Disusun Oleh:
Pembimbing:
NIP. 1977061520009022001
i
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Dokter Pendamping
DAFTAR ISI
Halaman Judul..........................................................................................................i
Halaman Pengesahan...............................................................................................ii
Daftar Isi.................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang....................................................................................................1
1.2 Batasan Judul.....................................................................................................2
1.3 Tujuan................................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................4
2.1 Pengertian COVID-19.......................................................................................4
2.2 Epidemiologi......................................................................................................4
2.3 Faktor Risiko......................................................................................................5
2.4 Transmisi COVID-19.........................................................................................6
2.5 Manifestasi Klinis..............................................................................................7
2.6 Pemeriksaan Penunjang.....................................................................................9
2.6.1 Pemeriksaan Laboratorium.............................................................................9
2.6.2 Pemeriksaan Pencitraan..................................................................................9
2.6.3 Pemeriksaan Virologi....................................................................................11
2.7 Klasifikasi Kasus COVID-19..........................................................................11
2.8 Pencegahan......................................................................................................11
2.9 Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)..........................................................11
2.10 Lansia.............................................................................................................12
BAB III METODOLOGI.......................................................................................13
3.1 Desain Penelitian.............................................................................................13
3.2 Tempat dan Waktu...........................................................................................13
3.3 Jenis dan Sumber Data.....................................................................................13
3.4 Pengolahan dan Analisis Data.........................................................................14
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian Berdasarkan Demografi.........................................................15
BAB V PELAKSANAAN INTERVENSI............................................................17
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN..............................................................18
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................19
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Memberikan pengetahuan tentang upaya pemerintah dalam mengontrol pandemi
dan kipi dari vaksin Covid-19 serta meningkatkan kesadaran pada santun lansia
untuk vaksin di Kecamatan Jatisampurna, Kota Bekasi untuk melaksanakan 5M di
kehidupan bermasyarakat.
1.3.2 Tujuan Khusus
1) Memberikan informasi mengenai vaksin Covid-19
2) Memberikan informasi mengenai KIPI vaksin Covid-19
3) Meneliti kipi yang terjadi pada santun lansia di Puskesmas Jatisampurna
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
COVID-19 merupakan nama penyakit yang disebabkan oleh virus corona. Nama ini
diberikan oleh WHO (World Health Organzation) sebagi nama resmi penyakit ini. Covid
sendiri merupakan singkatan dari Corona Virus Disease-2019. COVID-19 yaitu penyakit
yang disebabkan oleh SARS-CoV2 yang menyerang pembuluh darah sehingga dapat
menimbulkan spectrum gejala yang berbeda tergantung imunitas dan pajanan terhadap
pasien, mulai dari tanpa gejala hingga menimbulkan seperti demam, batuk, flu, sesak
nafas, nyeri tenggorokan, diare sampai kepada kasus berat seperti ARDS hingga
kematian.
2.2 Epidemiologi
4
5
Berdasarkan data yang sudah ada, penyakit komorbid hipertensi dan diabetes melitus,
jenis kelamin laki-laki, dan perokok aktif merupakan faktor risiko dari infeksi SARS-
CoV-2. Distribusi jenis kelamin yang lebih banyak pada laki-laki diduga terkait dengan
prevalensi perokok aktif yang lebih tinggi. Pada perokok, hipertensi, dan diabetes melitus,
diduga ada peningkatan ekspresi reseptor ACE2. Penggunaan pengubah angiotensin yaitu
penghambat ACE (ACE-I) atau angiotensin receptor blocker (ARB) berisiko mengalami
COVID-19 yang lebih berat. Terkait dugaan ini, European Society of Cardiology (ESC)
menegaskan bahwa belum ada bukti meyakinkan untuk menyimpulkan manfaat positif
atau negatif obat golongan ACE-i atau ARB, sehingga pengguna kedua jenis obat ini
sebaiknya tetap melanjutkan pengobatannya.
Pasien kanker dan penyakit hati kronik lebih rentan terhadap infeksi SARS-CoV-2.
Kanker diasosiasikan dengan reaksi imunosupresif, sitokin yang berlebihan, supresi
induksi agen proinflamasi, dan gangguan maturasi sel dendritik. Pasien dengan sirosis
atau penyakit hati kronik juga mengalami penurunan respons imun, sehingga lebih mudah
terjangkit COVID-19, dan dapat mengalami luaran yang lebih buruk. Pada sebuah studi ditemukan
bahwa dari 261 pasien COVID-19 yang memiliki komorbid, 10 pasien di antaranya
adalah dengan kanker dan 23 pasien dengan hepatitis B.
Infeksi saluran napas akut yang menyerang pasien HIV umumnya memiliki risiko
mortalitas yang lebih besar dibanding pasien yang tidak HIV. Namun, hingga saat ini
belum ada studi yang mengaitkan HIV dengan infeksi SARS-CoV-2. 50 Hubungan infeksi
SARS-CoV-2 dengan hipersensitivitas dan penyakit autoimun juga belum dilaporkan.
Belum ada studi yang menghubungkan riwayat penyakit asma dengan kemungkinan
terinfeksi SARS-CoV-2. Namun, sebuah studi meta-analisis menunjukkan bahwa pasien
COVID-19 dengan riwayat penyakit sistem respirasi akan cenderung memiliki
manifestasi klinis yang lebih parah.
Beberapa faktor risiko lain yang ditetapkan oleh Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) adalah kontak erat, termasuk tinggal satu rumah dengan pasien
COVID-19 dan riwayat perjalanan ke area terjangkit. Berada dalam satu lingkungan
namun tidak kontak dekat (dalam radius 2 meter) dianggap sebagai risiko rendah. Tenaga
medis merupakan salah satu populasi yang berisiko tinggi tertular. Di Italia, sekitar 9%
kasus COVID-19 adalah kasus pada tenaga medis. Di China, lebih dari 3.300 tenaga
medis juga terinfeksi, dengan mortalitas sebesar 0,6%. dilaporkan.
6
(3) saturasi oksigen 93% tanpa bantuan oksigen. Pada pasien geriatri dapat muncul
gejala-gejala yang atipikal.
Sebagian besar pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 menunjukkan gejala-gejala pada
sistem pernapasan seperti demam, batuk, bersin, dan sesak napas.1 Berdasarkan data
55.924 kasus, gejala tersering adalah demam, batuk kering, dan fatigue. Gejala lain yang
dapat ditemukan adalah batuk produktif, sesak napas, sakit tenggorokan, nyeri kepala,
mialgia/artralgia, menggigil, mual/muntah, kongesti nasal, diare, nyeri abdomen,
hemoptisis, dan kongesti konjungtiva. Lebih dari 40% demam pada pasien COVID-19
memiliki suhu puncak antara 38,1-39°C, sementara 34% mengalami demam suhu lebih
dari 39°C.
Perjalanan penyakit dimulai dengan masa inkubasi yang lamanya sekitar 3-14 hari
(median 5 hari). Pada masa ini leukosit dan limfosit masih normal atau sedikit menurun
dan pasien tidak bergejala. Pada fase berikutnya (gejala awal), virus menyebar melalui
aliran darah, diduga terutama pada jaringan yang mengekspresi ACE2 seperti paru-paru,
saluran cerna dan jantung. Gejala pada fase ini umumnya ringan. Serangan kedua terjadi
empat hingga tujuh hari setelah timbul gejala awal. Pada saat ini pasien masih demam
dan mulai sesak, lesi di paru memburuk, limfosit menurun. Penanda inflamasi mulai
meningkat dan mulai terjadi hiperkoagulasi. Jika tidak teratasi, fase selanjutnya inflamasi
makin tak terkontrol, terjadi badai sitokin yang mengakibatkan ARDS, sepsis, dan
komplikasi lainnya.
gambaran-gambaran tersebut bersifat jarang, namun bisa saja ditemui seiring dengan
progresivitas penyakit. Studi ini juga melaporkan bahwa pasien di atas 50 tahun lebih
sering memiliki gambaran konsolidasi.
2.8 Pencegahan
WHO dalam “Rekomendasi WHO dalam menghadapi wabah COVID-19” menjelaskan
untuk melakukan proteksi dasar, yang terdiri dari cuci tangan secara rutin dengan alkohol
atau sabun dan air, menggunakan masker bedah dan menjaga jarak dengan orang lain
minimal satu setengah meter (6 kaki), melakukan etika batuk atau bersin, dan berobat ketika
memiliki keluhan yang sesuai kategori suspek.
Program yang digencarkan pemerintah untuk mencegah transmisi COVID-19 di
masyarakat disingkat dalam 6M yaitu menggunakan masker, menjaga jarak, mencuci tangan,
menghindari kerumunan, membatasi mobilisasi dan menjaga konsumsi gizi seimbang.
PENGERTIAN
serius KIPI tidak berhubungan dengan tingkat keparahan (berat atau ringan) dari reaksi KIPI
yang terjadi.
Vaksin yang digunakan dalam program vaksinasi COVID-19 ini masih termasuk
vaksin baru sehingga untuk menilai keamanannnya perlu dilakukan surveilans pasif Kejadian
Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) dan surveilans aktif Kejadian Ikutan dengan Perhatian Khusus
(KIPK). Mekanisme surveilans aktif KIPK dituangkan dalam Petunjuk Teknis tersendiri,
terpisah dari Petunjuk Teknis ini.
Reaksi yang mungkin terjadi setelah vaksinasi COVID-19 hampir sama dengan
vaksin yang lain. Beberapa gejala tersebut antara lain:
demam,
badan lemah,
sakit kepala
reaksi anafilaksis,
syncope (pingsan)
13
KIPI yang terkait kesalahan prosedur dapat terjadi, untuk itu persiapan sistem
pelayanan vaksinasi yang terdiri dari petugas pelaksana yang kompeten (memiliki
pengetahuan cukup, terampil dalam melaksanakan vaksinasi dan memiliki sikap profesional
sebagai tenaga kesehatan), peralatan yang lengkap dan petunjuk teknis yang jelas, harus
disiapkan dengan maksimal. Kepada semua jajaran pemerintahan yang masuk dalam sistem
ini harus memahami petunjuk teknis yang diberikan. KIPI yang tidak terkait dengan vaksin
atau koinsiden harus diwaspadai. Untuk itu penapisan status kesehatan sasaran yang akan
divaksinasi harus dilakukan seoptimal mungkin.
a. Setiap fasyankes harus menetapkan contact person yang dapat dihubungi apabila
ada keluhan dari penerima vaksin.
d. Untuk kasus diduga KIPI serius maka Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota akan
melakukan konfirmasi kebenaran kasus diduga KIPI serius tersebut berkoordinasi dengan
Pokja KIPI/Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau dengan Komda PP-KIPI/Dinas Kesehatan
14
Provinsi. Kemudian bila perlu dilakukan investigasi (Lampiran Formulir Investigasi KIPI),
maka Dinas Kesehatan Provinsi akan berkoordinasi dengan Komda PP-KIPI dan Balai Besar
POM Provinsi serta melaporkan ke dalam website keamanan vaksin untuk dilakukan kajian
oleh Komite independen (Komnas dan/atau Komda PP-KIPI).
Untuk mengetahui hubungan antara vaksinasi dengan KIPI diperlukan pencatatan dan
pelaporan dengan keterangan rinci semua reaksi simpang yang timbul setelah pemberian
vaksinasi yang merupakan kegiatan dari surveilans KIPI. Data yang diperoleh dipergunakan
untuk menganalisis kasus dan mengambil kesimpulan. Pelaporan KIPI dilaksanakan secara
bertahap dan bertingkat.
Tabel 23. Kurun Waktu Pelaporan KIPI Berdasarkan Jenjang Administrasi Penerima
Laporan
adalah siklus kehidupan yang ditandai dengan tahapan-tahapan menurunnya berbagai fungsi
organ tubuh, yang ditandai dengan semakin rentannya tubuh terhadap berbagai serangan
penyakit yang dapat menyebabkan kematian misalnya pada sistem kardiovaskuler dan
pembuluh darah, pernafasan, pencernaan, endokrin dan lain sebagainya. Hal tersebut
disebabkan seiring meningkatnya usia sehingga terjadi perubahan dalam struktur dan fungsi
sel, jaringan, serta sistem organ. Perubahan tersebut pada umumnya mengaruh pada
kemunduran kesehatan fisik dan psikis yang pada akhirnya akan berpengaruh pada ekonomi
dan sosial lansia. Sehingga secara umum akan berpengaruh pada activity of daily living
(Fatmah, 2010).
PELACAKAN KIPI
Pelacakan kasus diduga KIPI mengikuti standar prinsip pelacakan yang telah
ditentukan, dengan memperhatikan kaidah pelacakan kasus, vaksin, teknik dan prosedur
vaksinasi serta melakukan perbaikan berdasarkan temuan yang didapat dengan
menggunakan format yang ditentukan.
F. PENGENALAN DAN PENANGANAN ANAFILAKTIK
Reaksi anafilaktik adalah reaksi hipersensitifitas generalisata atau sistemik yang
terjadi dengan cepat (umumnya 5-30 menit sesudah suntikan) serius dan mengancam jiwa.
Jika reaksi tersebut cukup hebat dapat menimbulkan syok yang disebut sebagai syok
anafilaktik. Syok anafilaktik membutuhkan pertolongan cepat dan tepat.
Reaksi anafilaktik adalah KIPI paling serius yang juga menjadi risiko pada setiap
pemberian obat atau vaksin. Tatalaksananya harus cepat dan tepat mulai dari penegakkan
diagnosis sampai pada terapinya di tempat kejadian, dan setelah stabil baru dipertimbangkan
untuk dirujuk ke RS terdekat. Setiap petugas pelaksana vaksinasi harus sudah kompeten
dalam menangani reaksi anafilaktik.
Gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilaktik berbeda-beda sesuai dengan
berat-ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat sensitivitas seseorang, namun pada
tingkat yang berat berupa syok anafilaktik gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi
dan gangguan respirasi.
Reaksi anafilaktik biasanya melibatkan beberapa sistem tubuh, tetapi ada juga gejala-
gejala yang terbatas hanya pada satu sistem tubuh (contoh: gatal pada kulit) juga dapat
terjadi.
16
Tanda awal anafilaktik adalah kemerahan (eritema) menyeluruh dan gatal (urtikaria)
dengan obstruksi jalan nafas atas dan/atau bawah. Pada kasus berat dapat terjadi keadaan - 75
-
lemas, pucat, hilang kesadaran dan hipotensi. Petugas sebaiknya dapat mengenali
tanda dan gejala anafilaktik. Pada dasarnya makin cepat reaksi timbul, makin berat keadaan
penderita.
Penurunan kesadaran jarang sebagai manifestasi tunggal anafilaktik, ini hanya terjadi
sebagai suatu kejadian lambat pada kasus berat. Denyut nadi sentral yang kuat (contoh:
karotis) tetap ada pada keadaan pingsan, tetapi tidak pada keadaan anafilaktik.
Gejala anafilaktik dapat terjadi segera setelah Sekali diagnosis ditegakkan, maka
harus diingat bahwa pasien berpotensi untuk menjadi fatal tanpa menghiraukan berat
ringannya gejala yang muncul. Mulai tangani pasien dengan cepat dan pada saat yang sama
buat rencana untuk merujuk pasien ke rumah sakit dengan cepat. Pemberian epinefrin
(adrenalin) akan merangsang jantung dan melonggarkan spasme pada saluran nafas serta
mengurangi edema dan urtikaria. Tetapi adrenalin dapat menyebabkan denyut jantung tidak
teratur, gagal jantung (heart failure), hipertensi berat dan nekrosis jaringan jika dosis yang
dipergunakan tidak tepat.
Petugas harus terlatih dalam penanganan anafilaktik, memiliki kesiapan kit anafilaktik
yang lengkap untuk tatalaksana reaksi anafilaktik dan memiliki akses yang cepat untuk
merujuk pasien. Berikut adalah langkah penanganan anafilaktik:
a. Nilai sirkulasi pasien, jalan nafas, pernafasan, status mental, kulit, dan berat badan
(massa).
b. Berikan epinefrin (adrenalin) intramuskular pada regio mid-anterolateral paha, 0,01
mg/kg larutan 1:1000 (1mg/ml), maksimum 0,5 mg (dewasa): catat waktu pemberian dosis
dan ulangi 5-15 menit jika diperlukan. Kebanyakan pasien respon terhadap 1-2 dosis.
c. Letakkan pasien telentang atau pada posisi paling nyaman jika terdapat distres
pernafasan atau muntah; elevasi ekstremitas bawah; kejadian fatal dapat terjadi dalam
beberapa detik jika pasien berdiri atau duduk tiba-tiba.
d. Jika diperlukan, berikan oksigen aliran tinggi (6-8L/menit) dengan masker atau
oropharyngeal airway.
e. Berikan akses intravena menggunakan jarum atau kateter dengan kanula diameter
besar(14-16 G), Jika diperlukan, berikan 1-2 liter cairan NaCl 0,9% (isotonik) salin dengan
cepat (mis: 5-10 ml/kg pada 5-10 menit awal pada orang dewasa).
17
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Data dari penelitian ini merupakan data primer. Data primer merupakan data
yang diperoleh secara langsung dari sumber asli (tanpa melalui perantara) dengan
melakukan metode wawancara. Data primer yang ada dalam penelitian ini
merupakan data Jatisampurna selama periode 24 Maret – 28 April 2021.
BAB IV
Laki-laki
44%
Perempuan
56%
Berdasarkan jenis kelaminnya, dari 25 peserta vaksinasi dengan jumlah laki-laki sebanyak
44% (11 orang) dan perempuan sebanyak 56% (14 orang).
Axis Title 40
30
20
10
4. 2. 3 Gambara
0
2 2 5 2 2 1 2 1 1 1 2 1 1 1 1 n Peserta
Vaksinasi
Berdasarkan KIPI (Pemberian Vaksinasi Pertama)
Berdasarkan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi Pertama, dari total 50 peserta vaksinasi,
sakit kepala 4% (1 orang), malaise 4% (1 orang), mengantuk 16% (4 orang) dan tidak ada
KIPI 76% (19 orang).
BAB V
PELAKSANAAN INTERVENSI
BAB VI
7.1 Kesimpulan
3. Masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Jatisampurna sudah cukup baik dalam menyikapi
Covid-19
7.2 Saran
a. Puskesmas
- Perlu diadakan penyuluhan di luar gedung secara berulang bagi masyarakat yang
masih minim pengetahuan agar dapat mencapai seluruh lapisan masyarakat.
- Perlu diadakan penyuluhan mengenai vaksin Covid-19 dan efek samping dari
vaksin tersebut
- Petugas puskesmas perlu menjadi role model bagi masyarakat di wilayah
kerjanya agar masyarakat dalam upaya meningkatkan protokol kesehatan di
masyarakat
b. Masyarakat
- Berpartisipasi aktif dalam menegakkan 6M dalam kegiatan sehari-hari dan
kehidupan bermasyarakat
- Berpastisipasi dalam program vaksin Covid-19 dalam upaya membentuk Herd
Immunity
c. Peneliti
Memperbaiki penelitian dengan cara melanjutkan hasil dari penyuluhan
sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
25
26