Anda di halaman 1dari 27

Bab I Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Kegiatan imunisasi merupakan salah satu kegiatan prioritas Kementerian Kesehatan, sebagai salah satu bentuk nyata dari komitmen pemerintah untuk mencapai Millenium Development Goals (MDGs). Imunisasi merupakan upaya pencegahan primer yang sangat efektif untuk menghindari terjangkitnya penyakit infeksi. Tujuan utama dari kegiatan imunisasi adalah menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). Menurut World Health Organization (WHO), masih ada 27 juta anak Balita di seluruh dunia yang belum mendapatkan pelayanan imunisasi rutin. Akibatnya, lebih dari dua juta kematian tiap tahun disebabkan oleh penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), seperti tuberkulosis, difteri, pertusis, tetanus, campak, polio, serta hepatitis B. Angka ini mencakup 1,4 juta kematian pada anak Balita atau sekitar 14% dari total kematian anak Balita. Di Indonesia pada tahun 2007 ditemukan angka kejadian penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) yaitu Campak dengan angka insidens 18.2%, penyakit Difteri 0.15%, penyakit Pertussis 1.9%, penyakit Tetanus 0,5%, Hepatitis-B 9.7% dan penyakit Tuberculosis 43.6%. Imunisasi dasar adalah pemberian imunisasi awal pada bayi yang baru lahir sampai usia satu tahun untuk mencapai kadar kekebalan diatas ambang perlindungan (Depkes RI, 2005). Sesuai dengan program WHO, pemerintah mewajibkan lima jenis imunisasi bagi anak-anak, yang disebut Program Pengembangan Imunisasi (PPI). Cakupan imunisasi PPI yang diwajibkan antara lain BCG, DPT, Polio, Hepatitis B dan Campak. Idealnya bayi harus mendapat imunisasi dasar lengkap yang terdiri dari Hb0-7 hari sebanyak 1 kali, BCG sebanyak 1 kali, DPT sebanyak 3 kali, Polio sebanyak 4 kali, Hepatitis B sebanyak 3 kali dan Campak 1 kali. Cakupan imunisasi lengkap menurut Universal Child Immunization (UCI) minimal 80% secara merata pada bayi di 100% desa pada tahun 2010. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 menunjukkan belum tercapainya target cakupan imunisasi dasar lengkap di tingkat nasional sebesar 53,8% dengan cakupan imunisasi BCG 77,9%, imunisasi DPT-3 61,9%, imunisasi Polio 66,7 % dan imunisasi Campak 74,4%. Sedangkan di Kalimantan selatan sendiri cakupan kelengkapan imunisasi sebesar 52,9% dan tidak lengkap sebesar 36,4 % serta yang tidak
1

di imunisasi sama sekali sebesar 10,6%. Oleh karena itu, dilakukan survei di Puskesmas Sungai Malang, Desa Palampitan Hulu, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Masih banyaknya anak yang tidak mendapatkan imunisasi dasar secara lengkap disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang berperan penting dan sangat berpengaruh terhadap kelengkapan imunisasi dasar pada anak adalah perilaku orangtua. Oleh karena ini survei ini untuk mengetahui perilaku apa saja yang berhubungan dengan status kelengkapan imunisasi dasar.

1.2. Rumusan Masalah Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Masih tingginya angka kesakitan yang dapat dicegah dengan imunisasi di Indonesia yaitu Campak dengan angka insidens 18.2%, penyakit Difteri 0.15%, penyakit Pertusis 1.9%, penyakit Tetanus 0.5%, Hepatitis-B 9.7% dan penyakit Tuberkulosis 43.6%. 2. Masih tingginya ketidaklengkapan imunisasi dasar pada bayi di Indonesia yaitu sebesar 46,2% dalam skala nasional dan 36,4% di daerah Kalimantan Selatan, sedangkan menurut Universal Child Immunization (UCI) cakupan imunisasi lengkap minimal 80%. 3. Belum ada survei mengenai kelengkapan imunisasi dasar dan perilaku yang berhubungan di Puskesmas Sungai Malang, Desa Palampitan Hulu, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.

1.3. Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui status kelengkapan imunisasi dasar pada anak usia 0-12 bulan dan perilaku yang berhubungan di Puskesmas Sungai Malang, Desa Palampitan Hulu, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Diketahuinya status kelengkapan imunisasi dasar pada anak usia 0-12 bulan. 2. Diketahuinya perilaku kesehatan yang berhubungan terhadap status kelengkapan imunisasi dasar.

1.4 Manfaat 1.4.1 Manfaat bagi pribadi i. ii. Memperoleh pengalaman belajar dan pengetahuan dalam melakukan survei. Meningkatkan kemampuan komunikasi dengan masyarakat pada umumnya dan pemuka masyarakat pada khususnya.. iii. iv. Mengaplikasikan ilmu yang telah didapat selama ini. Mendapatkan masukan mengenai status kelengkapan imunisasi dasar pada anak usia 0-12 bulan dan perilaku yang berhubungan.

1.4.2 Manfaat bagi puskesmas i. ii. Meningkatkan kerja sama dan komunikasi antara pensurvei dan staf di puskesmas. Data awal bagi pemegang bidang untuk selanjutnya yang berhubungan dengan imunisasi dasar di masyarakat.

1.4.3 Manfaat bagi masyarakat i. Sebagai bahan masukan dalam melakukan penyuluhan, terutama yang berkaitan dengan imunisasi dasar. ii. Memberikan gambaran awal terhadap penyakit-penyakit yang mungkin diderita akibat tidak lengkapnya imunisasi dasar.

Bab II Tinjauan Pustaka

2.1 Imunisasi 2.1.1 Pengertian Imunisasi Imunisasi adalah proses menginduksi imunitas secara buatan baik dengan vaksinasi (imunisasi aktif) maupun dengan pemberian antibodi (imunisasi pasif). Imunisasi aktif menstimulasi sistem imun untuk membentuk antibodi dan respon imun seluler yang melawan agen penginfeksi, sedangkan imunisasi pasif menyediakan proteksi sementara melalui pemberian antibodi yang diproduksi secara eksogen maupun transmisi transplasenta dari ibu ke janin. Vaksinasi yang merupakan imunisasi aktif ialah suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan paparan antigen dari suatu patogen yang akan menstimulasi sistem imun dan menimbulkan kekebalan sehingga nantinya anak yang telah mendapatkan vaksinasi tidak akan sakit jika terpajan oleh antigen serupa. Imunisasi pasif dilakukan dengan memberikan imunoglobulin yang berasal dari plasma donor. Pemberian imunisasi pasif hanya memberikan kekebalan sementara karena imunoglobulin yang diberikan akan dimetabolisme oleh tubuh. Waktu paruh IgG adalah 28 hari, sedangkan imunoglobulin yang lain (IgM, IgA, IgE, IgD) memiliki waktu paruh yang lebih pendek.

2.1.2 Tujuan Imunisasi Pemerintah Indonesia sangat mendorong pelaksanaan program imunisasi sebagai cara untuk menurunkan angka kesakitan, kematian pada bayi, dan pra sekolah. Adapun tujuan program imunisasi dimaksud bertujuan sebagai berikut: 1. Tujuan Umum Menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi akibat Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). Penyakit dimaksud antara lain, Difteri, Tetanus, Pertusis (batuk rejam), Measles (campak), Polio dan Tuberculosis. 2. Tujuan Khusus, antara lain: a. Tercapainya target Universal Child Immunization (UCI), yaitu cakupan imunisasi lengkap minimal 80% secara merata pada bayi di 100% desa Kelurahan pada tahun 2010.

b. Tercapainya ERAPO (Eradiksi Polio), yaitu tidak adanya virus polio liar di Indonesia yang dibuktikan dengan tidak ditemukannya virus polio liar pada tahun 2008. c. Tercapainya ETN (Eliminasi Tetanus Neonatorum), artinya menurunkan kasus TN sampai tingkat 1 per 1000 kelahiran hidup dalam 1 tahun pada tahun 2008. d. Tercapainya RECAM (Reduksi Campak), artinya angka kesakitan campak turun pada tahun 2006.

2.1.3 Sasaran Imunisasi Sasaran dari program imunisasi yang meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Mencakup bayi usia 0-1 tahun untuk mendapatkan vaksinasi Hb 0, BCG, DPT, Polio, Campak dan Hepatitis-B. 2. Mencakup anak-anak SD (Sekolah Dasar) kelas 1, untuk mendapatkan imunisasi DPT. 3. Mencakup anak-anak SD (Sekolah Dasar) kelas II sehingga kelas VI untuk mendapatkan imunisasi TT (dimulai tahun 2001 sehingga tahun 2003), anak-anak SD kelas II dan kelas III mendapatkan vaksinasi TT (Depkes RI, 2005).

2.1.4 Manfaat Imunisasi Manfaat utama dari imunisasi adalah menurunkan angka kejadian penyakit, kecacatan, maupun kematian akibat penyakit-penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi (vaccine-preventable disease). Imunisasi tidak hanya memberikan perlindungan pada individu melainkan juga pada komunitas, terutama untuk penyakit yang ditularkan melalui manusia (person-to-person). Imunisasi juga bermanfaat mencegah epidemi pada generasi yang akan datang. Cakupan imunisasi yang rendah pada generasi sekarang dapat menyebabkan penyakit semakin meluas pada generasi yang akan datang, bahkan dapat menyebabkan epidemi. Sebaliknya jika cakupan imunisasi tinggi, penyakit akan dapat dihilangkan atau dieradikasi dari dunia. Hal ini sudah dibuktikan dengan tereradikasinya penyakit cacar. Selain itu, imunisasi dapat menghemat biaya kesehatan. Dengan menurunnya angka kejadian penyakit, biaya kesehatan yang digunakan untuk mengobati penyakit-penyakit tersebut pun akan berkurang.

2.1.5 Syarat-syarat Imunisasi Ada beberapa penyakit yang dianggap berbahaya bagi anak, yang pencegahannya dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi dalam bentuk vaksin. Berikut ini keadaan yang tidak boleh memperoleh imunisasi yaitu anak sakit keras, keadaan fisik lemah, dalam masa tunas suatu penyakit, sedang mendapat pengobatan dengan sediaan kortikosteroid, atau obat imunosupresif lainnya (terutama vaksin hidup) karena tubuh mampu membentuk zat anti yang cukup banyak. Menurut Depkes RI (2005), dalam pemberian imunisasi ada syarat yang harus diperhatikan yaitu diberikan pada bayi atau anak yang sehat, vaksin yang diberikan harus baik, disimpan di lemari es dan belum lewat masa berlakunya, pemberian imunisasi dengan teknik yang tepat, mengetahui jadwal imunisasi dengan melihat umur dan jenis imunisasi yang telah diterima, meneliti jenis vaksin yang diberikan, memberikan dosis yang akan diberikan, mencatat nomor batch pada buku ank atau kartu imunisasi serta memberikan informed consent kepada orang tua atau keluarga sebelum melakukan tindakan imunisasi yang sebelumnya telah dijelaskan kepada orang tuanya tentang manfaat dan efek samping atau Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang dapat timbul setelah pemberian imunisasi.

2.1.6 Perkembangan Imunisasi di Indonesia Di Indonesia, program imunisasi telah dimulai sejak abad ke-19 untuk membasmi penyakit cacar di Pulau Jawa. Kasus cacar terakhir di Indonesia ditemukan pada tahun 1972 dan pada tahun 1974 Indonesia secara resmi dinyatakan negara bebas cacar. Tahun 1977 sampai dengan tahun 1980 mulai diperkenalkan imunisasi BCG, DPT dan TT secara berturut-turut untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit-penyakit TBC anak, difteri, pertusis dan tetanus neonatorum. Tahun 1981 dan 1982 berturut-turut mulai diperkenalkan antigen polio dan campak yang dimulai di 55 buah kecamatan dan dikenal sebagai Kecamatan Pengembangan Program Imunisasi (PPI) (Depkes RI, 2005). Pada tahun 1984, cakupan imunisasi lengkap secara nasional baru mencapai 4%. Dengan strategi akselerasi, cakupan imunisasi dapat ditingkatkan menjadi 73% pada akhir tahun 1989. Dengan bantuan donor internasional (WHO, UNICEF, USAID) program berupaya

mendistribusikan kebutuhan vaksin dan peralatan rantai dinginnya serta melatih tenaga vaksinator dan pengelola rantai dingin. Akhir tahun 1989, sebanyak 96% kecamatan di tanah air memberikan pelayanan imunisasi dasar secara teratur (Depkes RI, 2000).
6

Mulai tahun 1992 diperkenalkan imunisasi Hepatitis B di beberapa kabupaten di beberapa propinsi dan mulai tahun 1997 imunisasi Hepatitis B dilaksanakan secara nasional. Sampai saat ini program imunisasi di Indonesia secara rutin memberikan antigen BCG, DPT, Polio, Campak, dan hepatitis B (Anonim, 2009). Pada tahun 2008 Menteri kesehatan membuat peraturann dimana vaksin HB 0 harus diberikan pada saat usia 0-7 hari. Kemudian perkembangan pada pemberian HB 0 di lakukan 2-3 jam setelah pemberian vitamin K, hal ini ditunjukan untuk memutuskan rantai penyebaran virus tersebut dari ibu ke anak. Harus ada upaya promotif dan preventif dalam menekan penyebaran hepatitis. Kementerian Kesehatan menargetkan pada tahun 2014 seluruh desa/ kelurahan mencapai 100% UCI (Universal Child Immunization) atau 90% dari seluruh bayi di desa atau kelurahan tersebut memperoleh imunisasi dasar lengkap yang terdiri dari BCG, Hepatitis B, DPT-HB, Polio dan campak.

2.1.7 Status Imunisasi Dasar Imunisasi dasar adalah pemberian imunisasi awal pada bayi yang baru lahir sampai usia satu tahun untuk mencapai kadar kekebalan diatas ambang perlindungan. (Depkes RI, 2005). Sesuai dengan program organisasi kesehatan dunia WHO (Badan Kesehatan Dunia), pemerintah mewajibkan lima jenis imunisasi bagi anak-anak, yang disebut Program Pengembangan Imunisasi (PPI). Terdapat 2 jenis imunisasi yaitu Program Pengembangan Imunisasi (PPI) yang diwajibkan dan Program Imunisasi Non PPI yang dianjurkan. Imunisasi wajib adalah pencegahan penyakit dengan kejadian cukup tinggi dan menimbulkan cacat atau kematian. Pemberiannya dianjurkan untuk menambah daya tahan tubuh terhadap beberapa jenis penyakit lainnya Cakupan imunisasi PPI yang diwajibkan antara lain BCG, DPT, Polio, Hepatitis B dan campak (Ranuh et al., 2008:4). Idealnya bayi harus mendapat imunisasi dasar lengkap yang terdiri dari HB0-7 hari sebanyak 1 kali, BCG sebanyak 1 kali, DPT sebanyak 3 kali, Polio sebanyak 4 kali, Hepatitis B sebanyak 3 kali dan Campak 1 kali.

2.1.8 Usia dan Jadwal Imunisasi Usia yang baik untuk diberikan imunisasi secara lengkap adalah sebelum bayi mendapat infeksi dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, maka berilah imunisasi sedini mungkin setelah bayi lahir dan usahakan melengkapi imunisasi sebelum bayi berumur 1 tahun. Penggabungan pemberian imunisasi DPT dengan Hepatitis B (HB) yang dinamakan DPT+HB Combo dengan tujuan untuk meningkatkan cakupan jenis imunisasi, mengurangi jumlah suntikan imunisasi dan menghemat biaya vaksin.Untuk jenis imunisasi yang harus diberikan lebih dari sekali juga harus diperhatikan rentang waktu antara satu pemberian dengan pemberian berikutnya. Tabel 1. Jadwal Imunisasi berdasarkan rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) 2012

Sumber: Sari Pediatri Vol.11 No.6, April 2012

Tabel 2. Jadwal imunisasi dasar lengkap

Keterangan Jadwal Imunisasi Periode 2012 Vaksin BCG Keterangan Optimal diberikan pada umur 2 sampai 3 bulan. Bila vaksin BCG akan diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin. Bila uji tuberculin praBCG tidak dimungkinkan, BCG dapat diberikan, namun harus diobservasi dalam 7 hari. Bila ada reaksi lokal cepat di tempat suntikan (accelerated local reaction), perlu dievaluasi lebih lanjut (diagnostic TB). Pertama diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir. OPV 0 diberikan pada kunjungan pertama. Bayi yang lahir di RB/RS diberikan vaksin OPV saat bayi dipulangkan untuk menghindari transmisi virus vaksin kepada bayi lain. Selanjutnya dapat diberikan vaksin OPV atau IPV. Diberikan pada umur > 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan Hepatitis B atau Hib. Ulangan DTP umur 18 bulan dan 5 tahun. Program BIAS: disesuaikan dengan jadwal imunisasi Kementrian Kesehatan. Untuk anak umur diatas 7 tahun dianjurkan diberikan vaksin Td. Diberikan pada umur 9 bulan, vaksin ulangan diberikan pada umur 5-7 tahun. Program BIAS: disesuaikan dengan jadwal imunisasi Kementrian Kesehatan. Sumber: Sari Pediatri Vol.11 No.6, April 2012
9

Hepatitis B Polio

DTP

Campak

2.1.9 Jenis-jenis Imunisasi Dasar 2.1.9.1 Imunisasi BCG Tuberkulosis merupakan penyakit yang sudah muncul sejak bertahun-tahun yang lalu. Penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis. Pemberian BCG merupakan salah satu upaya pencegahan terhadap penyakit ini. Bacille Calmette-Guerin (BCG) adalah vaksin galur Mycobacterium bovis yang dilemahkan, sehingga didapat basil yang tidak virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas. Vaksin BCG pertama kali digunakan pada tahun 1921 dan merupakan salah satu vaksin yang penggunaannya paling luas. World Health Organization (WHO) report on Tuberculosis epidemics tahun 1997 memperkirakan terdapat 7.433.000 kasus TB di dunia dan terbanyak di Asia Tenggara. Dalam data jumlah kasus TB, Indonesia merupakan tiga besar di dunia. Berdasarkan Survei 1979-1982 didapat prevalensi TB BTA (+) sebesar 0.29%. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1980 dan 1986 mendapatkan bahwa TB adalah penyebab kematian keempat. Sementara itu, SKRT 1992 menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab kematian kedua di negara kita, sesudah penyakit kardiovaskular. Angka 7,7% ini lebih tinggi dari berbagai negara di Asia lain sekitar 4%, vaksin BCG ini sebenarnya diberikan untuk menurunkan resiko tuberkulosis berat seperti tuberkulosis meningitis dan tuberkulosis milier. Vaksin BCG biasa diberikan pada umur 2 bulan. Namun, dapat juga diberikan pada umur 0-12 bulan untuk mendapat cakupan imunisasi yang lebih luas. Vaksin BCG sebaiknya diberikan pada anak dengan tes mantoux negatif. Vaksin ini diberikan pada daerah deltoid kanan sehingga apabila terjadi limfadenitis (aksila) mudah terdeteksi. Untuk menjaga kualitasnya, vaksin ini harus disimpan pada suhu 2-8 derajat celcius dan tidak boleh terkena matahari. Efek proteksi dari BCG timbul 8-12 minggu setelah penyuntikan dengan presentasi proteksi bervariasi. BCG ulangan tidak dianjurkan oleh karena manfaatnya diragukan mengingat efektivitas perlindungan hanya 40%, 70% kasus TB berat ternyata mempunyai parut BCG, kasus dewasa dengan BTA+ di Indonesia cukup tinggi walaupun sudah mendapat pada masa anakanak. Efek samping penyuntikan BCG secara intradermal pada 2-6 minggu setelah imunisasi BCG dapat timbul bisul kecil (papula) yang semakin membesar dan dapat terjadi ulserasi dalam waktu 2-4 bulan, kemudian menyembuh perlahan dengan menimbulkan jaringan parut tanpa

10

pengobatan khusus. Bila ulkus mengeluarkan cairan orang tua dapat mengkompres dengan cairan antiseptik. Bila cairan bertambah banyak atau koreng semakin membesar orang tua harus membawanya kedokter. Ukuran ulkus yang terbentuk tergantung pada dosis yang diberikan. Komplikasi yang sering terjadi antara lain eritema nodosum, iritis, lupus vulgaris, dan osteomielitis. Indikasi kontra pemberian vaksin BCG antara lain reaksi uji tuberkulin >5mm, sedang menderita infeksi HIV atau dengan resiko tinggi infeksi HIV, imunokompromais akibat kortikosteroid, gizi buruk, sedang menderita demam tinggi, menderita infeksi kulit yang luas, pernah sakit TB, dan kehamilan.

2.1.9.2 Imunisasi Hepatitis B Hepatitis merupakan penyakit peradangan pada hati. Penyebabnya bermacam-macam, salah satunya adalah virus hepatitis B yang menyebabkan penyakit hepatitis B. Hepatitis B umumnya asimptomatik, namun seringkali menjadi kronis. Infeksi hepatitis B juga dapat menimbulkan kanker serta sirosis hati. Penyakit ini ditularkan melalui darah (blood-borne transmission), misalnya akibat pemakaian jarum suntik yang bergantian, mendapatkan transfusi darah dari penderita hepatitis B, atau melalui mikrolesi pada saat hubungan seksual. Selain itu, ibu yang menderita hepatitis B dapat menularkan infeksi kepada bayinya pada saat proses persalinan. Untuk itu, perlu diberikan vaksin hepatitis B dalam waktu kurang dari 24 jam sejak lahir. Imunisasi hepatitis-B sebanyak 1 (satu) kali untuk mencegah penyakit Hepatitis B yang ditularkan dari ibu ke bayi saat persalinan dan dapat menyebabkan pengerutan hati (sirosis) dan kanker hati. Imunisasi Hepatitis B ini diberikan segera setelah lahir di sarana pelayanan kesehatan. Dari jumlah tersebut diperkirakan 350 juta orang mengalami hepatitis B kronik, 500 750 ribu akan meninggal karena sirosis hati dan atau berkembang menjadi kanker hati. Indonesia termasuk daerah endemis sedang-tinggi. Prevalens HbsAg pada donor (1994) adalah 9,4% (2,5036,7%), dan pada Ibu hamil 3,6% (2,1-6,7%). Vaksin hepatitis B telah dikenal sejak tahun 1982. Vaksin ini mengandung 30 40 g protein HBsAg (antigen virus hepatitis B). Pemerintah Indonesia menyediakan vaksin hepatitis B secara gratis bagi bayi yang baru lahir. Oleh sebab itu, bayi yang lahir di rumah harus memberitahu fasilitas pelayanan kesehatan terdekat agar secepatnya mendapatkan vaksin hepatitis B.
11

Imunisasi hepatitis B dilakukan dengan menyuntikkan vaksin di paha secara intramuskular dalam. Kejadian ikutan pasca imunisasi hepatitis B (efek samping) biasanya berupa reaksi lokal yang ringan dan segera menghilang. Kadang-kadang dapat timbul demam ringan untuk 1-2 hari. Bila demam boleh memberikan paracetamol 15 mg/kgbb setiap 3-4 jam, maksimal 6 kali dalam 24 jam, boleh mandi. Vaksinasi hepatitis B dikenal aman dan efektif. Efektivitas vaksin mencapai 90-95% dalam mencegah timbulnya penyakit hepatitis B. Pertahanan akan bertahan sampai minimal 12 tahun setelah imunisasi. Sampai saat ini tidak ada indikasi kontra absolut pemberian vaksin hepatitis B. Kehamilan dan laktasi bukan indikasi kontra imunisasi hepatitis B.

2.1.9.3 Imunisasi Polio Penyakit polio atau poliomielitis merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus polio. Penyakit ini menyerang susunan saraf pusat dan dapat menyebabkan kelumpuhan. Masa inkubasi virus biasanya 8-12 hari, tetapi dapat juga berkisar dari 5-35 hari. Sekitar 90-95% kasus infeksi polio tidak menimbulkan gejala ataupun kelainan. Virus polio menyebar dari orang satu ke orang lain melalui jalur oro-faecal. Pada beberapa kasus dapat berlangsung secara oral-oral. Infeksi virus mencapai puncak pada musim panas, sedangkan pada daerah tropis tidak ada bentuk musiman penyebaran infeksi. Virus polio sangat menular pada kontak antar rumah tangga (yang belum diimunisasi) derajat serokonversi lebih dari 90%. Kasus polio sangat infeksius dari 7 sampai 10 hari sebelum dan setelah timbulnya gejala, tetapi virus polio dapat ditemukan dalam tinja dari 3 sampai 6 minggu. Saat ini terdapat 2 jenis vaksin polio yaitu oral polio vaccine (OPV) dan inactivated polio vaccine (IPV). Vaksin polio oral (OPV) berisi virus polio hidup tipe 1, 2, dan 3 yang dilemahkan (attenuated). Vaksin ini merupakan jenis vaksin polio yang digunakan secara rutin. Virus dalam vaksin akan masuk ke saluran pencernaan, kemudian ke darah. Virus akan memicu pembentukan antibodi sirkulasi maupun antibodi lokal di epitel usus. Vaksin polio inaktif (IPV) berisi virus polio tipe 1, 2, dan 3 yang diinaktivasi dengan formaldehid. Dalam vaksin ini juga terdapat neomisin, streptomisin, dan polimiksin B. Vaksin diberikan dengan cara suntikan subkutan. Vaksin akan memberikan imunitas jangka panjang (mukosa maupun humoral) terhadap 3 tipe virus polio, namun imunitas mukosa yang ditimbulkan lebih rendah dari vaksin polio oral.
12

Efek samping dari vaksin atau yang biasa dikenal dengan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) polio antara lain pusing, diare ringan, dan nyeri otot. Efek samping yang paling ditakutkan ialah vaccine associated polio paralytic (VAPP). Pada pemberian OPV, virus akan bereplikasi pada usus manusia. Pada saat replikasi tersebut, dapat terjadi mutasi sehingga virus yang sudah dilemahkan kembali menjadi neurovirulen dan dapat menyebabkan lumpuh layu akut. Kontra indikasi pemberian vaksin polio antara lain anak dalam keadaan penyakit akut, demam (> 38oC), muntah atau diare berat, sedang dalam pengobatan imunosupresi oral maupun suntikan termasuk pengobatan radiasi umum, memiliki keganasan yang berhubungan dengan retikuloendotelial dan yang mekanisme imunologisnya terganggu, infeksi HIV dan hipersensitif terhadap antibiotik dalam vaksin. Anak yang kontak dengan saudara atau anggota keluarga dengan imunosupresi juga tidak boleh diberikan vaksinasi polio.

2.1.9.4 Imunisasi DPT Vaksin DPT mengandung toksoid difteri, toksoid tetanus dan vaksin pertusis. Dengan demikian vaksin ini memberi perlindungan terhadap 3 penyakit sekaligus, yaitu difteri, pertusis, dan tetanus. Penyakit difteri dan tetanus disebabkan oleh toksin dari bakteri. Oleh karena itu, dalam upaya pencegahannya (imunisasi) hanya diberikan toksoid yaitu toksin bakteri yang dimodifikasi sehingga tidak bersifat toksik namun dapat menstimulasi pembentukan anti- toksin. Difteri merupakan suatu penyakit akut yang disebabkan oleh toksin dari kuman Corynebacterium diphteriae. Anak dapat terinfeksi kuman difteria pada nasofaringnya. Gejala yang timbul antara lain sakit tenggorokan dan demam. Kemudian akan timbul kelemahan dan sesak napas akibat obstruksi pada saluran napas, sehingga perlu dilakukan intubasi atau trakeotomi. Dapat pula timbul komplikasi berupa miokarditis, neuritis, trombositopenia, dan proteinuria. Pertusis atau batuk rejan (batuk seratus hari) disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis. Sebelum ditemukannya vaksin pertusis, penyakit ini merupakan penyakit tersering yang menyerang anak-anak dan merupakan penyebab utama kematian. Kuman Bordetella pertussis akan menghasilkan beberapa antigen, yaitu toksin pertusis, filamen hemaglutinin, aglutinogen fimbriae, adenil siklase, endotoksin, dan sitotoksin trakea. Pertusis adalah penyakit yang sangat cepat menyebar ke masyarakat, penyebarannya melalui droplet, bahan droplet, dan
13

benda yang terkontaminasi dengan bahan droplet. Gejala utama pada pertusis yaitu terjadinya batuk paroksismal tanpa inspirasi yang diakhiri dengan bunyi whoop. Serangan batuk sedemikian berat sehingga dapat menyebabkan pasien muntah, sianosis, lemas, dan kejang. Pada anak di bawah usia 5 tahun, gejala pertusis lebih berat sehingga mudah terjadi komplikasi yaitu kejang. Tetanus merupakan penyakit akut yang disebabkan toksin dari bakteri Clostridium tetani. Seseorang dapat terinfeksi tetanus apabila terdapat luka yang memungkinkan bakteri ini hidup di sekitar luka tersebut dan memproduksi toksinnya. Toksin tersebut selanjutnya akan menempel pada saraf di sekitar daerah luka dan mempengaruhi pelepasan neurotransmitter inhibitor yang berakibat kontraksi serta spastisitas otot yang tidak terkontrol, kejang-kejang, dan gangguan saraf otonom. Kematian dapat terjadi akibat gangguan pada mekanisme pernapasan. Vaksin DPT dibedakan menjadi 2, yaitu DTwP dan DtaP berdasarkan perbedaan pada vaksin tetanus. DTwP (Difteri Tetanus whole cell Pertusis) mengandung suspensi kuman B. pertussis yang telah mati, sedangkan DTaP (Difteri Tetanus acellular Pertusis) tidak mengandung seluruh komponen kuman B. Pertussis, melainkan hanya beberapa komponen yang berguna dalam patogenesis dan memicu pembentukan antibodi. Vaksin DTaP mempunyai efek samping yang lebih ringan dibandingkan vaksin DTwP. Dua hal yang diyakini sebagai indikasi kontra mutlak pemberian vaksin pertusis, baik whole-cell maupun aseluler, adalah riwayat anafilaksis pada pemberian vaksin sebelumnya dan ensefalopati sesudah pemberian vaksin pertusis sebelumnya. Pada vaksin pertusis biasanya hanya di berikan pada usia di bawah 5 tahun, hal ini dikarenakan pada usia diatas 5 tahun perjalanan penyakit pertusis tidak parah dan efek samping tidak buruk. Ada pendapat sebaiknya tidak diberikan vaksinasi pertusis pada usia di atas 5 tahun, oleh karena itu imunisasi ulang pertusis hanya diberikan 1,5 2 tahun dan menjelang 5 tahun. Kejadian ikutan pasca imunisasi DPT dapat berupa reaksi lokal kemerahan, bengkak, nyeri pada tempat injeksi, ataupun demam. Bekas suntikan dapat dikompres dengan air dingin dan boleh diberikan paracetamol. Kejadian ikutan yang paling serius adalah terjadinya ensefalopati akut atau reaksi anafilaksis dan terbukti disebabkan oleh pemberian vaksin pertusis.

2.1.9.5 Imunisasi Campak Campak merupakan penyakit menular dan bersifat akut yang disebabkan oleh virus campak. Penyakit ini menular lewat udara melalui sistem pernafasan dan biasanya virus tersebut
14

akan berkembang biak pada sel-sel di bagian belakang kerongkongan maupun pada sel di paruparu dan menyebabkan gejala-gejala seperti demam, malaise, kemerahan pada mata, radang saluran nafas bagian atas, serta timbul bintik kemerahan yang dimulai dari batas rambut di belakang telinga, kemudian berangsur-angsur menyebar di daerah wajah, leher, tangan, dan seluruh badan. Cara penularan penyakit ini dapat melalui droplet penderita campak pada stadium awal yang mengandung paramyxovirus dan kontak langsung dengan penderita maupun bendabenda yang terkontaminasi paramyxovirus. Penyakit campak ditularkan secara langsung dari droplet infeksi atau, agak jarang dengan penularan lewat udara (airborne spread). Strategi untuk eliminasi penyakit campak adalah (1) melakukan imunisasi masal pada anak umur 9 bulan sampai 12 tahun, (2) meningkatkan cakupan imunisasi rutin pada bayi umur 9 bulan, (3) melakukan surveilens secara intensif dan (4) follow-up imunisasi massal (Cutts, 1999). Untuk mencegah tertular penyakit campak, seseorang perlu diberikan vaksin campak, yang sebenarnya adalah strain dari virus campak yang telah dilemahkan. Vaksin campak mulai digunakan pada tahun 1963 dan dikembangkan lagi pada tahun 1968. Kombinasi vaksin campakgondongan-rubella (measles-mumps-rubella, MMR) mulai diterapkan pada tahun 1971, dan pada tahun 2005 telah dikembangkan lagi kombinasi vaksin campak-gondongan-rubella-varicella (MMR V). Pemberian vaksin campak dianjurkan 2 kali untuk mengurangi kemungkinan terkena campak, pemberian pertama memberikan 95-98% imunitas terhadap campak dan diberikan pada umur 12-15 bulan. Pemberian kedua memberikan 99% imunitas terhadap campak, dan dapat diberikan kapan saja asalkan berjarak lebih dari 4 minggu dari pemberian pertama. Pada anakanak biasanya diberikan saat anak berumur 4-6 tahun. Imunisasi campak dilakukan dengan menggunakan alat suntik sekali pakai untuk menghindari penularan penyakit seperti HIV/AIDS dan Hepatitis B, dengan cara disuntikkan secara subkutan maupun intramuskular. Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang dapat terjadi reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi campak dan MMR berupa rasa tidak nyaman dibekas penyuntikan vaksin. Selain itu dapat terjadi gejala-gejala lain yang timbul 5-12 hari setelah penyuntikan selama kurang dari 48 jam yaitu demam tidak tinggi, erupsi kulit kemerahan halus/tipis tidak menular, pilek. Pembengkakan kelenjar getah bening kepala dapat terjadi sekitar 3 minggu pasca imunisasi MMR. Orangtua/pengasuh dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah).
15

Bab III Metode

3.1 Tempat dan Waktu Survei Survei ini dilaksanakan pada bulan September 2012 sampai dengan Desember 2012 di Puskesmas Sungai Malang, Desa Palampitan Hulu, Kabupaten Hulu sungai Utara, Kalimantan Selatan.

3.2 Populasi Seluruh bayi usia 0-12 bulan di Puskesmas Sungai Malang, Desa Palampitan Hulu, Kabupaten Hulu sungai Utara, Kalimantan Selatan.

3.2.1 Responden Seluruh ibu yang memiliki bayi usia 0-12 bulan.

3.3 Cara Kerja 1. Menentukan program dan judul yang akan di survei 2. Menghubungi petugas Puskesmas agar membantu kegiatan survei 3. Menghubungi Kepala desa Palampitan Hulu untuk menjelaskan tujuan diadakannya survei di daerah tersebut. 4. Melakukan pengumpulan data-data dengan melakukan survei berupa kuesioner (tanya jawab) dengan cara dari rumah ke rumah. 5. Melakukan pengolahan, dan analisis data. 6. Penulisan laporan survei. 7. Pelaporan survei.

3.3.1. Pengumpulan Data Data dikumpulkan dari: Data primer diambil dari responden dengan teknik wawancara dengan menggunakan kuesioner terhadap ibu-ibu yang memiliki anak usia 0-12 bulan di Puskesmas Sungai Malang, Desa Palampitan Hulu, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.
16

Data sekunder diambil dari data KMS, kohort bayi dan laporan kegiatan imunisasi di Posyandu Puskesmas Sungai Malang, Desa Palampitan Hulu, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.

3.3.2. Pengolahan Data Data-data yang telah dikumpulkan dilakukan pengolahan berupa penghitungan status kelengkapan imunisasi bayi usia 0-12 bulan. Status kelengkapan imunisasi dasar dapat didapatkan melalui wawancara ibu yang memiliki anak usia 9-12 bulan atau dilihat melalui KMS apakah anak telah mendapat imunisasi dasar secara lengkap atau belum. Apabila data yang didapatkan dari wawancara ibu dan KMS berbeda maka data yang diambil adalah data yang berada di KMS. Dikelompokkan menjadi: Tidak lengkap bila tidak mendapat salah satu dari 5 jenis imunisasi dasar yang diharuskan setelah mencapai usia 9-12 bulan. Lengkap bila telah mendapat ke-5 jenis imunisasi dasar pada usia 9 -12 bulan.

3.3.3. Penyajian Data Data yang didapat disajikan secara tekstular dan tabular.

3.3.4. Pelaporan Data Data disusun dalam bentuk pelaporan survei yang selanjutnya akan dipresentasikan dihadapan pimpinan dan staf puskesmas Sungai Malang.

17

Bab IV Hasil 4.1. Profil Komunitas Umum Puskesmas Sungai Malang memiliki wilayah kerja seluas 64,5 Km2 yang mencakup 2 kelurahan dan 19 desa dengan jumlah penduduk sebanyak 31.499 jiwa yang terdiri dari laki-laki 15.652 jiwa (49,70 %) dan perempuan 15.847 jiwa (50,30 %) dengan kepadatan penduduk yang tidak merata, yang paling padat penduduknya daerah perkotaan antara lain Kelurahan Sungai Malang, desa Palampitan Hilir, desa Palampitan Hulu dan kelurahan Paliwara.

Gambar 1. Peta wilayah Puskesmas Sungai Malang

18

Wilayah kerja Puskesmas Sungai Malang terdiri dari 2 kelurahan dan 19 desa, yaitu: 1. Sungai Malang 2. Tigarun 3. Sungai Baring 4. Harus 5. Harusan 6. Paliwara 7. Palampitan Hulu 8. Palampitan Hilir 9. Kota Raden Hulu 10. Kota Raden Hilir 11. Kembang Kuning Wilayah kerja Puskesmas Sungai Malang berbatasan dengan : Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kecamatan Amuntai Utara. Sebelah Timur : Berbatasan dengan Puskesmas Amuntai Tengah dan Kecamatan Banjang. Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kec. Sungai Pandan Kec. Amuntai Selatan. 4.2. Data Geografi Fotografi kabupaten Hulu Sungai Utara merupakan daerah berawa dengan sebagian kecil daratan sebagai pusat pertumbuhan kota dan perkampungan, dimana desa dan kelurahan tersebut dapat ditempuh melalui jalan darat baik dengan kendaraan roda 4 maupun roda 2, kecuali desa yang masuk katagori desa tertinggal yakni desa Mawarsari dan Pinangkara yang hanya dapat di tempuh dengan kendaraan roda 2 dan transportasi air (perahu). 12. Pasar Senin 13. Kandang Halang 14. Rantawan 15. Muara Tapus 16. Datu Kuning 17. Tapus 18. Pinang Habang 19. Danau Ceramin 20. Mawar Sari 21. Pinangkara

4.3. Data Demografi Jumlah penduduk yang berada di seluruh wilayah kerja Puskesmas Sungai Malang sebanyak 31.499 jiwa yang terdiri dari laki-laki 15.652 jiwa (49,70 %) dan perempuan 15.847 jiwa (50,30 %) dengan kepadatan penduduk yang tidak merata. Jumlah Penduduk di Desa Palampitan Hulu 2398 dengan kepala keluarga 503 dan jumlah rumah 627.
19

Mata Pencaharian Penduduk usia produktif pada wilayah kerja Puskesmas Sungai Malang sangat bervariasi seperti terlihat pada gambar 1.
Mata Pencarian Penduduk

6% 5%

9%

Tani & Nelayan Pekerja Swasta Dagang Pegawai Pemerintahan Lain-lain


55%

25%

Gambar 2. Persentasi mata pencarian penduduk Sungai Malang

4.4. Sumber Daya Kesehatan yang ada Masih kurangnya sumber daya aparatur yang ada pada Puskesmas Sungai Malang terutama bidan desa mengakibatkan pencapaian program kegiatan kurang maksimal, dari 21 desa yang ada pada wilayah kerja hanya 4 desa yang memiliki bidan desa.
Tabel 3. Data Ketenagaan Puskesmas Sungai Malang Tahun 2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Jenis Tenaga Kesehatan Dokter Umum Dokter Gigi Kesehatan Masyarakat Apoteker Perawat Perawat Gigi Sanitarian Analis Kesehatan Gizi Asisten Apoteker Bidan Puskesmas Laki-Laki 1 0 1 0 6 0 0 0 1 0 0 Perempuan 1 1 2 1 5 2 2 2 1 1 5 Jumlah 2 1 3 1 11 2 2 2 2 1 5

20

12 13 14 15

Bidan Desa TU Pekarya PTT Bidan Jumlah

0 0 1 0

8 1 1 3

8 1 2 3 46

4.5. Sarana Pelayanan Kesehatan yang ada Dengan 2 kelurahan dan 19 desa yang menjadi binaan Puskesmas Sungai Malang memiliki Sarana dan Prasarana sebagai berikut : a. Puskesmas Induk b. Puskesmas Pembantu 1) Pustu Pinang Habang 2) Pustu Muara Tapus 3) Pustu Pasar Senin 4) Pustu Pinangkara 5) Pustu Sungai Baring c. Poliklinik Desa / Pos Kesehatan Desa 1) Poskesdes desa Sungai Baring 2) Poskesdes desa Harusan 3) Poskesdes desa Harus 4) Poskesdes desa Tapus 5) Poskesdes Kandang Halang Bidan desa yang ada pada Puskesmas Sungai Malang terdiri dari 5 orang yang bertempat tinggal di desa : 1) Desa Sungai Baring 2) Desa Harusan 3) Desa Harus 4) Desa Tapus 5) Desa Kandang Halang : : 1 buah 5 buah

21

d. Puskesmas Keliling Satu unit mobil pelayanan kesehatan Puskesmas Keliling merk ISUZU dengan bahan bakar solar. e. Fasilitas Lainnya : Kendaraan roda 2 (dua) sebanyak 22 buah untuk memperlancar operasional di lapangan. kegiatan

4.6. Data Kesehatan Masyarakat 4.6.1. Prevalensi Masalah Kesehatan Masyarakat


Tabel 4: Data prevalensi bayi

Lampiran 1: Data bayi lengkap dengan tanggal imunisasi

22

Diagram pengelompokan bayi

Bayi usia 9-12 bulan dengan imunisasi lengkap Bayi usia 9-12 bulan dengan imunisasi tidak lengkap Bayi usia 0-<9 bulan

Bayi usia 0-<9 bulan yang tidak mendapatkan imunisasi Hb 0

Gambar 3. Presentase data bayi sesuai umur dan status kelengkapan imunisasi

30 25 20 15 10 Series1 5 0 Bayi usia 9- Bayi usia 9- Bayi usia 012 bulan 12 bulan <9 bulan dengan dengan imunisasi imunisasi lengkap tidak lengkap

8 7 6 5 4 3 2 1 0 Bayi usia 9- Bayi usia 912 bulan 12 bulan dengan dengan imunisasi imunisasi lengkap tidak lengkap Series1

Gambar 4 dan 5. Presentase status kelengkapan bayi

23

Bab V Diskusi

Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan di Puskesmas Sungai Malang, Desa Palampitan Hulu, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan adalah sebagai berikut: 1. Jumlah bayi usia 0-12 bulan sebanyak 39 bayi yaitu terdiri bayi yang berusia 0-<9 bulan berjumlah 28 bayi dan bayi berusia 9-12 bulan berjumlah 11 bayi. Dimana bayi usia 9-12 bulan dengan imunisasi lengkap (Hb0, BCG, Combo, Polio, dan Campak) sebanyak 7 bayi dan bayi dengan imunisasi tidak lengkap sebanyak 4 bayi. 2. Kelengkapan status imunisasi dasar bayi usia 9-12 bulan sebesar 63,64 % dari tolak ukur UCI minimal 80%. Hasil ini tidak beda jauh dengan hasil nasional sebesar 53,8% atau dari cakupan Kalimantan selatan 52,9%. Angka ini lebih besar dari cakupan baik nasional maupun Kalimantan selatan, hal ini kemungkinan disebabkan berbedanya jumlah sampel dan daerah cakupan survei. 3. Ketidaklengkapan status imunisasi dasar bayi usia 9-12 bulan sebesar 36,36 %, Sedangkan nasional sebesar 42,6% dan cakupan di provinsi Kalimantan sebesar 36,4%. Hal ini sangat dipengaruhi oleh perilaku kesehatan antara lain sebagai berikut: a. Kurangnya pengetahuan dan kesadaran ibu akan pentingnya imunisasi bagi bayi. b. Ibu sangat berperan penting dalam status kelengkapan status imunisasi, ada beberapa kasus dimana ibu merasa takut apabila bayinya panas, diare, dan kejang setelah disuntik imunisasi. c. Kesibukan ibu atau status pekerjaan ibu juga sangat mempengaruhi status imunisasi, apabila ibu sibuk dengan pekerjaannya maka tidak ada waktu membawa bayinya untuk imunisasi. d. Ketidaklengkapan status imunisasi dasar dikarenakan tidak mendapatkan imunisasi Hb 0. Hal ini disebabkan apabila bayi dilahirkan di rumah sakit tidak diberikan imunisasi tersebut, selain itu para ibu juga tidak mengetahui apakah bayi nya mendapatkan imunisasi Hb 0, serta ada ibu yang melahirkan di luar daerah amuntai sehingga status imunisasi Hb 0 tidak diketahui secara jelas. e. Beberapa kasus ada yang beranggapan bahwa imunisasi bertentangan dengan agama, dimana bila di suntik imunisasi merupakan haram hukumnya.

24

4. Pada bayi usia 0-<9 bulan tidak dapat digolongkan dalam katagori lengkap atau tidak lengkap status imunisasinya, hal ini karena belum cukup umurnya untuk sampai imunisasi campak. Dimana dalam teori, imunisasi lengkap yaitu apabila bayi sudah mendapatkan imunisasi dasar yaitu imunisasi Hb 0 sebayak 1 kali, BCG sebanyak 1 kali, combo (Hepatitis dan DPT) sebanyak 3 kali, campak.

Bagan faktor-faktor yang berhubungan dengan kelengkapan status imunisasi


Faktor Ibu 1. Pengetahuan 2. Pekerjaan 3. sikap Ketersediaan sarana dan prasarana imunisasi Keaktifan petugas imunisasi dalam memotivasi dan kedisiplinan petugas serta kerjasama antar sektor

Perilaku

Terhadap imunisasi (+)

Terhadap Imunisasi (-)

Melakukan Imunisasi

Tidak melakukan Imunisasi

Kelengkapan imunisasi dasar Hb 0, BCG, Hepatitis B, Polio< Campak


25

Bab VI Kesimpulan dan Saran

6. 1

Kesimpulan Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil survei mengenai status kelengkapan imunisasi dasar pada bayi usia 0-12 bulan di Puskesmas Sungai Malang, Desa Pelampitan Hulu, Kabupaten Hulu sungai Utara, Kalimantan Selatan, September 2012 sampai dengan Desember 2012 adalah kelengkapan status imunisasi dasar bayi usia 9-12 bulan sebesar 63,64%, angka ini lebih besar dari cakupan baik nasional maupun Kalimantan selatan, hal ini kemungkinan disebabkan berbedanya jumlah sampel dan daerah cakupan survei. Namun angka ini tidak mencapai target UCI yaitu minimal 80%. Dan masih tingginya ketidaklengkapan status imunisasi dasar bayi usia 9-12 bulan sebesar 36,36% sehingga angka kesakitan Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunsasi (PD3I) akan makin tinggi. Faktor ibu misalnya status pekerjaaan, pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya imunisasi dasar sangat berpengaruh terhadap kelengkapan status imunisasi dasar. Kurangnya kesadaran rumah sakit atas program imunisasi dasar karena masih banyaknya rumah sakit yang tidak memberikan imunisasi Hb 0 sehingga hal ini menyebabkan tingginya angka ketidaklengkapan imunisasi dasar. Faktor kepercayaan masyarakat juga sangat berpengaruh pada bayi, misalnya secara agama tidak memperbolehkan untuk diimunisasi. Hal ini akan meningkatkan ketidaklengkapan status imunisasi. Bayi yang berusia 0-<9 bulan tidak dapat dikatagorikan dalam lengkap atau tidak lengkap status imunisasi karena belum cukup umur bayi untuk mendapatkan imunisasi campak, sedangkan imunisasi dikatakan lengkap apabila sudah mendapatkan imunisasi Hb 0, BCG, Combo, Polio, dan Campak.

6.2.

Saran Penyuluhan mengenai imunisasi dasar sangat efektif dan berpengaruh dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat terutama ibu mengenai manfaat dan pentingnya imunisasi dasar bagi bayi. Apabila pengetahuan masyarakat mengenai imunisasi dapat ditingkatkan maka sikap dan perilaku masyarakat untuk memberikan imunisasi akan menjadi lebih baik sehingga akan meningkatkan cakupan status kelengkapan imunisasi
26

dasar di Indonesia. Keaktifan dan kedisiplinan petugas serta kepedulian rumah sakit harus ditingkatkan guna meningkatkan status kelengkapan imunisasi dasar. Hal ini untuk membantu memperkecil angka status ketidaklengkapan imunisasi dasar baik nasional maupun Kalimantan selatan. Selain itu, untuk menurunkan angka kesakitan dari penyakit tuberculosis, hepatitis, difteri, pertusis, tetanus, poliomyelitis dan campak. Penyuluhan sebaiknya dilakukan secara rutin dan berkala oleh petugas program, Bila memungkinkan penyuluhan dilakukan dengan menggunakan media power point serta menanyangkan beberapa gambar atau video mengenai imunisasi sehingga para peserta penyuluhan lebih antusias untuk mendengarkan dan lebih memahami materi penyuluhan yang telah diberikan. Selain itu bagi rumah sakit seharusnya wajib memberikan imunisasi dasar Hb 0 agar dapat membantu menurukan angka ketidaklengkapan status imunsasi dasar.

27

Anda mungkin juga menyukai