Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. T
Umur : 45 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Status Pernikahan : Menikah
Alamat : Wadas Kandangan Temanggung
Tanggal Masuk : 15 Desember 2020
Tanggal Pemeriksaan : 15 Desember 2020

IDENTITAS KELUARGA
Nama Anak : Tn. S
Umur : 25 tahun
Alamat : Wadas Kandangan Temenggung
Pekerjaan : Wiraswasta

B. ANAMNESIS
KELUHAN UTAMA : Batuk dan badan lemas
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang dengan keluhan batuk (+) sejak kurang lebih 1 bulan, batuk
berdarah (-), batuk berdahak (+) warna putih, os mengatakan batuk lebih sering pada
malam hari dan tidak dipengaruhi cuaca, selama batuk pasien hanya berobat ke PKM
dan diberi obat (os hanya ingat ambroxol dan paracetamol) namun os merasa batuk
tidak ada berkurang, di PKM os mengatakan tidak ada dilakukan pemeriksaan dahak,
os juga mengatakan berat badan banyak berkurang selama 4 bulan, keringat malam
hari (+) yang tidak dipengaruhi cuaca dan aktivitas, kedua tungkai bengkak
Pasien juga mengeluhkan badan terasa lemas sejak ± 1 minggu, nafsu makan mulai
menurun sejak ±1 bulan, nyeri ulu hati sejak 3 hari, menyesak (+), pasien
mengeluhkan mual (+), muntah (-), nyeri dada (-) disangkal, sesak (-), mencret (-),
demam (+) tapi tidak menentu, BAB hitam (-), BAK lancar.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


- Riw. Kontak dengan penderita batuk lama (+) yaitu teman/kerabat pasien
- Riw. Minum OAT sebelumnya tidak ada
- Riw. DM (+) terkontrol, HT (+), riw. Penyakit jantung (-), riw. Maag (-)
RIWAYAT SOSIAL
Pasien mengaku lingkungan rumah dan sekitarnya kurang bersih. Pasien
mengatakan jendela kamar jarang dibuka karena alasan panas dan hanya
menggunakan kipas angin di dalam kamarnya.

C. PEMERIKSAAN
STATUS UMUM
Keadaan Umum : Sakit Sedang
Kesadaran : Composmentis kooperatif
Tekanan Darah : 179/107 mmHg
Frekuensi Nadi : 105 x/menit
Frekuensi Nafas : 22 x/ menit
Suhu : 37 ℃
SpO2 : 96%
BB/TB : 60kg/ 160
PEMERIKSAAN FISIK
KULIT : tugor kulit baik
KEPALA : Normocephal
LEHER : Kaku Kuduk (-)
MATA : Pupil isokor, diameter 2mm/ 2mm, reflex cahaya +/+
PARU
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi (-/-)
Palpasi : Fremitus taktil kanan dan kiri sama
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler, ronkhi (+/+), wheezing ( -/-)
JANTUNG
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di linea midklavikula sinistra RIC V
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : Bunyi jantung I/II regular, murmur (-), gallop (-)
ABDOMEN
Inspeksi : Tampak datar
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak membesar
Perkusi : Timpani, nyeri tekan epigastrium (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
EKSTREMITAS : Akral hangat, CRT <2 detik, oedem (+)
LABORATORIUM
HASIL LAB HASIL NILAI RUJUKAN
Leukosit 17,28 3,98-10,04
Eritrosit 2,73 3,8-5,2
Hemoglobin 7,7 11,2-15,7
Hematokrit 22,0 35-47
RDW-CV 15,2 11,7-14,4
Neutrofil 13,76 1,8-8
Lymph 1,4 1,18-3,74
Mono 1,77 0,24-0,36
Neutrofil segmen 80 34-71
Limfosit 8 25-40
Monosit 10 2-8
IgG 1,10 0,16-0,61
Urea 103,6 17,0-37,0
Creatinin 3,27 0,4-0,9
SGOT 64,6 <40
Leukosit urin 2+ Negatif
Protein Urin 2+ Negatif
Darah 2+ Negatif
BTA Sewaktu 2+ Negatif
BTA Pagi 1+ Negatif
GD 233,0 50,0-150,0
GDP 159,0 50,00-150,0
PEMERIKSA PENUNJANG

EKG

THORAX
Kesimpulan : MILD MITRAL & AORTICREGURGITATION
LEFT VENTRICLE HYPERTROPHY

Kesan : GAMBAR PNEUMONIA DD TUBERCULOSIS

D. DIAGNOSIS
- Tuberkulosis paru
- HT
- DM tipe II
- CHF
- CKD stg 4
- ISK
E. TERAPI
- IVFD NS 10 tpm
- Injeksi ondansentron 4mg / 8 jam
- Clonidine 0,15 mg 2x1
- Amlodipine 10 mg
- Ethambutol 500 mg II-0-0
- Isoniazid 300mg I-0-0
- Rifampicin 450 mg I-0-0
- Metformin 2x500 mg
- Curcuma 3x1
- As folat 2x1
- Urotractin 2x1
- Inj furosemide 20 mg 2amp ekstra
Observasi
Edukasi: untuk pengobatan TB Paru, selanjutnya memulai OAT kategori I.
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
3Tab 4KDT 3Tab 2KDT

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang sampai saat ini
masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang paling penting di
seluruh dunia. Penyakit TB masih menjadi penyebab kematian akibat
penyakit infeksi. Tiap harinya, hampir 5400 orang meninggal dunia akibat TB
dan 30.000 orang menderita penyaikit TB yang sebenarnya bisa di cegah dan
diobati.1
Indonesia adalah negara ketiga di dunia dengan beban TB terbanyak
setelah india dan cina, yaitu 842.000. Berdasarkan data TB Indonesia tahun
2017, mortalitas akibat TB adalah 107.000 (100.000-114.000) atau rerata 40
per 100.000 penduduk, insidens 842.000 (767.000-919.000) atau rerata
319.000 per 100.000 penduduk. Meskipun demikian Indonesia menargetkan
Eliminasi TB di 2030, artinya hanya 1 per sejuta kasus TB, kalau penduduk
Indonesia saat itu 300 juta hanya 300 orang yang kena TB setahun.1,2
Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) tahun
2011 mengenai perkiraan kasus TB secara global disebutkan bahwa pada
tahun 2010 terdapat insidensi TB sebanyak 8,5–9,2 juta kasus pertahun,
sedangkan pada tahun 2009 terdapat 1,7 juta kematian akibat TB.
Pengendalian TB saat ini diperkirakan mulai mengalami kendala seiring
dengan peningkatan jumlah pasien diabetes mellitus (DM) di dunia, yaitu
terdapat sekitar 285 juta pasien DM dan akan bertambah menjadi 438
juta ditahun 2030.6
Hubungan antara TB dan DM telah lama diketahui karena pada
kondisi diabetes terdapat penekanan pada respon imun penderita yang
selanjutnya akan mempermudah terjadinya infeksi oleh mikobakteri
Mycobacterium tuberculosis (M.tb) dan kemudian berkembang menjadi
penyakit tuberkulosis. Pasien dengan diabetes memiliki risiko terkena
tuberkulosis sebesar 2-3 kali lipat dibandingkan dengan orang tanpa
diabetes. Interaksi antara penyakit kronik seperti TB dengan DM perlu
mendapatkan perhatian lebih lanjut karena kedua kondisi penyakit tersebut
seringkali ditemukan secara bersamaan yaitu sekitar 42,1%, terutama pada
orang dengan risiko tinggi menderita TB.3
Diabetes mellitus telah dilaporkan dapat mempengaruhi gejala
klinis TB serta berhubungan dengan respons lambat pengobatan TB
dan tingginya mortalitas. Peningkatan reaktivasi TB juga telah dicatat
pada penderita DM.3 Sebaliknya juga bahwa penyakit tuberkulosis
dapat menginduksi terjadinya intoleransi glukosa dan memperburuk
kontrol glikemik pada pasien dengan DM, namun akan mengalami
perbaikan dengan pengobatan anti TB (OAT).4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis paru


Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang menular yang disebabkan
oleh basil Mycobacterium tuberculosis yang menyerang saluran pernapasan
bagian bawah. Tuberkulosis paru (Tb paru) adalah penyakit infeksius, yang
terutama menyerang penyakit parenkim paru. Nama tuberkulosis berasal dari
tuberkel yang berarti tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu sistem
kekebalan membangun tembok mengelilingi bakteri dalam paru. Tb paru ini
bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan
menimbulkan nekrosis jaringan.1

2.2 Epidermiologi
A. Personal
1. Umur
Tb Paru Menyerang siapa saja tua, muda bahkan anak-anak. Sebagian
besar penderita Tb Paru di Negara berkembang berumur dibawah 50 tahun.
Data WHO menunjukkan bahwa kasus Tb paru di negara berkembang banyak
terdapat pada umur produktif 15-29 tahun. Penelitian Rizkiyani pada tahun
2008 menunjukkan jumlah penderita baru Tb Paru positif 87,6% berasal dari
usia produktif (15-54 tahun) sedangkan 12,4 % terjadi pada usia lanjut (≤ 55
tahun).3
2. Jenis Kelamin
Penyakit Tb Paru menyerang orang dewasa dan anak-anak, laki-laki
dan perempuan. Tb paru menyerang sebagian besar laki-laki usia produktif.3
3. Stasus gizi
Status nutrisi merupakan salah satu faktor yang menetukan fungsi
seluruh sistem tubuh termasuk sistem imun. Sistem kekebalan dibutuhkan
manusia untuk memproteksi tubuh terutama mencegah terjadinya infeksi yang
(1,4)
disebabkan oleh `mikroorganisme. Bila daya tahan tubuh sedang rendah,
kuman Tb paru akan mudah masuk ke dalam tubuh. Kuman ini akan
berkumpul dalam paru-paru kemudian berkembang biak. Tetapi, orang yang
terinfeksi kuman TB Paru belum tentu menderita Tb paru. Hal ini bergantung
pada daya tahan tubuh orang tersebut. Apabila daya tahan tubuh kuat maka
kuman akan terus tertidur di dalam tubuh (dormant) dan tidak berkembang
menjadi penyakt namun apabila daya tahan tubuh lemah makan kuman Tb
akan berkembang menjadi penyakit. Penyakit Tb paru Lebih dominan terjadi
pada masyarakat yang status gizi rendah karena sistem imun yang lemah
sehingga memudahkan kuman Tb Masuk dan berkembang biak3,4.

B. Tempat
1. Lingkungan
TB paru merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan yang
ditularkan melalui udara. Keadaan berbagai lingkungan yang dapat
mempengaruhi penyebaran Tb paru salah satunya adalah lingkungan yang
kumuh,kotor. Penderita Tb Paru lebih banyak terdapat pada masyarakat yang
menetap pada lingkungan yang kumuh dan kotor 3.
2. Kondisi sosial ekonomi
Sebagai penderita Tb paru adalah dari kalangan miskin. Data WHO
pada tahun 2011 yang menyatakan bahwa angka kematian akibat Tb paru
sebagaian besar berada di negara yang relatif miskin3.

C. Waktu
Penyakit Tb paru dapat menyerang siapa saja, dimana saja, dan kapan saja
tanpa mengenal waktu. Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh pada saat
itu kuman akan berkembang biak dan berpotensi untuk terjadinya Tb paru 3.
2.3 Etiologi
Penyakit Tb paru adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri. Mycobakterium tuberkulosis. Bakteri ini berbentuk batang dan
bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam
(BTA)4. Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif pada
waktu batuk atau bersin. Penderita menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat
bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat
terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan.Setelah
kuman tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan,
kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya
melalui sistem peredaran darah, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke
bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita
ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin
tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita
tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka
penderita tersebut dianggap tidak menular. Seseorang terinfeksi tuberkulosis
ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup
udara tersebut4,5.

2.4 Klasifikasi
Ada beberapa klasifikasi Tb paru yaitu menurut Depkes (2007) yaitu1:
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim)
paru. Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada Tb


Paru:
1. Tuberkulosis paru BTA positif
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman Tb positif.
 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kriteria diagnostik Tb paru BTA negatif harus meliputi:
 Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
 Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
 Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
 Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

c. Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan


sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh (pengobatan
lengkap), kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan sputum
BTA positif/biakan positif.
3. Kasus setelah putus berobat (default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.
4. Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus kronis
Adalah pasien tuberkulosis paru dengan hasil pemeriksaan BTA masih
positif setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori dua
dan dengan pengawasan yang baik.

2.5 Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan melalui pemeriksaan gejala
klinis, mikrobiologi, radiologi, dan patologi klinik. Tidak dibenarkan
mendiagnosis tuberkulosis hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.
Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru,
sehingga sering terjadi overdiagnosis 6,7.
2.5.1 Gambaran Klinis
a) Gejala respiratori
 Batuk lebih dari 2 minggu
 Sputum awalnya bersifat mukoid, kemudian berubah menjadi
mukopurulen sampai purulen
 Jika ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat
disertai dengan keluhan sakit dada
 Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke
paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang
membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas
melemah yang disertai sesak.
 Batuk darah merupakan tanda telah terjadinya ekskavasasi dan
ulserasi pembuluh darah pada dinding kavitas. Batuk darah massif
terjadi bila ada robekan di aneurisma Rasmussen.
 Dispneu merupakan late symptom dari proses lanjut tuberkulosis
paru.
b) Gejala sistemik
 Panas badan sedikit meningkat pada siang atau sore hari
 Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya
dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang
serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
 Anoreksia dan penurunan berat badan
 Perasaan tidak enak (malaise), lemah
2.5.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin
ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia,
demam(subfebris), badan kurus dan berat badan menurun. Tanda-tanda
yang di temukan pada pemeriksaan fisik tergantung luas dan kelainan
struktural paru. Pada lesi minimal, pemeriksaan fisik dapat normal atau
dapat ditemukan tanda konsolidasi paru utamanya apeks paru. Tanda
pemeriksaan fisik paru tersebut dapat berupa: fokal fremitus meingkat,
perkusi redup, bunyi napas bronkovesikuler atau adanya ronkhi terutama di
apeks (puncak) paru7. Pada lesi luas dapat pula ditemukan tanda-tanda
seperti : deviasi trakea ke sisi paru yang terinfeksi, tanda konsolidasi, suara
napas amporik pada cavitas atau tanda adanya penebalan pleura8.
2.5.3 Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan
dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3
spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang
berurutan sewaktu-pagi-sewaktu (SPS) 9.

1. S(sewaktu)
Dahak dikumpulkan pada saat suspek tuberkulosis datang berkunjung
pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk
mengumpulkan dahak pada pagi hari kedua.
2. P(pagi)
Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas.
3. S(sewaktu)
Dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi hari.

3 kali positif atau 2 kali positif,


BTA +
1 kali negatif
1 kali positif, 2 kali negatif Ulangi BTA 3 kali
Bila 1 kali positif, 2 kali negatif BTA +
Bila 3 kali negatif BTA -
Tabel 1. Intepretasi hasil pemeriksaan Tb paru

Pemeriksaan mikroskopisnya dapat dibagi menjadi dua yaitu pemeriksaan


mikroskopis biasa di mana pewarnaannya dilakukan dengan Ziehl Nielsen dan
pemeriksaan mikroskopis fluoresens di mana pewarnaannya dilakukan dengan
auramin-rhodamin (khususnya untuk penapisan) 9.
Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD
(International Union Against Tuberculosis and lung Tuberculosis) yang
merupakan rekomendasi dari WHO(8).
a) Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut Negatif
b) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan
c) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang, disebut +(1+)
d) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++(2+)
e) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++(3+)

2.5.4 Pemeriksaan Genexpert


Dasar teknik dengan pemeriksaan PCR (Polymerase Chain reaction)
adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA
M.tuberculosis. salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah
kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai,
kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya10.
Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis
sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai
standar internasional. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data
lain tidak ada yang menunjang ke arah diagnosis TB, maka hasil tersebut
tidak dapat dipakai sebagai pegangan diagnosis TB4.

2.5.5 Pemeriksaan darah


Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukan indikator yang
spesifik untuk Tb paru. Laju Endap Darah ( LED ) jam pertama dan jam
kedua dibutuhkan. Data ini dapat di pakai sebagai indikator tingkat kestabilan
keadaan nilai keseimbangan penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah
satu respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai
predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit
dapat menggambarkan daya tahan tubuh penderita. LED sering meningkat
pada proses aktif, tetapi LED yang normal juga tidak menyingkirkan diagnosa
TBC10.
2.5.6 Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas
indikasi ialah foto lateral, top lordotik, oblik, CT-Scan. Pada kasus dimana
pada pemeriksaan sputum SPS positif, foto toraks tidak diperlukan lagi. Pada
beberapa kasus dengan hapusan positif perlu dilakukan foto toraks bila10,11:
o Curiga adanya komplikasi (misal : efusi pleura, pneumotoraks)
o Hemoptisis berulang atau berat
o Didapatkan hanya 1 spesimen BTA +

Pemeriksaan foto toraks memberi gambaran bermacam-macam bentuk.


Gambaran radiologi yang dicurigai lesi Tb paru aktif 9:
o Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas dan
segmen superior lobus bawah paru.
o Kaviti terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau
nodular.
o Bayangan bercak milier.
o Efusi Pleura
Gambaran radiologi yang dicrigai Tb paru inaktif 9:
o Fibrotik, terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas dan atau
segmen superior lobus bawah.
o Kalsifikasi.
o Penebalan pleura.
Gambar 1. Alur Diagnosis TB Paru
Gambar 2 Alur Diagnosis TB Paru

2.6 Patogenesis
Pada tuberkulosis paru, tempat masuknya kuman Mycobacterium tuberculosis
adalah saluran pernapasan. Infeksi ini terjadi melalui udara, yaitu inhalasi droplet
yang mengandung kuman-kuman basil tuberkulosis berasal dari orang yang
terinfeksi. Bila partikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat, ia akan menempel
pada saluran napas atau jaringan paru. Basil tuberkulosis yang mencapai
permukaan alveolus bisanya diinhalasi lalu membangkitkan peradangan.
Leukosist polimorfonuklear yang tampak pada tempat tersebut memfagosit
bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut. Berhari-hari kemudian,
leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami
konsolidasi dan timbul penumonia akut. Pneumonia selular ini dapat sembuh
dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertingggal atau proses dapat
berjalan terus. Proses yang berjalan terus-menerus ini menyebabkan bakteri terus
difagosist dan berkembang biak di dalam makrofag8,9.

I. Tuberkulosis Paru Primer


Tuberkulosis paru primer adalah bentuk penyakit pada orang yang
belum pernah terpajan, sehingga tidak pernah tersensitisasi. Basil yang
menetap dalam jaringan paru, akan berkembang biak dalam sitoplasma.
Kuman yang bersarang di jaringan paru ini akan berbentuk sarang
tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau sarang ghon
(focus). Kemudian manifestasi yang muncul pada perkembangan penyakit
dapat berupa konsolidasi parenkim, atelektasis, limfadenopati, efusi pleura
ataupun miliar.2
Dampak utama tuberkulosis primer adalah memicu timbulmya
hipersensitivitas dan resistensi. Basil yang terdapat pada fokus jaringan
parut yang dapat hidup bertahun-tahun bahkan seumur hidup, dapat
reaktivitas ketika pertahanan pejamu melemah. Penyakit dapat
berkembang menjadi tuberkulosis primer progresif. Hal ini banyak terjadi
pada orang yang mengalami gangguan kekebalan tubuh, seperti AIDS,
malnutrisi, atau usia lanjut.2
II. Tuberkulosis Paru Post Primer
Tuberkulosis paru post primer atau tuberkulosis paru sekunder
(reinfection) merupakan pola penyakit yang terjadi pada pejamu yang
telah tersensitasi. Secara umum, tuberkulosis paru sekunder terjadi karena
reaktivitas bakteri yang dorman terutama saat resistensi pejamu melemah.
Namun, dapat juga terjadi segera setelah infeksi primer.2
Tuberkulosis paru sekunder umumnya terbatas di apeks satu atau
kedua lobus atas yang kemungkinan besar berkaitan dengan tingginya
tegangan oksigen di sana. Respon jaringan terjadi segera dan nyata yang
cenderung membatasi fokus karena memang sudah terdapat
hipersensitivitas. Dengan begitu, kelenjar getah benign regional kurang
begitu terlibat. Namun, kavitasi hampir selalu terjadi pada tuberkulosis
paru sekunder yang tidak diobati, dan erosi yang mengenai saluran napas
menjadi sumber penularan melalui sputum yang dikeluarkan.2

2.7 Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan
dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: INH, Rifampisin,
Streptomisin, Etambutol.
Jenis obat tambahan lainnya (lini 2): Kanamisin, Amikasin, Kuinolon.
Pengobatan Tb paru pada orang dewasa di bagi dalam beberapa kategori yaitu
5
:
1. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan
etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat
INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu (tahap lanjutan). Diberikan
kepada:
a. Penderita baru TBC paru BTA positif.
b. Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat.
Tahap intensif Tahap lanjutan
Berat Badan tiap hari selama 56 hari 3xseminggu selama 16
RHZE (150/75/400/275) minggu RH (150/150)
30-37kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54kg 4 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Tabel 2. Dosis paduan obat KDT Kategori I
2. Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3
Diberikan kepada :
a. Penderita kambuh.
b. Penderita gagal terapi.
c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat (putus
berobat).
3. Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3
Diberikan kepada penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung
aktif(10).
4. Kategori 4: RHZES
Diberikan pada kasus Tb kronik .
Kategori Kasus Paduan obat yang dianjurkan Keterangan
I TB paru(kasus baru), 2 RHZE/4RH atau 2
BTA + RHZE/6HE
BTA -, gambaran Atau
radiologik lesi luas 2 RHZE/ 4R3H3
II Kambuh dan gagal -3RHZES/6RH Bila streptomisin
pengobatan -2RHZES lalu sesuai hasil uji alergi, dapat diganti
resistensi atau kanamisin
2RHZES/1RHZE/5RHE
-3-6 kanamisin, ofloksasin,
etionamid, sikloserin/15-18
ofloksasin, etionamid,
sikloserin atau
2RHZES/1RHZE/5RHE
III TB paru putus obat Sesuai lama pengobatan
sebelumnya, lama berhenti
minum obat dan keadaan klinis,
bakteriologi dan radiologi saaat
ini (lihat uraiannya) atau
2RHZES/1RHZE/5R3H3E3
IV TB paru BTA (-) 2 RHZE/4RH atau 6RHE atau
dengan lesi minimal 2RHZE/4R3H3
V Kronik RHZES/sesuai hasil uji
resistensi(minimal OAT yang
sensitif) + obat lini 2
(pengobatan minimal 18 bulan)
MDR TB Sesuai uji resistensi+OAT lini 2
atau H seumur hidup
Tabel 3. paduan pengobatan tb paru

2.8 Efek samping obat


Efek samping yang terjadi dapat yaitu 7,8:
1. Isoniazid (INH)
Sebagian besar pasien Tb paru dapat menyelesaikan pengobatan tanpa
efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh
karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting
dilakukan selama pengobatan.
2. Rifamisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan
pengobatan simptomatis ialah:
o Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
o Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah
kadang-kadang diare
o Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah
kadang-kadang diare
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
o Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop
dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman Tb paru pada keadaan khusus
o Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu
dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan
diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang
o Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas. Rifampisin dapat
menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata dan air liur.
Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak
berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar mereka
mengerti dan tidak perlu khawatir.
3. Pirazinamide
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan
sesuai pedoman Tb paru pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi
(beri aspirin) dan kadang-.lnkadang dapat menyebabkan serangan arthritis
Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan
penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual,
kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa
berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun
demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai,
jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB
yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal
dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak
diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi.
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang
berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping
tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan
dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan
gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah
telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan
ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi
0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin
parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Reaksi
hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai
sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan
ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang
mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu
maka dosis dapat dikurangi 0,25gr Streptomisin dapat menembus sawar
plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada perempuan hamil sebab dapat
merusak syaraf pendengaran janin.

Tabel 4. Efek samping ringan dari OAT


Efek samping Penyebab Penanganan
Tidak nafsu makan, Obat diminum malam
Rifampisin
mual, sakit perut sebelum tidur
Nyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin/allopurinol
Kesemutan s/d rasa Beri vitamin B6
INH
terbakar (piridoksin) 100mg/hari
Warna kemerahan Beri penjelasan, tidak
Rifampisin
pada air seni perlu diberi apa-apa

Tabel 5. Efek samping berat dari OAT


Efek Samping Penyebab Penanganan
Gatal dan kemerahan Semua jenis OAT Beri antihistamin
dievaluasi ketat
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan
Gangguan Streptomisin Streptomisin dihentikan
keseimbangan
Ikterik Hampir semua Hentikan semua OAT
OAT sampai ikterik menghilang
Bingung dan muntah- Hampir semua Hentikan semua OAT &
muntah obat lakukan uji fungsi hati
Gangguan penglihatan Ethambutol Hentikan ethambutol
Purpura dan Rifampisin Hentikan rifampisin
renjatan(syok)

2.9 Komplikasi
Tb paru apabila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan komplikasi.
Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada penderita Tb paru dibedakan
menjadi dua, yaitu 7 :
1. Komplikasi dini: Pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis.
2. Komplikasi pada stadium lanjut: Komplikasi-komplikasi yang sering terjadi
pada penderita stadium lanjut adalah:
a. Hemoptisis masif (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan nafas atau syok
hipovolemik
b. Kolaps lobus akibat sumbatan duktus
c. Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru
d. Pnemotoraks spontan, yaitu kolaps spontan karena bula/blep yang pecah
e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal, dan
sebagainya

2.10 Tuberkulosis pada DM


TB paru dan DM sering berdampingan, terutama di populasi
berisiko tinggi untuk tertular TB. Sebuah studi terbaru di Meksiko pada pasien
lebih tua memiliki lesi pada lapang bawah paru dan memiliki cavitas
lebih banyak. Dalam sebuah penelitian di Turki juga menjelaskan
bahwa DM tidak mempengaruhi terjadinya TB, tetapi hanya berhubungan
dengan penyakit paru bagian bawah pada pasien wanita dan tua. Studi
lain dari Arab Saudi menunjukkan gelaja yang sama, distribusi radiografik
pada pasien DM dan non-DM dengan TB paru. Sebanyak 42.358 pasien
yang dirawat di rumah sakit universitas Aga Khan antara tahun 1992 dan
1996 jumlah pasien yang didiagnosis DM sebanyak 1.458 dan
didiagnosis TB sebanyak 691. Sedangkan jumlah pasien TB dan DM
sebanyak 173, dengan demikian penelitian ini menjelaskan bahwa pasien TB
pada penderita DM sebanyak 173/1458 (11,9%).
Sebagian besar pasien yang menderita TB berusia setengah baya (30-
60tahun), pada studi di India sebagian besar pasien diatas 40 tahun, sedangkan
di Korea dan Jepang prevalensi tersebut tinggi pada usia 40-50 tahun. Studi
menjelaskan bahwa prevalensi TB meningkat secara progresif sesuai durasi
DM itu sendiri. Prevalensi tertinggi adalah pada pasien yang telah didiagnosis
DM selama 10 tahun lebih.11
Alasan untuk terjadinya peningkatan terjadinya kerentanan TB pada
DM disebabkan banyak faktor, dalam hal ini makrofag alveolar yang
bekerjasama dengan limfosit mempunyai peranan penting dalam
mengeleminasi infeksi mikobakterium tuberkulosis itu sendiri. Dalam
sebuah penelitian kepada 64 pasien TB dengan DM terjadi depresi
imunitas seluler yang tinggi, hal ini ditandai dengan limfosit T lebih
sedikit dan kapasitasnya menurun dibandingkan dengan pasien hanya
dengan TB saja. Disini juga dikatakan bahwa terdapat perbedaan dalam
produksi sitokin, dimana terjadi penurun interferon (IFN)-gamma yang
diproduksi oleh CD4+ sel pada pasien TB dengan kontrol diabetes yang
buruk, tetapi tidak pada pasien yang kontrol diabetesnya baik. Tetapi
IFN-gamma akan kembali meningkat setelah 6 bulan pada pasien TB yang
diabetesnya dikontrol dengan baik, tetapi tetap saja terjadi penurunan
IFN-gamma pada pasien yang diabetesnya tidak terkontol dengan baik.8,10

2.11 Faktor Risiko Tuberkulosis Multidrug Resistant (TB-MDR)


a) Faktor Obat
Kesalahan yang paling banyak adalah pada penambahan obat yang
tidak berhasil, kegagalan dalam mengidentifikasi yang ada sebelumnya
atau resistensi obat yang ada, inisiasi dari regimen primer yang inadequat,
kegagalan dalam mengidentifikasi dan mengenali ketidaksesuaian obat
dan ketidaktepatan terapi pencegahan dengan isoniazid. Menurut Mwinga
ketersediaan obat adalah penyebab inadequat obat yang paling sering.5
b) Faktor pasien
1. Usia
Dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara usia resistensi OAT dan secara signifikan proporsi
TB-MDR lebih tinggi diantara kelompok usia 45-64 tahun. Studi lain
yang dilakukan oleh Espinal et al, menemukan bahwa TB-MDR lebih
banyak ditemukan pada pasien dengan kelompok usia 35-64 tahun.
2. Riwayat migrasi
Telah ditemukan salah satu faktor yang berkonstribusi dalam
penignkatan prevalensi resistensi obat di beberapa negara. Adapun
faktor tersebut adalah tingginya angka migrasi yang dipercaya dapat
mengurangi akses terhadap pelayanan kesehatan dan pekerjaan dan
kondisi rumah yang tidak layak. Dalam beberpa penelitian
menunjukkan bahwa resiko untuk resistensi OAT pada orang yang
memiliki riwayat migrasi atau imigran adalah 3-10 lebih tinggi
daripada yang non imigran. Pada penelitian lain, 50% dari kasus TB
pada kelompok imigran memiliki resistensi terhadap paling tidak satu
obat, dan hampir 17% adalah TB-MDR.
3. Jenis kelamin
Pada penelitian yang dilakukan di Perancis menunjukkan
bahwa laki-laki lebih berisiko 2,8 kali untuk TB-MDR dibandingkan
dengan perempuan. Hal tersebut diduga karena perempuan dianggap
lebih patuh terhadap pengobatan sehingga sedikit yang menerima
pengobatan yang inadequat.
4. Faktor lain
Menurut Sharma K dan Mohan penyebab yang paling kuat
untuk terjadinya TB-MDR adalah riwayat pengobatan TB, meskipun
beberapa penderita TB-MDR tidak memiliki riwayat pengobatan TB.
Ketidak patuhan dalam pengobatan juga menjadi faktor penting dalam
berkembangnya resistensi obat. Pasien dengan DM sering cenderung
lebih mudah untuk terjadi resistensi OAT.
Menurut WHO, ada faktor-faktor lainnya yang juga dapat
berpengaruh terhadap kejadian TB-MDR yaitu kurangnya informasi,
ketiadaan dana, sulitnya transportasi, adanya efek yang merugikan dari
OAT, adanya masalah sosial, malabsorbsi, dan pendidikan yang
rendah.6
Daftar Pustaka
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman penyakit tuberkulosis
dan penanggulangannya. Jakarta: Ditjen PPM & PLP Depkes RI; 2003.
2. Jeon CY, Murray MB. Diabetes mellitus increases the risk of active
tuberculosis: a systematic review of 13 observational studies. PloS Med.
2008; 5(8):e181.
3. Yamashiro S, Kawakami K, Uezu K, Kinjo T, Miyagi K, Nakamura K, et al.
Lower expression of Th1-related cytokines and inducible nitric oxide synthase
in mice with streptozotocin-induced diabetes mellitus infected with
mycobacterium tuberculosis. Clin Exp Immunol. 2005; 139:57-64.
4. Restrepo BI. Convergence of the tuberculosis and diabetes epidemics: renewal
of old acquaintances. Clin Infect Dis. 2007; 45:436-8.
5. Faurholt-Jepsen D, Range N, PrayGod G, Jeremiah K, Faurholt-Jepsen M.
Diabetes is a risk factor or pulmonary tuberculosis: a case-control study rom
Mwanza, Tanzania. PLoS ONE. 2011; 6(8): e24215.
6. World Health Organization. Non communicable disease report [internet].
Geneva: WHO; 2011 [disitasi 2015 Jan 10]. Tersedia dari:
http://www.who.int/nmh/publications/ncd_report_cha pter1.pdf.
7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika; 2011.
hlm.39-40.
8. Perkeni. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia. Jakarta: PB PAPDI; 2006.
9. Prakash UBS, King TE. Endocrine and metabolic disorders. Dalam: Crapo
JD, Glassroth J, Karlinsky JB, editors. Baum's textbook of pulmonary
diseases. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilson; 2004.
10. Lutiono C. Angka konversi sputum basil tahan asam pada pasien tuberkulosis
paru dengan diabetes melitus di unit pengobatan penyakit paru-paru provinsi
Kalimantan Barat tahun 2009 2013. Pontianak: Fakultas Kedokteran
Tanjungpura; 2014.
11. Wulandari DR, Sugiri YJ. Diabetes melitus dan permasalahannya pada infeksi
tuberkulosis. Malang: Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya; 2013.

Anda mungkin juga menyukai