Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kusta atau yang juga dikenal sebagai lepra atau Morbus Hansen masih menjadi masalah
kesehatan di beberapa negara sedang berkembang, tak terkecuali Indonesia. Penyakit ini sangat
ditakuti bukan karena menyebabkan kematian melainkan lebih banyak menyebabkan kecacatan
yang permanen. Pada tahun 2016 WHO telah meluncurkan strategi global baru “ The Global
Kusta Strategy 2016-2020 : Accelerating towards a kusta free world”yang bertujuan untuk
menghidupkan kembali upaya pengendalian kusta dan menghindari kecacatan, terutama
dikalangan anak-anak yang terkena penyakit di Negara endemik kusta.

Pada tahun 1991 World Health Assmebly membuat resolusi tentang eliminasi Kusta
sebagai problem kesehatan masyarakat pada tahun 2000 dengan menurunkan prevalensi kusta
menjadi 1 kasus per 10.000 penduduk. Hal ini menjadi dasar bagi Depkes RI pada tahun 2000
dengan melaksanakan dan menetapkan Penyakit Kusta sebagai prioritas dan perhatian dalam
upaya pemberantasan penyakit menular hal ini dikenal sebagai Eliminasi Kusta Tahun 2000.
Dalam 12 tahun (2000-2011) situasi kusta di Indonesia menunjukkan kondisi yang relatif statis
dan kecenderungan peningkatan proporsi cacat tingkat 2.

Menurut laporan resmi yang di terima dari 121 negara dari seluruh wilayah WHO kecuali
Eropa, prevelensi kasus baru kusta pada tahun 2012 sebanyak 232.857, pada tahun 2013
sebanyak 215.656 kasus baru dan pada akhir 2014 adalah 174.554 (0,24 kasus per 10.000 orang)
dan jumlah kasus baru yang dilaporkan pada tahun 2014 adalah 213.899 (0,3 kasus baru per
10.000 orang).

Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2015, ditemukan kasus baru pada tahun
2012 sebanyak 18.994 kasus dengan prevalensi 0,91 per 10.000 penduduk, tahun 2013 sebanyak
16.856 kasus dengan prevalensi 0,79 per 10.000 penduduk, dan tahun 2014 sebanyak 16.131
kasus dengan prevalensi 0,64 per 10.000 penduduk. Walaupun terjadi penuruan prevalensi
namun dapat dikatakan bahwa Indonesia belum terbebas dari penyakit kusta dan masih menjadi
salah satu masalah penyakit menular di Indonesia. Hal ini didukung pula dengan data WHO
(2014) menyebutkan bahwa Indonesia merupakan tiga besar penyumbang kasus Kusta di dunia

1
setelah India dan Brazil.Untuk itu, Kemenkes RI menargetkan agar seluruh Provinsi dapat
mencapai status eliminasi kusta tahun 2019.

Pemberantasan kusta di Indonesia masih dikatakan lambat. Hal tersebut disebabkan


karena faktor pengetahuan yang kurang dari anggota keluarga terhadap penderita kusta, status
sosial dan ekonomi masyarakat dalam melakukan pengobatan MDT, stigma dan diskriminasi
terhadap penderita kusta serta kurangnya pemahaman mengenai reaksi kusta yang dapat timbul
selama pengobatan maupun setelah selesai pengobatan yang mungkin akan menjadi beban sosial,
ekonomi, dan psikologis yang besar pada pasien bila tidak ditangani dengan tepat. Reaksi kusta
merupakan penyebab terbesar kerusakan saraf dan kematian sebagian besar penderita kusta, jika
dapat terdeteksi pada saat yang tepat komplikasi dapat dicegah.

Pengobatan MDT merupakan kunci dari strategi eliminasi kusta disamping pelayanan
kesehatan dan kepatuhan pasien. Pengobatan MDT terbukti dapat menjadi kontrol dari penyakit
kusta, khususnya ketika pasien terdeteksi sejak dini dan memulai pengobatan tanpa ditunda
untuk menurunkan morbiditas, seperti gangguan saraf, deformitas, ataupun kecacatan.
Kepatuhan minum obat dan keberhasilan berobat sangat penting untuk penderita kusta.

Jumlah penderita kusta yang diobati di Puskesmas Labuha tahun 2016-2017 berjumlah 16
orang. Desa yang memiliki jumlah kasus terbanyak yaitu di Desa Tomori sebanyak 4 orang dan
diikuti Desa Amasing Kota Utara berjumlah 3 orang, Desa Indomut berjumlah 2 orang, Desa
Hidayat berjumlah 3 orang, Labuha 1 orang, Kampung Makian berjumlah 1 orang dan Belang-
belang berjumlah 2 orang. Dari data yang diperoleh penderita kusta pada orang dewasa
berjumlah 9 orang dan anak-anak berjumlah 5 orang, jenis kusta MB pada orang dewasa
berjumlah 7 orang dan anak-anak berjumlah 5 orang serta kusta PB dewasa berjumlah 2 orang
dan anak-anak tidak ada, yang mengalami reaksi kusta yaitu reaksi tipe ENL berjumlah 1 orang
dan yang mengalami kecacatan berjumlah 1 orang. Dari jumlah data pasien tersebut belum ada
yang menyelesaikan pengobatan. Hal ini mendorong penulis merasa perlu untuk memberikan
perhatian lebih akan masalah ini.

Mini Project ini sendiri adalah kegiatan yang dilakukan untuk membantu pelaksanaan
upaya kesehatan di Puskesmas. Melihat masalah yang dihadapi dalam penanganan kasus kusta di
Puskesmas Labuha.

2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang akan diteliti yaitu :.
Hubungan pengetahuan dan sikap penderita kusta terhadap pengobatan kusta

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengubah pemahaman penderita kusta mengenai penyakitnya sendiri.
1.3.2 Tujuan khusus
Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap penderita kusta terhadap
pengobatan kusta.

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat bagi Puskesmas dan Instansi terkait
Petugas kesehatan harus mampu mendorong penderita untuk terus berobat agar tidak
menimbulkan kecacatan permanen dikemudian hari.

1.4.2 Manfaat bagi Masyaraka


Diharapkan mampu memberikan dukungan penuh pada pasien dengan pengetahuan yang
baik dan sikap yang positif terhadap penyakit kusta serta pentingnya pengobatan kusta
secara tuntas dalam upaya pencegahan kecacatan dan pengendalian penularan kusta di
masyarakat.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi

Kusta (penyakit lepra, Morbus Hansen) didefinisikan sebagai suatu infeksi granulomatosa
kronis dengan gejala sisa, disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M. leprae) yang terutama
menyerang kulit dan saraf. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa saluran
napas atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Pada kebanyakan orang
yang terinfeksi dapat asimptomatik, namun pada sebagian kecil memperlihatkan gejala dan
mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat, khususnya pada tangan dan kaki. Menurut
Depkes RI (2006) penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah
yang sangat kompleks. Masalah tersebut bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai segi
sosial, ekonomi, psikologis. (Amirudin dalam Harahap, 2000)

2.2 Epidemiologi Kusta di Dunia dan Indonesia

Kusta merupakan salah satu penyakit tertua di dunia yang hingga saat ini masih
menjangkit pada jutaan orang di seluruh dunia. Bakteri penyebab kusta ini ditemukan oleh
seorang ilmuwan bernama Gerhard Henrik Armauer Hansen berasal dari Norwegia pada tahun
1873. Penyakit kusta merupakan salah satu dari 17 penyakit tropis yang masih terabaikan
dengan angka kejadiannya yang masih tinggi (WHO, 2013). Tahun 2012 angka kejadian
penyakit kusta di dunia terdeteksi 181.941 orang. Dari lima wilayah WHO, Asia Tenggara
merupakan wilayah yang menduduki tingkat pertama, yaitu dengan jumlah penderita kusta
sebanyak 117.147 orang. (WHO, 2013)

Indonesia merupakan salah satu wilayah Asia Tenggara yang menempati urutan ke tiga
dunia dengan angka kejadian 23.169 penderita, sementara India menempati peringkat pertama
dan diikuti Brazil sebagai pringkat kedua (WHO, 2013).

4
Gambar 2.1

Angka Prevalensi dan Angka Penemuan Kasus Baru di Indonesia

Sejak tercapainya status eliminasi kusta pada tahun 2000, situasi kusta di Indonesia
menunjukkan kondisi yang relatif statis. Hal tersebut dapat terlihat dari angka penemuan kasus
baru kusta selama lebih dari dua belas tahun yang menunjukkan kisaran angka antara enam
hingga delapan per 100.000 penduduk dan angka prevalensi yang berkisar antara delapan hingga
sepuluh per 100.000 penduduk per tahunnya. Namun, sejak tahun 2012 hingga tahun 2015 angka
tersebut menunjukkan penurunan. Target prevalensi kusta sebesar <1 per 10.000 penduduk (<10
per 100.000 penduduk). Dengan demikian prevalensi kusta di Indonesia pada tahun 2015 yang
sebesar 0,79 per 10.000 penduduk telah mencapai target program. Pada tahun 2015 dilaporkan
17.202 kasus baru kusta dengan 84,5% kasus di antaranya merupakan tipe Multi Basiler (MB).
Sedangkan menurut jenis kelamin, 62,7% penderita baru kusta berjenis kelamin laki-laki dan
sebesar 37,3% lainnya berjenis kelamin perempuan. ( Kemenkes, Profil Kesehatan Nasional
Republik Indonesia Tahun 2015, 2016).

Gambar 2.2

5
Berdasarkan status eliminasi, kusta dibagi menjadi 2 kelompok yaitu provinsi yang belum
eliminasi dan provinsi yang sudah mencapai eliminasi. Provinsi yang belum mencapai eliminasi
jika angka prevalensi > 1 per 10.000 penduduk, sedangkan provinsi yang sudah mencapai
eliminasi jika angka prevalensi < 1 per 10.000 penduduk. Pada Gambar 2.3 terlihat bahwa dari
34 provinsi, sebanyak 12 provinsi (35,3%) termasuk dalam provinsi yang belum eliminasi.
Sedangkan 22 provinsi lainnya (64,7%) termasuk dalam provinsi yang sudah eliminasi. Seluruh
provinsi di bagian timur Indonesia merupakan daerah yang belum mencapai eliminasi.
(Kemenkes, Profil Kesehatan Nasional Republik Indonesia Tahun 2015, 2016).

Gambar 2.3

Provinsi Aceh dan Banten di tahun 2013 angka prevalensinya > 1 per 10.000 penduduk
(belum eliminasi) namun di tahun 2014 dan 2015 kedua provinsi ini berhasil mencapai eliminasi.
( Kemenkes, Profil Kesehatan Nasional Republik Indonesia Tahun 2015, 2016).

6
Angka cacat tingkat 2

Pengendalian kasus kusta antara lain dengan meningkatkan deteksi kasus sejak dini.
Indikator yang digunakan untuk menunjukkan keberhasilan dalam mendeteksi kasus baru kusta
yaitu angka cacat tingkat 2. Angka cacat tingkat 2 pada tahun 2015 sebesar 6,60 per 1 juta
penduduk, menurun dibanding tahun sebelumnya yang sebesar 6,33 per 1 juta penduduk. Berikut
ini grafik angka cacat tingkat II tahun 2011-2015. ( Kemenkes, Profil Kesehatan Nasional
Republik Indonesia Tahun 2015, 2016).

Gambar 2.4

Provinsi dengan angka cacat tingkat 2 per 1.000.000 penduduk tertinggi pada tahun 2015
yaitu Sulawesi Utara (21,14%), Papua Barat (19,51%) dan Gorontalo (18,53%). Hal itu
menunjukkan kinerja penemuan kasus baru kusta di provinsi tersebut masih rendah. Ada 14
provinsi di Indonesia yang prevalensinya di atas 1 per 10.000 yaitu Banten, Sulawesi Tengah,
Aceh, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku,
Maluku Utara, Papua, Papua Barat dan Kalimantan Utara. Untuk program eliminasi kusta itu
sendiri, pemerintah telah membuat program, Rencana Aksi Program Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan tahun 2015-2019 yang merupakan bagian dari RPJMN 2015-2019.
Salah satu sasaran strategis untuk meningkatkan pengendalian penyakit pada akhir tahun 2019
adalah jumlah provinsi dengan eliminasi kusta sebanyak 34 provinsi dari status awal sebanyak
20 provinsi pada tahun 2013. Strategi yang dilakukan dalam pengendalian penyakit kusta dengan

7
cara intensifikasi penemuan kasus kusta di 14 provinsi (prevalensi > 1 per 10.000) dan 147
kabupaten/kota. (Kemenkes, Profil Kesehatan Nasional Republik Indonesia Tahun 2015, 2016).

Gambar 2.5

2.3 Etiologi
Penyebab penyakit kusta yaitu Mycobacterium leprae dimana untuk pertama kali
ditemukan oleh G.H Armauer Hansen pada tahun 1873.M.Leprae hidup intraseluler dan
mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan Cell) dan sel dari sistem retikulo
endotelial. Waktu pembelahan sangat lama, yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh manusia (dalam
kondisi tropis) kuman kusta dari sekret nasal dapat bertahan sampai 9 hari. Pertumbuhan optimal
in vivo kuman kusta pada tikus adalah pada suhu 27-30o. Kuman kusta ditemukan oleh G.A.
Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belun juga dapat dibiakkan dalam
media artifisial.M. Leprae berbentuk basil tahan asam, dan alkohol serta gram-positif.

8
2.4 Cara Penularan

Sampai saat ini hanya manusia satu-satunya yang dianggap sebagai sumber punalaran
dari penyakit kusta dimana kuman kusta banyak ditemukan di mukosa hidung manusia. Telah
terbukti bahwa saluran napas bagian atas dari pasien tipe lepramatosa merupakan sumber kuman.
Menurut teori cara masuknya kuman melalui saluran pernapasan bagian atas dan melalui kontak
kulit. Kuman kusta memiliki masa inkubasi rata-rata 2-5 tahun, akan tetapi juga dapat bertahun-
tahun. Penularan terjadi apabila M. Leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh pasien dan masuk
ke dalam tubuh orang lain. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang
lama dengan pasien. Pasien yang sudah minum oabt MDT tidak menjadi sumber penularan
kepada orang lain.(Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta, 2012)

Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan pasien kusta, hal
ini disebabkan adanya kekebalan tubuh. M. leprae termasuk kuman obligat intraseluler sehingga
system kekebalan yang berperah adalah system kekebalan selular. Faktor fisiologik seperti
pubertas, menopause, kehamilan, serta factor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan
perubahan klinis penyakit kusta. Upaya pemutusan mata rantai penularan penyakit kusta dapat
dilakukan melalui pengobatan MDT pada pasien kusta dan Vaksinasi BCG. (Pedoman Nasional
Program Pengendalian Penyakit Kusta, 2012)

Gambar 2.6

9
2.5 Klasifikasi Kusta
Setelah seseorang di diagnosis menderita kusta, maka tahap selanjutnya harus ditetapkan
tipe atau klasifikasinya untuk menentukan jenis pengobatan, lama pengobatan, perencanaan
logistik. Dikenal banyak jenis klasifikasi penyakit kusta. Penentuan klasifikasi ini didasarkan
pada tingkat kekebalan tubuh (kekebalan seluler) dan jumlah kuman. (Pedoman Nasional
Program Pengendalian Penyakit Kusta, 2012)

a. Klasifikasi Internasional ( Madrid,1953 ) :

1. Interdeterminate ( I )

2. Tuberkuloid ( T )

3. Bordeline ( B )

4. Lepromatosa ( L )

b. Klasifikasi Ridley-Jopling ( 1962 ) :

1. Tuberkuloid –tuberkuloid ( TT )

2. Bordeline – tuberkuloid ( BT )

3. Bordeline – bordeline ( BB )

4. Lepramatosa – lepramatosa ( LL )

c. Klasifikasi India

d. Klasifikasi WHO

Pada tahun 1982 sekelompok ahli WHO mengembangkan klasifikasi untuk


memudahkan pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh penderita kusta hanya
dibagi dalam 2 tipe yaitu Paucibacillary (PB) dan Multibacillary (MB). Dasar dari klasifikasi
ini adalah dari gambaran klinis dan hasil pemeriksaan BTA melalui pemeriksaan kerokan
jaringan kulit. Berikut adalah tabel pedoman utama untuk menentukan klasifikasi penyakit
kusta menurut WHO.

10
11
Gambar 2.7

2.6 Diagnosis
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau tanda
kardina (Cardinal signs), yaitu : (Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta,
2012)

a. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa


Kelainan kulit dapat berupa bercak putih (hipopigmentasi) atau kemerahan (eritema)
yang mati rasa (anatesi).
b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf
Penebalan gangguan fungsi saraf yang terjadi merupakan akibat dari peradangan kronis
saraf tepi (neuritis perifer) dan tergantung area yang dilayani oleh saraf tersebut, dan
gangguan dapat berupa : gangguan fungsi sensorik (mati rasa/ kurang rasa) , gangguan
fungsi motorik kelemahan (paresis) atau kelumpuhan (paralysis) otot, dan gangguan
fungsi otonom (kulit kering, retak, edema).
c. Basil tahan asam (BTA) : bahan pemeriksaan diambil dari kerokan kulit (skin smear)
pada cuping telinga serta bagian aktif suatu lesi kulit.

Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari tanda-tanda
utama di atas. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat didiagnosis dengan pemeriksaan

12
klinis. Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua, perlu dirujuk kepada ahli kusta. Jika masih
ragu orang tersebut dianggap sebagai penderita yang di curigai tersangka (suspek) kusta.

Tanda-tanda tersangka kusta :

1. Tanda pada kulit


a. Bercak kulit yang merah atau putih (gambaran yang paling sering ditemukan) atau
plakat pada kulit terutama wajah dan telinga.
b. Bercak kurang/mati rasa
c. Bercak yang tidak gatal
d. Kulit mengkilap atau kering bersisik
e. Adanya kelainan kulit yang tidak berkeringat atau tidak berambut
f. Lepuh tidak nyeri
2. Tanda pada saraf
a. Nyeri tekan atau spontan pada saraf
b. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota gerak
c. Kelemahan anggota gerak dan wajah
d. Adanya cacat (deformitas)
e. Luka (ulkus) yang sulit sembuh
3. Lahir dan tinggal di daerah endemik kusta dan mempunyai kelainan kulit yang tidak
sembuh dengan pengobatan rutin, terutama bila terdapat keterlibatan saraf tepi.

Tanda-tanda tersebut merupakan tanda-tanda tersangka kusta, tidak sebagai dasar


diagnosis penyakit kusta. Jika diagnosis kusta masih belum dapat ditegakkan, tindakan yang
dapat dilakukan adalah:

1. Pikirkan kemungkinan penyakit kulit lain (seperti panu, kurap, kudis, frambusia).
2. Jika tidak ditemukan mati rasa yang jelas maupun penebalan saraf namun ada tanda-tanda
mencurigakan seperti nodul, pembengkakan pada wajah atau cuping telingga, atau
infiltrasi pada kulit, perlu dilakukan pemeriksaan apusan kulit (skin smear).
3. Tunggu 3-6 bulan dan periksa kembali adanya mati rasa, jika lesi kulit tersebut benar
kusta maka dalam periode tersebut mati rasa harusnya menjadi jelas dan dapat memulai
Multidrug Therapy (MDT). Jika masih meragukan suspek perlu dirujuk.

13
Diagnosis Banding

Banyak penyakit kulit lain yang secara klinis menyerupai kelainan kulit pada penyakit
kusta. Bahkan ada istilah yang menyebutkan penyakit kusta sebagai peniru terhebat (the great
iminator) dalam penyakit kulit. Beberapa kelainan kulit yang mirip dengan kusta antara lain,
sebagai berikut : (Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta, 2012)

1. Bercak Merah
a. Psoriasis : bercak merah berbatas tegas, dengan sisik berlapis-lapis.
b. Tinea Carcinata : bercak meninggi, sering meradang, mengandung vesikel/krusta.
c. Dermatitis Seboroik : lesi di daerah sebore (berminyak), dengan sisik kuning
berminyak gatal, kronik, residif, tidak ada rasa baal.
2. Bercak Putih
a. Vitiligo : pigmen kulit hilang total, warna kulit sangat putih.
b. Pitiriasis Versicolor : tampak lesi berupa plak hipopigmentasi dengan skuama halus
dan berbatas tegas.
c. Pitiriasis Alba : macula bentuk bundar atau oval, rasa baal normal.

2.7 Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan klinis yang teliti dan lengkap sangat penting dalam menegakkan diagnosis kusta.
Pemeriksaan tersebut meliputi : (Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta,
2012)

1. Anamnesis
Pada anamnesis ditanyakan secara lengkap mengenai riwayat penyakitnya, meliputi :
a. Kapan timbul bercak/keluhan yang ada?
b. Apakah ada anggota keluarga yang mempunyai keluhan yang sama (apakah ada
riwayat kontak)?
c. Riwayat pengobatan sebelumnya
2. Pemeriksaan fisik, yaitu:
a. Pemeriksaan rasa raba pada kelainan kulit
Sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk memeriksa rasa raba. Memeriksa
dengan ujung dari kapas yang dilancipkan secara tegak lurus pada kelainan kulit yang

14
dicurigai. Sebaiknya penderita duduk pada waktu pemeriksaan. Terlebih dahulu
petugas menerangkan bahwa bilamana merasa tersentuh bagian tubuhnya dengan
kapas, ia harus menunjuk kulit yang disentuh dengan jari telunjuknya, menghitung
jumlah sentuhan atau dengan menunjuk jari tangan ke atas untuk bagian yang sulit
dijangkau.Ini dikerjakan dengan dengan mata terbuka. Bilamana telah jelas, maka ia
diminta untuk menutup matanya, kalau perlu ditutup dengan sepotong kain atau
karton. Kelainan-kelainan dikulit diperiksa secara bergantian dengan kulit yang
normal disekitarnya untuk mengetahui ada tidaknya anestesi. Anestesi pada telapak
tangan dan kaki kurang tepat diperiksa dengan kapas, tetapi mengunakan bolpoint.
b. Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya
Pemeriksaan saraf tepi dilakukan pada saraf-saraf yang paling sering terlibat dalam
penyakit kusta, dan dapat diraba. Pada umumnya cacat kusta disebabkan kerusakan
saraf tepi yang ditunjukan pada gambar di bawah ini.

Gambar 2.8

Palpasi digunakan untuk dapat membedakan apakah ada penebalan atau pembesaran diperlukan
pengalaman palpasi saraf yang normal pada orang sehat. Sewaktu melakukan palpasi saraf lihat
juga mimik penderita, apakah ada kesan kesakitan tanpa menanyakan sakit atau tidak. Dari
beberapa saraf yang wajib diraba yaitu saraf ulnaris, peroneus communis, dan tibialis posterior.

15
Untuk diagnosis secara lengkap selain pemeriksaan klinis juga dilakukan pemeriksaan
tambahan bila ada keraguan dan fasilitas memungkinkan, yaitu :

1. Pemeriksaan Bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan
pengamatan pengobatan. Skin smear atau kerokan kulit adalah pemeriksaan sediaan yang
diperoleh lewat irisan dan kerokan kecil pada kulit yang paling aktif (lesi yang meninggi
dan berwarna merah) kemudian diberi pewarnaan tahan asam untuk melihat
Mycobacterium leprae. Kulit muka sebaiknya dihidarkan karena alasan kosmetik, kecuali
tidak ditemukan kelainan kulit di tempat lain. Pada kasus yang meragukan harus
dilakukan pemeriksaan apusan kulit (skin smear). Pemeriksaan ini dilakukan oleh petugas
terlatih. Karena cara pewarnaan yang sama dengan pemeriksaan TBC maka pemeriksaan
dapat dilakukan di Puskesmas (PRM) yang memiliki tenaga serta fasilitas untuk
pemeriksaan BTA (Departemen Kesehatan RI, 2006).
2. Pemeriksaan Histopatplogik
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang mempunyai
nama khusus, antara lain sel sel Kuffer dari hati, sel alveolar dari paru, sel glia dari otak,
dan yang dari kulit disebut histiosit.salah satu tugas makrofag adalah melakukan
fagositosis. Kalau ada kuman (M. Leprae) masuk, akibatnya akan bergantung pada
Sistem Imunitas Selular (SIS) orang itu. Apabila SIS-nya tinggi, makrofag akan mampu
memfagosit M. Leprae (Kokasih, dkk, dalam Djuanda 2007).
3. Pemeriksaan Serologis
Pemeriksaan serologis kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang
yang terinfeksi oleh M. Leprae.Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap
M. Leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16
kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-
lipoarabinomanan (LAM) yang juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis. Kegunaan
pemeriksaan serologik ini adalah dapat membantu diagnosis kusta yang meragukan,
karena tanda klinis dan bakteriologis yang tidak jelas.Disamping itu dapat membantu
menentukan kusta subklinis, karena tidak didapati lesi kulit, misalnya pada narakontak
serumah.

16
2.8 Pengobatan
Kemoterapi kusta dimulai tahun 1949 dengan DDS sebagai obat tunggal
(monoterapi DDS). DDS harus diminum selama 3-5 tahun untuk PB, sedangkan untuk
MB 5-10 tahun, bahkan semumur hidup. Pada tahun 1964 ditemukan resistensi terhadap
DDS, oleh sebab itu pada tahun 1982 WHO merekomendasikan pengobatan kusta
dengan Multi Drug Therapy (MDT) untuk tipe PB maupun MB. Tujuan dari pengobatan
untuk memutuskan mata rantai penularan, mencegah resistensi obat dan mencegah
terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum
pengobatan. (Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta, 2012)

Regimen Pengobatan MDT

Multi Drug Therapy (MDT) adalah kombinasi dua atau lebih obat antikusta, salah
satunya rifampisin sebagai anti kusta yang bersifat bakterisidal kuat sedangkan obat anti kusta
lain bersifat baktriostatik. Berikut ini merupakan kelompok orang yang membutuhkan MDT :

1. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT
2. Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal dibawah ini :
a. Relaps
b. Masuk kembali setelah default (PB maupun MB)
c. Pindahan (pindah masuk)
d. Ganti Klasifikasi/Tipe

Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang direkomendasikan oleh


WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut : (Pedoman Nasional Program Pengendalian
Penyakit Kusta, 2012).

1. Pasien Pausibasiler (PB)


Dewasa : Pengobatan bulanan hari pertama (obat diminum di depan petugas)
- 2 kapsul rifampisin @300 mg (600mg)
- 1 tablet dapson/DDS 100 mg
Pengobatan harian : hari ke 2-28  1 tablet dapson/DDS 100 mg
Satu blister untuk 1 bulan jadi dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9
bulan.

17
2. Pasien Multibasiler (MB)
Dewasa : Pengobatan bulanan hari pertama (obat diminum di depan petugas)
- 2 kapsul rifampisin @300 mg (600mg)
- 1 tablet dapson/DDS 100 mg
- 3 tablet Lamprem @ 100 mg (300mg)
Pengobatan harian : hari ke 2-28  1 tablet dapson/DDS 100 mg dan 1 tablet
Lamprem 50 mg
Satu blister untuk 1 bulan jadi dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18
bulan.
3. Pasien anak Pausibasiler (PB)
Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum di depan petugas)
- 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
- 1 tablet dapson/DDS 50 mg
Pengobatan harian : hari 2-28  1 tablet dapson/DDS 50 mg
Satu blister untuk 1 bulan jadi dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18
bulan.
4. Pasien anak Multibasiler (MB)
Pengobatan bulanan hari pertama (obat diminum di depan petugas)
- 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
- 1 tablet dapson/DDS 50 mg
- 3 tablet Lamprem @ 50 mg (150mg)
Pengobatan harian : hari ke 2-28 1 tablet dapson/DDS 50 mg dan 1 tablet Lamprem
50 mg selang sehari. Satu blister untuk 1 bulan jadi dibutuhkan 12 blister yang
diminum selama 12-18 bulan.

Pasien dengan keadaan khusus

1. Hamil dan menyusui : regimen MDT aman untuk ibu hamil dan anaknya.
2. Tuberkulosis : bila seseorang menderita TB dan kusta maka pengobatan
antituberkulosis dan MDT dapat diberikan bersamaan, dengan dosis rifampisin sesuai
dosis untuk TB.
3. Untuk pasien PB yang alergi terhadap dapson, dapson dapat diganti dengan
lampren.

18
4. Untuk pasien MB yang alergi terhadap dapson, pengobatan hanya dengan dua
macam obat saja, yaitu rifampisin dan lampren sesuai dosis dan jangka waktu
pengobatan MB.

Pedoman praktis untuk dosis MDT bagi pasien Kusta

Lamanya pengobatan morbus hansen tipe PB adalah 6 dosis diselesaikan dalam 6-9
bulan. Pengobatan morbus hansen tipe MB adalah sudah sebesar 24 dosis diselesaikan dalam
waktu maksimal 36 bulan. Minimum 6 bulan untuk PB dan minimum 24 bulan untuk MB maka
dinyatakan RFT (Release From Treatment).

19
WHO Expert Committee :

1. MB menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus PB dengan
lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan.
2. Bagi kasus PB dengan lesi tunggal pengobatan adalah Rifampisin 600 mg ditambah
dengan Ofloksasin 400 mg dan Minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.

Pasien dengan PB, dinyatakan release from treatment / RFT / selesai pengobatan, setelah
mendapat pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9bulan. Pasien dengan MB, dinyatakan
RFT setelah mendapat pengobatan 12 dosis (blister) dalam waktu 12-18 bulan. Masa
pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB
selama 5 tahun.

MONITORING DAN EVALUASI PENGOBATAN

1. Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan obat


2. Apabila penderita terlambat mengambil obat paling lama dalam 1 bulan harus
dilakukan pelacakan.
3. RFT dapat dinyatakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan
laboratorium. Setelah RFT penderita dikeluarkan dari form monitoring penderita
4. Masa pengamatan : pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif
- Tipe PB selama 2 tahun
- Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium
5. Penderita PB yang telah mendapatkan pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu 6- 9
bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium.
6. Penderita MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam waktu
12-18 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium.
7. Defaulter
Jika seorang penderita PB tidak mengambil obatnya lebih dari 3 bulan maka
dinyatakan sebagai Defaulter PB. Jika seorang penderita MB tidak mengambil
obatnya lebih dari 6 bulan maka dinyatakan sebagai Defaulter MB.

20
Tindakan bagi penderita defaulter :
- Dikeluarkan dari monitoring dan register
- Bila kemudian datang lagi maka harus dilakukan pemeriksaan klinis ulang,
pengobatan menyesuaikan dengan gejala klinis yang didapat.
8. Relaps/ Kambuh
Dinyatakan kambuh setelah dinyatakan RFT timbul lesi baru pada kulit maka untuk
menyatakan relaps harus dikonfirmasikan ke dokter kusta yang memiliki kemampuan
klinis dalam mendiagnosis relaps. Untuk relaps MB jika ternyata pada pemeriksaan
ulang BTA setelah RFT terjadi peningkatan Indeks Bakteriologi 2 atau lebih
disbanding saat diagnosis maka penderita dinyatakan Relaps. Rujuan dalam kasus
relaps memungkinkan karena kasus relaps bukan termasuk kedaruratan. Bila hasil
relaps telah dikonfirmasikan maka penderita diobati sesuai hasil pemeriksaan pada
saat itu.
Catatan : Untuk mereka yang pernah mendapat pengobatan Dapson monoterapi
(sebelum diperkenalkan MDT) namun kemudian muncul kembali sebagai tanda kusta
aktif yang membutuhkan MDT, maka penderita tersebut dimasukkan dalam kategori
relaps.
9. Indikasi pengeluaran penderita dari register adalah : RFT, meninggal, pindah, salah
diagnosis, ganti klasifikasi, default.
10. Pada keadaan khusus dapat diberikan sekaligus beberapa blister disertai dengan
pesan penyuluhan lengkap dengan efek samping dan indikasi untuk kembali ke
pelayanan kesehatan.

2.9 Reaksi Kusta


Reaksi kusta adalah episode akut dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan
reaksi kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibodi (humoral response) yang
merugikan terutama jika mengenai saraf tepi karena menyebabkan gangguan fungsi (cacat).

Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah
pengobatan. Meskipun gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis maupun faktor pencetus
reaksi kusta sudah diketahui dengan jelas, namun penyebab pasti belum diketahui. Kemungkinan

21
reaksi ini menggambarkan episode hipersensitivitas akut terhadap antigen basil yang
menimbulkan gangguan keseimbangan imunitas yang telah ada.

Faktor Pencetus

Berbagai faktor pencetus yang dianggap sering mendahului timbulnya reaksi kusta antara lain:

a. Setelah pengobatan anti kusta yang intensif


b. Infeksi rekuren
c. Pembedahan
d. Stress fisik
e. Imunisasi
f. Kehamilan
g. Saat-saat setelah melahirkan

Jenis Reaksi Kusta

Reaksi kusta dapat diklasifikasikan menjadi :

1. Reaksi kusta tipe 1 disebabkan oleh hipersensitivitas selular (reaksi reversal


upgrading).
2. Reaksi kusta tipe 2 disebabkan oleh hipersensitivitas humoral (ENL/eritema nodusum
leprosum).
3. Fenomena lucio atau reaksi kusta tipe 3, sebenarnya merupakan bentuk yang lebih
berat.
a. Reaksi Tipe I (reaksi reversal upgrading).
Reaksi ini lebih banyak terjadi pada pasien yang berada di spectrum border line karena
tipe ini merupakan tipe tidak stabil. Reaksi tipe ini terutama terjadi selama masa pengobatan
karena adanya peningkatan hebat respon imun selular secara tiba-tiba, mengakibatkan
terjadinya respons inflamsi padadaerah kulit dan saraf yang terkena. Inflamasi pada jaringan
safar dapat mengakibatkan kerusakan dan kecacatan. Reaksi kusta tipe 1 merupakan delayed
hypersensitivity reaction seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV. Infeksi
Mycobacterium leprae (M. leprae) dapat memicu ekspresi MHC kelas II pada permukaan sel.
Hal ini akan memicu limfosit CD4 membunuh sel terinfeksi dengan mediasi sitokin seperti
TNF. pada dasarnya reaksi tipe 1 terjadi akibat perubahan keseimbangan antara imunitas dan

22
basil, hasilnya dapat terjadi upgrading/reversal ataupun downgrading. Reaksi tipe 1 ini
diartikan reaksi reversal karena paling sering dijumpai terutama pada kasus-kasus yang
mendapatkan pengobatan, sedangkan down grading reaction lebih jarang dijumpai karena
berjalan lebih lambat dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak mendapat
pengobatan.

Gambar 2.9 Reaksi Tipe 1

b. Reaksi Tipe 2 (ENL/eritema nodusum leprosum)


Reaksi tipe 2 terjadi reaksi hipersensitivitas tipe III karena adanya reaksi kompleks
antigenantibodi yang melibatkan komplemen. Terjadi lebih banyak pada tipe lepromatus juga
tampak pada BL. Reaksi tipe 2 sering disebut sebagai Erithema Nodosum Leprosum (ENL)
dengan gambaran lesi lebih eritematus, mengkilap, sedikit tampak nodul atau plakat, ukuran
macam-macam, pada umumnya kecil, terdistribusi bilateral dan simetris, terutama di daerah
tungkai bawah, wajah, lengan dan paha, serta dapat pula muncul di hampir seluruh bagian
tubuh kecuali daerah kepala yang berambut, aksila, lipatan paha dan daerah perineum. Selain
itu didapatkan nyeri, pustulasi dan ulserasi juga disertai gejala sistematik seperti demam dan
malaise. Perlu juga memperhatikan keterlibatan organ lain seperti saraf, mata, ginjal, sendi,
testis dan limfe.

Gambar 2.10 Reaksi Tipe 2

23
Perbedaan Reaksi kusta Tipe 1 dan Tipe 2

No. Gejala / Tanda Tipe 1 Tipe2


1 Kondisi umum Baik atau demam ringan Buruk, disertai malaise
dan febris
2 Peradangan di kulit Bercak kulit lama menjadi Timbul nodul
lebih meradang (merah), kemerahan, lunak dan
dapat timbul bercak baru. nyeri tekan. Biasanya
pada lengan dan
tungkai. Nodul dapat
pecah (ulserasi)
3 Waktu terjadi Awal pengobatan MDT Biasanya setelah
pengobatan yang lama,
umumnya lebih dari 6
bulan
4 Tipe Kusta Dapat tipe PB dan MB Hanya terjadi pada MB
5 Saraf Sering terjadi, umumnya Dapat terjadi
berupa nyeri tekan saraf
dan/atau gangguan fungsi
saraf
6 Peradangan pada Hampir tidak ada Terjadi pada mata,
organ lain KGB, sendi, ginjal,
testis, dll

24
Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat Tipe 1 dan Tipe 2
Gejala / Tipe 1 Tipe 2
No
Tanda Ringan Berat Ringan Berat
1 Kulit Bercak : Bercak : Nodul : Nodul : merah,
merah, tebal, merah, tebal, Merah, panas, nyeri yang
panas, nyeri panas, nyeri panas, nyeri bertambah parah
yang sampai pecah
bertambah
parah sampai
pecah
2 Saraf Tepi Nyeri pada Nyeri pada Nyeri pada Nyeri pada
perabaan (-) perabaan (+) perabaan (-) perabaan (+)
3 Keadaan Demam (-) Demam (+) Demam (+) Demam (+)
Umum
4 Gangguan - - - +
pada organ Terjadi
lain peradangan pada:
Mata Iridocyclitis
Testis:
Epididimoorchitis
Ginjal : Nefritis
Kelenjar limpa:
Limfadenitis
Gangguan pada
tulang, hidung dan
tenggorokan

c. Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe
lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrate difus, berwarna
merah muda, bentuk tidah teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstermitas, kemudian

25
meluas keseluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai purpur, bula
kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan
akhirnya terbentuk jaringan parut.
Gambaran histopatologi menunjukan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis
pembuluh darah superficial, edema, dan proliferasi endothelial pembuluh darah lebih dalam.
Didapatkan basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrate
polimorfonuklear seperti pada ENL namun dengan imunofluorensi tampak deposit
imonoglobulin dan komplemen didalam dinding pembuluh darah. Titer kompleks imun yang
beredar dan krigobulin sangat tinggi pada semua penderita.

Gambar 2.11 Fenomena Lucio

Pengobatan Reaksi Kusta


a. Tatalaksana reaksi ringan
1. Berobat jalan, istirahat di rumah
2. Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu
3. MDTdiberikan terus dengan dosis tetap
4. Menghindari/menghilangkan factor pencetus
b. Tatalaksana reaksi berat
1. Imobilisasi local/istirahat di rumah
2. Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu
3. MDTdiberikan terus dengan dosis tetap
4. Menghindari/menghilangkan factor pencetus

26
5. Memberikan obat anti reaksi (Prednison, Lampren)
6. Bila ada indikasi rawat inap pasien dikirim ke RS.
7. Reaksi tipe 2 berat yang berulang diberikan prednisone dan lampren.

Obat reaksi terdiri atas :

1. Prednisone (untuk reaksi tipe 1 dan 2)


Prednisone diberikan dalam dosis tunggal pada pagi hari sesudah makan, kecuali jika
keadaan terpaksa dapat diberikan secara dosis bagi, misalnya 2x4 tablet/hari. Efek
samping dari prednisone sangat serius maka dari itu tidak boleh dihentikan tiba-tiba
karena dapat menyebabkan rebound phenomena (demam, nyeri otot, nyeri sendi,
malaise).

2. Lampren (untuk reaksi tipe 2)


Lampren lepas diberikan pada penderita ENL berat, berulang (setelah terjadi > 2episode),
sehingga terdapat ketergantungan terhadap steroid. Lampren diberikan dalam dosis
tunggal pada pagi hari sesudah makan.

3. Thalidomid (untuk reaksi tipe 2) obat ini digunakan pada reaksi tipe 2 agar dapat
melepaskan ketergantungan terhadap kortikosteroid. Dosis mula-mula 400 mg/hari
sampai reaksi teratasi, kemudian berangsur-angsur diturunkan sampai 50 mg/hari. Tidak
dianjurkan pada wanita subur.

27
Relaps / kambuh adalah kembalinya penyakit secara aktif pd penderita yg sesungguhnya telah
menyelesaikan pengobatan & pengobatannya sudah dihentikan. Pada kusta MB, kambuh
didefnisikan sebagai perkembangan dari bakteri M. leprae, seperti yang ditandai oleh
peningkatan minimal 2+ dari nilai sebelumnya dari indeks bakterial. Dan dengan adanya lesi
baru pada kulit / nodul dan atau kerusakan syaraf baru. Dalam kebanyakan kasus, kekambuhan
dapat dikonfirmasikan dari pertumbuhan bakteri M. leprae. Deteksi kambuh dari kusta PB agak
sulit, karena sulit membedakan dari reaksi kusta. Secara terapi, tes terapi dengan kortikosteroid
mungkin dapat membedakan 2 fenomena, peningkatan perbaikan dalam waktu 4 minggu terapi
kortikosteroid menunjukan rekasi kusta, sedangkan bila tidak ada respon terhadap kortikosteroid
dalam waktu 4 minggu, menunjukan kekambuhan. Bila hasil kambuh telah pasti, maka pasien
dapat diobati MDT.

Manifestasi Relaps Tipe-PB

1. Terjadi pd kulit dan saraf tipe asalnya sama


2. Secara klinis dan imunologis lebih jelek dr tipe asalnya, mis. tipe BT akan relaps dengan
ciri-ciri tipe BB/LL
3. Manifestasi dpt lebih baik, mis. tipe asal BT dpt relaps TT

Manifestasi Relaps Tipe-MB

1. Dapat dalam bentuk asalnya.


2. Dapat lebih jelek : misalnya BB/BL relaps LL
3. Dapat lebih baik : misalnya LL relaps BB, BL
4. Lesi histoid; akibat resitens obat DDS

2.10 Tingkat Kecacatan

Cacat yang timbul akibat penyakit kusata dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) yaitu :

1. Cacat primer. Pada kelompok ini cacat disebabkan langsung oleh aktifitas penyakit,
terutama kerusakan akibat respon jaringan terhadap Micobacterium leprae.
2. Cacat sekunder. Cacat sekunder terjadi akibat cacat primer, terutama kerusakan akibat
saraf sensorik, motorik dan otonom.Contoh : ulkus jari tangan, atau kaki putus.

28
Proses terjadinya cacat kusta tergantung dari fungsi serta saraf mana yang rusak. Diduga
kecacatan akibat penyakit kusta dapat terjadi lewat 2 proses :

a. Infiltrasi langsung M. leprae ke susunan saraf tepi dan organ (misalnya: mata).
b. Melalui reaksi kusta

Tingkat Kecacatan menurut WHO

Untuk Indonesia, karena beberapa keterbatasan pemeriksaan di lapangan maka tingkat


cacat disesuaikan sebagai berikut :

Keterangan:

Cacat tingkat 0 berarti tidak ada cacat.

Cacat tingkat 1 adalah cacat yang disebabkan oleh kerusakan saraf sensoris yang tidak terlihat
seperti hilangnya rasa raba pada kornea mata, telapak tangan dan telapak kaki.Gangguan fungsi

29
sensoris pada mata tidak diperiksa dilapangan oleh karena itu tidak ada cacat tingkat 1 pada
mata.Cacat tingkat 1 pada telapak kaki beresiko terjadinya ulkus plantaris, namun dengan
perawatan dirisecara rutin hal ini dapat dicegah.Mati rasa pada bercak bukan merupakan cacat
tingkat 1 karena bukan disebabkan oleh keruskan sarafperifer utama tetapi rusaknya saraf lokal
kecil pada kulit (Departemen Kesehtan RI, 2006)

Cacat tingkat 2 berarti cacat atau kerusakan yang terlihat.

 Untuk mata:
1. Tidak mampu menutup mata dengan rapat (lagopthalmos).
2. Kemerahan yang jelas pada mata (terjadi pada ulserasi kornea atau uveitis).
3. Gangguan penglihatan berat atau kebutaan.
 Untuk tangan dan kaki:
1. luka dan ulkus di telapak.
2. Deformitas yang disebabkan oleh kelumpuhan otot (kaki semper atau jari kontraktur)
dan atau hilangnya jaringan (atropi) atau reabsorbsi parsial dari jari-jari.

2.11 Upaya Pencegahan Penularan Kusta


1. Pencegahan Primodial
Pencegahan primodial yaitu upaya pencegahan pada orang-orang yang belummemiliki
faktor resiko penyakit kusta melalui penyuluhan. Penyuluhan tentang penyakit kusta
adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat oleh
petugas kesehatan sehingga masyarakat dapat memelihara, meningkatkan dan
melindungi kesehatannya dari penyakit kusta.
2. Pencegahan Primer (Primary Prevention)
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan seseorang yang telah
memiliki faktor resiko agar tidak sakit. Tujuan dari pencegahan primer adalah untuk
mengurangi insidensi penyakit dengan cara mengendalikan penyebab-penyebab
penyakit dan faktor-faktor resikonya. Untuk mencegah terjadinya penyakit kusta, upaya
yang dilakukan adalah memperhatikan dan menjaga kebersihan lingkungan tempat
tinggal, personal hygiene,deteksi dini adanya penyakit kusta dan penggerakan peran
serta masyarakat untuk segera memeriksakan diri atau menganjurkan orang-orang yang
dicurigai untuk memeriksakan diri ke puskesmas.

30
3. Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)
Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan penyakit dini yaitu mencegah orang
yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit dan menghindari
komplikasi. Tujuan pencegahan sekunder adalah untuk mengobati penderita dan
mengurangi akibat-akibat yang lebih serius dari penyakit yaitu melalui diagnosis dini dan
pemberian pengobatan. Pencegahan sekunder ini dapat dilakukan dengan melakukan
diagnosis dini dan pemeriksaan neuritis, deteksi dini adanya reaksi kusta, pengobatan
secara teratur melalui kemoterapi atau tindakan bedah.
4. Pencegahan Tertier (Tertiary Prevention)
Tujuan pencegahan tertier adalah untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan
rehabilitasi. Rehabilitasi adalah upaya yang dilakukan untuk memulihkanseseorang yang
sakit sehingga menjadi manusia yang lebih berdaya guna, produktif, mengikuti gaya
hidup yang memuaskan dan untuk memberikan kualitas hidup yang sebaik mungkin,
sesuai tingkatan penyakit dan ketidakmampuannya. Pencegahan tertier meliputi:
a. Pencegahan Kecacatan
Upaya pencegahan cacat primer, yang meliputi :
1) Diagnosa dini dan penatalaksanaan neuritis
2) Pengobatan secara teratur dan adekuat
3) Deteksi dini adanya reaksi kusta
4) Penatalaksanaan reaksi kusta
Upaya pencegahan cacat sekunder, yang meliputi :
1) Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka
2) Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah
terjadinya kontraktur.
3) Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak
mendapat tekanan yang berlebihan.
4) Bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi.
5) Perawatan mata, tangan dan atau kaki yang anestesi atau mengalami kelumpuhan
otot.

31
b. Rehabilitasi
Rehabilitasi yang dilakukan meliputi rehabilitasi medik, rehabilitasi sosial, dan
rehabilitasi ekonomi. Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh
ialah antara lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna
kembali ke asal, tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki.Cara lain adalah
kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai cacat tubuhnya, sehingga
dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan
terapi psikologik (kejiwaan).

Mengingat bahwa pengobatan dapat menghentikan penularan maka pemberantasannya


dilakukan dengan tiga usaha pokok yaitu:

1. Mencari dan menemukan semua penderita (case finding) dalam masyarakat untuk diberikan
pengobatan yang sebaik-baiknya.
2. Mengobati dan mengikuti penderita (case holding)
- Pengobatan dilaksanakan di poliklinik yang semudah mungkin dicapai penderita.
- Bila penderita tidak datang berobat ke poliklinik, dilakukan kunjungan rumah untuk
diberikan pengobatan dan penerangan.
- Setiap penderita pindah alamat harus diikuti dengan teliti agar ia tidak lepas dari
pengobatan dan perawatan. Hal ini perlu dilakukan karena jangka waktu pengobatannya
sangat lama, minimal tiga tahun terus menerus.
3. Pendidikan kesehatan tentang penyakit lepra kepada masyarakat :
- Agar masyarakat mempunyai pengertian yang wajar tentang penyakit lepra tanpa
membesar-besarkannya maupun mengecilkannya.
- Agar masyarakat dapat mengenal gejala penyakit lepra pada tingkat awal, sehingga
pengobatan dapat segera diberikan supaya memudahkan penyembuhan dan mencegah
terjadinya kecacatan.
- Agar masyarakat tahu bahwa penyakit lepra dapat disembuhkan asal pengobatan
dilaksanakan secara teratur. Pentingnya pengobatan ini tidak hanya untuk penyembuhan
saja, melainkan juga untuk mencegah penularan kepada anggota keluarga dan
masyarakat sekitarnya.

32
- Agar masyarakat menyadari bahwa penghuni serumah (contact person) harus
memeriksakan diri setiap tahun untuk menemukan kasus-kasus yang dini.
Upaya-upaya pencegahan cacat dapat dilakukan baik dirumah, Puskesmas maupun di unit
pelayanan rujukan seperti rumah sakit umum atau rumah sakit.

33
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian


Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional deskriptif. Desain atau rancangan
penelitian ini adalah quasi experiment dengan pre test dan post test. Peneliti melakukan
penelitian dengan memberikan penyuluhan kemudian menggunakan kuesioner tanpa
memberikan perlakuan apapun terhadap subyek penelitian.

3.2 Tempat dan Waktu Kegiatan


Wilayah yang termasuk dalam lingkup pengambilan data untuk mini project ini adalah
delapan desa binaan Puskesmas Labuha. Desa tersebut adalah desa indomut, desa belang-
belang, desa tomori, desa hidayat, desa labuha, desa amasing kota utara dan kampung
makian.
Waktu dilakukan penelitian adalah April – Mei 2017, dengan kegiatan yaitu kunjungan
pertama dan pre test tanggal 13 April 2017, kunjungan kedua tanggal 26 April 2017
memberikan penyuluhan tentang kusta kepada penderita dan kelompok yang beresiko,
kunjungan ketiga tanggal 10 Mei 2017 melakukan post test kepada penderita kusta serta
penempelan poster di rumah penderita.

3.3 Subjek Penelitian

 Populasi penelitian ini adalah semua penderita kusta yang sementara berobat di
Puskesmas Labuha.

 Sampel pada penelitian ini adalah seluruh jumlah populasi yang ada. Dengan teknik
pengambilan sampel yaitu sampel jenuh yaitu teknik pengambilan sampel, apabila
semua populasi digunakan sebagai sampel dan dikenal juga dengan istilah sensus.
Sampling jenuh ini akang dilakukan apabila populasinya kurang dari 30.

34
3.4 Cara pengumpulan data
Data yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari hasil wawancara dan observasi yang
berkaitan dengan variable penelitian.

3.5 Variabel Penelitian, Definisi Operasional dan Skala Penelitian

 Variabel bebas : pengobatan kusta.


 Variable terikat : umur, jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan, sikap,

Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Skala

Umur Usia penderita kusta Wawancara Usia tdk produktif ≤20 Nominal
disesuaikan thn
dengan kartu
Usia produktif ≥20
penderita
thn

Jenis Ciri-ciri yang dimiliki Wawancara Laki-laki Nominal


kelamin penderita kusta disesuai dengan
Perempuan
kartu penderita

Pendidikan Jenjang pendidikan Wawancara Pendidikan rendah bila Ordinal


formal yang pernah disesuaikan penderita pernah
ditempuh atau dengan kartu menempu atau tamat
ditamatkan penderita SD/SMP

Pendidikan tinggi bila


penderita pernah
menempuh atau tamat
SMA/Perguruang
Tinggi

Pengetahuan Pengertian penderita Kuesioner yang Pengetahuan baik 15- Nominal

35
terhadap penyakit kusta terdiri dari 6 24 ( ≥ 61%)
dan pengobatannya pertanyaan.
Pengetahuan kurang 0-
Setiap pertanyaan
14 ( < 16% )
benilai 4 utnuk
jawaban a, 3
untuk jawab b, 2
untuk jawaban c,
1 untuk jawaban
d, 0 untuk
jawaban e.

Sikap Respon atau tanggapan Kuesioner yang Sikap baik 7-10 Ordinal
responden terhadap terdiri dari 5 ( ≥61%)
suatu penilaian tentang pertanyaan.
kusta dan pengobatan Setiap pertanyaan Sikap kurang baik 0-6
yang tepat bernilai 2 untuk (<61%)
setuju, 1 untuk
kurang setuju dan
0 untuk tidak
setuju.

Kepercayaan Keyakinan penderita Kuesioner yang Kepercayaan kurang Ordinal


akan penyakit kusta, terdiri dari 4 benar: 5-8 ( ≥61%)
bahwa kusta merupakan pertanyaan.
Kepercayaan benar: 0-4
penyakit kutukan Tuhan, Pertanyaan
( <61% )
guna-guna dan akan favorable bernilai
sembuh bila berobat 2 untuk percaya
teratur. percaya, 1 kurang
percaya dan 0
tidak percaya.
Pertanyaan
unfavorable

36
bernilai 2 untuk
tidak percaya, 1
kurang percaya
dan 0 percaya.

Peran Pendapat responden Kuesioner yang Peran keluarga baik: 4-


Keluarga tentang ada tidaknya terdiri dari 5 5 ( ≥ 61% )
dukungan moril dan pertanyaan.
Peran keluarga kurang
bantuan keluarga untuk Pertanyaan
0-3 ( < 615 )
minum obat dai keluarga favorable bernilai
1 bila menjawab
pernah, dan nilai
0 bila menjawab
tidak pernah.
Pertanyaan
unfavorable
benilai 1 jika
menjawab tidak
pernah, 0 jika
menjwab pernah

Peran Pendapat responden Kuesioner yang Peran keluarga baik: 4-


Petugas tentang ada tidaknya terdiri dari 5 5 ( ≥ 61% )
peran petugas yang pertanyaan.
Peran keluarga kurang
diberikan selama minum Setiap pertanyaan
0-3 ( < 615 )
obat atau selama sakit bernilai 1 bila
menjawab
pernah, dan nilai
0 bila menjawab
tidak pernah.

Lama Lamanya minum obat Wawancara Lama dan tidak lama Ordinal

37
Minum Obat sesuai dengan lamanya dengan kuesioner
waktu berobat yang
dirasakan penderita
sejak mulai berobat
sampai dinyatakan
selesai atau sampai
penelitian dilaksanakan

Kepatuhan Keteraturan penderita Kuesioner di Patuh minum obat: Nominal


Minum Obat dalam minum obat sesuaikan dengan jawaban ya jika minum
sesuai jadwal atau kartu penderita obat setiap hari atau
takaran. dalam takaran minimal
2/3 dari jadwal minum
obatsesuai dengan tipe
penyakit yang
disesuaikan dengan
kartu penderita

Tidak patuh: bila


minum obat tidak
sesuai dengan jadwal /
takaran dan disesuaikan
dengan kartu penderita.

38
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Komunitas Umum


4.1.1 Data Geografis Puskemas Labuha
Lokasi Mini Project ini adalah di Cakupan wilyah kerja Puskesmas Labuha
Kabupaten Halmahera Selatan. Puskesmas Labuha memiliki luas wilayah 304,7 Km2.
Wilayah kerja Puskesmas Labuha meliputi empat belas ( 14 ) Desa . Jumlah desa 14
terdiri dari 10 Desa dapat di jangkau Dengan transportasi darat yaitu : Desa Amasing
Kali, Desa Amasing Kota, Desa Amasing Kota Barat, Desa Amasing Kota Utara, Desa
Labuha, Desa Tomori, Desa Hidayat, Desa Marabose, belang-belang, dan indomut. Selain
itu, terdapat 4 desa yang hanya bisa dijangkau dengan menggunakan transportasi laut
yaitu : Desa Awanggoa, Desa Sumae, Desa Kaputusang, dan Desa Suma Tinggi. (Profil
Puskesmas Labuha, tahun 2015).
Luas wilayah kerja puskesmas labuha adalah 134,7 Km2. Batas wilayah kerja
puskesmas Labuha adalah sebagai berikut :
 Sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Bacan Barat
 Sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Bacan Selatan
 Sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Batang Lomang
 Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan bacan Timur

4.1.2 Data Demografis Puskesmas Labuha.


Penduduk wilayah kerja puskesmas labuha pada tahun 2015 tercatat sebanyak
21.940 jiwa dan 4313 kepala keluarga. Sebagian besar mata pencaharian adalah nelayan,
petani, dan buruh. Sebagian lainya adalah pegawai negeri sipil dan pedagang adalah dari
pendatang. Pendidikan penduduk rata-rata adalah SD dan SMP, sebagian lainya adalah
SMA dan perguruan tinggi. Suku yang mendominasi adalah Suku Bacan dan Makian,
sebagian lainnya adalah suku campuran.

39
Tabel 1. Sumber Daya Kesehatan di PKM Labuha tahun 2017.
NO SDM JUMLAH
1 Dokter Umum 1
2 Dokter Gigi 1
3 Apoteker 3
4 Analisis Kesehatan 7
5 Kesehatan Masyarakat 10
6 Perawat 16
7 Bidan 21
8 Perawat gigi 1
9 Gizi 1
10 SPPH 1
11 Pekarya 2
12 Umum 9
Total 73

Tabel 2. Sepuluh penyakit Terbanyak di Puskesmas Labuha Pada tahun 2016


No. Nama Penyakit Jumlah
1. ISPA 276
2. Carries gigi 130
3. Hipertensi 97
4. Common Cold 81
5. Dispepsia 76
6. Febris 65
7. Myalgia 62
8. Dermatitis 53
9. DM Tipe 2 46
10. Hiperkolesterolemia 45

40
Tabel 3. Jumlah penderita Kusta di Puskesmas Kabupaten Halmahera Selatan
Tahun 2014-2016

2014 2015 2016


No Puskesmas PB MB Total PB MB Total PB MB Total
A D A D A D A D A D A D
1. Labuha 1 1 6 25 33 1 3 6 19 29 - 1 1 6 8
2 Gandasuli - - 1 5 6 - - 3 6 9 - 1 1 5 7
3. Babang - - - 2 2 - - - 2 2 - - 1 3 4
4. Wayaua - 1 - 6 7 - - - 8 8 - - 1 1 2
5. Bibinoi 1 - 2 6 9 - 3 1 8 12 - 3 1 6 10
6. Bajo - - - - - - 2 - 2 4 - - - 1 1
7 Indong - - - - - - - - - - - - - - -
8. Jiko - - 1 3 4 2 1 1 2 6 - - 1 2 3
9 Palamea - - - - - - - - - - - - - - -
10. Loleo Jaya - - - 5 5 - - - 1 1 - - - - -
11 Indari - - - - - - - 1 - 1 - - - 1 1
12 Yaba - - - - - - - - 2 2 - - - 2 2
13 Laluing - - - - - - - - - - - - - 1 1
14 Kayoa - - 1 5 6 - - 1 3 4 - - 1 3 4
15 Laromabati - - - - - - - - 1 1 - - - 1 1
16 Makian - - 1 5 6 - - 1 2 3 - - 1 2 3
17 Mateketen - - - - - - - - - - - - - - -
18 Busua - - - 1 1 - - - 2 2 - - - 1 1
19 Madopolo - - - 2 2 - - - - - - - - 1 1
20 laiwui - - 2 4 6 - - 1 5 6 - - 1 - 1
21 Jikohai - - - - - - - - - - - - - - -
22 Wayaloar - - - 1 1 1 3 - 4 8 - - - 4 4
23 Sum - - 1 1 2 - - 1 - 1 - - - - -
24 Dolik - - - - - - - 1 5 6 - - - 3 3
25 Saketa - - 2 2 4 1 2 1 3 7 - - - 1 1

41
2014 2015 2016
N
Puskesmas PB MB Total PB MB Total PB MB Total
o
A D A D A D A D A D A D
Gane
26 - - - - - - - - - - - - - - -
dalam
27 Kukupang - - - 1 1 - - - 2 2 - - - - -
28 Gane luar - - - - - - - - 1 1 - - - - -

29 Bisui - - - - - - - - - - - - - - -
30 Mafa - - 4 5 9 - - - 1 1 - - 1 4 5

31 Lelei - - - - - - - - - - - - - - -
32 Sumber - - - - - - - - - - - - - - -
Makmr

4.2 Data Khusus


Data khusus dari penelitian ini meliputi faktor internal yang terdiri atas usia, jenis
kelamin, pendidikan, pengetahuan, sikap dan kepercayan penderita kusta di wilayah kerja
Puskesmas Labuha yang sementara menjalani pengobatan kusta serta faktor eksternal yang
meliputi peran keluarga, peran petugas kesehatan, lama minum obat dan kepatuhan minum
obat.

4.2.1 Faktor Internal

Tabel 4. Distribusi Frekuensi menurut Karakteristik Umur, Jenis Kelamin dan Pendidikan
Karakteristik Frekuesnsi Persentase (%)
Usia
< 15 tahun ( bayi-anak) 6 60 %
15-60 tahun ( dewasa ) 4 40 %
> 60 tahun ( lansia ) - -
Total 10 100 %

42
Tabel 5. Distribusi Frekuensi berdasarkan Jenis Kelamin
VARIABEL Frekuensi Persentase (%)
Jenis kelamin
Laki 6 60 %
Perempuan 4 40 %
Total 10 100 %

Tabel 6. Distribusi Frekuensi berdasarkan Pendidikan


Pendidikan
Perguruan Tinggi - -
SMA 2 20%
SMP - -
SD 8 80%
Tidak Sekolah - -
Total 10 100%

Tabel 7. Distribusi Frekuensi berdasarkan Pengetahuan (pre test)


VARIABEL Frekuensi Persentase
Baik
Kurang
Total 10 100 %

Tabel 8. Distribusi Frekuensi berdasarkan Pengetahuan (post test)


VARIABEL Frekuensi Persentase
Baik
Kurang
Total 10 100 %

43
Tabel 9. Distribusi Frekuensi berdasarkan Sikap (pre test)
VARIABEL Frekuensi Persentase (%)
Baik
Kurang Baik
Total

Tabel 10. Distribusi Frekuensi berdasarkan Sikap (post test)


VARIABEL Frekuensi Persentase (%)
Baik
Kurang Baik
Total

Tabel 11. Distribusi Frekuensi berdasarkan Kepercayaan (pre test)


VARIABEL Frekuensi Persentase (%)
Benar - -
Kurang Benar
Total 10 100%

Tabel 12. Distribusi Frekuensi berdasarkan Kepercayaan (post test)


VARIABEL Frekuensi Persentase (%)
Benar - -
Kurang Benar
Total 10 100%

4.2.2 Faktor Eksternal


Tabel 13. Distribusi Frekuensi berdasarkan Peran Keluarga (pre test)
VARIABEL Frekuensi Persentase (%)
Berperan
Kurang Berperan
Total

44
Tabel 14. Distribusi Frekuensi berdasarkan Peran Keluarga (post test)
VARIABEL Frekuensi Persentase (%)
Berperan
Kurang Berperan
Total

Tabel 4. Distribusi Frekuensi berdasarkan Peran Petugas

VARIABEL Frekuensi (%)


Pengetahuan
Berperan
Kurang berperan
Total 10 100 %

Tabel 5. Distribusi Frekuensi berdasarkan Lama Minum Obat

VARIABEL Frekuensi (%)


Lama Minum Obat
Lama
Tidak
Total 10 100 %

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan

5.2 Saran

45
1. Kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Selatan agar memberikan kesempatan
kepada petuga kusta mengikuti pelatihan untuk mengembangkan keterampilan dan
pengetahuannya sehingga dapat menigkatkan kualitas pelayanan.

2. Kepada petugas kusta agar tetap memberikan penyuluhan tentang penyakit kusta dan
akibat apabila

DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes RI. 2015. Profil Kesehatan Indonesia. Depkes RI. Jakarta. [dalam jaringan]
tersedia di: http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/profil-kesehatan-Indonesia-2015.pdf (diakses pada : Kamis 23 Maret 2017)

46
2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman
Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI, 2012.
3. World Health Organization. Weekly epidemiological record: Global leprosy situation.
Geneva 2013; 87: 317-28.
4. Kemenkes: Penyakit Kusta Masih Tinggi di 14 Provinsi” [dalam jaringan] tersedia di:
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150116142635-20-25156/kemenkes-penyakit-
kusta-masih-tinggi-di-14-provinsi (diakses pada: Kamis 23 Maret 2017)
5. Vionni, dkk . Reaksi Kusta. CDK-242/ vol. 43 no.7. Jakarta, Indonesia. 2016.

47

Anda mungkin juga menyukai