Anda di halaman 1dari 29

MINI PROJECT

Gambaran Kipi Vaksin Covid-19 (Sinovac) pada Lansia di


Puskesmas Jatisampurna Tahun 2021

Disusun Oleh:

dr.Assyifa Amalia Amin

Pembimbing:

dr. Yenny Rahmawati

NIP. 1977061520009022001

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


ANGKATAN IV TAHUN 2020
PUSKESMAS JATISAMPURNA
KOTA BEKASI
2021

i
ii

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan “Gambaran Kipi Vaksin Covid-19 (Sinovac) pada Lansia di


Puskesmas Jatisampurna Tahun 2021” ini telah disajikan di depan pendamping
dokter internship pada tanggal 10 Mei 2021 di Puskesmas Jatisampurna guna
memenuhi syarat program dokter internship.

Bekasi, 21 Mei 2021


Disahkan oleh:

Dokter Pendamping

dr. Yenny Rahmawati


iii

DAFTAR ISI
Halaman Judul..........................................................................................................i
Halaman Pengesahan...............................................................................................ii
Daftar Isi.................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang....................................................................................................1
1.2 Batasan Judul.....................................................................................................2
1.3 Tujuan................................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................4
2.1 Pengertian COVID-19.......................................................................................4
2.2 Epidemiologi......................................................................................................4
2.3 Faktor Risiko......................................................................................................5
2.4 Transmisi COVID-19.........................................................................................6
2.5 Manifestasi Klinis..............................................................................................7
2.6 Pemeriksaan Penunjang.....................................................................................9
2.6.1 Pemeriksaan Laboratorium.............................................................................9
2.6.2 Pemeriksaan Pencitraan..................................................................................9
2.6.3 Pemeriksaan Virologi....................................................................................11
2.7 Klasifikasi Kasus COVID-19..........................................................................11
2.8 Pencegahan......................................................................................................11
2.9 Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)..........................................................11
2.10 Lansia.............................................................................................................12
BAB III METODOLOGI.......................................................................................13
3.1 Desain Penelitian.............................................................................................13
3.2 Tempat dan Waktu...........................................................................................13
3.3 Jenis dan Sumber Data.....................................................................................13
3.4 Pengolahan dan Analisis Data.........................................................................14
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian Berdasarkan Demografi.........................................................15
BAB V PELAKSANAAN INTERVENSI............................................................17
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN..............................................................18
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................19
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Wabah Covid-19 menjadi pandemi global setelah diumumkan oleh WHO
atau Badan Kesehatan Dunia dan dengan penyebarannya yang begitu cepat
membuat Covid-19 menjadi topic utama di penjuru dunia. Tidak terkecuali di
Indonesia karena jumlah masyarakat yang terinfeksi virus Covid-19 atau
Corona mengalami peningkatan hari demi hari.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menangani penyebaran
virus Covid-19, salah satunya dengan upaya pemberian vaksinasi Covid-19
secara bertahap. Vaksin ini sudah berjalan sejak bulan Januari 2021. Beberapa
kelompok masyarakat yang diutamakan dalam pemberian vaksin ini adalah
tenaga kesehatan, pelayan publik, guru dan santun lansia.
Pada masa pandemi Covid-19, kelompok santun lansia lebih rentan
terdampak Covid-19 dan meningkatkan risiko keparahan penyakit jika ada
penyakit penyerta seperti hipertensi, diabetes melitus, jantung dan paru. Di
Indonesia, proporsi angka kematian akibat Covid-19 tertinggi ada pada
kelompok lansia sebesar 44%. Sehingga, dalam kenyataannya, lansia yang
datang ke puskesmas hanya sedikit sehingga tidak seluruhnya dapat dicek
kesehatannya dan dilakukan screening. Pencegahan Covid-19 pada kelompok
lansia harus dilakukan maksimal karena risiko mengalami gejala yang lebih
berat jika terinfeksi Covid-19.
Pemerintah telah resmi mengumumkan tujuh jenis vaksin Covid-19 yang
digunakan di Indonesia. Hal ini tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan
No. HK.01.07/ Menkes/12758/2020 tentang Penetapan Jenis Vaksin untuk
Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19. Daftar vaksin tersebut, yaitu : Vaksin
Sinovac, PT Biofarma, Novavax, Oxford-AstraZeneca, Pfizer-BioNTech,
Moderna dan Sinopharm. Dari tujuh jenis vaksin Covid-19 yang digunakan di
Indonesia, baru ada tiga vaksin yang stoknya telah diterima dan digunakan

1
2

dalam pelaksanaan vaksinasi, yakni vaksin buatan Sinovac, PT Bio Farma,


dan Oxford-AstraZeneca.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) mengeluarkan
panduan seputar pertanyaan yang sering dilontarkan masyarakat terkait vaksin
COVID-19. Salah satunya yang kerap bikin penasaran adalah efek samping
vaksin virus corona atau KIPI. KIPI adalah singkatan dari Kejadian Ikutan
Pasca Imunisasi. Semua kejadian atau reaksi medis yang terjadi setelah pasien
disuntikkan vaksin akan menjadi perhatian tenaga medis yang bertugas. KIPI
terdiri dari tiga jenis reaksi, yaitu: Reaksi lokal: nyeri, bengkak, kemerahan di
area bekas suntikan. Reaksi lokal yang terbilang parah yakni selulitis. Reaksi
sistemik: demam, nyeri otot seluruh tubuh atau myalgia, nyeri sendi atau
artralgia, lemas, dan sakit kepala. Reaksi lain yaitu alergi. Kondisi ini bisa
berupa biduran (urtikaria), anafilaksis (alergi parah hingga sesak napas), dan
pingsan.

1.2 Batasan Judul


Laporan dengan judul “Gambaran Kipi Vaksin Covid-19 (Sinovac) pada Santun
Lansia di Puskesmas Jatisampurna Tahun 2021”, mempunyai batasan sebagai
berikut:
1) Gambaran secara harafiah berarti uraian, keterangan atau penjelasan.
2) KIPI adalah singkatan dari Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Semua
kejadian atau reaksi medis yang terjadi setelah pasien disuntikkan vaksin
3) Vaksin adalah sejenis produk biologis yang mengandung unsur antigen
berupa virus atau mikroorganisme yang sudah mati atau sudah dilemahkan
dan juga berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksid
atau protein rekombinan, yang sudah ditambahkan dengan zat lainnya.
Vaksin berguna untuk membentuk kekebalan spesifik secara aktif terhadap
penyakit tertentu. Vaksin merupakan produk yang rentan, masing -masing
mempunyai karakteristik tertentu maka diperlukan pengelolaan secara
khusus sampai di gunakan
4) Santun lansia adalah kelompok rentan terdampak Covid-19
3

5) Covid-19 adalah penyakit menular yang disebabkan virus corona yang


paling baru ditemukan. Virus dan penyakit anyar ini tidak diketahui
sebelum wabah bergulir di Wuhan, China, pada Desember 2019.

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Memberikan pengetahuan tentang upaya pemerintah dalam mengontrol pandemi
dan kipi dari vaksin Covid-19 serta meningkatkan kesadaran pada santun lansia
untuk vaksin di Kecamatan Jatisampurna, Kota Bekasi untuk melaksanakan 5M di
kehidupan bermasyarakat.
1.3.2 Tujuan Khusus
1) Memberikan informasi mengenai vaksin Covid-19
2) Memberikan informasi mengenai KIPI vaksin Covid-19
3) Meneliti kipi yang terjadi pada santun lansia di Puskesmas Jatisampurna
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian COVID-19

COVID-19 merupakan nama penyakit yang disebabkan oleh virus corona. Nama ini
diberikan oleh WHO (World Health Organzation) sebagi nama resmi penyakit ini. Covid
sendiri merupakan singkatan dari Corona Virus Disease-2019. COVID-19 yaitu penyakit
yang disebabkan oleh SARS-CoV2 yang menyerang pembuluh darah sehingga dapat
menimbulkan spectrum gejala yang berbeda tergantung imunitas dan pajanan terhadap
pasien, mulai dari tanpa gejala hingga menimbulkan seperti demam, batuk, flu, sesak
nafas, nyeri tenggorokan, diare sampai kepada kasus berat seperti ARDS hingga
kematian.

2.2 Epidemiologi

Hingga 14 Februari 2021, jumlah kasus infeksi COVID-19 terkonfirmasi mencapai


109.146.851 kasus. Awalnya kasus terbanyak terdapat di Cina, namun saat ini kasus
terbanyak terdapat di Amerika Serikat dengan 28.245.595 kasus, diikut oleh India dengan
85.228 kasus. Virus ini telah menyebar hingga ke 221 negara. Kematian akibat virus ini
telah mencapai 2.409.199 di seluruh dunia dengan persentase 2,2%. Indonesia
melaporkan kasus pertama pada 2 Maret 2020, yang diduga tertular dari orang asing yang
berkunjung ke Indonesia. Kasus di Indonesia pun terus bertambah, hingga tanggal 14
Februari 2021 telah terdapat Indonesia sendiri memiliki kasus COVID-19 terkonfirmasi
sebesar 1.217.468 kasus dengan kematian mencapai 33.183 jiwa dengan persentase 2,7%.
Berdasarkan data yang ada umur pasien yang terinfeksi COVID-19 mulai dari usia 30
hari hingga 89 tahun. Menurut laporan 138 kasus di Kota Wuhan, didapatkan rentang usia
37–78 tahun dengan rerata 56 tahun (42-68 tahun) tetapi pasien rawat ICU lebih tua
(median 66 tahun (57-78 tahun) dibandingkan rawat non-ICU (37-62 tahun) dan 54,3%
laki-laki. Laporan 13 pasien terkonfirmasi COVID-19 di luar Kota Wuhan menunjukkan
umur lebih muda dengan median 34 tahun (34-48 tahun) dan 77% laki laki.

4
5

2.3 Faktor Risiko

Berdasarkan data yang sudah ada, penyakit komorbid hipertensi dan diabetes melitus,
jenis kelamin laki-laki, dan perokok aktif merupakan faktor risiko dari infeksi SARS-
CoV-2. Distribusi jenis kelamin yang lebih banyak pada laki-laki diduga terkait dengan
prevalensi perokok aktif yang lebih tinggi. Pada perokok, hipertensi, dan diabetes melitus,
diduga ada peningkatan ekspresi reseptor ACE2. Penggunaan pengubah angiotensin yaitu
penghambat ACE (ACE-I) atau angiotensin receptor blocker (ARB) berisiko mengalami
COVID-19 yang lebih berat. Terkait dugaan ini, European Society of Cardiology (ESC)
menegaskan bahwa belum ada bukti meyakinkan untuk menyimpulkan manfaat positif
atau negatif obat golongan ACE-i atau ARB, sehingga pengguna kedua jenis obat ini
sebaiknya tetap melanjutkan pengobatannya.
Pasien kanker dan penyakit hati kronik lebih rentan terhadap infeksi SARS-CoV-2.
Kanker diasosiasikan dengan reaksi imunosupresif, sitokin yang berlebihan, supresi
induksi agen proinflamasi, dan gangguan maturasi sel dendritik. Pasien dengan sirosis
atau penyakit hati kronik juga mengalami penurunan respons imun, sehingga lebih mudah
terjangkit COVID-19, dan dapat mengalami luaran yang lebih buruk. Pada sebuah studi ditemukan
bahwa dari 261 pasien COVID-19 yang memiliki komorbid, 10 pasien di antaranya
adalah dengan kanker dan 23 pasien dengan hepatitis B.
Infeksi saluran napas akut yang menyerang pasien HIV umumnya memiliki risiko
mortalitas yang lebih besar dibanding pasien yang tidak HIV. Namun, hingga saat ini
belum ada studi yang mengaitkan HIV dengan infeksi SARS-CoV-2. 50 Hubungan infeksi
SARS-CoV-2 dengan hipersensitivitas dan penyakit autoimun juga belum dilaporkan.
Belum ada studi yang menghubungkan riwayat penyakit asma dengan kemungkinan
terinfeksi SARS-CoV-2. Namun, sebuah studi meta-analisis menunjukkan bahwa pasien
COVID-19 dengan riwayat penyakit sistem respirasi akan cenderung memiliki
manifestasi klinis yang lebih parah.
Beberapa faktor risiko lain yang ditetapkan oleh Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) adalah kontak erat, termasuk tinggal satu rumah dengan pasien
COVID-19 dan riwayat perjalanan ke area terjangkit. Berada dalam satu lingkungan
namun tidak kontak dekat (dalam radius 2 meter) dianggap sebagai risiko rendah. Tenaga
medis merupakan salah satu populasi yang berisiko tinggi tertular. Di Italia, sekitar 9%
kasus COVID-19 adalah kasus pada tenaga medis. Di China, lebih dari 3.300 tenaga
medis juga terinfeksi, dengan mortalitas sebesar 0,6%. dilaporkan.
6

2.4 Transmisi COVID-19


Saat ini, penyebaran SARS-CoV-2 dari manusia ke manusia menjadi sumber
transmisi utama sehingga penyebaran menjadi lebih agresif. Transmisi SARS-CoV-2 dari
pasien simptomatik terjadi melalui droplet yang keluar saat batuk atau bersin. Selain itu,
telah diteliti bahwa SARS-CoV-2 dapat viabel pada aerosol (dihasilkan melalui nebulizer)
selama setidaknya 3 jam. WHO memperkirakan reproductive number (R0) COVID-19
sebesar 1,4 hingga 2,5. Namun, studi lain memperkirakan R0 sebesar 3,28.
Beberapa laporan kasus menunjukkan dugaan penularan dari karier asimtomatis,
namun mekanisme pastinya belum diketahui. Kasus-kasus terkait transmisi dari karier
asimtomatis umumnya memiliki riwayat kontak erat dengan pasien COVID-19. Beberapa
peneliti melaporan infeksi SARS-CoV-2 pada neonatus. Namun, transmisi secara vertikal
dari ibu hamil kepada janin belum terbukti pasti dapat terjadi. Bila memang dapat terjadi,
data menunjukkan peluang transmisi vertikal tergolong kecil. Pemeriksaan virologi cairan
amnion, darah tali pusat, dan air susu ibu pada ibu yang positif COVID-19 ditemukan
negatif.
SARS-CoV-2 telah terbukti menginfeksi saluran cerna berdasarkan hasil biopsi pada
sel epitel gaster, duodenum, dan rektum. Virus dapat terdeteksi di feses, bahkan ada 23%
pasien yang dilaporkan virusnya tetap terdeteksi dalam feses walaupun sudah tak
terdeteksi pada sampel saluran napas. Kedua fakta ini menguatkan dugaan kemungkinan
transmisi secara fekal-oral.
Stabilitas SARS-CoV-2 pada benda mati tidak berbeda jauh dibandingkan SARS-
CoV. Sebuah studi yang telah dilakukan menunjukkan SARS-CoV-2 lebih stabil pada
bahan plastik dan stainless steel (>72 jam) dibandingkan tembaga (4 jam) dan kardus (24
jam). Studi lain di Singapura menemukan pencemaran lingkungan yang ekstensif pada
kamar dan toilet pasien COVID-19 dengan gejala ringan. Virus dapat dideteksi di gagang
pintu, dudukan toilet, tombol lampu, jendela, lemari, hingga kipas ventilasi, namun tidak
pada sampel udara. Persistensi berbagai jenis coronavirus lainnya dapat dilihat pada tabel
berikut.
7

Tabel 1. Persistensi berbagai jenis coronavirus di berbagai permukaan

2.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis pasien COVID-19 memiliki spektrum yang luas, mulai dari tanpa
gejala (asimtomatik), gejala ringan, pneumonia, pneumonia berat, ARDS, sepsis, hingga
syok sepsis. Sekitar 80% kasus tergolong ringan atau sedang, 13,8% mengalami sakit
berat, dan sebanyak 6,1% pasien jatuh ke dalam keadaan kritis. Berapa besar proporsi
infeksi asimtomatik belum diketahui. Viremia dan viral load yang tinggi dari swab
nasofaring pada pasien yang asimptomatik telah dilaporkan.
Gejala ringan didefinisikan sebagai pasien dengan infeksi akut saluran napas atas
tanpa komplikasi, bisa disertai dengan demam, fatigue, batuk (dengan atau tanpa sputum),
anoreksia, malaise, nyeri tenggorokan, kongesti nasal, atau sakit kepala. Pasien tidak
membutuhkan suplementasi oksigen. Pada beberapa kasus pasien juga mengeluhkan diare
dan muntah.
Pasien COVID-19 dengan pneumonia berat ditandai dengan demam, ditambah salah
satu dari gejala: (1) frekuensi pernapasan >30x/menit (2) distres pernapasan berat, atau
8

(3) saturasi oksigen 93% tanpa bantuan oksigen. Pada pasien geriatri dapat muncul
gejala-gejala yang atipikal.
Sebagian besar pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 menunjukkan gejala-gejala pada
sistem pernapasan seperti demam, batuk, bersin, dan sesak napas.1 Berdasarkan data
55.924 kasus, gejala tersering adalah demam, batuk kering, dan fatigue. Gejala lain yang
dapat ditemukan adalah batuk produktif, sesak napas, sakit tenggorokan, nyeri kepala,
mialgia/artralgia, menggigil, mual/muntah, kongesti nasal, diare, nyeri abdomen,
hemoptisis, dan kongesti konjungtiva. Lebih dari 40% demam pada pasien COVID-19
memiliki suhu puncak antara 38,1-39°C, sementara 34% mengalami demam suhu lebih
dari 39°C.
Perjalanan penyakit dimulai dengan masa inkubasi yang lamanya sekitar 3-14 hari
(median 5 hari). Pada masa ini leukosit dan limfosit masih normal atau sedikit menurun
dan pasien tidak bergejala. Pada fase berikutnya (gejala awal), virus menyebar melalui
aliran darah, diduga terutama pada jaringan yang mengekspresi ACE2 seperti paru-paru,
saluran cerna dan jantung. Gejala pada fase ini umumnya ringan. Serangan kedua terjadi
empat hingga tujuh hari setelah timbul gejala awal. Pada saat ini pasien masih demam
dan mulai sesak, lesi di paru memburuk, limfosit menurun. Penanda inflamasi mulai
meningkat dan mulai terjadi hiperkoagulasi. Jika tidak teratasi, fase selanjutnya inflamasi
makin tak terkontrol, terjadi badai sitokin yang mengakibatkan ARDS, sepsis, dan
komplikasi lainnya.

Gambar 1. Skema perjalanan penyakit COVID-19.


9

Gambar 2. Perjalanan penyakit pada COVID-19 berat.

2.6 Pemeriksaan Penunjang


2.6.1 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium lain seperti hematologi rutin, hitung jenis, fungsi
ginjal, elektrolit, analisis gas darah, hemostasis, laktat, dan prokalsitonin dapat
dikerjakan sesuai dengan indikasi. Trombositopenia juga kadang dijumpai, sehingga
kadang diduga sebagai pasien dengue. Karena gejala awal COVID-19 tidak khas, hal ini
harus diwaspadai.

2.6.2 Pemeriksaan Pencitraan


Modalitas pencitraan utama yang menjadi pilihan adalah foto toraks dan Computed
Tomography Scan (CT-scan) toraks. Pada foto toraks dapat ditemukan gambaran
seperti opasifikasi ground-glass, infiltrat, penebalan peribronkial, konsolidasi fokal,
efusi pleura, dan atelectasis.. Foto toraks kurang sensitif dibandingkan CT scan, karena
sekitar 40% kasus tidak ditemukan kelainan pada foto toraks.
Berdasarkan sebuah studi sistematis yang telah dilakukan temuan utama pada CT
scan toraks adalah opasifikasi ground-glass (88%), dengan atau tanpa konsolidasi,
sesuai dengan pneumonia viral. Keterlibatan paru cenderung bilateral (87,5%),
multilobular (78,8%), lebih sering pada lobus inferior dengan distribusi lebih perifer
(76%). Penebalan septum, penebalan pleura, bronkiektasis, dan keterlibatan pada
subpleural tidak banyak ditemukan.
Gambaran CT scan yang lebih jarang ditemukan yaitu efusi pleura, efusi
perikardium, limfadenopati, kavitas, CT halo sign, dan pneumotoraks. Walaupun
10

gambaran-gambaran tersebut bersifat jarang, namun bisa saja ditemui seiring dengan
progresivitas penyakit. Studi ini juga melaporkan bahwa pasien di atas 50 tahun lebih
sering memiliki gambaran konsolidasi.

Gambaran CT scan dipengaruhi oleh perjalanan klinis:


1. Pasien asimtomatis: cenderung unilateral, multifokal, predominan gambaran
ground-glass. Penebalan septum interlobularis, efusi pleura, dan limfadenopati
jarang ditemukan.
2. Satu minggu sejak onset gejala: lesi bilateral dan difus, predominan gambaran
ground-glass. Efusi pleura 5%, limfadenopati 10%.
3. Dua minggu sejak onset gejala: masih predominan gambaran ground-glass,
namun mulai terdeteksi konsolidasi
4. Tiga minggu sejak onset gejala: predominan gambaran ground-glass dan pola
retikular. Dapat ditemukan bronkiektasis, penebalan pleura, efusi pleura, dan
limfadenopati.

2.6.3 Pemeriksaan Virologi


Saat ini WHO merekomendasikan pemeriksaan molekuler untuk seluruh pasien yang
termasuk dalam kategori suspek. Pemeriksaan pada individu yang tidak memenuhi
kriteria suspek atau asimtomatis juga boleh dikerjakan dengan mempertimbangkan
aspek epidemiologi, protokol skrining setempat, dan ketersediaan alat. Kultur virus
tidak direkomendasikan untuk diagnosis rutin. Metode yang dianjurkan untuk deteksi
virus adalah amplifikasi asam nukleat dengan real-time reversetranscription
polymerase chain reaction (rRT-PCR) dan dengan sequencing. Sampel dikatakan
positif (konfirmasi SARS-CoV-2) bila rRT-PCR positif pada minimal dua target genom
(N, E, S, atau RdRP) yang spesifik SARS-CoV-2; ATAU rRT-PCR positif
betacoronavirus, ditunjang dengan hasil sequencing sebagian atau seluruh genom virus
yang sesuai dengan SARS-CoV-2.
11

2.7 Klasifikasi Kasus COVID-19

2.8 Pencegahan
WHO dalam “Rekomendasi WHO dalam menghadapi wabah COVID-19” menjelaskan
untuk melakukan proteksi dasar, yang terdiri dari cuci tangan secara rutin dengan alkohol
atau sabun dan air, menggunakan masker bedah dan menjaga jarak dengan orang lain
minimal satu setengah meter (6 kaki), melakukan etika batuk atau bersin, dan berobat ketika
memiliki keluhan yang sesuai kategori suspek.
Program yang digencarkan pemerintah untuk mencegah transmisi COVID-19 di
masyarakat disingkat dalam 6M yaitu menggunakan masker, menjaga jarak, mencuci tangan,
menghindari kerumunan, membatasi mobilisasi dan menjaga konsumsi gizi seimbang.

2.9 Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

PENGERTIAN

KIPI merupakan kejadian medik yang diduga berhubungan dengan vaksinasi.


Kejadian ini dapat berupa reaksi vaksin, kesalahan prosedur, koinsiden, reaksi kecemasan,
atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan. KIPI diklasifikasikan serius apabila
kejadian medik akibat setiap dosis vaksinasi yang diberikan menimbulkan kematian,
kebutuhan untuk rawat inap, dan gejala sisa yang menetap serta mengancam jiwa. Klasifikasi
12

serius KIPI tidak berhubungan dengan tingkat keparahan (berat atau ringan) dari reaksi KIPI
yang terjadi.

Vaksin yang digunakan dalam program vaksinasi COVID-19 ini masih termasuk
vaksin baru sehingga untuk menilai keamanannnya perlu dilakukan surveilans pasif Kejadian
Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) dan surveilans aktif Kejadian Ikutan dengan Perhatian Khusus
(KIPK). Mekanisme surveilans aktif KIPK dituangkan dalam Petunjuk Teknis tersendiri,
terpisah dari Petunjuk Teknis ini.

B. KIPI VAKSIN COVID-19 YANG MUNGKIN TERJADI DAN ANTISIPASINYA

Reaksi yang mungkin terjadi setelah vaksinasi COVID-19 hampir sama dengan
vaksin yang lain. Beberapa gejala tersebut antara lain:

1. Reaksi lokal, seperti:

 nyeri, kemerahan, bengkak pada tempat suntikan,

 reaksi lokal lain yang berat, misalnya selulitis.

2. Reaksi sistemik seperti:

 demam,

 nyeri otot seluruh tubuh (myalgia),

 nyeri sendi (atralgia),

 badan lemah,

 sakit kepala

3. Reaksi lain, seperti:

 reaksi alergi misalnya urtikaria, oedem,

 reaksi anafilaksis,

 syncope (pingsan)
13

KIPI yang terkait kesalahan prosedur dapat terjadi, untuk itu persiapan sistem
pelayanan vaksinasi yang terdiri dari petugas pelaksana yang kompeten (memiliki
pengetahuan cukup, terampil dalam melaksanakan vaksinasi dan memiliki sikap profesional
sebagai tenaga kesehatan), peralatan yang lengkap dan petunjuk teknis yang jelas, harus
disiapkan dengan maksimal. Kepada semua jajaran pemerintahan yang masuk dalam sistem
ini harus memahami petunjuk teknis yang diberikan. KIPI yang tidak terkait dengan vaksin
atau koinsiden harus diwaspadai. Untuk itu penapisan status kesehatan sasaran yang akan
divaksinasi harus dilakukan seoptimal mungkin.

C. MEKANISME PEMANTAUAN DAN PENANGGULANGAN KIPI

Pemantauan kasus KIPI dimulai langsung setelah vaksinasi. Puskesmas menerima


laporan KIPI dari sasaran yang divaksinasi/masyarakat/kader. Apabila ditemukan dugaan
KIPI serius agar segera dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk dilakukan
pelacakan. Hasil pelacakan dilaporkan ke Pokja/Komda PP-KIPI untuk dilakukan analisis
kejadian, tindak lanjut kasus, seperti dapat dilihat pada gambar di bawah ini. KIPI yang
meresahkan dan menimbulkan perhatian berlebihan masyarakat, harus segera direspons,
diinvestigasi dan laporannya segera dikirim langsung kepada Kementerian Kesehatan Skema
alur kegiatan pelaporan dan pelacakan KIPI, mulai dari penemuan KIPI di masyarakat
kemudian dilaporkan

a. Setiap fasyankes harus menetapkan contact person yang dapat dihubungi apabila
ada keluhan dari penerima vaksin.

b. Penerima vaksin yang mengalami KIPI dapat menghubungi contact person


fasyankes tempat mendapatkan vaksin COVID-19

c. Selanjutnya fasilitas pelayanan kesehatan akan melaporkan ke Puskesmas,


sementara Puskesmas dan rumah sakit akan melaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
(Lampiran Formulir Pemantauan KIPI).

d. Untuk kasus diduga KIPI serius maka Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota akan
melakukan konfirmasi kebenaran kasus diduga KIPI serius tersebut berkoordinasi dengan
Pokja KIPI/Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau dengan Komda PP-KIPI/Dinas Kesehatan
14

Provinsi. Kemudian bila perlu dilakukan investigasi (Lampiran Formulir Investigasi KIPI),
maka Dinas Kesehatan Provinsi akan berkoordinasi dengan Komda PP-KIPI dan Balai Besar
POM Provinsi serta melaporkan ke dalam website keamanan vaksin untuk dilakukan kajian
oleh Komite independen (Komnas dan/atau Komda PP-KIPI).

e. Pasien yang mengalami gangguan kesehatan diduga akibat KIPI diberikan


pengobatan dan perawatan selama proses investigasi dan pengkajian kausalitas KIPI
berlangsung

D. KURUN WAKTU PELAPORAN KIPI

Untuk mengetahui hubungan antara vaksinasi dengan KIPI diperlukan pencatatan dan
pelaporan dengan keterangan rinci semua reaksi simpang yang timbul setelah pemberian
vaksinasi yang merupakan kegiatan dari surveilans KIPI. Data yang diperoleh dipergunakan
untuk menganalisis kasus dan mengambil kesimpulan. Pelaporan KIPI dilaksanakan secara
bertahap dan bertingkat.

Pada keadaan KIPI yang menimbulkan perhatian berlebihan/meresahkan masyarakat


atau laporan kasus yang masih membutuhkan kelengkapan data, maka laporan satu kasus
KIPI dapat dilaporkan beberapa kali pada masing-masing tingkat pelaporan sampai laporan
memenuhi kelengkapan tersebut.

Pelaporan dibuat secepatnya sehingga keputusan dapat dipakai untuk tindakan


penanggulangan. Kurun waktu pelaporan dapat mengacu pada tabel di bawah ini.

Tabel 23. Kurun Waktu Pelaporan KIPI Berdasarkan Jenjang Administrasi Penerima
Laporan

2.10 Lanjut Usia (Lansia)


2.10.1 Definisi Lansia
Menurut World Health Organisation (WHO), lansia adalah seseorang yang telah
memasuki usia 60 tahun keatas. Lansia merupakan kelompok umur pada manusia yang telah
memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya. Kelompok yang dikategorikan lansia ini
akan terjadi suatu proses yang disebut Aging Process atau proses penuaan. Proses penuaan
15

adalah siklus kehidupan yang ditandai dengan tahapan-tahapan menurunnya berbagai fungsi
organ tubuh, yang ditandai dengan semakin rentannya tubuh terhadap berbagai serangan
penyakit yang dapat menyebabkan kematian misalnya pada sistem kardiovaskuler dan
pembuluh darah, pernafasan, pencernaan, endokrin dan lain sebagainya. Hal tersebut
disebabkan seiring meningkatnya usia sehingga terjadi perubahan dalam struktur dan fungsi
sel, jaringan, serta sistem organ. Perubahan tersebut pada umumnya mengaruh pada
kemunduran kesehatan fisik dan psikis yang pada akhirnya akan berpengaruh pada ekonomi
dan sosial lansia. Sehingga secara umum akan berpengaruh pada activity of daily living
(Fatmah, 2010).

PELACAKAN KIPI
Pelacakan kasus diduga KIPI mengikuti standar prinsip pelacakan yang telah
ditentukan, dengan memperhatikan kaidah pelacakan kasus, vaksin, teknik dan prosedur
vaksinasi serta melakukan perbaikan berdasarkan temuan yang didapat dengan
menggunakan format yang ditentukan.
F. PENGENALAN DAN PENANGANAN ANAFILAKTIK
Reaksi anafilaktik adalah reaksi hipersensitifitas generalisata atau sistemik yang
terjadi dengan cepat (umumnya 5-30 menit sesudah suntikan) serius dan mengancam jiwa.
Jika reaksi tersebut cukup hebat dapat menimbulkan syok yang disebut sebagai syok
anafilaktik. Syok anafilaktik membutuhkan pertolongan cepat dan tepat.
Reaksi anafilaktik adalah KIPI paling serius yang juga menjadi risiko pada setiap
pemberian obat atau vaksin. Tatalaksananya harus cepat dan tepat mulai dari penegakkan
diagnosis sampai pada terapinya di tempat kejadian, dan setelah stabil baru dipertimbangkan
untuk dirujuk ke RS terdekat. Setiap petugas pelaksana vaksinasi harus sudah kompeten
dalam menangani reaksi anafilaktik.
Gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilaktik berbeda-beda sesuai dengan
berat-ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat sensitivitas seseorang, namun pada
tingkat yang berat berupa syok anafilaktik gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi
dan gangguan respirasi.
Reaksi anafilaktik biasanya melibatkan beberapa sistem tubuh, tetapi ada juga gejala-
gejala yang terbatas hanya pada satu sistem tubuh (contoh: gatal pada kulit) juga dapat
terjadi.
16

Tanda awal anafilaktik adalah kemerahan (eritema) menyeluruh dan gatal (urtikaria)
dengan obstruksi jalan nafas atas dan/atau bawah. Pada kasus berat dapat terjadi keadaan - 75
-

lemas, pucat, hilang kesadaran dan hipotensi. Petugas sebaiknya dapat mengenali
tanda dan gejala anafilaktik. Pada dasarnya makin cepat reaksi timbul, makin berat keadaan
penderita.
Penurunan kesadaran jarang sebagai manifestasi tunggal anafilaktik, ini hanya terjadi
sebagai suatu kejadian lambat pada kasus berat. Denyut nadi sentral yang kuat (contoh:
karotis) tetap ada pada keadaan pingsan, tetapi tidak pada keadaan anafilaktik.
Gejala anafilaktik dapat terjadi segera setelah Sekali diagnosis ditegakkan, maka
harus diingat bahwa pasien berpotensi untuk menjadi fatal tanpa menghiraukan berat
ringannya gejala yang muncul. Mulai tangani pasien dengan cepat dan pada saat yang sama
buat rencana untuk merujuk pasien ke rumah sakit dengan cepat. Pemberian epinefrin
(adrenalin) akan merangsang jantung dan melonggarkan spasme pada saluran nafas serta
mengurangi edema dan urtikaria. Tetapi adrenalin dapat menyebabkan denyut jantung tidak
teratur, gagal jantung (heart failure), hipertensi berat dan nekrosis jaringan jika dosis yang
dipergunakan tidak tepat.
Petugas harus terlatih dalam penanganan anafilaktik, memiliki kesiapan kit anafilaktik
yang lengkap untuk tatalaksana reaksi anafilaktik dan memiliki akses yang cepat untuk
merujuk pasien. Berikut adalah langkah penanganan anafilaktik:
a. Nilai sirkulasi pasien, jalan nafas, pernafasan, status mental, kulit, dan berat badan
(massa).
b. Berikan epinefrin (adrenalin) intramuskular pada regio mid-anterolateral paha, 0,01
mg/kg larutan 1:1000 (1mg/ml), maksimum 0,5 mg (dewasa): catat waktu pemberian dosis
dan ulangi 5-15 menit jika diperlukan. Kebanyakan pasien respon terhadap 1-2 dosis.
c. Letakkan pasien telentang atau pada posisi paling nyaman jika terdapat distres
pernafasan atau muntah; elevasi ekstremitas bawah; kejadian fatal dapat terjadi dalam
beberapa detik jika pasien berdiri atau duduk tiba-tiba.
d. Jika diperlukan, berikan oksigen aliran tinggi (6-8L/menit) dengan masker atau
oropharyngeal airway.
e. Berikan akses intravena menggunakan jarum atau kateter dengan kanula diameter
besar(14-16 G), Jika diperlukan, berikan 1-2 liter cairan NaCl 0,9% (isotonik) salin dengan
cepat (mis: 5-10 ml/kg pada 5-10 menit awal pada orang dewasa).
17

f. Jika diperlukan, lakukan resusitasi kardiopulmoner dengan kompresi dada secara


kontinyu dan amankan pernafasan.
g. Monitor tekanan darah pasien, denyut dan fungsi jantung, status pernafasan dan
oksigenasi pasien sesering mungkin dalam interval regular.
h. Monitor tekanan darah pasien, denyut dan fungsi jantung, status pernafasan dan
oksigenasi pasien sesering mungkin dalam interval regular
18

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif analisis dengan metode


deskriptif (descriptive) Penelitian descriptive berarti penelitian yang berusaha
mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi pada saat sekarang , yang
pada penelitian ini Gambaran Kipi Vaksin Covid-19 (Sinovac) pada Lansia di
Puskesmas Jatisampurna Tahun 2021

3.2 Tempat dan Waktu


Penelitian ini dilakukan sejumlah tempat di wilayah kerja Puskesmas
Jatisampurna, dilakukan pengamatan di periode 24 Maret – 28 April 2021.

3.3 Jenis dan Sumber Data


3.3.1 Jenis Data
Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer. Sumber
data primer diperoleh dari hasil wawancara pasien pada saat setelah pemberian
vaksin covid-19 di wilayah kerja Puskesmas Jatisampurna periode 24 Maret – 28
April 2021.
3.3.2 Sumber Data

Data dari penelitian ini merupakan data primer. Data primer merupakan data
yang diperoleh secara langsung dari sumber asli (tanpa melalui perantara) dengan
melakukan metode wawancara. Data primer yang ada dalam penelitian ini
merupakan data Jatisampurna selama periode 24 Maret – 28 April 2021.

3.3.3 Populasi Penelitian


Populasi dalam penelitian ini adalah 25 orang lansia di wilayah kerja
Puskesmas Jatisampurna.
Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah masyarakat wilayah kerja
Puskesmas Jatisampurna yang bersedia melakukan wawancara setelah vaksinasi
COVID-19 pada periode 24 Maret – 28 April 2021.
19

3.4 Pengolahan dan Analisis Data


Data yang diperoleh baik itu berupa hasil wawancara secara kualitatif dianalisa
menggunakan program statistik di komputer berdasar tinjauan pustaka dan
dideskripsikan secara naratif, tabel serta grafik.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4. 1 Hasil Penelitian Berdasarkan Demografi


20

4. 2. 1 Gambaran Peserta Vaksinasi Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin (%)

Laki-laki
44%
Perempuan
56%

Berdasarkan jenis kelaminnya, dari 25 peserta vaksinasi dengan jumlah laki-laki sebanyak
44% (11 orang) dan perempuan sebanyak 56% (14 orang).

4. 2. 2 Gambaran Peserta Vaksinasi Berdasarkan Kelompok Usia


Berdasarkan kelompok usia, dari total 50 peserta vaksinasi, 58 tahun (2 orang), 59
tahun (2 orang), 60 tahun (5 orang), 61 tahun (2 orang), 62 tahun (2 orang), 63 tahun (1
orang), 64 tahun (2 orang), 65 tahun (1 orang), 66 tahun (1 orang), 67 tahun (1 orang), 68
tahun (2 orang), 69 tahun (1 orang), 70 tahun (1 orang), 74 tahun (1 orang) dan 76 tahun (1
orang).
21

Distribusi Menurut Usia


80
70
60
50

Axis Title 40
30
20
10
4. 2. 3 Gambara
0
2 2 5 2 2 1 2 1 1 1 2 1 1 1 1 n Peserta
Vaksinasi
Berdasarkan KIPI (Pemberian Vaksinasi Pertama)
Berdasarkan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi Pertama, dari total 50 peserta vaksinasi,
sakit kepala 4% (1 orang), malaise 4% (1 orang), mengantuk 16% (4 orang) dan tidak ada
KIPI 76% (19 orang).

4. 2. 4 Gambaran Peserta Vaksinasi Berdasarkan KIPI (Pemberian Vaksinasi Kedua)


Berdasarkan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi Kedua, dari total 50 peserta vaksinasi,
sakit kepala 4% (1 orang), malaise 4% (1 orang), mengantuk 8% (2 orang), mual 4% (1
orang) dan tidak ada KIPI 80% (20 orang).
22

Jenis-jenis KIPI Pada Vaksinasi Kedua


Sakit Kepala
4% Malaise
4%
Mengantuk
8%
Mual
4%

Tidak Ada KIPI


80%

BAB V

PELAKSANAAN INTERVENSI

6.1 Pelaksanaan Intervensi


Kegiatan : Melakukan wawancara kepada santun lansia secara langsung
mengenai keadaan pasca vaksin Covid-19
Tujuan : Meneliti efek samping dari vaksin Covid-19 pada santun lansia
Lokasi : Ruang tunggu Puskesmas Jatisampurna
Waktu : 25 Maret – 28 April 2021
23

Sasaran : Kelompok santun lansia di wilayah kerja Puskesmas Jatisampurna.


Pelaksana : Dokter internship, Puskesmas Jatisampurna, juru imunsasi Puskesmas
Jatisampurna (Siti Rohayati, AMK)
Dana : Swadana dokter internship
Metode : Wawancara langsung maupun tidak langsung

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

1. Antusiasme santun lansia terhadap vaksin Covid-19 di Puskesma Jatisampurna sangat


baik
2. Terdapat KIPI reaksi ringan pada beberapa lansia pada dosis pertama pemberian vaksin
Covid-19 di Puskesmas Jatisampurna
24

3. Masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Jatisampurna sudah cukup baik dalam menyikapi
Covid-19

7.2 Saran

a. Puskesmas
- Perlu diadakan penyuluhan di luar gedung secara berulang bagi masyarakat yang
masih minim pengetahuan agar dapat mencapai seluruh lapisan masyarakat.
- Perlu diadakan penyuluhan mengenai vaksin Covid-19 dan efek samping dari
vaksin tersebut
- Petugas puskesmas perlu menjadi role model bagi masyarakat di wilayah
kerjanya agar masyarakat dalam upaya meningkatkan protokol kesehatan di
masyarakat
b. Masyarakat
- Berpartisipasi aktif dalam menegakkan 6M dalam kegiatan sehari-hari dan
kehidupan bermasyarakat
- Berpastisipasi dalam program vaksin Covid-19 dalam upaya membentuk Herd
Immunity
c. Peneliti
Memperbaiki penelitian dengan cara melanjutkan hasil dari penyuluhan
sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Li Q, Guan X, Wu P, dkk. Dinamika penularan awal di Wuhan, Cina, dari


pneumonia yang baru terinfeksi coronavirus. Eng J Med Baru . 2020; 382, 1199-
207.
2. World Health Organisation (WHO). Novel Coronavirus-China. 2020.
https://www.who.int/csr/don/12-january-2020-novel-coronavirus-china/en/.
3. Chen N, Zhou M, Dong X, et al.Karakteristik epidemiologis dan klinis dari 99
kasus 2019 novel coronavirus pneumonia di Wuhan,Cina: sebuah studi deskriptif.
Lancet . 2020; 395, 507-13.
4. Susilo A, Rumende CM, Pitoyo CW, et al. Coronavirus Disease 2019: Tinjauan
Literatur Terkini. 2020 Jurnal Penyakit Dalam Indonesia vol 7 no 1
5. Buku Pedoman Tatalakasna COVID-19 Edisi 3, 2020
6. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian
Kesehatan RI. Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Infeksi Novel Coronavirus
(2019-nCoV).
7. Handayani, D., Hadi, D. R., Isbaniah, F., Burhan, E., & Agustin, H. (2020).
Penyakit Virus Corona 2019. Jurnal Respirologi Indonesia, 40(2), 119–129.
8. Van Doremalen N, Bushmaker T, Morris DH, Holbrook MG, Gamble A,
Williamson BN, dkk. Aerosol dan Stabilitas Permukaan SARS-CoV-2
dibandingkan dengan SARS-CoV-19. N Engl J Med. 2020
9. Han Y, Yang H. Transmisi dan diagnosis penyakit infeksi coronavirus novel 2019
(COVID-19): Perspektif Cina. J Med Virol. 2020
10. Kampf G, Todt D, Pfaender S, Steinmann E Kegigihan virus corona pada
permukaan mati dan inaktivasi mereka dengan agen biosidal. J Hosp Menginfeksi.
2020; 104 (3): 246-51.
11. Hastuti N, Djanah SN, Studi Tinjauan Pustaka: Penularan dan Pencegahan
Penyebaran COVID-19, 2020, An-Nadaa: Jurnal Kesehatan Masyarakat
12. Fitriani NI, Tinjauan Pustaka COVID-19: Virologi, Patogenesis dan
Manifestasi Klinis, 2020, Jurnal Medika Malahayati vol 4 no 3

25
26

Anda mungkin juga menyukai