Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

STEMI ANTERIOR

Program Internship Dokter Indonesia Tahun 2020 Periode IV

disusun oleh:

Nama : dr. Tesalonika Sinaga

Wahana : RSUD dr. Adjidarmo

Periode : IV tahun 2020

Dokter Pembimbing : dr. Lidya Yudith Priskila

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. ADJIDARMO

KABUPATEN LEBAK

2021
STATUS PASIEN

I. IDENTIFIKASI PASIEN

[Pick the date] Page 2


NAMA : Tn . J

JENIS KELAMIN : laki – laki

UMUR : 43 tahun

TTL :14 -03 -1978

ALAMAT : kp pasir eurih

AGAMA : islam

MASUK RS :12 januari 2021

II. IDENTIFIKASI KELUARGA

NAMA ISTRI :ny F


USIA : 40 tahun
ALAMAT : Kp pasir eurih
PEKERJAAN : IRT

III . ANAMNESA
Diambil : autoanamnesa
Tanggal : 12 januari 2021

Keluhan utama Nyeri dada sebelah kiri sejak pukul 20.00

[Pick the date] Page 3


Keluhan tambahan Keringat dingin (+) mual (+), sesak nafas (+), muntah (-), batuk (-), demam
(-)

Riwayat penyakit Pasien datang dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri sejak pukul 22.00,
sekarang nyeri dada dirasakan sampai tembus ke punggung, disertai dengan Keringat
dingin (+) mual (+), sesak nafas (+), muntah (-), batuk (-), dan demam (-)

Riwayat penyakit Riwayat penyakit yang jantung (+) th 2019 anjuran untuk pasang ring , tapi
dahulu pasien tidak berangkat. Sudah tidak pernah kontrol lagi
Riwayat penyakit hipertensi
Riwayat penyakit DM
Riwayat penyaki asma (-)
Alergi (-)

Riwayat penyakit Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita keluhan yang sama
keluarga seperti pasien

IV . PEMERIKSAAN
A. PEMERIKSAAN UMUM
Keadaan umum : Sakit Sedang
Kesadaran :Compos Mentis
Nadi :62 x/ menit
Respirasi :22 x / menit
Suhu :36,4 C
Tekanan Darah :137/92 mmHg
Spo2 : 97 %
BB / TB :65 kg/ 172 cm
Klinis : edema (-) , tampak kurus (-)

Simpulan status gizi : baik

[Pick the date] Page 4


B. PEMERIKSAAN FISIK :
Kepala : Normochepali
Mata :conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Leher : KGB tidak teraba membesar
JVP tidak meningkat
Thoraks : simetris ,statis dan dinamis
Pulmo : vesikuler (+/+) , RH : (-/-), WH (-/-)
Cor : cor bj I – II regular , murmur (-) , G (-)
Abdomen :peristaltik (+) , supel (+), NT (-)
genitalia : dalam batas normal
ekstremitas : akral hangat , crt < 2detik , edema (-)
kulit : tidak sianosis , tidak ikterik

HEMATOLOGI HASIL NILAI RUJUKAN


Hb 15,0 13,2 – 17,3
Leukosit 10.910 3800 – 10.600
Trombosit 190.000 150 – 440
Hematocrit 43,5% 40-52
Eritrosit 5,17 . 10^6 4,0– 5,9
MVC 84.1 80 – 100
MCH 29,0 26 - 34
MCHC 34,5 32- 36
HITUNG JENIS
BASOFIL 0 0-1
EOSINOFIL 1 2-4

[Pick the date] Page 5


BATANG 0 3-5
SEGMEN 74 50-70
LIMFOSIT 14 25-40
MONOSIT 6 2-8
Absolute lymphosit count 1480.0 >1500

KIMIA KLINIK
SGOT 26 <50
SGPT 27 <50
UREUM 17.500 20.000-40.000
KREATININ 0,77 0,62-1,10
Egfr (CKD-EPI) 111,9 >90 normal , 60 -89 :penurunan
ringan, 45-59:penurunan sedang
ELEKTROLIT
NATRIUM (Na ) 134 135 – 147
KALIUM (K) 3,3 3,5- 5,0
KLORIDA (Cl ) 108 95 – 105
Glukosa Sewaktu ( Vena ) 108 >200

CK MB 36 <25
Troponin T 83 <40

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN


IMUNOSEROLOGI
IgG/IgM SARSCoV2

[Pick the date] Page 6


IgG SARSCoV2 Non Reaktif Non Reaktif
IgM SARSCoV2 Non Reaktif Non Reaktif

Interpretasi EKG :

- Irama dasar : Sinus

- P wave : 0.04 s

- Heart rate : 75x/menit

- PR interval : 0.12 s

- Axis : 40o

- QRS complex : 0.08 s

- ST segmen : elevasi di V1-V3

- Kesimpulan : Irama sinus, HR 75 x/menit, normoaxis, STEMI anteroseptal wall

RO. THORAX

[Pick the date] Page 7


Right costopherenic angle tajam, tak tampak efusi
Left costopherenic angle suram
Diaphragma setinggi costa X posterior
Cor :CTR tidak dinilai
:apeks geser ke lateralkaudal
Trakea tampak di midline , tak menyempit
Pulmo : corakan vasikule normal

KESAN :

VI. DIAGNOSA BANDING : ST Elevation myocardial infarction


Syok kardiogenik
hipertensi

DIAGNOSA KERJA : STEMI ANTERIOR


HIPONATREMIA
HIPOKALEMIA
VII . RENCANA TERAPI (IGD )
 O2 nasal kanul 2 lpm
 Iufd RL / 12 jam

[Pick the date] Page 8


 ISDN 5 MG 1 SL 1 kali nyeri berkurang
 Aspilet 2 tab po
 CPG 4 tab po
 Omeprazole 1x 40 mg
Rawat ICU /HCU
 Miniaspi loading 160 mg lanjut 1x80 mg po pagi
 Clopidogrel loading 300 mg lanjut 1x75 mg po malam
 Atorvastatin 1x40 mg po malam ( bila TAP , simvastatin 1x20 mg )
 Diazepam 1x 5 mg po malam
 Laxadin 1x Cl po pagi
 ISDN 5 mg k/p SL
 Concor 1x 2,5 mg po pagi
 Arixtra 1 x 2,5 mg sk 5 hari
 Ramipril 1x 2,5 mg po malam
 KCl 12,5 mg mEq + RL 500cc dalam 12 jam , cek ulang kalium besok
 KSR 3x 600 mg po
 Sucralfat 3 x Cl po
 Ekg / hari
 Cek : lipid profile , asam urat , gdp / g2pp

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Jantung koroner (PJK) merupakan penyakit jantung yang sering ditemukan dan
menjadi penyebab kematian utama di negara-negara Indonesia. World Health Organization (WHO)
memperkirakan sekitar 16,7 juta penduduk seluruh dunia per tahun meninggal saat ini karena
penyakit kardiovaskular, penyakit ini merupakan penyebab 30% dari seluruh kematian di dunia tiap
tahunnya.
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu sindrom klinis yang disebabkan sumbatan
akut arteri koroner jantung akibat rupturnya plak aterosklerosis. Di Indonesia angka kematian karena

[Pick the date] Page 9


penyakit kardiovaskular makin meningkat, berdasarkan SKRT tahun 1980 menduduki urutan ketiga
(9,9%), tahun 1986 urutan kedua (9,7%), dan tahun 1992 telah menduduki urutan pertama sebagai
penyebab kematian bagi penduduk usia lebih dari 45 tahun yaitu sebanyak 16,4%. 3 Pada SKRT tahun
1995 penyakit sistem kardiovaskular sebanyak 24,5% lebih tinggi dari penyakit infeksi sebesar
22,5%; dibanding SKRT tahun 1992, proporsi penyakit sistem sirkulasi ini meningkat cukup pesat,
bahkan diperkirakan pada tahun 2009 penyakit pembuluh darah ini tetap menduduki urutan pertama
sebagai penyebab kematian di Indonesia. World Health Organization meramalkan akan menjadi
penyebab kematian utama di kawasan Asia pada tahun 2010 nanti. Strategi Penatalaksanaan Sindrom
Koroner Akut (SKA) adalah menegakkan diagnosis secara cepat dan tepat dan melakukan
penanganan umum yang optimal. Pedoman tatalaksana SKA ini bertujuan memberikan arahan dan
petunjuk bagi dokter sejawat petugas medis lainnya untuk menegakkan diagnosis dan tatalaksana
pasien SKA elevasi ST dalam praktik klinis.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Sindrom koroner akut (SKA) adalah sindrom klinis yang biasanya disebabkan oklusi total
atau sebagian dari yang mendadak pada arteri koroner akibat ruptur plak aterosklerosis.

II.2 KLASIFIKASI SINDROM KORONER AKUT

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan


marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi:

1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation myocardial infarction)

2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment elevation myocardial

[Pick the date] Page 10


infarction)

3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)

Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator kejadian oklusi total
pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan
aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik
atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat
keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan
marka jantung.

Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris
akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat
presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T
pseudo-normalization, atau bahkan tanpa perubahan. Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil dan
NSTEMI dibedakan berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan peningkatan marka
jantung. Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil
pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi Infark
Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial Infarction, NSTEMI). Pada
Angina Pektoris tidak stabil marka jantung tidak meningkat secara bermakna. Pada sindroma koroner
akut, nilai ambang untuk peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapa unit melebihi nilai normal
atas (upper limits of normal, ULN).
Jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau menunjukkan kelainan yang
nondiagnostik sementara angina masih berlangsung, maka pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian.
Jika ulangan EKG tetap menunjukkan gambaran nondiagnostik sementara keluhan angina sangat sugestif
SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina
berulang .
Faktor resiko :
 Hipertensi
 Merokok
 Kolesterol
 Diabetes mellitus
 Hiperurisemia
[Pick the date] Page 11
 Aktivitas fisik kurang
 Stres
 Dan gaya hidup

2.4 PATOFISIOLOGI

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi
trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang
berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral
sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lesi vaskuler,

[Pick the date] Page 12


di mana lesi ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.

Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisura, ruptur atau
ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis sehingga terjadi trombus mural
pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan
plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya
lipid. Pada STEMI gambaran patologik klasik terdiri dari trombus merah kaya fibrin, yang
dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberi respons terhadap terapi trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, serotonin, epinefrin)
memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan Tromboksan A2
(vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi
reseptor glikoprotein IIb/IIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas
tinggi terhadap sekuens asam amino pada protein adesi yang larut (integrin) seperti vWF dan
fibrinogen, di mana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang
berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi. Kaskade koagulasi
diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi,
mengakibatkan konversi protrombin menjadi thrombin, yang kemudian mengonversi fibrinogen
menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit) kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus
yang terdiri dari agregat trombosit dan fibrin.
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner oleh
emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.

2.4 DIAGNOSIS

Diagnosis STEMI ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran
EKG adanya elevasi ST ≥1 mm, minimal pada 2 sandapan yang berdampingan. Pemeriksaan enzim
jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan
memberikan terapi revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim.
1. Anamnesis

Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis secara cermat
apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau luar jantung. Selanjutnya perlu dibedakan apakah
nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark
miokard sebelumnya, serta faktor-faktor risiko antara lain hipertensi, DM, dislipidemia, merokok,
stres, serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga,
[Pick the date] Page 13
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti
aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI dapat terjadi
sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah
bangun tidur.

Nyeri dada. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Sifat nyeri
dada angina sbb:
 Lokasi: sub/retrosternal, prekordial

 Sifat: rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, ditusuk, diperas, dan
dipelintir
 Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan
 Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau nitrat

 Faktor pencetus: latihan fisik, stres emosi, udara dingin dan sesudah makan

 Gejala penyerta: mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan lemas

2. Pemeriksaan fisis

Sebagian besar pasien cemas dan gelisah. Sering kali ekstremitas pucat disertai keringat
dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya
STEMI. Seperempat pasien infark anterior memiliki manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis
(takikardia dan/atau hipertensi) dan hampir setengah pasien infark inferior menunjukkan
hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi).
[Pick the date] Page 14
Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas
bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur
midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup mitral
dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38 0C dapat dijumpai pada minggu pertama
pasca STEMI.
3. Elektrokardiografi (EKG)

Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada iskemia harus
menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat.
Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien
dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan
V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal nondiagnostik.
Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat
darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali. Penilaian ST
elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang
elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan
adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia
dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun
adalah ≥0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV. Sedangkan pada perempuan nilai
ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa memandang usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan
wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria
usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah
≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan tubuh
segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior
(elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB
(komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh
karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi
sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.

Tabel 2. Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG

Sadapan dengan Deviasi Segmen Lokasi Iskemia atau


ST Infark
V1-V4 Anterior
V5-V6, I, Avl Lateral

[Pick the date] Page 15


II, III, Avf Inferior
V7-V9 Posterior
V3R, V4R Ventrikel kanan

Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu: normal,
nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/ persangkaan baru, elevasi segmen ST yang
persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi
gelombang T.

Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan terapi karena bukti kuat
menunjukkan gambaran elevasi ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan
terapi reperfusi. Jika EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tapi pasien tetap simtomatik dan
terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12
sandapan secara kontinu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen
ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi
kemungkinan infark pada ventrikel kanan Sebagian besar pasien dengan presentasi awal STEMI
mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis sebagai infark
miokard gelombang Q. sebagian kecil menetap menjadi infark miokard non-gelombang Q. jika
obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral,
biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. pasien tersebut biasanya mengalami angina tidak
stabil atau non-STEMI.

4. Laboratorium

Petanda (biomarker) kerusakan jantung. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine


kinase (CK)MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn
harus digunakan sebagai penanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot
skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi
[Pick the date] Page 16
ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan sesegera mungkin dan tidak tergantung pemeriksaan
biomarker.
Peningkatan enzim dua kali di atas nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis
jantung (infark miokard).
 CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-
24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi
elektrik dapat meningkatkan CKMB
 cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah 2 jam bila infark
miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-
14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari
 Pemeriksaan lainnya: mioglobin, creatinine kinase (CK) dan lactic dehidrogenase

(LDH)

Reaksi nonspesifik terhadap lesi miokard adalah leukositosis PMN yang dapat terjadi dalam
beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-
15.000/uL.

2.5 DIAGNOSIS BANDING

Berbagai diagnosis banding dari sindrom koroner akut:


a. Mengancam jiwa dan perlu penanganan segera : diseksi aorta, perforasi ulkus peptikum atau saluran
[Pick the date] Page 17
cerna, emboli paru, tension pneumothorax
b. Non-iskemik: miokarditis, perikarditis, kardiomiopati hipertrofik, sindrom Brugada, sindrom
Wolf-Parkinson-White, angina vasospastik
c. Non kardiak: nyeri bilier, ulkus peptikum, ulkus duodenum, pleuritis, refluks gastroesofaeal
(GERD), nyeri otot dinding dada, serangan panik, dan gangguan psikogenik

2.6 PENATALAKSANAAN

Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian dan
implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi
antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA

Tatalaksana Pra Rumah Sakit

a. Bagi orang awam mengenali gejala serangan jantung dan segera mengantarkan pasien mencari
pertolongan ke rumah sakit atau menelpon rumah sakit terdekat meminta dikirimkan ambulan
beserta petugas kesehatan terlatih.
b. Petugas kesehatan/dokter umum di klinik
- Mengenali gejala sindrom koroner akut dan pemeriksaan EKG bila ada
[Pick the date] Page 18
- Tirah baring dan pemberian oksigen 2-4 L/menit
- Berikan aspirin 160-325 mg tablet kunyah bila tidak ada riwayat alergi aspirin
- Berikan preparat nitrat sublingual misalnya isosorbid dinitrat 5 mg dapat diulang setiap 5-15
menit sampai 3 kali
- Bila memungkinkan pasang jalur infus
- Segera kirim ke rumah sakit terdekat dengan fasilitas ICCU (Intensive Coronary Care
Unit) yang memadai dengan pemasangan oksigen dan didampingi dokter/paramedik
yang terlatih

Tatalaksana di Unit Gawat Darurat


- Tirah baring
- Pemberian oksigen 2-4 L/menit untuk mempertahankan saturasi oksigen > 95 %
- Pasang jalur infus dan pasang monitor
- Pemberian aspirin 150-325 mg tablet kunyah bila belum diberikan sebelumnya dan tidak ada
riwayat alergi aspirin
- Pemberian nitrat : bias diberikan nitrat oral sublingual yaitu isosorbid dinitrat 5 mg dapat
diulang tiap 5 menit sampai 3 kali untuk mengatasi nyeri dada
- Clopidogrel dosis awal 300 mg, kemudian dilanjutkan 75 mg/hari
- Segera pindahkan ke Ruang Rawat Intensif Koroner (ICCU)

Tatalaksana di Ruang Rawat Koroner Intensif/Intensive Coronary Care Unit (ICCU)

- Pasang monitor 24 jam


- Tirah baring
- Pemberian oksigen 3-4 L/menit

Pemberian nitrat: sebagai vasodilator koroner untuk mengurangi gejala nyeri dada, menurunkan
tekanan darah pada hipertensi dan vasodilator pada edema paru. Preparat nitrat oral sublingual
isosorbid dinitrat 5 mg dapat diulang tiap 5 menit sampai 3 kali untuk mengatasi nyeri dada. Bila nyeri
belum berkurang dapat diberikan nitrogliserin drip intravena secara titrasi sesuai respon tekanan darah,
dimulai dengan dosis 5-10 mikrogram/menit dan dosis dapat ditingkatkan 5-20 mikrogram/menit
sampai respon nyeri berkurang atau MAP (mean arterial pressure) menurun 10 % pada normotensi

[Pick the date] Page 19


dan 30 % pada hipertensi, tetapi tekanan darah sistolik harus > 90 mmHg
- Pemberian ACE inhibitor
Diberikan peroral pada pasien infark anterior, kongesti paru atau fungsi ventrikel kiri yang rendah
dengan fraksi ejeksi (EF) < 40% dan tidak terdapat hipotensi atau tekanan darah sistolik > 100
mmHg.
- Pemberian Angiotensin Receptor Blocker (ARB) bila pasien intoleran dengan ACE inhibitor
- Mengatasi nyeri
Pemberian morfin sulfat intravena 2 – 4 mg dengan interval 5 – 15 menit bila nyeri belum
teratasi
- Pemberian Laksatif untuk memperlancar defekasi
- Pemberian antiansietas sesuai evaluasi selama perawatan
- Dapat diberikan diazepam 2 x 5 mg atau alprazolam 2 x 0,25 mg
- Hindari segala obat golongan antinyeri non inflamasi (NSAID) kecuali aspirin
- Heparinisasi dilakukan yaitu pada kondisi: infark anterior luas, fungsi ventrikel yang buruk
(EF< 40%), risiko tinggi trombosis, fibrilasi atrial, thrombus intrakardiak dan onset nyeri dada
> 12 jam tanpa tindakan revaskularisasi. Heparinisasi sebagai ko-terapi pasca fibrinolitik
diberikan 48 jam sampai 8 hari. Pada pasien yang akan mendapat terapi Heparin atau dengan
risiko untuk terjadinya Heparin Induced Thrombocytopenia (HIT), direkomendasikan untuk
pemeriksaan hitung trombosit awal dan diulang tiap 2-3 hari untuk monitor efek terapi
(tingkat rekomendasi 2C). (3)
- Terjadinya HIT sangat jarang tapi perlu diwaspadai pada pasien yang mengalami
penurunan hitung trombosit > 50% dari nilai pemeriksaan awal. Pada pasien dengan HIT
dianjurkan menghentikan terapi heparin dan penggunaan antikoagulan non heparin sesuai
konsultasi dengan bagian hematologi.

Terapi Reperfusi
Terapi reperfusi pada SKA terdiri dari terapi fibrinolitik dan intervensi koroner perkutan
(PCI), merupakan hal penting dalam tatalaksana STEMI. Sampai saat ini belum ada terapi tertentu
yang efektif untuk semua pasien dan kondisinya. Pada pasien SKA dengan elevasi segmen ST di
UGD atau ICCU dengan onset klinis nyeri dada < 12 jam harus secepatnya dilakukan pemilihan dan
penentuan terapi reperfusi fibrinolitik atau intervensi koroner perkutan (PCI).
Waktu dan pemberian terapi reperfusi yang tepat sangat penting. Idealnya waktu yang dibutuhkan
dari pasien masuk ruang gawat darurat sampai mulainya terapi fibrinolitik (door-to-needle time)
[Pick the date] Page 20
adalah 30 menit, sedangkan untuk PCI adalah 90 menit. Gambar alur strategi reperfusi dengan
pasien stemi :

Selama terapi fibrinolitik dilakukan pemantauan terhadap irama jantung, tekanan darah, dan
kesadaran pasien. Selama pemberian terapi fibrinolitik diberikan tidak jarang terjadi komplikasi
aritmia, hipotensi atau edema paru, maupun alergi. Komplikasi ini harus ditangani bersamaan dengan
fibrinolitik.
Terapi fibrinolitik dilanjutkan dengan pemberian antitrombin/antikoagulan
sebagai ko-terapi. Indikasi keberhasilan terapi fibrinolitik
- Berkurangnya rasa nyeri dada
- Evolusi atau perubahan EKG berupa kembalinya elevasi segmen ST ke garis isoelektrik atau
menurunnya elevasi ST > 50 % pada sadapan yang paling jelas terlihat setelah 90 menit
dimulainya terapi fibrinolitik
- Kadar CK yang lebih cepat mencapai puncak
- Timbulnya aritmia reperfusi bukan indikator yang baik untuk keberhasilan reperfusi

[Pick the date] Page 21


Kegagalan Fibrinolitik

Bila nyeri dada terus berlanjut dan elevasi segmen ST menetap. Komplikasi gagal jantung atau
aritmia banyak terjadi sehingga harus dipertimbangkan rescue PCI yaitu strategi reperfusi PCI yang
diakukan pada pasien yang telah mendapat terapi fibrinolitik tapi dicurigai tidak berhasil yaitu bila
ditemukan kondisi-kondisi sebagai berikut ;
- hemodinamik tidak stabil
- gejala nyeri dada yang tidak membaik
- gambaran EKG tidak dijumpai penurunan elevasi segmen ST > 50 %

[Pick the date] Page 22


Terapi intervensi koroner perkutan (PCI)
Pada pasien SKA dengan elevasi STdan onset < 12 jam direkomendasikan terapi PCI primer
(Primary PCI) yaitu terutama pasien dengan presentasi klinis nyeri dada < 3 jam, tersedianya
fasilitas dan tenaga ahli laboratorium kateterisasi jantung yang memadai, pasien dengan syok
kardiogenik atau ditemukan kontraindikasi terapi fibrinolitik. PCI primer pada beberapa kondisi
tertentu mempunyai angka keberhasilan yang lebih baik dibandingkan fibrinolitik. Waktu ideal
antara pasien tiba dengan inflasi balon (door-to-balloon time) adalah 90 menit

2.7 KOMPLIKASI PADA SINDROM KORONER AKUT

A.Aritmia
Aritmia jantung yang mengancam nyawa yaitu ventricular tachycardia (VT), ventricular
fibrillation (VF), dan AV blok total dapat menjadi manifestasi awal terjadinya SKA. Insidens
aritmia ventrikel biasanya terjadi 48 jam pertama setelah onset SKA.

B.Gagal jantung
Gagal jantung pada SKA biasanya disebabkan oleh kerusakan miokard tapi dapat pula terjadi
karena aritmia atau komplikasi mekanik seperti ruptur septum ventrikel atau regurgitasi mitral
iskemik. Gagal jantung pada SKA menandakan prognosis yang lebih buruk.

[Pick the date] Page 23


Tatalaksana umum meliputi monitor kemungkinan terjadinya aritmia, gangguan elektrolit dan
adanya kelainan katup atau paru. Pemeriksaan foto toraks dan ekokardiografi direkomendasikan
untuk evaluasi luas kerusakan miokard dan komplikasi yang mungkin terjadi seperti ruptur septum
dan regurgitasi mitral akut.
Syok kardiogenik pada SKA menandakan kegagalan pompa jantung berat dan hipoperfusi dengan
manifestasi klinis TD sistolik < 90 mmHg, pulmonary wedge pressure > 20 mmHg atau cardiac
index < 1,8 L/m2. Hal ini akibat nekrosis miokard yang luas. Inotropik atau IABP sering diperlukan
untuk mempertahankan TD sistolik > 90 mmHg. Diagnosis syok kardiogenik ditegakkan setelah
menyingkirkan penyebab lain hipotensi seperti hipovolemik, reaksi vagal, tamponade, aritmia dan
gangguan elektrolit. Terapi suportif IABP direkomendasi sebagai jembatan untuk terapi definitive
yaitu terapi intervensi (emergency PCI).

C.Komplikasi mekanik

1. Ruptur dinding ventrikel


Pada ruptur dinding ventrikel akut terjadi disosiasi aktivitas listrik jantung yang menyebabkan
henti jantung dalam waktu singkat. Biasanya hal ini fatal dan tidak respon dengan resusitasi
kardiopulmoner standar karena tidak ada cukup waktu untuk dilakukan tindakan bedah segera.
Ruptur dinding ventrikel subakut pada 25% kasus masih memberikan harapan untuk dilakukan
tindakan bedah secepatnya. Manifestasi klinisnya yaitu gambaran reinfark dan didapatkan kembali
gambaran elevasi segmen ST pada EKG. Biasanya terdapat gangguan hemodinamik mendadak,
tamponade dan efusi perikard yang dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan ekokardiografi.

2. Regurgitasi Mitral Akut


Regurgitasi mitral akut biasanya terjadi dalam 2-7 hari SKA. Ada 3 mekanisme terjadinya yaitu;
dilatasi annulus mitral akibat dilatasi ventrikel kiri, disfungsi muskulus papilaris akibat infark
miokard inferior, ruptur dari badan atau ujung muskularis papilaris. Evaluasi regurgitasi dilakukan
dengan ekokardiografi. Atrium kiri biasanya normal atau hanya sedikit membesar. Pasien harus
dikirim segera untuk intervensi bedah karena dapat menyebabkan syok kardiogenik.

[Pick the date] Page 24


Rehabilitasi dan Persiapan Pasien Pulang
Pada pasien SKA dengan elevasi ST setelah menjalani perawatan di ICCU baik telah
mendapat terapi reperfusi maupun tidak dilakukan beberapa evaluasi untuk menilai prognosis yaitu
dengan menentukan stratifikasi risiko. Beberapa kriteria risiko tinggi yaitu adanya gejala iskemia
yang berulang atau menetap, gambaran infark pada EKG yang persisten, Fungsi ventrikel kiri yang
rendah (EF<40%), adanya komplikasi berupa murmur baru yang dapat merupakan tanda ruptur
septum ventrikel atau regurgirtasi mitral, tanda gagal jantung akut, dan syok kardiogenik. Pada pasien
dengan risiko rendah dan tidak dilakukan sempat dilakukan angiografi koroner disebabkan alasan
tertentu sebaiknya dilakukan evaluasi fungsional dan uji latih jantung.
Program rehabilitasi bertujuan untuk memulihkan pasien pada kondisi dimana dapat
melakukan aktivitas sehari- hari seara bertahap. Rehabilitasi meliputi aspek psikologi, sosioekonomi,
aktifitas fisik dan anjuran perubahan gaya hidup.

Pencegahan Sekunder
Ada berbagai cara pencegahan sekunder pasien dengan infark miokard yaitu dengan
mengontrol atau modifikasi berbagai faktor risiko Penyakit jantung koroner yang dimiliki yaitu:
1. Berhenti merokok
2. Melakukan latihan atau aktifitas fisik secara teratur dengan target latihan 30 menit tiap
latihan dan dilakukan 3-4 x/minggu
3. Memiliki berat badan ideal dengan target IMT 18,5 – 22,5 dan lingkar metabolic < 35 inch
pada wanita dan < 40 inch pada laki-laki mmHg
4. Mengontrol kadar gula darah pada penderita diabetes yaitu dengan target HbA1C < 6,5 %
5. Mengontrol tekanan darah dengan target < 140/90 atau <130/80 mmHg pada penderita diabetes
6. Mengontrol kadar lemak darah dengan target kadar LDL < 100 mmHg, trigliserida < 150
mg/dl dan HDL > 40 mg/dl
Pemberian antitrombotik atau antikoagulan sesuai indikasi yaitu :

a. Aspirin 80-160 mg/hari seumur hidup


b. Clopidogrel 75 mg/hari selama 1 bulan setelah pemasangan Bare-metal stent atau selama 9
– 12 bulan setelah pemasangan Drug Eluting Stent (DES). Clopidogrel juga dapat
digunakan sebagai alternatif antitrombotik pada pasien yang kontraindikasi atau intoleran
terhadap aspirin
[Pick the date] Page 25
c. Antikoagulan oral warfarin dengan target INR 2 – 3 kali control bila terdapat indikasi
antikoagulan atau pasien tidak toleran terhadap aspirin
d. Pemberian penghambat system renin angiotensin
Pemberian obat ACE inhibitor terutama pada pasien dengan infark anterior, riwayat infark
miokard sebelumnya, gagal jantung dan fungsi ventrikel kiri yang rendah (EF<40%). Bila
pasien intoleran terhadap ACE inhibitor, maka dapat diberikan Angiotensin Receptor Blocker
(ARB)

7. Pemberian antagonis aldosteron


Terutama pada pasien dengan fungsi ginjal masih baik, fungsi ventrikel kiri menurun
dengan DM atau gagal jantung yang sudah mendapat terapi ACE inhibitor optimal
8. Penghambat beta atau Beta blocker
Diberikan pada pasien SKA dengan elevasi ST bila tidak terdapat kontraindikasi.
Pilihannya yaitu carvedilol, bisoprolol dan metoprolol.
9. Pemberian Nitrat
Preparat nitrat terutama yang short acting dapat diberikan sebagai terapi simtomatik untuk
nyeri dada tapi tidak digunakan rutin tiap hari

[Pick the date] Page 26


DAFTAR PUSTAKA

1. Antman EM et al. ACC/AHA 2004 guidelines for the management of patients with ST-Elevation
Myocardial Infarction. J Am Col Cardiol. 2004; 44: e1-e211.
2. Bax J, Betriu A, Blomstrom-Lundqvist C, Crea F, Falk V, Fillipatos G, et al. The Task Force on
the Management of St- segment elevation acute myocardial infarction of the European Society of
Cardiology. ESC guideline for Management of Acute myocardial infarction in patients presenting
persistent ST-segmen elevation. Eur Heart J. 2008; 29: 2909-45.
3. Warkentin, TE et al. Treatment and Prevention of Heparin Induced Thrombocytopenia.
American College of Chest Physicians Evidence-Based Clinical Practice guidelines (8th
edition). Chest. 2008;133: 340s-380s.
4. Antman EM et al. A Report of the ACC/AHA Task Force on Practice Guidelines. 2007
Focused update of the ACC/AHA 2004 guidelines for the management of patients with ST-
Elevation Myocardial Infarction. Circulation. 2008;117: 296-329.
5.

[Pick the date] Page 27

Anda mungkin juga menyukai