatan
ataupun komplikasi lebih lanjut nantinya.
33
(NCDR= New Case Detection Rate) Merupakan penderita yang baru ditemukan
pada periode satu tahun per 100.000 penduduk
Rumus:
∑ penderita yang baru ditemukan pada periode 1 tahun x 105
∑ penduduk pada tahun yang sama
= 1 x 100.000
136.076
= 0,73 : 100.000 (target < 5 : 100.000)
Dibandingkan dengan target <5:100.000, dengan total jumlah penduduk 136.076
orang. Maka NCDR kusta untuk kecamatan Duri tergolong rendah.
34
Lesi Persentase Lesi + Persentase N
Mati
rasa
Keluarga Tn.S - % 2 66,7% 3
Tetangga Tn.S 7 54 % - % 13
SD 012 10 31,25 % 1 3% 32
SD 015 5 15,6 % - % 32
SD 020 4 7,69 % - % 52
SD 040 3 9,37 % - % 32
SD 010 6 13,3 % - % 45
Keluarga Ny.E 1 20 % 1 20 % 5
Keluarga - - - - 5
Tn.SL
Jumlah 36 16 % 4 1,86 % 219
35
BAB V
DISKUSI
36
berjenis kelamin lelaki (80%) lebih banyak dibandingkan perempuan (20%), Pada
pengelompokan pasien MH berdasarkan kriteria WHO, ditemukan distribusi pada
pasien MH tipe MB juga demikian, lebih banyak lelaki (68,4%).9
Penyakit Kusta tipe MB, seperti yang banyak dijumpai di Indonesia, lebih
menular dibandingkan dengan tipe PB. Penularan dalam lingkup rumah tangga
pada MH tipe MB 5-14 kali lebih menular dibandingkan tipe PB. secara
patofisiologi penyakit tipe MB ini terjadi karna Cell mediated Immunity (CMI)
yang kurang adekuat sehingga penyakit menyebar tidak terkontrol. Namun,
sebaliknya jika immune spesifik efektif dalam meng-eliminasi dan mengontrol
infeksi di dalam tubuh, maka lesi bisa sembuh spontan atau malah menghasilkan
lepra tipe PB.10
Data dari penelitian serupa di negara lain, India Selatan, pada tahun 2011-
2012 juga menjelaskan hal serupa, dengan persentase pasien MH tipe MB dari
total pasien MH sebesar 54,3%. Terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang
menunjukkan perbandingan yang berbeda pada distribusi jenis kelamin pada
penyakit MH. Namun, secara umum dikatakan bahwa lelaki lebih banyak
menderita MH dibandingkan perempuan. Pada kenyataannya, MH terdapat di
mana-mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah tropis dan subtropis,
serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Berdasarkan data dari penelitian
oleh Varkevisser, pasien MH lebih banyak berjenis kelamin lelaki pada wilayah
Asia. Hal ini dipertegas oleh literatur serupa oleh James yang menyatakan bahwa
prevalensi penyakit MH tipe MB di kawasan Asia lebih banyak diderita oleh
lelaki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 1,6 : 1,5 Literatur oleh Bhat
juga menyatakan jumlah pasien MH lelaki (54,35%) melampaui perempuan
(45,65%). Berdasarkan literatur oleh Tiwow, juga diungkapkan hal serupa,
dengan persentase pasien lelaki sebesar 64,3%, perbandingan lelaki dan
perempuan sebesar 1,8 : 1.9
Perbedaan dalam rasio lelaki dan perempuan dalam hal ini dapat disebabkan
oleh karena faktor genetik, tempat, dan waktu penelitian. Ketidaksetaraan
perbandingan tersebut juga dapat disebabkan oleh faktor budaya, sosial, dan
pendidikan masyarakat, seperti yang terjadi pada masyarakat Nepal. Faktor sosial
budaya diyakini berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan dalam
37
keluarga, contohnya dalam hal berobat. Hal ini relevan dengan masyarakat
Indonesia, yang secara umum menganut budaya patriarkisme dalam keluarga.
Masyarakat Riau juga menganut budaya yang sama, lebih mengedepankan kaum
lelaki dibandingkan perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh Widayani
menjelaskan bahwa terdapat pemahaman ketidaksetaraan atau ketidakadilan
gender berdasarkan persepsi masyarakat terhadap budaya patriarki. Selain itu,
lelaki juga cenderung lebih aktif dan banyak melakukan mobilisasi,
memungkinkan tingginya prevalensi MH pada lelaki. Faktor sosial budaya, dalam
hal ini gender, seringkali mempengaruhi atau berkaitan erat dengan sosial
ekonomi masyarakat dan keluarga.Faktor sosial ekonomi juga diyakini memiliki
pengaruh, karena menurut literatur, penyakit MH cenderung lebih banyak
menyerang masyarakat dengan kelas social ekonomi rendah.Semakin rendah kelas
sosial ekonominya, semakin berat penyakitnya.Sebaliknya, kelas sosial ekonomi
tinggi membantu penyembuhan. Faktor pendidikan juga sejalan, turut dipengaruhi
oleh faktor sosial budaya dan ekonomi masyarakat. Semakin rendah pendidikan
masyarakat, maka tingkat kesadaran akan penyakit menjadi kurang. Peran
penyuluhan kesehatan sangatlah penting dalam meningkatkan kesadaran
masyarakat dan penderita MH untuk berobat.9,11
Penderita kusta cenderung mempunyai riwayat kontak sebelumnya yaitu
sebanyak (45,3%). Penderita kusta sebelum menderita kusta cenderung
mempunyai kontak baik dengan orang serumah maupun orang yang tidak tinggal
serumah seperti rekan kerja, tetangga, atau teman.12
Dari penelitian Tasalina dkk Sebanyak 74.3% penderita kusta melakukan
interaksi lama kontak lebih dari 2 tahun, Responden yang tidak menderita kusta
sebanyak 68,6% melakukan interaksi lama kontak kurang dari 1 tahun.
Dinyatakan bahwa, seseorang yang melakukan interaksi kontak langsung maupun
tidak langsung terhadap penderita kusta dapat berisiko terkena penyakit kusta
sebesar 6,30 kali.12
Hasil penelitian Tarmisi et al. menunjukkan bahwa orang dengan riwayat
kontak serumah berisiko tertular penyakit kusta 15,127 kali lebih besar
dibandingkan dengan tidak ada riwayat kontak serumah. Interaksi antar anggota
masyarakat yang tinggi, antara keluarga dan tetangga mengakibatkan
38
kemungkinan untuk tertular kusta semakin besar. Kontak serumah dengan anggota
keluarga penderita kusta maka potensi terjadi penularan bakteri kusta juga
semakin besar.12
Hasil penelitian Sabiene et all, pemberian kemopropilaksis pada kontak
dengan penderita kusta menunjukkan hasil yang efektif, mengurangi insidens
terhadap relasi yang kontak sebanyak 57% dalam 2 tahun setelah pemberian
profilaksis. WHO dalam “Enhanced Global Strategy for Further Reducing” juga
menuangkan tentang penggunaan kemoprofilaksis ini, namun disadari masih
dibutuhkan banyak pemeriksaan sebelum di rekomendasikan secara menyeluruh.13
BAB VI
39
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 KESIMPULAN
Setelah dilakukan upaya deteksi dini di wilayah kerja UPT Puskesmas Duri
dapat ditarik beberapa kesimpulan. :
a. Dari data yang diterima di Puskesmas, terdapat 5 orang positif kusta yang
menerima terapi MDT.
b. Untuk melakukan deteksi dini penularan kusta di masyarakat, penulis sudah
melakukan penyuluhan dan pemeriksaan fisik terhadap masyarakat.
Berdasarkan dari data yang didapatkan, terdapat 4 orang tersangka penderita
kusta.
c. Tingkat pengetahuan masyarakat tentang kusta masih dirasakan kurang, dalam
proses penyuluhan banyak dari masyarakat kurang memahami gejala, bahaya
dan penularan dari kusta.
6.2 SARAN
a. Sebaiknya penjaringan ini dilakukan secara rutin dan berkala, oleh tenaga
kesehatan yang berwenang.
b. Sebaiknya dilakukan lagi pendekatan secara personal kepada masyarakat-
masyarakat yang masih susah untuk di rangkul dalam program kesehatan
khususnya penjaringan suspect kusta ini.
DAFTAR PUSTAKA
40
1. Bhat RM, Prakash C. Leprosy: An overview of pathophysiology.
Interdiscip Perspect Infect Dis. 2012;2012.
41
12. Yohana T, Gustam P, Agusni I, Nuswantoro D. Hubungan antara
Riwayat Kontak dengan Kejadian Kusta Multibasiler. Univ Res Coll.
2017;6:35–40.
42
LAMPIRAN
43
44
45
46